Anda di halaman 1dari 18

1

BAB I
PENDAHULUAN


Keseimbangan hormon penting untuk menjaga fungsi tubuh agar tetap normal. Jika
terganggu, akan terjadi masalah kesehatan, termasuk struma. Fungsi kelenjar gondok yang
membesar dan metabolisme tubuh yang meningkat (hipermetabolisme) juga terkadang
disertai kelelahan, jari-jari gemetar atau tremor dan mata menonjol. Terjadinya struma terkait
kelainan yang menyerang kelenjar tiroid yang letaknya di depan leher di bawah jakun.
Kelenjar ini menghasilkan hormon tiroid yang fungsinya mengendalikan kecepatan
metabolisme tubuh seseorang. Jika kelenjar kurang aktif memproduksi hormon, terjadilah
defisiensi hormon. Begitu juga jika terlalu aktif, hormon yang dihasilkan akan berlebihan.
Dua kondisi ketidaknormalan ini memicu perbesaran kelenjar yang hasil akhirnya antara lain
penyakit gondok (struma endemik).

Dampak struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar tiroid yang dapat
mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya. Struma dapat membesar kearah dalam
sehingga mendorong trakea, esophagus dan pita suara yang akan mengakibatkan terjadinya
obstruksi saluran napas dan disfagia. Hal tersebut akan berdampak terhadap gangguan
oksigenasi, nutrisi, cairan dan elektrolit. Bila pembesaran kearah luar maka akan terjadi
perubahan bentuk leher yang membesar simetris maupun asimetris.

Dilaporkan pada tahun 2009, di Amerika Serikat ditemukan kasus Goiter pada lebih dari
250.000 pasien. Menurut WHO, Indonesia sendiri merupakan negara yang dikategorikan
endemis kejadian goiter. Penyakit ini dominan terjadi pada perempuan dibandingkan laki-
laki. Umumnya 95% kasus Gondok bersifat jinak (benigna), sisanya 5% kasus kemungkinan
bersifat ganas (maligna).






2

BAB II
PEMBAHASAN



DEFINISI

Struma atau yang disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher karena
pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid yang dapat berupa gangguan fungsi
atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya. Pembesaran dapat bersifat difus, yang
berarti bahwa seluruh kelenjar tiroid membesar atau nodusa yang berarti bahawa terdapat
nodul dalam kelenjar tiroid.

ANATOMI TIROID

Kelenjar tiroid/gondok terletak di bagian bawah leher, kelenjar ini terdiri dari dua lobus yang
dihubungkan oleh istmus. Masing-masing lobus berbetuk lonjong berukuran panjang 2,5-5
cm, lebar 1,5 cm, tebal 1-1,5 cm dan berkisar 10-20 gram.
Secara mikroskopis terdiri atas banyak folikel yang berbentuk bundar dengan diameter antara
50-500 m. Dinding folikel terdiri dari selapis sel epitel tunggal dengan puncak menghadap
ke dalam lumen, sedangkan basisnya menghadap ke arah membran basalis. Folikel ini
berkelompok sebanyak kira-kira 40 buah untuk membentuk lobulus yang mendapat
vaskularisasi dari end entry. Setiap folikel berisi cairan pekat, koloid sebagian besar terdiri
atas protein, khususnya protein tyroglobulin
Vaskularisasi kelenjar tyroid berasal dari a. Thyroidea Superior (cabang dari a. Karotis
Eksterna) dan a. Thyroidea Inferior (cabang a. Subklavia). Setiap folikel lymfoid diselubungi
oleh jala-jala kapiler, dan jala-jala limfatik, sedangkan sistem venanya berasal dari pleksus
perifolikular.
Nodus Limfatikus thyroid berhubungan secara bebas dengan pleksus trakhealis yang
kemudian ke arah nodus pre laring yang berada tepat di atas istmus, dan ke nl. Pretrakhealis
dan nl. Paratrakhealis, sebagian lagi bermuara ke nl. Brakhiosefalika dan ada yang langsung
ke duktus thoraksikus. Hubungan ini penting untuk menduga penyebaran keganasan.


