Anda di halaman 1dari 9

2.

2 Etiologi Sindrom Koroner Akut (SKA)


Rilantono (1996) mengatakan sumber masalah sesungguhnya hanya terletak pada penyempitan
pembuluh darah jantung (vasokonstriksi). Penyempitan ini diakibatkan oleh empat hal, meliputi:
a. Adanya timbunan-lemak (aterosklerosis) dalam pembuluh darah akibat konsumsi kolesterol tinggi.
b. Sumbatan (trombosis) oleh sel beku darah (trombus).
c. Vasokonstriksi atau penyempitan pembuluh darah akibat kejang yang terus menerus.
d. Infeksi pada pembuluh darah.
Wasid (2007) menambahkan mulai terjadinya Sindrom Koroner Akut (SKA) dipengaruhi oleh beberapa
keadaan, yakni:
a Aktivitas/latihan fisik yang berlebihan (tak terkondisikan)
b Stress emosi, terkejut
c Udara dingin, keadaan-keadaan tersebut ada hubungannya dengan peningkatan aktivitas simpatis
sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi debar jantung meningkat, dan kontraktilitas jantung
meningkat.

2.3 Klasifikasi Sindrom Koroner Akut (SKA)
Wasid (2007) mengatakan berat/ ringannya Sindrom Koroner Akut (SKA) menurut Braunwald (1993)
adalah:
a. Kelas I: Serangan baru, yaitu kurang dari 2 bulan progresif, berat, dengan nyeri pada waktu istirahat,
atau aktivitas sangat ringan, terjadi >2 kali per hari.
b. Kelas II: Sub-akut, yakni sakit dada antara 48 jam sampai dengan 1 bulan pada waktu istirahat.
c. Kelas III: Akut, yakni kurang dari 48 jam.
Secara Klinis:
a. Klas A: Sekunder, dicetuskan oleh hal-hal di luar koroner, seperti anemia, infeksi, demam, hipotensi,
takiaritmi, tirotoksikosis, dan hipoksia karena gagal napas.
b. Kelas B: Primer.
c. Klas C: Setelah infark (dalam 2 minggu IMA). Belum pernah diobati. Dengan anti angina (penghambat
beta adrenergik, nitrat, dan antagonis kalsium ) Antiangina dan nitrogliserin intravena.

