Anda di halaman 1dari 21

0

REFERAT
EALES DISEASE



Pembimbing :
Dr. Hariindra Pandji Soediro Sp. M

Penyusun :
Giovanni Duandino
030.09.102

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA
RSUD BUDHI ASIH
PERIODE 10 JUNI 1 JULI 2013
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA, 2014


1

KATA PENGANTAR


Assalamualaikum wr.wb.
Alhamdulillah segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah swt. yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan refrat
saya yang berjudul Ablasio Retina
Saya ucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada pembimbing kepaniteraan mata Dr.
Hariindra Pandji Soediro Sp. , atas bimbingan selama kepaniteraan. Saya menyadari bahwa
dalam pembuatan refrat ini banyak terdapat kekurangan oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun diharapkan demi perbaikan penyusunan refrat ini.
Semoga penulisan refrat ini dapat berguna bagi saya sebagai penulis dan seluruh pihak yang
membaca refrat ini.
Wassalamualikum wr.wb.

Jakarta, Juli 2014


( Penyusun )







2

DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG 3
1.2 BATASAN MASALAH 4
1.3 TUJUAN PENULISAN 4
1.4 METODE PENULISAN 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1 ANATOMI RETINA 5
2.2 FISIOLOGI RETINA 9
2.3 ABLASIO RETINA 10
2.3.1 DEFINISI 10
2.3.2 EPIDEMIOLOGI 10
2.3.3 ETIOLOGI 11
2.3.4 PATOGENESIS 11
2.3.5 KLASIFIKASI 11
2.3.6 DIAGNOSIS 15
2.3.7 PENATALAKSANAAN 17
2.3.8 PROGNOSIS 21
BAB III KESIMPULAN 22
DAFTAR PUSTAKA 23







3


BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Retina merupakan lapisan membran neurosensoris dan merupakan lapisan ketiga bola
mata setelah sklera yang merupakan jaringan ikat dan jaringan uvea yang merupakan
jaringan vaskuler yang terdiri dari iris, badan siliar, dan koroid. Retina berbatas dengan
koroid dengan sel pigmen epitel retina. Antara retina dan koroid terdapat rongga yang
potensial yang bisa mengakibatkan retina terlepas dari koroid. Hal ini yang disebut sebagai
ablasio retina.
Retina manusia merupakan suatu struktur yang sangat terorganisir, yang terdiri dari
lapisan-lapisan badan sel dan prosesus sinaptik. Walaupun ukurannya kompak dan tampak
sederhana apabila dibandingkan dengan struktur saraf misalnya korteks serebrum, retina
memiliki daya pengolahan yang sangat canggih. Pengolahan visual retina diuraikan oleh
otak, dan persepsi warna, kontras, kedalaman, dan bentuk berlangsung di korteks.
Pengolahan informasi di retina berlangsung dari lapisan fotoreseptor melalui akson sel
ganglion menuju ke saraf optikus dan otak.
Istilah ablasio retina (retinal detachment) menandakan pemisahan retina yaitu
fotoreseptor dan lapisan bagian dalam, dari epitel pigmen retina dibawahnya. Terdapat tiga jenis
utama : ablasio regmatogenosa, ablasio traksi dan ablasio serosa atau hemoragik.
1
Bentuk tersering dari ketiga jenis ablasio retina adalah ablasio retina regmatogenosa.
Menurut penelitian, di Amerika Serikat insiden ablasio retina 1 dalam 15.000 populasi dengan
prevalensi 0,3%. Sedangkan insiden per tahun kira-kira 1 diantara 10.000 orang dan lebih sering
terjadi pada usia lanjut kira-kira umur 40-70 tahun. Pasien dengan miopia yang tinggi (>6D)
memiliki 5% kemungkinan resiko terjadinya ablasio retina, afakia sekitar 2%, komplikasi
ekstraksi katarak dengan hilangnya vitreus dapat meningkatkan angka kejadian ablasio hingga
10%.
3



4


1.2.Batasan masalah
Pembahasan referat ini dibatasi pada anatomi retina, fisiologi retina, klasifikasi ablasio
retina, diagnosis, penatalaksanaan dan prognosis ablasio retina.

1.3.Tujuan penulisan
Referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan memahami tentang ablasio
retina.
1.4 Metode penulisan
Referat ini merupakan tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada berbagai literatur.













