Evaluasi Ekokardiografi pada Gagal Jantung Diastolik
Author : Ismir Fahri
Selasa, 23 Maret 2010 14:07:34
Dept. Cardiology and Vascular Medicine
Pendahuluan
Prevalensi gagal jantung di Amerika Serikat mencapai 4,8 juta orang dengan 500 ribu kasus baru per tahunnya. Penyakit ini merupakan penyebab utama perwatan di rumah sakit pada pasien diatas usia 65 tahun.1 Penelitian potong silang dan berbasis populasi mengindikasikan 1/3 pasien dengan gagal jantung kongestif memiliki fraksi ejeksi ventrikel kiri yang normal atau mendekati normal. Angka kematian pasien gagal jantung diastolik berkisar 5-8% sedangkan angka kematian gagal jantung sistolik berkisar 10-15%.2 Di Indonesia belum ada angka pasti tentang prevalensi penyakit gagal jantung, di RS Jantung Harapan Kita, setiap hari ada sekitar 400-500 pasien berobat jalan dan sekitar 65% adalah pasien gagal jantung.3 Meskipun terapi gagal jantung mengalami perkembangan yang pesat, angka kematian dalam 5- 10 tahun tetap tinggi, sekitar 30-40% dari pasien penyakit gagal jantung lanjut dan 5-10% dari pasien dengan gejala gagal jantung yang ringan.4 Gagal jantung diastolik merupakan penyebab kesakitan dan kematian utama, yang didefinisikan sebagai gejala gagal jantung dengan fungsi ventrikel kiri yang baik, dengan karakteristik ventrikel kiri yang kaku dengan penurunan compliance dan gangguan relaksasi yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan akhir diastolik. Gagal jantung diastolik memiliki gejala dan tanda yang sama dengan gagal jantung sistolik. Diagnosis gagal jantung diastolik dapat ditegakkan dengan baik mengunakan ekokardiografi dengan berbagai parameter.5 Tujuan presentasi
Tujuan dari presentasi ini adalah untuk menjelaskan peran ekokardiografi dalam diagnosis dan evaluasi pada gagal jantung diastolik.
Ilustrasi kasus
Seorang wanita berusia 66 tahun datang dengan keluhan nyeri dada sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit . Nyeri dada dirasakan hilang timbul dan tidak dipengaruhi oleh aktivitas, dengan durasi lebih kurang 20 menit, tidak dirasakan adanya penjalaran nyeri, mual dan muntah . Keluhan nyeri dada berkurang jika pasien istirahat atau dengan ISDN sublingual. Pasien juga mengeluhkan sesak napas terutama jika pasien melakukan aktivitas yang sedang dan pasien lebih nyaman tidur dengan bantal yang lebih tinggi, pasien juga mengeluh sering terbangun malam hari karena sesak napas, pasien tidak mengeluhkan batuk atau demam. Pasien adalah pasien baru di PJNHK, 3 bulam SMRS pasien pernah mengalami keluhan nyeri dada yang lebih berat dan dirawat di RS Cilandak selama 1 minggu, pasien dikatakan mengalami serangan jantung, namun pasien tidak kontrol dan minum obat sejak 2 bulan terakhir. Faktor risiko pada pasien ini adalah hipertensi, diabetes mellitus tipe 2 dan menopause. Pada pemeriksaan fisik didapatkan, keadaan umum sedang, sensorium composmentis, tekanan darah 185/87 mmHg, frekuensi nadi 84x/menit, frekuensi napas 22x/menit, Suhu 36oC. Konjungtiva anemis, tidak icterik, JVP meningkat, jantung: bunyi jantung 1 dan 2 normal, tidak ditemukan murmur dan gallop, paru: didapatkan ronkhi basah basal pada kedua lapang paru. Pemeriksaan abdomen dalam batas normal, exteremitas akral hangat, pulsasi cukup dan equal, terdapat edema tungkai minimal. Berat badan 54 kg, tinggi badan 162 cm, BMI 19,8 kg/m2. Elektrokardiografi menunjukkan irama sinus, QRS rate 84 x/menit QRS axis LAD, gelombang P normal, PR interval 0,20, durasi QRS 0,08, rS II,III, aVF, poor R wave V3-V4, ST depresi V4- V6, T inverted I, aVL, V5-V6. Pada rontgen thoraks didapatkan CTR 60%, segmen aorta elongasi dengan kalsifikasi, segmen pulmonal dalam batas normal, pinggang jantung mendatar, apeks tertanam, vaskularisasi paru kongesti. Pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 8,2 g/dl, leukosit 8.110 mm3, hematokrit 24 vol %, ureum 127 mg/dl, creatinin 8,5 mg/dl, GDS 100 mg/dl, Na 139 mmol/l, K 6,0mmol/l, Ca total 2,0mmol/l, Cl 107mmol/l, Mg 2,3mg/dl, CKMB 9, Troponin T 0,059, serial II: CKMB 15, troponin T 0,059. CCT hitung 6,6 ml/menit.
Pasien kemudian diiagnosa dengan Unstable angina pectoris skor TIMI risk 4/7, CHF fc III ec Hypertension Heart Disease (HHD), old anterior MCI, Hipertensi stage II, Diabetes mellitus tipe 2 normoweight dengan gula darah terkontrol, Chronic kidney disease(CKD) stadium V, dan Hiperkalemia serta Anemia pada CKD. Pasien mendapatkan terapi Aspilet loading 160 mg selanjutnya 1x 80 mg, Plavix loading 300 mg selanjutnya 1x75 mg, Simvastatin 1x 20 mg, ISDN 3x10 mg, Hidralazin 3x 25 mg, Unfractionated Heparin (UFH) 3300 Unit selanjutnya drip 660 unit/jam, Furosemid 1x 40 mg (iv), Kalitake 3x1 sachet, Asam folat 3x1 tab, Bicnat 3x1 tab, transfusi PRC 300 ml. Selama perawatan keluhan nyeri dada dan sesak nafas berkurang, selanjutnya pasien menjalani pemeriksaan ekokardiografi dan USG ginjal. Pemeriksaan USG ginjal didapatkan kolesistitis, dilatasi sistim peviocalyceal ginjal kiri, suspect nefrolithiasis, dengan kesan CKD kiri dan ginjal kanan baik. Pemeriksaan ekokardiografi didapatkan, fungsi sistolik ventrikel kiri normal dengan fraksi ejeksi 58%, global normokinetik, LVH konsentrik dengan disfungsi diastolik (gangguan compliance), kontraksi RV normal, katup-katup dalam batas normal. Tabel 1. Hasil pemeriksaan ekokardiografi. LA 43 mm Ao 31 mm Katup- katup dalam batas normal EDD 52 mm ESD 36 mm Doppler E/A> 1, DT 198 m/s e/a < 1 E/e 36 Ao V max 1 m/s IVS 13mm PW 12 mm EF 58%, global normokinetik TAPSE 2.2 cm TR trivial TVG 32 mmHg
Setelah menjalani perawatan selama 5 hari pasien perbolehkan pulang dengan terapi Aspilet 1x 80 mg, Plavix 1x75 mg, Simvastatin 1x 20 mg, ISDN 3x20 mg, Hidralazin 3x75 mg, Furosemid 1x 40 mg, Amlodipin 1x5mg, Asam Folat 3x1 tab.
Tinjauan pustaka
Gagal jantung diastolik didefenisikan sebagai gejala gagal jantung dengan fungsi ventrikel kiri (LV) yang baik (fraksi ejeksi >50%), dengan karakteristik ventrikel kiri yang kaku dengan penurunan compliance dan gangguan relaksasi yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan akhir diastolik.5,6
Mekanisme diastolik Fase diatolik terdiri dari fase isovolumetrik relaksasi dan fase pengisian. Fase pengisisan terbagi menjadi; fase pengisian cepat awal diastolik, diastasis dan sistol atrium. Fase pengisian cepat awal diastolik menyumbang 70-80 persen pengisian ventrikel kiri pada individu normal dan kontribusinya mengalami penurunan sesuai usia dan berbagai kondisi penyakit. Pengisian cepat awal diastolik disebabkan perbedaan tekanan atrium kiri (LA) dan ventrikel kiri dimana tergantung pada faktor relaksasi miokard kekakuan diastolik LV, recoil elastis LV, kondisi kontraktilitas, tekanan LA, interaksi ventrikel, constrain pericardium, kekakuan LA, komponen vena pulmonal dan luas permukaan katup mitral. Diastasis merupakan periode diastolik saat tekanan LA dan LV hampir mencapai keseimbangan dan menyumbang kurang dari 5 persen pengisian LV dan durasinya memendek dengan takikardia. Pada pasien normal sistol atrium menymbang 15-25% pengisian LV tanpa peningkatan rerata tekanan atrium kiri. Kontribusi hal ini tergantung pada interval PR, kondisi inotropik atrium, preload atrium, afterload atrium, tekanan otonom, dan frekuensi denyut jantung. Komponen terpenting dari fungsi diastolik adalah relaksasi dan kekakuan diastolik ventrikel kiri.
