Anda di halaman 1dari 15

Pendarahan dan Koagulopati pada Perawatan Intensif

Definisi koagulopati adalah sebuah kondisi dimana terganggunya kemampuan darah untuk
membeku. Namun, bagi beberapa dokter, istilah tersebut juga meliputi keadaan trombotik, dan
oleh karena kompleksitas dari jalur hemostatik, kedua kondisi tersebut dapat muncul bersamaan.
Beberapa dokter akan mempertimbangkan bahwa hasil abnormal ringan pada skrining koagulasi
tanpa pendarahan juga bisa mengindikasikan sebuah koagulopati. Pembahasan ini hanya terbatas
pada definisi dari koagulopati yang sudah dijelaskan sebelumnya. Kondisi tersebut sering terjadi
pada pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (Internsive Care Unit / ICU) dan memerlukan
sebuah pendekatan secara klinikopatologik untuk memastikan apakah sudah dibuat diagnosis
yang tepat sehingga dapat diberikan terapi yang sesuai.
Kurangnya bukti pada perawatan pasien koagulopati di perawatan intensif sangat mencolok.
Pembahasan ini akan membahas bagian-bagian tertentu yang memiliki bukti cukup kuat dan
pada saat yang bersamaan menjelaskan bagian-bagian yang juga memiliki bukti yang lemah.
Pada pembahasan terakhir, ada sebuah konsensus sederhana yang akan menjelaskan tentang
bagaimana penanganannya.
Diagnosis Banding
Riwayat pengobatan dan pemeriksaan fisik sangat penting, sebab banyak kondisi yang berbeda
dapat memiliki hasil pemeriksaan laboratorium yang hampir sama. Sebagai contoh, tahap akhir
pada gagal hati dan penyakit intravaskular diseminata dimana keduanya memiliki gejala
trombositopenia dan perubahan yang hampir sama pada tes koagulasi, namun penanganan dan
prognosis keduanya sangat berbeda. Pemeriksaan apus darah tepi adalah sebuah pemeriksaan
yang penting dalam banyak kasus untuk memastikan rendahnya jumlah dari perhitungan platelet
dan ada atau tidaknya kriteria diagnostik lain seperti perpecahan dari sel darah merah, kelaianan
pada morfologi platelet, atau bukti dari adanya displasia atau defisiensi hematinik.
Jika penyebab dasarnya sudah dipastikan tidak merespon terhadap agen terapeutik yang
bertujuan untuk memodifikasi respon koagulasi (contoh: pengobatan dengan antagonis vitamin
K, heparinoid, atau penghambat faktor langsung Xa atau IIa), dokter perlu mengevaluasi
perjalanan dari pendarahan tersebut yang mungkin dapat ditemukan adanya peteki dan
pendarahan mukosa pada kelaianan platelet, kebocoran yang merata pada permukaan yang de-
epitelisasi, dan pendarahan yang cepat dari pembuluh darah besar yang rusak.