5


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Retina
Retina merupakan selembar tipis jaringan saraf yang semitransparan dan terdiri atas
beberapa lapis yang melapisi bagian dalam dua pertiga belakang bola mata. Retina membentang
ke depan hampir sama jauhnya dengan korpus siliare, dan berakhir di tepi ora serrata.
1

Gambar 1. Anatomi retina
Lapisan-lapisan retina mulai dari sisi luar ke dalam adalah sebagai berikut:
1. Epitelium pigmen retina
Merupakan lapisan terluar dari retina. Epitel pigmen retina terdiri dari satu lapisan
sel mengandung pigmen dan terdiri atas sel-sel silindris dengan inti di basal. Daerah
basal sel melekat erat membran Bruch dari koroid. Fotoreseptor dipelihara oleh epitel
pigmen retina, yang berperan pada proses penglihatan. Epitel pigmen ini bertanggung
jawab untuk fagositosis segmen luar fotoreseptor, transportasi vitamin, mengurangi
hamburan sinar, serta membentuk sawar selektif antara koroid dan retina.
3, 4, 5


6


2. Lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar batang dan kerucut.
Sel-sel batang dan kerucut di laisan fotoreseptor mengubah rangsangan cahaya
menjadi suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh jaras-jaras penglihatan ke korteks
penglihatan ocipital. Fotoreseptor tersusun sehingga kerapatan sel-sel kerucut
meningkat di di pusat makula (fovea), dan kerapatan sel batang lebih tinggi di
perifer. Pigmen fotosensitif di dalam sel batang disebut rodopsin. Sel kerucut
mengandung tiga pigmen yang belum dikenali sepenuhnya yang disebut iodopsin
yang kemungkinan menjadi dasar kimiawi bagi tiga warna (merah,hijau,biru) untuk
penglihatan warna. Sel kerucut berfungsi untuk penglihatan siang hari (fotopik).
Subgrup sel kerucut responsif terhadap panjang gelombang pendek, menengah, dan
panjang (biru, hijau merah). Sel batang berfungsi untuk penglihatan malam
(skotopik). Dengan bentuk penglihatan adaptasi gelap ini terlihat beragam corak abu-
abu, tetapi warnanya tidak dapat dibedakan. Waktu senja (mesopik) diperantarai oleh
kombinasi sel kerucut dan batang.
2,4, 5

3. Membrana limitans externa
4. Lapisan inti luar sel fotoreseptor, Ini terdiri dari inti dari
batang dan kerucut.
3,6

5. Lapisan pleksiformis luar, yang mengandung sambungan sambungan sel bipolar
dan sel horizontal dengan fotoreseptor .
3,6

6. Lapisan inti dalam badan sel bipolar, amakrin dan sel horizontal.
7. Lapisan pleksiformis dalam, yang mengandung sambungan sambungan sel
ganglion dengan sel amakrin dan sel bipolar .
3,6

8. Lapisan sel ganglion, Ini terutama mengandung sel badan sel ganglion
9. Lapisan serat saraf, yang mengandung akson akson sel ganglion yang berjalan
menuju ke nervus optikus.
3,6

10. Membrana limitans interna. Ini adalah lapisan paling dalam dan memisahkan retina
dari vitreous. Itu terbentuk oleh persatuan ekspansi terminal dari serat yang Muller, dan
pada dasarnya adalah dasar membran..
3,6



7



Gambar 2.
Lapisan retina


Gambar 3.
Gambaran retina normal

Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,23 mm pada kutub posterior. Di
tengah tengah retina posterior terdapat makula. Secara klinis makula dapat didefinisikan
sebagai daerah pigmentasi kekuningan yang disebabkan oleh pigmen luteal (xantofil) yang
berdiameter 1,5 mm. Secara histologis makula merupakan bagian retina yang lapisan
ganglionnya mempunyai lebih dari satu lapis sel. Secara klinis, makula adalah bagian yang
dibatasi oleh arkade arkade pembuluh darah retina temporal. Di tengah makula sekitar 3,5
8

mm di sebelah lateral diskus optikus terdapat fovea yang secara klinis jelas jelas merupakan
suatu cekungan yang memberikan pantulan khusus bila dilihat dengan oftalmoskop.
2