Dikutip dari 5
Relaksasi ventrikrl kiri merupakan proses aktif dan energy dependent yang dimulai selama fase ejeksi sistol dan berlanjut sampai fase isovolumetrik relaksasi dan pengisian cepat. Pada jantung normal katekolamin menginduksi relaksasi selama latihan menurunkan tekanan ventrikel kiri saat awal diastolik, hal ini meningkatkan perbedaan tekanan LA-LV tanpa meningkatkan tekanan atrium kiri dan meningkatkan pengisisan selama latihan tanpa membutuhkan peninggian tekanan atrium kiri.6
Patofisiologi Diastol merupakan proses dimana jantung kembali kekondisi relaksasi dan merupakan saat perfusi jantung. Terdapat perubahan struktur dan fungsi ventrikel kiri seiring bertambanhya usia, perbedaan jenis kelamin dan penyakit kardiovaskular tanpa adanya gagal jantung. Terdapat banyak bukti menunjukkan kelainan fungsi diastolik memegang peranan penting pada gagal jantung. Pada pasien dengan gagal jantung diastolik terjadi peningkatan kebutuhan metabolisme serta peningkatan tekanan diastolik hal ini disebabkan oleh kekakuan ventrikel dengan penurunan compliance dan relaksasi. Transmisi peningkatan tekanan akhir diastolic LV terhadap sirkulasi paru dapat menyebabkan terjadinya kongseti, sesak napas dan gejala gagal jantung lainnya. kondisi diastolik dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti iskemia miokard, frekuensi denyut jantung, kecepatan relaksasi, compliance jantung (co; recoil elastis dan kekakuan), hipertrofi dan koordinasi otot dinding jantung segmental.5 Fungsi diastolik ditentukan oleh elastisitas pasif ventrikel kiri dan proses relaksasi aktif. Kelainan elastisitas pasif secara umum disebabkan oleh gabungan dari peningkatan masa miokard dan perubahan jaringan kolagen ekstramiokard. Efek penurunan relaksasi miokard aktif dapat menambah kekakuan ventrikel. Sebagai hasilnya kurva tekanan diastolik ventrikel kiri terhadap volume bergeser ke kiri atas, terjadi penurunan compliance, perubahan waktu pengisian dan terjadi peningkatan tekanan diastolik. Dalam kondisi ini terjadi peningkatan ringan volume darah sentral atau peningkatan tekanan vena, kekakuan arteri atau keduanya dapat menyebabkan peningkatan tekanan atrium kiri dan vena pulmonal dan dapat menyebabkan edema paru akut. Perbedaan dan persamaan antara gagal jantung sistolik dan diastolik dapat dilihat pada Tabel 2.7 Tabel 2. Perbedaan dan persamaan gagal jantung diastolic dan sistolik.
Dikutip dari 8
Kelainan fungsi sistolik dapat diidentifikasi pada pasien dengan fraksi ejeksi normal tetapi dengan kelainan diastolik yang predominan. Ukuran ventrikel kiri dan fraksi ejeksi normal dan kapasitas pengisian ventrikel kiri terbatas dengan tekanan atrium normal. Pasien dengan disfungsi diastolik dengan atau tanpa gagal jantung memiliki penurunan kemampuan latihan sebagai akibat dari peningakatan tekanan ventrikel kiri dan vena pulmonal yang menyebabkan penurunan compliance paru, hal ini menyebabkan peningkatan usaha bernapas dan menimbulkan gejala sesak napas. Selain itu kardiak output yang tidak adekuat selama latihan menyebabkan kelelahan otot tungkai dan respirasi. Mekanisme ini membantu menjelaskan hubungan antara rendahnya kemampuan latihan dan perubahan tekanan baji paru-kapiler.8
Gambaran klinis dan komorbiditas. Pasien dengan gagal jantung diastolik memiliki patofisiologi yang sama dengan pasien dengan gagal jantung sistolik seperti penurunan kemampuan latihan, aktivasi nueroendokrin, dan penurunan kualitas hidup, volume LV normal dan peningkatan rasio masa-volume. Gambaran klinis pada pasien dengan gagal jantugn diastolik dapat dilihat pada Tabel 3.6
Tabel 3. Gambaran kinis Gajal jantung diastolik Parameter Gambaran klinis Kriteria Framingham untuk diagnosis gagal jantung[*]
Kriteria mayor
Paroxysmal nocturnal dyspnea atau orthopnea Jugular venous distention (or CVP > 16 mm Hg) Ronki atau edema paru akut Kardiomegali Hepatojugular reflex Respon teradap diuretic (penurunan BB >4.5 kg dalam 5 hari) Kriteria minor
Edema tungkai Batuk pada malam hari Sesak saat latihan Efusi pleura Kapasiats vital < 2/3 normal Hepatomegali Tachycardi (>120 bpm) Gambaran demografi Manula; wanita> pria Penyakit jantung yang mendasari Hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes, fibrillasi atrium Komorbiditas Obesitas, disfungsi ginjal Doppler echocardiografi Ukuran LV Massa LV Atrium kiri Disfungsi diastolic Gambaran lain Pertinent negatives Normal to ↓ (sedikit me↑) LVH (+) /(-); ↑ penebalan didnding relatif (> 0.45) Membesar Grade I-IV (∞ keparahan disfungsi diastolik, TD, satus volume) PH, wall motion abnormality, pembesaran RV Singkirkan penyakit katup, penyakit pericard, ASD BNP or NT-proBNP ↑ tetapi diastolic HF < sistolik HF Uji latih jantung ↓ VO2 peak Adanya respon hipertensi pada chronotropic incompetence subset Rontgen thoraks Sama dengan sistolik HF, kardiomegali, hipertensi vena pumonalis, edema, efusi pleura Elektrokardiografi Bervariasi Dikutip dari 6 Hipertensi Hipertensi kronik merupakan penyebeb utama disfungsi diastolik dan gagal jantung. kondisi ini menyebabkan hipertrofi LV dan meningkatkan ketebalan jaringan ikat, kedua hal ini menurunkan compliance jantung. Hipertrofi ventrikel memiliki kaitan dengan hubungan tekanan- volume dimana peningkatan volume akhir diastolik LV menimbuklan peningkatan tekanan pada akhir diastolik LV.5
Iskemik Relaksasi ventrikel melibatkan transport aktif ion kalsium pada retikulum endoplasma yang menyebabkan disosiasi ikatan aktin-miosin. Hipoksia menghambat proses disosiasi dengan mengubah keseimbangan rasio ATP menjadi ADP dan menyebabkan disfungsi diastolik.5
Takikardi Frekuensi denyut jantung menentukan waktu yang dipergunakan untuk pengisian diastolik, perfusi koroner dan relaksasi ventrikel. Takikardi mempengaruhi fungsi diastolik dengan berbagai cara yaitu; penurunan pengisian diastolik ventrikel dan perfusi koroner, hal ini menyebaban terjadinya peningkatan konsumsi oksigen dan menyebabkan tidak sempurnanya relaksasi sebagai akibat dari kekakuan jantung yang tidak dapat meningkatkan kecepatan relaksasi selama peningkatan denyut jantung. Oleh karena itu pasien dengan gagal jantung diastolik tidak dapat mentoleransi latihan dengan baik.5
Fibrilasi atrium Pasien dengan gagal jantung mengalami peningkatan risiko terjadinya fibrilasi atrium. sebagai manan terjadinya kekakuan ventrikel dan peningkat tekanan akhir diastolik, atrium kiri mengembang dan tegang, kondisi ini sering menimbulkan fibrilasi atrium. Kehilangan kontraksi atrium memperburuk gejala gagal jantung karena pasien gagal jantung diastolik sangat tergantung dengan pengisian atrium terhadap ventrikel kiri. Fibrilasi atrium juga memperburuk gejala jika frekuensi denyut ventrikel tidak terkontrol.5
Obesitas Obesitas terkait dengan peningkatan risiko gagal jantung diastolik yang lebih tinggi dibandingkan gagal jantung sistolik. Peningkatan jaringan adipose menyebabkan penurunan beban hemodinamik jantung serta sebagai sumber peptida biologi aktif dan mediator nonpeptida yang berkaitan dengan peradangan kronik. Peningkatan BMI juga terkait dengan hipertensi, penyakit jantung koroner, fibrilasi atrium yang terkait dengan gagal jantung diastolik.6
Diabetes mellitus Diabetes mellitus menyebabkan perubahan struktur miokardium dan fungsinya. Perubahan struktur berupa hipertrofi miokard, peningkatan matrik ekstraseluler (fibrosis) dan mikroangiopati. Perubahan fungsi mencerminkan suatu rangkaian, berupa disfungsi miokard yang endotel-independen dan endotel-dependen, gangguan relaksasi, peningkatan kekakuan diastolik dan disfungsi kontraktil.6
Disfungsi ginjal Penurunan fungsi ginjal terkait dengan angka kesakitan dan kematian pada gagal jantung. Penurunan fungsi ginjal dapat terjadi pada gagal jantung sistolik dan diastolik. Evaluasi arteri renalis harus dipertimbangkan pada pasien dengan hipertensi, disfungsi ginjal dan gagal jantung diastolik.
