Anda di halaman 1dari 15

artikelkedokteran.com http://www.artikelkedokteran.com/527/stroke-non-hemoragik.

html
STROKE NON HEMORAGIK
STROKE NON HEMORAGIK
A. PENDAHULUAN
Stroke sudah dikenal sejak dulu kala, bahkan sebelum zaman Hippocrates. Soranus dari Ephesus (98 -138) di
Eropa telah mengamati beberapa faktor yang mempengaruhi stroke. Hippocrates adalah Bapak Kedokteran asal
Yunani. Ia mengetahui stroke 2400 tahun silam. Kala itu, belum ada istilah stroke. Hippocrates menyebutnya
dalam bahasa Yunani: apopleksi. Artinya, tertubruk oleh pengabaian. Sampai saat ini, stroke masih merupakan
salah satu penyakit saraf yang paling banyak menarik perhatian.
(1,2)
Definisi WHO, stroke adalah menifestasi klinik dari gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun menyeluruh
(global), yang berlangsung dengan cepat, selama lebih dari 24 jam atau berakhir dengan maut, tanpa
ditemukannya penyebab lain selain gangguan vaskuler. Istilah kuno apopleksia serebri sama maknanya dengan
Cerebrovascular Accidents/Attacks (CVA) dan Stroke.
(1)
B. INSIDEN
Stroke mengenai semua usia, termasuk anak-anak. Namun, sebagian besar kasus dijumpai pada orang-orang
yang berusia di atas 40 tahun. Makin tua umur, resiko terjangkit stroke makin besar. Penyakit ini juga tidak
mengenal jenis kelamin. Tetapi, stroke lebih banyak menjangkiti laki-laki daripada perempuan. Lalu dari segi
warna kulit, orang berkulit berwarna berpeluang terkena stroke lebih besar daripada orang berkulit putih.
(2)
C. EPIDEMIOLOGI
Stroke adalah penyebab cacat nomor satu dan penyebab kematian nomor dua di dunia. Penyakit ini telah
menjadi masalah kesehatan yang mendunia dan semakin penting, dengan dua pertiga stroke sekarang terjadi di
negara-negara yang sedang berkembang.
(3)
Menurut taksiran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 20,5 juta jiwa di dunia sudah terjangkit stroke
pada tahun 2001. Dari jumlah itu 5,5 juta telah meninggal dunia. Penyakit tekanan darah tinggi atau hipertensi
menyumbangkan 17,5 juta kasus stroke di dunia.
(2)
Di Amerika Serikat, stroke menempati posisi ketiga sebagai penyakit utama yang menyebabkan kematian. Posisi
di atasnya dipegang penyakit jantung dan kanker. Di negeri Paman Sam ini, setiap tahun terdapat laporan
700.000 kasus stroke. Sebanyak 500.000 diantaranya kasus serangan pertama, sedangkan 200.000 kasus
lainnya berupa stroke berulang. Sebanyak 75 persen penderita stroke menderita lumpuh dan kehilangan
pekerjaan.
(2)
Di Indonesia penyakit ini menduduki posisi ketiga setelah jantung dan kanker. Sebanyak 28,5 persen penderita
stroke meninggal dunia. Sisanya menderita kelumpuhan sebagian maupun total. Hanya 15 persen saja yang
dapat sembuh total dari serangan stroke dan kecacatan.
(2)
D. ANATOMI
Otak memperoleh darah melalui dua sistem yakni sistem karotis (arteri karotis interna kanan dan kiri) dan sistem
vertebral. Arteri koritis interna, setelah memisahkan diri dari arteri karotis komunis, naik dan masuk ke rongga
tengkorak melalui kanalis karotikus, berjalan dalam sinus kavernosum, mempercabangkan arteri oftalmika untuk
nervus optikus dan retina, akhirnya bercabang dua: arteri serebri anterior dan arteri serebri media. Untuk otak,
sistem ini memberi darah bagi lobus frontalis, parietalis dan beberapa bagian lobus temporalis.
(1)
Sistem vertebral dibentuk oleh arteri vertebralis kanan dan kiri yang berpangkal di arteri subklavia, menuju dasar
tengkorak melalui kanalis tranversalis di kolumna vertebralis servikal, masuk rongga kranium melalui foramen
magnum, lalu mempercabangkan masing-masing sepasang arteri serebeli inferior. Pada batas medula oblongata
dan pons, keduanya bersatu arteri basilaris, dan setelah mengeluarkan 3 kelompok cabang arteri, pada tingkat
mesensefalon, arteri basilaris berakhir sebagai sepasang cabang: arteri serebri posterior, yang melayani darah
bagi lobus oksipitalis, dan bagian medial lobus temporalis.
(1)
Ke 3 pasang arteri serebri ini bercabang-cabang menelusuri permukaan otak, dan beranastomosis satu bagian
lainnya. Cabang-cabang yang lebih kecil menembus ke dalam jaringan otak dan juga saling berhubungan dengan
cabang-cabang arteri serebri lainya. Untuk menjamin pemberian darah ke otak, ada sekurang-kurangnya 3
sistem kolateral antara sistem karotis dan sitem vertebral, yaitu:
(1)
Sirkulus Willisi, yakni lingkungan pembuluh darah yang tersusun oleh arteri serebri media kanan dan kiri,
arteri komunikans anterior (yang menghubungkan kedua arteri serebri anterior), sepasang arteri serebri
media posterior dan arteri komunikans posterior (yang menghubungkan arteri serebri media dan posterior)
kanan dan kiri. Anyaman arteri ini terletak di dasar otak.
Anastomosis antara arteri serebri interna dan arteri karotis eksterna di daerah orbita, masing-masing
melalui arteri oftalmika dan arteri fasialis ke arteri maksilaris eksterna.
Hubungan antara sitem vertebral dengan arteri karotis ekterna (pembuluh darah ekstrakranial).
Selain itu masih terdapat lagi hubungan antara cabang-cabang arteri tersebut, sehingga menurut Buskrik tak ada
arteri ujung (true end arteries) dalam jaringan otak.
(1)
Darah vena dialirkan dari otak melalui 2 sistem: kelompok vena interna, yang mengumpulkan darah ke vena
Galen dan sinus rektus, dan kelompok vena eksterna yang terletak dipermukaan hemisfer otak, dan
mencurahkan darah ke sinus sagitalis superior dan sinus-sinus basalis laterales, dan seterusnya melalui vena-
vena jugularis dicurahkan menuju ke jantung.
(1)
Gambar 2. Vaskularisasi otak tampak superior (dikutip dari kepustakaan 18)
Gambar 1. Vaskularisasi otak (dikutip dari kepustakaan 7)

