Anda di halaman 1dari 18

1

BAB I
PENDAHULUAN

Kata polip pertama digunakan oleh Hippocrates yang berarti banyak kaki
untuk menggambarkan keadaan yang terjadi di etmoid.
1
Polip nasi adalah kelainan
mukosa hidung berupa masa lunak yang bertangkai, berbentuk bulat atau lonjong,
berwarna putih atau keabu-abuan, permukaan licin agak bening karena mengandung
banyak cairan, sering multiple, dapat bilateral dengan penyebab yang belum
diketahui.
2,3
Biasanya berasal dari lapisan mukosa sinus etmoid yang prolaps ke
dalam rongga hidung, dapat berasal dari sinus maksila, sphenoid dan konka media.
4,5

Di Eropa timur angka prevalensi berkisar antara 1,3%, dan di Amerika sekitar 1% -
4%.
6

Polip nasi sering ditemukan dalam praktek sehari-hari, tetapi sampai sekarang
masih belum jelas mengenai patogenesisnya secara pasti.
3,4,6
Demikian pula masih
belum diketahui mengapa seseorang dapat terkena polip nasi sedangkan yang lain
tidak.
6

Beberapa teori menyebutkan penyebab terjadinya polip hidung antara lain:
Alergi, predisposisi genetik, gangguan keseimbangan vasomotor, disfungsi system
saraf otonomik, kelainan metabolisme karbohidrat, kelainan anatomis hidung dan
inflamasi.
1,4,6

Bart Van Der Baan menyatakan bahwa proses inflamasi sebagai penyebab
polip nasi.
6
Inflamasi kronik pada mukosa hidung memainkan peranan yang sangat
penting pada mekanisme patogenesis polip nasi.
1,6
Di lain pihak alergi yang
diperantarai IgE tidak terlihat sebagai penyebab yang penting pada terjadinya polip
nasi.
1,4,6,7,8

2

Keluhan utama pol i p nasi bi asanya adal ah hi dung t ersumbat .
Sumbatan ini menetap, tidak hilang-timbul dan semakin lama semakin berat.
Pasien sering mengeluhkan terasa ada masa di dalam hidung. Gejala lain
adalah gangguan penci uman (anosmi a atau hiposmia). Pada pemeriksaan
rinoskopi anterior biasanya akan tampak massa polip. Bila polip masih terdapat
dalam komplek osteomeatal, dapat dilihat dengan pemeriksaan endoskopi.
sebagian besar kasus, polip berasal dari area sempit di kompleks ostiomeatal
(KOM) di meatus media.
4,5
Dalam tulisan ini akan memberikan hasil penelitian tentang patogenesis polip
nasi serta metode yang digunakan untuk mendiagnosis polip nasi. Maksud tulisan ini
adalah mengidentifikasi teori-teori tentang patogenesis polip nasi yang telah
dilakukan oleh para peneliti hingga sekarang. Dari data yang terkumpul diharapkan
agar didapatkan pendekatan terhadap patogenesis secara luas dan cara mendiagnosis
polip nasi, sehingga lebih dapat dilakukan penanganan dengan hasil terapi yang lebih
optimal.









3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

BIOLOGI EPITEL NASI
Seperti yang kita ketahui bahwa epitel nasi memegang peranan penting untuk
mengatur homeostasis aliran udara kavum nasi. Hal tersebut bergantung pada banyak
faktor, yang secara sederhana dapat digolongkan sebagai berikut :
9

Pengatur udara (air conditioner) dengan cara filtrasi, pemanas dan pelembab
udara inspirasi.
Permeabilitas barier untuk mencegah masuknya berbagai substansi yang
merugikan ke mukosa nasi.
Fungsi antimicrobial dengan cara sintesis dan pelepasan mucus,
immunoglobulin, lisozim dan laktoferin, dimana mempunyai efek
mengurangi, menonaktifkan selanjutnya mengeluarkan mikroba dengan
mukosilia.
Fungsi regulasi : termasuk fungsi jalan nafas.
Fungsi pro-inflamasi nasi : dengan pelepasan dan mengaktifkan mediator-
mediator pro-inflamasi seperti hasil metabolisme spesifik asam arakidonat,
sitokin yang berpengaruh pada pertumbuhan, diferensiasi, migrasi dan
aktifitas sel-sel inflamasi.
PATOLOGI
Secara klinis polip nasi lebih mudah untuk diketahui, yaitu suatu masa pucat,
relatif tidak sensitif. Warna pucat tersebut akibat suplai darah yang sangat
sedikit/devaskularisasi, tetapi bila terjadi trauma atau inflamasi yang berulang,
warnanya dapat menjadi kemerahan.
1,4
Sensitifitas sangat berkurang/denervasi ini
sangat membantu untuk membedakan dengan mukosa konka yang polipoid.
1,4