Penyakit jantung lain terkait dengan gagal jantung diastolik seperti kardiomiopati hipertrofi, kardiomiopati infiltratif seperti amiloidosis, penyakit jantung katup dan perikarditis konstriktif, pasien dengan penyakit keganasan yang mendapat terapi radiasi.6
Diagnosis Penilaian baku untuk evaluasi fungsi ventrikel kiri adalah dengan pengukuran langsung tekanan ventrikel kiri melalui katerisasi. Namun hal ini tidak selalu dapat dilakukan pada semua pasien terutama pasien dengan kecurigaan disfungsi diastolik. Tidak terdapatnya kesepakatan karena tidak adanya kriteria spesifik dan banyaknya pemeriksaan non invasif untuk mengkonfirmasi kelaian ini, maka diagnosis gagal jantung diastolik dapat ditegakkan mengunakan kriteria ESC sebagai berikut:9 1. Terdapat tanda dan gejala CHF 2. Fraksi ejeksi ventrikel kiri yang normal atau mendekati normal (EF > 45%) 3. Terdapat bukti abnormalitas relaksasi LV, pengisian, regangan diastolik dan kekakuan diastolik. Ekokardiografi pada gagal jantung diastolik Penilaian fungsi diastolik dengan menggunakan ekokardiografi dapat dilakukan dengan beberapa parameter, yaitu; penilaian Doppler di mitral inflow, manuver valsava, M mode mitral propagation velocity, aliran vena pulmonal, tissue Doppler imaging (TDI) dan volume atrium kiri.
Penilaian Doppler di mitral inflow. Penilaian aliran darah ke ventrikel kiri melalui katup mitral adalah penilaian awal untuk fungsi diastolik yang paling mudah dikerjakan. Cara pemeriksaan ini adalah dengan meletakkan sampel volume pada Doppler pulse wave (PW Doppler) tepat di ujung katup mitral saat diastolik. Penilaian fungsi diastolik dengan doppler ekokardiografi merupakan produk relaksasi atrium, ventrikel, kontraksi dan compliance seta pengisian. Pada saat dimulainya fase diastol terjadi waktu relaksasi isovolumetrik (IVRT) pada saat katup aorta menutup dan daun katup mitral mulai terbuka. Saat mitral dan trikuspid terbuka terjadi aliran darah ke ventrikel yang akan meningkat kecepatannya mencapai puncak kecepatan pada fase pengisian awal (Gelombang E). Kemudian terjadi perlambatan dengan laju yang dpat diukur secara doppler dinamakan deceleration time (DT). Kontraksi atrium yang mengikutinya setelah fase pengisian lambat tampak sebagai gelombang A.10,11 Pada fungsi diastolik normal gelombang E lebih dominan dari pada gelombang A. Pada tahap awal disfungsi diastolic tampak gelombang E yang lebih kecil dari gelombang A dengan pemanjangan IVRT dan DT. Seiring dengan progresifitas penyakit, compliance ventrikel kiri menurun sebagai kompensasi tekanan atrium kiri yang meningkat, sehingga walaupun terdapat gangguan relaksasi pola pengisian tampak seperti normal rasio E/A > 1 (pseudonormal). Namun tetap meunjukkan abnormalitas compliance dengan adanya pemendekan DT. Pada gangguan compliance LV yang lebih berat terjadi kompensasi peningkatan tekanan atrium kiri dengan pengisisan diastolik awal yang kuat dikenal dengan pola pengisian restrktif (E/A > 2) sesuai dengan peningkatan tekanan LV yang abnormal dan DT yang tiba-tiba. (DT< 140-150 ms) dengan sedikit aliran tambahan selama mid diastol dan kontraksi atrium. Bentuk kurva kecepatan aliran mitral dipengaruhi oleh pengisian ventrikel kiri dan tergantung dari preload dan afterload ventrikel. Peningkatan preload meningkatkan tekanan pada pembukaan katup mitral, sehingga meningkatkan kecepatan Gelombang E menurunkan DT, sedangkan penurunan preload menyebabkan hal sebaliknya. Peninggian afterload akan memperpanjang kecepatan relaksasi ventrikel kiri dan menurunkan kecepatan gelombang E dan memperpanjang DT.11 Keterbatasan teknik pemeriksaan ini dalam hal membedakan gangguan diastolik pseudonormal dengan fungsi diastolik normal, sehingga diperlukan parameter lain untuk membedakannya. Kondisi takikardia, gangguan sistem konduksi atrial flutter dapat menyebabkan perubahan pola aliran doppler. Seperti gambaran fusi gelombang E dan A pada takikardia,dan tidak terdapatnya gelombang E, rasio E/A dan DT pada atrial flutter.10
Manuver valsava Manuver valsava dilakukan dengan melakukan ekspirasi yang kuat (sekitar 40 mmHg) dengan menutup mulut dan hidung, menghasilkan komplek 4 fase hemodinamik. Preload LV menurun selama fase II dan perubahan di mitral inflow diamati untuk membedakan kondisi normal maupun pseudonormal. Pada kondisi pseudonormal dengan melakukan manuver ini akan tampak penurunan gelombang E dan pemanjangan DT sedangkan gelombang A tetap atau meningkat sehingga rasio E/A menurun. Pada kondisi normal maka penurunan preload akan menurunkan gelombang E dan A secra proporsional.12
Aliran vena pulmonal Pemeriksaan ini dilakukan dengan meletakkan sampel volume tepat >0,5 cm kedalam muara vena pulmonal. Muara vena pulmonal dapat terlihat pada posisi apical 4 chamber dengan mengunakan bantuan color flow imaging untuk mendeteksi aliran vena pulmonal. Parameter perhitungan selisih durasi A dengan durasi A mitral inflow > 30ms atau peak velocity > 35cm/s mengindikasikan peningkatan LVEDP.10
Color M mode flow propagation Pencitraan gambar M mode pada aliran mitral dipergunakan untuk meletakkan garis M mode tepat pada pertengahan mitral inflow yang didapatkan pada pandangan apikal. Bersamaan dengan menyalakan fungsi color flow doppler, dengan nyquist limit ditturunkan sampai kecepatan tertinggi di sentral aliran. Nilai propagation velocity (Vp) diukur dari bidang pembukaan katup mitral sampai dengan 4 cm distal kearah ventrikel kiri. Nilai Vp >50 cm/s dikategorikan normal atau semakin lambat kecepatan slope aliran mitral apikal maka dapat dikatakan terdapat disfungsi diastolic. Propagasi velocity dapat digunakan untuk memprediksi tekanan pengisian ventrikel kiri dan nilai E/Vp > 2,5 berkorelasi PCWP > 15 mmHg.10,11,12
Gambar 4. A. Color M mode flow propagation, B. aliran vena pulmonal, C. Tissue Doppler imaging pada annulus katup mitral Dikutip dari 12
Tissue Doppler imaging pada annulus katup mitral Pulse wave Tissue doppler imaging dilakukan pada posisi apikal untuk menganalisa kecepatan perubahan annulus mitral. Sampel volume diletakan pada atau 1 cm dari insersi katup mitral di sisi lateral atau septal. Secara prkatis gambaran TDI annulus mitral pada orang normal adalah e > 8 cm/s atau > 10 cm/s pada dewasa muda dengan rasio e/a > 1. Penilaian dengan metode ini tidak tergantung pada kondisi pengisian ventrikel. Penilaian hemodinamik kecepatan e meliputi relaksasi ventrikel kiri, preload, fungsi sistolik dan ventrikel kiri. Tekanan pengisian (preload) ventrikel kiri mempunyai efek minimal terhadap e, sehingga kecepatan e dapat digunakan untuk mengkoreksi kecepatan E (mitral inflow) dan resio E/e dapat dipergunakan untuk penilaian tekanan pengisian ventrikel. Nilai E/e < 8 dikategorikan normal, E/e> 15 dikorelasikan dengan peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri. Sedangkan nilai 8-15 menunjukkan perlu parameter lain untuk mendapatkan kesimpulan pasti.10,12
Volume atrium kiri Pengukuran volume LA mudah dikerjakan dengan mengunakan pandangan 4 chamber dan 2 chamber. Terdapat hubungan antara remodeling LA dan temuan ekokardiografi pada fungsi diastolic. Volume LA merefleksikan efek kumulatif tekanan pengisian dalam periode waktu yang berlangsung lama. Indeks volume LA > 34 ml/m2 merupakan prediktor independen terhadap kematian, gagal jantung, fibrilasi atrium dan stroke iskemik.10
Gambar 4. A. Perkembangan abnormalitas gagguan diastolic mengunakan Doppler ekokardiografi. B. pendekatan praktis dalam menentukan disfungsi diastolik. Dikutip dari 6, 12