2.4 Patofisiologi Sindrom Koroner Akut (SKA)
Rilantono (1996) mengatakan Sindrom Koroner Akut (SKA) dimulai dengan adanya ruptur plak arteri
koroner, aktivasi kaskade pembekuan dan platelet, pembentukan trombus, serta aliran darah koroner
yang mendadak berkurang. Hal ini terjadi pada plak koroner yang kaya lipid dengan fibrous cap yang
tipis (vulnerable plaque). Ini disebut fase plaque disruption disrupsi plak. Setelah plak mengalami
ruptur maka faktor jaringan (tissue factor) dikeluarkan dan bersama faktor VIIa membentuk tissue factor
VIIa complex mengaktifkan faktor X menjadi faktor Xa sebagai penyebab terjadinya produksi trombin
yang banyak. Adanya adesi platelet, aktivasi, dan agregasi, menyebabkan pembentukan trombus arteri
koroner. Ini disebut fase acute thrombosis trombosis akut. Proses inflamasi yang melibatkan aktivasi
makrofage dan sel T limfosit, proteinase, dan sitokin, menyokong terjadinya ruptur plak serta trombosis
tersebut. Sel inflamasi tersebut bertanggung jawab terhadap destabilisasi plak melalui perubahan dalam
antiadesif dan antikoagulan menjadi prokoagulan sel endotelial, yang menghasilkan faktor jaringan
dalam monosit sehingga menyebabkan ruptur plak. Oleh karena itu, adanya leukositosis dan
peningkatan kadar CRP merupakan petanda inflamasi pada kejadian koroner akut (IMA) dan mempunyai
nilai prognostic. Pada 15% pasien IMA didapatkan kenaikan CRP meskipun troponin-T negatif.
Endotelium mempunyai peranan homeostasis vaskular yang memproduksi berbagai zat vasokonstriktor
maupun vasodilator lokal. Jika mengalami aterosklerosis maka segera terjadi disfungsi endotel (bahkan
sebelum terjadinya plak). Disfungsi endotel ini dapat disebabkan meningkatnya inaktivasi nitrit oksid
(NO) oleh beberapa spesies oksigen reaktif, yakni xanthine oxidase, NADH/ NADPH (nicotinamide
adenine dinucleotide phosphate oxidase), dan endothelial cell Nitric Oxide Synthase (eNOS). Oksigen
reaktif ini dianggap dapat terjadi pada hiperkolesterolemia, diabetes, aterosklerosis, perokok,
hipertensi, dan gagal jantung. Diduga masih ada beberapa enzim yang terlibat dalam produk radikal
pada dinding pembuluh darah, misalnya lipooxygenases dan P450-monooxygenases. Angiotensin II juga
merupakan aktivator NADPH oxidase yang poten. Ia dapat meningkatkan inflamasi dinding pembuluh
darah melalui pengerahan makrofage yang menghasilkan monocyte chemoattractan protein-1 dari
dinding pembuluh darah sebagai aterogenesis yang esensial.
Fase selanjutnya ialah terjadinya vasokonstriksi arteri koroner akibat disfungsi endotel ringan dekat lesi
atau respons terhadap lesi itu. Pada keadaan disfungsi endotel, faktor konstriktor lebih dominan (yakni
endotelin-1, tromboksan A2, dan prostaglandin H2) daripada faktor relaksator (yakni nitrit oksid dan
prostasiklin). Nitrit Oksid secara langsung menghambat proliferasi sel otot polos dan migrasi, adesi
leukosit ke endotel, serta agregasi platelet dan sebagai proatherogenic. Melalui efek melawan, TXA2
juga menghambat agregasi platelet dan menurunkan kontraktilitas miokard, dilatasi koroner, menekan
fibrilasi ventrikel, dan luasnya infark. Sindrom koroner akut yang diteliti secara angiografi 6070%
menunjukkan obstruksi plak aterosklerosis yang ringan sampai dengan moderat, dan terjadi disrupsi
plak karena beberapa hal, yakni tipis - tebalnya fibrous cap yang menutupi inti lemak, adanya inflamasi
pada kapsul, dan hemodinamik stress mekanik. Adapun mulai terjadinya sindrom koroner akut,
khususnya IMA, dipengaruhi oleh beberapa keadaan, yakni aktivitas/ latihan fisik yang berlebihan (tak
terkondisikan), stress emosi, terkejut, udara dingin, waktu dari suatu siklus harian (pagi hari), dan hari
dari suatu mingguan (Senin). Keadaan-keadaan tersebut ada hubungannya dengan peningkatan aktivitas
simpatis sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi debar jantung meningkat, kontraktilitas jantung
meningkat, dan aliran koroner juga meningkat. Dari mekanisme inilah beta blocker mendapat tempat
sebagai pencegahan dan terapi.

2.5 Manifestasi Sindrom Koroner Akut (SKA)
Rilantono (1996) mengatakan gejala sindrom koroner akut berupa keluhan nyeri ditengah dada, seperti:
rasa ditekan, rasa diremas-remas, menjalar ke leher,lengan kiri dan kanan, serta ulu hati, rasa terbakar
dengan sesak napas dan keringat dingin, dan keluhan nyeri ini bisa merambat ke kedua rahang gigi
kanan atau kiri, bahu,serta punggung. Lebih spesifik, ada juga yang disertai kembung pada ulu hati
seperti masuk angin atau maag.
Tapan (2002) menambahkan gejala kliniknya meliputi:
a. Terbentuknya thrombus yang menyebabkan darah sukar mengalir ke otot jantung dan daerah yang
diperdarahi menjadi terancam mati .
b. Rasa nyeri, rasa terjepit, kram, rasa berat atau rasa terbakar di dada (angina). Lokasi nyeri biasanya
berada di sisi tengah atau kiri dada dan berlangsung selama lebih dari 20 menit. Rasa nyeri ini dapat
menjalar ke rahang bawah, leher, bahu dan lengan serta ke punggung. Nyeri dapat timbul pada waktu
istirahat. Nyeri ini dapat pula timbul pada penderita yang sebelumnya belum pernah mengalami hal ini
atau pada penderita yang pernah mengalami angina, namun pada kali ini pola serangannya menjadi
lebih berat atau lebih sering.
c. Selain gejala-gejala yang khas di atas, bisa juga terjadi penderita hanya mengeluh seolah
pencernaannya terganggu atau hanya berupa nyeri yang terasa di ulu hati. Keluhan di atas dapat disertai
dengan sesak, muntah atau keringat dingin.