3




FISIOLOGI HORMON TIROID

Tahap pertama pembentukan hormon tiroid adalah pompa iodida dari darah ke dalam sel dan
folikel kelenjar tiroid. Membran basal sel tiroid memompakan iodida masuk ke dalam sel
yang disebut dengan penjeratan iodida (iodide trapping). Sel-sel tiroid kemudian membentuk
dan mensekresikan tiroglobulin dari asam amino tirosin. Tahap berikutnya adalah oksidasi
ion iodida menjadi I
2
oleh enzim peroksidase. Selanjutnya terjadi iodinasi tirosin menjadi
monoiodotirosin, diiodotirosin, dan kemudian menjadi T
4
dan T
3
yang diatur oleh enzim
iodinase. Kemudian, hormon tiroid yang telah terbentuk ini disimpan di dalam folikel sel
dalam jumlah yang cukup untuk dua hingga tiga bulan. Kemudian, T
4
dan T
3
yang bebas ini
dapat berdifusi ke pembuluh kapiler di sekitar sel-sel tiroid. Keduanya diangkut dengan
menggunakan protein plasma. Karena mempunyai afinitas yang besar terhadap protein
plasma, hormon tiroid, khususnya tiroksin, sangat lambat dilepaskan ke jaringan. Kira-kira
tiga perempat dari tirosin yang teriodinasi dalam tiroglobulin tidak akan pernah menjadi
hormon tiroid, hanya sampai pada tahap monoiodotirosin atau diiodotirosin. Yodium dalam
monoiodotirosin dan diiodotirosin ini kemudian akan dilepas kembali oleh enzim deiodinase
untuk membuat hormon tiroid tambahan.
Regulasi hormon tiroid adalah sebagai berikut. Hipotalamus sebagai master gland
mensekresikan TRH (Tyrotropine Releasing Hormone) untuk mengatur sekresi TSH oleh
hipofisis anterior. Kemudian tirotropin atau TSH (Thyroid Stimulating Hormone) dari
hipofisis anterior meningkatkan sekresi tiroid dengan perantara cAMP. Mekanisme ini
mempunyai efek umpan balik negatif, bila hormon tiroid yang disekresikan berlebih,
sehingga menghambat sekresi TRH maupun TSH. Bila jumlah hormon tiroid tidak
mencukupi, maka terjadi efek yang sebaliknya.

4

Efek yang umum dari hormon tiroid adalah mengaktifkan transkripsi inti sejumlah besar gen.
Oleh karena itu, di semua sel tubuh sejumlah besar enzim protein, protein struktural, protein
transpor, dan zat lainnya akan disintesis. Hasil akhirnya adalah peningkatan menyeluruh
aktivitas fungsional di seluruh tubuh. Hormon tiroid meningkatkan aktivitas metabolik selular
dengan cara meningkatkan aktivitas dan jumlah sel mitokondria, serta meningkatkan transpor
aktif ion-ion melalui membran sel. Hormon tiroid juga mempunyai efek yang umum juga
spesifik terhadap pertumbuhan. Efek yang penting dari fungsi ini adalah meningkatkan
pertumbuhan dan perkembangan otak selama kehidupan janin dan beberapa tahun pertama
kehidupan pascalahir.
Efek hormon tiroid pada mekanisme tubuh yang spesifik meliputi peningkatan metabolisme
karbohidrat dan lemak, peningkatan kebutuhan vitamin, meningkatkan laju metabolisme
basal, dan menurunkan berat badan. Sedangkan efek pada sistem kardiovaskular meliputi
peningkatan aliran darah dan curah jantung, peningkatan frekuensi denyut jantung, dan
peningkatan kekuatan jantung. Efek lainnya antara lain peningkatan pernafasan, peningkatan
motilitas saluran cerna, efek merangsang pada sistem saraf pusat (SSP), peningkatan fungsi
otot, dan meningkatkan kecepatan sekresi sebagian besar kelenjar endokrin lain.