Terapi Secara umum penatalaksanaan gagal jantung diastolik memiliki dua sasaran. Pertama adalah perbaikan gejala yang timbul seperti mengurangi kongesti vena pulmonalis dan mengilangkan faktor pencetus, kedua adalah mengembalikan faktor-faktor yang bertanggung jawab terhadap disfungsi diastolik atau kelainan yang menyebabkan gagal jantung diastolik. Strategi farmakologi dan non farmakologi dapat digunakan untuk mencapai hal ini.6 Terapi non farmakologi meliputi pemantauan berat badan, pengaturan diet dan gaya hidup, edukasi pasien, dan folow up medis secara ketat.13 Terapi farmakologi ditujukan pada normalisasi tekanan darah, meningkatkan regresi hipertrofi ventrikel kiri, pencegahan takikardia, dan mengatasi gejala kongesti dan menjaga kontraksi atrium. Sedikit penelitian yang dilakukan untuk menentukan obat standar pada pasien gagal jantung diastolik. Obat yang banyak digunakan adalah penghambat EKA, penghambat reseptor angiotensin (ARB), penghambat beta dan penghambat kanal kalsium. 14 Penelitian CHARM-preserved menunjukkan pemberian candesartan pada pasien dengan gagal jantung diastolik menurunkan angaka kematian dan perawatan di rumah sakit yang bermakna.15 Penelitian lain tentang pengunaan penghambat beta-1 (Nebivolol) menunjukkan penurunan angak kematian dan perawatan pada pasien yang mendapatkan terapi tersebut.16 Pengunaaan penghambat kanal kalsium dipergunakan untuk mengontrol denyut jantung, menurunkan tekanan darah, dan mengurangi iskemia. Pengunaan verapamil meningkatkan status klinis, kemampuan latihan, dan pengisian diastolik. Pengunaan amlodipin pada model tikus mencegah peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan mengurangi kekakuan miokard. Namun jumlah subjek penelitian yang kecil pada penelitian ini menyebakan pengunaan penghabat kanal kalsium pada gagal jantung diastolik menjadi kontroversi. Pengunaan digoksin dan antiaritmia lain bukan merupakan indikasi spesifik pada gagal jantung diastolik. Manfaat yang diperoleh dari pengunaan digoksin terkait dengan kontrol denyut jantung terutama pada pasien dengan fibrilasi atrium.9 Diskusi Diagnosis gagal jantung kongestif sebagai manifestasi gagal jantung diastolik pada pasien ini ditegakkan berdasarkan kriteria ESC; dimana terdapat tanda dan gejala gagal jantung kongesti berupa paroxysmal nocturnal dyspnea dan orthopnea, peningkatan JVP serta adanya ronki basah pada kedua lapangan paru, edema tungkai, serta penurunan kemampuan aktivitas harian pasien. Selain itu pada pemeriksaan ekokardiografi beberapa parameter yang digunakan menunjukkan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang normal (EF 58%) dan terdapat bukti abnormalitas relaksasi ventrikel kiri berupa gangguan compliance dengan E/A pseudonormal dan adanya peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri yang di cerminkan daei nilai E/e 36, disertai peningaktan tekana LA yang dicerminkan dengn peningkatan volume LA. Kondisi gagal jantung diastolik ini juga terkait dengan faktor seperti komorbiditas pada pasien berupa hipertensi, diabtes mellitus dan penyakit jantung koroner serta CKD. Kondisi diatas menyebakan terjadinya hipertrofi ventrikel kiri dan perubahan matrik ekstra kardiak dan intra kardiak dengan peningkatan fibrosis sehingga terjadi kekakuan otot ventrikel sehingga menyebabkan terjadinya gagguan relaksasi yang selanjutnya berkembang menjadi peningkatan tekanan pengisian LV dan tekanan LA. Pemeriksaan ekokardiografi memilki peranan yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis gagal jantung diastolik dikarenakan gejala klinis yang sama antara gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang menurun dan normal, selain itu parameter yang digunakan dapat membedakan kondisi gangguan diastolik pseudonormal dengan kondisi diastolik normal seperti pada kasus ini dengan menggunakan TDI. Tatalaksana pada pasien menjadi lebih komplek dikarenakan komorbiditas yang menyertai yaitu; hipertensi, diabetes dan CKD, tetapi secara umum tatalaksana pada pasien ini meliputi terapi nonfarmakologi; pengontrolan tekanan darah, pengotrolan gula darah, pengaturan diet DM dengan rendah protein dan purin, edukasi pasien, sedangkan tatalaksana farmakologi ditujukan pada normalisasi tekanan darah, meningkatkan regresi hipertrofi ventrikel kiri, pencegahan takikardia, dan mengatasi gejala kongesti, serta mengatasi kondisi iskemia dan mempertahankan fungsi ginjal.
Kesimpulan Ekokardiografi merupakan alat diagnostik non invasif yang penting untuk menegakkan diagnosis gagal jantung diastolik dengan menggunakan berbagai parameter yang ada, hal ini membantu dalam membuat keputusan klinik terkait dengan tatalaksana terhadap pasien. Telah dilaporkan seorang pasien dengan diagnosis Unstable angina pectoris skor TIMI risk 4/7, CHF fc III ec Hypertension Heart Disease (HHD), old anterior MCI, Hipertensi stage II, Diabetes mellitus tipe 2 normoweight dengan gula darah terkontrol, Chronic kidney disease(CKD) stadium V, dan Hiperkalemia serta Anemia pada CKD. Selama perawatan kondisi pasien mengalami perbaikan.
Daftar Pustaka
1. Berry C, Murdoch DR, McMurray JJ. The economics of chronic heart failure. Eur J Heart 2001; 3:283-91. 2. Vasan R, Larson MG, Benjamin EJ, Evans JC, Reiss CK, Levy D. Congestive heart failure in subjects with normal versus reduced left ventricular ejection fraction: prevalence and mortality in a population-based cohort. J Am Coll Cardiol 1999;33:1948-55. 3. Pusat Jantung Nasional Harapan Kita [online]. 2009 jan 07 [cited 2010 Mar 03]; Available from URL: http://www.pjnhk.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=2136&Itemid=31 4. Massie BM, Shah NB. Evolving trends in the epidemiologic factors of heart failure: rationale for preventive strategies and comprehensive disease management. Am Heart J 1997;133:703-12. 5. Guitterrez C, Blanchard DG. Diastolic Heart Failure: Challenges of Diagnosis and Treatment. Am Fam Physician 2004;69:2609-16 6. Brounwald E, Libby P, Bonow RO, Man DL, Zipes DP. Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine, 8th ed. Philadelphia: Elsevier Saunder Elsevier; 2008. P. 640-50 7. Zile MR, Brutsaert DL. New concepts in diastolic dysfunction and diastolic heart failure: Part I: diagnosis, prognosis, and measurements of diastolic function. Circulation 2002;105:1387-93 8. Aurigemma GP, Gaasch WH. Diastolic Heart Failure. N Engl J Med 2004;351:1097-105. 9. Dhar S, Koul D, DAlonzo GE. Current Concepts in Diastolic Heart Failure. JAOA 2008;108: 203-9. 10. Ario SK. Penilaian fungsi diastolic ventrikel kiri dengan ekokardiografi. J kardiol indones 2008;29:119-27. 11. Mottram P, Marwick TH. Assessment of diastolic function: what the general cardiologist needs to know. Heart 2005;91;681-95 12. Nagueh SF, Appleton CP, Gillebert TC, Marino PN, Jae K. Oh, Otto A.et al. Recommendations for the Evaluation of Left Ventricular Diastolic Function by Echocardiography. Journal of the American Society of Echocardiography. 2009;107-33. 13. Smith GL, Masoudi FA, Vaccarino V. Outcomes in heart failure patients with preserved ejection fraction: Mortality, readmission, and functional decline. J Am Coll Cardiol 2003;41:1510. 14. Little WC, Brucks S: Therapy for diastolic heart failure. Prog Cardiovasc Dis 2005;47:380. 15. Yusuf S, Pfeffer MA, Swedberg K, et al: Effects of candesartan in patients with chronic heart failure and preserved left-ventricular ejection fraction: The CHARM-Preserved Trial. Lancet 2003; 362:777. 16. Flather MD, Shibata MC, Coats AJ, et al: Randomized trial to determine the effect of nebivolol on mortality and cardiovascular hospital admission in elderly patients with heart failure (SENIORS). Eur Heart J 2005; 26:215. . SIMPUL Simpul merupakan bagian penting dalam tindakan bedah. Proses hemostasis, penyambungan jaringan, jahitan akan bertahan jika dilakukan penyimpulan dengan teknik yang benar. Tiap jaringan yang dijahit mempunyai karakter yang berbeda, untuk itulah diperlukan teknik penyimpulan yang berbeda pula. Prinsip Prinsip Dalam Membuat Simpul Kuat dan tidak mudah lepas, Sederhana Ikatan sekecil mungkin, ujung dipotong secukupnya. Tidak boleh ada gesekan antara untaian benang yang akan melemahkan jahitan Tidak boleh ada kerusakan materi jahitan (tidak boleh menjepit benang dengan instrumen) Tidak boleh terdapat tarikan yang berlebihan Pertahankan tarikan pada satu ujung benang setelah ikatan pertama supaya lilitan tidak longgar pada jahitan kontinu Macam Simpul Reef knot Dilakukan tiga kali simpul dengan gerakan 1 dan 3 sama. Semua simpul memakai reef knot. Dapat dikerjakan dengan : Satu tangan Dua tangan Instrumen Surgeons knot Simpul pertama dilakukan 2 kali lilitan selanjut nya simpul 1 kali lilitan dengan arah/gerakan yang berbeda dengan sebelumnya. Dipakai jika regangan tinggi
Deep Tying Dilakukan pada area yang dalam (misalnya simpul di intra abdomen) dilakukan beberapa simpul yang sama (sleep knot dan diakhiri dengan reef knot. Sebaiknya menggunakan tangan(bukan instrument) Slip Knot Dua simpul yang sama kemudian didorong dengan jari, kemudian simpul ketiga berlawanan dengan simpul 1 dan 2. Prinsip gerakan dalam simpul Terdiri dari 2 macam gerakan: Gerakan simpul ke 1 harus sama dengan 3, 5, 7 dst. Gerakan simpul ke 2 harus sama dengan 4, 6, 8 dst.
