Anda di halaman 1dari 34

I.

LATAR BELAKANG MASALAH


Seiring dengan dinamika peradaban yang terus bergerak menuju arus
globalisasi, bahasa Indonesia memiliki peranan yang penting dan strategis dalam
proses komunikasi di tengah-tengah pergaulan dan interaksi sosial. Melalui
penguasaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, seseorang akan mampu
berkomunikasi, baik secara lisan maupun tertulis, dengan pihak lain sesuai
konteks dan situasinya.
Sebagai institusi pendidikan Iormal, sekolah memiliki Iungsi dan peran
strategis dalam melahirkan generasi-generasi masa depan yang terampil berbahasa
Indonesia secara baik dan benar. Melalui pembelajaran bahasa Indonesia, para
peserta didik diajak untuk berlatih dan belajar berbahasa melalui aspek
keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Dengan memiliki
keterampilan berbahasa Indonesia secara baik dan benar, kelak mereka diharapkan
menjadi generasi yang cerdas, kritis, kreatiI, dan berbudaya.
Salah satu aspek keterampilan berbahasa yang sangat penting peranannya
dalam upaya melahirkan generasi masa depan yang cerdas, kritis, kreatiI, dan
berbudaya adalah keterampilan berbicara. Dengan menguasai keterampilan
berbicara, peserta didik akan mampu mengekspresikan pikiran dan perasaannya
secara cerdas sesuai konteks dan situasi pada saat dia sedang berbicara.
Keterampilan berbicara juga akan mampu membentuk generasi masa depan yang
kreatiI sehingga mampu melahirkan tuturan atau ujaran yang komunikatiI, jelas,
runtut, dan mudah dipahami. Selain itu, keterampilan berbicara juga akan mampu
melahirkan generasi masa depan yang kritis karena mereka memiliki kemampuan
untuk mengekspresikan gagasan, pikiran, atau perasaan kepada orang lain secara
runtut dan sistematis. Bahkan, keterampilan berbicara juga akan mampu
melahirkan generasi masa depan yang berbudaya karena sudah terbiasa dan
terlatih untuk berkomunikasi dengan pihak lain sesuai dengan konteks dan situasi
tutur pada saat dia sedang berbicara.
Namun, harus diakui secara jujur, keterampilan berbicara di kalangan siswa
SMP, khususnya keterampilan bercerita, belum seperti yang diharapkan. Kondisi
ini tidak lepas dari proses pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah yang dinilai
1
telah gagal dalam membantu siswa terampil berpikir dan berbahasa sekaligus.
Yang lebih memprihatinkan, ada pihak yang sangat ekstrim berani mengatakan
bahwa tidak ada mata pelajaran Bahasa Indonesia pun siswa dapat berbahasa
Indonesia seperti saat ini, asalkan mereka diajari berbicara, membaca, dan
menulis oleh guru (Depdiknas 2004:9).
Sementara itu, hasil observasi empirik di lapangan juga menunjukkan
Ienomena yang hampir sama. Keterampilan bercerita siswa SMP berada pada
tingkat yang rendah; diksi (pilihan kata)-nya payah, kalimatnya tidak eIektiI,
struktur tuturannya rancu, alur tuturannya pun tidak runtut dan kohesiI.
Demikian juga keterampilan berbicara siswa kelas VII-A SMP 2 Pegandon,
Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan hasil observasi, hanya
20 (8 siswa) dari 40 siswa yang dinilai sudah terampil bercerita dalam situasi
Iormal di depan kelas. Indikator yang digunakan untuk mengukur keterampilan
siswa dalam bercerita, di antaranya kelancaran berbicara, ketepatan pilihan kata
(diksi), struktur kalimat, kelogisan (penalaran), dan kontak mata.
Paling tidak, ada dua Iaktor yang menyebabkan rendahnya tingkat
keterampilan siswa dalam bercerita, yaitu Iaktor eksternal dan Iaktor internal.
Yang termasuk Iaktor eksternal, di antaranya pengaruh penggunaan bahasa
Indonesia di lingkungan keluarga dan masyarakat. Dalam proses komunikasi
sehari-hari, banyak keluarga yang menggunakan bahasa ibu (bahasa daerah)
sebagai bahasa percakapan di lingkungan keluarga. Demikian juga halnya dengan
penggunaan bahasa Indonesia di tengah-tengah masyarakat. Rata-rata bahasa
ibulah yang digunakan sebagai sarana komunikasi. Kalau ada tokoh masyarakat
yang menggunakan bahasa Indonesia, pada umumnya belum memperhatikan
kaidah-kaidah berbahasa secara baik dan benar. Akibatnya, siswa tidak terbiasa
untuk berbahasa Indonesia sesuai dengan konteks dan situasi tutur.
Dari Iaktor internal, pendekatan pembelajaran, metode, media, atau sumber
pembelajaran yang digunakan oleh guru memiliki pengaruh yang cukup signiIikan
terhadap tingkat keterampilan bercerita bagi siswa SMP. Pada umumnya, guru
bahasa Indonesia cenderung menggunakan pendekatan yang konvensional dan
miskin inovasi sehingga kegiatan pembelajaran keterampilan bercerita
2
berlangsung monoton dan membosankan. Para peserta tidak diajak untuk belajar
berbahasa, tetapi cenderung diajak belajar tentang bahasa. Artinya, apa yang
disajikan oleh guru di kelas bukan bagaimana siswa bercerita sesuai konteks dan
situasi tutur, melainkan diajak untuk mempelajari teori tentang bercerita.
Akibatnya, keterampilan bercerita hanya sekadar melekat pada diri siswa sebagai
sesuatu yang rasional dan kognitiI belaka, belum manunggal secara emosional dan
aIektiI. Ini artinya, rendahnya keterampilan bercerita bisa menjadi hambatan
serius bagi siswa untuk menjadi siswa yang cerdas, kritis, kreatiI, dan berbudaya.
Dalam beberapa penelitian ditemukan bahwa pengajaran bahasa Indonesia
telah menyimpang jauh dari misi sebenarnya. Guru lebih banyak berbicara tentang
bahasa (talk about the language) daripada melatih menggunakan bahasa (using
language). Dengan kata lain, yang ditekankan adalah penguasaan tentang bahasa
(form-focus). Guru bahasa Indonesia lebih banyak berkutat dengan pengajaran tata
bahasa, dibandingkan mengajarkan kemampuan berbahasa Indonesia secara nyata
(Nurhadi, 2000).
Jika kondisi pembelajaran semacam itu dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak
mungkin keterampilan bercerita di kalangan siswa SMP akan terus berada pada
aras yang rendah. Para siswa akan terus-menerus mengalami kesulitan dalam
mengekspresikan pikiran dan perasaannya secara lancar, memilih kata (diksi)
yang tepat, menyusun struktur kalimat yang eIektiI, membangun pola penalaran
yang masuk akal, dan menjalin kontak mata dengan pihak lain secara komunikatiI
dan interaktiI pada saat bercerita.
Dalam konteks demikian, diperlukan pendekatan pembelajaran keterampilan
bercerita yang inovatiI dan kreatiI, sehingga proses pembelajaran bisa
berlangsung aktiI, eIektiI, dan menyenangkan. Siswa tidak hanya diajak untuk
belajar tentang bahasa secara rasional dan kognitiI, tetapi juga diajak untuk belajar
dan berlatih dalam konteks dan situasi tutur yang sesungguhnya dalam suasana
yang dialogis, interaktiI, menarik, dan menyenangkan. Dengan cara demikian,
siswa tidak akan terpasung dalam suasana pembelajaran yang kaku, monoton, dan
membosankan. Pembelajaran keterampilan bercerita pun menjadi sajian materi
yang selalu dirindukan dan dinantikan oleh siswa.
3
Penelitian ini akan diIokuskan pada upaya untuk mengatasi Iaktor internal
yang diduga menjadi penyebab rendahnya tingkat kemampuan siswa klas VII-A
SMP 2 Pegandon, Kendal, Jawa Tengah, dalam bercerita, yaitu kurangnya inovasi
dan kreativitas guru dalam menggunakan pendekatan pembelajaran sehingga
kegiatan pembelajaran keterampilan bercerita berlangsung monoton dan
membosankan. Salah satu pendekatan pembelajaran yang diduga mampu
mewujudkan situasi pembelajaran yang kondusiI; aktiI, kreatiI, eIektiI, dan
menyenangkan adalah pendekatan pragmatik. Melalui pendekatan pragmatik,
siswa diajak untuk bercerita dalam konteks dan situasi tutur yang nyata dengan
menerapkan prinsip pemakaian bahasa secara komprehensiI.
Dalam pendekatan pragmatik, guru berusaha memberikan kesempatan
kepada siswa untuk mengembangkan keterampilan berbahasa di dalam konteks
nyata dan situasi yang kompleks. Guru juga memberikan pengalaman kepada
siswa melalui pembelajaran terpadu dengan menggunakan proses yang saling
berkaitan dalam situasi dan konteks komunikasi alamiah senyatanya.