E. FISIOLOGI
Sistem karotis terutama melayani kedua hemisfer otak, dan sistem vertebrabasilaris terutama memberi darah
bagi batang otak, serebelum dan bagian posterior hemisfer. Aliran darah di otak (ADO) dipengaruhi terutama 3
faktor. Dua faktor yang paling penting adalah tekanan untuk memompa darah dari sistem arteri-kapiler ke sistem
vena, dan tahanan (perifer) pembuluh darah otak. Faktor ketiga, adalah faktor darah sendiri yaitu viskositas darah
dan koagulobilitasnya (kemampuan untuk membeku).
(1)
Dari faktor pertama, yang terpenting adalah tekanan darah sistemik (faktor jantung, darah, pembuluh darah, dll),
dan faktor kemampuan khusus pembuluh darah otak (arteriol) untuk menguncup bila tekanan darah sistemik naik
dan berdilatasi bila tekanan darah sistemik menurun. Daya akomodasi sistem arteriol otak ini disebut daya
otoregulasi pembuluh darah otak (yang berfungsi normal bila tekanan sistolik antara 50-150 mmHg).
(1)
Faktor darah, selain viskositas darah dan daya membekunya, juga di antaranya seperti kadar/tekanan parsial
CO
2
dan O
2
berpengaruh terhadap diameter arteriol. Kadar/tekanan parsial CO
2
yang naik, PO
2
yang turun,
serta suasana jaringan yang asam (pH rendah), menyebabkan vasodilatasi, sebaliknya bila tekanan darah
parsial CO
2
turun, PO
2
naik, atau suasana pH tinggi, maka terjadi vasokonstriksi.
(1)
Viskositas/kekentalan darah yang tinggi mengurangi ADO. Sedangkan koagulobilitas yang besar juga
memudahkan terjadinya trombosis, aliran darah lambat, akibat ADO menurun.
(1)
F. FAKTOR RESIKO
Pemeriksaan faktor resiko dengan cermat dapat memudahkan seorang dokter untuk menemukan penyebab
terjadinya stroke. Terdapat beberapa faktor resiko stroke non hemoragik, yakni:
(4,5)
1. Usia lanjut (resiko meningkat setiap pertambahan dekade)
2. Hipertensi
3. Merokok
4. Penyakit jantung (penyakit jantung koroner, hipertrofi ventrikel kiri, dan fibrilasi atrium kiri)
5. Hiperkolesterolemia
6. Riwayat mengalami penyakit serebrovaskuler
Resiko stroke juga meningkat pada kondisi di mana terjadi peningkatan viskositas darah dan penggunaan
kontrasepsi oral pada pasien dengan resiko tinggi megalami stroke non hemoragik.
(4,6)
G. KLASIFIKASI
Stroke iskemik dapat dijumpai dalam 4 bentuk klinis:
(1)
1. Serangan Iskemia Sepintas/Transient Ischemic Attack (TIA)
Pada bentuk ini gejalah neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak akan menghilang dalam
waktu 24 jam.
2. Defisit Neurologik Iskemia Sepintas/Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND).
Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih dari 24 jam, tapi tidak lebih dari seminggu.
3. Stroke progresif (Progressive Stroke/Stroke in evolution)
Gejala neurologik makin lama makin berat.
4. Stroke komplet (Completed Stroke/Permanent Stroke)
Gejala klinis sudah menetap.
H. ETIOLOGI
Pada tingkatan makroskopik, stroke non hemoragik paling sering disebabkan oleh emboli ektrakranial atau
trombosis intrakranial. Selain itu, stroke non hemoragik juga dapat diakibatkan oleh penurunan aliran serebral.
Pada tingkatan seluler, setiap proses yang mengganggu aliran darah menuju otak menyebabkan timbulnya
kaskade iskemik yang berujung pada terjadinya kematian neuron dan infark serebri.
(4)
1. Emboli
Sumber embolisasi dapat terletak di arteria karotis atau vertebralis akan tetapi dapat juga di jantung dan sistem
vaskuler sistemik.
(5)
a) Embolus yang dilepaskan oleh arteria karotis atau vertebralis, dapat berasal dari plaque athersclerotique
yang berulserasi atau dari trombus yang melekat pada intima arteri akibat trauma tumpul pada daerah leher.
b) Embolisasi kardiogenik dapat terjadi pada:
1) Penyakit jantung dengan shunt yang menghubungkan bagian kanan dengan bagian kiri atrium atau
ventrikel;
2) Penyakit jantung rheumatoid akut atau menahun yang meninggalkan gangguan pada katup mitralis;
3) Fibralisi atrium;
4) Infarksio kordis akut;
5) Embolus yang berasal dari vena pulmonalis
6) Kadang-kadang pada kardiomiopati, fibrosis endrokardial, jantung miksomatosus sistemik;
c) Embolisasi akibat gangguan sistemik dapat terjadi sebagai:
1) Embolia septik, misalnya dari abses paru atau bronkiektasis.
2) Metastasis neoplasma yang sudah tiba di paru.
3) Embolisasi lemak dan udara atau gas N (seperti penyakit caisson).
Emboli dapat berasal dari jantung, arteri ekstrakranial, ataupun dari right-sided circulation (emboli paradoksikal).
Penyebab terjadinya emboli kardiogenik adalah trombi valvular seperti pada mitral stenosis, endokarditis, katup
buatan), trombi mural (seperti infark miokard, atrial fibrilasi, kardiomiopati, gagal jantung kongestif) dan atrial
miksoma. Sebanyak 2-3 persen stroke emboli diakibatkan oleh infark miokard dan 85 persen di antaranya terjadi
pada bulan pertama setelah terjadinya infark miokard.
(4)
2. Trombosis
Stroke trombotik dapat dibagi menjadi stroke pada pembuluh darah besar (termasuk sistem arteri karotis) dan
pembuluh darah kecil (termasuk sirkulus Willisi dan sirkulus posterior). Tempat terjadinya trombosis yang paling
sering adalah titik percabangan arteri serebral utamanya pada daerah distribusi dari arteri karotis interna. Adanya
stenosis arteri dapat menyebabkan terjadinya turbulensi aliran darah (sehingga meningkatkan resiko
pembentukan trombus aterosklerosis (ulserasi plak), dan perlengketan platelet.
(4)
Penyebab lain terjadinya trombosis adalah polisetemia, anemia sickle sel, defisiensi protein C, displasia
fibromuskular dari arteri serebral, dan vasokonstriksi yang berkepanjangan akibat gangguan migren. Setiap
proses yang menyebabkan diseksi arteri serebral juga dapat menyebabkan terjadinya stroke trombotik
(contohnya trauma, diseksi aorta thorasik, arteritis).
(4)
3. Patofisiologi
Infark iskemik serebri, sangat erat hubungannya aterosklerosis (terbentuknya ateroma) dan arteriolosklerosis.
(1,6)
Gambar 4. Penyumbatan pembuluh darah (dikutip dari kepustakaan 6)
Aterosklerosis dapat menimbulkan bermacam-macam manifestasi klinik dengan
cara:
(1)
a. Menyempatkan lumen pembuluh darah dan mengakibatkan insufisiensi aliran
darah.
b. Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadinya trombus atau peredaran
darah aterom.
c. Merupakan terbentuknya trombus yang kemudian terlepas sebagai emboli.
d. Menyebabkan dinding pembuluh menjadi lemah dan terjadi aneurisma yang kemudian dapat robek.
Faktor yang mempengaruhi aliran darah ke otak:
(1)
a. Keadaan pembuluh darah, bila menyempit akibat stenosis atau ateroma atau tersumbat oleh
trombus/embolus.
b. Keadaan darah: viskositas darah yang meningkat, hematokrit yang meningkat (polisetemial) yang
menyebabkan aliran darah ke otak lebih lambat: anemia yang berat menyebabkan oksigenasi otak menurun.
c. Tekanan darah sistematik memegang peranan tekanan perfusi otak. Perlu diingat apa yang disebut
otoregulasi otak yakni kemampuan intrinsik dari pembuluh darah otak agar aliran darah otak tetap konstan
walaupun ada perubahan dari tekanan perfusi otak.
Batas normal otoregulasi antara 50-150 mmHg. Pada penderita hipertensi otoregulasi otak bergeser ke kanan.
d. Kelainan jantung
1) Menyebabkan menurunnya curah jantung a.l. fibrilasi, blok jantung.
2) Lepasnya embolus menimbulkan iskemia di otak.
I. DIAGNOSIS
1. Gambaran Klinis
a. Anamnesis
