Perlindungan Konsumen Terhadap Peredaran Suplemen Makanan Tanpa
Izin Badan POM Ditinjau dari Hukum Perlindungan Konsumen
Adithya Wirawan Putra dan Heri Tjandrasari
Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum Kekhususan Tentang Kegiatan Ekonomi
adithyawirawan@gmail.com
Abstrak
Penggunaan suplemen makanan saat ini telah menjadi suatu gaya hidup di kalangan masyarakat modern. Tujuan dari penggunaan tersebut dapat beragam, seperti untuk memenuhi nutrisi yang dibutuhkan tubuh ataupun digunakan sebagai suplemen binaraga. Namun timbul suatu masalah yakni beredarnya suplemen makanan yang tidak memiliki izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM). Skripsi ini akan membahas mengenai pelanggaran apa saja yang dilakukan oleh pelaku usaha yang melakukan peredaran suplemen makanan tanpa izin Badan POM berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta peraturan perundang-undang lain yang terkait. Lalu akan dibahas sanksi-sanksi apa saja yang dapat dikenakan terhadap pelaku usaha yang melakukan pelanggaran serta upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh konsumen yang mengalami kerugian akibat mengkonsumsi suplemen makanan yang diedarkan oleh pelaku usaha.
Kata kunci: Badan POM; Perlindungan Konsumen; Suplemen Makanan.
Consumer Protection Against Circulation of Dietary Supplements Without Permission of Food and Drug Supervisory Agency In Terms of Consumer Protection Law
Abstract
The use of dietary supplements has now become a way of life in modern society. The purpose of such use can be varied, such as to meet the nutritional needs of the body or used as bodybuilding supplements. But a problem arises that the circulation of dietary supplements that do not have permission from the Food and Drug Supervisory Agency. This thesis will discuss any offense committed by business actors perform without a permit circulation of food supplements based Act No. 8 of 1999 on Consumer Protection Act and other legislation related. Then will discuss any sanctions that may be imposed against businesses that commit violations and remedy what can be done by consumers who suffered losses as a result of taking dietary supplements distributed by businesses.
Pola makan yang seimbang adalah pola makan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Contoh mudahnya ialah mengkonsumsi makanan 4 sehat 5 sempurna. Di dalam makanan 4 sehat 5 sempurna terdapat berbagai nutrisi yang dibutuhkan dalam tubuh, yang bermanfaat untuk pemenuhan gizi seseorang agar tidak terjadi dengan apa yang dinamakan gizi buruk. Nutrisi yang terkandung di dalamnya ialah seperti karbohidrat pada nasi, protein pada daging merah dan/atau umbi-umbian, kalsium pada susu, serta vitamin pada buah dan/atau sayuran.
Selain dari makanan, pemenuhan nutrisi bagi seseorang dapat diperoleh dengan mengkonsumsi suplemen makanan atau dalam Bahasa inggris disebut food suplement. Namun suplemen makanan tidaklah dapat dijadikan sebagai pengganti makanan, karena suplemen hanya bermanfaat untuk memenuhi nutrisi yang dirasa kurang bagi tubuh akibat pola makan yang kurang baik. Suplemen makanan memiliki berbagai bentuk dan jenis.
Pada dasarnya suplemen makanan merupakan produk yang dikonsumsi sebagai pembantu dalam pemenuhan nutrisi yang dirasa kurang pada diri seseorang, namun lambat laun pemanfaatan dari suplemen makanan menjadi berkembang. Perkembangannya terlihat dari banyaknya jenis suplemen makanan yang telah beredar saat ini. Salah satunya ialah jenis suplemen makanan yang bermanfaat untuk pembentukan tubuh seseorang atau binaraga. Karena dengan adanya asupan nutrisi tambahan yang dihasilkan oleh suplemen makanan, maka akan mempermudah pengembangan otot-otot pada tubuhnya yang dibutuhkan untuk pekerjaannya sebagai atlet binaragawan, selain nutrisi yang diperoleh dari real food.
Tingginya permintaan akan suplemen makanan telah menjadi kesempatan bagi pelaku usaha untuk melakukan kegiatan usahanya, yaitu menjual suplemen makanan ke masyarakat. Peredaran suplemen makanan dapat ditemukan pada toko-toko di pusat perbelanjaan maupun dijual secara online di situs-situs maupun forum jual beli online. Produk suplemen makanan yang beredar di pasaran rata-rata merupakan produk impor. Sehingga untuk dapat diedarkan di Indonesia harus memperoleh izin khusus dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) karena badan tersebut yang mengatur mengenai izin peredaran dari suplemen makanan.
Akibat dari berkembangnya peredaran suplemen makanan dimasyarakat menjadi pemicu masalah yang ada, yaitu beredarnya suplemen makanan tanpa izin dari Badan POM. Harga yang lebih murah dan barang yang dijual adalah suplemen makanan merek terkenal merupakan dua faktor yang menjadi sebab konsumen lebih memilih membeli produk tanpa izin tersebut. Keamanan serta informasi yang jelas akan produk yang dijual tersebut dinomor duakan oleh konsumen. Dengan adanya informasi yang tercantum dalam label yang menggunakan Bahasa asing, konsumen beranggapan bahwa produk yang dijual pelaku usaha merupakan suplemen makanan aman dan asli yang diimpor langsung oleh Negara yang menjual. Padahal belum tentu produk yang dijual tersebut merupakan produk asli. Dugaan-dugaan bersifat curiga tersebutlah yang akan muncul ketika berhadapan dengan produk yang tidak memiliki izin resmi.