4


Gambar 1. Kiri: sebuah polip hidung terlihat dalam meatus media kiri.
Kanan: tampak polip memenuhi kavum nasi kiri

Secara histologis, polip nasi sebagian besar diselubungi oleh epitel
pseudostratified bersilia, bergoblet dengan distribusi dan jumlah yang sangat
bervariasi.
4,5
Gambaran yang khas pada polip nasi adalah : Ketidak teraturan struktur
kelenjar yang mengalami dilatasi kistik, tidak ditemukan kelenjar seromukus seperti
pada konka media dan inferior, serta adanya akumulasi sel radang termasuk
eosinofil.
1,4,5

Lokasi terbanyak dari pembentukan polip nasi ditemukan pada mukosa muara
sinus, resesus frontalis, selule etmoid, ostium sinus, dan konka media.
4,5

Polip pada mukosa sinus etmoid lebih sering terjadi oleh karena beberapa
faktor, yaitu reaksi mukosa pada selule etmoid, suplai darah yang relatif kurang pada
sinus etmoid dan anatomi yang komplek dalam labirin etmoidalis.
4
Polip nasi yang
berasal dari sinus etmoid, perubahan mukosanya sering meluas ke dalam hidung dan
sinus paranasal yang lain terutama sinus maksila. Mukosa sinus maksila yang prolaps
lewat osteum ke dalam rongga hidung dan tumbuh ke arah belakang, muncul di
nasofaring disebut sebagai polip antrokoanal.
3,4,5

Polip nasi biasanya bilateral. Bila unilateral kita harus waspada kemungkinan
transisional sel papiloma (inverted papiloma) atau keganasan.
1,3,4
Bila ditemukan
polip unilateral pada penderita umur 2 tahun, maka perlu kita curigai kemungkinan
5

adanya meningokel atau ensefalokel. Polip nasi unilateral pada anak usia 10 tahun
harus dipikirkan kemungkinan adanya penyakit kistik fibrosis.
3,4

PATOGENESIS
Etiologi yang pasti dari polip nasi masih belum diketahui, beberapa faktor
yang dianggap berperan, yaitu: Alergi, infeksi, disfungsi sistem saraf otonomik
hidung, gangguan keseimbangan vasomotor, kelainan anatomi hidung, kelainan
metabolisme karbohidrat serta predisposisi genetik.
1,2,6

Beberapa penyakit berat juga sering dihubungkan dengan timbulnya polip nasi
antara lain: asma non alergi, rhinitis non alergi, kistik fibrosis, sindroma kartegener,
dan intoleransi aspirin.
1,6,7

Dari penelitian epidemiologik beberapa ahli, menyimpulkan bahwa polip nasi
lebih sering terjadi pada penderita non alergi dibanding penderita alergi.
1,6

Penyebab polip nasal pada penelitian Settipane 1987 :
6

Intolerasi aspirin 36-72%
Asma dewasa
IgE-mediated
Non IgE-mediated
7%
5%
13%
Sinusitis kronis
IgE-mediated
Non IgE-mediated
2%
1%
5%
Asma pada anak/sinusitis 0,1%
Fibrosis kistik
Anak-anak
Dewasa