Prinsip-prinsip pemakaian bahasa yang diterapkan dalam pendekatan
pragmatik, yaitu (1) penggunaan bahasa dengan memperhatikan aneka aspek
situasi ujaran; (2) penggunaan bahasa dengan memperhatikan prinsip-prinsip
kesantunan; (3) penggunaan bahasa dengan memperhatikan prinsip-prinsip kerja
sama; dan (4) penggunaan bahasa dengan memperhatikan Iaktor-Iaktor penentu
tindak komunikatiI.
Melalui prinsip-prinsip pemakaian bahasa semacam itu, pendekatan
pragmatik dalam pembelajaran keterampilan bercerita diharapkan mampu
membawa siswa ke dalam situasi dan konteks berbahasa yang sesungguhnya
sehingga keterampilan berbicara mampu melekat pada diri siswa sebagai sesuatu
yang rasional, kognitiI, emosional, dan aIektiI.
Melalui penggunaan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran
keterampilan bercerita, para siswa SMP akan mampu menumbuhkembangkan
potensi intelektual, sosial, dan emosional yang ada dalam dirinya, sehingga kelak
mereka mampu berkomunikasi dan berinteraksi sosial secara matang, ariI, dan
dewasa. Selain itu, mereka juga akan terlatih untuk mengemukakan gagasan dan
4
perasaan secara cerdas dan kreatiI, serta mampu menemukan dan menggunakan
kemampuan analitis dan imajinatiI yang ada dalam dirinya dalam menghadapi
berbagai persoalan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari.
Yang tidak kalah penting, para siswa juga akan mampu berkomunikasi
secara eIektiI dan eIisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan
maupun tulis, mampu menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia
sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara, serta mampu memahami bahasa
Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatiI untuk berbagai tujuan.
II. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah yang dirumuskan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
2.1 Langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan dalam menggunakan
pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan bercerita bagi siswa
SMP?
2.2 Apakah penggunaan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran bahasa
Indonesia dapat meningkatkan keterampilan bercerita bagi siswa SMP?
III. TU1UAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk memecahkan masalah praktis pelaksanaan
pembelajaran keterampilan bercerita dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di
SMP, yaitu:
3.1 untuk mengidentiIikasi langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam
menggunakan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan
bercerita bagi siswa SMP;
3.2 untuk memaparkan hasil keterampilan bercerita siswa SMP setelah
pendekatan pragmatik digunakan dalam kegiatan pembelajaran bahasa
Indonesia.
5
IV. RUANG LINGKUP
Penelitian ini meliputi ruang lingkup sebagai berikut.
4.1 Keterampilan Bercerita dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di SMP.
4.2 Pendekatan Pragmatik dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP.
V. HASIL YANG DIHARAPKAN
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
5.1 para guru bahasa Indonesia dapat mengetahui langkah-langkah yang perlu
dilakukan dalam menggunakan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran
keterampilan bercerita, khususnya bagi siswa SMP;
5.2 keterampilan bercerita siswa kelas VII-A SMP 2 Pegandon, Kabupaten
Kendal, Provinsi Jawa Tengah, yang menjadi subjek penelitian ini mengalami
peningkatan yang signiIikan;
5.3 para guru bahasa Indonesia SMP diharapkan menggunakan pendekatan
pragmatik dalam menyajikan aspek keterampilan berbicara, bahkan guru
bahasa Indonesia di tingkat satuan pendidikan yang lebih rendah, seperti
SD/MI, atau yang lebih tinggi, seperti SMA/SMK/MA, diharapkan juga
menggunakan hasil penelitian ini dalam upaya melakukan inovasi
pembelajaran Bahasa Indonesia.
VI. KA1IAN TEORI
Untuk mengkaji penggunaan pendekatan pragmatik dalam meningkatkan
keterampilan bercerita bagi siswa SMP digunakan teori yang berkaitan dengan
keterampilan bercerita dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMP dan teori
yang berkaitan dengan pendekatan pragmatik sebagai inovasi tindakan yang
dilakukan dalam upaya meningkatkan keterampilan bercerita bagi siswa SMP.
I.1 Keterampilan Bercerita dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di SMP
Saat ini, arah pembinaan bahasa Indonesia di sekolah dituangkan dalam
tujuan pengajaran bahasa Indonesia yang secara eksplisit dinyatakan dalam
kurikulum. Secara garis besar, tujuan utama pengajaran bahasa Indonesia adalah
6
agar anak-anak dapat berbahasa Indonesia dengan baik. Itu berarti agar anak-anak
mampu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dengan baik menggunakan
media bahasa Indonesia (Samsuri, 1987 dan Sadtono, 1988).
Melalui harapan tersebut, pengajaran bahasa Indonesia dikelola agar anak-
anak memiliki keterampilan-keterampilan praktis berbahasa Indonesia, seperti (1)
menulis laporan ilmiah atau laporan perjalanan, (2) membuat surat lamaran
pekerjaan, (3) berbicara di depan umum atau berdiskusi, (4) berpikir kritis dan
kreatiI dalam membaca, atau (5) membuat karangan-karangan bebas untuk
majalah, koran, surat-surat pembaca, brosur-brosur, dan sebagainya. Apa pun
bahan atau aturan-aturan bahasa yang diberikan kepada anak-anak, dimaksudkan
untuk mencapai tujuan-tujuan praktis semacam itu.
Dalam lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan
Menengah, khususnya tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar mata
pelajaran Bahasa Indonesia SMP/MTs secara eksplisit dinyatakan bahwa bahasa
memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional
peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua
bidang studi. Pembelajaran bahasa diharapkan membantu peserta didik mengenal
dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan,
berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan
menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imaginatiI yang ada
dalam dirinya.
Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan
peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan
benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil
karya kesastraan manusia Indonesia.
Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia merupakan kualiIikasi
kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan
pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positiI terhadap bahasa dan sastra
Indonesia. Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi peserta didik untuk
memahami dan merespon situasi lokal, regional, nasional, dan global.
7
Dengan standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia semacam itu
diharapkan: (1) peserta didik dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan
kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan
terhadap hasil karya kesastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri; (2) guru dapat
memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa peserta didik
dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa dan sumber belajar; (3) guru
lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan dan
kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta
didiknya; (4) orang tua dan masyarakat dapat secara aktiI terlibat dalam
pelaksanaan program kebahasaan dan kesastraan di sekolah; (5) sekolah dapat
menyusun program pendidikan tentang kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan
keadaan peserta didik dan sumber belajar yang tersedia; dan (6) daerah dapat
menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan
kondisi dan kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.
Adapun tujuan mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah agar peserta didik
memiliki kemampuan: (1) berkomunikasi secara eIektiI dan eIisien sesuai dengan
etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis; (2) menghargai dan bangga
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara; (3)
memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatiI untuk
berbagai tujuan; (4) menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan
kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial; (5) menikmati
dan memanIaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi
pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; (6)
menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan
intelektual manusia Indonesia. Sedangkan, ruang lingkup mata pelajaran Bahasa
Indonesia mencakupi komponen kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra
yang meliputi aspek-aspek: (1) mendengarkan; (2) berbicara; (3) membaca; dan
(4) menulis.
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat ditegaskan bahwa keterampilan
berbicara merupakan salah salah satu aspek kemampuan berbahasa yang wajib
8
dikembangkan di SMP. Keterampilan berbicara memiliki posisi dan kedudukan
yang setara dengan aspek keterampilan mendengarkan, membaca, dan menulis.
Sementara itu, standar kompetensi dan kompetensi dasar keterampilan
berbicara dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMP/MTs kelas VII semester
I berdasarkan Standar Isi dalam lampiran Peraturan Mendiknas Nomor 22/2006
seperti tercantum dalam tabel 6.1 berikut ini.
Tabel 6.1 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Keterampilan
Berbicara Mata Pelajaran Bahasa Indonesia SMP/MTs Kelas
VII Semester I
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
Berbicara
2. Mengungkapkan pengalaman
dan inIormasi melalui
kegiatan bercerita dan
menyampaikan pengumuman
2.1 Menceritakan pengalaman yang paling
mengesankan dengan menggunakan
pilihan kata dan kalimat eIektiI
2.2. Menyampaikan pengumuman dengan
intonasi yang tepat serta menggunakan
kalimat-kalimat yang lugas dan sederhana
Berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar tersebut dapat
disimpulkan bahwa pada semester I, siswa kelas VII SMP diharapkan mampu
mengembangkan dua kompetensi dasar, yaitu: (1) menceritakan pengalaman yang
paling mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat eIektiI; dan
(2) menyampaikan pengumuman dengan intonasi yang tepat serta menggunakan
kalimat-kalimat yang lugas dan sederhana. Penelitian ini akan diIokuskan pada
upaya untuk mengembangkan kompetensi dasar siswa kelas VII semester I dalam
menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan menggunakan
pilihan kata dan kalimat eIektiI.