Akibat dari adanya peredaran suplemen makanan untuk binaraga yang ilegal, akan berdampak buruk bagi konsumen, khususnya bagi konsumen yang awam mengenai produk-produk suplemen makanan. Risiko yang mengancam bagi konsumen ialah bahaya dari segi kesehatan pasca mengkonsumsi suplemen tersebut. Suplemen makanan ilegal yang beredar tersebut belum dapat dikatakan aman untuk dikonsumsi, karena produk tersebut tidaklah mendapat izin dari Badan POM sebagai badan yang melakukan pengawasan terhadap peredaran obat dan makanan di Negara ini. Sehingga konsumen tidak memiliki jaminan aman atau tidaknya dalam mengkonsumsi produk tersebut.
Melihat praktik bisnis nakal yang dilakukan oleh pelaku usaha yang menjual barang yang ilegal tanpa izin dari negara, dapat dikatakan terdapat keterpurukan situasi yang berat sebelah antara pihak pelaku usaha dan pihak konsumen. Konsumen menjadi pihak yang tersudut dan dirugikan tanpa ada perlindungan hukum yang dapat menjadi tameng bagi dirinya. Praktek monopoli dan tidak adanya perlindungan konsumen telah meletakkan posisi konsumen dalam tingkat yang terendah dalam menghadapi pelaku usaha. 1 Oleh karena itu dibutuhkanlah peraturan yang mengatur secara khusus sebagai payung hukum yang menyadarkan serta melindungi hak dan kewajiban baik konsumen maupun pelaku usaha sehingga terciptanya kesetaraan kedudukan antara keduanya dan menciptakan hubungan yang baik dalam segi berbisnis.
Pada tanggal 20 April 1999 Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan dan mengundangkan Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK). Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini diharapkan dapat mendidik masyarakat Indonesia untuk lebih menyadari akan segala hak-hak dan kewajiban-kewajibannya yang dimiliki terhadap pelaku usaha, dimana dikatakan pada konsiderans UUPK, bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan, dan kemandirian konsumen
1 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hal. 1. untuk melindungi dirinya, serta menumbuhkankembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab. 2
Namun demikian, undang-undang tersebut masih belum dapat menjamin dan melindungi hak- hak konsumen secara nyata dan penuh dimana konsumen masih sering menjadi sasaran atau objek aktivitas bisnis para pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan yang sebanyak- banyaknya. 3 Hal ini disebabkan karena kurangnya pendidikan konsumen dan rendahnya kesadaran akan hak dan kewajibannya. 4
Belum terjaminnya hak-hak konsumen secara penuh serta pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha tercermin pada fenomena yang terjadi dalam peredaran suplemen makanan ilegal yang telah disinggung sebelumnya. Terlihat bahwa UUPK masih dapat dikelabui dan dilanggar oleh pelaku usaha yang melakukan praktik kecurangan dalam melakukan penjualan suplemen makanan pembentuk tubuh yang dijual secara ilegal dan tanpa adanya izin edar dari Badan POM.
Atas dasar latar belakang dan permasalahan di atas, maka penulis melakukan penelitian untuk dapat menjelaskan permasalahan yang terjadi dan berusaha mengembangkan solusi dari permasalahan yang tersebut melalui skripsi ini.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka pokok permasalahan yang akan dibahas dan dikaji dalam penelitian ini oleh penulis adalah: 1. Pelanggaran apa yang dilakukan oleh pelaku usaha atas peredaran suplemen makanan tanpa izin Badan POM? 2. Sanksi apa yang dapat diberikan terhadap pelaku usaha yang melakukan pelanggaran tersebut? 3. Upaya apakah yang dapat ditempuh oleh konsumen ketika mengalami kerugian akibat mengkonsumsi suplemen makanan tersebut?
2 Ibid., hal. 2. 3 Az. Nasution (a), Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial, Ekonomi, dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal. 83. 4 N.H.T Siahaan, Hukum Konsumen : Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk (Jakarta: Panta Rei, 2005), hal. 14. Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka penelitian ini memiliki beberapa tujuan yang ingin dicapai, yaitu: 1. Untuk mengetahui pelanggaran apa yang dilakukan oleh pelaku usaha atas peredaran suplemen makanan ilegal tanpa izin Badan POM. 2. Untuk mengetahui sanksi-sanksi apa yang dapat diterapkan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran tersebut. 3. Untuk mengetahui tindakan serta upaya apa yang dapat dilakukan oleh konsumen sebagai korban atas pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha tersebut.