Fovea merupakan zona avaskular di retina pada angiografi fluoresens. Secara histologi,
fovea ditandai dengan menipisnya lapisan inti luar dan tidak adanya lapisan lapisan parenkim
karena akson akson sel fotorreceptor (lapisan serat Henle) berjalan oblik dan pergeseran
secara sentrifugal lapisan retina yang lebih dekat ke permukaan dalam retina. Foveola adalah
bagian paling tengah pada fovea, disini fotoreseptornya adalah sel kerucut dan bagian retina
yang paling tipis. Semua gambaran histologis ini memberikan diskriminasi visual yang halus.
Ruang ekstraseluler retina yang normalnya kosong potensial paling besar di makula dan
penyakit yang menyebabkan penumpukan bahan di ekstrasel dapat menyebabkan daerah ini
menjadi tebal sekali.
2


Gambar 4.
Anatomi makula
Pembuluh darah di dalam retina merupakan cabang arteri oftalmika, arteri retina sentral
masuk retina melalui papil saraf optic yang akan memberikan nutrisi dalam retina. Lapisan luar
retina atau sel kerucut dan batang mendapat nutrisi dari koroid. Retina menerima darah dari dua
sumber yaitu khoriokapilaria yang berada tepat diluar membrana Bruch, yang mendarahi
sepertiga luar retina termasuk lapisan pleksiformis luar dan lapisan inti luar, fotoreceptor, dan
lapisan epitel pigmen retina serta cabang cabang dari arteri sentralis retinae yang mendarahi
dua pertiga sebelah dalam. Fovea sepenuhnya diperdarahi oleh khoriokapilaria dan mudah
terkena kerusakan yang tak dapat diperbaiki kalau retina mengalami ablasi. Pembuluh darah
9

retina mempunyai lapisan endotel yang tidak berlubang yang membentuk sawar darah retina.
Lapisan endotel pembuluh khoroid dapat ditembus. Sawar darah retina sebelah luar terletak
setinggi lapisan epitel pigmen retina.
2,3


2.2. Fisiologi Retina
Retina adalah jaringan paling kompleks di mata. Untuk melihat, mata harus berfungsi
sebagai suatu alat optis, sebagai suatu reseptor kompleks, dan sebagai suatu transducer yang
efektif. Sel-sel batang dan kerucut di lapisan fotoreseptor mampu mengubah rangsangan cahaya
menjadi suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh lapisan serat saraf retina melalui saraf optikus
dan akhirnya ke korteks penglihatan. Makula bertanggung jawab untuk ketajaman penglihatan
yang terbaik dan untuk penglihatan warna, dan sebagian besar selnya adalah sel kerucut. Di
fovea sentralis, terdapat hubungan hampir 1:1 antara fotoreseptor kerucut, sel ganglionnya, dan
serat saraf keluar, dan hal ini menjamin penglihatan yang paling tajam. Macula terutama
digunakan untuk penglihatan sentral dan warna (penglihatan fotopik) sedangkan bagian retina
lainnya, yang sebagian besar terdiri dari fotoreseptor batang, digunakan terutama untuk
penglihatan perifer dan malam (skotopik).
Fotoreseptor kerucut dan batang terletak di lapisan terluar yang avaskuler pada retina
sensorik dan merupakan tempat berlangsungnya reaksi kimia yang mencetuskan proses
penglihatan. Setiap sel fotoreseptor kerucut mengandung rodopsin, yang merupakan suatu
pigmen penglihatan fotosensitif yang terbentuk sewaktu molekul protein opsin bergabung
dengan 11-sis-retinal. Sewaktu foton cahaya diserap oleh rodopsin, 11-sis-retinal segera
mengalami isomerisasi menjadi bentuk all-trans. Rodopsin adalah suatu glikolipid membran
yang separuhnya terbenam di lempeng membran lapis ganda pada segmen paling luar
fotoreseptor.
Penglihatan skotopik seluruhnya diperantarai oleh fotoreseptor sel batang. Pada bentuk
penglihatan adaptasi gelap ini, terlihat bermacam-macam nuansa abu-abu, tetapi warna tidak
dapat dibedakan. Penglihatan siang hari terutama diperantarai oleh fotoreseptor kerucut, jika
senja hari diperantarai oleh kombinasi sel kerucut dan batang, dan penglihatan malam oleh
fotoreseptor batang.
10

2.3. Eales Disease

2.3.1. Definisi
Eales disease pertama kali dideskripsikan oleh Henry Eales , seorang Dokter Ahli
Penyakit Mata berkebangsaan Inggris, pada tahun 1880 dan 1882 Eales
mengklasifikasikan penyakit ini sebagai penyakit retina non-inflamasi. Untuk definisi dan
etiologi dari Eales disease sampai saat ini masih belum diketahui dengan adekuat. Pada
penelitian terbaru yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang baik tentang
Eales disease ini memberikan hasil yang cukup signifikan baik dari segi klinis , biokimia
, imunologi , dan biologi molekuler.