Fokus penelitian ini relevan dengan kegiatan pembelajaran aspek
keterampilan berbicara dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMP yang
diarahkan agar siswa memiliki kemampuan untuk: (1) berkomunikasi secara
eIektiI dan eIisien sesuai dengan etika yang berlaku secara lisan; (2) menghargai
dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa
negara; (3) memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan
kreatiI untuk berbagai tujuan; (4) menggunakan bahasa Indonesia untuk
meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial.
9
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Kridalaksana, ed. 1996:144)
dijelaskan bahwa berbicara adalah 'berkata; bercakap; berbahasa, atau melahirkan
pendapat (dengan perkataan, tulisan, dsb.) atau berunding. Sementara itu,
Tarigan (1983:15) dengan menitikberatkan pada kemampuan pembicara
menyatakan bahwa berbicara merupakan kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi
artikulasi atas kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, seta menyampaikan
pikiran, gagasan, dan perasaan. Sedangkan, sebagai bentuk atau wujudnya,
berbicara dinyatakan sebagai suatu alat untuk mengomunikasikan gagasan-
gagasan yang disusun serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan
sang pendengar atau penyimak.
Hal senada juga dikemukakan oleh Mulgrave (1954:3-4). Dia menyatakan
bahwa berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi bahasa atau kata-
kata untuk mengekspresikan pikiran. Selanjutnya, dinyatakan bahwa berbicara
merupakan sistem tanda yang dapat didengar dan dilihat yang memanIaatkan otot-
otot dan jaringan otot manusia untuk mengomunikasikan ide-ide. Berbicara juga
dipahami sebagai bentuk perilaku manusia yang memanIaatkan Iaktor Iisik,
psikis, neurologis, semantik, dan linguistik secara ekstensiI sehingga dapat
digunakan sebagai alat yang sangat penting untuk melakukan kontrol sosial.
Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut dapat dikemukakan bahwa
berbicara pada hakikatnya merupakan ungkapan pikiran dan perasaan seseorang
dalam bentuk bunyi-bunyi bahasa. Dalam konteks demikian, keterampilan
berbicara bisa dipahami sebagai keterampilan mengucapkan bunyi-bunyi
artikulasi atau mengucapkan kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan,
menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Pendengar menerima inIormasi
melalui rangkaian nada, tekanan, dan penempatan jeda. Jika komunikasi
berlangsung secara tatap muka, aktivitas berbicara dapat diekspresikan dengan
bantuan mimik dan pantomimik pembicara.
Merujuk pada pendapat tersebut, keterampilan bercerita pada hakikatnya
merupakan keterampilan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau mengucapkan
kata-kata untuk menceritakan, mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan
pikiran, gagasan, dan perasaan kepada orang lain.
10
I.2 Pendekatan Pragmatik dalam Pembelajaran Keterampilan Berbicara di
SMP
Menurut Halliday (1975) siswa itu belajar berbahasa, belajar melalui
bahasa, dan belajar tentang bahasa. Pengembangan bahasa pada anak memerlukan
kesempatan menggunakan bahasa. Oleh karena itu, kita membutuhkan lingkungan
pendidikan yang memberikan kesempatan yang banyak atau kaya bagi siswa
untuk menggunakan bahasa di dalam cara-cara yang Iungsional (Gay Su Pinnel
dan Myna L. Matlin, 1989:2).
Guru yang memberi siswa kesempatan mengembangkan keterampilan
berbahasa di dalam konteks nyata dan situasi yang kompleks akan meningkatkan
pembelajaran karena mereka (guru) memberi siswa pelatihan di dalam
keterampilan yang terintegrasi dengan literasi tingkat tinggi. Komunikasi adalah
inti pengajaran language arts, sementara itu tugas-tugas komunikasi yang
kompleks adalah inti kemahirwacanaan tingkat tinggi (high literacy) (CED,
2001).
Selanjutnya, guru yang memberi pengalaman kepada siswa dengan
pembelajaran terpadu melalui lingkungan mahir literasi (literate environment)
ternyata dapat meningkatkan pembelajaran karena mereka (siswa) menggunakan
proses-proses yang saling berkaitan antara membaca, menulis, berbicara, dan
mendengarkan untuk komunikasi alamiah senyatanya (authentic
commmunication) (Salinger, 2001).
Namun, secara jujur harus diakui bahwa pembelajaran Bahasa Indonesia di
SMP belum berlangsung seperti yang diharapkan. Pembelajaran Bahasa Indonesia
lebih cenderung bersiIat teoretis dan kognitiI daripada mengajak siswa untuk
belajar berbahasa Indonesia dalam konteks dan situasi yang nyata. Akibatnya, apa
yang diperoleh siswa di kelas dalam pembelajaran Bahasa Indonesia tidak bisa
diterapkan secara praktis dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain,
pembelajaran Bahasa Indonesia terlepas dari konteks pengalaman dan lingkungan
siswa. Hal ini bisa menimbulkan dampak yang cukup serius terhadap
11
keterampilan siswa dalam menggunakan bahasa Indonesia dalam peristiwa dan
konteks komunikasi.
Apa yang kita amati dari hasil pembelajaran di sekolah dasar dan menengah
di Indonesia adalah ketidakmampuan anak-anak menghubungkan antara apa yang
dipelajari dengan bagaimana pengetahuan itu dimanIaatkan untuk memecahkan
persoalan sehari-hari (Direktorat SLTP, 2002). Apa yang anak-anak peroleh di
sekolah, sebagian hanya haIalan dengan tingkat pemahaman yang rendah. Siswa
hanya tahu bahwa tugasnya adalah mengenal Iakta-Iakta, sementara keterkaitan
antara Iakta-Iakta itu dengan pemecahan masalah belum mereka kuasai.
Dalam konteks demikian, diperlukan upaya serius melalui penggunaan
pendekatan yang inovatiI dan kreatiI agar pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP
bisa berlangsung dalam suasana yang kondusiI, interaktiI, dinamis, terbuka,
menarik, dan menyenangkan. Melalui proses pembelajaran semacam itu, siswa
diharapkan dapat menumbuhkembangkan kemampuan intelektual, sosial, dan
emosional, sehingga mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa
Indonesia secara baik dan benar sesuai dengan konteks dan sitiuasinya.
Hal itu sejalan dengan pernyataan dalam lampiran Peraturan Mendiknas RI
Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah, khususnya yang berkaitan dengan standar kompetensi dan kompetensi
dasar mata pelajaran Bahasa Indonesia tingkat SMP/MTs. Dalam lampiran
tersebut secara eksplisit ditegaskan bahwa bahasa memiliki peran sentral dalam
perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik dan merupakan
penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi.
Pembelajaran bahasa diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya,
budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan,
berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan
menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imajinatiI yang ada
dalam dirinya. Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan
kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan
baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi
terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia. Salah satu pendekatan
12
pembelajaran yang diduga mampu menciptakan suasana yang kondusiI; interaktiI,
dinamis, terbuka, inovatiI, kreatiI, menarik, dan menyenangkan adalah
pendekatan pragmatik.
Pendekatan pragmatik termasuk salah satu pendekatan komunikatiI yang
mulai digunakan dalam pengajaran bahasa sejak munculnya penolakan terhadap
paham behaviorisme melalui metode Drill-nya. Pendekatan komunikatiI dalam
pengajaran bahasa dirintis oleh Michael Halliday dan Dell Hymes. Hymes
menciptakan istilah communicative competence, yaitu kompetensi berbahasa yang
tidak hanya menuntut ketepatan gramatikal, tetapi juga ketepatan dalam konteks
sosial (Zahorik dalam Kurikulum 2004. Naskah Akaaemik Mata pelafaran
Bahasa Inaonesia 2004.4).
Proses pemerolehan bahasa mempersyaratkan adanya interaksi yang
bermakna dalam bahasa sasaran. Secara garis besar Iaktor-Iaktor yang
mempengaruhi proses pemerolehan bahasa dapat dipilah menjadi dua golongan,
yaitu Iaktor eksternal dan Iaktor internal (Chaika, l982). Faktor eksternal
berkaitan dengan lingkungan bahasa seseorang, sedangkan Iaktor internal
berkaitan dengan keadaan intern di dalam diri pelahar bahasa. Faktor eksternal
masih dipilah menjadi dua macam lagi, yaitu lingkungan bahasa makro dan
lingkungan bahasa mikro. Lingkungan makro terdiri atas (1) kealamiahan bahasa,
(2) peranan anak-anak dalam berkomunikasi, (3) tersedianya sumber yang dapat
membetulkan untuk menjelaskan makna, dan (4) ketersediaan model atau contoh
yang bisa ditiru. Lingkungan mikro adalah keadaan lingkungan kelas tempat
anak-anak belajar, yaitu bagaimana guru bisa menciptakan kelas agar anak-anak
bisa belajar keterampilan berbahasa, bukan hanya tahu tentang bahasa saja.