Tinjauan Teoritis
1. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. 5
2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyrakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluara, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan 6
3. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. 7
4. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. 8
5. Impor barang adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean. 9
6. Badan Penyesaian Sengketa konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. 10
5 Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999, LN No. 42 Tahun 1999, TLN. No. 3821, Pasal. 1 angka 1. 6 Ibid., Pasal. 1 angka 2. 7 Ibid., Pasal. 1 angka 3. 8 Ibid., Pasal. 1 angka 4. 9 Ibid.,Pasal. 1 angka 7. 10 Ibid.,Pasal. 1 angka 11. 7. Suplemen Makanan/suplemen kesehatan adalah produk yang dimaksudkan untuk melengkapi kebutuhan zat gizi makanan, mengandung satu atau lebih bahan berupa vitamin, mineral, asam amino atau bahan lain (berasal dari tumbuhan atau bukan tumbuhan) yang mempunyai nilai gizi dan atau efek fisiologis dalam jumlah terkonsentrasi. 11
8. Izin edar adalah bentuk persetujuan pendaftaran obat dan makanan yang diberikan oleh Kepala Badan untuk dapat diedarkan di wilayah Indonesia. 12
9. Kepala badan adalah kepala badan yang bertanggung jawab di bidang pengawasan obat dan makanan. 13
Metode Penelitian
Metode penelitian yang akan dilakukan pada penulisan ini ialah yuridis normatif, yaitu penelitian hukum terhadap peredaran suplemen makanan ilegal tanpa izin Badan POM berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan, yaitu cara pengumpulan data yang bersumber pada bahan-bahan pustaka. 14 Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder. Data sekunder antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan seterusnya. 15 Sebagai suatu penelitian hukum, data sekunder yang dipergunakan yaitu: a. Bahan hukum primer, yang berupa ketentuan hukum dan perundang-undangan yang mengikat serta berkaitan dengan studi ini. b. Bahan hukum sekunder, yang berupa literatur-literatur tertulis yang berkaitan dengan pokok masalah dalam studi ini, baik berbentuk buku-buku, makalah-makalah, laporan penelitian, artikel surat kabar dan lain sebagainya.
11 Badan Pengawas Obat dan Makanan (a), Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Suplemen Makanan, KEPKA KBADAN POM HK.00.05.23.3644 Tahun 2004, Pasal 1 angka 1 12 Badan Pengawas Obat dan Makanan (b), Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Tentang Pengawasan Pemasukan Obat dan Makanan ke dalam Wilayah Indonesia,, PERKA BADAN POM No. 27 Tahun 2013, Pasal 1 angka 11. 13 Ibid., Pasal 1 angka 13. 14 Sri Mamudji. et. al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal 30. 15 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2007), hal. 12. c. Bahan hukum tersier, yang merupakan bahan penjelasan mengenai bahan hukum tersier maupun sekunder, berupa kamus, ensiklopedia, dan sebagainya. 16
Dilihat dari sifatnya, penelitian yang dilakukan ialah penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang menjelaskan mengenai permasalahan yang terjadi yang dihadapi oleh konsumen terhadap maraknya peredaran suplemen makanan ilegal tanpa izin Badan POM. Metode penelitian yang digunakan dalam mengolah dan menganalisis data adalah metode kualitatif. Metode kualitatif adalah tata cara penelitian yang menghasilkan penelitian yang berisfat deskriptif-analitis. Untuk melengkapi studi dokumen, penulis melakukan wawancara kepada Narasumber yaitu Kepala Biro Hukum dan Humas Badan POM, Bapak Budi Djanu Purwanto.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian dari penulisan ini menunjukkan bahwa tindakan peredaran suplemen makanan tanpa izin dari Badan POM ke masyarakat yang dilakukan oleh pelaku usaha telah melanggar beberapa ketentuan. Ketentuan yang dimaksud ialah pasal-pasal yang tercantum dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Pangan, serta Keputusan Kepala Badan POM tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Suplemen Makanan. Pelanggaran yang telah dilakukan oleh pelaku usaha tersebut dapat dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik sanksi administratif maupun sanksi pidana. Konsumen yang mengalami kerugian akibat mengkonsumsi suplemen makanan yang diedarkan oleh pelaku usaha dapat meminta ganti rugi kepada pelaku usaha, jika tidak dilaksanakan maka konsumen dapat mengajukan gugatan.
Pembahasan
Hukum perlindungan konsumen memiliki payung hukum di Indonesia yang mengatur mengenai perlindungan konsumen, yaitu sejak dikeluarkan dan diundangkannya Undang- undang Nomor 8 tentang Perlindungan Konsumen pada tanggal 20 April 1999. Dalam Pasal 1 angka 1 UUPK disebutkan pengertian dari perlindungan konsumen itu sendiri, yaitu segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. 17 Kepastian hukum yang dimaksud dalam pengertian ini meliputi segala upaya untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang/jasa
16 Sri Mamudji, op. cit., hal. 28. 17 Indonesia, Pasal 1 angka 1. kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh prilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen tersebut. 18
Mengenai defisini dari hukum perlindungan konsumen, Az. Nasution memiliki pengertian sendiri dalam hal tersebut. Beliau berpendapat bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen, yang memuat asas-asas yang bersifat mengatur dan melindungi konsumen. Hukum konsumen diartikan sebagai keseluruan asas-asas dan kaidah- kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang/jasa) antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat. 19 Sedangkan hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan produk (barang/jasa) konsumen antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat. 20
Dalam Pasal 2 UUPK disebutkan 5 (lima) asas dari perlindungan konsumen, yaitu perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keamanan, keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Mengenai tujuan dari hukum perlindungan konsumen itu sendiri dapat kita lihat pada Pasal 3 UUPK, yaitu: a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hal-haknya sebagai konsumen; d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
18 Az. Nasution (c) , Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, Jurnal Teropong, Edisi Mei 2003, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, hal. 6-7, seperti dikutip Kurniawan, Permasalahan dan Kendala Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Jurnal Dinamika Hukum Januari 2012, hal. 162. 19 Az. Nasution (b), Hukum Perlindungan Konsumen: Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media, 2006), hal. 37. 20 Ibid. f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselmatan konsumen.
