Anda di halaman 1dari 25

1

BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Bilirubin pada Neonatus
Bayi baru lahir memproduksi bilirubin sebanyak 6 - 8 mg/kgBB perhari,dua kali
individu dewasa (per kilogram berat badan). Peningkatan serum bilirubin dapat bersifat
fisiologis atau patologis. Disebut hiperbilirubinemia,dimana pada neonatus yang dominan
adalah bilirubin indirek, bila kadarnya >10 mg/dl, yang dapat menyebabkan terjadinya kern
icterus dan berakibat kerusakan neurologis menetap atau bahkan kematian
1,2,3
Ikterus adalah suatu gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit, sklera atau
jaringan lain yang terlihat, karena adanya deposisi produk akhir pemecahan atau katabolisme
heme yaitu bilirubin
2,5

Ikterus lebih mengacu pada gambaran klinis berupa pewaranaan kuning pada kulit,
sedangkan hiperbilirubinemia lebih mengacu pada gambaran kadar bilirubin serum
total.Ikterus akan tampak pada kadar bilirubin serum total > 5 mg/dl
2,4


1.1.1. Metabolisme Bilirubin
Reaksi kimia dan enzimatis yang terjadi pada metabolisme pemecahan heme dan
pembentukan bilirubin sangat kompleks. Mula-mula heme dilepaskan dari hemoglobin sel
darah merah yang mengalami hemolisis di sel-sel retikuloendothelial dan dari hemoprotein
lain, seperti mioglobin, katalase,peroksidase, sitokrom dan nitrit oksida sintase, yang terdapat
pada berbaga organ dan jaringan. Selanjutnya, globin akan diuraikan menjadi unsur-unsur
asam amino pembentuk semula untuk digunakan kembali, zat besi dari heme akan memasuki
depot zat besi yang juga untuk pemakaian kembali, sedangkan heme akan dikatabolisme
melalui serangkaian proses enzimatik. Bagian porfirin tanpa besi pada heme juga diuraikan,
terutama di dalam sel-sel retikuloendotelial pada hati, limpa dan sumsum tulang
1,6
.
Heme yang dilepaskan dari hemoglobin akan didegradasi oleh suatu proses enzimatis
di dalam fraksi mikrosom sel retikuloendetelial. Proses ini dikatalisir oleh enzim heme
oksigenase, yaitu enzim pertama dan enzyme pembatas-kecepatan (a rate-limiting enzyme)
yang bekerja dalam suatu reaksi dua tahap dengan melibatkan Nicotinamide Adenine
Dinucleotide Phosphate (NADPH) dan oksigen. Sebagaimana dilukiskan dalam gambar 1,
heme akan direduksi oleh NADPH, dan oksigen ditambahkan pada jembatan -metenil antara
pirol I dan II porfirin. Dengan penambahan lebih banyak oksigen, ion feri (Fe+++)
dilepaskan, kemudian dihasilkan karbon monoksida dan biliverdin IX- dengan jumlah
ekuimolar dari pemecahan cincin tetrapirol. Metalloporfirin, yaitu analog heme sintetis, dapat
secara kompetitif menginhibisi aktivitas heme oksigenase (ditunjukkan oleh tanda X pada
gambar)
1,3
.


2


Gambar 1. Alur Metabolisme Pemecahan Heme dan Pembentukan Bilirubin
3

Sumber : Denery PA, et al. Neonatal Hyperbilirubinemia, New Eng Med Journal
3


Karbon monoksida mengaktivasi GC (guanylyl cyclase) menghasilkan pembentukan
cGMP (cyclic guanosine monophosphate).Selain itu dapat menggeser oksigen dari oksi
hemoglobin atau diekshalasi. Proses ini melepaskan oksigen dan menghasilkan karboksi
hemoglobin. Selanjutnya karboksihemoglobin dapat bereaksi kembali dengan oksigen,
menghasilkan oksihemoglobin dan karbon monoksida yang diekshalasi. Jadi rangkaian reaksi
ini sebenarnya merupakan reaksi dua arah
3

Biliverdin dari hasil degradasi heme selanjutnya direduksi menjadi bilirubin oleh
enzim biliverdin reduktase di dalam sitosol. Bilirubin disebut sebagai bilirubin indirek
(unconjugated bilirubin), yang terbentuk dalam jaringan perifer akan diikat oleh albumin,
diangkut oleh plasma ke dalam hati.Peristiwa metabolisme ini dapat dibagi menjadi tiga
proses : (1) pengambilan bilirubin oleh sel parenkim hati, (2) konjugasi bilirubin dalam
reticulum endoplasma halus, dan (3) sekresi bilirubin terkonjugasi ke dalam empedu
1,3,4,7
.

1.1.2 Penyebab Peningkatan Kadar Bilirubin
Secara umum penyebab peningkatan kadar bilirubin dapat dibagi menjadidua,
tergantung pada tipe bilirubin yang dominan dalam plasma, yaitu : karena peningkatan kadar
bilirubin indirek atau bilirubin direk. Pada bayi,hiperbilirubinemia didominasi oleh
peningkatan kadar bilirubin indirek.
Penyebab terjadinya hiperbilirubinemia pada kelompok ini antara lain
1,4,7
:
1. Proses Fisiologis
Pada bayi baru lahir, terutama bayi prematur, terjadi peningkatan kadar bilirubin
indirek serum selama minggu pertama kehidupan, biasanya pada hari ketiga, dan akan
menurun secara spontan. Keadaan ini disebabkan karena :
i. Pada bayi baru lahir didapatkan :


3

(1) volume sel darah merah tinggisebagai kompensasi tekanan partial oksigen yang rendah,
(2) umur seldarah merah pendek dan
(3) peningkatan resirkulasi entero hepataldari bilirubin
ii. Kurangnya ambilan (uptake) hati sebagai dampak penurunan konsentrasi protein pengikat
bilirubin (seperti ligandin)
iii. Kurangnya konjugasi karena masih rendahnya aktivitas glukoroniltransferase