2.6 Pemeriksaan Diagnostik Sindrom Koroner Akut (SKA)
Wasid (2007) mengatakan cara mendiagnosis IMA, ada 3 komponen yang harus ditemukan, yakni:
a. Sakit dada
b. Perubahan EKG, berupa gambaran STEMI/ NSTEMI dengan atau tanpa gelombang Q patologik
c. Peningkatan enzim jantung (paling sedikit 1,5 kali nilai batas atas normal), terutama CKMB dan
troponin-T /I, dimana troponin lebih spesifik untuk nekrosis miokard. Nilai normal troponin ialah 0,1--0,2
ng/dl, dan dianggap positif bila > 0,2 ng/dl.

2.7 Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut (SKA)
Rilantono (1996) mengatakan tahap awal dan cepat pengobatan pasien sindrom koroner akut (SKA)
adalah:
a. Oksigenasi: Langkah ini segera dilakukan karena dapat membatasi kekurangan oksigen pada miokard
yang mengalami cedera serta menurunkan beratnya ST-elevasi. Ini dilakukan sampai dengan pasien
stabil dengan level oksigen 23 liter/ menit secara kanul hidung.
b. Nitrogliserin (NTG): digunakan pada pasien yang tidak hipotensi. Mula-mula secara sublingual (SL) (0,3
0,6 mg ), atau aerosol spray. Jika sakit dada tetap ada setelah 3x NTG setiap 5 menit dilanjutkan
dengan drip intravena 510 ug/menit (jangan lebih 200 ug/menit ) dan tekanan darah sistolik jangan
kurang dari 100 mmHg. Manfaatnya ialah memperbaiki pengiriman oksigen ke miokard; menurunkan
kebutuhan oksigen di miokard; menurunkan beban awal (preload) sehingga mengubah tegangan dinding
ventrikel; dilatasi arteri koroner besar dan memperbaiki aliran kolateral; serta menghambat agregasi
platelet (masih menjadi pertanyaan).
c. Morphine: Obat ini bermanfaat untuk mengurangi kecemasan dan kegelisahan; mengurangi rasa sakit
akibat iskemia; meningkatkan venous capacitance; menurunkan tahanan pembuluh sistemik; serta nadi
menurun dan tekanan darah juga menurun, sehingga preload dan after load menurun, beban miokard
berkurang, pasien tenang tidak kesakitan. Dosis 2 4 mg intravena sambil memperhatikan efek samping
mual, bradikardi, dan depresi pernapasan
d. Aspirin: harus diberikan kepada semua pasien sindrom koroner akut jika tidak ada kontraindikasi
(ulkus gaster, asma bronkial). Efeknya ialah menghambat siklooksigenase 1 dalam platelet dan
mencegah pembentukan tromboksan-A2. Kedua hal tersebut menyebabkan agregasi platelet dan
konstriksi arterial.
e. Penelitian ISIS-2 (International Study of Infarct Survival) menyatakan bahwa Aspirin menurunkan
mortalitas sebanyak 19%, sedangkan "The Antiplatelet Trialists Colaboration" melaporkan adanya
penurunan kejadian vaskular IMA risiko tinggi dari 14% menjadi 10% dan nonfatal IMA sebesar 30%.
Dosis yang dianjurkan ialah 160325 mg perhari, dan absorpsinya lebih baik "chewable" dari pada
tablet, terutama pada stadium awal 3,4. Aspirin suppositoria (325 mg) dapat diberikan pada pasien yang
mual atau muntah 4. Aspirin boleh diberikan bersama atau setelah pemberian GPIIb/IIIa-I atau UFH
(unfractioned heparin). Ternyata efektif dalam menurunkan kematian, infark miokard, dan berulangnya
angina pectoris.
f. Antitrombolitik lain: Clopidogrel, Ticlopidine: derivat tinopiridin ini menghambat agregasi platelet,
memperpanjang waktu perdarahan, dan menurunkan viskositas darah dengan cara menghambat aksi
ADP (adenosine diphosphate) pada reseptor platelet., sehingga menurunkan kejadian iskemi. Ticlopidin
bermakna dalam menurunkan 46% kematian vaskular dan nonfatal infark miokard. Dapat dikombinasi
dengan Aspirin untuk prevensi trombosis dan iskemia berulang pada pasien yang telah mengalami
implantasi stent koroner. Pada pemasangan stent koroner dapat memicu terjadinya trombosis, tetapi
dapat dicegah dengan pemberian Aspirin dosis rendah (100 mg/hari) bersama Ticlopidine 2x 250
mg/hari. Colombo dkk. memperoleh hasil yang baik dengan menurunnya risiko trombosis tersebut dari
4,5% menjadi 1,3%, dan menurunnya komplikasi perdarahan dari 1016% menjadi 0,25,5%21. Namun,
perlu diamati efek samping netropenia dan trombositopenia (meskipun jarang) sampai dengan dapat
terjadi purpura trombotik trombositopenia sehingga perlu evaluasi hitung sel darah lengkap pada
minggu II III. Clopidogrel sama efektifnya dengan Ticlopidine bila dikombinasi dengan Aspirin, namun
tidak ada korelasi dengan netropenia dan lebih rendah komplikasi gastrointestinalnya bila dibanding
Aspirin, meskipun tidak terlepas dari adanya risiko perdarahan. Didapatkan setiap 1.000 pasien SKA yang
diberikan Clopidogrel, 6 orang membutuhkan tranfusi darah 17,22. Clopidogrel 1 x 75 mg/hari peroral,
cepat diabsorbsi dan mulai beraksi sebagai antiplatelet agregasi dalam 2 jam setelah pemberian obat
dan 4060% inhibisi dicapai dalam 37 hari. Penelitian CAPRIE (Clopidogrel vs ASA in Patients at Risk of
Ischemic Events ) menyimpulkan bahwa Clopidogrel secara bermakna lebih efektif daripada ASA untuk
pencegahan kejadian iskemi pembuluh darah (IMA, stroke) pada aterosklerosis (Product Monograph
New Plavix).