Subjek dalam Hukum Perlindungan Konsumen ialah Konsumen dan Pelaku usaha. sebagai subjek, masing-masing dari konsumen maupun pelaku usaha memiliki hak serta kewajiban. Berdasarkan UUPK, definisi dari konsumen sendiri disebutkan pada Pasal 1 angka 2, yang berbunyi: konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. 21 Hak konsumen disebutkan pada Pasal 4 UUPK dan kewajibannya diatur pada Pasal 5 UUPK. Istilah pelaku usaha merupakan pengertian yuridis dari istilah produsen. 22 Dalam Pasal 1 angka 3 UUPK diartikan pelaku usaha ialah: setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi 23 Pelaku usaha memiliki hak-hak yang disebutkan pada Pasal 6 UUPK, serta kewajiban yang diembannya yang disebutkan pada Pasal 7 UUPK. Pelaku usaha sebagai pihak yang menjual barang dan/atau jasa kepada konsumen tunduk pada ketentuan UUPK. Dalam UUPK terdapat pengaturan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yang disebutkan pada Pasal 8 hingga Pasal 17 UUPK.
Barang dan/atau Jasa merupakan objek yang terlibat di dalam hubungan antara konsumen dan pelaku usaha. Tanpa adanya objek tersebut, tidak akan terjadi hubungan antara kedua pihak tersebut. Barang dalam UUPK diartikan pada Pasal 1 angka 4, yang berbunyi setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. 24 Dari isi Pasal tersebut terlihat bahwa pengertian barang
21 Indonesia, Pasal 1 angka 2. 22 N. H. T. Siahaan, op. cit., hal. 26. 23 Indonesia, op. cit., Pasal 1 angka 3. 24 Indonesia, op. cit., Pasal 1 angka 4 menurut UUPK memiliki definisi yang cukup luas, sehingga berbagai jenis atau bentuk barang dapat dikatakan objek dari hukum perlindungan konsumen sesuai Pasal 1 angka 4 UUPK. Mengenai Jasa, didefinisikan pada Pasal 1 angka 5 UUPK, yaitu Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. 25
Tidak terciptanya hubungan baik antara konsumen dengan pelaku usaha akan menimbulkan suatu sengketa. Yang dimaksud dengan sengketa konsumen, yaitu sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha (publik atau privat) tentang produk konsumen, barang dan/atau jasa konsumen tertentu. 26 Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan apakah suatu sengketa termasuk dalam sengketa konsumen dalam UUPK, antara lain sebagai berikut: 1. Pihak konsumen yang bersengketa harus merupakan konsumen seperti yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 UUPK; 2. Produk yang disengketakan haruslah merupakan produk konsumen. 27
Pengaturan mengenai penyesesaian sengketa diatur secara khusus di UUPK dimulai dari Pasal 45 sampai dengan Pasal 48. Mengenai subjek yang dapat mengajukan gugatan atas suatu pelanggaran pelaku usaha dijelaskan pada Pasal 46 UUPK, yaitu: a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; b. Sekelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama; c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat; dan d. Pemerintah dan/atau instansi terkait. 28
Penyelesaian sengketa konsumen dapat diselesaikan melalui dua cara penyelesaian, yaitu penyelesaian sengketa secara damai atau penyelesaian melalui lembaga atau instansi yang berwenang. 29 Penyelesaian melalui lembaga atau instansi yang berwenang dapat dibagi lagi kedalam dua macam bentuk penyelesaian sengketa. Pilihan mekanisme dan lembaga
25 Ibid., Pasal 1 angka 5. 26 Az. Nasution (b), op. cit., hal. 221. 27 Dony Lanazura, Lika-Liku Perjalanan UUPK, dalam Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha, (Jakarta: YLKI dan USAID, 2001), hal. 84. 28 Indonesia, op. cit., Pasal 46. 29 Az. Nasution (e), Penulisan Karya Ilmiah tentang Perlindungan Konsumen dan Peradilan di Indonesia, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1995), hal. 232. penyelesaian sengeketa tersebut ditetapkan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. 30 Berdasarkan Pasal 47 dan Pasal 48 UUPK, tata cara penyelesaian sengketa dapat ditempuh dengan: 1. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yaitu dengan menyelesaian di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen setempat; 2. Penyelesaian sengketa di pengadilan, yaitu dengan mengajukan gugatan pada pengadilan negri di wilayah hukum konsumen.