2. Peningkatan Produksi
Peningkatan pemecahan sel darah merah (hemolisis) yang berlebihan berdampak
meningkatnya kadar bilirubin terutama bilirubin indirek.Hemolisis, dapat disebabkan antara
lain karena 1-3 :
i. Inkompatibilitas golongan darah : Rhesus, ABO, dll
ii. Defek biokimia (enzim) sel darah merah, antara lain : defisiensi G6PD, defisiensi Pyruvat
Kinase, defisiensi Hexokinase
iii. Abnormalitas struktur (membran) sel darah merah, antara lain : Sferositosis herediter,
Elliptositosis herediter, Piknositosis infantil
iv. Infeksi, antara lain : Bakterial, Viral, dan Protozoa

3. Kelainan ambilan (uptake) oleh hati

4. Defek/kegagalan konjugasi
i. Defisiensi kongenital enzim glukoronil transferase (misalnya pada penyakit sindroma
Crigler-Najjar dan sindroma Gilbert)
ii. Inhibisi enzim glukoronil transferase (misalnya karena pengaruh obat dan sindroma Lucey-
Driscoll)

5. Sekuestrasi sel darah merah, seperti: sefal hematom, perdarahan intrakranial, dan
perdarahan saluran cerna, akan menyebabkan peningkatan hemolisis dan membebani jalur
degradasi bilirubin

1.1.3 Dampak Hiperbilirubinemia
Pada tingkat seluler, bilirubin dapat menginhibisi enzim mitokondrial dan
mengganggu sintesis deoxyribonucleic acid (DNA), menginduksi patahnya benang DNA, dan
menginhibisi sintesis dan fosforilasi protein
8
.
Bilirubin mempunyai afinitas terhadap fosfolipid membran, disamping itu
menginhibisi pengambilan tirosin, yaitu suatu penanda transmisi sinaptik 27 juga
menginhibisi fungsi kanal ion reseptor N-methyl-d-aspartate 28. Hal ini menunjukkan bahwa
bilirubin dapat mengganggu signal neuroeksitasi sehingga memperlambat konduksi saraf
(khususnya pada saraf auditorik) . Bilirubin juga dapat menghambat pertukaran elektrolit dan
transport air di ginjal. Karena sifat hidrofobisitasnya, hanya bilirubin indirek (bilirubin
retensi) yang bisa melewati sawar darah otak untuk masuk ke dalam sistem saraf pusat
1-3


Bilirubin indirek merupakan substrat bagi protein membran-plasma yang tergantung
ATP (ATP-dependent plasma membrane rotein), yaitu glikoprotein,pada sawar darah-otak
3
.


4

Kondisi yang merubah permiabilitas sawar darah otak misalnya infeksi, asidosis,
hiperoksia, sepsis, prematuritas, dan hiperosmolaritas, dapat mempengaruhi masuknya
bilirubin kedalam otak menyebabkan ensefalopati bilirubin yang tak terikat albumin
(bilirubin bebas)dalam jumlah kecil juga dapat menembus sawar darah otak
1,6,7
. Pada
keadaan inidapat timbul disfungsi neuronal, ensefalopati, dimana bayi berisiko mengalami
kematian atau sekuele berupa kecacatan perkembangan di kemudian hari
2,3,5
.
Kern Icterus adalah suatu diagnosis Patologi Anatomi terhadap keadaan ensefalopati
bilirubin akibat deposisi bilirubin pada jaringan otak, terjadi kerusakan di ganglia dan
nukleus batang otak.Kernicterus terjadi pada sejumlah kecil bayi tetapi memiliki mortalitas
yang tinggi dan dapat menyebabkan gejala sisa seperti palsi serebral, tuli nada tinggi,
paralisis dan displasia dental berdampak pada kualitas hidup
2,3
.
Gambaran klinis kernikterus bervariasi, 15%bayi tidak mempunyai gejala neurologis
yang jelas.Penyakit tersebut dapat dibagi menjadi bentuk akut dan bentuk kronis.

1.2 Inkompatibilitas ABO
1.2.1 Definisi
Merupakan kondisi medis dimana golongan darah ibu dan bayi berbeda sewaktu masa
kehamilan.
1.2.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65%
mengalami ikterus. Sensus yang dilakukan pemerintah Malaysia pada tahun 1998
menemukan sekitar 75% bayi baru lahir mengalami ikterus pada minggu pertama.Di
Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan.
Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional
Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru
lahir sebesar 58% untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di
atas 12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan.
9

RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar
bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg/dL. Pemeriksaan
dilakukan pada hari 0, 3 dan 5. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin setiap hari, didapatkan
ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan
pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan
56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus
yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia. Data yang agak berbeda
didapatkan dari RS Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens ikterus pada tahun 2003 hanya
sebesar 13,7%, 78% di antaranya merupakan ikterus fisiologis dan sisanya ikterus patologis.
Angka kematian terkait hiperbilirubinemia sebesar 13,1%. Didapatkan juga data insidens
ikterus pada bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan bayi kurang bulan 22,8%.
10
Insidens ikterus neonatorum di RS Dr. Soetomo Surabaya sebesar 30% pada tahun
2000 dan 13% pada tahun 2002. Perbedaan angka yang cukup besar ini mungkin disebabkan
oleh cara pengukuran yang berbeda. Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo ikterus dinilai
berdasarkan kadar bilirubin serum total > 5 mg/dL; RS Dr. Sardjito menggunakan metode
spektrofotometrik pada hari ke-0, 3 dan 5 ;dan RS Dr. Kariadi menilai ikterus berdasarkan
metode visual.


5


1.2.3. Patofisiologi
Orang dengan golongan darah O memproduksi anti-A dan anti-B. Ketika ibu darah
golongan darah O hamil bayi dengan golongan darah A, B, atau AB, ada kesempatan
antibody anti-A atau anti-B akan melewati plasenta ketika dalam kehamilan atau saat lahir
dan menyebabkan inkompatibilitas ABO.
Layaknya antibody di produksi pada penyakit Rhesus, antibodi dengan
inkompatibilitas ABO menyerang sel darah merah bayi melewati plasenta. Antibodi ini bisa
menyebabkan penghancuran secara cepat sel darah merah bayi. Bilirubin diproduksi bila
tubuh mengahancurkan sel darah merah dan ketika ada percepatan pengancuran maka
produksi bilirubin juga meningkat, menyebabkan ikterik dan terkadang anemia.
Inkompatibilitas ABO akan signifikan akibatnya pada kehamilan yang pertama dan
tidak akan lebih buruk atau bahaya pada kehamilan berikutnya.
1.2.4 Diagnosis
1. Visual
Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun masih dapat digunakan
apabila tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus kulit berwarna, karena
besarnya bias penilaian. Secara evidence pemeriksaan metode visual tidak
direkomendasikan, namun apabila terdapat keterbatasan alat masih boleh digunakan untuk
tujuan skrining dan bayi dengan skrining positif segera dirujuk untuk diagnostik dan tata
laksana lebih lanjut. WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara
visual, sebagai berikut:
11

- Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya
matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan
dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.
- Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit
dan jaringan subkutan.
- Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak
kuning. (tabel 1)

2. Bilirubin Serum
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus
neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin adalah tindakan ini
merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan morbiditas
neonatus.Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin total. Sampel serum harus dilindungi dari
cahaya (dengan aluminium foil) Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk,
bila kadar bilirubin total > 20 mg/dL atau usia bayi > 2 minggu.