Henry Eales

Gambar 5
2.3.2. Epidemiologi

. Menurut penelitian, di Amerika Serikat jarang didapatkan penyakit ini. Ealess disease
sering didapatkan di India dan beberapa daerah di Timur Tengah. Tidak didapatkan mortalitas
pada pasien dengan Eales disease. Tidak ada predileksi ras pada Ealess disease, tapi dari segi
prevalensinya banyak menyerang ras India dan beberapa penduduk di Timur Tengah. Biasanya
pria lebih sering terkena dibanding wanita yaitu sebesar 80-90%. Usia rata-rata penderita yaitu
pada dewasa muda yang berusia kisaran 30-40tahun.

11


2.3.3. Etiologi
Dari penelitian terbaru , banyak yang menyimpulkan bahwa etiologi dari Ealess disease
disebabkan oleh Tuberkulosis atau karena hipersensitifitas karena tuberkuloprotein. Hipotesa ini
ditunjang oleh didapatkannya spesies Mycobacterium pada epiretinal membran. Dengan teknik
PCR didapatkannya gen MPB64 milik kuman Mycobacterium Tuberculosis yang didapatkan
pada Epiretina membran pasien dengan Eales disease.
2.3.4 Patogenesis
Pada stadium inflamasi pada Eales disease (ED) didapatkannya peningkatan C-Reactive
Protein dan IL-6 (Interleukin 6) sebagai marker. Dari didapatkannya marker tersebut diambil
kesimpulan bahwa terjadi inflamasi yang di mediasi oleh sistem imun pada ED. Tapi sampai saat
ini , masih belum dapat diketahui secara adekuat antigen apa yang mencetuskan serangkaian
sistem imun tersebut.
Stres oksidatif juga dapat menyebabkan cedera jaringan, meningkatnya Thiobarbituric
acid Substances (TBARS) pada vitreus , eritrosit, platelet , dan monosit. Berkurangnya kadar
Vitamin E dan C dan glutathione mengindikasikan lemahnya aktifitas antioksidan pada ED.
Pigmen Epitelium Growth Factor (PEGF) adalah suatu Glycoprotein dan sebagai
inhibitor potent pada iskemia menginduksi neovaskularisasi. Hubungan antara (PEGF) dengan
Vaskuler Endotelial Growth Factor (VEGF) telah dipelajari dengan baik. Berkurangnya jumlah
(PEGF) pada Eales disease dan meningkatnya VEGF sebagai faktor utama penyebab
terbentuknya Neovaskularisasi pada ED.
2.3.5 Klasifikasi
1,2
Berdasakan gejala klinis, eales disease dibagi menjadi 4 stadium, yaitu:
1. Stadium 1 ( Inflamatory stage)
.
2. Ablasio Retina Sekunder (Non regmatogenosa)
i. Ablasio Retina Eksudatif
12

Ablasio retina eksudatif terjadi akibat adanya penimbunan cairan eksudat di bawah
retina (subretina) dan mengangkat retina. Penimbunan cairan subretina terjadi akibat
ekstravasasi cairan dari pembuluh retina dan koroid. Penyebab Ablasio retina eksudatif
dibagi menjadi dua yaitu penyakit sistemik yang meliputi Toksemia gravidarum,
hipertensi renalis, poliartritis nodosa. Sedangkan penyakit mata meliputi akibat inflamasi
(skleritis posterior, selulitis orbita), akibat penyakit vascular (central serous retinophaty,
and axudative retinophaty of coats, akibat neoplasma (malignant neoplasma koroid dan
retinoblastoma), akibat perforasi bola mata pada operasi intraokuler.
1,2,3