Pada prinsipnya hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha merupakan hubungan hukum keperdataan, yang berarti setiap perselisihan yang mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha atas pelaksanaan UUPK yang menerbitkan kerugian bagi konsumen harus diselesaikan secara perdata. 31 Namun di sisi lain UUPK mencantumkan mengenai aturan pidana terhadap pelanggaran UUPK. Sehingga penyelesaiannya dapat dilakukan berdasarkan aturan pidana yang tercantum dalam undang-undang tersebut. Hal ini dipertegas dengan rumusan Pasal 45 ayat (3) yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. 32
Pengaturan mengenai sanksi terhadap pelanggaran Undang-undang Perlindungan Konsumen telah disebutkan di dalam Undang-undang itu sendiri, yaitu disebutkan dalam ketentuan Pasal 60 sampai dengan Pasal 63 UUPK. Sanksi-sanksi yang dapat dikenakan terdiri dari: 1. Sanksi administratif; 2. Sanksi pidana pokok; 3. Sanksi pidana tambahan. 33
Di Indonesia, pengertian mengenai suplemen makanan didefinisikan salah satunya oleh Badan POM sebagai badan yang mengatur mengenai peredaran suplemen makanan di Indonesia, yang mana pengertian dari suplemen makanan ialah produk yang dimaksudkan untuk melengkapi kebutuhan zat gizi makanan, mengandung satu atau lebih bahan berupa vitamin, mineral, asam
30 Yusuf Shofie dan Somi Awan, Sosok Peradilan Konsumen: Mengungkap Pelbagai Persoalan Mendasar BPSK, (Jakarta: Piramedia, 2004), hal. 47. 31 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op. cit., hal. 82. 32 Ibid. 33 Ibid., hal. 83. amino atau bahan lain (berasal dari tumbuhan atau bukan tumbuhan) yang mempunyai nilai gizi dan atau efek fisiologis dalam jumlah terkonsentrasi. 34
Penggunaan suplemen makanan dalam lingkup masyarakat telah menjadi hal umum. Sebagai objek yang termasuk ke dalam Obat dan Makanan menurut Badan POM, perlu ada peraturan- peraturan yang mengatur serta berkaitan mengenai suplemen makanan itu sendiri. Peraturan- peraturan tersebut antara lain, yakni: 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; 2. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pangan; 3. Peraturan Kepala Badan POM Nomor 27 Tahun 2013 tentang Pengawasan Pemasukan Obat dan Makanan ke dalam Wilayah Indonesia; 4. Peraturan Kepala Badan POM Nomor 28 Tahun 2013 tentang Pengawasan Pemasukan Bahan Obat, Bahan Obat Tradisional, Bahan Suplemen Kesehatan, dan Bahan Pangan ke dalam Wilayah Indonesia; 5. Peraturan Kepala Badan POM Nomor HK.00.05.41.1381 Tahun 2005 tentang Tata Laksana Pendaftaran Suplemen Makanan; 6. Peraturan Kepala Badan POM Nomor HK.00.05.1.23.06.10.5166 tentang Pencantuman Informasi Asal Bahan Tertentu, Kandungan Alkohol, dan Batas Kadaluarsa pada Penandaan/Label Obat, Obat Tradisional, Suplemen Makanan, dan Pangan; 7. Keputusan Kepala Badan POM Nomor HK.00.05.23.3644 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Suplemen Makanan; 8. Keputusan Kepala Badan POM Nomor HK.00.05.52.4040 Tahun 2006 tentang Kategori Pangan.
Badan POM merupakan badan yang ditunjuk oleh negara untuk melakukan pengawasan terhadap peredaran obat dan makanan. Sebagai bentuk dari pengawasan yang dilakukan olehnya, produk-produk yang termasuk kedalam kategori yang diatur oleh Badan POM harus memperoleh izin edar sebelum dapat diedarkan. Begitu juga dengan suplemen makanan, hal tersebut dikarenakan suplemen makanan merupakan bagian dari pangan olahan yang perlu mendapat izin edar dari Badan POM.