2. Bilirubinometer Transkutan


6

Bilirubinometer adalah instrumen spektrofotometrik yang bekerja dengan prinsip
memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya dengan panjang gelombang 450 nm.Cahaya
yang dipantulkan merupakan representasi warna kulit neonatus yang sedang
diperiksa.Pemeriksaan bilirubin transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat yang amat
dipengaruhi pigmen kulit.Saat ini, alat yang dipakai menggunakan multiwavelength spectral
reflectance yang tidak terpengaruh pigmen.3 Pemeriksaan bilirubin transkutan dilakukan
untuk tujuan skrining, bukan untuk diagnosis.Briscoe dkk.(2002) melakukan sebuah studi
observasional prospektif untuk mengetahui akurasi pemeriksaan bilirubin transkutan (JM
102) dibandingkan dengan pemeriksaan bilirubin serum (metode standar diazo). Penelitian ini
dilakukan di Inggris, melibatkan 303 bayi baru lahir dengan usia gestasi >34 minggu. Pada
penelitian ini hiperbilirubinemia dibatasi pada konsentrasi bilirubin serum >14.4 mg/dL (249
umol/l). Dari penelitian ini didapatkan bahwa pemeriksaan TcB dan Total Serum Bilirubin
(TSB) memiliki korelasi yang bermakna (n=303, r=0.76, p<0.0001), namun interval prediksi
cukup besar, sehingga TcB tidak dapat digunakan untuk mengukur TSB. Namun disebutkan
pula bahwa hasil pemeriksaan TcB dapat digunakan untuk menentukan perlu tidaknya
dilakukan pemeriksaan TSB.8 Umumnya pemeriksaan TcB dilakukan sebelum bayi pulang
untuk tujuan skrining.Hasil analisis biaya yang dilakukan oleh Suresh dkk. (2004)
menyatakan bahwa pemeriksaan bilirubin serum ataupun transkutan secara rutin sebagai
tindakan skrining sebelum bayi dipulangkan tidak efektif dari segi biaya dalam mencegah
terjadinya ensefalopati hiperbilirubin.
12


4. Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO
Bilirubin bebas secara difusi dapat melewati sawar darah otak.Hal ini menerangkan
mengapa ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin serum yang
rendah.Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar bilirubin bebas. Salah
satunya dengan metode oksidase-peroksidase. Prinsip cara ini berdasarkan kecepatan reaksi
oksidasi peroksidasi terhadap bilirubin. Bilirubin menjadi substansi tidak berwarna. Dengan
pendekatan bilirubin bebas, tata laksana ikterus neonatorum akan lebih terarah.
13

Seperti telah diketahui bahwa pada pemecahan heme dihasilkan bilirubin dan gas CO
dalam jumlah yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka pengukuran konsentrasi CO yang
dikeluarkan melalui pernapasan dapat digunakan sebagai indeks produksi bilirubin.
14


Tabel 1. Perkiraan Klinis Tingkat Keparahan Ikterus

a
Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama dan terlihat pada lengan,
tungkai, tangan dan kaki pada hari kedua, maka digolongkan sebagai ikterus sangat berat dan


7

memerlukan terapi sinar secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin
serum untuk memulai terapi sinar .

1.2.5 Tata laksana
Dari penelusuran kepustakaan didapatkan sebuah panduan klinis terbaru mengenai
tata laksana ikterus neonatorum yang dikeluarkan oleh American Association of Pediatrics
pada tahun 2004. Intisari dari panduan tersebut adalah sebagai berikut.
15





1. Ikterus Fisiologis

Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi sehat,
aktif, minum kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan terjadinya
kernikterus sangat kecil. Untuk mengatasi ikterus pada bayi yang sehat, dapat dilakukan
beberapa cara berikut:
16

- Minum ASI dini dan sering
- Terapi sinar, sesuai dengan panduan WHO
- Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan ulang dan kontrol
lebih cepat (terutama bila tampak kuning).

Bilirubin serum total 24 jam pertama > 4,5 mg/dL dapat digunakan sebagai faktor
prediksi hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada minggu pertama
kehidupannya. Hal ini kurang dapat diterapkan di Indonesia karena tidak praktis dan
membutuhkan biaya yang cukup besar.

2. Tata laksana Awal Ikterus Neonatorum7 (WHO)



8

Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat pada tabel
1.Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko berikut: berat lahir < 2,5 kg, lahir sebelum
usia kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis . Ambil contoh darah dan periksa kadar
bilirubin serum dan hemoglobin, tentukan golongan darah bayi dan lakukan tes Coombs:
- Bila kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan terapi
sinar.
- Bila kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya terapi sinar,
lakukan terapi sinar
- Bila faktor Rhesus dan golongan darah ABO bukan merupakan penyebab hemolisis
atau bila ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan uji saring G6PD bila
memungkinkan.
Tentukan diagnosis banding