Stroke harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang mengalami defisit neurologi akut (baik fokal maupun
global) atau penurunan tingkat kesadaran. Tidak terdapat tanda atau gejala yang dapat membedakan stroke
hemoragik dan non hemoragik meskipun gejalah seperti mual muntah, sakit kepala dan perubahan tingkat
kesadaran lebih sering terjadi pada stroke hemoragik. Beberapa gejalah umum yang terjadi pada stroke meliputi
hemiparese, monoparese, atau qudriparese, hilangnya penglihatan monokuler atau binokuler, diplopia, disartria,
ataksia, vertigo, afasia, atau penurunan kesadaran tiba-tiba. Meskipun gejala-gejala tersebut dapat muncul
sendiri namun umumnya muncul secara bersamaan. Penentuan waktu terjadinya gejala-gejala tersebut juga
penting untuk menentukan perlu tidaknya pemberian terapi trombolitik. Beberapa faktor dapat mengganggu
dalam mencari gejalah atau onset stroke seperti:
1) Stroke terjadi saat pasien sedang tertidur sehingga kelainan tidak didapatkan hingga pasien bangun (wake
up stroke).
2) Stroke mengakibatkan seseorang sangat tidak mampu untuk mencari pertolongan.
3) Penderita atau penolong tidak mengetahui gejala-gejala stroke.
4) Terdapat beberapa kelainan yang gejalanya menyerupai stroke seperti kejang, infeksi sistemik, tumor
serebral, subdural hematom, ensefalitis, dan hiponatremia.
(4)
b. Pemeriksaan Fisik
Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab stroke ekstrakranial, memisahkan stroke dengan
kelainan lain yang menyerupai stroke, dan menentukan beratnya defisit neurologi yang dialami. Pemeriksaan fisik
harus mencakup pemeriksaaan kepala dan leher untuk mencari tanda trauma, infeksi, dan iritasi menings.
Pemeriksaan terhadap faktor kardiovaskuler penyebab stroke membutuhkan pemeriksaan fundus okuler
(retinopati, emboli, perdarahan), jantung (ritmik ireguler, bising), dan vaskuler perifer (palpasi arteri karotis, radial,
dan femoralis). Pasien dengan gangguan kesadaran harus dipastikan mampu untuk menjaga jalan napasnya
sendiri.
(4)
c. Pemeriksaan Neurologi
Tujuan pemeriksaan neurologi adalah untuk mengidentifikasi gejalah stroke, memisahkan stroke dengan kelainan
lain yang memiliki gejalah seperti stroke, dan menyediakan informasi neurologi untuk mengetahui keberhasilan
terapi. Komponen penting dalam pemeriksaan neurologi mencakup pemeriksaan status mental dan tingkat
kesadaran, pemeriksaan nervus kranial, fungsi motorik dan sensorik, fungsi serebral, gait, dan refleks tendon
profunda. Tengkorak dan tulang belakang pun harus diperiksa dan tanda-tanda meningimus pun harus dicari.
Adanya kelemahan otot wajah pada stroke harus dibedakan dengan Bells palsy di mana pada Bells palsy
biasanya ditemukan pasien yang tidak mampu mengangkat alis atau mengerutkan dahinya.
(4,7)
Gejala-gejala neurologi yang timbul biasanya bergantung pada arteri yang tersumbat.
1) Arteri serebri media (MCA)
Gejala-gejalanya antara lain hemiparese kontralateral, hipestesi kontralateral, hemianopsia ipsilateral, agnosia,
afasia, dan disfagia. Karena MCA memperdarahi motorik ekstremitas atas maka kelemahan tungkai atas dan
wajah biasanya lebih berat daripada tungkai bawah.
(4,8)
2) Arteri serebri anterior
Umumnya menyerang lobus frontalis sehingga menyebabkan gangguan bicara, timbulnya refleks primitive
(grasping dan sucking reflex), penurunan tingkat kesadaran, kelemahan kontralateral (tungkai bawah lebih berat
dari pada tungkai atas), defisit sensorik kontralateral, demensia, dan inkontinensia uri.
(4,8)
3) Arteri serebri posterior
Menimbulkan gejalah seperti hemianopsia homonymous kontralateral, kebutaan kortikal, agnosia visual,
penurunan tingkat kesadaran, hemiparese kontralateral, gangguan memori.
(4,8)
4) Arteri vertebrobasiler (sirkulasi posterior)
Umumnya sulit dideteksi karena menyebabkan deficit nervus kranialis, serebellar, batang otak yang luas. Gejalah
yang timbul antara lain vertigo, nistagmus, diplopia, sinkop, ataksia, peningkatan refleks tendon, tanda Babynski
bilateral, tanda serebellar, disfagia, disatria, dan rasa tebal pada wajah. Tanda khas pada stroke jenis ini adalah
temuan klinis yang saling berseberangan (defisit nervus kranialis ipsilateral dan deficit motorik kontralateral).
(4,8)
5) Arteri karotis interna (sirkulasi anterior)
Gejala yang ada umumnya unilateral. Lokasi lesi yang paling sering adalah bifurkasio arteri karotis komunis
menjadi arteri karotis interna dan eksterna. Adapun cabang-cabang dari arteri karotis interna adalah arteri
oftalmika (manifestasinya adalah buta satu mata yang episodik biasa disebut amaurosis fugaks), komunikans
posterior, karoidea anterior, serebri anterior dan media sehingga gejala pada oklusi arteri serebri anterior dan
media pun dapat timbul.
(4,8)
6) Lakunar stroke
Lakunar stroke timbul akibat adanya oklusi pada arteri perforans kecil di daerah subkortikal profunda otak.
Diameter infark biasanya 2-20 mm. Gejala yang timbul adalah hemiparese motorik saja, sensorik saja, atau
ataksia. Stroke jenis ini biasanya terjadi pada pasien dengan penyakit pembuluh darah kecil seperti diabetes dan
hipertensi.
(4)
2. Gambaran Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin diperlukan sebagai dasar pembelajaran dan mungkin pula menunjukkan faktor resiko
stroke seperti polisitemia, trombositosis, trombositopenia, dan leukemia). Pemeriksaan ini pun dapat
menunjukkan kemungkinan penyakit yang sedang diderita saat ini seperti anemia.
(9)
Pemeriksaan kimia darah dilakukan untuk mengeliminasi kelainan yang memiliki gejalah seperti stoke
(hipoglikemia, hiponatremia) atau dapat pula menunjukka penyakit yang diderita pasien saat ini (diabetes,
gangguan ginjal).
(9)
Pemeriksaan koagulasi dapat menunjukkan kemungkinan koagulopati pada pasien. Selain itu, pemeriksaan ini
juga berguna jika digunakan terapi trombolitik dan antikoagulan.
(9)
Biomarker jantung juga penting karena eratnya hubungan antara stroke dengan penyakit jantung koroner.
Penelitian lain juga mengindikasikan adanya hubungan anatara peningkatan enzim jantung dengan hasih yang
buruk dari stroke.
(9)
3. Gambaran Radiologi
a. CT scan kepala non kontras
Modalitas ini baik digunakan untuk membedakan stroke hemoragik dan stroke non hemoragik secara tepat
kerena pasien stroke non hemoragik memerlukan pemberian trombolitik sesegera mungkin. Selain itu,
pemeriksaan ini juga berguna untuk menentukan distribusi anatomi dari stroke dan mengeliminasi kemungkinan
adanya kelainan lain yang gejalahnya mirip dengan stroke (hematoma, neoplasma, abses).
(4)
Adanya perubahan hasil CT scan pada infark serebri akut harus dipahami. Setelah 6-12 jam setelah stroke
terbentuk daerah hipodense regional yang menandakan terjadinya edema di otak. Jika setelah 3 jam terdapat
daerah hipodense yang luas di otak maka diperlukan pertimbangan ulang mengenai waktu terjadinya stroke.
Tanda lain terjadinya stroke non hemoragik adalah adanya insular ribbon sign, hiperdense MCA (oklusi MCA),
asimetris sulkus, dan hilangnya perberdaan gray-white matter.
(4,10)
b. CT perfussion
Modalitas ini merupakan modalitas baru yang berguna untuk mengidentifikasi daerah awal terjadinya iskemik.
Dengan melanjutkan pemeriksaan scan setelah kontras, perfusi dari region otak dapat diukur. Adanya
hipoatenuasi menunjukkan terjadinya iskemik di daerah tersebut.
(4,17)