34 Badan Pengawas Obat dan Makanan (a), op. cit.,Pasal 1 angka 1. Secara menyeluruh, terdapat dua jenis pengawasan yang dilakukan oleh Badan POM terhadap produk-produk yang termasuk ke dalam pengaturannya. Pengawasan yang dilakukan oleh Badan POM ialah Pre-Market Evaluation dan Post-Market Control. - Pre-Market Evaluation Pengawasan ini merupakan pengawasan yang dilakukan oleh Badan POM sebelum produk yang akan dijual oleh pelaku usaha ke pasaran diedarkan. Tahap pertama yang dilakukan dalam melakukan pengawasan Pre-Market Evaluation ialah membuat standar dan persyaratan. Kedua hal ini yang akan menghasilkan suatu peraturan. Kemudian ada yang disebut sertifikasi, yang dilakukan oleh pabrik terkait dengan GMP (Good Manufactoring Practice). Jika telah memenuhi apa yang diatur dalam GMP, maka akan diberikan sertifikat. Lalu dari produknya, ada yang disebut evaluasi. Yaitu jika produk yang akan diedarkan telah memenuhi standar dan persyaratan serta sesuai dengan GMP, maka produk tersebut akan memperoleh NIE (Nomor Izin Edar). - Post-Market Control Jenis kedua ini merupakan pengawasan yang dilakukan terhadap produk yang telah dilakukan peredaran ke pasaran. Yaitu terhadap produk-produk yang telah memperoleh izin edar dari Badan POM. Pengawasan yang dilakukan oleh Badan POM ini ialah suatu pemeriksaan yang dilakukan ke 3 (tiga) hal, yaitu pemeriksaan terhadap: 1. Pabrik; 2. Penyalur dan/atau Importir; 3. Sarana pelayanan, yaitu seperti supermarket, toko, dan sebagainya. Pemeriksaan tersebut rutin dilakukan Badan POM setiap hari. Dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan oleh Badan POM, dilakukanlah sampling atau pengambilan contoh. Pengambilan tersebut dilakukan dengan cara dibeli oleh Badan POM dengan berita acara. Setelah sample tersebut diperoleh, dilakukanlah pengujian terhadap sample tersebut di laboratorium. Dari pengujian yang dilakukan pada sample, akan diperoleh dua hasil yaitu produk yang diedarkan telah memenuhi ketentuan atau tidak memenuhi ketentuan. Yang dimaksud dengan memenuhi ketentuan ialah produk tersebut telah memenuhi apa yang dilakukan pada tahap evaluasi sebelumnya, sehingga yang sebaiknya dilakukan ialah peningkatan kualitas. Lalu ada yang disebut dengan tidak memenuhi ketentuan. Jika hal ini terjadi, maka dapat diberikan sanksi administratif dan/atau sanksi pidana sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 35
Fenomena peredaran suplemen makanan tanpa izin Badan POM telah menjadi suatu masalah bagi konsumen suplemen makanan. Tindakan tersebut telah melanggar ketentuan perundang- undangan. Berdasarkan UUPK, pertama pelaku usaha telah melanggar Pasal 4 huruf c, yaitu disini hak konsumen atas informasi yang benar, jelas, dan jujur telah terlanggar dikarenakan produk yang dijual oleh pelaku usaha masih menggunakan bahasa asing sehingga informasi mengenai kondisi dan jaminan barang tidaklah dapat diperoleh dengan baik oleh konsumen. Pasal 7 huruf a telah terlanggar oleh pelaku usaha dikarenakan kegiatan peredaran yang dilakukan oleh pelaku usaha, kegiatan usaha yang dilakukannya tidaklah berdasarkan itikad baik. Hal ini ditunjukan dari produk yang diedarkan oleh pelaku usaha bukanlah merupakan produk yang memiliki izin dari Badan POM, yang memberikan izin edar. Maka mengenai keamanan serta mutu dari produk tersebut tidaklah dapat terjamin. Pasal 7 huruf d telah terlanggar, yaitu barang yang dijual oleh pelaku usaha tidaklah didaftakan ke Badan POM sehingga pelaku usaha tidak dapat menjamin apakah barang yang dijualnya tersebut telah berdasarkan ketentuan standar mutu barang yang diatur oleh Badan POM. Lalu pada Pasal 8 ayat (1) huruf j, pelaku usaha telah melanggar pasal ini dikarenakan barang yang dijualnya tidaklah diketahui apakah telah memenuhi atau sesuai dengan standar yang dikeluarkan oleh Badan POM. Pasal 8 ayat (1) huruf j juga telah terlanggar oleh pelaku usaha, yaitu pelaku usaha tidaklah mencantumkan informasi serta petunjuk penggunaan berbahasa indonesia pada barang yang dijualnya.
Berdasarkan Undang-undang Pangan, pelaku usaha telah melanggar Pasal 37 ayat (1), yaitu barang yang dijual oleh pelaku usaha tidaklah memenuhi keamanan, mutu, gizi, yang telah dipersyaratkan Badan POM. Lalu Pasal 91 ayat (1) telah terlanggar, yaitu pelaku usaha dalam melakukan kegiatan usahanya tidaklah memiliki izin edar dari Badan POM. Berdasarkan KEPKA tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Suplemen Makanan, pelaku usaha telah melanggar Pasal 3 yaitu pelaku usaha tidaklah memiliki izin edar dari Kepala Badan POM dalam melakukan kegiatan usahanya mengedarkan suplemen makanan. Pelanggaran berikutnya
35 Hasil Wawancara dengan Budi Djanu Purwaanto, S.H, M.H., Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat, Badan Pengawas Obat dan Makanan, op. cit. ialah Pasal 15 jo. Pasal 13, yaitu pelaku usaha tidaklah mencantumkan informasi nama dan alamat importir serta nomor izin edar dalam kemasan suplemen makanan yang dijual olehnya.