3. Tata laksana Hiperbilirubinemia
Hemolitik Paling sering disebabkan oleh inkompatibilitas faktor Rhesus atau
golongan darah ABO antara bayi dan ibu atau adanya defisiensi G6PD pada bayi. Tata
laksana untuk keadaan ini berlaku untuk semua ikterus hemolitik, apapun penyebabnya.7
Bila nilai bilirubin serum memenuhi kriteria untuk dilakukannya terapi sinar, lakukan
terapi sinar . Bila rujukan untuk dilakukan transfusi tukar memungkinkan:
- Bila bilirubin serum mendekati nilai dibutuhkannya transfusi tukar (tabel 4), kadar
hemoglobin < 13 g/dL (hematokrit < 40%) dan tes Coombs positif, segera rujuk bayi.
- Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa dan tidak memungkinkan untuk dilakukan tes
Coombs, segera rujuk bayi bila ikterus telah terlihat sejak hari 1 dan hemoglobin < 13
g/dL (hematokrit < 40%).
- Bila bayi dirujuk untuk transfusi tukar:
Persiapkan transfer
Segera kirim bayi ke rumah sakit tersier atau center dengan fasilitas transfusi
tukar
Kirim contoh darah ibu dan bayi
Jelaskan kepada ibu tentang penyebab bayi menjadi kuning, mengapa perlu
dirujuk dan terapi apa yang akan diterima bayi.
Nasihati ibu: Bila penyebab ikterus adalah inkompatibilitas Rhesus, pastikan ibu
mendapatkan informasi yang cukup mengenai hal ini karena berhubungan dengan
kehamilan berikutnya.
- Bila hemoglobin < 10 g/dL (hematokrit < 30%), berikan transfusi darah.
- Bila ikterus menetap selama 2 minggu atau lebih pada bayi cukup bulan atau 3
minggu lebih lama pada bayi kecil (berat lahir < 2,5 kg atau lahir sebelum kehamilan
37 minggu), terapi sebagai ikterus berkepanjangan (prolonged jaundice).
- Follow up setelah kepulangan, periksa kadar hemoglobin setiap minggu selama 4
minggu. Bila hemoglobin < 8 g/dL (hematokrit < 24%), berikan transfusi darah.

4. Ikterus Berkepanjangan (Prolonged Jaundice) 7


9

Diagnosis ditegakkan apabila ikterus menetap hingga 2 minggu pada neonatus cukup
bulan, dan 3 minggu pada neonatus kurang bulan.Terapi sinar dihentikan, dan lakukan
pemeriksaan penunjang untuk mencari penyebab.Bila buang air besar bayi pucat atau urin
berwarna gelap, persiapkan kepindahan bayi dan rujuk ke rumah sakit tersier atau senter
khusus untuk evaluasi lebih lanjut, bila memungkinkan. Bila tes sifilis pada ibu positif,
terapi sebagai sifilis kongenital

TERAPI SINAR
Mekanisme kerja
Bilirubin tidak larut dalam air.Cara kerja terapi sinar adalah dengan mengubah
bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam air untuk dieksresikan melalui empedu atau
urin.Ketika bilirubin mengabsorbsi cahaya, terjadi reaksi fotokimia yaitu isomerisasi.Juga
terdapat konversi ireversibel menjadi isomer kimia lainnya bernama lumirubin yang dengan
cepat dibersihkan dari plasma melalui empedu.Lumirubin adalah produk terbanyak degradasi
bilirubin akibat terapi sinar pada manusia.Sejumlah kecil bilirubin plasma tak terkonyugasi
diubah oleh cahaya menjadi dipyrole yang diekskresikan lewat urin.Foto isomer bilirubin
lebih polar dibandingkan bentuk asalnya dan secara langsung bisa dieksreksikan melalui
empedu.Hanya produk foto oksidan saja yang bisa diekskresikan lewat urin.
Indikasi:
Tabel 2. Indikasi Terapi sinar Berdasarkan Kadar Bilirubin Serum
11


a) faktor risiko meliputi: bayi kecil (berat lahir < 2,5 kg atau lahir sebelum kehamilan berusia
37 minggu), hemolisis dan sepsis. b) Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada
hari pertama dan terlihat pada lengan, tungkai, tangan dan kaki pada hari kedua, maka
digolongkan sebagai ikterus sangat parah dan memerlukan terapi sinar secepatnya. Tidak
perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin serum untuk memulai terapi sinar .

Tabel 3. Indikasi Terapi Sinar Pada Bayi Berat Badan Lahir Rendah
17




Terapi sinar konvensional
Menggunakan panjang gelombang 425-475 nm.Intensitas cahaya yang biasa
digunakan adalah 6-12 watt/cm2 per nm.Cahaya diberikan pada jarak 35-50 cm di atas
bayi.Jumlah bola lampu yang digunakan berkisar antara 6-8 buah, terdiri dari biru (F20T12),


10

cahaya biru khusus (F20T12/BB) atau daylight fluorescent tubes.Cahaya biru khusus
memiliki kerugian karena dapat membuat bayi terlihat biru, walaupun pada bayi yang sehat,
hal ini secara umum tidak mengkhawatirkan.Untuk mengurangi efek ini, digunakan 4 tabung
cahaya biru khusus pada bagian tengah unit terapi sinar standar dan dua tabung daylight
fluorescent pada setiap bagian samping unit.

Teknik terapi sinar :
Persiapan Unit Terapi sinar
11

- Hangatkan ruangan tempat unit terapi sinar ditempatkan, bila perlu, sehingga suhu di
bawah lampu antara 38 0C sampai 30 0C.
- Nyalakan mesin dan pastikan semua tabung fluoresens berfungsi dengan baik.
- Ganti tabung/lampu fluoresens yang telah rusak atau berkelip-kelip (flickering):
Catat tanggal penggantian tabung dan lama penggunaan tabung tersebut.
Ganti tabung setelah 2000 jam penggunaan atau setelah 3 bulan, walaupun tabung
masih bisa berfungsi.
Gunakan linen putih pada basinet atau inkubator, dan tempatkan tirai putih di
sekitar daerah unit terapi sinar ditempatkan untuk memantulkan cahaya sebanyak
mungkin kepada bayi.

Pemberian Terapi sinar
11

Tempatkan bayi di bawah sinar terapi sinar. (Gambar 3)
- Bila berat bayi 2 kg atau lebih, tempatkan bayi dalam keadaan telanjang pada
basinet. Tempatkan bayi yang lebih kecil dalam inkubator.
- Letakkan bayi sesuai petunjuk pemakaian alat dari pabrik.
- Tutupi mata bayi dengan penutup mata, pastikan lubang hidung bayi tidak ikut
tertutup. Jangan tempelkan penutup mata dengan menggunakan selotip.

