Anda di halaman 1dari 42

ENDOMETRIOSIS IATROGENIK

(Referat)



UNIVERSITAS ANDALAS

Oleh :
dr. ELVITA ASRIL
PPDS Obstetri dan Ginekologi


Pembimbing :
dr. Hj. PUTRI SRI LASMINI, Sp.OG (K)




PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS (PPDS)
BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS /
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2013
"


DAFTAR ISI


DAFTAR ISI ...................................................................................................... i
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... ii
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
BAB II ENDOMETRIOSIS ............................................................................... 3
A. ENDOMETRIOSIS ................................................................................... 3
B. PATOFISIOLOGI ..................................................................................... 5
1. Teori Sampson dan Metaplasia ........................................................ 6
2. Genetika ............................................................................................ 8
3. Faktor-faktor lingkungan .................................................................... 9
4. Sistem imun ..................................................................................... 10
C. DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN ............................................. 12
BAB III ENDOMETRIOSIS IATROGENIK OBSTETRIK ............................... 14
A. ENDOMETRIOSIS PERINEAL .............................................................. 14
1. Patogenesis ..................................................................................... 14
2. Tanda dan Gejala ............................................................................ 16
3. Pemeriksaan Penunjang ................................................................. 17
4. Diagnosis ......................................................................................... 20
5. Penatalaksanaan ............................................................................ 21
B. ENDOMETRIOSIS DINDING ABDOMEN .............................................. 26
1. Patogenesis ..................................................................................... 26
2. Tanda dan Gejala ............................................................................ 27
3. Pemeriksaan Penunjang ................................................................. 27
4. Penatalaksanaan ............................................................................ 33
5. Risiko Keganasan ........................................................................... 33
6. Follow up dan Pencegahan ............................................................. 34
BAB IV KESIMPULAN .................................................................................. 35
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 37




""

DAFTAR GAMBAR


Gambar 1. Diagram skematik dari haid retrograd dan aspek biokimia yang
berperan dalam patogenesis endometriosis ................................ 8
Gambar 2. Kondisi preoperative dengan nodul keras pada bekas luka
episiotomi ................................................................................... 17
Gambar 3. Keterlibatan Sfingter pada Endometriosis .................................. 18
Gambar 4. Gambaran USG endometriosis perineal ..................................... 19
Gambar 5. Histopatologi: kelenjar endometrial pada jaringan otot sfingterik
.................................................................................................... 20
Gambar 6. Fokus Endometriosis (Stroma dan kelenjar) ............................... 21
Gambar 7. Gambaran USG dan color doppler endometriosis dinding
abdomen .................................................................................... 30
Gambar 8 Gambaran USG dan CT-scan pasien dengan endometriosis
dinding abdomen ........................................................................ 31
Gambar 9 Gambaran CT-scan pasien dengan endometriosis dinding
abdomen .................................................................................... 32


"""

DAFTAR SINGKATAN



CT-scan Computed Tomography scan
DRE Digital Rectal Examination
FDA Foog and Drug Administration
FNAB Fine Needle Aspiration Biopsy
GnRH Gonadotropin Realising Hormone
IE Incomplete Excision
Ig Immunoglobulin
MRI Magnetic Resonance Imaging
NE Narrow Excision
NK Natural Killer
PEM Perineal Endometriosis
PPAR !2 Proliferator Peroxisom Activator Receptor !2
PSP Primer Sphingteroplasty
PUMCH Peking Union Medical College Hospital
RANTES Regulated on Activation Normal T-Expressed and
Secreted
USG Ultrasonografi
WE Wide Excision
#

BAB I
PENDAHULUAN


Endometriosis pertama kali digambarkan oleh Rokitansky pada tahun
1860 dan didefinisikan sebagai keberadaan dan proliferasi jaringan
endometrium diluar kavum uteri.(Al Jabri, 2009) Endometriosis merupakan
implantasi jaringan endometrium di tempat selain kavum uteri, umumnya
ditemukan pada rongga pelvis, ovarium, kavum douglas, dan peritoneum
seorang wanita, yang menimbulkan gejala nyeri saat haid (dismenore), nyeri
saat berhubungan (dispareunia), haid tidak teratur dan infertilitas.(Francica,
2003) Jarang terjadi di luar rongga pelvis, terutama pada luka bekas operasi
di bagian abdomen seperti histerektomi dan seksio sesarea, dan di perineum
setelah persalinan pervaginam dengan episiotomi.(Karam, 2009; Beatriz dkk,
2011) Tempat lain yang juga pernah ditemukan endometriosis ialah
ekstremitas, sistem saraf pusat, paru, pleura, hepar, umbilikus, perikardium,
traktus urinarius dan intestinal, namun kejadian ini sangat jarang
terjadi.(Francica, 2003)
Dari beberapa literatur dilaporkan bahwa endometriosis mungkin dapat
dijumpai pada luka bekas operasi setelah prosedur laparatomi, laparaskopi
dan prosedur diagnosis obstetrik seperti pungsi amniosintesis. Lebih jauh
lagi, endometriosis ini dapat terjadi pada pembedahan yang dilakukan oleh
ahli bedah umum, seperti apendiktomi, repair hernia umbilikal dan genital.
Kasus yang paling banyak dilaporkan ialah endometriosis yang terjadi pada
bekas luka setelah prosedur yang memaparkan jaringan endometrium,
terutama seksio sesarea.(Karam, 2003) Pertumbuhan endometriosis pada
bekas luka bedah merupakan onset yang sangat lambat setelah prosedur
pembedahan dan sering terdapat kesalahan dalam penegakan diagnosis,
$
seperti granuloma pada bekas inisisi, hernia insisional, abses dan dianggap
benda asing.(Taskesen, 2012)
Skar endometrioma digunakan untuk lesi tumor yang berbatas tegas,
seperti granuloma non neoplastik atau tumor. Dibentuk dari jaringan fibrosa
yang bewarna keputihan dengan area cairan kental bewarna kecoklatan dan
berada di luka bekas operasi. Tidak semua skar endometriosis dikarakteristik
kan sebagai endometrioma, ini membuat kesulitan dalam diagnosis ketika
tidak teraba nodul pada luka bekas operasi.(Taskesen, 2012)
Insiden endometrioma di dunia antara 0.03 3.5 % dengan frekuensi
jauh lebih kecil pada luka bekas episiotomi dibandingkan dengan bekas luka
pada dinding abdomen.(Karam, 2009) Teori dari implantasi iatrogenik
merupakan salah satu yang paling dapat diterima oleh beberapa penulis, dan
teori-teori yang lain merupakan sekunder dari teori yang pertama, yang
digunakan untuk menjelaskan mengenai patofisiologinya. Faktor pasti yang
berhubungan dengan pengetahuan mengenai dasar klinis dari penyakit ini
menjadikan sulit untuk membuat diagnosis yang benar, terutama dikalangan
dokter bedah, yang paling sering membuat kesalahan selama diagnosis.
Diagnosis mungkin hanya dibuat berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik, ditambah dengan pemeriksaan penunjang seperti ultrasonografi pada
kasus-kasus tertentu. Penatalaksanaan pada umumnya ialah dengan
pembedahan, dan penggunaan obat-obatan yang telah diterima sebagai
terapi endometriosis pelvis telah di gunakan untuk skar endometrioma.(Al
Jabri, 2009; Karam, 2009; Taskesen, 2012)
%