Sanksi administratif yang dapat dikenakan terhadap pelaku usaha disebutkan pada UUPK. Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) UUPK dijelaskan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab untuk memberikan penggantian kerugian, dan pada ayat (2) disebutkan bahwa penggantian tersebut berupa penggantian uang atau barang yang sejenis nilainya atau perawatan kesehatan dan/atau santunan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Maka pelaku usaha bertanggung jawab atas apa yang akan menimpa konsumen yang mengkonsumsi produk suplemen makanan yang diedarkannya. Jika ketentuan tersebut dilanggar, maka terdapat sanksi administratif yang dikenakan terhadap dirinya. Sanksi tersebut disebutkan pada Pasal 60 ayat (1) UUPK, yang mana pihak yang berhak memberikan sanksi administratif tersebut ialah BPSK. Oleh karena itu perlu ada gugatan sebelumnya dari pihak konsumen. Besaran sanksi administratif yang dapat dibebankan kepada pelaku usaha tersebut ialah maksimal sebesar Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sesuai dengan ketentuan pada Pasal 60 ayat (2) UUPK.
Pengaturan mengenai sanksi administratif berikutnya disebutkan pula dalam KEPKA No. 3644 tahun 2004 tentang Pengawasan Suplemen Makanan. Sebelumnya telah disebutkan mengenai pelanggaran apa saja yang dilakukan berdasarkan keputusan ini dan terdapat sanksi-sanksi administratif jka pelanggaran tersebut dilakukan. Lalu sebagai bentuk pengawasan suplemen makanan, pemberian sanksi administratif merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan, hal ini disebutkan pada Pasal 2 ayat (1) huruf f KEPKA No. 3644 tahun 2004 tentang Pengawasan Suplemen Makanan. Sanksi administratif yang dapat diberikan terhadap pelanggaran atas ketentuan yang terdapat pada keputusan ini disebutkan pada Pasal 25 ayat (1), yakni: a. Peringatan tertulis; b. Penarikan iklan; c. Penarikan suplemen makanan dari peredaran; d. Penghentian sementara kegiatan produksi, impor, dan distribusi; e. Pencabutan izin edar.
Selain dapat dikenakan sanksi administratif terhadap tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha atas peredaran suplemen makanan tanpa izin edar Badan POM, pelaku usaha juga dapat dijerat dengan sanksi pidana yang dicantumkan pada beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait mengenai hal ini.
UUPK sebagai peraturan perundangan-undangan yang dilanggar atas tindakan peredaran suplemen makanan yang dilakukan oleh pelaku usaha memiliki Pasal-Pasal yang mengatur mengenai sanksi pidana. Sanksi pidana diberikan terhadap pelaku usaha yang telah melanggar Pasal-Pasal yang disebutkan pada Pasal 62 ayat (1) dan (2) UUPK, begitu juga terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian. Sebelumnya telah disebutkan Pasal-Pasal yang telah dilanggar oleh pelaku usaha atas tindakannya yang telah melakukan peredaran suplemen tanpa izin edar dari Badan POM, yang mana salah satunya ialah Pasal 8 UUPK. Sehingga dikarenakan Pasal 8 UUPK merupakan salah satu Pasal yang disebutkan dalam Pasal 62 ayat (1) UUPK sebagai salah satu Pasal yang terlanggar, maka pelaku usaha dapatlah dikenakan sanksi pidana atas perbuatannya tersebut. Sanksi pidana yang dapat dikenakan sesuai dengan Pasal 62 ayat (1) UUPK ialah pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). Disebutkan pada Pasal 63 UUPK, bahwa selain sanksi yang dimaksud pada Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan.
Peraturan perundang-undangan lain yang mengatur mengenai ketentuan pidana terhadap pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan oleh pelaku usaha ialah undang-undang tentang Pangan. Tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha ialah ia dengan sengaja tidak memiliki izin edar terhadap pangan olahan yang diimpor untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran. Hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap Pasal 91 ayat (1) UU tentang Pangan, oleh karena itu sesuai dengan Pasal 142 UU Pangan pelaku usaha dapatlah dikenakan sanksi pidana. Sanksi pidana tersebut ialah pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak sebesar Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Sebagai masalah dalam tahap purna transaksi, kerugian yang diperoleh konsumen akibat mengkonsumsi produk yang diedarkan oleh pelaku usaha haruslah dapat dipertanggung jawabkan olehnya. Hal ini sesuai dengan Pasal 19 ayat (1) UUPK yang mengatur bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Pertanggung jawaban yang dapat dilakukan oleh pelaku usaha ialah seperti yang dijelaskan pada ketentuan di Pasal 19 ayat (2) UUPK, yaitu ganti rugi berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Maka dapat terlihat bahwa peredaran suplemen makanan tanpa izin Badan POM yang terjadi merupakan tanggung jawab pelaku usaha yang melakukan peredaran tersebut secara langsung. Lalu jika terjadi kerugian akibat mengkonsumsi produk suplemen tersebut, konsumen dapat meminta pertanggung jawaban kepada pelaku usaha yang mengedarkan.