Gambar 3. Bayi dalam Unit Terapi sinar


- Balikkan bayi setiap 3 jam
- Pastikan bayi diberi makan: Motivasi ibu untuk menyusui bayinya dengan ASI ad
libitum, paling kurang setiap 3 jam:
- Selama menyusui, pindahkan bayi dari unit terapi sinar dan lepaskan penutup mata


11

- Pemberian suplemen atau mengganti ASI dengan makanan atau cairan lain (contoh:
pengganti ASI, air, air gula, dll) tidak ada gunanya.
Bila bayi menerima cairan per IV atau ASI yang telah dipompa (ASI perah),
tingkatkan volume cairan atau ASI sebanyak 10% volume total per hari (tabel 3)
selama bayi masih diterapi sinar .
Bila bayi menerima cairan per IV atau makanan melalui NGT, jangan pindahkan
bayi dari sinar terapi sinar .
Perhatikan: selama menjalani terapi sinar, konsistensi tinja bayi bisa menjadi lebih
lembek dan berwarna kuning. Keadaan ini tidak membutuhkan terapi khusus.
Teruskan terapi dan tes lain yang telah ditetapkan:
- Pindahkan bayi dari unit terapi sinar hanya untuk melakukan prosedur yang tidak bisa
dilakukan di dalam unit terapi sinar .
- Bila bayi sedang menerima oksigen, matikan sinar terapi sinar sebentar untuk
mengetahui apakah bayi mengalami sianosis sentral (lidah dan bibir biru)
- Ukur suhu bayi dan suhu udara di bawah sinar terapi sinar setiap 3 jam. Bila suhu
bayi lebih dari 37,5 0C, sesuaikan suhu ruangan atau untuk sementara pindahkan bayi
dari unit terapi sinar sampai suhu bayi antara 36,5 0C - 37,5 0C.
- Ukur kadar bilirubin serum setiap 24 jam, kecuali kasus-kasus khusus:
Hentikan terapi sinar bila kadar serum bilirubin < 13mg/dL
Bila kadar bilirubin serum mendekati jumlah indikasi transfusi tukar (tabel 4),
persiapkan kepindahan bayi dan secepat mungkin kirim bayi ke rumah sakit
tersier atau senter untuk transfusi tukar. Sertakan contoh darah ibu dan bayi.
Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa, hentikan terapi sinar setelah 3 hari.

Setelah terapi sinar dihentikan:
- Observasi bayi selama 24 jam dan ulangi pemeriksaan bilirubin serum bila
memungkinkan, atau perkirakan keparahan ikterus menggunakan metode klinis. (tabel
1)
- Bila ikterus kembali ditemukan atau bilirubin serum berada di atas nilai untuk
memulai terapi sinar , ulangi terapi sinar seperti yang telah dilakukan. Ulangi langkah
ini pada setiap penghentian terapi sinar sampai bilirubin serum dari hasil pemeriksaan
atau perkiraan melalui metode klinis berada di bawah nilai untuk memulai terapi
sinar.
Bila terapi sinar sudah tidak diperlukan lagi, bayi bisa makan dengan baik dan tidak ada
masalah lain selama perawatan, pulangkan bayi. Ajarkan ibu untuk menilai ikterus dan
beri nasihat untuk membawa kembali bayi bila bayi bertambah kuning.

Komplikasi Terapi Sinar
11

Komplikasi terapi sinar umumnya ringan, sangat jarang terjadi dan reversibel.
Tabel 4. Komplikasi terapi sinar


12





TRANFUSI TUKAR
Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah yang
dilanjutkan dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama yang dilakukan
berulang-ulang sampai sebagian besar darah penderita tertukar.
Pada hiperbilirubinemia, tindakan ini bertujuan mencegah terjadinya ensefalopati
bilirubin dengan cara mengeluarkan bilirubin indirek dari sirkulasi. Pada bayi dengan
isoimunisasi, transfusi tukar memiliki manfaat tambahan, karena membantu mengeluarkan
antibodi maternal dari sirkulasi bayi.Sehingga mencegah hemolisis lebih lanjut dan
memperbaiki anemia.

Darah Donor Untuk Tranfusi Tukar
18

1. Darah yang digunakan golongan O.
2. Gunakan darah baru (usia< 7 hari), whole blood. Kerjasama dengan dokter kandungan dan
Bank Darah adalah penting untuk persiapan kelahiran bayi yang membutuhkan tranfusi
tukar.
3. Pada penyakit hemolitik rhesus, jika darah disiapkan sebelum persalinan, harus golongan
O dengan rhesus (-), crossmatched terhadap ibu. Bila darah disiapkan setelah kelahiran,
dilakukan juga crossmatched terhadap bayi.
4. Pada inkomptabilitas ABO, darah donor harus golongan O, rhesus (-) atau rhesus yang
sama dengan ibu dan bayinya. Crossmatched terhadap ibu dan bayi yang mempunyai titer
rendah antibodi anti A dan anti B. Biasanya menggunakan eritrosit golongan O dengan
plasma AB, untuk memastikan bahwa tidak ada antibodi anti A dan anti B yang muncul.
5. Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain, darah donor tidak boleh berisi antigen
tersensitisasi dan harus di crossmatched terhadap ibu.
6. Pada hiperbilirubinemia yang nonimun, darah donor ditiping dan crossmatched terhadap
plasma dan eritrosit pasien/bayi.
7. Tranfusi tukar biasanya memakai 2 kali volume darah (2 volume exchange) ---- 160
mL/kgBB, sehingga diperoleh darah baru sekitar 87%.



13

Teknik Transfusi Tukar
a. Simple Double Volume. Push-Pull tehnique : jarum infus dipasang melalui kateter vena
umbilikalis/ vena saphena magna. Darah dikeluarkan dan dimasukkan bergantian.
b. Isovolumetric. Darah secara bersamaan dan simultan dikeluarkan melalui arteri umbilikalis
dan dimasukkan melalui vena umbilikalis dalam jumlah yang sama.
c. Partial Exchange Tranfusion. Tranfusi tukar sebagian, dilakukan biasanya pada bayi
dengan polisitemia.
Di Indonesia, untuk kedaruratan, transfusi tukar pertama menggunakan golongan darah O
rhesus positif.

Pelaksanaan tranfusi tukar:
1. Personel. Seorang dokter dan minimal 2 orang perawat untuk membantu persiapan,
pelaksanaan dan pencatatan serta pengawasan penderita.