BAB II
ENDOMETRIOSIS


A. ENDOMETRIOSIS
Endometriosis adalah penyakit inflamasi yang tergantung estrogen
yang mempengaruhi 5 sampai 10% wanita usia reproduksi di Amerika Serikat
meskipun angka pastinya pada populasi umum belum diketahui secara pasti
karena dibutuhkan inspeksi pada rongga pelvis untuk menegakkan diagnosis
pasti endometriosis. Dicirikan adanya jaringan seperti endometrium pada
tempat di luar kavum uteri, terutama pada peritoneum pelvis namun dapat
juga di ovarium dan septum rektovagina dan lebih jarang lagi terdapat di
perikardium, pleura bahkan otak. Gambaran klinis utama adalah nyeri pelvis
kronis, nyeri selama hubungan seksual, dan infertilitas.(Giudice, 2004;
Kennedy, 2007; Bulun, 2009). Endometriosis dapat merupakan hasil dari
keberagaman anatomis atau penyimpangan biokimia fungsi uterus. Misalnya,
endometriosis biasanya terjadi pada wanita muda dengan obstruksi saluran
vagina, mungkin karena jumlah besar jaringan yang terbawa saat haid yang
menjadi tertanam pada organ-organ pelvis. Sebaliknya, endometriosis juga
dapat melibatkan mekanisme diluar dari kelainan anatomi, misalnya, kejadian
endometriosis meningkat pada wanita yang terkena pemaparan toksin dari
lingkungan atau estrogen poten seperti dietilstilbestrol. Mekanisme seluler
dan molekuler yang terlibat dalam endometriosis sedang diteliti, klasifikasi
masih ditetapkan berdasarkan pada gangguan lokal hingga kompleks,
penyakit sistemik kronis. Endometriosis dapat diwariskan secara poligenik,
insiden di kerabat perempuan yang menderita endometriosis meningkat
hingga tujuh kali lipat dibandingkan dengan kejadian pada wanita tanpa
riwayat keluarga. Ada bukti keterkaitan kromosom 7 dan 10, tetapi tidak ada
gen yang relevan diidentifikasi.(Giudice, 2004; Bulun, 2009)
&
Tiga bentuk klinis yang berbeda dari endometriosis ialah implantasi
endometriosis pada permukaan peritoneum pelvis dan ovarium
(endometriosis peritoneal), kista ovarium dibatasi oleh mukosa endometrioid
(endometrioma), dan massa padat yang kompleks terdiri dari jaringan
endometriosis dicampur dengan jaringan lemak dan fibromuskular, berada
antara rektum dan vagina (nodul endometriosis rektovaginal). Gambaran
histologis secara umum adalah keberadaan sel-sel endometrium atau epitel
stroma, pendarahan kronis, dan tanda-tanda peradangan. Lesi ini dapat
terjadi secara tunggal atau kombinasi dan berkaitan dengan peningkatan
risiko infertilitas atau nyeri pelvis kronis. Peradangan yang terlibat pada
endometriosis dapat merangsang ujung saraf di pelvis dan dengan demikian
menyebabkan rasa sakit, merusak fungsi saluran uterus, mengurangi
penerimaan endometrium, dan menghambat perkembangan oosit dan
embrio. Endometriosis juga dapat menyebabkan infertilitas dengan
menyumbat tuba falopii.(Bulun, 2009)
Gold standard diagnosis penyakit pelvis ialah pembedahan, dapat
dengan laparoskopi maupun laparotomi, dan sistem skoring telah digunakan
untuk menentukan luasnya lesi yang ada. Penyakit yang berat pada banyak
kasus ditemukan perlengketan yang luas pada daerah pelvis dan perubahan
bentuk anatomi pelvis yang dapat menimbulkan nyeri dan infertilitas. Pada
wanita dengan penyakit yang ringan dan tidak menimbulkan gejala, risiko
untuk nyeri yang berkembang sangat rendah.(Giudice, 2004)
Pengobatan infertilitas yang disebabkan oleh endometriosis adalah
operasi pengangkatan jaringan endometriosis atau teknologi reproduksi
berbantu, sedangkan perawatan nyeri ialah dengan kombinasi dari
penekanan ovulasi secara medis dan operasi. Implantasi peritoneal yang
direseksi atau diuapkan dengan menggunakan arus listrik atau laser.
Endometrioma ovarium dan nodul endometriosis rektovaginal, dapat
dihilangkan secara efektif hanya dengan menggunakan diseksi penuh.
(Giudice, 2004; Bulun, 2009)
'
Data epidemiologis dan laboratorium menunjukkan adanya hubungan
antara endometriosis ovarium dan jenis yang berbeda dari kanker ovarium.
Bukti klinis jelas menunjukkan efek merusak dari terganggunya siklus ovulasi
pada perkembangan dan keberadaan endometriosis. Pertama, gejala
endometriosis biasanya muncul setelah menarche dan menghilang setelah
menopause. Kadang-kadang, nodul rektovaginal tetap bergejala pada wanita
paska menopause, menunjukkan bahwa keberadaannya tidak tergantung
dari sekresi estrogen yang berasal dari ovarium. Kedua, multiparitas dikaitkan
dengan penurunan risiko endometriosis. Ketiga, gangguan ovulasi dengan
analog gonadotropin releasing hormone (GnRH), kontrasepsi oral, atau
progestin mengurangi nyeri pelvis dan gejala lain yang terkait.(Bulun, 2009)
Penggunaan preparat estradiol hanya digunakan untuk waktu yang singkat,
mengingat efek sampingnya yang belum dapat diterima dan risiko
osteoporosis atau keduanya. Penggantian ataupun penambahan terapi
biasanya diperlukan.(Giudice, 2004)
Sejalan dengan pengamatan klinis ini adalah temuan yang
mengindikasikan peran utama dari steroid estrogen dan progesteron ovarium
dalam pertumbuhan endometriosis. Pada manusia dan primata lainnya,
estrogen merangsang pertumbuhan jaringan endometriosis, sedangkan
inhibitor aromatase bermanfaat untuk menghambat pembentukan estrogen,
seperti antiprogestin, pada pasien dengan endometriosis. Pada akhirnya,
jumlah progesteron dan estrogen yang diproduksi secara lokal di jaringan
endometriosis, melalui kaskade steroidogenik aktif yang tidak normal yang
melibatkan aromatase. Ulasan ini terutama berkaitan dengan mekanisme
endometriosis yang terkait steroid.(Bulun, 2009)
B. PATOFISIOLOGI
Tidak ada konsensus mengenai asal histologis endometriosis.
Sampson mengusulkan bahwa fragmen endometrium haid bergerak mudur
melalui saluran tuba dan kemudian ditanamkan pada permukaan peritoneum
(
dan bertahan di sana. Mekanisme ini ditunjukkan dalam model primata,
diamati pada manusia, dan didukung oleh pengamatan bahwa endometriosis
terjadi secara eksklusif pada spesies yang haid (manusia dan primata
lainnya). Sebaliknya, hipotesis metaplasia selomik mengusulkan bahwa asal-
usul lesi endometriosis dalam rongga peritoneal adalah diferensiasi sel
mesotelial menjadi jaringan seperti endometrium. Hipotesis ketiga
berpendapat bahwa jaringan haid berpindah ke tempat lain melalui pembuluh
darah atau pembuluh limfatik. Usulan lain adalah bahwa sel darah yang
berasal dari sumsum tulang dapat berdiferensiasi menjadi jaringan
endometriosis di berbagai tempat. Sulit untuk membuktikan hipotesis ini
dikarenakan sulitnya membuat model klinis yang relevan.(Bulun, 2009)
1. Teori Sampson dan metaplasia
Hipotesis implantasi Sampson adalah mekanisme yang masuk akal
bagi kebanyakan lesi endometriosis tetapi tidak menjelaskan mengapa
endometriosis berkembang hanya pada beberapa wanita. Kebanyakan
wanita memiliki haid refluks ke dalam rongga peritoneal, namun
endometriosis terjadi hanya pada 5 sampai 10% wanita. Salah satu dari dua
mekanisme yang bisa menjelaskan keberhasilan implantasi endometrium
direfluks ke permukaan peritoneal ialah defek molekul atau kelainan
imunologi (atau keduanya). Pada endometriosis, endometrium eutopik
menunjukkan beberapa kelainan molekul halus namun penting secara
biologis, termasuk aktivasi jalur onkogenik atau kaskade biosintesis yang
mendukung peningkatan produksi estrogen, sitokin, prostaglandin, dan
metaloproteinase. Ketika endometrium eutopik menempel pada sel-sel
mesotelial, besarnya kelainan molekul meningkatkan kelangsungan hidup
sel-sel yang berimplantasi. Mekanisme kedua ialah implan kemungkinan
bertahan hidup memerlukan kegagalan sistem kekebalan tubuh untuk
membersihkan implan dari permukaan peritoneal. Kedua mekanisme dapat
berkontribusi terhadap perkembangan endometriosis.(Bulun, 2009)
)
Menstruasi retrograd Sampson, implantasi, dan teori metaplasia
berfokus pada implantasi / metaplasia sel. Hal ini mengacu pada lesi awal
yang halus dan kecil yang selanjutnya akan tumbuh dan berkembang
menjadi penyakit yang lebih parah. Ini adalah teori yang menarik karena
banyaknya data yang mendemonstrasikan haid retrograd sebagai fenomena
berulang pada semua wanita dan kehadiran sel-sel endometrium yang viabel
dalam cairan peritoneal, yang memiliki kapasitas untuk berimplantasi,
tumbuh, dan menyusup secara superfisial. Menurut hipotesis ini,
perkembangan ke kondisi lanjut dapat dipengaruhi oleh menurunnya
kekebalan tubuh seluler, aktivitas sel natural killer (NK) yang rendah, sitokin
cairan peritoneum dan faktor pertumbuhan, atau konsentrasi steroid cairan
peritoneal rendah pada fase luteal.(Koninckx, 2004)
Teori ini, bagaimanapun juga tidak bisa menjelaskan mengapa
perkembangan terjadi pada beberapa wanita saja. Beberapa ahli
berpendapat bahwa perkembangan endometriosis, setelah terbentuk, tidak
dapat dihindari, meskipun pada kecepatan yang berbeda dan tahap yang
berbeda sesuai dengan faktor modulasi. Teori ini menganggap endometriosis
sebagai sel endometrial yang normal berperilaku tidak normal di lingkungan
yang abnormal, yaitu lingkungan peritoneal.(Koninckx, 2004)
*