c. CT angiografi (CTA)
Pemeriksaan CT scan non kontras dapat dilanjutkan dengan CT angiografi (CTA). Pemeriksaan ini dapat
mengidentifikasi defek pengisian arteri serebral yang menunjukkan lesi spesifik dari pembuluh darah penyebab
stroke. Selain itu, CTA juga dapat memperkirakan jumlah perfusi karena daerah yang mengalami hipoperfusi
memberikan gambaran hipodense.
(4)
d. MR angiografi (MRA)
MRA juga terbukti dapat mengidentifikasi lesi vaskuler dan oklusi lebih awal pada stroke akut. Sayangnya,
pemerikasaan ini dan pemeriksaan MRI lainnya memerlukan biaya yang tidak sedikit serta waktu pemeriksaan
yang agak panjang.
(4,10)
Protokol MRI memiliki banyak kegunaan untuk pada stroke akut. MR T1 dan T2 standar dapat dikombinasikan
dengan protokol lain seperti diffusion-weighted imaging (DWI) dan perfussion-weighted imaging (PWI) untuk
meningkatkan sensitivitas agar dapat mendeteksi stroke non hemoragik akut. DWI dapat mendeteksi iskemik
lebih cepat daripada CT scan dan MRI. Selain itu, DWI juga dapat mendeteksi iskemik pada daerah kecil. PWI
dapat mengukur langsung perfusi daerah di otak dengan cara yang serupa dengan CT perfusion. Kontras
dimasukkan dan beberapa gambar dinilai dari waktu ke waktu serta dibandingkan.
(4)