Rilantono (1996) menambahkan penanganan Sindrom Koroner Akut (SKA) meliputi:
a Heparin: Obat ini sudah mulai ditinggalkan karena ada preparat-preparat baru yang lebih aman (tanpa
efek samping trombositopenia) dan lebih mudah pemantauannya (tanpa aPTT). Heparin mempunyai
efek menghambat tidak langsung pada pembentukan trombin, namun dapat merangsang aktivasi
platelet. Dosis UFH yang dianjurkan terakhir (1999) ialah 60 ug/kg bolus, dilanjutkan dengan infus 12
ug/kg/jam maksimum bolus , yaitu 4.000 ug/kg, dan infus 1.000 ug/jam untuk pasien dengan berat
badan < 70 kg.
b Low Molecular Heparin Weight Heparin ( LMWH): Diberikan pada APTS atau NSTEMI dengan risiko
tinggi. LMWH mempunyai kelebihan dibanding dengan UFH, yaitu mempunyai waktu paruh lebih lama;
high bioavailability; dose independent clearance; mempunyai tahanan yang tinggi untuk menghambat
aktivasi platelet; tidak mengaktivasi platelet; menurunkan faktor von Willebrand; kejadian
trombositopenia sangat rendah; tidak perlu pemantauan aPTT ; rasio antifaktor Xa / IIa lebih tinggi; lebih
banyak menghambat alur faktor jaringan; dan lebih besar efek hambatan dalam pembentukan trombi
dan aktivitasnya. Termasuk dalam preparat ini ialah Dalteparin, Enoxaparin, dan Fraxi-parin. Dosis
Fraxiparin untuk APTS dan NQMCI: 86 iu antiXa/kg intravena bersama Aspirin (maksimum 325 mg)
kemudian 85 iu antiXa/kg subkutan selama 6 hari: 2 x tiap 12 jam (Technical Brochure of Fraxiparin .
Sanofi Synthelabo).
c Warfarin: Antikoagulan peroral dapat diberikan dengan pemikiran bahwa pengobatan jangka panjang
dapat memperoleh efek antikoagulan secara dini. Tak ada perbedaan antara pemberian Warfarin plus
Aspirin dengan Aspirin saja (CHAMP Study, CARS Trial) sehingga tak dianjurkan pemberian kombinasi
Warfarin dengan Asparin.
d Glycoprotein IIb/IIIa Inhibitor (GPIIb/IIIa-I): obat ini perlu diberikan pada NSTEMI SKA dengan risiko
tinggi, terutama hubungannya dengan intervensi koroner perkutan (IKP). Pada STEMI, bila diberikan
bersama trombolitik akan meningkatkan efek reperfusi (studi GUSTO V dan ASSENT-3). GUSTO V
membandingkan Reteplase dengan Reteplase dan Abciximab (GPIIb/IIIa-I) pada IMA, sedangkan
ASSENT3 membandingkan antara Tenecteplase kombinasi dengan Enoxaparin atau Abciximab dengan
Tenecteplase kombinasi UFH pada IMA , yang ternyata tak ada perbedaan pada mortalitas 4. Efek
GPIIb/IIIa-I ialah menghambat agregasi platelet tersebut dan cukup kuat terhadap semua tipe stimulan
seperti trombin, ADP, kolagen, dan serotonin 17. Ada 3 perparat, yaitu Abciximab, Tirofiban, dan
Eptifibatide yang diberikan secara intravena. Ada juga secara peroral, yakni Orbofiban, Sibrafiban, dan