10%
50%
Sinusitis ok alergi jamur 66-100%

6

Drake Lee mengemukakan teori tentang patogenesis polip nasi yaitu berupa
fenomena Bernoulli, kelainan metabolisme karbohidrat, ketidak seimbangan
vasomotor, infeksi dan alergi.
4
Fenomena Bernoulli terjadi akibat perbedaan tekanan
pada sinus etmoid dan kavum nasi, yang mengakibatkan tekanan negatif pada sinus
etmoid. Keadaan tersebut menyebabkan konstriksi mukosa selanjutnya mukosa
terhisap ke dalam kavum nasi. Bila hal ini terjadi, akan menyebabkan mukosa etmoid
tersebut menyerupai polip.
4

Teori adanya kelainan metabolisme karbohidrat dikemukakan oleh Jackson
dan Arihood, analisa histologis menunjukkan adanya proses edematous dan hanya
sedikit terjadi perubahan kolagen.
4

Teori ketidakseimbangan vasomotor, didasarkan bahwa sebagian besar kasus
ditemukan tidak pada penderita atopik atau alergi, sering didahului rinitis vasomotor.
4

Pada rinitis vasomotor terjadi hiperaktifitas parasimpatis. Rangsangan simpatis
mengakibatkan pelepasan nor-adrenalin yang menyebabkan vasokonstriksi.
Rangsangan parasimpatis mengakibatkan pelepasan asetilkolin selanjutnya
menyebabkan hipersekresi mukosa nasi dan vasodilatasi pembuluh darah.
10

Pada keadaan infeksi (terutama infeksi virus) dapat menyebabkan
hiperaktifitas membrane mukosa.
10
Pada percobaan binatang, terbukti bahwa
pembentukan polip dapat diinduksi oleh kuman seperti Streptokokus pneumonia,
Stafilokokus aureus, pada sinus maksila.
6
Infeksi akan menyebabkan reaksi inflamasi.
Perubahan inflamasi tersebut dapat meluas dan menyebabkan mukosa menjadi
polipoid.
4

Alergi sebagai faktor penyebab terjadinya polip nasi didasarkan pada
gambaran histologis 90% polip nasi terdapat eosinofilia, berhubungan dengan asma
dan temuan nasal yang menyerupai tanda dan gejala alergi. Reaksi alergi akan
menyebabkan kerusakan jaringan dan degranulasi sel mast. Reaksi sel mast dalam
hidung akan meningkatkan permeabilitas kapiler.
1,4,8

7

Dengan demikian, pada ketidak seimbangan vasomotor, infeksi dan alergi
ketiganya menghasilkan peningkatan permeabilitas kapiler. Selanjutnya terjadi
transudasi cairan ke dalam jaringan yang menghasilkan edema mukosa, yang
merupakan awal terbentuknya polip. Rangsangan yang cukup lama membuat proses
ini akan berlanjut.
Sebagian besar ahli berpendapat bahwa pathogenesis polip nasi didahului
adanya proses inflamasi kronik.
6,11
Inflamasi kronik pada mukosa hidung ini dapat
disebabkan juga oleh turbulensi aliran udara pada dinding lateral hidung, adanya
interaksi host-bakteri-virus, pada proses infeksi atau adanya proses alergi.
6,11

Turbulensi aliran udara pada dinding lateral hidung atau interaksi host-
bakteri-virus dapat menyebabkan inflamasi pada dinding lateral hidung. Pengaruh
turbulensi aliran udara terhadap terjadinya inflamasi ini didasarkan bahwa penderita
polip nasi disertai septum deviasi lebih sering terjadi polip pada rongga hidung
dengan septum yang cekung. Septum deviasi akan menyebabkan aliran udara pada
rongga yang cekung akan lebih cepat dari bagian yang cembung dan percepatan ini
terjadi pada rongga hidung bagian atas yang berakibat tekanan negative. Tekanan
negatif ini menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung, sehingga terjadi proses
inflamasi.
12

Bernstein dalam penelitiannya mengemukakan informasi tentang patogenesis
polip nasi, bahwa polip nasi cenderung terjadi oleh karena proses inflamasi, terbukti
dengan meningkatnya sel mast epitel konka pada penderita polip non alergi.
Demikian pula secara epidemiologik, ternyata polip nasi banyak terjadi pada pasien
nonatopik daripada penderita atopik.
12