Gejala klinis ablasio retina eksudatif antara lain:
3

a. Tidak adanya photopsia, lubang / air mata, lipatan dan undulations.
b. Ablasio retina eksudatif halus dan cembung. Pada puncak tumor itu biasanya
bulat dan tetap dan bisa menunjukkan gangguan pigmen.
c. Kadang-kadang, pola pembuluh retina mungkin terganggu akibat adanya
neovaskularisasi di puncak tumor.
d. Pergeseran cairan ditandai dengan mengubah posisi daerah terpisah dengan
gravitasi adalah ciri khas yang dari detasemen retina eksudatif.
e. Pada tes transillumination satu ablasio sederhana muncul transparan
sedangkan ablasio padat.
Gambar 7.
Ablasio retina tipe eksudatif akibat dari hasil metastase karsinoma payu dara .

ii. Ablasio retina traksi
13

Pada ablasio ini lepasnya jaringan retina terjadi akibat tarikan jaringan parut pada
korpus vitreus (badan kaca). Pada badan kaca terdapat jaringan fibrosis yang dapat
disebabkan diabetes melitus proliferative, trauma, dan perdarahan badan kaca akibat bedah
atau infeksi. Tipe ini juga dapat terjadi sebagai komplikasi dari ablasio retina
regmatogensa.
1,2,3

Ablasio retina tipe regmatogenosa yang berlangsung lama akan membuat retina semakin
halis dan tipis sehingga dapat menyebabkan terbentuknya proliferatif vitreotinopathy (PVR)
yang sering ditenukan pada tipe Regmetogenosa yang lama. PVR juga dapat terjadi kegagalan
dalam penatalaksanaan ablasio retina regmatogenosa. Pada PVR, epitel pigmen retina, sel
glia, dan sel lainya yang berada di dalam maupun di luar retina pada badan vitreus akan
membentuk membrane. Kontraksi dari membrane tersebut akan menyebabkan retina tertarik
ataupun menyusut, sehingga dapat mengakibatkan terdapatnya robekan baru atau brkembang
menjadi ablasio retina traksi.
1,2,3,6


Gambar 8.
Ablasio retina traksi




2.3.6. Diagnosis

14

Diagnosis pada Ealess disease harus terlebih dahulu menyingkirkan kemungkinan
penyebab lain seperti kemungkinan adanya suatu kelainan darah seperti leukemia ataupun
penyebab lain.

Pemeriksaan:

1. Pemeriksaan tajam penglihatan
2. Pemeriksaan lapangan pandang
3. Memeriksa apakah ada tanda-tanda trauma
4. Periksa reaksi pupil. Dilatasi pupil yang menetap mengindikasikan adanya trauma.
5. Pemeriksaan slit lamp; anterior segmen biasanya normal, pemeriksaan vitreous untuk
mencari tanda pendarahan atau tidak yang biasanya sering ditemukan pada pasien dengan
Ealess disease.
6. Pemeriksaan fundus dengan oftalmoskop (pupil harus dalam keadaan berdilatasi)
Pemeriksaan Penunjang :
1) Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit penyerta
seperti diabetes melitus.
2) Pemeriksaan ultrasonografi dilakukan bila retina tidak dapat tervisualisasi oleh karena
perubahan kornea, katarak, atau perdarahan.
3) Teknik pencitraan seperti foto orbita, CT scan, atau MRI tidak diindikasikan untuk
membantu diagnosis ablasio retina tetapi dapat dibutuhkan untuk mendeteksi benda
asing intraokuli dan tumor.

2.3.7. Penatalaksanaan

Tujuan utama penatalaksanaan pasien dengan ED adalah membantu mengurangi
peradangan yang dapat berujung terjadinya manifestasi klinis pada ED. Kortikosteroid
15

menjadi pilihan utama pada stadium inflamasi. Dosis yang diberikan adalah 1mg/kg/bb
selama 6 minggu lalu masuk ke dalam dosis tapering off yaitu 10mg selama kurang lebih
2minggu . Setelah itu dapat dilanjutkan dengan pemberian dosis pemeliharaan 15-20mg
selama 2-3 bulan.
Ada beberapa penelitian yang menyarankan pemberian Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) pada ED yang menurut penelitian dapat memberikan hasil yang cukup signifikan,
OAT yang dipilih adalah Rifampisin dan Isoniazid selama 9 bulan.