Ximilofiban. GPIIb/IIIa-I secara intravena jelas menurunkan kejadian koroner dengan segera, namun
pemberian peroral jangka lama tidak menguntungkan, bahkan dapat meningkatkan mortalitas. Secara
invitro, obat ini lebih kuat daripada Aspirin dan dapat digunakan untuk mengurangi akibat disrupsi plak.
Banyak penelitian besar telah dilakukan, baik GPIIb/IIIa-I sendiri maupun kombinasi dengan Aspirin,
Heparin, maupun pada saat tindakan angioplasti dengan hasil cukup baik. Namun, tetap perlu diamati
komplikasi perdarahannya dengan menghitung jumlah platelet (trombositopenia) meskipun ditemukan
tidak serius. Disebut trombositopenia berat bila jumlah platelet < 50.000 ml 4,17,26. Dasgupta dkk.
(2000) meneliti efek trombositopenia yang terjadi pada Abciximab tetapi tidak terjadi pada Eptifibatide
atau Tirofiban dengan sebab yang belum jelas. Diduga karena Abciximab menyebabkan respons antibodi
yang merangsang kombinasi platelet meningkat dan menyokong terjadinya trombositopenia. Penelitian
TARGET menunjukkan superioritas Abciximab dibanding Agrastat dan tidak ada perbedaan antara
intergillin dengan derivat yang lain. Penelitian ESPRIT memprogram untuk persiapan IKP, ternyata hanya
nenguntungkan pada grup APTS.
e Direct Trombin Inhibitors: Hirudin, yaitu suatu antikoagulan yang berisi 65 asam amino polipeptida
yang mengikat langsung trombin. GUSTO IIb telah mencoba terapi terhadap 12.142 pasien APTS/NSTEMI
dan STEMI, namun tidak menunjukan perbedaan yang bermakna terhadap mortalitas 17,28.
f Trombolitik: dengan trombolitik pada STEMI dan left bundle branch block (LBBB) baru, dapat
menurunkan mortalitas dalam waktu pendek sebesar 18% 29, namun tidak menguntungkan bagi kasus
APTS dan NSTEMI. Walaupun tissue plasminogen activator (t-PA) kombinasi dengan Aspirin dan dosis
penuh UFH adalah superior dari Streptokinase, hanya 54% pasien mencapai aliran normal pada daerah
infark selama 90 menit 30,31,32,33. Trombolitik terbaru yang diharapkan dapat memperbaiki patensi
arteri koroner dan mortalitas ialah Reteplase (r-PA) dan Tenecteplase (TNK-t-PA), karena mempunyai
waktu paruh lebih panjang daripada t-PA. Namun, ada 2 penelitian besar membandingkan t-PA dengan
r-PA plus TNK-t-PA, namun ternyata tidak ada perbedaan dan risiko perdarahannya sama saja.
g Kateterisasi Jantung: selain pengunaan obat-obatan, teknik kateterisasi jantung saat ini juga semakin
maju. Tindakan memperdarahi (melalui pembuluh darah) daerah yang kekurangan atau bahkan tidak
memperoleh darah bisa dilaksanakan dengan membuka sumbatan pembuluh darah koroner dengan
balon dan lalu dipasang alat yang disebut stent.Dengan demikian aliran darah akan dengan segera dapat
kembali mengalir menjadi normal.