PATOGENESIS

Struma terjadi akibat kekurangan yodium yang dapat menghambat pembentukan hormon
tiroid oleh kelenjar tiroid sehingga terjadi pula penghambatan dalam pembentukan TSH oleh
hipofisis anterior. Hal tersebut memungkinkan hipofisis mensekresikan TSH dalam jumlah
yang berlebihan. TSH kemudian menyebabkan sel-sel tiroid mensekresikan tiroglobulin
dalam jumlah yang besar ke dalam folikel, dan kelenjar tumbuh makin lama makin
bertambah besar. Akibat kekurangan yodium maka tidak terjadi peningkatan pembentukan
T4 dan T3, ukuran folikel menjadi lebih besar dan kelenjar tiroid dapat bertambah berat
sekitar 300-500 gram.
Selain itu struma dapat disebabkan kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa
hormon tiroid, penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (goitrogenic agent), proses
peradangan atau gangguan autoimun seperti penyakit Graves. Pembesaran yang didasari oleh
suatu tumor atau neoplasma dan penghambatan sintesa hormon tiroid oleh obat-obatan
misalnya thiocarbamide, sulfonylurea dan litium.


5

DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan melalui :
1. Anamnesis
Anamnesis sangatlah penting untuk mengetahui patogenesis/macam kelainan dari
struma, perlu ditanyakan :
Identitas diri pasien (umur, Sex, Alamat)
Penting sekali menanyakan asal penderita, apakah penderita tinggal di daerah
pegunungan atau dataran rendah, bertujuan apakah berasal dari daerah
endemik struma.
Pembengkakan : mulainya kapan (jangka waktu) dan kecepatan tumbuh.
Keluhan penekanan : adakah dysphagia, dyspnea dan suara serak.
Keluhan toksik seperti : tremor, banyak keringat, BB turun, nafsu makan,
palpitasi, gelisah dan tidak tenang.
Apakah ada keluarganya yang menderita penyakit yang sama.

2. Pemeriksaan Fisik
a. Perhatikan tanda-tanda khusus :
Exopthalmus
Stelwag Sign : Jarang berkedip
Von Graefe Sign : Palpebra superior tidak mengikut bulbus okuli waktu
melihat ke bawah
Morbus Sign : Sukar konvergensi
Joffroy Sign : Tidak dapat mengerutkan dahi
Ressenbach Sign : Temor palpebra jika mata tertutup

b. Inspeksi
- Posisi penderita duduk dengan leher terbuka, sedikit hiperekstensi.
- Pembengkakan :

bentuk : diffus atau lokal
ukuran : besar dan kecil
permukaan : halus atau modular
keadaan : kulit dan tepi

6



gerakan : pada waktu menelan.
Adanya pembesaran tiroid dapat dipastikan dengan menelan
ludah dimana kelenjar tiroid akan mengikuti gerakan naik
turunnya trakea untuk menutup glotis. Karena tiroid
dihubungkan dengan cartilago oleh ligamentum Berry.

c. Palpasi
Diperiksa dari belakang dengan kepala diflexikan diraba perluasan dan
tepinya.
Ditentukan lokalisasi benjolan terhadap trakea (mengenai lobus kiri,
kanan atau keduanya.
Ditentukan ukuran (diameter terbesar dari benjolan).
Konsistensi (lunak, kistik, keras atau sangat keras).
Mobilitas.
Infiltrasi terhadap kulit/jaringan sekitar.
Pembesaran kelenjar getah bening disekitar tiroid : ada atau tidak.
Nyeri pada penekanan atau tidak.

d. Perkusi
Jarang dilakukan
Hanya untuk mengetahui apakah pembesaran sudah sampai ke
retrosternal.

e. Auskultasi
Jarang dilakukan.
Dilakukan hanya jika ada pulsasi pada pembengkakan.