Hasilnya:
Kamudian dilanjutkan sekali lagi dengan arah yang berlawanan dari simpul terakhir, hasilnya Deep Tying Perbedaan dengan reef knot: Pada pengencangan simpul benang tidak boleh ditarik ke atas melainkan harus didorong ke bawah menggunakan jari telunjuk.
Perhatikan urutan penyimpulannya
Slip knot Terdiri atas : 1. Dua kali gerakan yang sama (dengan telunjuk atau jari tengah) atau Gerakan reef knot yang ditarik ke arah yang sama (tanpa penyilangan) 1. Harus diakhiri dengan reef knot. Jadi terdapat 4 gerakan
Reef knot dengan menggunakan instrumen
Ulangi dengan arah ikatan kedua beda dengan yang pertama Dan ikatan ketiga sama dengan ikatan pertama
B. JAHITAN Jahitan telah dilakukan berabad-abad yang lalu, mulai dengan menggunakan bulu binatang, serat tumbuhan sampai sintetik. Tujuan penjahitan adalah Menutup defek Mendekatkan tepi luka yang mempunyai tegangan Mendekatkan tepi kulit Meminimalkan perdarahan dan infeksi Teknik penjahitan tergantung kepada: Tipe luka Lokasi anatomi luka. Ketebalan kulit Derajat ketegangan Hasil kosmetik yang diharapkan Untuk mengoptimalkan hasil secara fungsi dan kosmetik, perlu diperhatikan: Meminimalkan dead space Mengembalikan kepada kontur anatomis bagian yang dijahit Meminimalkan bekas jahitan dengan cara memilih benang yang tepat dan tension yang minimal. Menurut waktu penjahitannya, jahitan dibagi menjadi: Jahitan Primer Adalah jahitan yang dilakukan segera setalah luka terbentuk Jahitan Sekunder Dilakukan setalah jahitan pertama (primer) terlepas atau longgar. Atau dilakukan mengoreksi dead space. Tujuan jahitan sekunder adalah untuk: Memperkuat jahitan primer Menghilangkan dead space Mencegah akumulasi cairan pada luka abdominal selama proses penyembuhan. Untuk penutupan luka sekunder karena kerusakan jahitan pada masa penyembuhan. Umumnya digunakan benang tidak diserap. Menurut kontinuitasnya, jahitan dibagi menjadi: Jahitan interrupted, yaitu jahitan satu tidak ada hubungan dengan jahitan yang lainnya,.Kedua adalah jahitan kontinyu/continous running suture, antara jahitan sebelum dan sesudah, terdapat hubungan berupa benang yang tidak dipotong. Interrupted Suture Teknik ini menjahit tepi luka dengan satu jahitan, disimpulkan kemudian dipotong. Teknik ini memerlukan lebih banyak benang karena setiap jahitan harus dibuat simpul dan dipotong. Relatif lebih aman karena bila satu jahitan putus jahitan lainnya tidak terganggu. Baik digunakan untuk luka yang terinfeksi, karena mudah membuka jahitan jika ada satu tempat yang mengalami infeksi sehingga tidak mengganggu jahitan lainnya. Interrupted suture bisa berbentuk jahitan simple, atau subkutikuler, matras vertikal ataupun matras horizontal Penjahitan dianjurkan dimulai di tengah dan dilanjutkan setiap pertengahan dari insisi yang tersisa. Arah jarum yang tegak lurus dengan permukaan kulit dan juga tegak lurus sayatan kulit Jarak masuk dan keluarnya jarum dari tepi sayatan sama dengan dalamnya jaringan yang diambil (x) dan jarak antar jahitan sama dengan dua kali jarak tersebut (2) Keuntungan: Mudah Kekuatan jahitan besar Kecil kemungkinan menjerat sistem sirkulasi sehingga mengurangi edema Mudah untuk mengatur tepi-tepi luka Kerugian: Lama Bekas jahitan lebih terlihat
Perhatikan pola umum jahitan simple interrupted
Terlalu longgar Terlalu kuat hingga kulit robek
Terlalu dangkal, Terlalu dalam
Eversi (benar) Inversi (salah)
Continuous Suture / Running Stitches Adalah suatu serial jahitan yang dibuat dengan menggunakan benang tanpa putus antara jahitan sebelum dan sesudahnya. Untaian benang dapat diikat pada setiap ujung jahitan. Cara ini dapat dilakukan dengan cepat, kekuatan tegangan seluruh jahitan sepanjang luka hamper sama. Tarikan yang terlalu kuat harus dihindari untuk mencegah putusnya jahitan yang akan merusak semua jahitan. Biasanya digunakan diperitoneum atau fascia dinding abdomen. Untuk luka infeksi tidak dianjurkan menggunakan teknik ini. Kerugiannya, jika satu jahitan longgar maka akan berpengaruh terhadap jahitan sebelum atau sesudahnya. Syarat : Harus dengan asisten yang tugasnya hanya melepas & memegang benang, BUKAN mengencangkan jahitan. Selama penjahitan benang tidak boleh kendor. Jarum diambil siap pakai (Midposisi) Keuntungan Cepat Sedikit simpul Kerugian Jahitan menjadi mudah longgar jika satu jahitan saja tidak kuat Sulit mengoreksi jika terjadi infeksi Pengangkatan harus sekaligus, tidak bisa per area(misalnya jika di area tertentu ada pus) Teknik Jahitan Jahitan continuous/continuous running suture
Gambar jahitan simple interrupted 1. I nterrupted Vertical Mattress Suture Indikasi utama penggunaan vertical matress suture adalah untuk mengangkat permukaan pinggir luka, yaitu bila tepi luka tidak sama tinggi sehingga jika dengan jahitan simple interrupted tepi luka (epitel dengan epitel) tidak bertemu (inversi). Vertical mattress suture sering digunakan pada bagian tubuh yang memiliki kecenderungan untuk inverted, seperti posterior neck atau luka yang terdapat pada permukaan yang concave.