Web Of Causation Sindrom Koroner Akut (SKA)








2.8 Asuhan Keperawatan Klien dengan Sindrom Koroner Akut (SKA)
a. Pengkajian:
1) Identitas klien (umumnya jenis kelamin laki-laki dan usia > 50 tahun)
2) Keluhan (nyeri dada, Klien mengeluh nyeri ketika beristirahat , terasa panas, di dada retro sternal
menyebar ke lengan kiri dan punggung kiri, skala nyeri 8 (skala 1-10), nyeri berlangsung 10 menit)
3) Riwayat penyakit sekarang (Klien mengeluh nyeri ketika beristirahat , terasa panas, di dada retro
sternal menyebar ke lengan kiri dan punggung kiri, skala nyeri 8 (skala 1-10), nyeri berlangsung 10
menit)
4) Riwayat penyakit sebelumnya (DM, hipertensi, kebiasaan merokok, pekerjaan, stress), dan Riwayat
penyakit keluarga (jantung, DM, hipertensi, ginjal).

b. Pemeriksaan Penunjang:
1) Perubahan EKG (berupa gambaran STEMI/ NSTEMI dengan atau tanpa gelombang Q patologik)
2) Enzim jantung (meningkat paling sedikit 1,5 kali nilai batas atas normal, terutama CKMB dan troponin-
T /I, dimana troponin lebih spesifik untuk nekrosis miokard. Nilai normal troponin ialah 0,1--0,2 ng/dl,
dan dianggap positif bila > 0,2 ng/dl).

c. Pemeriksaan Fisik
1) B1: dispneu (+), diberikan O2 tambahan
2) B2: suara jantung murmur (+), chest pain (+), crt 2 dtk, akral dingin
3) B3: pupil isokor, reflek cahaya (+), reflek fisiologis (+)
4) B4: oliguri
5) B5: penurunan nafsu makan, mual (-), muntah (-)
6) B6: tidak ada masalah

d. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi Keperawatan
Masalah Keperawatan Intervensi
1. Chest Pain b.d. penurunan suplay oksigen ke miokard sekunder terhadap IMA

Tujuan :
Klien dapat beradaptasi dengan nyeri setelah mendapat perawatan 1x24 jam
Nyeri berkurang setelah intervensi selama 10 menit

Kriteria hasil :
a. Skala nyeri berkurang
b. Klien mengatakan keluhan nyeri berkurang
c. Klien tampak lebih tenang 1. Anjurkan klien untuk istirahat
(R: istirahat akan memberikan ketenangan sebagai salah satu relaksasi klien sehingga rasa nyeri yang
dirasakan berkurang, selain itu dengan beristirahat akan mengurangi O2 demand sehingga jantung tidak
berkontraksi melebihi kemampuannya)
2. Motivasi teknik relaksasi nafas dalam
(R: relaksasi napas dalam adalah salah satu teknik relaks dan distraksi, kondisi relaks akan menstimulus
hormon endorfin yang memicu mood ketenangan bagi klien)
3. Kolaborasi analgesik ASA 1 x 100 mg
(R: Analgesik akan mengeblok nosireseptor, sehingga respon nyeri klien berkurang)
4. Evaluasi perubahan klien: Nadi, TD, RR, skala nyeri, dan klinis
(R: mengevaluasi terapi yang sudah diberikan
Masalah Keperawatan Intervensi
2. Penurunan curah jantung
Tujuan: Curah jantung meningkat setelah untervensi selama 1 jam