e. USG, ECG, EKG, Chest X-Ray
Untuk evaluasi lebih lanjut dapat digunakan USG. Jika dicurigai stenosis atau oklusi arteri karotis maka dapat
dilakukan pemeriksaan dupleks karotis. USG transkranial dopler berguna untuk mengevaluasi anatomi vaskuler
proksimal lebih lanjut termasuk di antaranya MCA, arteri karotis intrakranial, dan arteri vertebrobasiler.
Pemeriksaan ECG (ekhokardiografi) dilakukan pada semua pasien dengan stroke non hemoragik yang dicurigai
mengalami emboli kardiogenik. Transesofageal ECG diperlukan untuk mendeteksi diseksi aorta thorasik. Selain
itu, modalitas ini juga lebih akurat untuk mengidentifikasi trombi pada atrium kiri. Modalitas lain yang juga
berguna untuk mendeteksi kelainan jantung adalah EKG dan foto thoraks.
(4)
J. PENATALAKSANAAN
Target managemen stroke non hemoragik akut adalah untuk menstabilkan pasien dan menyelesaikan evaluasi
dan pemeriksaan termasuk diantaranya pencitraan dan pemeriksaan laboratorium dalam jangka waktu 60 menit
setelah pasien tiba. Keputusan penting pada manajemen akut ini mencakup perlu tidaknya intubasi, pengontrolan
tekanan darah, dan menentukan resiko atau keuntungan dari pemberian terapi trombolitik.
(6,12)
1. Penatalaksanaan Umum
a. Airway and breathing
Pasien dengan GCS 8 atau memiliki jalan napas yang tidak adekuat atau paten memerlukan intubasi. Jika
terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial (TIK) maka pemberian induksi dilakukan untuk mencegah
efek samping dari intubasi. Pada kasus dimana kemungkinan terjadinya herniasi otak besar maka target pCO
2
arteri adalah 32-36 mmHg. Dapat pula diberikan manitol intravena untuk mengurangi edema serebri. Pasien
harus mendapatkan bantuan oksigen jika pulse oxymetri atau pemeriksaan analisa gas darah menunjukkan
terjadinya hipoksia. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan hipoksia pada stroke non hemoragik adalah
adanya obstruksi jalan napas parsial, hipoventilasi, atelektasis ataupun GERD.
(11,12,13,14)
b. Circulation
Pasien dengan stroke non hemoragik akut membutuhkan terapi intravena dan pengawasan jantung. Pasien
dengan stroke akut berisiko tinggi mengalami aritmia jantung dan peningkatan biomarker jantung. Sebaliknya,
atrial fibrilasi juga dapat menyebabkan terjadinya stroke.
(11,12,13,14)
c. Pengontrolan gula darah
Beberapa data menunjukkan bahwa hiperglikemia berat terkait dengan prognosis yang kurang baik dan
menghambat reperfusi pada trombolisis. Pasien dengan normoglokemik tidak boleh diberikan cairan intravena
yang mengandung glukosa dalam jumlah besar karena dapat menyebabkan hiperglikemia dan memicu iskemik
serebral eksaserbasi. Pengontrolan gula darah harus dilakukan secara ketat dengan pemberian insulin. Target
gula darah yang harus dicapai adalah 90-140 mg/dl. Pengawasan terhadap gula darah ini harus dilanjutkan
hingga pasien pulang untuk mengantisipasi terjadinya hipoglikemi akibat pemberian insulin.
(11,12,13,14)
d. Posisi kepala pasien
Penelitian telah membuktikan bahwa tekanan perfusi serebral lebih maksimal jika pasien dalam pasien supinasi.
Sayangnya, berbaring telentang dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial padahal hal tersebut tidak
dianjurkan pada kasus stroke. Oleh karena itu, pasien stroke diposisikan telentang dengan kepala ditinggikan
sekitar 30-45 derajat.
(11,12,13,14)
e. Pengontrolan tekanan darah
Pada keadaan dimana aliran darah kurang seperti pada stroke atau peningkatan TIK, pembuluh darah otak tidak
memiliki kemampuan vasoregulator sehingga hanya bergantung pada maen arterial pressure (MAP) dan cardiac
output (CO) untuk mempertahankan aliran darah otak. Oleh karena itu, usaha agresif untuk menurunkan tekanan
darah dapat berakibat turunnya tekanan perfusi yang nantinya akan semakin memperberat iskemik. Di sisi lain
didapatkan bahwa pemberian terapi anti hipertensi diperlukan jika pasien memiliki tekanan darah yang ekstrim
(sistole lebih dari 220 mmHg dan diastole lebih dari 120 mmHg) atau pasien direncanakan untuk mendapatkan
terapi trombolitik.
(11,12,13,14)
Adapun langkah-langkah pengontrolan tekanan darah pada pasien stroke non hemoragik adalah sebagai berikut.
Jika pasien tidak direncanakan untuk mendapatkan terapi trombolitik, tekanan darah sistolik kurang dari 220
mmHg, dan tekanan darah diastolik kurang dari 120 mmHg tanpa adanya gangguan organ end-diastolic maka
tekanan darah harus diawasi (tanpa adanya intervensi) dan gejala stroke serta komplikasinya harus
ditangani.
(11,12,13,14)
Untuk pasien dengan TD sistolik di atas 220 mmHg atau diastolik antara 120-140 mmHg maka pasien dapat
diberikan labetolol (10-20 mmHg IV selama 1-2 menit jika tidak ada kontraindikasi. Dosis dapat ditingkatkan atau
diulang setiap 10 menit hingga mencapai dosis maksiamal 300 mg. Sebagai alternatif dapat diberikan nicardipine
(5 mg/jam IV infus awal) yang dititrasi hingga mencapai efek yang diinginkan dengan menambahkan 2,5 mg/jam
setiap 5 menit hingga mencapai dosis maksimal 15 mg/jam. Pilihan terakhir dapat diberikan nitroprusside 0,5
mcg/kgBB/menit/IV via syringe pump. Target pencapaian terapi ini adalah nilai tekanan darah berkurang 10-15
persen.
(11,12,13,14)
Pada pasien yang akan mendapatkan terapi trombolitik, TD sistolik lebih 185 mmHg, dan diastolik lebih dari 110
mmHg maka dibutuhkan antihipertensi. Pengawasan dan pengontrolan tekanan darah selama dan setelah
pemberian trombolitik agar tidak terjadi komplikasi perdarahan. Preparat antihipertensi yang dapat diberikan
adalah labetolol (10-20 mmHg/IV selama 1-2 menit dapat diulang satu kali). Alternatif obat yang dapat digunakan
adalah nicardipine infuse 5 mg/jam yang dititrasi hingga dosis maksimal 15 mg/jam.
(11,12,13,14)
Pengawasan terhadap tekanan darah adalah penting. Tekanan darah harus diperiksa setiap 15 menit selama 2
jam pertama, setiap 30 menit selama 6 jam berikutnya, dan setiap jam selama 16 jam terakhir. Target terapi
adalah tekanan darah berkurang 10-15 persen dari nilai awal. Untuk mengontrol tekanan darah selama opname
maka agen berikut dapat diberikan.
(11,12,13,14)
1. TD sistolik 180-230 mmHg dan diastolik 105-120 mmHg maka dapat diberikan labetolol 10 mg IV selama 1-
2 menit yang dapat diulang selama 10-20 menit hingga maksimal 300 mg atau jika diberikan lewat infuse hingga
2-8 mg/menit.
2. TD sistolik lebih dari 230 mmHg atau diastolik 121-140 mmHg dapat diberikan labetolol dengan dosis diatas
atau nicardipine infuse 5 mg/jam hingga dosis maksimal 15mg/jam.
3. Penggunaan nifedipin sublingual untuk mengurangi TD dihindari karena dapat menyebabkan hipotensi
ekstrim.
f. Pengontrolan demam
Antipiretik diindikasikan pada pasien stroke yang mengalami demam karena hipertermia (utamanya pada 12-24
jam setelah onset) dapat menyebabkan trauma neuronal iskemik. Sebuah penelitian eksprimen menunjukkan
bahwa hipotermia otak ringan dapat berfungsi sebagai neuroprotektor.
(11,12,13,14)
g. Pengontrolan edema serebri
Edema serebri terjadi pada 15 persen pasien dengan stroke non hemoragik dan mencapai puncak keparahan 72-
96 jam setelah onset stroke. Hiperventilasi dan pemberian manitol rutin digunakan untuk mengurangi tekanan
intrakranial dengan cepat.
(11,12,13,14)
h. Pengontrolan kejang
Kejang terjadi pada 2-23 persen pasien dalam 24 jam pertama setelah onset. Meskipun profilaksis kejang tidak
diindikasikan, pencegahan terhadap sekuel kejang dengan menggunakan preparat antiepileptik tetap
direkomendasikan.
(11,12,13,14)
2. Penatalaksanaan Khusus
a. Terapi Trombolitik
Tissue plaminogen activator (recombinant t-PA) yang diberikan secara intravena akan mengubah plasminogen
menjadi plasmin yaitu enzim proteolitik yang mampu menghidrolisa fibrin, fibrinogen dan protein pembekuan
lainnya.
(15)
Pada penelitian NINDS (National Institute of Neurological Disorders and Stroke) di Amerika Serikat, rt-PA
diberikan dalam waktu tidak lebih dari 3 jam setelah onset stroke, dalam dosis 0,9 mg/kg (maksimal 90 mg) dan
10% dari dosis tersebut diberikan secara bolus IV sedang sisanya diberikan dalam tempo 1 jam. Tiga bulan
setelah pemberian rt-PA didapati pasien tidak mengalami cacat atau hanya minimal. Efek samping dari rt-PA ini
adalah perdarahan intraserebral, yang diperkirakan sekitar 6%. Penggunaan rt-PA di Amerika Serikat telah
mendapat pengakuan FDA pada tahun 1996.
(15)
Tetapi pada penelitian random dari European Coorperative Acute Stroke Study (ECASS) pada 620 pasien