2. Lokasi. Sebaiknya dilakukan di ruang NICU atau kamar operasi dengan penerangan dan
pengaturan suhu yang adekuat, alat monitor dan resusitasi yang lengkap serta terjaga
sterilitasnya.

3. Persiapan Alat.
a. Alat dan obat-obatan resusitasi lengkap
b. Lampu pemanas dan alat monitor
c. Perlengkapan vena seksi dengan sarung tangan dan kain penutup steril
d. Masker, tutup kepala dan gaun steril
e. Nier bekken (2 buah) dan botol kosong, penampung darah
f. Set tranfusi 2 buah
g. Kateter umbilikus ukuran 4, 5, 6 F sesuai berat lahir bayi atau abbocath
h. Three way stopcock semprit 1 mL, 5 mL, 10 mL, 20 mL, masing-masing 2 buah
i. Selang pembuangan
j. Larutan Calsium glukonas 10 %, CaCl2 10 % dan NaCl fisiologis
k. Meja tindakan

Indikasi
Hingga kini belum ada kesepakatan global mengenai kapan melakukan transfusi tukar
padahiperbilirubinemia.Indikasi transfusi tukar berdasarkan keputusan WHO tercantum
dalam tabel 5.
Tabel 5. Indikasi Transfusi Tukar Berdasarkan Kadar Bilirubin Serum
11



14


Bila transfusi tukar memungkinkan untuk dilaksanakan di tempat atau bayi bisa
dirujuk secara cepat dan aman ke fasilitas lain, dan kadar bilirubin bayi telah mencapai kadar
di atas, sertakan contoh darah ibu dan bayi.
Tabel 6. Indikasi Transfusi Tukar Pada Bayi Berat Badan Lahir Rendah
17


Keterangan: Pada penyakit hemolitik segera dilakukan tranfusi tukar apabila ada indikasi:
a. Kadar bilirubin tali pusat > 4,5 mg/dL dan kadar Hb < 11 gr/dL
b. Kadar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam walaupun sedang mendapatkan terapi sinar
c. Selama terapi sinar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam dan kadar Hb 11 13 gr/dL
d. Didapatkan anemia yang progresif walaupun kadar bilirubin dapat dikontrol secara adekuat
dengan terapi sinar

Transfusi tukar harus dihentikan apabila terjadi:
- Emboli (emboli, bekuan darah), trombosis
- Hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia
- Gangguan pembekuan karena pemakaian heparin
- Perforasi pembuluh darah

Komplikasi tranfusi tukar
- Vaskular: emboli udara atau trombus, trombosis
- Kelainan jantung: aritmia, overload, henti jantung
- Gangguan elektrolit: hipo/hiperkalsemia, hipernatremia, asidosis
- Koagulasi: trombositopenia, heparinisasi berlebih
- Infeksi: bakteremia, hepatitis virus, sitomegalik enterokolitis nekrotikan
- Lain-lain: hipotermia, hipoglikemia

Perawatan pasca tranfusi tukar
- Lanjutkan dengan terapi sinar
- Awasi ketat kemungkinan terjadinya komplikasi

Persiapan Tindakan Tranfusi Tukar 12:


15

a. Berikan penjelasan tentang tujuan dan risiko tindakan, mintakan persetujuan tertulis dari
orang tua penderita
b. Bayi jangan diberi minum 3 4 jam sebelum tindakan. Bila tranfusi harus segera
dilakukan isi lambung dikosongkan dengan sonde dan menghisapnya
c. Pasang infus dengan tetesan rumatan dan bila tali pusat telah mengering kompres dengan
NaCl fisiologis
d. Bila memungkinkan 2 jam sebelumnya berikan infus albumin terutama jika kadar albumin
< 2,5 gr/dL. Diharapkan kapasitas ikatan albumin-bilirubin di dalam darah meningkat
sebelum tranfusi tukar sehingga resiko kernikterus menurun, kecuali ada kontra indikasi
atau tranfusi tukar harus segera dilakukan
e. Pemeriksaan laboratorium pra tranfusi tukar antara lain semua elektrolit, dekstrostik, Hb,
hematokrit, retikulosit, trombosit, kadar bilirubin indirek, albumin, golongan darah,
rhesus, uji coombs direk dan indirek, kadar G6PD dan enzim eritrosit lainnya serta kultur
darah
f. Koreksi gangguan asam basa, hipoksia, dan hipotermi sebelum memulai tranfusi tukar
g. Periksa ulang apakah donor yang diminta telah sesuai dengan permintaan (cek label darah)

Jumlah Darah Donor yang Dipakai
Jika darah donor yang diberikan berturut-turut 50 mL/kgBB, 100 mL/kgBB, 150
mL/kgBB dan 200 mL/kgBB maka darah bayi yang terganti berturut-turut adalah sebagai
berikut: 45%, 70%, 85-85% dan 90%.

Pencegahan
15

Perlu dilakukan terutama bila terdapat faktor risiko seperti riwayat inkompatibilitas
ABO sebelumnya. AAP dalam rekomendasinya mengemukakan beberapa langkah
pencegahan hiperbilirubinemia sebagai berikut:
1. Primer AAP merekomendasikan pemberian ASI pada semua bayi cukup bulan dan hampir
cukup bulan yang sehat. Dokter dan paramedis harus memotivasi ibu untuk menyusukan
bayinya sedikitnya 8-12 kali sehari selama beberapa hari pertama. Rendahnya asupan
kalori dan atau keadaan dehidrasi berhubungan dengan proses menyusui dan dapat
menimbulkan ikterus neonatorum. Meningkatkan frekuensi menyusui dapat menurunkan
kecenderungan keadaan hiperbilirubinemia yang berat pada neonatus. Lingkungan yang
kondusif bagi ibu akan menjamin terjadinya proses menyusui yang baik. AAP juga
melarang pemberian cairan tambahan (air, susu botol maupun dekstrosa) pada neonatus
nondehidrasi. Pemberian cairan tambahan tidak dapat mencegah terjadinya ikterus
neonatorum maupun menurunkan kadar bilirubin serum.
2. Sekunder Dokter harus melakukan pemeriksaan sistematik pada neonatus yang memiliki
risiko tinggi ikterus neonatorum.