Pada pembedahan ablasio retina dapat dilakukan dengan cara :

1. Scleral buckling :
Metode ini paling banyak digunakan pada ablasio retina rematogenosa terutama
tanpa disertai komplikasi lainnya. Prosedur meliputi lokalisasi posisi robekan retina,
menangani robekan dengan cryoprobe, dan selanjutnya dengan scleral buckle (sabuk). Sabuk
ini biasanya terbuat dari spons silikon atau silikon padat. Ukuran dan bentuk sabuk yang
digunakan tergantung posisi lokasi dan jumlah robekan retina. Pertama tama dilakukan
cryoprobe atau laser untuk memperkuat perlengketan antara retina sekitar dan epitel pigmen
retina. Sabuk dijahit mengelilingi sklera sehingga terjadi tekanan pada robekan retina
sehingga terjadi penutupan pada robekan tersebut. Penutupan retina ini akan menyebabkan
cairan subretinal menghilang secara spontan dalam waktu 1-2 hari.
2,3,

Keuntungan dari tehnik ini adalah menggunakan peralatan dasar, waktu rehabilitasi
pendek,resiko iatrogenic yang menyebabkan kekeruhan lensa rendah, mencegah
komplikasi intraocular seperti perdarahan dan inflamasi.

16


Gambar 9.
Spons silikon dijahit pada bola mata untuk menekan sklera di atas robekan retina setelah drainase
cairan sub retina dan dilakukan crioterapi .


Gambar 10.
Penekanan yang didapatkan dari spons silikon, retina sekarang melekat kembali dan traksi pada
robekan retina oleh vitreus dihilangkan .
2. Retinopeksi pneumatic :
Retinopeksi pneumatik merupakan metode yang juga sering digunakan pada ablasio
retina regmatogenosa terutama jika terdapat robekan tunggal pada bagian superior retina.
Teknik pelaksanaan prosedur ini adalah dengan menyuntikkan gelembung gas ke dalam
rongga vitreus. Gelembung gas ini akan menutupi robekan retina dan mencegah pasase cairan
lebih lanjut melalui robekan. Jika robekan dapat ditutupi oleh gelembung gas, cairan
subretinal biasanya akan hilang dalam 1-2 hari. Robekan retina dapat juga dilekatkan dengan
kriopeksi atau laser sebelum gelembung disuntikkan. Pasien harus mempertahankan posisi
17

kepala tertentu selama beberapa hari untuk meyakinkan gelembung terus menutupi robekan
retina.
3,6

Gambar 11.
Setelah pengangkatan gel vitreus pada drainase cairan sub retina, gas fluorokarbon inert
disuntikan ke dalam rongga vitreus .
3.Pars Plana Vitrektomy :
Merupakan cara yang paling banyak digunakan pada ablasio akibat diabetes, dan juga
pada ablasio regmatogenosa yang disertai traksi vitreus atau perdarahan vitreus. Cara
pelaksanaannya yaitu dengan membuat insisi kecil pada dinding bola mata kemudian
memasukkan instruyen ing cavum vitreous melalui pars plana. Setelah itu dilakukan vitrektomi
dengan vitreus cutre untuk menghilangkan berkas badan kaca (viteuos stands), membran, dan
perleketan perleketan. Teknik dan instruyen yang digunakan tergantung tipe dan penyebab
ablasio. Lebih dari 90% lepasnya retina dapat direkatkan kembali dengan teknik-teknik bedah
mata modern, meskipun kadang- kadang diperlukan lebih dari satu kali operasi.
3,6

Keuntungan PPV:
1. Dapat menentukan lokasi defek secara tepat
2. Dapat mengeliminasi media yang mengalami kekeruhan karena teknik ini dapat
dikombinasikan dengan ekstraksi katarak.
3. Dapat langsung menghilangkan penarikan dari vitreous.
Kerugian PPV:
1. Membutuhkan tim yang berpengalaman dan peralatan yang mahal.
2. Dapat menyebabkan katarak.
18

3. Kemungkinan diperlukan operasi kedua untuk mengeluarkan silicon oil
4. Perlu follow up segera (terjadinya reaksi fibrin pada kamera okuli anterior yang
dapat meningkatkan tekanan intraokuler.