7

KLASIFIKASI
Berdasarkan Fisiologisnya
Berdasakan fisiologisnya struma dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Eutiroidisme
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang disebabkan stimulasi
kelenjar tiroid rendah sedangkan kelenjar hipofisis menghasilkan TSH dalam jumlah yang
meningkat. Goiter atau struma semacam ini biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali
pembesaran pada leher yang jika terjadi secara berlebihan dapat mengakibatkan kompresi
pada trakea.
b. Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional dari kelenjar tiroid sehingga
sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang.
Gejala hipotiroidisme adalah penambahan berat badan, sensitif terhadap udara dingin,
dementia, sulit berkonsentrasi, gerakan lamban, konstipasi, kulit kasar, rambut rontok,
mensturasi berlebihan, pendengaran terganggu dan penurunan kemampuan bicara.

c. Hipertiroidisme
hipertiroidisme merupakan akibat berlebihnya sintesa dan pelepasan hormon tiroid oleh
kelenjar tiroid berbeda dengan tirotoksikosis yang berarti suatu sindroma klinis yang terjadi
akibat hormon tiroid, tiroksin atau triiodotironin yang beredar berlebihan. Penyebab utama
tirotoksikosis adalah hipertiroidisme yang disebabkan oleh penyakit Grave, struma toksik
multinodular dan adenoma toksik. Keadaan ini dapat timbul spontan atau adanya sejenis
antibodi dalam darah yang merangsang kelenjar tiroid, sehingga tidak hanya produksi
hormon yang berlebihan tetapi ukuran kelenjar tiroid menjadi besar. Gejala hipertiroidisme
berupa berat badan menurun, nafsu makan meningkat, keringat berlebihan, kelelahan, lebih
suka udara dingin, sesak napas. Selain itu juga terdapat gejala jantung berdebar-debar, tremor
pada tungkai bagian atas, mata melotot (eksoftalamus), diare, haid tidak teratur, rambut
rontok, dan atrofi otot.






8

Berdasarkan Klinisnya
a. Struma Toksik
Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma diffusa toksik dan struma nodusa toksik.
Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada perubahan bentuk anatomi dimana struma
diffusa toksik akan menyebar luas ke jaringan lain. Jika tidak diberikan tindakan medis
sementara nodusa akan memperlihatkan benjolan yang secara klinik teraba satu atau lebih
benjolan.
Struma diffusa toksik (tiroktosikosis) merupakan hipermetabolisme karena jaringan tubuh
dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam darah. Penyebab tersering adalah
penyakit Grave (gondok eksoftalmik/exophtalmic goiter) goiter), bentuk tiroktosikosis yang
paling banyak ditemukan diantara hipertiroidisme lainnya. Apabila gejala hipertiroidisme
bertambah berat dan mengancam jiwa penderita maka akan terjadi krisis tirotoksikosis.
Struma difus toksik (Graves Disease)
Graves disease adalah bentuk umum dari tirotoksikosis. Penyakit Graves terjadi akibat
antibodi reseptor TSH (Thyroid Stimulating Hormone) yang merangsangsang aktivitas
tiroid itu sendiri.
Manifestasi klinis
Pada penyakit Graves terdapat dua gambaran utama yaitu tiroidal dan ekstratiroidal.
Keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia
kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan.
Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktivitas simpatis
yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin
banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun, sering disertai dengan nafsu
makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare, dan kelemahan serta atrofi otot. Manifestasi
ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada
tungkai bawah. Oftalmopati ditandai dengan mata melotot, fisura palpebra melebar,
kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata),
dan kegagalan konvergensi. Jaringan orbita dan dan otot-otot mata diinfltrasi oleh
limfosit, sel mast dan sel-sel plasma yang mengakibatkan eksoltalmoa (proptosis bola
mata), okulopati kongestif dan kelemahan gerakan ekstraokuler.