Adanya proses inflamasi ini akan menghasilkan sel-sel inflamasi yaitu,
eosinofil, basofil, limfosit, monosit, makrofag dan sel plasma.
11,12
Di dalam polip
nasi ditemukan sel inflamasi yang dominan yaitu eosinofil, juga terjadi kenaikan
secara progresif sel-sel mononuclear dan sel plasma. Hal ini menunjukkan bahwa
8

imunologi lokal dan proses inflamasi mempunyai peranan yang penting dalam
perkembangan polip nasi, walaupun mekanisme biologik molekuler dari makrofag,
eosinofil dan limfosit yang meningkat dalam polip nasi belum diketahui.
11,12

Eosinofil memiliki peran penting dalam proses inflamasi kronik. Sitoplasma
eosinofil mengandung banyak protein, seperti mayor basic protein (MBP) dan
eosinofil cationic protein (ECP). Protein-protein ini dapat merusak mukosa respirasi
dari saluran pernafasan atas dan bawah. Eosinofil dapat melepaskan mediator-
mediator seperti Platelet activating factor (PAF) yang akan meningkatkan
permeabilitas vaskuler dan menstimulasi pelepasan leukotrien C
4
dari MBP. Eosinofil
ini lebih banyak ditemukan di mukosa konka disbanding konka inferior, ini berarti
proses inflamasi paling berat terjadi pada mukosa konka media.
7

Keith mengemukakan bahwa tidak terdapat perbedaan antara polip oleh
karena alergi dan polip non alergi dalam jumlah mast sel dan eosinofilia, tetapi
mungkin berbeda dalam pelepasan sitokin oleh sel. Hubungan antara polip nasi dan
alergi masih belum jelas diketahui. Alergi mungkin merupakan faktor predisposisi
atau sebagai faktor eksaserbasi walaupun terbukti tidak ada efek utama pada alergen
yang dihirup pada penderita dengan polip nasi.
7

Faktor yang mempengaruhi berkembangnya polip nasi meliputi perubahan
patofisiologi pada permukaan epitel mukosa nasi.
9,13
Pada mukosa kavum nasi
normal, terdapat absorbsi natrium dan sedikit sekresi klorida.
13
Pelepasan mediator
aoleh sel-sel inflamasi akan mempengaruhi absorbsi sodium. Kenaikan absorbsi
sodium akan mengakibatkan retensi air dalam epitel dan lamina propia
(submukosa).
13
Bernstein dalam temuannya mendapatkan mediator-mediator radang pada
polip nasi. Mediator-mediator tersebut mempunyai efek pada regulasi transport ion
natrium dan klorida pada epiltel mukosa nasi dan berpengaruh terjadinya perpindahan
air ke dalam sel epitel dan masuk ke jaringan intersisial.
13

9

Mediator radang dapat berperan langsung atau melalui peratara seperti siklik
AMP atau kalsium intraseluler, sehingga dapat meningkatkan permeabilitas klorida.
Histamin, bradikinin, prostaglandin, leukotrien berpengaruh terhadap transport ion
pada epitel kavum nasi. Bradikinin berperan secara aktif meningkatkan permeabilitas
natrium pada membran basalis dan secara tidak langsung meningkatkan konduksi
klorida keluar dari sel. Dari sini dapat disimpulkan bahwa adanya peningkatan
absorbsi garam yang digambarkan baik melalui peningkatan absorbsi natrium
maupun peningkatan permeabilitas klorida.
13

Seluruh struktur sel pada polip nasi (termasuk sel epitel, sel endotel vaskuler
dan fibroblast) dapat memproduksi RNA messenger untuk merangsang faktor koloni
granulosit-monosit yang dapat meningkatkan respon peradangan. Respon peradangan
pada polip nasi ini berpengaruh pada integritas biolektrik channel natrium dan klorida
di permukaan lumen sel epitel saluran pernafasan.
12

Perubahan absorbsi natrium akan meningkatkan masuknya air ke dalam sel
epitel dan ke cairan intersisial. Edem yang dihasilkan akan mengakibatkan
pembesaran polip nasi.
12