dengan dosis t-PA 1,1 mg/kg (maksimal 100 mg) diberikan secara IV dalam waktu tidak lebih dari 6 jam setelah
onset. Memperlihatkan adanya perbaikan fungsi neurologik tapi secara keseluruhan hasil dari penelitian ini
dinyatakan kurang menguntungkan. Tetapi pada penelitian kedua (ECASS II) pada 800 pasien menggunakan
dosis 0,9 mg/kg diberikan dalam waktu tidak lebih dari 6 jam sesudah onset. Hasilnya lebih sedikit pasien yang
meninggal atau cacat dengan pemberian rt-PA dan perdarahan intraserebral dijumpai sebesar 8,8%. Tetapi rt-PA
belum mendapat ijin untuk digunakan di Eropa.
(15)
Kontroversi mengenai manfaat rt-PA masih berlanjut, JM Mardlaw dkk mengatakan bahwa terapi trombolisis perlu
penelitian random dalam skala besar sebab resikonya sangat besar sedang manfaatnya kurang jelas. Lagi pula
jendela waktu untuk terapi tersebut masih kurang jelas dan secara objektif belum terbukti rt-PA lebih aman dari
streptokinase. Sedang penelitian dari The Multicenter Acute Stroke Trial-Europe Study Group (MAST-E) dengan
menggunakan streptokinase 1,5 juta unit dalam waktu satu jam. Jendela waktu 6 jam setelah onset, ternyata
meningkatkan mortalitas. Sehingga penggunaan streptokinase untuk stroke iskemik akut tidak dianjurkan.
(15)
b. Antikoagulan
Warfarin dan heparin sering digunakan pada TIA dan stroke yang mengancam. Suatu fakta yang jelas adalah
antikoagulan tidak banyak artinya bilamana stroke telah terjadi, baik apakah stroke itu berupa infark lakuner atau
infark massif dengan hemiplegia. Keadaan yang memerlukan penggunaan heparin adalah trombosis arteri
basilaris, trombosis arteri karotisdan infark serebral akibat kardioemboli. Pada keadaan yang terakhir ini perlu
diwaspadai terjadinya perdarahan intraserebral karena pemberian heparin tersebut.
(15)
1) Warfarin
Segera diabsorpsi dari gastrointestinal. Terkait dengan protein plasma. Waktu paro plasma: 44 jam. Dimetabolisir
di hati, ekskresi: lewat urin. Dosis: 40 mg (loading dose), diikuti setelah 48 jam dengan 3-10 mg/hari, tergantung
PT. Reaksi yang merugikan: hemoragi, terutama ren dan gastrointestinal.
(16)
2) Heparin
Merupakan acidic mucopolysaccharide, sangat terionisir. Normal terdapat pada mast cells. Cepat bereaksi
dengan protein plasma yang terlibat dalam proses pembekuan darah. Heparin mempunyai efek vasodilatasi
ringan. Heparin melepas lipoprotein lipase. Dimetabolisir di hati, ekskresi lewat urin. Wakto paro plasma: 50-150
menit. Diberikan tiap 4-6 jam atau infus kontinu. Dosis biasa: 500 mg (50.000 unit) per hari. Bolus initial 50 mg
diikuti infus 250 mg dalam 1 liter garam fisiologis atau glukose. Dosis disesuaikan dengan Whole Blood Clotting
Time. Nilai normal: 5-7 menit, dan level terapetik heparin: memanjang sampai 15 menit. Reaksi yang merugikan:
hemoragi, alopesia, osteoporosis dan diare. Kontraindikasi: sesuai dengan antikoagulan oral. Apabila pemberian
obat dihentikan segala sesuatunya dapat kembali normal. Akan tetapi kemungkinan perlu diberi protamine
sulphute dengan intravenous lambat untuk menetralisir. Dalam setengah jam pertama, 1 mg protamin diperlukan
untuk tiap 1 mg heparin (100 unit).
(16)
c. Hemoreologi
Pada stroke iskemik terjadi perubahan hemoreologi yaitu peningkatan hematokrit, berkurangnya fleksibilitas
eritrosit, aktivitas trombosit, peningkatan kadar fibrinogen dan aggregasi abnormal eritrosit, keadaan ini
menimbulkan gangguan pada aliran darah. Pentoxyfilline merupakan obat yang mempengaruhi hemoreologi yaitu
memperbaiki mikrosirkulasi dan oksigenasi jaringan dengan cara: meningkatkan fleksibilitas eritrosit,
menghambat aggregasi trombosit dan menurunkan kadar fibrinogen plasma. Dengan demikian eritrosit akan
mengurangi viskositas darah. Pentoxyfilline diberikan dalam dosis 16/kg/hari, maksimum 1200 mg/hari dalam
jendela waktu 12 jam sesudah onset.
(15)
d. Antiplatelet (Antiaggregasi Trombosit)
1) Aspirin
Obat ini menghambat sklooksigenase, dengan cara menurunkan sintesis atau mengurangi lepasnya senyawa
yang mendorong adhesi seperti thromboxane A
2
. Aspirin merupakan obat pilihan untuk pencegahan stroke.
Dosis yang dipakai bermacam-macam, mulai dari 50 mg/hari, 80 mg/hari samapi 1.300 mg/hari. Obat ini sering
dikombinasikan dengan dipiridamol. Suatu penelitian di Eropa (ESPE) memakai dosis aspirin 975 mg/hari
dikombinasi dengan dipiridamol 225 mg/hari dengan hasil yang efikasius.
(16)
Dosis lain yang diakui efektif ialah: 625 mg 2 kali sehari. Aspirin harus diminum terus, kecuali bila terjadi reaksi
yang merugikan. Konsentrasi puncak tercapai 2 jam sesudah diminum. Cepat diabsorpsi, konsentrasi di otak
rendah. Hidrolise ke asam salisilat terjadi cepat, tetapi tetap aktif. Ikatan protein plasma: 50-80 persen. Waktu
paro (half time) plasma: 4 jam. Metabolisme secara konjugasi (dengan glucuronic acid dan glycine). Ekskresi
lewat urine, tergantung pH. Sekitar 85 persen dari obat yang diberikan dibuang lewat urin pada suasana alkalis.
Reaksi yang merugikan: nyeri epigastrik, muntah, perdarahan, hipoprotrombinemia dan diduga: sindrom
Reye.
(16)
Alasan mereka yang tidak menggunakan dosis rendah aspirin antara lain adalah kemungkinan terjadi resistensi
aspirin pada dosis rendah. Hal ini memungkinkan platelet untuk menghasilkan 12-hydroxy-eicosatetraenoic acid,
hasil samping kreasi asam arakhidonat intraplatelet (lipid oksigenase). Sintesis senyawa ini tidak dipengaruhi
oleh dosis rendah aspirin, walaupun penghambatan pada tromboksan A
2
terjadi dengan dosis rendah aspirin.
(16)
Aspirin mengurangi agregasi platelet dosis aspirin 300-600 mg (belakangan ada yang memakai 150 mg) mampu
secara permanen merusak pembentukan agregasi platelet. Sayang ada yang mendapatkan bukti bahwa aspirin
tidak efektif untuk wanita.
(16)
2) Tiklopidin (ticlopidine) dan klopidogrel (clopidogrel)
Pasien yang tidak tahan aspirin atau gagal dengan terapi aspirin, dapat menggunakan tiklopidin atau clopidogrel.
Obat ini bereaksi dengan mencegah aktivasi platelet, agregasi, dan melepaskan granul platelet, mengganggu
fungsi membran platelet dengan penghambatan ikatan fibrinogen-platelet yang diperantarai oleh ADP dan
antraksi platelet-platelet. Menurut suatu studi, angka fatalitas dan nonfatalitas stroke dalam 3 tahun dan dalam 10
persen untuk grup tiklopidin dan 13 persen untuk grup aspirin. Resiko relatif berkurang 21 persen dengan
penggunaan tiklopidin.
(16)
Setyaningsih at al, (1988) telah melakukan studi meta-analisis terhadap terapi tiklopidin untuk prevensi sekunder
stroke iskemik. Berdasarkan sejumlah 7 studi terapi tiklopidin, disimpulkan bahwa efikasi tiklopidin lebih baik
daripada plasebo, aspirin maupun indofen dalam mencegah serangan ulang stroke iskemik.
(16)
Efek samping tiklopidin adalah diare (12,5 persen) dan netropenia (2,4 persen). Bila obat dihentikan akan
reversibel. Pantau jumlah sel darah putih tiap 15 hari selama 3 bulan. Komplikas yang lebih serius, teyapi jarang,
adalah pur-pura trombositopenia trombotik dan anemia aplastik.
(16)
e. Terapi Neuroprotektif
Terapi neuroprotektif diharapkan meningkatkan ketahanan neuron yang iskemik dan sel-sel glia di sekitar inti
iskemik dengan memperbaiki fungsi sel yang terganggu akibat oklusi dan reperfusi. Berdasarkan pada kaskade
iskemik dan jendela waktu yang potensial untuk reversibilitas daerah penumbra maka berbagai terapi
neuroprotektif telah dievaluasi pada binatang percobaan maupun pada manusia.
(15)
f. Pembedahan
Indikasi pembedahan pada completed stroke sangat dibatasi. Jika kondisi pasien semakin buruk akibat
penekanan batang otak yang diikuti infark serebral maka pemindahan dari jaringan yang mengalami infark harus
dilakukan.
(18)
1) Karotis Endarterektomi
Prosedur ini mencakup pemindahan trombus dari arteri karotis interna yang mengalami stenosis. Pada pasien
yang mengalami stroke di daerah sirkulasi anterior atau yang mengalami stenosis arteri karotis interna yang
sedang hingga berat maka kombinasi Carotid endarterectomy is a surgical procedure that cleans out plaque and
opens up the narrowed carotid arteries in the neck.endarterektomi dan aspirin lebih baik daripada penggunaan
aspirin saja untuk mencegah stroke. Endarterektomi tidak dapat digunakan untuk stroke di daerah vertebrobasiler
atau oklusi karotis lengkap. Angka mortalitas akibat prosedur karotis endarterektomi berkisar 1-5 persen.
(18)