Gambar vertical mattress suture Beberapa peneliti percaya bahwa penggunaan vertical mattress suture yang menyebabakan pinggir luka mengalami eversi lebih baik dibandingkan teknik penjahitan luka yang lain. Vertical matres berfungsi untuk menyamakan permukaan sayatan
1. Horizontal Mattress Suture Teknik ini bertujuan untuk membuat pinggir luka menjadi eversi (menjorok keluar) dan membagi rata tekanan pada seluruh pinggir permukaan luka,
Gambar matras horizontal Teknik ini dipergunakan biasanya pada luka yang memiliki jarak kedua permukaan pinggir luka yang cukup jauh, sehingga regangan cukup kuat. Jahitan ini dipergunakan sebagai initial suture untuk mendekatkan dua permukaan pinggir luka. Teknik suture ini juga cukup efektif dalam memegang permukaan kulit luka yang rapuh seperti kulit di telapak tangan dan kaki. Teknik ini juga efektif untuk hemostasis akibat perdarahan bawah kulit di tepi luka (misalnya di kulit kepala). Horizontal mattress suture juga berguna untuk aproksimasi tanpa mengganggu sesuatu struktur yang berjalan sejajar dengan luka sayatan, seperti pembuluh darah, nervus dll 1. Smead-Jones/Far-and-Near Jahitan ini digunakan pada jaringan dengan regangan yang kuat, misalnya penjahitan fascia.
Gambar jahitan Smead-Jones 1. Corner Stitch Variasi dari teknik horizontal mattress suture dan half-buried horizontal mattress suture, atau disebut juga corner stitch. Teknik suture corner stitch dipergunakan untuk mendekatkan pinggir luka yang membentuk sudut tanpa menghilangkan atau mengurangi suplai darah ke permukaan kulit tersebut.
Gambar jahitan sudut
1. Jahitan pure-string Merupakan jahitan tidak terputus pada sekeliling lumen atau area tertentu yang dikencangkan seperti tali celana. Contohnya seperti pada apendektomi.
Gambar jahitan pure-string
1. Jahitan yang dikubur (burried) Seluruh jahitan berada dibawah lapisan epidermal. Bisa dilakukan dengan menggunakan jahitan continuous atau interrupted dan tidak diangkat setelah operasi. Jalurnya searah atau paralel dengan luka. Jahitan dilakukan pendek-pendek, dibagian lateral sepanjang luka. Setelah jahitan selesai dilakukan, kedua ujung tali diikat. Keuntungannya adalah baik secara kosmetik karena penyatuan kulit dilakukan dari bawah, hingga kulit tidak terlukai oleh bekas jahitan.
Gambar jahitan subcuticular
Dilakukan untuk tujuan kosmetik, sehingga harus dilaksanakan dengan benar : 1. Simpul pertama di subkutis (absorbable). 2. Pengambilan subkutis harus sama dalam dari permukaan kulit. 3. Keluar masuknya jarum harus sejajar dari sisi luka berseberangan. 4. Diselesaikan tanpa simpul (dengan penjahitan bentuk Z dimana jarum dimasukkan kembali pada lubang yang sama)
Stapler Selain jahitan dengan benang, aproksimasi tepi luka dapat juga dengan menggunakan stapler. Aplikasinya dengan menggunakan alat seperti halnya stapler kertas. Keuntungannya adalah lebih cepat, namun kerugiannya kadang-kadang tepi luka tidak sama tinggi dan inversi.
Gambar penggunaan stapler Skin Tapes Plester kulit (steril) dapat digunakan bila jaringan yang dipertemukan memiliki regangan yang rendah. Biasanya digunakan setelah jahitan subkutikuler yang baik sehingga terjadi aproksimasi antara epitel kedua tepi luka. Penggunaan plester ini lebih cepat, namun rawan terjadi pergeseran.
Gambar penutupan akhir luka dengan plester
1. PENGANGKATAN JAHITAN Pengangkatan jahitan antara lain disesuaikan dengan lokasi anatomis luka, kondisi luka, usia luka, jenis benang yang digunakan, jenis tehnik jahitan. Jahitan mungkin ditinggalkan terutama bila digunakan benang yang diserap. Pengangkatan dilakukan pada jahitan kulit. Benang mungkin diangkat sekaligus atau berselang-seling dengan selang waktu1 3 hari. TABEL Suggested Removal Times for Interrupted Skin Sutures
Area Removal time (days) Face 3 to 5 Neck 5 to 8 Scalp 7 to 9 Upper extremity 8 to 14 Trunk 10 to 14 Extensor surface hands 14 Lower extremity 14 to 28 Teknik Pengangkatan jahitan: 1. Pastikan jaringan telah rapat 2. Bersihkan dengan kasa lembab steril 3. Tindakan aseptik 4. Identifikasi jenis jahitan (simple interupted, matras, continous subcuticular dll) 5. Angkat simpul dengan pinset anatomis 6. Gunting benang yang paling dekat dengan kulit 7. Cabut benang perlahan lahan. Jika ada tahanan, tarik kearah awal jahitan dan kembali tarik kearah berlawanan. 8. Periksa apakah ada seroma, pus atau krusta, jika ada cuci dan bersihkan. 9. Jika luka operasi rentan kontaminasi, bisa dibalut kembali dengan steril dressing
Simpul ditarik dengan pinset Gunting benang yang menempel ke kulit di tepi jahitan
Tarik simpul kearah berlawanan
Dokter umum merupakan profesi kedokteran yang melingkupi skala yang cukup luas dan meliputi semua sistem dalam tubuh manusia, sehingga hanya menyentuh area superfisial dalam proses pengobatan. Meskipun demikian, peran dari dokter umum itu sendiri cukup penting oleh karena menduduki posisi primer dalam pelayanan kesehatan di masyarakat, itulah sebabnya seorang dokter umum harus memiliki pengetahuan serta skill tindakan yang memadai sesuai dengan kompetensinya secara keseluruhan. Salah satu skill yang paling penting dikuasai dalam praktek keseharian adalah bedah minor. Hal ini dikarenakan jumlah kasus yang memerlukan tindakan ini cukup tinggi di masyarakat. Pengalaman penulis mendapatkan bahwa dari 10 pasien yang datang berobat terdapat 3 kasus yang memerlukan prosedur tindakan ini. Umumnya komplikasi dari kasus ini tidak begitu banyak, namun jika tidak ditangani secara tepat dapat berakhir ke kematian khususnya untuk kasus dengan perdarahan yang cukup besar atau kasus disinfeksi yang tidak sempurna. Dalam sebuah artikel yang dipublikasikan oleh British Medical Association (BMA), menyebutkan bahwa di Inggris, prosedur tindakan bedah minor telah sering dilakukan oleh dokter umum dan cukup populer di kalangan pasien serta memiliki biaya yang cukup tinggi. Berdasarkan Health Authority (1990), dokter umum telah memiliki kewenangan untuk melakukan bedah minor dan mendapatkan pembayaran dari tindakan ini. Bahkan pada tahun 2004, dokter umum di Inggris dapat meningkatkan dan memperluas kompetensi tindakan bedah minornya dengan cara membayar komisi kepada Pengatur Penambahan Pelayananan (Directed Enhance Service-DES). Di Indonesia, cakupan pelayanan bedah minor yang dapat dilakukan oleh seorang dokter umum cukup beragam, mulai dari tindakan hecting luka terbuka, insisi, eksisi, ekstraksi, kauterisasi dan lain sebagainya. Umumnya tindakan ini dilakukan dengan anastesi lokal dengan tehnik anastesi yang sesuai dengan kasus yang dihadapi. Pelaksanaan prosedur bedah minor mengharuskan seorang dokter umum mengetahui beberapa pengetahuan dasar mengenai tindakan ini. Pengetahuan dasar tersebut berupa instrumen bedah minor, bahan serta tehnik disinfeksi dan tehnik menjahit jaringan. Artikel ini hanya berbatas pada pengenalan instrumen bedah minor dasar yang merupakan pengetahuan pertama yang harus dimiliki oleh seorang dokter dalam melakukan tindakan ini. Untuk pengetahuan lainnya akan dijelaskan dalam artikel yang berbeda. Instrumen dasar bedah minor terbagi atas empat berdasarkan fungsi, yakni instrumen dengan fungsi memotong (pisau scalpel + pegangan dan beragam jenis gunting), instrumen dengan fungsi menggenggam (pinset anatomi, pinset cirrhurgis dan klem jaringan), instrumen dengan fungsi menghentikan perdarahan (klem arteri lurus dan klem mosquito), serta instrumen dengan fungsi menjahit (needle holder,benang bedah, dan needle).