Dari berbagai penelitian tentang pengajaran bahasa disimpulkan bahwa
keterampilan berbahasa anak, khususnya keterampilan berbicara, dikembangkan
melalui tiga cara, yaitu: (1) anak-anak mengembangkan bahasa keduanya dengan
memproduksi ujaran dalam bahasa target secara lebih sering, lebih tepat, dan
dalam variasi yang luas; (2) Anak-anak mengembangkan bahasa keduanya dengan
cara mengolah input dari ujaran orang lain; dan (3) anak-anak mengembangkan
13
bahasa keduanya melalui pelibatan diri dalam tugas atau interaksi yang menuntut
adanya kemampuan kreatiI berkomunikasi dengan orang lain (Ellis, 1986).
Hal itulah yang kemudian menjadi cacatan penting dalam penelitian
pengajaran bahasa, yaitu pengikutsertaan anak-anak dalam latihan komunikasi itu
amat penting. Anak-anak dengan tingkat pembangkitan input yang tinggi (high
input generating) memperoleh kemampuan berbahasanya dari bertanya,
menjawab, menyanggah, dan beradu argumen dengan orang lain. Anak-anak yang
lambat belajar, berarti ia juga pasiI dalam berlatih berbahasa nyata atau pasiI
dalam berkomunikasi menggunakan bahasa.
Inti dari temuan itu adalah bahwa keaktiIan anak-anak di kelas dalam
pembelajaran bahasa perlu dilakukan melalui aktivitas berlatih berujar secara
nyata. Penelitian-penelitian itu pada akhirnya menghasilkan sejumlah hipotesis
baru tentang pembelajaran bahasa. Secara umum ada korelasi antara perilaku aktiI
ini dengan perolehan belajar anak. Dengan kata lain, hasil penelitian dalam bidang
pengajaran bahasa menyarankan adanya program pengajaran bahasa yang
menekankan pada pembangkitan input anak-anak (latihan bercakap-cakap,
membaca, atau menulis yang sebenarnya).
Pembelajaran kompetensi komunikatiI yang menjadi muara akhir
pencapaian pembelajaran bahasa Indonesia memiliki ciri-ciri: (1) makna itu
penting, mengalahkan struktur dan bentuk; (2) konteks itu penting, bukan item
bahasa; (3) belajar bahasa itu belajar berkomunikasi; (4) target penguasaan sistem
bahasa itu dicapai melalui proses mengatasi hambatan berkomunikasi; (5)
kompetensi komunikatiI menjadi tujuan utama, bukan kompetensi kebahasaan; (6)
kelancaran dan keberterimaan bahasa menjadi tujuan, bukan sekedar ketepatan
bahasa. Siswa didorong untuk selalu berinteraksi dengan siswa lain (Brown,
2001:45).
Penggunaan pendekatan paragmatik dalam pengajaran Bahasa Indonesia
juga dilandasi oleh semangat pembelajaran kontruktivistik yang memiliki ciri-ciri:
(1) perilaku dibangun atas kesadaran diri; (2) keterampilan dikembangkan atas
dasar pemahaman; (3) hadiah untuk perilaku baik adalah kepuasan diri,
berdasarkan motivasi intrinsik; (4) seseorang berperilaku baik karena dia yakin
14
itulah yang terbaik dan bermanIaat bagi dirinya; (5) pembelajaran bahasa
dilakukan dengan pendekatan komunikatiI, yaitu siswa diajak menggunakan
bahasa untuk berkomunikasi dalam konteks nyata; (6) siswa menggunakan
kemampuan berpikir kritis, terlibat penuh dalam mengupayakan terjadinya proses
pembelajaran yang eIektiI, ikut bertanggung jawab atas terjadinya proses
pembelajaran yang eIektiI, membawa skemata masing-masing ke dalam proses
pembelajaran; (7) pengetahuan yang dimiliki manusia dikembangkan oleh
manusia itu sendiri, dengan cara memberi makna pada pengalamannya. Oleh
karena ilmu pengetahuan itu dikembangkan (dikonstruksi) oleh manusia sendiri,
sementara manusia selalu mengalami peristiwa baru, maka pengetahuan itu tidak
pernah stabil, selalu berkembang (tentative & incomplete); (8) siswa belajar dari
teman melalui kerja kelompok, diskusi, saling mengoreksi; (9) hasil belajar diukur
dengan berbagai cara dan dari berbagai sumber; (10) pembelajaran terjadi di
berbagai konteks dan setting (Zahorik dalam Kurikulum 2004. Naskah Akaaemik
Mata pelafaran Bahasa Inaonesia 2004.21-22).
Penggunaan pendekatan pragmatik dalam pengajaran Bahasa Indonesia juga
didasari oleh prinsip bahwa guru mengajarkan bahasa Indonesia sebagai sebuah
keterampilan, antara lain pengintegrasian antara bentuk dan makna, penekanan
pada kemampuan berbahasa praktis, dan interaksi yang produktiI antara guru
dengan siswa. Prinsip pertama menyarankan agar pengetahuan dan keterampilan
berbahasa yang diperoleh, berguna dalam komunikasi sehari-hari (meaningful).
Dengan kata lain, agar dihindari penyajian materi (khususnya kebahasaan) yang
tidak bermanIaat dalam komunikasi sehari-hari, misalnya, pengetahuan tata
bahasa bahasa Indonesia yang sangat linguistis.
Prinsip kedua menekankan bahwa melalui pengajaran bahasa Indonesia,
siswa diharapkan mampu menangkap ide yang diungkapkan dalam bahasa
Indonesia, baik lisan maupun tulis, serta mampu mengungkapkan gagasan dalam
bahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tertulis. Penilaian hanya sebagai
sarana pembelajaran bahasa, bukan sebagai tujuan.
Prinsip ketiga mengharapkan agar di kelas terjadi suasana interaktiI
sehingga tercipta masyarakat pemakai bahasa Indonesia yang produktiI. Tidak ada
15
peran guru yang dominan. Guru diharapkan sebagai 'pemicu kegiatan berbahasa
lisan dan tulis. Peran guru sebagai orang yang tahu atau pemberi inIormasi
pengetahuan bahasa Indonesia agar dihindari.
Ciri lain yang menandai adanya penggunaan pendekatan pragmatik dalam
pembelajaran keterampilan bercerita adalah penggunaan konteks tuturan. Hal ini
dimaksudkan agar peserta didik memperoleh gambaran penggunaan bahasa
Indonesia dalam konteks dan situasi yang nyata.
Konteks adalah sesuatu yang menjadi sarana pemerjelas suatu maksud.
Sarana itu meliputi dua macam, yaitu: (1) berupa bagian ekspresi yang dapat
mendukung kejelasan maksud; dan (2) berupa situasi yang berhubungan dengan
suatu kejadian. Konteks yang berupa bagian ekspresi yang dapat mendukung
kejelasan maksud disebut koteks (co-text), sedangkan konteks yang berupa situasi
yang berhubungan dengan suatu kejadian disebut konteks (contex) (Rustono
1999:20). Makna sebuah kalimat baru dapat dikatakan benar apabila diketahui
siapa pembicaranya, siapa pendengarnya, kapan diucapkan, dan lain-lain (Lubis
1993:57).
Menurut Alwi et al. (1998:421), konteks terdiri dari unsur-unsur, seperti
situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat adegan, topik, peristiwa, bentuk
amanat, kode, dan sarana. Bentuk amanat sebagai unsur konteks, antara lain dapat
berupa surat, esai, iklan, pemberitahuan, pengumuman, dan sebagainya.
Di dalam peristiwa tutur, ada sejumlah Iaktor yang menandai keberadaan
peristiwa itu. Menurut Hymes (1968) (melalui Rustono 1999:21), Iaktor-Iaktor
itu berjumlah delapan, yaitu: (1) latar atau scene, yaitu tempat dan suasana
peristiwa tutur; (2) participant, yaitu penutur, mitra tutur, atau pihak lain; (3) ena
atau tujuan; (4) act, yaitu tindakan yang dilakukan penutur di dalam peristiwa
tutur; (5) key, yaitu nada suara dan ragam bahasa yang digunakan di dalam
mengekspresikan tuturan dan cara mengekspresikannya; (6) instrument, yaitu alat
melalui telepon atau bersemuka; (7) norm atau norma, yaitu aturan permainan
yang harus ditaati oleh setiap peserta tutur; dan (8) genre, yaitu jenis kegiatan,
seperti wawancara, diskusi, kampanye, dan sebagainya. Lebih lanjut
dikemukakan bahwa ciri-ciri konteks itu mencakupi delapan hal, yaitu penutur,
16
mitra tutur, topik tuturan, waktu dan tempat bertutur, saluran atau media, kode
(dialek atau gaya), amanat atau pesan, dan peristiwa atau kejadian. Di dalam
novel, konteks tuturan tampak pada dialog antartokoh yang memenuhi ciri-ciri
konteks sebagaimana dikemukakan oleh Hymes (1968).