Aliran turbulensi udara pada dinding lateral hidung atau interaksi host-bakteri-
virus dapat menyebabkan peradangan pada dinding lateral hidung. Rangsangan yang
terus menerus dapat menyebabkan terjadinya ulserasi dan prolaps sub mukosa dengan
reepitelisasi dan pembentukan kelenjar baru.
12

Faktor anatomi hidung yang sangat dipengaruhi gaya gravitasi dan tekanan
negatif rongga hidung pada septum deviasi juga mempercepat perkembangan polip
nasi.
4


10

TNF di sel
epitel
Secara skematis hipotesis perkembangan terjadinya edema pada polip nasi oleh
Bernstein diterangkan pada bagan berikut :
14












DIAGNOSIS POLIP NASI
Untuk menegakkan diagnosis polip nasi berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang.
2,3,15,17,18
Anamnesis dilakukan secara sistematis dan
terarah. Pada permulaan hidung terasa tersumbat. Rasa tersumbat biasanya hanya
sebelah dan ringan kemudian bertambah berat kadang diikuti yang sebelahnya
sehingga akhirnya terjadi sumbatan hidung total unilateral atau bilateral, keluar
ingus cair, gangguan penciuman, nyeri pipi, nyeri kepala. Penderita dengan masa
polip soliter biasanya hanya mengeluh hidung buntu yang berubah tergantung dari
posisi tubuh. Bila penderita pada posisi terlentang, maka polip akan jatuh ke arah
posterior dan kavum nasi terbuka, sehingga keluhan hidung buntu berkurang atau
IL 1 di sel
epitel
V CAM 1 di sel
endotel
migrasi eosinofil lewat
pembuluh darah
Pelepasan eosinofil granul
protein
Jejas pada sel epitel
jalan nafas oleh alergen,
virus atau trauma
Regenerasi di epitel jalan
nafas:
1. Hiperplasi sel basal
2. Hiperplasi sel skuameus
3. Hiperplasi sel goblet
Defek pada migrasi CFTR
(Cystic fibrosis transmembran
regulator protein)
Perubahan aliran Na
+
dan Cl
-
EDEMA
11

hilang sama sekali. Dan bila penderita dengan posisi berdiri akan mengeluh hidung
buntu bertambah buntu. Tetapi pada penderita dengan polip nasi yang masif atau
masa polip yang tunggal dan besar, keluhan hidung buntu menetap tidak berubah
dengan berbagai posisi tubuh, yang makin lama semakin berat.
15,17,18

Polip merupakan manifestasi dari berbagai penyakit dan sering dihubungkan
dengan sinusitis, serta harus ditanyakan riwayat rinitis alergi, asma, intoleransi
terhadap aspirin dan alergi obat lainnya serta alergi makanan.
3

Meskipun diagnosis polip nasi difus sering dapat ditegakkan dengan
menggunakan rinoskopi anterior, pemeriksaan nasal endoskopi juga mungkin
diperlukan untyuk mengidentifikasi bagian yang kurang jelas terlihat. Pada rinoskopi
anterior tampak massa yang lunak berwarna keputihan, pangkal massa dapat terlihat.
Polip dapat keluar sampai nares anterior. Rinoskopi posterior pada polip yang besar
akan terlihat di nasofaring.
4
Penerangan dan pembesaran gambar yang ditampilkan
melalui alat endoskopi yang meliputi nasoendoskopi, antroskopi dan
nasofaringoskopi, dapat memberikan gambaran jauh lebih baik dari apa yang bisa
didapatkan melalui pemeriksaan rinoskopi anterior dan memungkinkan dokter untuk
menilai sifat dari polip serta luas dari polip itu sendiri. Selain itu pemeriksaan nasal
endoskopi juga dapat menilai jenis sekret yang menyertai serta pengambilan sampel
untuk pemeriksaan mikrobiologi.
15,18,19






Gambar 3. Pemeriksaan Fisik hidung luar tampak melebar, pada polip stadium lanjut.
12


Gambar 4. Kiri: Endoskopi rigid Karl Storz dengan lensa 0, 30, dan 70 derajat, light source
Kanan: Perlengkapan endoskopi untuk mengambil kultur.