Gambar 1: Instrumen Dasar Bedah Minor Kesemua intrumen tersebut akan dijelaskan secara detail sebagai berikut: A. Instrumen Dengan Fungsi Memotong 1. Pisau Scalpel + Pegangan Scalpel merupakan mata pisau kecil yang digunakan bersama pegangannya. Alat ini bermanfaat dalam menginsisi kulit dan memotong jaringan secara tajam. Selain itu, alat ini juga berguna untuk mengangkat jaringan/benda asing dari bagian dalam kulit. Setiap pisau scalpel memiliki dua ujung yang berbeda, yang satu berujung tajam sebagai bagian pemotong dan yang lainnya berujung tumpul berlubang sebagai tempat menempelnya pegangan scalpel. Cara pemasangannya: pegang area tumpul pisau dengan needle-holder dan hubungkan lubang pada area tersebut pada lidah pegangan sampai terkunci (terdengar bunyi). Cara pelepasan: pegang ujung pisau dengan needle-holder dan lepaskan dari lidah pegangan, kemudian buang di tempat sampah. Pegangan scalpel yang sering digunakan adalah yang berukuran 3 yang dapat digunakan bersama pisau scalpel dalam ukuran beragam. Sedangkan pisau scalpel yang sering digunakan adalah yang berukuran no.15. Ukuran no.11 digunakan untuk insisi abses dan hematoma perianal. Pegangan scalpel digunakan seperti pulpen dengan kontrol maksimal pada waktu pemotongan dilakukan. Dalam praktek keseharian, pegangan scalpel biasanya diabaikan sehingga hanya memakai pisau scalpel. Hal ini bisa diterima dengan pertimbangan pisaunya masih dalam keadaan steril (paket baru) dan harus digunakan dengan pengontrolan yang baik agar tidak menimbulkan kerusakan jaringan sewaktu memotong.
2. Gunting Pada dasarnya gunting mengkombinasikan antara aksi mengiris dan mencukur. Mencukur membutuhkan aksi tekanan halus yang saling bertentangan antara ibu jari dan anak jari lainnya. Gerakan mencukur ini biasanya dilakukan oleh tangan dominan yang bersifat tidak disadari dan berdasarkan insting. Sebaiknya gunakan ibu jari dan jari manis pada kedua lubang gunting. Hal ini akan menyebabkan jari telunjuk menyokong instrumen pada waktu memotong sehingga kita dapat memotong dengan tepat. Selain itu, penggunaan ibu jari dan jari telunjuk pada lubang gunting biasanya pengontrolannya berkurang. Jenis-jenis gunting berdasarkan objek kerjanya, yakni gunting jaringan (bedah), gunting benang, gunting perban dan gunting iris. a. Gunting Jaringan (bedah) Gunting jaringan (bedah) terdiri atas dua bentuk. Pertama, berbentuk ujung tumpul dan berbentuk ujung bengkok. Gunting dengan ujung tumpul digunakan untuk membentuk bidang jaringan atau jaringan yang lembut, yang juga dapat dipotong secara tajam. Gunting dengan ujung bengkok dibuat oleh ahli pada logam datar dengan cermat. Pemotongan dengan gunting ini dilakukan pada kasus lipoma atau kista. Biasanya dilakukan dengan cara mengusuri garis batas lesi dengan gunting. Harus dipastikan kalau pemotongan dilakukan jangan melewati batas lesi karena dapat menyebabkan kerusakan. b. Gunting Benang (dressing scissors) Gunting benang didesain untuk menggunting benang. Gunting ini berbentuk lurus dan berujung tajam. Gunakan hanya untuk menggunting benang, tidak untuk jaringan. Gunting ini juga digunakan saat mengangkat benang pada luka yang sudah kering dengan tehnik selipan dan sebaiknya pemotongan benang menggunakan bagian ujung gunting. Hati-hati dalam pemotongan jahitan. Jika ujung gunting menonjol keluar jahitan, terdapat resiko memotong struktur lainnya. c. Gunting Perban Gunting perban merupakan gunting berujung sudut dengan ujung yang tumpul. Gunting ini memiliki kepala kecil pada ujungnya yang bermanfaat untuk memudahkan dalam memotong perban. Jenis gunting ini terdiri atas knowles dan lister. Bagian dasar gunting ini lebih panjang dan digunakan sangat mudah dalam pemotongan perban. Ujung tumpulnya didesain untuk mencegah kecelakaan saat remove perban dilakukan. Selain untuk membentuk dan memotong perban sesaat sebelum menutup luka, gunting ini juga aman digunakan untuk memotong perban saat perban telah ditempatkan di atas luka. (wikipedia) d. Gunting Iris Gunting iris merupakan gunting dengan ujung yang tajam dan berukuran kecil sekitar 3-4 inchi. Biasanya digunakan dalam pembedahan ophtalmicus khususnya iris. Dalam bedah minor, gunting iris digunakan untuk memotong benang oleh karena ujungnya yang cukup kecil untuk menyelip saat remove benang dilakukan. (dictionary online)
B. Instrumen Dengan Fungsi Menggenggam 3. Pinset Anatomi Pinset Anatomi memiliki ujung tumpul halus. Secara umum, pinset digunakan oleh ibu jari dan dua atau tiga anak jari lainnya dalam satu tangan. Tekanan pegas muncul saat jari-jari tersebut saling menekan ke arah yang berlawanan dan menghasilkan kemampuan menggenggam. Alat ini dapat menggenggam objek atau jaringan kecil dengan cepat dan mudah, serta memindahkan dan mengeluarkan jaringan dengan tekanan yang beragam. Pinset Anatomi ini juga digunakan saat jahitan dilakukan, berupa eksplorasi jaringan dan membentuk pola jahitan tanpa melibatkan jari. (wikipedia)
4. Pinset Chirurgis Pinset Chirurgis biasanya memiliki susunan gigi 1x2 (dua gigi pada satu bidang). Pinset bergigi ini digunakan pada jaringan; harus dengan perhitungan tepat, oleh karena dapat merusak jaringan jika dibandingkan dengan pinset anatomi (dapat digunakan dengan genggaman halus). Alat ini memiliki fungsi yang sama dengan pinset anatomi yakni untuk membentuk pola jahitan, meremove jahitan, dan fungsi-fungsi lainnya.(wikipedia)
5. Klem Jaringan Klem jaringan berbentuk seperti penjepit dengan dua pegas yang saling berhubungan pada ujung kakinya. Ukuran dan bentuk alat ini bervariasi, ada yang panjang dan adapula yang pendek serta ada yang bergigi dan ada yang tidak. Alat ini bermanfaat untuk memegang jaringan dengan tepat. Biasanya dipegang oleh tangan dominan, sedangkan tangan yang lain melakukan pemotongan, atau menjahit. Cara pemegangannya: klem dipegang dalam keadaan relaks seperti memegang pulpen dengan posisi di tengah tangan. Banyak orang yang memegang klem ini dengan salah, yang memaksa lengan dalam posisi pronasi penuh dan menyebabkan tangan menjadi tegang. Dalam penggunaannya, hati-hati merusak jaringan. Pegang klem selembut mungkin, usahakan genggam jaringan sedalam batas yang seharusnya. Klem jaringan bergigi memiliki gigi kecil pada ujungnya yang digunakan untuk memegang jaringan dengan kuat dan dengan pengontrolan yang akurat. Hati-hati, kekikukan pada saat menggunakan alat ini dapat merusak jaringan. Kemudian, klem tidak bergigi juga memiliki resiko merusak jaringan jika jepitan dibiarkan terlalu lama, karena klem ini memiliki tekanan yang kuat dalam menggenggam jaringan.
C. Instrumen Dengan Fungsi Menghentikan Perdarahan 6. Klem Arteri Pada prinsipnya, klem arteri bermanfaat untuk menghentikan perdarahan pembuluh darah kecil dan menggenggam jaringan lainnya dengan tepat tanpa menimbulkan kerusakan yang tidak dibutuhkan. Secara umum, klem arteri dan needle-holder memiliki bentuk yang sama. Perbedaannya pada struktur jepitan (gambar 2), dimana klem arteri, struktur jepitannya berupa galur paralel pada permukaannya dan ukuran panjang pola jepitannya sampai handle agak lebih panjang dibanding needle-holder. Alat ini juga tersedia dalam dua bentuk yakni bentuk lurus dan bengkok (mosquito). Namun, bentuk bengkok (mosquito) lebih cocok digunakan pada bedah minor. Cara penggunaan: klem arteri memiliki ratchet pada handlenya. Ratchet inilah yang menyebabkan posisi klem arteri dalam keadaan terututup (terkunci). Ratchet umumnya memiliki tiga derajat, dimana pada saat penutupan jangan langsung menggunakan derajat akhir karena akan mengikat secara otomatis dan sulit untuk dilepaskan. Pelepasan klem dilakukan dengan cara pertama harus ditekan ke dalam handlenya, kemudian dipisahkan handlenya sambil membuka keduanya. Sebaiknya gunakan ibu jari dan jari manis karena hal ini akan menyebabkan jari telunjuk mendukung instrumen bekerja sehingga dapat memposisikan jepitan dengan tepat. Jepitan klem arteri berbentuk halus dengan galur lintang paralel yang membentuk chanel lingkaran saat instrumen ditutup. Jepitan ini berukuran relatif panjang terhadap handled yang memungkinkan genggaman jaringan lebih halus tanpa pengrusakan. Jepitan dengan ujung bengkok (mosquito) berfungsi untuk membantu pengikatan pembuluh darah. Jangan menggunakan klem ini untuk menjahit, oleh karena struktur jepitannya tidak mendukung dalam memegang needle.