Gambar 1. Diagram skematik dari haid retrograd dan aspek biokimia yang
berperan dalam patogenesis endometriosis
(dikutip dari: sfingter.thelancet.com)

2. Genetika
Sifat yang diwariskan endometriosis pertama kali diakui lebih dari 20
tahun yang lalu ketika risiko untuk kerabat tingkat pertama dari wanita
dengan endometriosis yang parah dilaporkan menjadi enam kali lebih tinggi
pada saudara perempuannya. Beberapa penelitian menunjukkan kelainan
pada enzim detoksifikasi, yang dapat menyebabkan kerentanan terhadap
rangsangan dari lingkungan luar. Juga termasuk gen yang terkait dengan
transformasi ganas (misalnya gen supresor tumor). Sekarang genom
manusia telah diurutkan, skrining polimorfisme nukleotida tunggal dapat
bermanfaat sebagai alat diagnosis dan skrining genetik.(Giudice, 2004)
+
3. Faktor-faktor lingkungan
Model primata non-manusia telah memberikan informasi penting
tentang faktor lingkungan dan pengaruh potensial mereka pada
pengembangan endometriosis. Misalnya, monyet resus yang seluruh
tubuhnya terkena iradiasi proton memiliki frekuensi yang lebih tinggi terkena
endometriosis dibandingkan kontrol (53 % vs 26 %). Penelitian lainnya
menemukan monyet rhesus yang terkena 5-25 ppm dioksin per hari selama 4
tahun meningkatkan risiko endometriosis, staging endometriosis tergantung
pada dosis. Namun, dua studi prospektif berikutnya dari Italia dan Belgia
tidak menemukan peningkatan signifikan risiko endometriosis pada wanita
yang telah terkena dioksin. Sampai saat ini, belum ada studi epidemiologi
definitif menghubungkan satu kelas bahan kimia untuk risiko endometriosis,
meskipun senyawa mirip estrogen dalam lingkungan telah di curigai.
Kurangnya jaringan definitif tidak mengherankan karena orang yang terpapar
banyaknya bahan kimia, dengan mekanisme aksi yang mungkin bervariasi
dengan dosis, waktu pemaparan (dalam uterus, masa kanak-kanak,
peripubertas, dewasa), jalur pemaparan, dan sinergi dengan bahan kimia
lain, semua ini merupakan proses terhadap latar belakang genetik yang unik.
Sebuah penelitian besar yang dilakukan oleh US Centers For Disease
Control and Prevention di akhir 1990-an (Kesehatan Nasional dan Survei
Pemeriksaan Gizi) memberikan informasi tentang paparan bahan kimia yang
mungkin mempengaruhi kesehatan, seperti mengidentifikasi bahan kimia
dalam kosmetik, cat kuku, plastik, dan komponen umum dari kehidupan
sehari-hari, terutama pada wanita, meskipun asosiasi dengan endometriosis
belum dilaporkan.(Giudice, 2004)

#,
4. Sistem imun
Sistem kekebalan tubuh diyakini terlibat dalam patogenesis
endometriosis, dan kurangnya kekebalan tubuh yang cukup pada peritoneum
diperkirakan menjadi penyebab gangguan tersebut. Ada banyak bukti aktivasi
makrofag peritoneal dengan produksi sitokin meningkat pada wanita dengan
endometriosis, meskipun terjadi penurunan aktivitas fagositosis. Sharpe -
Timms dan rekan, menggunakan pendekatan proteomik elektroforesis gel
dua dimensi, menemukan protein pada sel epitel endometriosis yang mereka
sebut Endo I, yang tidak mereka dapatkan pada epitel endometrium eutopik.
Protein ini adalah struktural yang mirip dengan haptoglobin, protein ini terikat
dengan makrofag peritoneal, meningkatkan produksi interleukin 6 dan
mengurangi kapasitas fagositosis makrofag dengan memblokir tautannya.
Mereka juga menemukan bahwa interleukin 6 meregulasi produksi
endometriosis dari Endo I. Secara keseluruhan, temuan ini sangat
mendukung peran haptoglobin dalam patogenesis surveilans kekebalan pada
wanita dengan endometriosis, dan mereka menyarankan target potensial
untuk terapi nyeri dan infertilitas dengan menghambat tindakan haptoglobin
tersebut. Ada juga bukti keterlibatan aktivitas sel pembunuh alami (NK) di
dalam cairan peritoneal pada wanita dengan endometriosis, yang dapat
menyebabkan penurunan pengawasan jaringan ektopik.(Giudice, 2004)
Pada wanita dengan endometriosis, cairan peritoneal memiliki
konsentrasi sitokin yang tinggi, faktor pertumbuhan, dan faktor angiogenik
yang berasal dari lesi itu sendiri, produk sekresi dari makrofag dan sel
kekebalan lainnya, dan cairan folikel, setelah folikel pecah, pada wanita yang
sedang ovulasi. Setelah lesi endometriosis terbentuk, mereka mengeluarkan
beberapa molekul proinflamasi. Sitokin (interleukin 1 dan 8, tumor nekrosis
faktor !, dan interferon ") bertindak pada faktor-faktor kemotaktik, yang pada
gilirannya merekrut makrofag dan limfosit T ke peritoneum. Sel-sel kekebalan
memediasi reaksi inflamasi yang berhubungan dengan endometriosis.
RANTES (Regulated on activation normal T expressed and secreted) adalah
##
kemoatraktan ampuh untuk monosit dan limfosit T. Konsentrasi dalam cairan
peritoneal meningkat pada endometriosis dan berkorelasi dengan tingkat
keparahan penyakit. Konsentrasi monosit kemoatraktan protein 1 juga
meningkat dalam cairan peritoneal pasien, yang dapat menjelaskan tingginya
jumlah makrofag aktif dalam peritoneum wanita dengan endometriosis.
Beberapa peneliti menyatakan bahwa cairan peritoneal tidak berperan,
melainkan promotor aktif pertumbuhan deposit endometrium oleh lipid
peroksidase. Oksidan ini ditujukan untuk merangsang pertumbuhan sel-sel
endometrium.(Guidice, 2004)
Beberapa sitokin, termasuk tumor nekrosis faktor ! dan interleukin 6,
serta lipid peroksidase bisa menjadi target untuk pengobatan dengan
memblokade tindakan mereka atau dengan antioksidan. Thiazolidinediones,
ligan reseptor pengaktivasi peroksisom proliferator (PPAR) "2, menghambat
migrasi monosit dalam model tikus dari endometriosis. Tiazolidinedion juga
menghambat akumulasi sel inflamasi peritoneal dalam model. Obat ini
biasanya digunakan untuk pengobatan diabetes mellitus tipe 2 dan memiliki
efek imunosupresif. Jika penghambatan ditemukan pada tikus juga terjadi
pada wanita, tiazolidinedion bisa menjadi indikasi baru dalam pengobatan
endometriosis. Sebuah asosiasi dengan PPAR "2 Pro-12-Ala polimorfisme
telah dilaporkan pada beberapa wanita dengan endometriosis. (Guidice,
2004)
Sebuah etiologi autoimun mendalilkan endometriosis berasal dari
peningkatan aktivitas sel B poliklonal, kelainan pada fungsi sel B dan sel T,
genetik yang diwariskan, sel B dan sel T jumlah tinggi, dan penurunan
aktivitas sel NK. Juga telah dilaporkan konsentrasi tinggi serum IgG, IgA, dan
IgM autoantibodi dan antibodi terhadap endometrium. Sebuah survei oleh
Asosiasi Endometriosis AS dan US National Institutes of Health menemukan
gangguan autoimun dan endokrin tingkat tinggi (fibromyalgia, sindrom
kelelahan kronis, lupus eritematosus sistemik, rheumatoid arthritis, sindrom
Sjogren, dan hipotiroidisme) dan penyakit atopik (alergi, asma, dan eksim)
#$
pada wanita dengan endometriosis. Namun bias dari penelitian ini masih
tinggi sehingga data ini hanya digunakan sebagai data lanjutan pada pada
anamnesis endometriosis. (Guidice, 2004; Bulun, 2009)

C. DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
Gold standard penegakkan diagnosis endometriosis ialah bila lesi
telah tervisualisasi pada tindakan laparoskopi atau laparotomi. Terapi dari
endometriosis memiliki dua tujuan yaitu menghilangkan rasa sakit, mengobati
infertilitas, atau keduanya. Agen yang telah lama digunakan untuk mengobati
endometriosis antara lain agen untuk menekan fungsi ovarium dan
pembatasan pertumbuhan dan aktivitas endometriosis, dan pengobatan
untuk mengurangi rasa sakit yang terkait dengan penyakit ini termasuk
androgen, progestagen, agonis GnRH, kontrasepsi hormonal. Terapi medis
sebagian besar lebih unggul daripada plasebo untuk pengobatan nyeri terkait
endometriosis.(Guidice, 2004; Bulun, 2009)
Agen yang paling banyak digunakan adalah agonis GnRH dan
kontrasepsi oral. US Food and Drug Administration (FDA) telah resmi
menyetujui agonis GnRH dan danazol untuk pengobatan endometriosis.
Terapi baru kemungkinan akan didasarkan pada banyak target molekul,
termasuk reseptor progesteron, aromatase, faktor angiogenik,
metaloproteinase, sitokin dan kemokin, haptoglobin, PPAR ", dan
antioksidan. Terapi baru, termasuk selektif modulator reseptor progesteron,
selektif modulator reseptor estrogen, aromatase inhibitor, agen
antiangiogenik, dan PPAR " ligan, akan ditargetkan kepada kemungkinan
penyebab pembentukan dari endometriosis dan infertilitas yang terkait
dengan gangguan ini.(Guidice, 2004)
Terapi medis untuk nyeri, pada umumnya, tidak berguna untuk
pengobatan infertilitas. Reproduksi berbantu, termasuk hiperstimulasi
ovarium terkontrol dan inseminasi intrauterin, atau fertilisasi in-vitro dan
#%
transfer embrio merupakan tindakan yang menguntungkan. Sebuah
metaanalisis dari uji non-acak menyarankan bahwa terapi bedah untuk
infertilitas pada endometriosis dapat berguna, tapi ada terlalu banyak
heterogenitas antara studi untuk dapat ditarik sebuah kesimpulan. Dalam uji
coba secara acak kolaboratif (Endocan) di Kanada, 341 wanita infertil dengan
endometriosis stadium I atau II secara acak dilakukan laparoskopi diagnostik
atau pengobatan bedah. Peserta ditindaklanjuti selama 36 minggu paska
operasi dan 20 minggu kehamilan. Tingkat kehamilan secara signifikan lebih
tinggi pada wanita yang dilakukan pembedahan (30,7% vs 17,7%).(Guidice,
2004)
Sebuah studi yang lebih kecil berikutnya dari Italia menemukan ada
perbedaan dalam kelahiran hidup antara pengobatan dengan pembedahan
dan kontrol. Namun, kedua studi memiliki faktor pembaur. Misalnya,
perempuan dalam studi Italia memiliki durasi infertilitas yang lebih lama.
Karena manfaat potensial dan meskipun risiko yang terkait, pembedahan
biasanya digunakan untuk mengobati infertilitas yang berhubungan dengan
endometriosis. Selama penilaian sonografi atau pemantauan pengobatan
untuk infertilitas, banyak perempuan yang ditemukan memiliki endometrioma
ovarium. Sebuah studi kasus terkontrol telah menunjukkan bahwa operasi
pengangkatan endometrioma ini sebelum fertilisasi in-vitro tidak
meningkatkan kesuburan. Selanjutnya, pada wanita dengan endometriosis,
infertilitas, dan endometrioma, ada kekhawatiran bahwa kistektomi ovarium
dapat menghilangkan beberapa korteks ovarium sehat dengan folikel,
sehingga respon ovarium menurun selama terapi reproduksi berbantu dan
berpotensi meningkatkan risiko menopause lebih awal.(Guidice, 2004)

#&

BAB III
ENDOMETRIOSIS IATROGENIK OBSTETRIK



A. ENDOMETRIOSIS PERINEAL

Endometriosis perineal ialah keberadaan jaringan endometrium di
perineum. Pembahasan mengenai ini telah dipublikasikan pada literatur skar
dan ginekologi sejak tahun 1949. Studi retrospektif di Rumah sakit pendidikan
Peking menunjukkan bahwa 17.263 wanita menjalani pembedahan karena
endometriosis antara bulan Januari 1992 sampai April 2011. Diantara
mereka, 64 wanita menjalani pembedahan karena endometriosis perineal.
Dari 64 wanita ini, 31 diantaranya berhubungan dengan sfingter ani. Dengan
demikian hampir setengah dari wanita dengan endometriosis perineal
memiliki lesi yang melibatkan sfingter ani.(Zhu dkk, 2012)

1. Patogenesis
Teori transplantasi merupakan pembagian dari teori pertama (teori
implantasi). Selama persalinan pervaginam, sel-sel endometrium yang viable
dapat berimplantasi di perineum, termasuk ditempat luka episiotomi dan
menghasilkan lesi endometriotik. Lesi perineal sering muncul selama
persalinan pervaginam, namun insidennya jarang. Alasan mengapa jarang
terjadinya endometriosis perineal ialah bakteri yang berada di luka perineum
yang dapat menyebabkan infeksi bahkan nekrosis jaringan, infeksi dan
nekrosis jaringan merupakan keadaan yang tidak mendukung untuk
terjadinya implantasi sel-sel endometrium. Alasan lainnya ialah setelah
persalinan, kadar estrogen menurun, yang menyebabkan transplantasi sel-
sel endometrium sulit berlangsung.(Zhu dkk, 2012)
#'
Nicola Cinardi dkk melaporkan sebuah kasus endometriosis pada
bekas luka di perineum 10 tahun setelah prosedur Miles untuk kanker rektal.
Pasien ini wanita berusia 35 tahun, yang telah diterapi 10 tahun terakhir
dengan kanker rektal. Terdapat pembengkakan pada bekas luka di daerah
perineum. Tidak ada gejala klinis yang muncul dan tidak terdapat tanda-tanda
malignansi, dan pasien ini diterapi dengan konservatif. Setelah pasien 2 kali
mengalami kehamilan dan satu kali seksio cesarean, pasien datang dan
mengeluhkan nodul di perineum yang semakin besar dan menegang. Pasien
menjalani eksisi luas untuk mengangkat nodul tersebut. Dari hasil
pemeriksaan patologi anatomi didapatkan hasil endometriosis pada bekas
luka diperineum. Dari kasus ini, disimpulkan bahwa implantasi sel-sel
endometrium secara langsung tidak dapat menjelaskan patogenesis dari
seluruh kasus dengan endometriosis perineal. Kasus ini dapat dijelaskan
dengan implantasi haid setelah prosedur operatif kedalam luka di perineum.
Mekanisme lainnya belum dapat dipastikan.(Zhu dkk, 2012)
Kasus lainnya dilaporkan oleh Beatriz dkk, seorang pasien 32 tahun
mengalami vulvodinia selama 2 tahun, nyeri refrakter terhadap pemberian
analgesik (Paracetamol). Nyeri bersifat siklik dan progresif berhubungan
dengan periode haid pasien. Nyeri terlokalisir di bekas luka episiotomi dan
ukurannya bertambah selama haid. Tidak ada masalah dengan fungsi
sfingter ani. Pasien tidak memiliki riwayat endometriosis. Pasien ini pernah 2
kali menjalani persalinan pervaginam, pertama pada tahun 1996 dengan
episiotomi dan yang kedua tahun 2000 tanpa episiotomi. Dari pemeriksaan
fisik ditemukan nodul kaku di bekas luka episiotomi dengan ukuran 2x3 cm
yang mengenai sfingter ani eksternal. Pemeriksaan USG transrektal tidak
memberikan visualisasi yang memadai, sehingga kemudian dilakukan USG
transperineal, yang menggambarkan massa ekhogenik heterogen berukuran
23x18x17 mm dengan daerah yang mengalami peradangan disekitarnya.
Pembedahan alam anestesi spinal, dilakukan reseksi nodul dan rekonstruksi
#(
dari area perineal karena eksisi luas di bekas luka episiotomi.(Beatriz dkk,
2011)
2. Tanda dan Gejala
a. Temuan Klinis
Hampir seluruh pasien dengan endometriosis perineal berada pada
usia reproduksi dan memiliki riwayat persalinan pervaginam. Massa di
perineum sering ditemukan pada daerah episiotomi atau luka laserasi setelah
persalinan pervaginam. Kebanyakan pasien mengeluhkan nyeri siklik yang
berhubungan dengan periode haid. Biasanya terdapat massa antara labia
mayora kiri dan labia minora mendekati klotoris. Massa di perineum dapat
besar dan tegang. Kebanyakan warnanya normal seperti warna kulit
disekitarnya. Terkadang kulit perineum bewarna kebiruan. Beberapa pasien
memiliki gejala perdarahan siklik dari massa di perineum.(Zhu dkk, 2012)
Endometriosis harus menjadi suspek ketika terdapat bekas luka yang
menimbulkan gejala yang berhubungan dengan siklus haid.(Beatriz dkk,
2011)
Dari 36 pasien dengan endometriosis perineal yang dilakukan
pembedahan antara tahun 1983 hingga 2007 di RS pendidikan Peking
(PUMCH), usia rata-rata pasien ialah 30,7 tahun (antara 23-44), gravid rata-
rata 2,05 (antara 1-6), paritas rata-rata 1,03 (antara 1-2). Waktu rata-rata dari
setelah melahirkan hingga timbulnya nyeri dan nodul di perineum ialah antara
4 bulan hingga 13 tahun setelah persalinan pervaginam. Seluruh kasus
mengalami nyeri siklik pada perineum, yang progresif dan berhubungan
dengan siklus haid. (Beatriz dkk, 2011; Zhu, dkk 2012)