Menurut Rustono (1999:26), situasi tutur adalah situasi yang melahirkan
tuturan. Pernyataan ini sejalan dengan pandangan bahwa tuturan merupakan
akibat, sedangkan situasi tutur merupakan sebabnya. Di dalam komunikasi, tidak
ada tuturan tanpa situasi tutur. Memperhitungkan situasi tutur amat penting di
dalam pragmatik. Maksud tuturan yang sebenarnya hanya dapat diidentiIikasi
melalui situasi tutur yang mendukungnya. Penentuan maksud tuturan tanpa
mengalkulasi situasi tutur merupakan langkah yang tidak akan membawa hasil
yang memadai. Pertanyaan apakah yang dihadapi itu berupa Ienomena pragmatis
atau Ienomena semantis dapat dijawab dengan kriteria pembeda yang berupa
situasi tutur. Komponen-komponen situasi tutur menjadi kriteria penting di dalam
menentukan maksud suatu tuturan.
Menurut Leech (1983:13-15), situasi tutur mencakupi lima komponen, yaitu
penutur dan mitra tutur, konteks tuturan, tujuan tuturan, tindak tutur sebagai
bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal.
Komponen situasi tutur yang pertama adalah penutur dan mitra tutur. Penutur
adalah orang yang bertutur, yaitu orang yang menyatakan tuturan tertentu di
dalam peristiwa komunikasi. Sementara itu, mitra tutur adalah orang yang
menjadi sasaran sekaligus kawan penutur di dalam peristiwa tutur. Di dalam
peristiwa komunikasi, peran penutur dan mitra tutur dilakukan secara silih
berganti. Yang semula berperan sebagai penutur pada tahap berikutnya dapat
menjadi mitra tutur, demikian pula sebaliknya. Aspek-aspek yang terkait dengan
penutur dan mitra tutur antara lain usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis
kelamin, tingkat pendidikan, tingkat keakraban.
Komponen situasi tutur yang kedua adalah konteks tuturan. Di dalam tata
bahasa, konteks tuturan mencakupi semua aspek Iisik atau latar sosial yang
relevan dengan tuturan yang diekspresi. Konteks yang bersiIat Iisik, yaitu Iisik
tuturan dengan tuturan lain yang biasa disebut dengan ko-teks, sedangkan konteks
17
latar sosial lazim dinamakan konteks. Di dalam pragmatik, konteks berarti semua
latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra
tuturnya. Konteks berperan membantu mitra tutur di dalam menaIsirkan maksud
yang ingin dinyatakan oleh penutur.
Komponen situasi tutur yang ketiga adalah tujuan tuturan, yaitu apa yang
ingin dicapai oleh penutur dengan melakukan tindakan bertutur. Komponen ini
menjadi hal yang melatarbelakangi tuturan. Semua tuturan orang normal memiliki
tujuan. Hal ini berarti tidak mungkin ada tuturan yang tidak mengungkapkan suatu
tujuan. Di dalam peristiwa tutur, berbagai tuturan dapat diekspresi untuk
mencapai suatu tujuan.
Komponen situasi tutur yang keempat adalah tindak tutur sebagai bentuk
tindakan atau aktivitas. Komponen ini mengandung maksud bahwa tindak tutur
merupakan tindakan juga tidak ubahnya sebagai tindakan mencubit dan
menendang. Yang berbeda adalah bagian tubuh yang berperan. Jika mencubit
yang berperan adalah tangan dan menendang yang berperan adalah kaki, pada
tindakan bertutur alat ucaplah yang berperan. Tangan, kaki, dan alat ucap adalah
bagian tubuh manusia.
Komponen situasi tutur yang kelima adalah tuturan sebagai produk tindak
verbal. Tuturan itu merupakan hasil suatu tindakan. Tindakan manusia dibedakan
menjadi dua, yaitu tindakan verbal dan tindakan nonverbal. Mencubit dan
menendang adalah tindakan nonverbal, sedangkan berbicara atau bertutur adalah
tindakan verbal, yaitu tindak mengekspresikan kata-kata atau bahasa. Karena
tercipta melalui tindakan verbal, tuturan itu merupakan produk tindak verbal.
Komponen lain yang dapat menjadi unsur situasi tutur antara lain waktu dan
tempat pada saat tuturan itu diproduksi. Tuturan yang sama dapat memiliki
maksud yang berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat sebagai latar tuturan.
Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa
penggunaan pendekatan pragmatik sebagai inovasi dalam pengajaran
keterampilan bercerita di SMP dimaksudkan untuk melatih dan membiasakan
siswa untuk berbicara sesuai dengan konteks dan situasi tutur senyatanya sehingga
18
siswa dapat memperoleh manIaat praktis untuk diterapkan dalam peristiwa
komunikasi sehari-hari.
II. PROSEDUR PENELITIAN TINDAKAN KELAS
Penelitian ini menggunakan jenis Penelitian Tindakan Kelas dengan
menggunakan prosedur penelitian seperti pada skema 7.1 berikut ini!
Skema 7.1 Prosedur Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
Keterangan:
Penelitian ini dimulai dengan melakukan identiIikasi masalah atau reIleksi
awal terhadap rendahnya tingkat keterampilan bercerita siswa kelas VII-A SMP
Negeri 2 Pegandon, Kecamatan Ngampel, Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa
Tengah. Berdasarkan reIleksi awal ditemukan penyebab rendahnya tingkat
keterampilan bercerita siswa kelas VII-A SMP Negeri 2 Pegandon, Kecamatan
19
Identifikasi
Masalah
(Refleksi Awal)
Perumusan
Masalah Tujuan
Kajian
Teori
Hipotesis
Tindakan
Perencanaan
Tindakan
Pelaksanaan
Tindakan
dan Observasi
Analisis Data
Indikator Keberhasilan
Belum Tercapai
Refleksi
Tercapai
Stop/
Peman-
tapan
Ngampel, Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah, yaitu penggunaan
pendekatan pembelajaran yang tidak mampu membawa siswa ke dalam situasi
penggunaan bahasa secara nyata atau terlepas dari konteks dan situasi tuturan.
Akibatnya, proses pembelajaran berlangsung monoton dan membosankan. Oleh
karena itu, diperlukan pendekatan pembelajaran yang diduga mampu membawa
siswa ke dalam situasi penggunaan bahasa secara nyata sehingga siswa
memperoleh manIaat praktis untuk diterapkan dalam peristiwa komunikasi sehari-
hari.
Berdasarkan penggunaan pendekatan pragmatik yang ditawarkan sebagai
solusi, dirumuskan masalah yang akan diteliti, yaitu: (1) langkah-langkah apa saja
yang perlu dilakukan dalam menggunakan pendekatan pragmatik dalam
pembelajaran keterampilan bercerita bagi siswa SMP; dan (2) apakah penggunaan
pendekatan pragmatik dalam pembelajaran Bahasa Indonesia dapat meningkatkan
keterampilan bercerita bagi siswa SMP.
Selanjutnya, dirumuskan tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini,
yaitu: (1) untuk mengidentiIikasi langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam
menggunakan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan bercerita
bagi siswa SMP; dan (2) untuk memaparkan hasil keterampilan bercerita siswa
SMP setelah pendekatan pragmatik digunakan dalam kegiatan pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Berdasarkan rumusan tujuan, dilakukan kajian teori sehingga pendekatan
yang ditawarkan sebagai solusi dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya
secara ilmiah. Teori yang digunakan adalah teori yang berkaitan dengan aspek
keterampilan berbicara dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMP dan teori
yang berkaitan dengan pendekatan pragmatik sebagai inovasi tindakan yang
dilakukan dalam upaya dalam meningkatkan keterampilan bercerita siswa SMP.
Dari hasil kajian teori dirumuskan hipotesis tindakan, yaitu penggunaan
pendekatan pragmatik dapat meningkatkan keterampilan bercerita siswa SMP.
Berdasarkan rumusan hipotesis tindakan, dilakukan perencanaan tindakan yang
akan dilakukan untuk meningkatkan keterampilan berbicara bagi siswa SMP klas
VII-A SMP 2 Pegandon, Kecamatan Ngampel, Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa
20
Tengah. Langkah selanjutnya adalah melaksanakan tindakan sesuai dengan
rencana dengan melibatkan seorang kolaborator untuk melakukan observasi
terhadap tindakan yang dilakukan.