D. Instrumen Dengan Fungsi Menjahit 7. Needle Holder Needle holder bermanfaat untuk memegang needle saat insersi jahitan dilakukan. Secara keseluruhan antara needle holder dan klem arteri berbentuk sama. Handled dan ujung jepitannya bisa berbentuk lurus ataupun bengkok. Namun, yang paling penting adalah perbedaan pada struktur jepitannya (gambar 2). Struktur jepitan needle holder berbentuk criss-cross di permukaannya dan memiliki ukuran handled yang lebih panjang dari jepitannya, untuk tahanan yang kuat dalam menggenggam needle. Oleh karena itu, jangan menggenggam jaringan dengan needle holder karena akan menyebabkan kerusakan jaringan secara serius. Cara penggunaan: cara menutup dan melepas sama dengan metode ratchet yang telah dipaparkan pada penggunaan klem arteri di atas. Needle digenggam pada jarak 2/3 dari ujung berlubang needle, dan berada pada ujung jepitan needle-holder. Hal ini akan memudahkan tusukan jaringan pada saat jahitan dilakukan. Selain itu, pemegangan needle pada area dekat dengan engsel needle holder akan menyebabkan needle menekuk. Kemudian, belokkan needle sedikit ke arah depan pada jepitan instrumen karena akan disesuaikan dengan arah alami tangan ketika insersi dilakukan dan tangan akan terasa lebih nyaman. Kegagalan dalam membelokkan needle ini juga akan menyebabkan needle menekuk. Tehnik menjahit: jaga jari manis dan ibu jari menetap pada lubang handle saat menjahit dilakukan yang membatasi pergerakan tangan dan lengan. Pegang needle holder dengan telapak tangan akan memberikan pengontrolan yang baik. Secara konstan, jangan mengeluarkan jari dari lubang handled karena dapat merusak ritme menjahit. Pertimbangkan pergunakan ibu jari pada lubang handled yang menetap, namun manipulasi lubang lainnya dengan jari manis dan kelingking.
Gambar 2. Perbedaan Struktur Jepitan Antara Klem Jaringan, Klem arteri dan Needle Holder
8. Benang Bedah Benang bedah dapat bersifat absorbable dan non-absorbable. Benang yang absorbable biasanya digunakan untuk jaringan lapisan dalam, mengikat pembuluh darah dan kadang digunakan pada bedah minor. Benang non-absorbable biasanya digunakan untuk jaringan tertentu dan harus diremove. Selain itu, benang bedah ada juga yang bersifat alami dan sintetis. Benang tersebut dapat berupa monofilamen (Ethilon atau prolene) atau jalinan (black silk). Umumnya luka pada bedah minor ditutup dengan menggunakan benang non-absorbable. Namun, jahitan subkutikuler harus menggunakan jenis benang yang absorbable. Black silk adalah benang jalinan non-absorbable alami yang paling banyak digunakan. Meskipun demikian, benang ini dapat menimbulkan reaksi jaringan, dan menghasilkan luka yang agak besar. Jenis benang ini harus dihindari, karena saat ini telah banyak benang sintetis alternatif yang memberikan hasil yang lebih baik. Luka pada kulit kepala yang berbatas merupakan pengecualian, oleh karena penggunaan jenis benang ini lebih memuaskan. Benang non-abosrbable sintetis terdiri atas prolene dan ethilon (nama dagang). Benang ini berbentuk monofilamen yang merupakan benang terbaik. Jenis benang ini cukup halus dan luwes dan menghasilkan sedikit reaksi jaringan. Namun, jenis benang ini lebih sulit diikat dari silk sehingga sering menyebabkan jahitan terbuka. Masalah ini dapat diselesaikan dengan menggunakan tehnik khusus seperti menggulung benang saat jahitan dilakukan atau mengikat benang dengan menambah lilitan. Prolene (monofilamen polypropylene) dapat meningkatkan keamanan jahitan dan lebih mudah diremove dibandingkan dengan Ethilon (monofilamen polyamide). Catgut merupakan contoh terbaik dalam kelompok benang absorbable alami. Jenis benang ini merupakan monofilamen biologi yang dibuat dari usus domba dan sapi. Terdapat dua macam catgut, plain catgut dan chromic catgut. Plain catgut memiliki kekuatan selama 7-10 hari. Sedangkan chromic catgut memiliki kekuatan selama 28 hari. Namun, kedua jenis benang ini dapat menghasilkan reaksi jaringan. Benang absorbable sintetis terdiri atas vicryl (polygactin) dan Dexon (polyclycalic acid) yang merupakan benang multifilamen. Benang ini berukuran lebih panjang dari catgut dan memiliki sedikit reaksi jaringan. Penggunaan utamanya adalah untuk jahitan subkutikuler yang tidak perlu diremove. Selain itu, juga dapat digunakan untuk jahitan dalam pada penutupan luka dan mengikat pembuluh darah (hemostasis). Terdapat dua sistem dalam mengatur penebalan benang, yakni dengan sistem metrik dan sistem tradisional. Penomoran sistem metrik sesuai dengan diameter benang dalam per-sepuluh milimeter. Misalnya, benang dengan ukuran 2 berarti memiliki diameter 0.2 mm. Sistem tradisional kurang rasional namun banyak yang menggunakannya. Ketebalan benang disebutkan menggunakan nilai nol misalnya 3/0, 4/0, 6/0 dan seterusnya. Paling besar nilainya, ketebalannya semakin kecil. 6/0 merupakan nomor dengan diameter paling halus yang tebalnya seperti rambut, digunakan pada wajah dan anak-anak. 3/0 adalah ukuran yang paling tebal yang biasa digunakan pada sebagian besar bedah minor. Khususnya untuk kulit yang keras (kulit bahu). 4/0 merupakan nilai pertengahan yang juga sering digunakan. Dalam suatu paket jahitan, terdapat semua informasi mengenai benang dan needlenya secara lengkap di cover paketnya. Setiap paket jahitan memiliki dua bagian luar, pertama yang terbuat dari kertas kuat yang mengikat pada cover transaparan. Paket jahitan ini dijamin dalam keadaan steril sampai covernya terbuka. Oleh karena itu, saat membuka paket, simpan ke dalam wadah steril. Bagian kedua yakni amplop yang terbuat dari kertas perak yang dibasahi pada satu sisinya. Basahan ini memudahkan paket jahitan dipisahkan dari kertas tersebut. Kemudian dengan menggunakan needle-holder, angkat needle tersebut dari lilitannya dan luruskan secara hati-hati. Kemudian, gunakan untuk tindakan penjahitan. Rekomendasi bahan jahitan yang dapat digunakan adalah monofilamen prolene atau Ethilon 1,5 metrik (4/0) untuk jahitan interuptus pada semua bagian. Monofilamen prolene atau ethilon 2 metrik (3/0) untuk jahitan subkutikuler non-absorbable. Juga dapat digunakan untuk jahitan interuptus pada kulit yang keras misalnya pada bahu. Vicryl 2 metrik (3/0) digunakan pada jahitan subkutikuler yang absorbable dan jahitan dalam hemostasis. Vicryl 1,5 metrik (4/0) digunakan untuk jahitan subkutikuler jaringan halus atau jahitan dalam. Prolene atau Ethilon 0,7 (6/0) untuk jahitan halus pada muka dan pada anak-anak.
9. Needle bedah Saat ini bentuk needle bedah yang digunakan oleh sebagian besar orang adalah jenis atraumatik yang terdiri atas sebuah lubang pada ujungnya yang merupakan tempat insersi benang. Benang akan mengikuti jalur needle tanpa menimbulkan kerusakan jaringan (trauma). Pada needle model lama memiliki mata dan loop pada benangnya sehingga dapat menimbulkan trauma. Needle memiliki bagian dasar yang sama, meskipun bentuknya beragam. Setiap bagian memiliki ujung, yakni bagian body dan bagian lubang tempat insersi benang. Sebagian besar needle berbentuk kurva dengan ukuran , 5/8, dan 3/8 lingkaran. Hal ini menyebabkan needle memiliki range untuk bertemu dengan jahitan lainnya yang dibutuhkan. Ada juga bentuk needle yang lurus namun jarang digunakan pada bedah minor. Needle yang berbentuk setengah lingkaran datar digunakan untuk memudahkan penggunaannya dengan needle holder