Gambar 12. Vitrektomi
2.3.8. Prognosis

Prognosis dari penyakit ini berdasarkan pada keadaan makula sebelum dan sesudah
operasi serta ketajaman visualnya. Jika, keadaannya sudah melibatkan makula maka akan sulit
menghasilkan hasil operasi yang baik, tetapi dari data yang ada sekitar 87 % dari operasi yang
melibatkan makula dapat mengembalikan fungsi visual sekitar 20/50 lebih kasus diman makula
yang terlibat hanya sepertiga atau setengah dari makula tersebut.
6

Pasien dengan ablasio retina yang melibatkan makula dan perlangsungannya kurang dari
1 minggu, memiliki kemungkinan sembuh post operasi sekitar 75 % sedangkan yang
perlangsungannya 1-8 minggu memiliki kemungkinan 50 %.
3

Dalam 10-15 % kasus yang dilakukan pembedahan dengan ablasio retina yang
melibatkan makula, kemampuan visualnya tidak akan kembali sampai level sebelumnya
dilakukannya operasi. Hal ini disebabkan adanya beberpa faktor seperti irreguler astigmat akibat
pergeseran pada saat operasi, katarak progresif, dan edema makula. Komplikasi dari pembedahan
misalnya adanya perdarahan dapat menyebabkan kemampuan visual lebih menurun.
6



19

BAB III
KESIMPULAN

Ablasio retina (retinal detachment) adalah suatu keadaan terpisahnya sel kerucut dan sel
batang retina dari sel epitel pigmen retina. Ablasio retina lebih banyak terjadi pada usia 40-70
tahun. Faktor penyebab ablasio retina terbanyak adalah miopia, operasi katarak (afakia,
pseudofakia), dan trauma okuler.
Gejala dari ablasio retina adalah adanya floater, fotopsia, dan penurunan tajam
penglihatan. Pada pemeriksaan funduskopi diperoleh retina yang mengalami ablasio tampak
sebagai membran abu-abu merah muda yang menutupi gambaran vaskuler koroid dan terlihat
adanya robekan retina berwarna merah.
Prinsip penatalaksanaan pada ablasio retina adalah untuk melekatkan kembali lapisan
neurosensorik ke lapisan epitel pigmen retina, yaitu dengan pembedahan. Namun, pada ablasio
retina eksudatif juga diberikan terapi medikamentosa sesuai dengan etiologinya.
Prognosis tergantung luasnya robekan retina, jarak waktu terjadinya ablasio, diagnosisnya
dan tindakan bedah yang dilakukan. Pada miopia tinggi, karena ada degenerasi retina, maka
prognosis buruk.









20

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. 2010. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: Jakarta. p.1-10, 183-6
2. DR.Dr.Widya Artini, SpM, Pemeriksaan Dasar Mata, Edisi pertama, Jakarta: Badan
Penerbit FKUI, 2011.
3. Bruce James, Chris Chew,Anthony Bron, Lecture Notes On Oftalmology , edisi
kesembilan ,Blackwell Science Ltd :Penerbit Erlangga
4. Ilyas, Sidarta. Kedaruratan dalam Ilmu Penyakit Mata ,edisi keempat. 2009.. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. p.107-10.
5. Vaughan, Daniel G. Asbury, Taylor. 2000. Oftalmologi umum (General ophthalmology)
edisi 17. EGC: Jakarta. p. 12-199
6. Khurana. Diseases of retina in comprehensive ophthalmology 4
th
edition. New Age
International Limited Publisher: India. p. 249- 279.
7. Junqueira LC, Jose C. Histologi Dasar Teks & Atlas. Edisi 10. Jakarta: EGC; 2007. Hal.
470-464
8. Reynolds,J. Olitsky,S. Anatomy and Physiology of Retina In : Pediatric retina. 2011.
Springer-verlag : Berlin Heidelberg. Page 39-50.
9. American Academy Ophtalmology. Retina and Vitreous: Section 12 2007-2008.
Singapore: LEO; 2008. p. 9-299
10. Lang, GK. Ophtalmology, A Pocket Textbook Atlas. 2nd Edition.
2006.Thieme. Germany. p. 305-344.
11. Sundaram venki. Training in Ophthalmology. 2009. Oxford university press: New York.
P.118-119
12. Larkin, L. Gregory. Retinal Detachment.[serial online] 8
th
septembe 2010 [cited 19
th
June
2012]. Available from : http//emedicine.medscape.com/article/1226426

Anda mungkin juga menyukai