9

Struma nodular toksik
Struma nodular toksik juga dikenal sebagai Plummers disease. Paling sering ditemukan
pada pasien lanjut usia sebagai komplikasi goiter nodular kronik.
Manifestasi klinis
Penderita mungkin mengalami aritmia dan gagal jantung yang resisten terhadap terapi
digitalis. Penderita dapat pula memperlihatkan bukti-bukti penurunan berat badan, lemah,
dan pengecilan otot. Biasanya ditemukan goiter multi nodular pada pasien-pasien tersebut
yang berbeda dengan pembesaran tiroid difus pada pasien penyakit Graves. Penderita
goiter nodular toksik mungkin memperlihatkan tanda-tanda mata (melotot, pelebaran
fisura palpebra, kedipan mata berkurang) akibat aktivitas simpatis yang berlebihan.
Meskipun demikian, tidak ada manifestasi dramatis oftalmopati infiltrat seperti yang
terlihat pada penyakit Graves. Gejala disfagia dan sesak napas mungkin dapat timbul.
Beberapa goiter terletak di retrosternal. Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat,
pemeriksaan fisik dan didukung oleh tingkat TSH serum menurun dan tingkat hormon
tiroid yang meningkat. Antibodi antitiroid biasanya tidak ditemukan.

b. Struma Non Toksik
Pembesaran kelenjar tiroid tanpa disertai tanda-tanda hipertiroid maupun hipotiroid. Struma
non toksik sama halnya dengan struma toksik yang dibagi menjadi struma diffusa non toksik
dan struma nodusa non toksik. Apabila berbatas jelas dan jelas teraba pembesaran nodul-
nodul pada kelenjar tiroid maka dikatakan nodusa namun jika batas tidak jelas, maka
disebut struma difusa. Struma non toksik seringkali disebabkan oleh kekurangan yodium
yang kronik. Struma ini disebut sebagai simple goiter, struma endemik, atau goiter koloid
yang sering ditemukan di daerah yang air minumnya kurang sekali mengandung yodium dan
goitrogen yang menghambat sintesa hormon tiroid.
Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi
multinodular pada saat dewasa. Kebanyakan penderita tidak mengalami keluhan karena tidak
ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme, penderita datang berobat karena keluhan kosmetik
atau ketakutan akan keganasan. Namun sebagian pasien mengeluh adanya gejala mekanis
yaitu penekanan pada esofagus (disfagia) atau trakea (sesak napas), biasanya tidak disertai
rasa nyeri kecuali bila timbul perdarahan di dalam nodul. Kadang-kadang penderita datang
dengan karena adanya benjolan pada leher sebelah lateral atas yang ternyata adalah metastase
karsinoma tiroid pada kelenjar getah bening, sedangkan tumor primernya sendiri ukurannya

10

masih kecil. Atau penderita datang karena benjolan di kepala yang ternyata suatu metastase
karsinoma tiroid pada kranium.
Struma non toksik disebut juga dengan gondok endemik, berat ringannya endemisitas dinilai
dari prevalensi dan ekskresi yodium urin. Dalam keadaan seimbang maka yodium yang
masuk ke dalam tubuh hampir sama dengan yang diekskresi lewat urin.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Tes Fungsi Hormon
Status fungsional kelenjar tiroid dapat dipastikan dengan perantara tes-tes fungsi
tiroid untuk mendiagnosa penyakit tiroid diantaranya kadar total tiroksin dan
triyodotiroin serum diukur dengan radioligand assay. Tiroksin bebas serum mengukur
kadar tiroksin dalam sirkulasi yang secara metabolik aktif. Kadar TSH plasma dapat
diukur dengan assay radioimunometrik. Kadar TSH plasma sensitif dapat dipercaya
sebagai indikator fungsi tiroid. Kadar tinggi pada pasien hipotiroidisme sebaliknya
kadar akan berada di bawah normal pada pasien peningkatan autoimun
(hipertiroidisme). Uji ini dapat digunakan pada awal penilaian pasien yang diduga
memiliki penyakit tiroid. Tes ambilan yodium radioaktif (RAI) digunakan untuk
mengukur kemampuan kelenjar tiroid dalam menangkap dan mengubah yodida.
2. Foto Rontgen leher
Pemeriksaan X-foto leher AP/lateral ini dimaksudkan untuk mengetahui adakah
deviasi trakea akibat penekanan dari kelenjar tiroid yang membesar.
3. Foto rontgen Thorax
Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui bagian struma yang retrosternal, juga melihat
coin lession pada paru sebagai tanda keganasan tiroid.
4. Ultrasonografi (USG)
Alat ini akan ditempelkan di depan leher dan gambaran gondok akan tampak di layar.
USG dapat memperlihatkan ukuran gondok dan kemungkinan adanya kista/nodul
yang mungkin tidak terdeteksi waktu pemeriksaan leher. Kelainan-kelainan yang
dapat didiagnosis dengan USG antara lain kista, adenoma, dan kemungkinan
karsinoma.
5. CT-scan tiroid
Caranya dengan menyuntikan sejumlah substansi radioaktif bernama technetium-99m
dan yodium125/yodium131 ke dalam pembuluh darah. Setengah jam kemudian