Kriteria hasil :
a. TD normal, 100/80 -140/90
b. Nadi kuat, reguler 1. Berikan posisi kepala (> tinggi dari ekstrimitas)
(R: posisi kepala lebih tinggi dari ekstremitas (30 o) memperlancar aliran darah balik ke jantung,
sehingga menghindari bendungan vena jugular, dan beban jantung tidak bertambah berat)
2. Motivasi klien untuk istirahat (bed rest)
(R: beristirahat akan mengurangi O2 demand sehingga jantung tidak berkontraksi melebihi
kemampuannya)
3. Berikan masker non reservoir 8 lt/mnt
(R: pemberian oksigen akan membantu dalam memenuhi kebutuhan oksigen dalam tubuh)
4. Kolaborasi medikasi: Pemberian vasodilator captopril, ISDN, Pemberian duretik furosemid
(R: vasodilator dan diuretic bertujuan untuk mengurangi beban jantung dengan cara menurunkan
preload dan afterload)
5. Evaluasi perubahan: TD, nadi, dan klinis
(R: mengevaluasi terapi yang sudah diberikan dan sebagai perbaikan intervensi selanjutnya)
Masalah Keperawatan Intervensi
3. Gangguan keseimbangan elektrolit : hipokalemia

Tujuan : Terjadi keseimbangan elektrolit setelah intervensi 1 jam

Kriteria hasil :
a TD normal (100/80 140/90 mmHg)
b Nadi kuat
c Klien mengatakan kelelahan berkurang
d Nilai K normal (3,8 5,0 mmmo/L) 1. Pantau TD dan nadi lebih intensif
(R: penurunan Kalium dalam darah berpengaruh pada kontraksi jantung, dan hal ini mempengaruhi Td
dan nadi klien, sehingga dengan memantau lebih intensif akan lebih waspada)
2. Anjurkan klien untuk istirahat
(R: beristirahat akan mengurangi O2 demand sehingga jantung tidak berkontraksi melebihi
kemampuannya)
3. Kolaborasi pemberian kalium : Kcl 15 mEq di oplos dengan RL (500 cc/24 jam) dan Pantau kecepatan
pemberian kalium IV
(R: koreksi Kalium akan membantu menaikkan kadar Kalium dalam darah)
4. Evaluasi perubahan klien: TD, nadi, serum elektrolit, dan klinis
(R: untuk mengevaluasi terapi yang sudah diberikan dan untuk program intervensi selanjutnya)

Daftar Pustaka
Andra. (2006). Sindrom Koroner Akut: Pendekatan Invasif Dini atau Konservatif. http://www.majalah-
farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=197. Diakses di Surabaya, tanggal 30 September 2010: Jam
19.01 WIB

Carpenito. (1998). Diagnosa Keperawata: Aplikasi Pada Praktek Klinis. Edisi VI. Jakarta: EGC

Rilantono, dkk. (1996). Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
8. Penatalaksanaan Medik
a. Pasien dianjurkan istirahat total
b. Pasien puasa 4-6 jam, setelah pasien tidak ada keluhan nyeri dada dapat diit cair
c. Pasang iv line dan infuse untuk pemberian obat-obatan intra vena
Atasi nyeri, dengan :
Morfin 2.5-5 mg iv atau pethidine 25-50 mg
Lain-lain : Nitrat, Calsium antagonis, dan Beta bloker
d. Oksigen 2-4 liter/menit
e. Sedatif sedang seperti Diazepam per oral.
f. Antitrombotik
Antikoagulan ( Unfractional Heparin/ golongan Heparin atau Low Molecul Weight Heparin/
golongan Fraxiparin)
Antiplatelet ( golongan Clopidogrel, Aspirin)
g. Streptokinase/ Trombolitik ( Pada pasien dengan Acute STEMI onset <3 jam)
h. Primary PCI ( Pada pasien dengan Acute STEMI onset > 3 jam
TANDA dan GEJALA
1. Mual;
2. Muntah;
3. Sesak napas;
4. Tiba tiba berkeringat, berat (diaforesis)
5. Nyeri di tempat lain di tubuh, seperti lengan atas kiri atau rahang (nyeri alih);
6. Nyeri dada (angina) yang terasa seperti terbakar, tekanan atau sesak dan berlangsung beberapa
menit atau lebih lama.

Anda mungkin juga menyukai