Gambar 10. Endarterektomi adalah prosedur pembedahan yang menghilangkan plak
dari lapisan arteri (dikutip dari kepustakaan 18)

2) Angioplasti dan Sten Intraluminal
Pemasangan angioplasti transluminal pada arteri karotis dan vertebral serta pemasangan sten metal tubuler
untuk menjaga patensi lumen pada stenosis arteri serebri masih dalam penelitian. Suatu penelitian menyebutkan
bahwa angioplasti lebih aman dilaksanakan dibandingkan endarterektomi namun juga memiliki resiko untuk
terjadi restenosis lebih besar.
(18)
K. KESIMPULAN
Berdasarkan data yang disajikan di atas, kami menyimpulkan bahwa setiap pasien dengan stroke akut harus
individulized berdasarkan usia, CT scan temuan (adanya atau kehadiran pergeseran garis tengah, hypodensity
fokus). An expert opinion should be formed with the contribution from neurologist, vascular surgeon and
interventional radiologist. Pendapat pakar harus dibentuk dengan kontribusi dari ahli saraf, dokter bedah vaskular
dan radiolog intervensi. High risk patients should be treated with urgent CAS after the correction of the
coagulation cascade. Karotis endarterektomi mengurangi risiko stroke pada pasien dengan gejala stenosis paling
sedikit 70 persen, sebagaimana ditentukan oleh arteriography. Percobaan saat ini adalah mengatasi pertanyaan
apakah endarterektomi bermanfaat untuk pasien dengan derajat stenosis karotis moderat. Manfaat
endarterektomi untuk pasien dengan lesi karotid asimtomatik masih belum jelas.
Uji klinis acak telah membuktikan bahwa terapi warfarin mengurangi risiko stroke pada pasien dengan atrial
fibrilasi nonvalvular dan pada mereka yang telah memiliki infark miokard. Pada pasien yang tidak kandidat untuk
terapi antikoagulan jangka panjang, aspirin bermanfaat, tapi pengurangan risiko lebih kecil dengan aspirin
dibandingkan dengan warfarin. Pada pasien dengan gejala iskemik serebral asal noncardiac, aspirin dan
ticlopidine mengurangi risiko stroke, tapi manfaat itu sederhana. Mengingat sendirian, tidak dipyridamole atau
sulfinpyrazone mencegah stroke. Pertanyaannya tetap apakah salah satu dari obat ini ditambah aspirin lebih baik
daripada aspirin saja. Dosis optimal aspirin untuk pencegahan stroke belum ditentukan.
(19,20)
L. KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling umum dan penting dari stroke iskemik meliputi edema serebral, transformasi hemoragik,
dan kejang.
(21)
1. Edema serebral yang signifikan setelah stroke iskemik bisa terjadi meskipun agak jarang (10-20%)
2. Indikator awal iskemik yang tampak pada CT scan tanpa kontras adalah indikator independen untuk
potensi pembengkakan dan kerusakan. Manitol dan terapi lain untuk mengurangi tekanan intrakranial dapat
dimanfaatkan dalam situasi darurat, meskipun kegunaannya dalam pembengkakan sekunder stroke iskemik lebih
lanjut belum diketahui. Beberapa pasien mengalami transformasi hemoragik pada infark mereka. Hal ini
diperkirakan terjadi pada 5% dari stroke iskemik yang tidak rumit, tanpa adanya trombolitik. Transformasi
hemoragik tidak selalu dikaitkan dengan penurunan neurologis dan berkisar dari peteki kecil sampai perdarahan
hematoma yang memerlukan evakuasi.
3. Insiden kejang berkisar 2-23% pada pasca-stroke periode pemulihan. Post-stroke iskemik biasanya
bersifat fokal tetapi menyebar. Beberapa pasien yang mengalami serangan stroke berkembang menjadi chronic
seizure disorders. Kejang sekunder dari stroke iskemik harus dikelola dengan cara yang sama seperti gangguan
kejang lain yang timbul sebagai akibat neurologis injury.
M. PROGNOSIS
Stroke berikutnya dipengaruhi oleh sejumlah faktor, yang paling penting adalah sifat dan tingkat keparahan defisit
neurologis yang dihasilkan. Usia pasien, penyebab stroke, gangguan medis yang terjadi bersamaan juga
mempengaruhi prognosis. Secara keseluruhan, agak kurang dari 80% pasien dengan stroke bertahan selama
paling sedikit 1 bulan, dan didapatkan tingkat kelangsungan hidup dalam 10 tahun sekitar 35%. Angka yang
terakhir ini tidak mengejutkan, mengingat usia lanjut di mana biasanya terjadi stroke. Dari pasien yang selamat
dari periode akut, sekitar satu setengah samapai dua pertiga kembali fungsi independen, sementara sekitar 15%
memerlukan perawatan institusional.
(11,22,23)