Namun jika terjadi suatu penolakan atau pelepasan tanggung jawab oleh pelaku usaha dalam memenuhi tanggung jawabnya untuk melakukan ganti kerugian terhadap konsumen yang telah dirugikan akibat mengkonsumsi barang yang dijual olehnya, maka akan timbul dengan apa yang dinamakan sengketa. Jika terjadi hal yang demikian, sebagai bentuk upaya menyelesaikan sengketa yang terjadi antara pelaku usaha dan konsumen yang telah merasa dirugikan, konsumen dapat mengajukan gugatan. Hal ini sesuai dengan isi ketentuan dalam Pasal 23 UUPK, yaitu konsumen dapat mengajukan gugatan ke BPSK ataupun badan peradilan umum di tempat kedudukan konsumen jikalau pelaku usaha tidaklah memenuhi tanggung jawab ganti kerugian yang disebutkan pada Pasal 19 ayat (2) UUPK.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, bahwa pelaku usaha dalam melakukan peredaran suplemen makanan tanpa izin Badan POM telah melanggar beberapa ketentuan hukum, yaitu berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terdiri dari Pasal 4 huruf c, Pasal 7 huruf a dan d, serta Pasal 8 ayat (1) huruf a dan j. Berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pangan terdiri dari Pasal 37 ayat (1) dan Pasal 91 ayat (1). Berdasarkan Keputusan Kepala Badan POM No. HK.00.05.23.3644 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Suplemen Makanan yaitu Pasal 3, Pasal 15 jo. Pasal 13, dan Pasal 16 ayat (1).
Kedua, bahwa atas pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha, maka pelaku usaha dapat dikenakan sanksi atas perbuatannya tersebut. Sanksi yang dapat dikenakan kepada pelaku usaha yaitu sanksi administratif dan sanksi pidana. Berdasarkan UUPK, ketentuan sanksi administratif disebutkan pada pasal 60 ayat (1) UUPK dan jumlahnya disebutkan pada Pasal 60 ayat (2) UUPK. Sanksi administratif menurut KEPKA No. 3644 tahun 2004 tentang Pengawasan Suplemen Makanan ialah disebutkan pada Pasal 25 ayat (1). Mengenai sanksi pidana, disebutkan dalam pasal 62 ayat (1) UUPK. Selain itu, terdapat hukuman tambahan yang disebutkan pada Pasal 63 UUPK. Dalam UU Pangan, pengaturan sanksi pidana disebutkan pada Pasal 142 UU Pangan.
Ketiga, bahwa jika konsumen mengalami kerugian akibat mengkonsumsi suplemen makanan yang diedarkan oleh pelaku usaha, berdasarkan Pasal 19 ayat (1) UUPK, pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang diperdagangkan olehnya. Konsumen sebagai pengguna yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi terhadap pelaku usaha yang mengedarkan suplemen makanan. Namun jika ternyata pelaku usaha tidak melaksanakan tanggung jawabnya tersebut, upaya yang dapat dilakukan oleh konsumen untuk memperoleh kembali haknya ialah dengan mengajukan gugatan ke BPSK ataupun badan peradilan umum di tempat kedudukan konsumen, sesuai Pasal 23 UUPK
Saran
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, peneliti memiliki saran yang disampaikan untuk melengkapi hasil penelitian. Pelaku usaha sebagai pihak yang melakukan penjualan dan/atau penawaran suatu barang dan/atau jasa sebaiknya lebih memperhatikan lagi aturan-aturan hukum yang berlaku yang berkaitan dengan kegiatan usahanya. Hal ini bertujuan agar dimasa yang akan datang tidak ada lagi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam menjalankan suatu kegiatan usaha. Masyarakat sebagai konsumen sebaiknya lebih kritis dalam melihat peredaran suplemen makanan tanpa izin edar. Alangkah baiknya jika konsumen tidaklah mudah tergiur dengan produk suplemen makanan dengan harga yang murah, namun perlu melihat apakah produk tersebut telah memiliki izin atau tidak. Pemerintah sebaiknya lebih menggalakan pengenalan UUPK kepada masyarakat, agar masyarakat sebagai konsumen maupun pelaku usaha mengetahui apa saja hak serta kewajiban yang dimilikinya, yang dikemudian hari dapat menciptakan hubungan baik antara pelaku usaha dengan konsumen.
Daftar Referensi
Books: Lanazura, Dony. Lika-Liku Perjalanan UUPK, dalam Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha. Jakarta: YLKI dan USAID. 2001. Mamudji, Sri, et. al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2005. Miru, Ahmad dan Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004. Nasution, Az. Hukum Perlindungan Konsumen: Suatu Pengantar. Jakarta: Diadit Media. 2006. ___________. Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial, Ekonomi, dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1995. ___________. Penulisan Karya Ilmiah tentang Perlindungan Konsumen dan Peradilan di Indonesia. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional. 1995. Siahaan, N.H.T. Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk. Jakarta: Panta Rei. 2005. Shofie, Yusuf. Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut UUPK: Teori dan Penegakan Hukum. Jakarta: Citra Aditya Bakti. 2003. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum.Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. 2007. Regulations: Badan Pengawas Obat dan Makanan. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Suplemen Makanan. KEPKA KBPOM HK.00.05.23.3644 Tahun 2004. ___________. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Tentang Pengawasan Pemasukan Obat dan Makanan ke dalam Wilayah Indonesia. PERKA BPOM No. 27 Tahun 2013. Indonesia. Undang-undang Perlindungan Konsumen. UU No. 8 Tahun 1999. LN No. 42 Tahun 1999. TLN. No. 3821.