Pemeriksaan Golongan Darah
Semua wanita hamil harus menjalani pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus
serta menjalani skrining antibodi isoimun.Bila ibu belum pernah menjalani pemeriksaan
golongan darah selama kehamilannya, sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan


16

golongan darah dan Rhesus.Apabila golongan darah ibu adalah O dengan Rh-positif, perlu
dilakukan pemeriksaan darah tali pusat.Jika darah bayi bukan O, dapat dilakukan tes
Coombs.


































BAB II
ILUSTRASI KASUS

Nama : By VA
Usia : 2 hari


17

Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jl Tekukur no 30, Ampang, Padang
MR : 836733
Tanggal masuk : 29 juli 2013
Seorang pasien bayi perempuan usia 2 hari masuk covice RSUP Dr M Djamil Padang pada
tanggal 29 Juli 2013 pukul 16.00 WIB dengan ;
Keluhan Utama : Tampak bertambah kuning sejak 7 jam sebelum masuk rumah sakit
Riwayat Penyakit Sekarang :
- NBBLB 4200 gr, PB 53 cm, lahir vakum ekstraksi a.i. kala II memanjang, ditolong
dokter, cukup bulan, A/S 8/9, ibu baik, ketuban jernih
- Tampak kuning sejak usia 24 jam, kuning sampai wajah, makin bertambah kuning
sejak 7 jam sebelum masuk rumah sakit
- Demam tidak ada, kejang tidak ada
- Sesak nafas tidak ada, kebiruan tidak ada
- Pasien menyusu kuat kepada ibu, frekuensi 8 x/ hari, lama menyusu 15-20 menit /
kali
- Muntah tidak ada
- Pasien sebelumnya dirawat di RS Bersalin, telah dilaksanakan pemeriksaan darah
dengan hasil bilirubin total 26,08 % , bilirubin I 26,04 %, bilirubin II 0,84 %, anak
kemudian dirujuk ke RSUP DR M Djamil
Riwayat penyakit Keluarga :
- Kakak pasien juga ada riwayat kuning sejak lahir, kuning dialami selama 1 minggu,
hilang dengan setelah rutin dijemur.
Riwayat kehamilan, sosial ekonomi :
- Pemeriksaan antenatal ke bidan, tiap bulan, penyakit saat kehamilan tidak ada,
perdarahan tidak ada, demam saat hamil tidak ada, nyeri dan panas saat buang air
kecil pada akhir kehamilan tidak ada, asupan nutrisi saat hamil kuantitas dan kualitas
cukup, tidak ada mengkonsumsi obat-obatan dan merokok
- Pasien merupakan anak ke 2 dari 2 bersaudara, ibu pasien berusia 22 tahun,
pendidikan terakhir D3, pekerjaan ibu rumah tangga, ayah pasien berumur 32 tahun,
pendidikan terakhir sarjana, pekerjaan PNS.
- Rumah permanen, sumber air minum PDAM, pekarangan ada namun tidak luas,WC
di dalam rumah, sampah dijumput oleh petugas.

Pemeriksaan Fisik


18

Keadaan Umum
Kesadaran : Cukup aktif
Berat badan : 3700 gr Panjang badan : 53 cm
Frekuensi jantung : 147 x/ menit Sianosis : Tidak ada
Frekuensi nafas : 48 x / menit Ikterus : Ada
Gizi : Baik
Suhu : 37,1
o
C
Kepala ; Bentuk : Bulat, simetris
Ubun-ubun besar : 1,5 x 1,5 cm Jejas persalinan : tidak ada
Ubun-ubun kecil : 0,5 x 0,5 cm
Mata : Konjungtiva tidak anemis, perdarahan subkonjungtiva tidak ada, sclera ikterik
Telinga : Tidak ditemukan kelainan
Hidung : Nafas cuping hidung tidak ada
Mulut : Sianosis sirkum oral tidak ada
Leher : Tidak ditemukan kelainan
Thoraks : Bentuk : normochest, simetris kiri dan kanan, retraksi tidak ada
Jantung : irama teratur, bising tidak ada
Paru : bronkovesikular, Ronkhi -/-, Wheezing -/-
Abdomen : Permukaan : datar
Kondisi : lemas
Hati : x
Limpa : tidak teraba
Tali pusat : layu
Umbilikus : tidak hiperemis
Genitalia : tidak ditemukan kelainan, labia mayora menutupi labia minora
Ekstermitas : akral hangat, perfusi baik
Kulit : teraba hangat, tampak kuning hingga telapak kaki


19

Anus : ada
Tulang-tulang : tidak ditemukan kelainan
Refleks neonatal : Moro : (+) Isap : (+)
Rooting : (+) Pegang : (+)
Ukuran : Lingkar kepala : 31 cm Panjang lengan : 16 cm
Lingkar dada : 35 cm Panjang kaki : 23 cm
Lingkar perut : 32 cm Kepala-simpisis : 33 cm
Simpisis-kaki : 19 cm
Hasil laboratorium saat masuk :
Hb : 9 gr/dL
Leukosit : 13.000/mm
3

Hitung jenis : 0/1/3/27/69/0

Diagnosis Kerja
- Ikterik neonatorum grade III-IV suspek inkompatibilitas ABO
Rencana
- Coomb test
- Kultur darah
- Cek AGD, elektrolit
- Kalsium, ureum-kreatinin
- SGOT, SGPT
- Protein total, albumin, globulin
- PT-APTT
- HbsAg
- Transfusi tukar
Terapi :
Supportif : IVFD D 10%, 79 cc/kgBB/hari
Farmakoterapi : Ampicillin sulbactam 2 x 180 mg/hr IV
Gentamicin 1 x 18 mg IV



20

Follow Up
30/7/2013
Pukul 00.00 WIB
S/
- Anak masih tampak kuning hingga telapak kaki
- Demam tidak ada
- Kejang tidak ada
- Sesak tidak ada , kebiruan tidak ada
- Anak menyusu kuat pada ibu
- Muntah tidak ada
- BAB dan BAK biasa
O/ cukup aktif, HR : 142 x/ menit, RR 44 x/ menit, T : 37,2
o
C
Kulit : teraba hangat, tampak kuning hingga telapak kaki
Mata : konjungtiva tidak anemis, sclera ikterik
Thorak : normochest, retraksi tidak ada
Cor : irama teratur, bising tidak ada
Pulmo : bronkovesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen : distensi tidak ada, lemas, BU (+)N, tali pusat hitam dan layu.
Hasil labor :
Kalsium : 8,9 mg/dL
Protein total :
Albumin : 1,4 gr/dL
SGOT : 68
SGPT : 19
Ureum : 27 mg/dL
Kreatinin : 0,2 mg/dL
GDR : 81 gr/dL
Coombs test : positif
ICT : positif