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik langsung, termasuk pemeriksaan ginekologi
bimanual, trimanual dan rektal tussae (DRE) dilakukan pada masing-masing
#)
kasus. Hasil pemeriksaan biasanya ditemukan nodul perineal keras yang
berhubungan dengan luka bekas episiotomi atau luka bekas laserasi
perineum. Pada pasien dengan endometriosis perineal (PEM) dan
keterlibatan dari sfingter ani, nodul juga berhubungan dengan sebagian dari
sfingter ani. Hampir setengah dari seluruh pasien dengan PEM di PUMCH,
endometrioma merusak sfingter ani. Dengan demikian pemeriksaan DRE dan
ultrasonografi endoanal seharusnya dilakukan untuk mengkonfirmasi apakah
sfingter ani ikut terkena PEM. Dari hasil pemeriksaan fisik kita dapat
menemukan massa dengan konsistensi yang keras pada luka bekas
episiotomi ataupun luka bekas laserasi di perineum. Pada beberapa pasien,
warna kulit pada lesi perineal dapat bewarna kecoklatan. Beberapa memiliki
ulkus dan perdarahan siklik dari massa di perineum.(Zhu, 2012)

Gambar 2. Kondisi preoperative dengan nodul keras pada bekas luka
episiotomi.(dikutip dari : Zhu dkk, 2012)
#*

Gambar 3. Keterlibatan Sfingter pada Endometriosis
(dikutip dari : Beatriz dkk, 2011)
3. Pemeriksaan Penunjang
USG merupakan pemerilksaan yang mudah dan non invasif yang
dapat dilakukan pada praktik umum. USG perineal memperlihatkan
gambaram massa hipoechoik dengan permukaan irregular pada daerah
perineum dengan area anechoik berbentuk bulat maupun oval. Pada
beberapa pasien dengan PEM, pemeriksaan menunjukkan massa heterogen
berisi kista dengan area anekhoik dan hiperekhoik. USG perineal dapat
membantu menegakkan diagnosis dari lesi ini, tetapi tidak baik untuk
menyingkirkan keterlibatan sfingter ani. USG endoanal preoperative adalah
teknik yang baik untuk memvisualisasi PEM dan untuk mendiagnosis
keterlibatan sfingter ani. Keuntungan USG endoanal dibandingkan dengan
USG perineal ialah dapat mengetahui keterlibatan sfingter ani secara jelas.
Disamping itu, USG endoanal dapat juga membantu dalam menegakkan
diagnosis banding dari lesi perianal. USG abses perianal menunjukkan
gambaran lesi hipoekhoik yang homogen, sedangkan USG pada fistula
perianal menunjukkan fistula hipoekhoik yang masuk ke jaringan otot secara
longitudinal, USG pada karsinoma anal dan melanoma menunjukkan lesi
yang padat. Sebanyak 16,7% pasien dengan PEM bersamaan dengan
#+
endometriosis pelvis, pemeriksaan pelvis dan USG pelvis seharusnya
dilakukan untuk menyingkirkan endometriosis pelvis.(Zhu dkk, 2012)
Computer tomography (CT) juga dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis dari PEM. Pemeriksaan menggunakan CT mahal dan menimbulkan
radiasi ionisasi. Pemeriksaan sitology dengan aspirasi jarum halus (FNAB)
untuk melihat secara histologis jaringan endometriosis dianjurkan untuk
keakuratan diagnosis.(Zhu dkk, 2012)

Wanita usia 30 tahun dengan massa di region perineal anterior kanan didekat bekas luka
episiotomi. Pada USG potongan linear (a) dan radial (b) menunjukkan massa heterogen
yang berisi kista dengan gambaran area anekhoik (panah hitam) pada region perineal
anterior kanan; massa tampak mengenai sfingter ani eksterna (kepala panah putih) dan tidak
mengenai sfingter ani interna (kepala panah hitam).

Gambar 4. Gambaran USG endometriosis perineal
(Dikutip dari : Zhu dkk, 2012)

$,
4. Diagnosis
Endometriosis perineal dapat di diagnosis berdasarkan temuan klinis.
Menurut studi retrospektif yang dilakukan di oleh Zhu dkk 2009, dari 36 kasus
PEM, 26 diantaranya merupakan PEM dengan keterlibatan sfingter ani.
Diagnosis awal dan penanganan dari PEM penting untuk mencegah
progresifitas keterlibatan jaringan disekitarnya terutama sfingter ani, yang
kemudian dapat menurunkan risiko inkontinensia fekal paska operatif.
Karakteristik seorang wanita usia produktif harus difikirkan mengalami PEM
jika memiliki riwayat episiotomi atau laserasi perineum setelah persalinan
pervaginam, terdapat nodul atau massa di dekat lesi perineum, dan nyeri
pada perineum yang progresif dan bersifat siklik. Jika ketiga kriteria ini
ditemukan, nilai prediksi endometriosis perineal hampir 100%.(Zhu dkk,
2012) Bagaimanapun juga diagnosis pasti dari endometriosis perineal dibuat
berdasarkan reseksi yang di konfirmasi dengan pemeriksaan
histopatologi.(Beatriz, 2011)

Gambar 5. Histopatologi: kelenjar endometrial pada jaringan otot sfingterik.
(dikutip dari : Zhu dkk, 2012)
$#

Gambar 6. Fokus Endometriosis (Stroma dan kelenjar)
(dikutip dari: Beatriz dkk, 2011)

Semua kasus endometriosis perineal (termasuk 31 kasus PEM
dengan keterlibatan sfingter ani) pada PUMCH memenuhi kriteria tersebut di
atas pada riwayat dan pemeriksaan fisik. Ultrasonografi endoanal praoperasi
adalah teknik yang dapat diandalkan untuk memvisualisasikan endometriosis
perianal dan untuk mendiagnosa keterlibatan sfingter ani. Preoperatif
endoanal ultrasonografi memungkinkan ahli bedah untuk menentukan
pendekatan operasi dan untuk menjelaskan kemungkinan komplikasi dari
sfingteroplasi kepada pasien.(Zhu dkk, 2012)
Kadar serum Ca125 penting secara klinis dalam diagnosis
endometriosis pelvis. Dalam jenis lain EM, tingkat serum CA125 tidaklah
penting. Namun, pemeriksaan pelvis dan ultrasonografi harus dilakukan saat
terjadi peningkatan kadar serum CA125 pada pasien dengan PEM untuk
menyingkirkan kemungkinan endometriosis pelvis.(Zhu dkk, 2012)