Pembagian stadium polip hidung menurut Mackay and Lund (1997) adalah :
16
a. Stadium 0 : tidak terlihat polip
b. Stadium 1 : polip masih terbatas di meatus medius
c. Stadium 2 : polip telah keluar dari meatus media, tampak di rongga hidung tapi
belum memenuhi rongga hidung.
d. Stadium 3 : polip telah memenuhi rongga hidung.
Pemeriksaan radiologi sinus paranasal paling sering digunakan posisi postero-
anterior (Water's), Caldwell dan lateral dapat membantu dalam menentukan perluasan
polip nasi.
2,3,15
Pada hasil foto radiologi dapat terlihat peningkatan opaksitas dari
dinding sinus yang dapat terjadi karena penebalan mukosa sinus, penebalan ini
disebabkan suatu radang kronis yang dapat karena polip atau radang kronis yang
menyebabkan timbulnya polip. Gambaran air-fluid level menunjukkan adanya cairan
di dalam sinus.
3,15
Computed Tomography Scan (CT Scan) sinus paranasal adalah
pemeriksaan penunjang yang lebih baik dari Foto rontgen karena akurasi yang tinggi
dan cakupannya yang luas. Injeksi kontras biasanya tidak diperlukan. CT Scan SPN
dapat memperlihatkan tingkat keterlibatan dari sinus, meskipun tidak selalu dapat
membedakan antara edema non polip, polip maupun cairan. Bentuk lobulated atau
kista pada kavum nasi, atau di dalam rongga sinus menunjukkan hipertrofi mukosa,
13

kista retensi atau polip nasi (Gambar 2).
15
Untuk alasan ini CT Scan SPN tidak boleh
diandalkan untuk membuat diagnosis polip nasi, yang lebih baik dilakukan dengan
pemeriksaan fisik hidung dan sinus yang menyeluruh.
15,18,19


Gambar 2. Gambar kiri: CT Scan SPN potongan koronal, menunjukan penebalan mukosa sinus etmoid
dan maksila.
Gambar kanan: CT Scan SPN potongan sagital, menunjukkan gambaran polip yang lebih baik.

CT Scan sangat berguna dalam menggambarkan adanya perubahan bentuk
tulang, terutama di perbatasan dari sinus dengan orbita dan otak. Remodelling tulang
tidak jarang terjadi pada pasien dengan polip nasi. Destruksi tulang yang signifikan
pada lamina papirasea atau fovea etmoidalis juga dapat menunjukan adanya herniasi
orbita atau isi intrakranial ke dalam sinus. Adanya kelemahan pada batas-batas tulang
atau herniasi jaringan yang berdekatan harus dikenali sebelum intervensi bedah
dilakukan untuk menghidari komplikasi bedah.
15

Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat lebih baik membedakan jaringan
yang edema dan polip dari suatu cairan, yang sangat membantu untuk menentukan
perluasan dari suatu masa yang dicurigai neoplasma atau ensefalokel. Modalitas ini
tidak diindikasikan untuk polip nasi sederhana
15,18,19
.
Tes Alergi juga merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang penting
karena alergi juga berperan sebagai pencetus terjadinya polip nasi.
3, 15, 18,19

14

DIAGNOSIS BANDING
Karena keluhan atau bentuk penampakan yang meyerupai polip nasi, maka
ada beberapa kelainan yang menjadi diagnosis banding, yaitu :
17,18
1. Angiofibroma
Penyebab tidak diketahui (adanya defisiensi androgen/ meningkatnya
produksi estrogen memegang peranan penting dalam patogenesis angiofibrom).
Banyak terdapat pada laki-laki, usia dewasa muda. Secara klinis penderita tampak
pucat, hal tersebut dikarenakan adanya epistaksis yang berulang. Karena sumbatan
pada nasofaring, penderita cenderung bernafas lewat mulut dan suaranya menjadi
sengau. Lokasi angiofibroma terdapat pada fornik nasofaring.
17,18
- Makroskopis : masa merah kebiruan, vaskularisasi banyak, konsistensi kenyal,
permukaan tidak rata, mudah berdarah.
- Mikroskopis : Terdapat jaringan ikat fibrous, dinding pembuluh darah tidak
ada otot polosnya.
2. Inverted papiloma.
Penyebab inverted papiloma belum diketahui. Banyak terdapat pada laki-laki
dewasa tua (lebih 40 th). Biasanya unilateral, dan lokasi di lateral rongga hidung,
dibawah konka media.
17,18
- Makroskopis : bentuk seperti bunga kol, ujung papil lebih besar, konsistensi
keras, warna merah kebiruan.
- Mikroskopis : membran basalis menipis sampai rusak, tidak ditemukan
infiltrasi eosinofil.
3. Kistik fibrosis.
Merupakan penyakit keturunan yang melibatkan kelenjar eksokrin tubuh dari
bermacam sistem organ. 20% penderita kistik fibrosis memberikan komplikasi polip
nasi. Terdapat pada anak-anak sampai dewasa muda. Gejala klinik meliputi : penyakit
15