11

berbaring di bawah suatu kamera canggih tertentu selama beberapa menit. Hasil
pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk lokasi dan yang utama
adalah fungsi bagian-bagian tiroid.
6. Biopsi Aspirasi Jarum Halus
Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsi aspirasi
jarum tidak nyeri, hampir tidak menyebabkan bahaya penyebaran sel-sel ganas.
Kerugian pemeriksaan ini dapat memberikan hasil negatif palsu karena lokasi biopsi
kurang tepat. Selain itu teknik biopsi kurang benar dan pembuatan preparat yang
kurang baik atau positif palsu karena salah intrepertasi oleh ahli sitologi.
7. Pemeriksaan Potong Beku
dikerjakan intra operatif untuk menentukan apakah struma tersebut jinak atau ganas,
untuk menentukan macam tindaan bedah definitif.

PENATALAKSANAAN
Struma diffusa toksik
Tujuan pengobatan struma jenis ini adalah membatasi produksi hormon tiroid yang
berlebihan dengan cara menekan produksi (obat antitiroid) atau merusak jaringan tiroid
(yodium radioaktif, tiroidektomi subtotal).
1. Obat antitiroid
Indikasi :
1. terapi untuk memperpanjang remisi atau mendapatkan remisi yang menetap,
pada pasien muda dengan struma ringan sampai sedang dan tirotoksikosis.
2. Obat untuk mengontrol tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan, atau
sesudah pengobatan pada pasien yang mendapat yodium aktif.
3. Persiapan tiroidektomi
4. Pengobatan pasien hamil dan orang lanjut usia
5. Pasien dengan krisis tiroid






12

Obat antitiroid yang sering digunakan :
Obat Dosis awal (mg/hari) Pemeliharaan (mg/hari)
Karbimazol 30-60 5-20
Metimazol 30-60 5-20
Propiltourasil 300-600 5-200

2. Pengobatan dengan yodium radioaktif
Indikasi :
1. pasien umur 35 tahun atau lebih
2. hipertiroidisme yang kambuh sesudah penberian dioperasi
3. gagal mencapai remisi sesudah pemberian obat antitiroid
4. adenoma toksik, goiter multinodular toksik

3. Operasi
Tiroidektomi subtotal efektif untuk mengatasi hipertiroidisme. Indikasi :
1. pasien umur muda dengan struma besar serta tidak berespons terhadap obat
antitiroid.
2. pada wanita hamil (trimester kedua) yang memerlukan obat antitiroid dosis
besar
3. alergi terhadap obat antitiroid, pasien tidak dapat menerima yodium radioaktif
4. adenoma toksik atau struma multinodular toksik
5. pada penyakit Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul

Struma nodusa toksik
Terapi dengan pengobatan antitiroid atau beta bloker dapt mengurangi gejala tetapi
biasanya kurang efektif dari pada penderita penyakit Graves. Radioterapi tidak efektif
seperti penyakit Graves karena pengambilan yang rendah dan karena penderita ini
membutuhkan dosis radiasi yang besar. Untuk nodul yang soliter, nodulektomi atau
lobektomi tiroid adalah terapi pilihan karena kanker jarang terjadi. Untuk struma
multinodular toksik, lobektomi pada satu sisi dan subtotal lobektomi pada sisi yang lain
adalah dianjurkan.