5. Penatalaksanaan
Pengelolaan endometriosis perineum dapat diklasifikasikan ke dalam
manajemen bedah dan manajemen medis.
$$
a. Penatalaksanaan Bedah
Bedah eksisi endometrioma dianjurkan dalam semua kasus
endometriosis perineum, terlepas dari kasus regresi spontan endometrioma
setelah kehamilan berikutnya dilaporkan dalam literatur. Eksisi luas dari
jaringan endometrium dengan batas yang sehat yang baik adalah penting
bahkan bila memerlukan sfingteroplasti ketika sfingter anal ikut terlibat.
Manajemen ini memiliki kesempatan terbaik untuk menyembuhkan dan
dianjurkan dalam semua kasus di mana eksisi seperti ini tidak terpengaruh
oleh fungsi dari struktur dan organ yang berdekatan.(Beatriz dkk, 2011; Zhu
dkk, 2012)
Dalam analisis yang dilakukan oleh Zhu dkk, dari 36 kasus
endometriosis perineum pada tahun 2007, 10 pasien tanpa keterlibatan
sfingter anal telah dilakukan eksisi total dari jaringan endometrium dan tidak
menerima pengobatan hormonal sebelum atau setelah operasi. Tak satu pun
dari 10 pasien mengalami kekambuhan atau inkontinensia fekal pada
pengamatan selama 4 hingga 11 tahun. Tidak ada komplikasi paska operasi
setelah eksisi bedah. Intervensi bedah dengan eksisi komplit massa
termasuk batas reseksi 0,5-1 cm jaringan sehat di sekitarnya (Zhu dkk.,
2009).
Dari 26 pasien dengan endometriosis perineum dan keterlibatan
sfingter anal, 18 kasus dilakukan eksisi komplit dan tidak terjadi kekambuhan
ataupun inkontinensia fekal selama masa tindak lanjut antara 4 dan 11 tahun.
Dari jumlah tersebut 18 pasien, 7 pasien tidak mendapatkan pengobatan
hormonal dan pasien yang tersisa mendapatkan perawatan hormon setelah
operasi. Pada pasien dengan keterlibatan sfingter anal, terjadi kekambuhan
penyakit pada 7 dari 8 pasien setelah eksisi tidak komplit dan 1 pasien pada
eksisi komplit. Setelah eksisi komplit endometrioma perineum yang kedua,
tidak ada kekambuhan selama masa tindak lanjut antara 6 bulan sampai 5
tahun (Zhu dkk., 2009).
$%
Berdasarkan analisis ini, Zhu dkk. menyarankan bedah eksisi adalah
pilihan pertama pengobatan untuk endometriosis perineum. Relevansi antara
tingkat kekambuhan endometriosis perineum dan keterlibatan sfingter anal
membuat evaluasi sfingter anal pra operasi menjadi penting.(Zhu dkk, 2012)
Invasi ke sfingter anal dari endometrioma memberikan dilema yang
menarik. Tujuannya adalah untuk menyingkirkan endometrioma sepenuhnya,
yang dapat mengganggu sfingter anal. Ini mungkin memerlukan
sfingteroplasti primer untuk mempelajari risiko inkontinensia fekal. Sebuah
pencarian PubMed menunjukkan hanya 13 kasus endometriosis perineum
dengan keterlibatan sfingter anal dalam sebelas laporan kasus yang berbeda
sejak tahun 1957.(Zhu dkk, 2012). Pada 13 kasus PEM dengan keterlibatan
sfingter anal, eksisi luas (WE) dan sfingteroplasti primer (PSP) dilakukan
pada 6 kasus, eksisi sempit (NE) dan PSP dalam 5 kasus, dan eksisi tidak
komplit (IE) dalam 1 kasus, dan regresi spontan setelah persalinan
berikutnya telah terdaftar pada 1 kasus. Dalam kasus di mana NE dilakukan,
tidak ada komplikasi yang terkait dengan prosedur ini, namun, dalam dua
kasus, terjadi kekambuhan dan membutuhkan terapi hormonal. Pada
kelompok dimana WE dilakukan, tidak ada komplikasi, tidak ada
inkontinensia atau kekambuhan selama variabel tindak lanjut (minimal 3
bulan, maksimal 36 bulan). Berdasarkan studi ini, WE dan PSP dianjurkan
sebagai pengobatan terbaik untuk PEM dengan keterlibatan sfingter
anal.(Zhu dkk, 2012)
Beberapa penulis menyarankan pada pasien yang lebih muda, eksisi
luas dengan PSP mungkin optimal untuk meniadakan kebutuhan untuk terapi
tambahan. Pada pasien yang lebih tua yang mendekati usia menopause,
eksisi sempit atau tidak komplit dengan terapi hormonal berikutnya bisa
(ketika endometriosis cenderung mundur) mengurangi risiko inkontinensia
dengan reseksi sfingter.(Zhu dkk, 2012)
Dalam analisis lain 31 kasus endometriosis perineum dengan
keterlibatan sfingter anal, NE dan PSP dilakukan pada 30 (96,8%) pasien. IE
$&
diterapkan pada 1 (3,2%) pasien karena endometrioma nya terlalu besar
untuk eksisi komplit. Dari 31 kasus, terapi hormonal diaplikasikan pada 21
(67,7%) kasus sebelum operasi. Untuk pasien yang menerima terapi hormon
sebelum operasi, pemeriksaan histopatologis lesi menunjukkan kelenjar atrofi
dan hiperplasia interstitial. Ini memberikan bukti untuk efektivitas dari terapi
hormonal. Sebagai pengobatan adjuvant, terapi hormonal di PUMCH (GnRH
agonis sebagai pilihan pertama) harus diberikan sebelum operasi selama 2-4
bulan ketika pemeriksaan fisik pasien memperlihatkan lesi yang mengenai
sfingter anal. Tujuannya adalah untuk mengurangi ukuran endometrioma dan
membuat batas-batas lesi ini lebih jelas, sehingga membuat eksisi komplit
lesi lebih mudah dan mengurangi kerusakan pada jaringan sekitarnya. Untuk
pasien berusia sama atau lebih dari 40 tahun, dengan lesi perineum yang
terlalu besar untuk eksisi komplit, untuk menghindari inkontinensia fekal dan
kekambuhan paska operasi, histerektomi dan bilateral salpingoooforektomi
dapat dilakukan setelah berdiskusi dengan pasien.(Beatriz dkk, 2011; Zhu
dkk, 2012)
Tidak ditemukan kekambuhan maupun inkontinensia fekal pada
kelompok NE dan 1 kekambuhan terjadi dengan pasien IE selama variabel
tindak lanjut usia 6 sampai 78 bulan. Ini mungkin relevan dengan
penggunaan terapi hormonal pra operasi pada kelompok NE. Kami
merekomendasikan NE dan PSP dengan terapi hormonal praoperasi sebagai
pengobatan yang tepat untuk PEM dengan keterlibatan sfingter anal. Terapi
hormonal paska operasi dapat ditiadakan asalkan lesi dapat diangkat
seluruhnya.(Beatriz dkk, 2011; Zhu dkk, 2012)
b. Penatalaksanaan Medis
Manajemen medis (termasuk kontrasepsi oral, danazol, progestogen,
Gonadotropin-releasing agonis hormone (GnRH agonis dan gestrinone) bisa
meringankan gejala sementara. Tidak ada obat untuk mengeradikasi
$'
endometriosis atau terapi obat untuk jangka panjang.(Beatriz dkk, 2011; Zhu
dkk, 2012)
Beischer dkk. melaporkan bahwa 1 pasien mengalami regresi spontan
endometriosis perineum setelah kehamilan berikutnya, menunjukkan bahwa
endometriosis itu terkait dengan perubahan kadar hormon (Beischer dkk.,
1966). Dalam analisis yang dilakukan Zhu dkk, 2009, dari 36 kasus dengan
endometriosis perineum, satu pasien menjalani histerektomi dan salpingo-
ooforektomi bilateral untuk kambuhnya endometrioma perineum tujuh tahun
setelah eksisi komplit endometriosis perineum. Pasien kemudian
ditindaklanjuti selama 2 tahun, sedangkan endometrioma perineum menurun
secara bertahap dan kemudian tidak bisa dideteksi. Ini juga mendukung teori
bahwa endometriosis terkait dengan perubahan kadar hormon.(Zhu dkk,
2012)
Dalam semua massa yang diangkat dari pasien yang diberikan terapi
hormonal sebelum operasi, pemeriksaan histopatologis dari spesimen
menunjukkan kelenjar yang atrofi dan hiperplasia jaringan interstitial. Kasus-
kasus ini menunjukkan keefektivitasan pengobatan hormonal. Namun, terapi
hormon hanya berhasil untuk terapi jangka pendek dalam pengentasan
gejala, dan kekambuhan biasanya terjadi setelah terapi hormon dihentikan,
sehingga hormon hanya dapat digunakan sebagai terapi adjuvan. Agonis
GnRH adalah pilihan pertama. Pil kontrasepsi oral, progestogen baik
sebelum operasi atau paska operasi.(Zhu dkk., 2012) Pada kasus yang
dilaporkan oleh Beatriz dkk tahun 2011, pemberian GnRH analog (decapeptil
3,75 mg/bulan selama 3 bulan) setelah pembedahan. Tidak ditemukan
perbedaan hasil terapi yang signifikan antara terapi dengan pembedahan
saja (insisi luas) dengan kombinasi terapi antara pembedahan dan
pemberian hormonal paska pembedahan.(Beatriz dkk, 2011)
Dari 31 kasus endometriosis perineum dengan keterlibatan sfingter
anal pengobatan hormonal diterapkan pada 21 (67,7%) kasus sebelum
operasi dan 14 (45,2%) kasus paska operasi. Untuk pasien menerima terapi
$(
hormon sebelum operasi, pemeriksaan histopatologis dari lesi yang diangkat
memperlihatkan jaringan responsif setelah pengobatan medis. Ini
memberikan bukti untuk efektivitas terapi hormonal sebelum operasi. Sebagai
pengobatan adjuvant, GnRH agonis adalah pilihan pertama saat ini.(Zhu dkk,
2012)
GnRH agonis dapat secara efektif mendeplesikan hipofisis
gonadotropin endogen dan menghambat sintesis lanjut, sehingga
mengganggu siklus haid dan mengakibatkan keadaan hipoestrogenik, atrofi
endometrium, dan amenore. Tujuan GnRH agonis digunakan sebelum
operasi selama 3-4 bulan adalah untuk mengurangi ukuran endometrioma,
membuat batas-batas lesi ini lebih jelas sehingga untuk mengurangi
kerusakan intraoperatif ke jaringan sekitarnya dan membuat reseksi komplit
dari lesi lebih mudah.(Zhu dkk, 2012)
B. ENDOMETRIOSIS DINDING ABDOMEN
Endometriosis adalah berfungsinya jaringan endometrium di luar
rongga uterus, sedangkan endometrioma adalah massa yang berbatas tegas.
Berbagai lokasi untuk endometriosis pelvis ialah kandung kemih, ginjal, usus,
omentum, kelenjar getah bening, paru-paru, pleura, ekstremitas, umbilikus,
kantung hernia, dan dinding abdomen.(Hansen dkk, 2006; Karam dkk, 2009)
Endometriosis melibatkan dinding abdomen adalah fenomena yang tidak
biasa yang harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding massa pada
dinding abdomen seorang wanita. Gambaran klinis yang biasa muncul adalah
nodul yang menyakitkan pada wanita dengan riwayat operasi ginekologi atau
kandungan, dengan intensitas nyeri dan ukuran nodul yang bervariasi, dan
berhubungan dengan siklus haid.(Hansen dkk, 2006; Al Jabri, 2009)
1. Patogenesis
Endometriosis adalah masalah ginekologis yang relatif umum pada
wanita usia reproduksi. Salah satu hipotesis penyebabnya ialah bahwa sel-
$)
sel mesenkim yang tetap multipotensial, dalam situasi yang tepat, mengalami
metaplasia menjadi endometriosis. Teori lain menyatakan bahwa sel-sel
endometrium dapat diangkut ke lokasi ektopik membentuk endometrioma.
Ketika dirangsang oleh estrogen kemudian sel-sel tersebut akan mengalami
proliferasi sampai akhirnya menimbulkan gejala.(Hansen dkk, 2006; Al Jabri,
2009; Taskesen dkk, 2012) Hal ini serupa dengan kejadian endometriosis
perineal setelah persalinan pervaginam dengan prosedur episiotomi.
Endometriosis ekstrapelvis telah dijelaskan dapat terjadi dalam hampir
semua rongga tubuh dan organ, tetapi lokasi yang paling sering adalah pada
dinding abdomen. Meskipun kasus insidental endometriosis spontan dalam
dinding abdomen tanpa bekas parut telah dilaporkan, namun biasanya terkait
dengan operasi di mana dilakukan pemaparan pada kavum uterus.
Endometrioma yang berkembang berhubungan dengan bekas luka seksio
cesarea dan tidak adanya riwayat endometriosis pelvis sebelumnya telah
mendukung konsep etiologi transportasi iatrogenik. Endometriosis dinding
abdomen ditemukan pada sekitar 0,8% dari semua wanita yang memiliki
riwayat persalinan dengan seksio cesarea, pada literatur lain menyebutkan
bahwa kejadian endometriosis dinding abdomen pada bekas seksio cesarea
berkisar antara 0,03-1%.(Hansen dkk, 2006; Al Jabri, 2009; Taskesen dkk,
2012)
2. Tanda dan Gejala
Secara umum, karakteristik gejala klinis endometriosis adalah nyeri
siklik yang berhubungan dengan haid. Semua pasien dengan endometriosis
dinding abdomen dengan nyeri abdomen terlokalisir, namun, rasa sakit ini
selalu hadir dan berhubungan dengan siklus haid pada kebanyakan kasus
(75%). Sifat nyeri yang nonsiklik pada endometriosis dinding abdomen telah
dilaporkan oleh peneliti lain telah dianggap sebagai atipikal, yang mungkin
dapat menjelaskan mengapa secara klinis sering salah dalam penegakkan
diagnosis. Kebanyakan pasien juga dengan massa teraba di lokasi nyeri di
$*
sekitar bekas luka bedah, yang dapat diikuti dengan keluarnya cairan coklat
secara intermiten pada siklus haid.(Hansen dkk, 2006; Al Jabri, 2009;
Taskesen dkk, 2012) Masa inkubasi yang panjang dan pertumbuhan yang
lambat hingga dapat sampai 10 tahun juga menyebabkan seringnya terjadi
kesalahan dalam penegakkan diagnosis. Lesi granuloma pada bekas dinding
abdomen sering menjadi perancu antara diagnosis hernia umbilikalis atau
inguinalis setelah prosedur laparaskopi ginekologi.(Pasalega dkk, 2011)
3. Pemeriksaan Penunjang
Ultrasonografi merupakan pemeriksaan penunjang yang aksesibel dan
reliabel yang dapat dilakukan. (Pasalega dkk, 2011) Hasil pemeriksaan
sonografi biasanya menunjukkan massa yang solid, dengan lesi hipoechoik di
dinding abdomen dan mengandung vaskularisasi internal pada pemeriksaan
doppler. Hanya satu dari endometrioma yang juga berisi daerah kistik.
Gambaran dari pencitraan mungkin diharapkan lebih heterogen, dengan
perubahan kistik yang sering karena perdarahan intralesi yang berhubungan
dengan haid. (Francica dkk, 2003; Al Jabri, 2009; Karam dkk, 2009)
Temuan sonografi tidak spesifik, dan spektrum yang luas dari kelainan
menggambarkan massa pada dinding abdomen harus dipertimbangkan untuk
diagnosis banding yang mencakup neoplasma, seperti sarkoma, tumor
desmoid, limfoma, atau metastasis, dan penyebab non-neoplastik, seperti
suture granuloma, hernia ventral, hematoma, atau abses. Sonografi mungkin
dapat mengekslusikan tiga diagnosis terakhir dalam pencitraan yang solid
dan perdarahan alami dari endometrioma dinding abdomen.(Hansen dkk,
2009; Al Jabri, 2009; )
$+
%,