Berdasarkan hasil pelaksanaan tindakan dan observasi, dilakukan analisis
data yang diperoleh dari hasil keterampilan bercerita siswa klas VII-A SMP 2
Pegandon, Kendal, Jawa Tengah. Data tersebut dibandingkan dengan indikator
keberhasilan penggunaan pendekatan pragmatik, yaitu 70 (28 siswa) dari 40
siswa klas VII-A SMP 2 Pegandon-Kendal terampil berbicara berdasarkan aspek
kelancaran berbicara, ketepatan pilihan kata (diksi), struktur kalimat, kelogisan
(penalaran), dan kontak mata. Bersama kolaborator, peneliti melakukan reIleksi
terhadap hasil analisis data. Jika hasil analisis data belum menunjukkan hasil yang
signiIikan, dilakukan reIleksi untuk memperbaiki langkah-langkah yang perlu
dilakukan pada siklus berikutnya.
Langkah selanjutnya adalah menyusun replanning (rencana tindakan) untuk
siklus II berdasarkan hasil reIleksi yang dilakukan bersama kolaborator. Pada
siklus II, peneliti melakukan tindakan sesuai dengan replanning yang telah
disusun dengan melibatkan kolaborator untuk mengamati eIektivitas pelaksanaan
tindakan. Selanjutnya, dilakukan analisis terhadap data keterampilan bercerita
siswa klas VII-A SMP 2 Pegandon, Kendal, Jawa Tengah dibandingkan dengan
indikator keberhasilan untuk direIleksi bersama kolaborator. Jika hasilnya belum
signiIikan, dilakukan replanning untuk siklus III. Jika penggunaan pendekatan
pragmatik sudah menunjukkan hasil yang signiIikan dengan indikator
keberhasilan, tidak perlu dilanjutkan ke siklus berikutnya. Ini artinya, penggunaan
pendekatan pragmatik dapat meningkatkan keterampilan bercerita siswa SMP
seperti yang telah dirumuskan dalam hipotesis tindakan.
II.1Lokasi dan Subjek Penelitian
Lokasi penelitian adalah SMP 2 Pegandon, Kendal, Jawa Tengah, yang
berlokasi di Jalan Raya Rejosari, Kecamatan Ngampel, Kabupaten Kendal.
Subjek penelitian adalah siswa kelas VII-A SMP 2 Pegandon yang terdiri atas 40
siswa, dengan rincian 18 siswa laki-laki dan 22 siswa perempuan.
21
II.2Pemecahan Masalah
Seperti telah peneliti kemukakan bahwa masalah yang diteliti dalam
penelitian ini adalah rendahnya tingkat keterampilan bercerita, khususnya
keterampilan siswa kelas VII-A SMP 2 Pegandon-Kendal, Jawa Tengah, dalam
menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan pilihan kata yang
tepat dan kalimat yang eIektiI.
Berdasarkan hasil identiIikasi masalah dan reIleksi awal, siswa kelas VII-A
SMP 2 Pegandon-Kendal yang dinilai sudah mampu menceritakan pengalaman
yang paling mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat eIektiI
baru sekitar 20 (8 siswa) dari 40 siswa. Data ini masih jauh dari standar
ketuntasan belajar minimal secara nasional, yaitu 75.
Materi pembelajaran berseumber dari standar isi dalam lampiran Peraturan
Mendiknas No. 22/2006 tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar mata
pelajaran Bahasa Indonesia SMP/MTs seperti pada tabel 7.1 berikut ini.
Tabel 7.2 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Menceritakan
Pengalaman yang Paling Mengesankan dengan Menggunakan
Pilihan Kata dan Kalimat Efektif
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
Berbicara
2. Mengungkapkan pengalaman
dan inIormasi melalui
kegiatan bercerita dan
menyampaikan pengumuman
2.1 Menceritakan pengalaman yang paling
mengesankan dengan menggunakan
pilihan kata dan kalimat eIektiI.
Masalah rendahnya tingkat keterampilan siswa dalam menceritakan
pengalaman yang paling mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan
kalimat eIektiI akan dipecahkan dengan menggunakan pendekatan pragmatik
melalui enam langkah, antara lain sebagai berikut.
7.2.1 Siswa memilih dan mencatat pengalaman mengesankan yang ingin
diceritakan.
7.2.2 Siswa mencatat identitas penutur dan mitra tutur, yaitu orang-orang yang
terlibat dalam pengalaman yang akan diceritakan.
22
7.2.3 Siswa mencatat konteks tuturan, yaitu latar belakang pengetahuan yang
dimiliki penutur dan mitra tutur.
7.2.4 Siswa mencatat tujuan tuturan, yaitu apa yang ingin dicapai oleh penutur
berdasarkan pengalaman yang akan diceritakan.
7.2.5 Siswa bertindak tutur melalui wujud tindakan verbal berdasarkan hal-hal
yang telah dicatat sebelumnya. Bentuk tindakan verbal berupa tindak tutur
yang dihasilkan oleh alat ucap, berupa kata-kata dan kalimat.
7.2.6 Siswa bertindak tutur melalui wujud tindakan nonverbal untuk
memperjelas tindakan verbal yang telah dilakukan. Tindakan nonverbal
berupa tindak tutur yang dihasilkan melalui kontak mata, mimik, gerak
tangan, atau gerak anggota badan yang lain.
Secara garis besar, alur penggunaan pendekatan pragmatik yang
digunakan untuk memecahkan masalah rendahnya tingkat keterampilan siswa
kelas VII-A SMP 2 Pegandon-Kendal dalam menceritakan pengalaman yang
paling mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat eIektiI dapat
dilihat pada bagan 7.2 berikut ini.
Bagan 7.2 Alur Penggunaan Pendekatan Pragmatik dalam Pembelajaran
Keterampilan Menceritakan Pengalaman yang Paling
Mengesankan bagi Siswa Kelas VII-A SMP 2 Pegandon-Kendal
23
Siswa
Objek
Peng-
alaman
Pengalaman
Mengesankan
Identitas Penutur
dan Mitra Tutur
Konteks Tuturan
Tujuan Tuturan
Tindak Tutur
Verbal
Tindak Tutur
Nonverbal
Melalui alur penggunaan pendekatan pragmatik tersebut, siswa diharapkan
dapat menceritakan pengalaman yang mengesankan dengan menggunakan pilihan
kata yang tepat dan kalimat yang eIektiI sesuai konteks dan situasi tutur. Artinya,
pilihan kata dan struktur kalimat yang digunakan dalam bercerita sangat
ditentukan oleh konteks dan situasi tutur yang telah ditentukan oleh siswa.
Pendekatan ini memberikan keleluasaan kepada siswa untuk memilih dan
menentukan pengalaman yang hendak diceritakan, sedangkan guru hanya
memberikan rambu-rambu sebagai pedoman bagi siswa dalam bercerita.
II.3Rencana Tindakan
Rencana tindakan yang akan dilakukan dalam menggunakan pendekatan
pragmatik untuk meningkatkan kemampuan siswa kelas VII-A SMP 2 Pegandon-
Kendal dalam menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan
pilihan kata dan kalimat yang eIektiI, antara lain sebagai berikut.
II.3.1 Guru menyusun silabus berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi
dasar keterampilan berbicara mata pelajaran Bahasa Indonesia SMP Kelas
VII semester I seperti yang tercantum dalam Standar Isi (lampiran
Permendiknas No. 22/2006). Dalam silabus dicantumkan nama sekolah,
identitas mata pelajaran (nama mata pelajaran, kelas/semester, komponen,
aspek, dan standar kompetensi), kompetensi dasar, materi pokok, kegiatan
belajar, indikator, penilaian (teknik, bentuk, dan contoh instrumen),
alokasi waktu, dan sumber/media belajar.
II.3.2 Guru mengembangkan silabus Menjadi Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) yang memuat komponen: nama sekolah, identitas
mata pelajaran (nama mata pelajaran, kelas/semester, komponen, aspek,
standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, alokasi waktu), tujuan
pembelajaran, materi pembelajaran, metode pembelajaran, langkah-
langkah kegiatan pembelajaran, sumber belajar, penilaian dan pedoman
penilaian.
24
II.3.3 Guru melaksanakan tindakan sesuai dengan Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) yang telah disusun. Pada tahap ini, peneliti
melibatkan kolaborator untuk mengamati pelaksanaan tindakan.
II.3.4 Peneliti menganalisis data hasil keterampilan siswa dalam menceritakan
pengalaman mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat
eIektiI.
II.3.5 Hasil analisis data dibandingkan dengan hasil tes awal untuk mengetahui
eIektiktivitas penggunaan pendekatan pragmatik. Langkah selanjutnya
adalah melakukan reIleksi berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan
oleh kolaborator. Jika penggunaan pendekatan pragmatik dinilai belum
memberikan hasil yang signiIikan, kolaborator memberikan masukan dan
bersama-sama dengan peneliti melakukan langkah-langkah perbaikan
untuk dilaksanakan pada siklus berikutnya.