DAFTAR PUSTAKA
1. Aliah A, Kuswara F F, Limoa A, Wuysang G. Gambaran umum tentang gangguan peredaran darah otak
dalam Kapita selekta neurology cetakan keenam editor Harsono. Gadjah Mada university press, Yogyakarta.
2007. Hal: 81-115.

2. Sutrisno, Alfred. Stroke? You Must Know Before you Get It!. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2007.
Hal: 1-13

3. Feigin, Valery. Stroke Panduan Bergambar Tentang Pencegahan dan Pemulihan Stroke. Jakarta: PT.
Bhuana Ilmu Populer. 2006.

4. Hassmann KA. Stroke, Ischemic. [Online]. Cited 2010 May 1
st
available from:
http://emedicine.medscape.com/article/793904-overview

5. Mardjono, Mahar. Mekanisme gangguan vaskuler susunan saraf dalam Neurologi klinis dasar edisi
Kesebelas. Dian Rakyat. 2006. Hal: 270-93.

6. Giraldo, Elias. Stroke, Ischemic. [Online]. Cited 2010 May 1
st
available from:
http://www.merck.com/mmhe/sec06/ch086/ch086c.html
7. D. Adams. Victors. Cerebrovasculer diseases in Principles of Neurology 8
th
Edition. McGraw-Hill
Proffesional. 2005. Hal: 660-67

8. Chung, Chin-Sang. Neurovascular Disorder in Textbook of Clinical Neurology editor Christopher G. Goetz.
W.B Saunders Company: 1999. Hal: 10-3

9. Hassmann KA. Stroke, Ischemic. [Online]. Cited 2010 May 1
st
available from:
http://emedicine.medscape.com/article/793904-diagnosis

10. Li, Fuhai, dkk. Neuroimaging for Acute Ischemic Stroke. [Online]. Cited 2010 May 1
st
available from:
http://www.emedmag.com/html/pre/fea/features/039010009.asp

11. Price, A. Sylvia. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit edisi 4. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Hal: 966-71.

12. Hassmann KA. Stroke, Ischemic. [Online]. Cited 2010 May 1
st
available from:
http://emedicine.medscape.com/article/793904-treatment

13. Ngoerah, I Gst. Ng. Gd. Penyakit peredaran darah otak dalam Dasar-dasar ilmu penyakit saraf. Penerbit
Airlangga University Press. Hal: 245-58.
14. Hughes, Mark. Miller, Thomas. Nervous System Third Edition. University of Edinburgh, Edinburgh, UK.

15. Majalah Kedokteran Atma Jaya Vol. 1 No. 2 September 2002. Hal: 158-67.

16. Wibowo, Samekto. Gofir, Abdul. Farmakoterapi stroke prevensi primer dan prevensi sekunder dalam
Farmakoterapi dalam Neurologi. Penerbit Salemba Medika. Hal: 53-73.

17. Josephson, S. Andrew. Ischemic Stroke. San Fransisco. CA. [Online]. Cited 2010 May 1
st
available from:
http://knol.google.com/k/s-andrew-josephson/ischemic-stroke/BF8MGEYK/bAWc9g#

18. Simon, Harvey. Stroke Surgery. Harvard Medical School. [Online]. Cited 2010 May 1
st
available from:
http://www.umm.edu/patiented/articles/what_drugs_used_treat_stroke_patients_prevent_recurrence_000045_8.h
tm

19. Barnett, Henry dkk. Drugs and Surgery in the Prevention of Ischemic Stroke. [Online]. Cited 2010 May 1
st
available from: http://content.nejm.org/cgi/content/full/332/4/238

20. Aziz, Faisal M.D. Rethinking The Six Weeks Waiting Approach To Carotid Intervention After Ischemic Stroke
. The Internet Journal of Surgery. 2007 Volume 11 Number 1. Department of General Surgery. New York Medical
College. [Online]. Cited 2010 May 1
st
available from:
http://www.ispub.com/journal/the_internet_journal_of_surgery/volume_11_number_1/article/rethinking_the_six_w
eeks_waiting_approach_to_carotid_intervention_after_ischemic_stroke.html

21. Hassmann KA. Stroke Ischemic. [Online]. Cited 2010 May 1
st
available from:
http://emedicine.medscape.com/article/793904-followup

22. Giraldo, Elias. Stroke Ischemic. [Online]. Cited 2010 May 1
st
available from:
http://www.merck.com/mmpe/sec16/ch211/ch211b.html

23. Goldstein LB. Stroke Ischemic. [Online]. Cited 2010 May 1
st
available from:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000726.htm

Anda mungkin juga menyukai