Transverse views of a 20-mm subcutaneous endometrioma in a 38-year old woman. A, The
nodule is hypoechoic with internal hyperechoic strands. Margins are spiculated, infiltrating the
muscularis fascia (arrows). A hyperechoic ring partially circumscribes the nodule border
(arrowheads). B, Color Doppler sonogram showing a single vascular pedicle entering the
lesion. C, Spectral analysis showing high-resistance arterial flow (RI, 0.79).

Gambar 7. Gambaran USG dan color doppler endometriosis dinding
abdomen
(Dikutip dari : Francica, 2003)

Pada pemeriksaan CT dan MRI karakteristik endometriosis dinding
abdomen juga tidak spesifik, keduanya menunjukkan meningkatkan massa
yang solid di dinding abdomen. Peran utama dari CT dan MRI mungkin untuk
menggambarkan luasnya penyakit sebelum operasi. (Hansen dkk, 2006; Al
jabri, 2009) Lebih jauh lagi, MRI lebih baik dibandingkan dengan CT-scan
berhubungan dengan pembagian masing-masing lapisan dinding abdomen
seperti lapisan subkutan, otot dan aponeurosis dari masing-masing lapisan
jaringan. CT-scan menggambarkan pertumbuhan heterogen dengan densitas
yang bervariasi pada potongan melintang, berhubungan dengan lesi pada
dinding abdomen.(Karam dkk, 2009)
%#

41-year-old woman with abdominal wall endometriosis. A, Extended-field-of-view sonogram
in sagittal plane reveals heterogeneous hypoechoic solid mass infiltrating in both muscular
abdominal wall and subcutaneous fat. B, Power Doppler sonogram shows internal
vascularity. C, Unenhanced CT shows lesion (arrowheads) in right rectus sheath to be
isodense to muscular tissue. D, Contrast-enhanced CT shows slight enhancement of lesion
(arrowheads).
Gambar 8. Gambaran USG dan CT-scan pasien dengan endometriosis
dinding abdomen
(Dikutip dari : Hansen dkk, 2006)
%$

Gambar 9. Gambaran CT-scan pasien dengan endometriosis dinding
abdomen
(dikutip dari : Hansen dkk, 2006)