II.3.6 Peneliti melakukan replanning untuk merencanakan tindakan yang akan
dilakukan pada siklus berikutnya berdasarkan hasil reIleksi bersama
kolaborator.
II.3.7 Peneliti melaksananakan tindakan pada siklus II sesuai dengan rencana
tindakan yang telah disusun.
II.3.8 Peneliti menganalisis data hasil keterampilan siswa dalam menceritakan
pengalaman mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat
eIektiI.
II.3.9 Hasil analisis data dibandingkan dengan hasil tes siklus I untuk
mengetahui eIektiktivitas penggunaan pendekatan pragmatik. Langkah
selanjutnya adalah melakukan reIleksi berdasarkan hasil pengamatan yang
dilakukan oleh kolaborator. Jika penggunaan pendekatan pragmatik dinilai
sudah memberikan hasil yang signiIikan sesuai dengan indikator
keberhasilan, penelitian dinyatakan selesai dan tinggal melakukan
tindakan pemantapan kepada siswa (subjek penelitian). Namun, jika hasil
analisis data belum menunjukkan hasil yang signiIikan, peneliti kembali
melakukan reIleksi bersama kolaborator untuk merencanakan tindakan
perbaikan (replanning) yang akan dilaksanakan pada siklus berikutnya.
25
II.4Tahap Pelaksanaan
Tahap-tahap yang dilakukan pada tahap pelaksanaan tindakan terinci
sebagai berikut.
II.4.1 Tahap Persiapan Tindakan
Pada tahap persiapan tindakan, peneliti yang sekaligus sebagai guru
menyiapkan silabus, RPP, instrumen, sumber belajar, dan media belajar yang
digunakan untuk mendukung eIektivitas pelaksanaan tindakan.
II.4.2 Pelaksanaan Tindakan
Pada tahap pelaksanaan tindakan, peneliti melaksanakan tindakan sesuai
rencana yang tersusun dalam RPP. Secara garis besar, tindakan yang dilaksanakan
pada setiap siklus sesuai dengan yang tersusun dalam RPP antara lain sebagai
berikut.
II.4.2.1Tindakan Awal
II.4.2.1.1 Apersepsi: peneliti mengaitkan materi pembelajaran tentang dengan
pengalaman siswa.
II.4.2.1.2 Motivasi: peneliti memberikan motivasi kepada siswa agar gemar
menceritakan pengalaman yang mengesankan kepada orang lain.
II.4.2.2Tindakan Inti
II.4.2.2.1 Siswa menyimak contoh cerita pengalaman yang mengesankan yang
disampaikan oleh peneliti.
II.4.2.2.2 Siswa melakukan tanya jawab dengan guru dan teman sekelas untuk
menentukan langkah-langkah menceritakan pengalaman mengesankan
berdasarkan contoh cerita yang disimak.
II.4.2.2.3 Siswa memilih dan mencatat pengalaman mengesankan yang ingin
diceritakan.
II.4.2.2.4 Siswa mencatat identitas penutur dan mitra tutur, yaitu orang-orang
yang terlibat dalam pengalaman yang akan diceritakan.
26
II.4.2.2.5 Siswa mencatat konteks tuturan, yaitu latar belakang pengetahuan
yang dimiliki penutur dan mitra tutur.
II.4.2.2.6 Siswa mencatat tujuan tuturan, yaitu apa yang ingin dicapai oleh
penutur berdasarkan pengalaman yang akan diceritakan.
II.4.2.2.7 Siswa bertindak tutur melalui wujud tindakan verbal berdasarkan hal-
hal yang telah dicatat sebelumnya.
II.4.2.2.8 Siswa bertindak tutur melalui wujud tindakan nonverbal untuk
memperjelas tindakan verbal yang telah dilakukan.
II.4.2.3Tindakan Akhir
II.4.2.3.1 Siswa bersama peneliti menyimpulkan cara menceritakan pengalaman
mengesankan dengan pilihan kata yang tepat dan kalimat yang eIektiI.
II.4.2.3.2 Siswa bersama peneliti melakukan reIleksi untuk mengetahui kesan
siswa ketika menceritakan pengalaman yang mengesankan dengan
menggunakan pendekatan prgmatik.
II.4.3 Pelaksanaan Pengamatan
Ketika peneliti melaksanakan tindakan, anggota peneliti sebagai kolaborator
melakukan pengamatan terhadap situasi yang terjadi selama kegiatan
pembelajaran berlangsung. Hal-hal yang perlu diamati dan dicatat oleh
kolaborator dalam lembar observasi, di antaranya: (1) respon siswa, (2) perubahan
yang terjadi selama proses pembelajaran; (3) keterampilan guru dalam
menggunakan pendekatan pragmatik, baik dalam tindakan awal, tindakan inti,
maupun tindakan akhir; dan (4) kesesuaian antara rencana dan implementasi
tindakan.
II.4.4 Analisis dan Refleksi
Pada tahap ini, peneliti menganalisis data yang diperoleh berdasarkan unjuk
kerja yang dilakukan siswa ketika menceritakan pengalaman yang mengesankan
dengan pilihan kata dan kalimat yang eIektiI. Unsur-unsur yang dianalisis, yaitu
kelancaran bercerita, ketepatan pilihan kata, keeIektiIan kalimat, kelogisan
27
penalaran, dan kemampuan menjalin kontak mata. Berdasarkan hasil analisis data
akan diketahui unsur-unsur mana saja yang masih menjadi hambatan siswa dalam
menceritakan pengalamannya yang mengesankan.
Hasil analisis data tersebut juga sangat penting dan berharga sebagai bahan
untuk melakukan reIleksi bersama kolaborator. Pada saat melakukan reIleksi,
kolaborator memberikan masukan kepada peneliti berdasarkan hasil pengamatan
yang telah dicatat untuk melakukan langkah-langkah perbaikan pada siklus
berikutnya.
Penelitian tidak perlu dilakukan lagi pada siklus berikutnya jika hasil
analisis data menunjukkan pengingkatan yang signiIikan sesuai dengan indikator
keberhasilan penelitian yang telah ditetapkan, yaitu 70 (28 siswa) dari 40 siswa
klas VII-A SMP 2 Pegandon-Kendal terampil berbicara berdasarkan aspek
kelancaran berbicara, ketepatan pilihan kata (diksi), struktur kalimat, kelogisan
(penalaran), dan kontak mata.
II.5Cara Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang valid, data dikumpulkan melalui cara/teknik
berikut ini.
II.5.1 Tes
Teknik tes digunakan untuk mengetahui tingkat keterampilan siswa dalam
menceritakan pengalaman yang mengesankan kepada orang lain. Aspek-aspek
yang dinilai, yaitu kelancaran berbicara, ketepatan pilihan kata (diksi), struktur
kalimat, kelogisan (penalaran), dan kontak mata.
II.5.2 Nontes
Teknik nontes yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain sebagai
berikut.
II.5.2.1Observasi (pengamatan): teknik ini digunakan oleh kolaborator untuk
mengobservasi pelaksanaan tindakan yang dilakukan oleh peneliti.
28
II.5.2.2Wawancara: teknik ini digunakan oleh peneliti dan kolaborator untuk
mengetahui respon siswa secara langsung dalam bercerita dengan
menggunakan pendekatan pragmatik. Wawancara terutama dilakukan
kepada siswa yang menonjol karena kelebihan atau kekurangannya.
Pelaksanaan wawancara dilakukan di luar kegiatan pembelajaran dengan
menggunakan pedoman wawancara.
II.5.2.3Jurnal: teknik ini digunakan oleh peneliti setiap kali selesai
mengimplementasikan tindakan. Jurnal tersebut dijadikan sebagai bahan
reIleksi diri bagi peneliti untuk mengungkap aspek: (1) respon siswa
terhadap penggunaan pendekatan pragmatik; (2) situasi pembelajaran; dan
(3) kekurangpuasan peneliti terhadap pelaksanaan tindakan yang telah
dilakukan. Selain peneliti, siswa juga membuat jurnal setiap kali
mengikuti kegiatan pembelajaran yang digunakan untuk mengungkapkan:
(1) respon siswa (baik yang positiI maupun negatiI) terhadap penggunaan
pendekatan pragmatik; (2) metode pembelajaran yang disukai siswa; dan
(3) kemampuan peneliti dalam menciptakan pembelajaran yang aktiI,
inovatiI, kreatiI, eIektiI, dan menyenangkan.
II.6Teknik Analisis Data
Data penelitian dianalisis dengan menggunakan teknik tabulasi data secara
kuantitatiI berdasarkan hasil tindakan yang dilaksanakan pada setiap siklus. Hasil
tindakan pada setiap siklus dibandingkan dengan hasil tes awal untuk mengetahui
persentase peningkatan keterampilan siswa kelas VII-A SMP 2 Pegandon dalam
menceritakan pengalaman yang mengesankan.
