Bisnis property development tanpa lahan bagaikan minum tanpa air. Ya, karena lahan-lah
yang menjadi obyek pengembangan seorang pengembang (developer). Yang terkadang
menjadi persoalan adalah, lahan yang menjadi obyek tersebut sulit untuk didapatkan, dengan
alasan dana yang ready tidak mencukupi untuk akuisisi. Bagaimana solusinya..? Apa tanpa
dana masih mungkin mendapatkan lahan untuk dikembangkan menjadi sebuah komplek
perumahan atau residence..?? Tak ada yang tak mungkin di dunia ini. Namun, bagaimana
strateginya..? Simak lima stategi berikut :
1. Kerjasama bagi hasil dengan pembayaran per-akad kredit
Ketika anda sudah menemukan lahan yang posisinya strategis, cobalah untuk melakukan
negosiasi dan lobi dengan pemilik lahan. Tawarkan pola kerjasama untuk berbagi profit
dengan syarat lahan dibayar perkavling setelah akad kredit dan bagi hasil profit dibayar
setelah proyek selesai.
Contoh dari pola ini :
Bapak A punya lahan seluas 10.000 m. Berdasarkan rasio 40/100 (40% lahan untuk fasum)
maka lahan efektif yang didapat seluas 6.000 m. Sebagai pemilik lahan, Bapak A minta
harga lahan per-meter Rp.100.000,- dengan demikian total harga 10.000 x Rp.100.000,- =
Rp.1.000.000.000,-, setelah dikurangi fasum, maka lahan efektif bernilai Rp.1.000.000.000,- /
6.000 m = Rp.166.667,- per-meter persegi. Jika kita menggunakan seluas 150 m untuk satu
kavling, maka akan didapatkan 40 kavling, dengan nilai Rp.166.667,- x 150 = Rp.25.000.000
per-kavling. Pembayaran harga kavling ini dilakukan setelah akad kredit. Jadi misalkan 3
bulan pertama sejak proyek launcing kita cuma berhasil meng-akad kredit sebanyak 20 unit
rumah, maka biaya yang harus dibayar hanya sebesar 20 x Rp.25.000.000,- =
Rp.500.000.000,-.
Pertanyaannya, apakah si pemilik lahan mau dengan pola ini..?
Kita lihat dulu, seperti saya jelaskan sebelumnya, dalam strategi ini kita menawarkan bagi
hasil (profit). Jika kita menawarkan bagi hasil sebesar 30% dari total laba bersih untuk si
pemilik lahan, saya kira beliau akan berfikir dua kali untuk menolak.
Bagaimana perhitungannya..?
Bila diatas lahan tersebut kita bangun rumah type 45 dengan harga jual Rp.204.000.000 maka
kita akan mendapat total harga penjualan sebanyak Rp.204.000.000,- x 40 =
Rp.8.160.000.000,- dengan anggaran sebagai berikut :
A. Pendapatan = 100% x Rp.8.160.000.000,-
B. Biaya HPP 58% x Rp.8.160.000.000,- = Rp.4.798.000.000,- dengan rincian :
1. RAB HPP TANAH = 12,5% x Rp.8.160.000.000,- = Rp.1.000.000.000,-
2. RAB HPP pengolahan fasum = 9,80% x Rp.8.160.000.000,- = Rp.800.000.000,-
3. RAB HPP konstruksi kavling = 28,68% x Rp.8.160.000.000,- = Rp.2.340.000.000,-
4. RAB HPP perijinan proyek = 1,84% x Rp.8.160.000.000,- = Rp.150.000.000,-
5. RAB HPP legalitas proyek = 1,23% x Rp.8.160.000.000,- = Rp.100.000.000,-
6. RAB HPP legalitas penjualan/pajak = 5% x Rp.8.160.000.000,- = Rp.408.000.000,-
C. Total Laba Kotor = Rp.8.160.000.000,- dikurang Rp.4.798.000.000,- =
Rp.3.362.000.000,-
D. Biaya administrasi kantor 2,76% x Rp.8.160.000.000,- = Rp.225.000.000,- dengan
rincian :
1. Operasional Kantor = 1,10% x Rp.8.160.000.000,- = Rp.90.000.000,-
2. Operasional Proyek = 0,55% x Rp.8.160.000.000,- = Rp.45.000.000,-
3. Operasional Pemasaran = 0,55% x Rp.8.160.000.000,- = Rp.45.000.000,-
4. Management = 0,55% x Rp.8.160.000.000,- = Rp.45.000.000,-
E. Laba bersih Rp.3.362.000.000,- dikurang Rp.225.000.000,- = Rp.3.137.000.000
Dengan perjanjian 30% laba bersih, maka Bapak A sebagai pemilik lahan berhak
mendapatkan bagi hasil Rp.941.100.000 yang akan beliau terima setelah proyek selesai. Bila
proyek tersebut selesai dalam tempo 18 bulan, maka sebenarnya Bapak A mendapat
penghasilan sebesar Rp.941.100.000 / 18 = Rp.52.283.333,- perbulannya. Atau dengan kata
lain, harga lahan Bapak A sebenarnya menjadi Rp.1.000.000.000,- + Rp.941.100.000,- =
Rp.1.941.100.000,- atau 194.100 /m. Bayangkan, hanya dengan 18 bulan Bapak A telah
mendapat keuntungan sebesar 94,1%. Saya kira, sulit bagi Bapak A untuk menolak tawaran
kerjasama ini. Coba saja...!!