13

Struma non toksik
Indikasi operasi pada struma non toksika ialah:
1. keganasan
2. penekanan
3. kosmetik
Tindakan operasi yang dikerjakan tergantung jumlah lobus tiroid yang terkena. Bila
hanya satu sisi saja dilakukan subtotal lobektomi, sedangkan kedua lobus terkena
dilakukan subtotal tiroidektomi. Bila terdapat pembesaran kelenjar getah bening leher
maka dikerjakan juga deseksi kelenjar leher funsional atau deseksi kelenjar leher
radikal/modifikasi tergantung ada tidaknya ekstensi dan luasnya ekstensi di luar kelenjar
getah bening.























14

BAB III
PEMBEDAHAN


Pembedahan struma dapat dibagi menjadi pembedahan diagnostik dan terapeutik.
Pembedahan diagnostik dengan cara insisi atau eksisi sudah jarang dilakukan seiring semakin
akuratnya biopsi jarum halus. Pembedahan teraupetik dapat berupa lobektomi total,
lobektomi subtotal, istmo-lobektomi dan tiroidektomi total. Pada struma nodular non toksik
dan non maligna dapat dilakukan hemitiroidektomi, istmo-lobektomi atau tiroidektomi
subtotal.
Penyulit pembedahan diantaranya adalah perdarahan, cedera nervus laringeus rekurens
unilateral atau bilateral, kerusakan cabang eksternus nervus laringeus superior, cedera trakea
atau esofagus. Pembedahan pada struma yang besar dapat mengakibatkan trakeomalasia,
yaitu kolapsnya trakea akibat hilangnya vaskularisasi dan sandaran yang selama ini juga
didapat dari struma yang melingkari trakea sampai dua pertiganya.
Penyulit pasca bedah lain yang berbahaya adalah adanya hematom di lapangan operasi yang
akan menimbulkan penekanan, terutama terhadap trakea dan obstruksi napas. Krisis tiroid
atau tirotoksikosis adalah penyulit yang sangat berbahaya dan harus ditanggulangi segera
untuk menghindari kematian. Tirotoksikosis merupakan hiperparatiroi hebat yang
berkembang ketika atau segera setelah pembedahan pada penderita hipertiroidisme.
Gejalanya ditandai dengan takikardi serta gejala-gejala hipertiroidisme lain yang bersifat akut
dan hebat. Bila ada hipertiroidisme, sebaiknya pembedahan dilakukan setelah hipertiroidisme
terkendali atau penderita dalam keadaan eutiroid. Hipoparatiroidisme, baik temporer maupun
permanen, terjadi karena kelenjar paratiroid ikut terangkat pada tiroidektomi total.









15

BAB IV
PENCEGAHAN


Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah langkah yang harus dilakukan untuk menghindari diri dari
berbagai faktor resiko. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya struma adalah :
Memberikan edukasi kepada masyarakat dalam hal merubah pola perilaku makan dan
mensosialisasikan pemakaian garam yodium.
Mengonsumsi makanan yang merupakan sumber yodium seperti ikan laut.
Iodisasi air minum untuk wilayah tertentu dengan resiko tinggi. Cara ini memberikan
keuntungan yang lebih dibandingkan dengan garam karena dapat terjangkau daerah
luas dan terpencil. Iodisasi dilakukan dengan cara menambahkan yodida kedalam
saluran air dalam pipa air yang mengalir, dan penambahan yodida dalam sediaan air
minum.
Memberikan kapsul minyak beryodium (lipiodol) pada penduduk di daerah endemik.
Sasaran pemberiannya adalah semua pria berusia 0-20 tahun dan wanita 0-35 tahun,
termasuk wanita hamil dan menyusui yang tinggal di daerah endemis berat dan
endemis sedang. Dosis pemberiannya bervariasi sesuai umur dan kelamin.
Memberikan suntikan yodium dalam minyak (lipiodol 40%) diberikan 3 tahun sekali
dengan dosis untuk dewasa dan anak-anak di atas 6 tahun 1 cc dan untuk anak kurang
dari 6 tahun 0,2-0,8 cc.

Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mendeteksi secara dini suatu penyakit,
mengupayakan orang yang telah sakit agar sembuh dan menghambat progresifitas
penyakit.



16


Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier bertujuan untuk mengembalikan fungsi mental, fisik dan sosial penderita
setelah proses penyakitnya dihentikan. Upaya yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut
Setelah pengobatan diperlukan kontrol teratur/berkala untuk memastikan dan
mendeteksi adanya kekambuhan atau penyebaran.
Menekan munculnya komplikasi dan kecacatan
Melakukan rehabilitasi dengan membuat penderita lebih percaya diri, fisik segar dan
bugar serta keluarga dan masyarakat dapat menerima kehadirannya melalui
melakukan fisioterapi yaitu dengan rehabilitasi fisik, psikoterapi yaitu dengan
rehabilitasi kejiwaan, sosial terapi yaitu dengan rehabilitasi sosial dan rehabilitasi
aesthesis yaitu yang berhubungan dengan kecantikan.













17

BAB V
PROGNOSIS

Secara umum, struma non toksik, walaupun besar, tidak menyebabkan
gangguan neurologik, musculoskeletal, vascular atau respirasi, atau menyebabkan
gangguan menelan akibat tekanan atau dorongan. Keluhan yang sering timbul ialah
rasa berat dileher, adanya benjolan yang bergerak naik turun waktu menelan dan
alasan kosmetik. Sekitar 5% struma nodusa mengalami degenerasi maligna.berbagai
tanda keganasan yang dapat dievaluasi meliputi perubahan bentuk, pertumbuhan lebih
cepat dan tanda infiltrasi pada kulit dan jaringan sekitar, serta fiksasi dengan jaringan
sekitar. Dapat terjadi penekanan atau infiltrasi ke nervus rekurens (perubahan suara),
trakea (dispnea), atau esofagus (disfagia). Struma nodusa yang berlangsung lama
biasanya tidak dapat lagi dipengaruhi oleh pengobatan supresi hormon tiroid atau
pemberian hormon tiroid.























18

DAFTAR PUSTAKA




1. De Jong. W, Sjamsuhidajat. R.1998. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC: Jakarta.
2. Anonim. 2008. Struma Nodusa Non Toksik. Dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi
Bag/SMF Ilmu Bedah (hlm.48-52). Surabaya: Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo
Surabaya.
3. Longo, Dan L, Dennis L Kasper, et.al. 2012. Harrisons Principles of Internal Medicine.
United States of America: The McGraw-Hill Companies,Inc. p. 2911-2939.
4. Sabiston, D.C., Jr, M.D. 2004. Sabiston Buku Ajar Bedah. Jakarta : EGC.
5. Mulinda, James R, MD. 2013. Goiter. http://emedicine.medscape.com/article/120034-
overview Diakses: 19 Juni 2014.
6. Bahn, Rebecca, Elliot Levy, Leonard Wartofsky. 2007. Graves
Disease.http://press.endocrine.org/doi/full/10.1210/jcem.92.11.9994. Diakses: 19 Juni
2014.
7. Matovinovic J, MD. 2000. Therapy and Prophylaxis of Endemic Goitre.
http://libdoc.who.int/monograph/WHO_MONO_44_(p385).pdf. Diakses 19 Juni 2014.

Anda mungkin juga menyukai