paru-paru kronik, defisiensi pankreas, kenaikan konsentrasi elektrolit.Gejala tersebut
menyebabkan polip nasi, pansinusitis, bronkitis, steatore. Diagnosis kistik fibrosis
ditegakkan berdasarkan dengan meningkatnya konsentrasi elektrolit (Na) pada
keringat: 60 meq/l, tidak adanya enzim pankreas, adanya penyakit paru kronik serta
adanya riwayat keluarga yang menderita kistik fibrosis. Diagnosis ditegakkan bila
terdapat minimal dua kriteria dari kriteria tersebut.
15,17,18
4. Meningo-ensefalokel.
Meningo-ensefalokel perlu dibedakan dengan polip nasi bila masuk ke kavum
nasi melalui lamina os etmoid. Terdapat dua macam yang erat hubungannya dengan
bidang THT yaitu: meningo-ensefalokel frontoetmoid dan basal meningo-
ensefalokel.
17,18
Yang dibedakan dengan polip adalah basal meningo-ensefalokel.
- Terdapat pada anak-anak
- Lokasinya : - Trans etmoidal, tonjolannya melalui defek lamina kribriformis yang
menuju ke meatus superior.
- Spenoetmoidal, tonjolannya melalui defek antara spenoid dan sinus
ethmoid posterior menuju ke nasofaring.
- Trans spenoidal, tonjolannya melalui kanalis kraniofaringeal yang
menuju nasofaring.
Jika dilakukan pungsi meningo-ensefalokel akan kempes, sedang pada polip
tidak. Untuk menentukan cairan serebrospinal, cairan tersebut diperiksa di
laboratorium guna pemeriksaan elektrolit.


16

BAB III
RINGKASAN

Polip hidung sering dijumpai di bidang THT yang merupakan manifestasi
klinik dari proses inflamasi dan berbagai proses patologis di mukosa hidung.
Patogenesis polip nasi sampai sekarang masih belum jelas. Inflamasi kronik pada
mukosa hidung memegang peranan yang sangat penting dan mendasari terbentuknya
polip nasi. Pelepasan sel-sel dan mediator inflamasi menyebabkan perubahan
biokimiawi pada sel epitel mukosa kavum nasi, sehingga menyebabkan terjadinya
polip nasi. Pembesaran polip dipengaruhi oleh rangsangan yang terus menerus dan
gaya gravitasi.
Diagnosis polip nasi ditegakkan berdasarkan anamnesis secara sistematis dan
terarah, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Polip merupakan manifestasi
dari berbagai penyakit dan sering dihubungkan dengan sinusitis dan harus ditanyakan
riwayat rinitis alergi, asma, intoleransi terhadap aspirin, alergi obat lain serta alergi
makanan.