Diagnosis akhir sebelum dilakukan operasi dengan dilakukan
pemeriksaan FNAB dengan panduan sonografi. Prosedur ini merupakan cara
diagnostik yang cepat dan akurat pada wanita dengan massa pada dinding
abdomen yang berhubungan dengan endometriosis, menyingkirkan
kemungkinan keganasan dan untuk pengobatan definitif. Jika hasil FNAB
tidak meyakinkan, yang mungkin terjadi karena endometrioma sering
%%
merupakan jaringan fibrosa yang alami, biopsi histologis tambahan dapat
dipertimbangkan. (Hansen dkk, 2006; Al Jabri, 2009)
4. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada endometriosis dinding abdomen dapat dibagi
menjadi penatalaksanaan secara medikamentosa dan atau pembedahan.
Dari beberapa literatur direkomendasikan pembedahan untuk membuang
nodul endometrioma dengan batas yang jelas. Eksisi secara teknik memiliki
tingkat kesulitan yang berbeda-beda tergantung dari kedalaman dan ukuran
massa, dan eksisi massa mungkin memerlukan daerah yang lebih luas
hingga ke jaringan yang lebih dalam, seperti aponeurosis, otot, atau yang
lebih jarang hingga peritoneum.(Karam dkk, 2009)
Meskipun pilihan terapinya ialah pembedahan, beberapa penulis
menyarankan untuk menggunakan terapi hormonal pada kasus-kasus
tertentu, dengan tujuan utama untuk menurunkan ukuran dari massa tumor
dan memfasilitasi prosedur pembedahan selanjutnya. Indikasi lainnya ialah
dimana terjadinya kekambuhan atau yang berhubungan dengan
endometriosis pelvik. bentuk generik dari terapi medikamentosa ialah
gonadotropin releasing hormone (GnRH), danazol dan progesterone pada
dosis yang sama yang telah diterima sebagai terapi endometriosis pelvik,
sebagai konsekuensinya sebagian besar pasien akan mengalami amenore
sebagai hasil dari efek samping terapi ini. (Karam dkk, 2009) Tingkat
keberhasilan dari terapi medis rendah, hanya menghilangkan gejala
sementara dan kemudian diikuti dengan kekambuhan setelah penghentian
terapi farmakologis. Eksisi bedah yang luas merupakan pilihan terbaik untuk
terapi endometriosis abdominal. (Hansen dkk, 2006; Al Jabri, 2009)
5. Risiko Keganasan
Perubahan endometriosis menjadi ganas pada luka bekas insisi seksio
cesarea jarang terjadi. Kejadian endometriosis pada bekas luka berjalan
%&
dalam jangka waktu lama dan bila keluhan berulang dokter harus menyadari
perubahan endometriosis menjadi ganas. Hanya 21,3% kasus transformasi
maligna endometriosis terjadi pada lokasi pelvis ekstragonadal dan 4% kasus
pada bekas luka setelah laparotomi.(Hansen dkk, 2006; Al Jabri, 2009)
6. Follow Up dan Pencegahan
Tindak lanjut dari pasien endometriosis penting karena kemungkinan
kekambuhan, yang mungkin memerlukan eksisi ulang. Dalam kasus
kekambuhan yang berulang terus-menerus, kemungkinan keganasan harus
disingkirkan. Oleh karena itu, teknik yang baik dan perawatan yang tepat
selama operasi seksio cesarea dapat membantu dalam mencegah
endometriosis. Kegagalan untuk menutup peritoneum parietal dan visceral
pada seksio cesarean kemungkinan berhubungan dengan tingginya angka
kejadian endometrioma pada luka bekas operasi. Hal ini menjadi
pertimbangan untuk merekomendasikan penggunaan instrumen dan material
bedah yang berbeda saat histerorafi, ketika melakukan penjahitan dinding
abdomen.(Karam dkk, 2009).
Beberapa penulis merekomendasikan untuk melakukan insisi dinding
abdomen secara hati-hati dan melakukan pencucian menggunakan larutan
saline sebelum melakukan penutupan dinding abdomen, untuk mengeliminasi
risiko dari kontaminasi jaringan endometrium selama intervensi bedah.(Picod
dkk, 2006; Karam dkk, 2009) Beberapa penulis lainnya merekomendasikan
penggunaan progesterone dosis tinggi yang ditujukan untuk menurunkan
kemunculan endometriosis pada lokasi pembedahan, selama enam bulan
pertama setelah histerotomi.(Karam dkk, 2009)
%'

BAB IV
KESIMPULAN



1. Endometriosis ialah penyakit inflamasi yang tergantung estrogen yang
dicirikan dengan adanya jaringan endometrium diluar kavum uteri,
yang memberikan gejala utama berupa nyeri siklik yang berhubungan
dengan siklus haid, dan dapat menyebabkan infertilitas.
2. Endometriosis dapat terjadi dimana saja diluar kavum uteri. Berbagai
teori diungkapkan mengenai kemungkinan penyebabnya, antara lain
teori Sampson dan metaplasia, genetika, faktor-faktor lingkungan dan
sistem imun.
3. Endometriosis juga dapat disebabkan karena prosedur medis yang
dikenal juga sebagai endometriosis iatrogenik. Endometriosis
iatrogenik lebih banyak terjadi pada pembedahan yang memaparkan
kavum uteri seperti seksio cesarea yang dapat menyebabkan
endometriosis dinding abdomen. Prosedur episiotomi pada persalinan
dapat juga menyebabkan endometriosis perineal.
4. Tanda dan gejala dari endometriosis iatrogenik hampir sama dengan
endometriosis pada umumnya, yaitu adanya massa pada daerah
sekitar bekas luka dengan nyeri siklik yang berhubungan dengan siklus
menstruasi, dan terkadang adanya cairan kecoklatan yang keluar pada
siklus menstruasi.
5. Diagnosis ditegakkan pemeriksaan fisik yang tilengkapi dengan
pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan USG, CT-Scan ataupun
MRI. Sebagai diagnosis pasti perlu dilakukan pemeriksaan
histopatologi.
6. Penatalaksanaan endometriosis iatrogenik yang direkomendasikan
ialah eksisi luas pada lesi endometriotik, namun dapat juga diberikan
terapi hormonal untuk mengurangi ukuran massa.
%(
7. Pencegahan terjadinya endometriosis iatrogenik dapat dilakukan
dengan pembedahan yang hati-hati, pencucian menggunakan larutan
saline sebelum menutup dinding abdomen dan pemberian progesteron
dosis tinggi dalam jangka waktu sampai 6 bulan setelah melahirkan.

%)
DAFTAR PUSTAKA

Al Jabri, Al Jabri. Endometriosis at Caesarean Section Scar: Case Report
dalam Oman Medical Journal 2009, vol 24, Issue 4, Oktober 2009.
Azargoon, Azam., Azargoon, Nahid. Abdominal Incisional Endometriosis
Following Casarean Section : Report of 2 Cases dalam Journal of
family and Reproductive Health, vol 2, no 2 June 2008
Beatriz, Ruiz de Gauna dkk. A Case of Endometriosis in Episiotomy Scar
with Anal Sfingter Involvement dalam International Journal of
Clinical Medicine, 2011, 2, hal 624-626
Bulun, E. Serdar. Mechanisms of Disease: Endometriosis. In New England
Journal of Medicine. 2009
Fatih, Taskesen dkk. Scar Endometrioma Following Cesarean Section :
Case Report dalam Journal of Current Surgery. Volume 2, no 4-5
oktober 2012 hal 144-145
Francica, Giampiero dkk. Abdominal Wall Endometriomas Near Cesarean
Delivery Skars: Sonographic and Color Doppler Finding in a Series
of 12 Patients dalam Journal of Ultrasound in Medicine, 2003. Vol
22 no 10, hal 1041-1047
Frasher, Rene. Painful Abdominal Mass in a Woman with history of
Cesarean Section: Case Report. Juni 2010
Guidice, C. Linda. Endometriosis. In The Lancet.; Nov 13 - Nov 19, 2004;
364, 9447; proquest medical libabry pg 1789.
Hensen, Jan Hein dkk. Abdominal Wall Endometriosis Clinical
Presentation and Imaging Features with Emphasis on Sonography.
American Roentgen Ray Society, 2006
Karam, Guilherme dkk. Scar Endometrioma Following Skar Surgical
Insisions: Retrospective Study on 33 Cases and Review of The
Literature. Sao Paolo, Brazil, 2009
Kennedy, Stephen., Koninckx, Philippe. Endometriosis dalam Dewhursts.
Textbook of Skars and Gynaecology Chapter 44. Edisi 7. Blackwell
Publishing, London UK, 2007.
M. Pasalega dkk. Parietal Abdominal Endometriosis Following Caesarean
Section dalam Romanian Journal of morphology and Embryology
2011. 52 (1 suppl): Hal 503-508
%*
Picod G dkk. Abdominal Wall Endometriosis After Caesarean Section;
Report of fifteen cases, Gynecol Obstet Fertil, 2006, 34(1); 8-13
Sinha, Runchi dkk. Abdominal Skar Endometriosis after Caesarean
Section : a rare entity dalam Australian Medical Journal 2011,4,1:
hal 60-62
Zhu, lan dkk. Diagnosis and Treatment of Perineal Endometriosis.
Departement of O/G of Peking Union Medical Colllege Hospital,
Chinese Academy of Medical Science, Beijing, China. 2012

Anda mungkin juga menyukai