Pada setiap siklus dideskripsikan jumlah skor yang diperoleh semua siswa,
daya serap, dan rata-rata skor untuk aspek kelancaran berbicara, ketepatan pilihan
kata (diksi), struktur kalimat, kelogisan (penalaran), dan kontak mata. Selain itu,
juga dideskripsikan jumlah skor, jumlah nilai, rata-rata nilai, dan tingkat daya
serap, dan ketuntasan belajar siswa pada setiap siklus.
29
III. 1ADWAL KEGIATAN PENELITIAN
Penelitian dilakukan selama tiga bulan, yaitu tanggal 12 September s.d. 10
Desember 2006, dengan jadwal seperti berikut ini.
No. Kegiatan Waktu Ket.
1. Tahap Persiapan:
1.1 Penyusunan silabus dan RPP
1.2 Penyusunan instrumen
1.3 Koordinasi dengan anggota
2 minggu
2. Tahap Pengumpulan Data
2.1 Pelaksanaan tindakan siklus I 1 minggu
2.2 Analisis dan ReIleksi 1 minggu
2.3 Pelaksanaan tindakan siklus II 1 minggu
2.4 Analisis dan ReIleksi 1 minggu
2.5 Pelaksanaan tindakan siklus III 1 minggu
2.6 Analisis dan ReIleksi 1 minggu
3. Tahap Pengolahan dan Analisis Data
3.1 Tabulasi Data 1 minggu
3.2 Pengolahan dan Analisis Data 1 minggu
4. Tahap Penulisan Laporan 2 minggu
1umlah Minggu 12 minggu
Keterangan:
Laporan hasil penelitian diserahkan pada tanggal 11 Desember 2006.
IV. KOMPONEN BIAYA
Biaya yang diperlukan untuk penelitian ini, antara lain sebagai berikut.
30
A.
1. Penyusunan Proposal : 750.000 Rp
2. Penyusunan Instrumen : 400.000 Rp
3. Pengumpulan Data : 600.000 Rp
4. Pengolahan Data : 600.000 Rp
5. Analisis Data : 500.000 Rp
6. Penulisan Laporan : 1.500.000 Rp
1umlah: 4.350.000 Rp
B. Bahan
1. Pembelian ATK : 2.000.000 Rp
1umlah: 2.000.000 Rp
C. Lain-lain
1. Konsumsi : 800.000 Rp
2. Foto copy : 900.000 Rp
3. Sewa Tape Recorder : 350.000 Rp
4. Penggandaan : 1.500.000 Rp
5. Pengiriman Laporan : 100.000 Rp
1umlah: 3.650.000 Rp
D. Rekapitulasi Biaya
A. Honor/Upah : 4.350.000 Rp
B. Bahan : 2.000.000 Rp
C. Lain-lain : 3.650.000 Rp
1umlah: 10.000.000 Rp
(Terbilang sepuluh juta rupiah)
Honor/upah
31
V. DAFTAR PUSTAKA
Abernathy, Rob dan Mark Reardon. 2004. 25 Kiat Menfaai Pembicara Hebat.
Bandung: KaiIa.
Depdiknas. 2004. Kurikulum 2004. Naskah Akaaemik Mata pelafaran Bahasa
Inaonesia. Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas. 2005. Materi Pelatihan Terintegrasi. Bahasa aan Sastra Inaonesia.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Dirjen Dikdasmen, Direktorat
Pendidikan Lanjutan Pertama.
Gunarwan, Asim. 1994. 'Pragmatik: Pandangan Mata Burung dalam Soenjono
Dardjowidjojo (ed.) Mengiring Rekan Sefati. Festschrift buat Pak Ton.
Jakarta: Unika Atmajaya.
--------------------. 1992. 'Kesantunan NegatiI di Kalangan Dwibahasawan
Indonesia-Jawa di Jakarta: Kajian Sosiopragmatik. Makalah pada Pelba
JII, Jakarta 26-27 Oktober 1992.
Ibrahim, Abdul Syukur. 1992. Kafian Tinaak Tutur. Surabaya: Usaha Nasional.
Kridalaksana, Harimurti (Ed.). 1996. Kamus Besar Bahasa Inaonesia. Jakarta:
Balai Pustaka
--------------------. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
Leech, GeoIIrey N. 1983. Prinsip-prinsip Pragmatik. Terjemahan M.D.D. Oka.
Jakarta: UI Press.
Lubis, Hamid Hasan. 1993. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Angkasa.
Mulgrave, Dorothy. 1954. Speech. A Hanabook of Joice Training Diction ana
Public Speaking. New York: Barnes & Noble Inc.
Nababan, P.W.J. 1987. Ilmu Pragmatik (Teori aan Penerapannya). Jakarta:
Depdikbud.
Nurhadi. 2000. Penerapan Tata Bahasa Pedagogis Bahasa Indonesia dalam
Pengajaran Bahasa Indonesia. Disertasi Tidak Diterbitkan. Malang: PPS
Universiats Negeri Malang.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2006
tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah.
32
Purwo, Bambang Kaswanti (ed.). 1984. Pragmatik aan Pengafaran Bahasa.
Menyibak Kurikulum 1984. Yogyakarta:Kanisius.
Rustono. 1999. Pokok-pokok Pragmatik. Semarang: C.V. IKIP Semarang Press.
Salinger, Terry. 2001. Literate Environment. School Improvement in Maryland.
(online).
(http://www.mdk12.org/practices/goodinstruction/projectbetter/elangarts/
ela-62-63.html)
Searle, John R. 1969. Speech Act. an Essay in The Philosophy of Language.
Cambridge: Cambridge University Press.
Sudaryanto. 1993. Penaekatan Komunikatif aalam Pengafaran Bahasa Inaonesia
SD Kurikulum 1994. Makalah disajikan dalam seminar Nasional
Pengajaran Bahasa Indonesia III, di Jember, 2-4 Desember 1993.
Suyono. 1990. Pragmatik. Dasar-aasar aan Pengafarannya. Malang: Yayasan
Asih Asah Asuh.
Tarigan, Henry Guntur. 1983. Berbicara sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.
Bandung: Angkasa.
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-aasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi.
VI. LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1 : Curriculum Jitae Ketua Peneliti
Lampiran 2 : Foto kopi petikan Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor:
823.4/04288 tentang kenaikan pangkat jabatan Iungsional PNS
sebagai Guru Pembina (IV-a)
Lampiran 3 : Foto kopi Nomor Rekening Sekolah
33
Lampiran 1
CURRICULUM JI1AE KETUA PENELITI
1. Nama lengkap : Drs. Sawali, M.Pd.
2. Tempat, tanggal lahir : Grobogan, 19 Juni 1964
3. Alamat : Perum BTN RT 03/RW X Blok C-21
Kelurahan Langenharjo, Kec. Kendal,
Kabupaten Kendal, 51314
HP 08122895206
4. Unit Kerja : SMP 2 Pegandon
Jalan Raya Desa Rejosari Kec. Ngampel,
Kabupaten Kendal
Telepon (0294) 383081
5. Latar Belakang Pendidikan :
a. SD (tahun 1977)
b. SMP (tahun 1981)
c. SPG (tahun 1984)
d. Program Sarjana (S1) IKIP Semarang Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia (lulus tahun 1988)
e. Program Pascasarjana (S2) Universitas Negeri Semarang Program Studi
Pendidikan Bahasa Indonesia (lulus tahun 2005)
2. Pengalaman Mengajar :
a. Guru Bahasa Indonesia di SMA Islam Karangrayung, Kabupaten
Grobogan, Jawa Tengah, selama 5 tahun (1990-1995)
b. Guru Bahasa Indonesia di SMP 2 Pegandon-Kendal, Jawa Tengah (Tahun
1995 s.d. sekarang)
3. Karya Tulis yang Pernah Dibuat :
a. Peningkatan Keterampilan Menulis Siswa Kelas II SMP 2 Peganaon
melalui Meaia Gambar Berangkai (Penelitian Tindakan Kelas, Tahun
1999)
b. Peningkatan Apesiasi Puisi melalui Teknik Penyafian Apresiatif paaa
Siswa Kelas II-A SLTPN-2 Peganaon Kabupaten Kenaal (Penelitian
Tindakan Kelas, Tahun 2001)
c. Karakteristik, Fungsi, aan Latar Belakang Penggunaan Tuturan yang
Menganaung Kekeliruan Inferensi Percakapan aalam Novel Belantik
(Tesis Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang Program Studi
Pendidikan Bahasa Indonesia, Tahun 2005)
d. Artikel ilmiah populer (opini) di bidang pendidikan yang dimuat di
berbagai media cetak, baik daerah maupun nasional, seperti Wawasan,
Suara Meraeka, Kompas, Republika, Suara Karya, aan Suara
Pembaruan)
34

Anda mungkin juga menyukai