17

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Drake Lee AB. Nasal polyps. In Mygind N, Naclerio RM. Allergic and non-allergic
rhinitis clinical aspects. Copenhagen. Munksgaard. 1993:167-73.
2. Montgomery W, Singer M, Hamaker R. Tumor hidung dan sinus paranasal. Dalam:
Ballanger JJ. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi 13.
Terjemahan, Binarupa Aksara, Jakarta, 1994: 283-8.
3. Mangunkusumo E, Wardani R. Polip hidung. Dalam: Buku ajar ilmu kesehatan telinga,
hidung, tenggorok, kepala dan leher. Ed: Efiaty AS. Nurbaiti I. Edisi 6. Jakarta. Balai
Penerbit FKUI 2007; 123-5.
4. Drake Lee AB. Nasal polyps. In: Macky IS, Bull TR, eds. Scott Browns
Otolaryngology. 5
th
. London. Butterworth & Co. 1987 : 1428.
5. Larsen PL, Tos M. Origin and structure of nasal polyps. In: Mygind N, Lilholdt T, eds.
Nasal poliposis; an inflammatory disease and treatment. Copenhagen. Munksgaard. 1997:
17-30.
6. Van der Baan B, Epidemiology and natural history. In: Mygind N, Lilholdt T, eds. Nasal
poliposis; an inflammatory disease and treatment. Copenhagen. Munksgaard. 1997: 13-6.
7. Keith P, Dolovich J. Allergy and nasal polyposis. In: Mygind N, Lilholdt T, eds. Nasal
poliposis; an inflammatory disease and treatment. Copenhagen. Munksgaard. 1997: 68-
77
8. Drake Lee AB. Mast cells, histamine & other mediators. In: Mygind N, Lilholdt T, eds.
Nasal poliposis; an inflammatory disease and treatment. Copenhagen. Munksgaard. 1997:
61-7
9. Calderon MA, Devalia JL, Davies RJ. Biology of nasal epithelium. In: Mygind N,
Lilholdt T, eds. Nasal poliposis; an inflammatory disease and treatment. Copenhagen.
Munksgaard. 1997: 31-43.
10. Mackay I, Cole P. Rhinitis, sinusitis and associated chest disease. In: Macky IS, Bull TR,
eds. Scott-Browns Otolaryngology. 5
th
. London. Butterworth & Co. 1987: 61-92.
11. Denburg. Cytokines and inflammatory cells. In: Mygind N, Lilholdt T, eds. Nasal
poliposis; an inflammatory disease and treatment. Copenhagen. Munksgaard. 1997: 78-
87.
18

12. Bernstein JM, Gorfein J, Noble B, Yankaskas JR. Nasal polyposis.
Immunohistochemistry and bioelectrical findings (a hypothesis for the development of
nasal polips). J Allergy Clin Imunol 1997: 165-75.
13. Bernstein JM, Yankaskas JK. Electrolyt and water transport and biophysical properties of
nasal polyps. In Mygind N, Lilholdt T, eds. Nasal poliposis; an inflammatory disease and
treatment. Copenhagen. Munksgaard. 1997: 44-9.
14. Bernstein JM. Nasal poliposis: Cytokines, recruitment of eosinophils, and epithelial
remodeling. In: Sih T, Clement PAR, eds. Pediatric nasal and sinus disorders. Infoma
healthcare. 2008: 169-82.
15. Ferguson BJ, Orlandi RR,. Chronic hypertrophic rhinosinusitis and nasal poliposis. In:
Bailey BJ, Head and neck surgery-otolaryngology. Vol I. 4
th
. Philadelphia: Lippincot-
William & Wilkins. 2006: 393-402.
16. Wright ED, Kennedy DW, Boelger WE. Anatomic terminology and nomenclature of the
paranasal sinuses and quantification for staging sinusitis. In: Sih T, Clement PAR, eds.
Pediatric nasal and sinus disorders. Infoma healthcare. 2008: 202-3.
17. Zimmer LA, Carrau RL,. Endoscopic managements of neoplasms of the nose and
paranasal sinuses. In: Bailey BJ, Head and neck surgery-otolaryngology. Vol I. 4
th
.
Philadelphia: Lippincot- William & Wilkins. 2006: 447-57.
18. Stammberger Heinz. Examination and endoscopy of the nose and paranasal sinuses. In
Mygind N, Lilholdt T, eds. Nasal poliposis; an inflammatory disease and treatment.
Copenhagen. Munksgaard. 1997: 120-36.
19. Nasal polyps. Available at : http://www.mayoclinic.com/health/nasal-polyps/DS00498
20. Polyps, nose. Available at : http://www.nhs.uk/Conditions/Polyps-
nose/Pages/Diagnosis.aspx

Anda mungkin juga menyukai