21

Golongan darah ibu : O
Golongan darah anak : A
Hasil AGD ; kesan asidosis metabolic terkompensasi, hipokarbia
Bilirubin total : 21,34 mg/dL
Bilirubin I : 20, 34 mg/dL
Bilirubin II : 0,6 mg/dL
S/ rebreathing O
2
box 4L/ menit selama 4 jam
R/ cek AGD ulang
Berikan foto terapi triple bilateral internal

Pukul 07.00 WIB
S/
- Pasien sesak nafas
- Kebiruan tidak ada
- Demam tidak ada
- Kejang tidak ada
- Kuning hingga telapak kaki
- Tangis melengking tidak ada
- Sebelumnya anak masih menyusu pada ibu
- BAB dan BAK biasa
O/ Tampak sakit sedang, kurang aktif, HR : 148 x/ menit, RR: 78 x/ menit, T: 36.5
o
C
Kulit : teraba hangat, tampak kuning hingga telapak kaki
Mata : konjungtiva tidak anemis, sclera ikterik
Hidung: nafas cuping hidung ada
Thorak : normochest, retraksi di epigastrium
Cor : irama teratur, bising tidak ada
Pulmo : bronkovesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen : distensi tidak ada, lemas, BU (+)N, tali pusat hitam dan layu.
A/ Takipneu e.c. suspek pneumonia neonatorum?
Ikterik grade III-IV


22

S/ IVFD D 12,5 % 293 cc/hr 12,2 cc/jam
Aminosteril 6% 2,6 cc/jam
(2)
Ampicillin sulbactam 2 x 180 mg/hr IV
Gentamicin 1 x 18 mg IV
R/ rontgen Thoraks AP

31/7/2013
S/
- Anak tampak kuning kepala- dada
- Demam tidak ada
- Kejang tidak ada
- Sesak tidak ada , kebiruan tidak ada
- Anak menyusu kuat pada ibu
- Muntah tidak ada
- BAB dan BAK biasa
O/ cukup aktif, HR : 145 x/ menit, RR 39 x/ menit, T : 36,7
o
C
Kulit : teraba hangat, tampak kuning kepala-dada
Mata : konjungtiva tidak anemis, sclera ikterik
Thorak : normochest, retraksi tidak ada
Cor : irama teratur, bising tidak ada
Pulmo : bronkovesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen : distensi tidak ada, lemas, BU (+)N, tali pusat hitam dan layu.

S/ IVFD D 12,5 % 293 cc/hr 12,2 cc/jam
Aminosteril 6% 2,6 cc/jam
(3)
Ampicillin sulbactam 2 x 180 mg/hr IV
Gentamicin 1 x 18 mg IV





23






















LAMPIRAN


24



















DAFTAR PUSTAKA


25

1. Halamek LP., Stevenson DK. Neonatal jaundice and Liver Disease. Dalam:Neonatal-
Perinatal Medicine; Diseases of the Fetus and Infant, 6th Ed. New York Mosby-Year
Book Inc. 1997:1345-62
2. Porter ML, Dennis BL. Hyperbilirubinemia in the Term Newborn. American Family
Physician 2002. 65:599-606.
3. Dennery PA, Seidman DS, Stevenson DK. Neonatal Hyperbilirubinemia.Dalam: The
New England Journal of Medicine. 2001(8):344;581-590
4. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Hiperbilirubinemia. Dalam: Neonatology;
management. Procedures, On-Call Problems, Diseases and Drugs. New York. Lange
Medical Book/McGraw-Hill Co. 2004; 247-50.
5. American Academy of Pediatrics, Subcommittee on Hyerbilirubinemia.Management
of Hyperbilirubinemia in the Newborn Infant 35 or More Weeks of Gestation.
Pediatrics. 2004;114:297-306
6. Daud D. Peranan Enzym Glukosa 6 Fosfat Dehidrogenase Pada Sel Darah Merah.
Dalam: Simposium Nasional Nefrologi Anak IX dan Hematologi- Onkologi Anak ;
Tatalaksana Mutakhir Penyakit Ginjal dan Hematologi- Onkologi Anak. IDAI.
Surabaya, Surabaya Intelectual Club 2003: 82-88
7. Oski FA. Physiologic Jaundice. Dalam: Schaffer and Averys Disease of the
Newborn. WB Saunders Company. Philadelphia, 1991:753-757
8. Chuniaud L, Dessante M, Chantoux F, Blondeau JP, Francon J, Trivin F. Cytotoxicity
of bilirubin for human fibroblasts and rat astrocytes in culture: effect of the ratio of
bilirubin to serum albumin. Clin Chim Acta 1996;256:103-114.
9. Suradi R, Situmeang EH, Tambunan T. The association of neonatal jaundice and
breast-feeding. Paedatr Indones 2001;41:69-75
10. Laporan RS Dr. Kariadi Semarang
11. Managing newborn problems:a guide for doctors, nurses, and midwives. Departement
of Reproductive Health and Research, World Health Organization, Geneva 2003.
12. Suresh GK, Clark RE. Cost-effectiveness of strategies that are intended to prevent
kernicterus in newborn infants. Pediatrics 2004;114:917-24.
13. Surjono A. Hiperbilirubinemia pada neonatus:pendekatan kadar bilirubin bebas.
Berkala Ilmu Kedokteran 1995;27:43-6.
14. Dennery PA, Seidman DS, Stevenson DK. Neonatal hyperbilirubinemia. N Engl J
Med 2001;344:581-90.
15. American Academy of Pediatrics. Clinical Practice Guideline. Management of
hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics
2004;114:297-316.
16. Masukan berdasarkan hasil rapat tim ahli HTA Indonesia.
17. Martin CR, Cloherty JP. Neonatal Hyperbilirubinemia. In: Cloherty JP, Eichenwald
EC, Stark AR, editors. Manual of Neonatal Care, 5th edition. Philadelphia, Lippincott
Williams and Wilkins;2004,185-222.

Anda mungkin juga menyukai