Tabel 1. Hasil laboratorium pada berbagai kelaian platelet dan koagulasi di ICU


Gambar 1 penyebab dari pendarahan pada pasien di ICU. Menjelaskan hubungan antara hasil laboratorium dan berbagai koagulopati
Penanganan pada Koagulopati
Prinsip pertama penanganan koagulopati pada perawatan intensif adalah jangan mengkoreksi
hasil abnormal pada pemeriksaan laboratorium dengan produk darah kecuali jika terdapat adanya
masalah pendarahan klinis atau dibutuhkannya prosedur operasi ataupun keduanya.
Pendarahan hebat
Kurangnya bukti yang baik disebabkan karena digunakannya komponen darah untuk menangani
pendarahan utamanya. Pada beberapa dekade silam, saat komponen darah diberikan pada pasien
perawatan internsif, manfaatnya tidak pernah dikaji pada uji klinis acak. Belakangan, sudah
mulai terdapat pembatasan penggunaan komponen darah oleh karena kekhawatiran adanya
infeksi yang ditularkan melalui transfusi (HIV, hepatitis, dan varian baru dari penyakit
CreutzfeldtJakob) dan keterbatasan dalam suplai darah.
Tidak terdapat uji klinis acak, uji terkontrol, studi retrospektif dari korban militer sehingga
kemudian dilakukan studi serupa pada korban sipil yang menunjukkan peningkatan
kelangsungan hidup dengan transfusi 1U plasma beku segar berisi sel darah merah. Hal tersebut
telah menyebabkan pemberian yang lebih awal dari peningkatan jumlah unit dari plasma beku
segar. Namun, studi ini dikritik, terutama untuk kelemahan metodologis yang mencakup bias
survival (contoh: pasien yang tidak bertahan hidup tidak ditransfusi dengan plasma segar beku)
dan heterogenitas antara studi.
Meskipun kurangnya bukti bahwa pendarahan paska operasi dan pendarahan gastrointestinal atau
obstetrik berhubungan dengan perubahan hemostatik yang terjadi serupa pada koagulopati
traumatic akut, penggunaan awal dari transfusi plasma segar beku dengan sel darah merah yang
berasio 1:1 atau 1:2 telah dipakai luas. Peningkatan dari pemakaian plasma ini bukanlah tidak
beresiko karena terdapat peningkatan cedera paru akut akibat transfusi yang merupakan resiko
terjadinya sindrom gangguan pernafasan akut (acute respiratory distress syndrome / ARDS).
Sebuah studi pada pasien trauma yang memerlukan sebuah transfusi yang tidak masif (<10U
dari packed red cell dalam 12 jam), pemberian lebih dari 6 Unit plasma beku segar, dibandingan
dengan tidak dilakukan transfusi telah dihubungkan dengan peningkatan faktor 12 pada angka
ARDS dan peningkatan pada faktor 6 pada sindrom kegagalan multiple organ.
Ratio transfusi antara plasma segar beku dengan sel darah merah pada penanganan pendarahan
hebat masih belum diketahui dengan jelas. Pertanyaan ini masih dievaluasi dalam pragmatis
Amerika Utara (North American Pragmatic), yaitu sebuah studi acak tentang ratio optimal dari
platelet dan plasma (uji klinis.gov number, NCT01545232). Penelitian multisenter acak ini
membandingkan efek dari berbagai ratio dari produk darah yang diberikan pada pasien trauma
yang diperkirakan akan memerlukan transfusi dalam jumlah banyak (>10U packed red cells
dalam 24 jam) yang diperkirkan akan meninggal antara 24 jam hingga 30 hari. Untuk sementara,
terdapat perbedaan antara amerika utara dan Eropa dalam pemakaian komponen darah untuk
menunjang hemostasis. Walaupun di Amerika Utara terdapat peningkatan pemakaian plasma
segar beku pada pasien dengan pendarahan hebat, beberapa praktisi Eropa tidak menggunakan
plasma segar beku karena mereka lebih mengandalkan pemakaian dari konsentrat faktor
pembekuan pada basis dari elastometry rotasional-intervensi terarah dengan konsentrat kompleks
dari prothrombin, faktor XIII dan fibrinogen. Sebaliknya, praktisi lainnya meyakini bahwa
penanganan pada pendarahan hebat harus dimulai dengan pemberian fibrinogen dengan asam
tranexamic, sebuah derivate sintetik dari asam amino lysine yang berperan sebagai agen anti
fibrinolitik dengan menghambat plasminogen secara kompetitif dengan sel darah merah dan
pemakaian cairan IV sebagai terapi dasar yang diperlukan.
Fibrinogen adalah sebuah molekul pembentuk fibrin yang merupakan ligan untuk agregasi
platelet, dan pada pasien yang mengalami pendarahan hebat, fibrin sangat dibutuhkan
dibandingkan dengan protein hemostatik lainnya. Pada pasien dengan pendarahan hebat,
kebutuhan akan fibrin ini menunjukkan adanya peningkatan pemakaian, kehilangan, dan
pengenceran darah, serta adanya fibrinogenolysis. Oleh karena itu, walaupun tidak ditemukan
adanya bukti-bukti pada uji acak yang terkontrol, panduan penanganan pada pendarahan
traumatic menjelaskan bahwa tingkat pemicu dari suplemen fibrinogen seharusnya berkisar
antara 1,5 hingga 2,0 g / L dibandingkan dengan 1,0 g/L.
Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti apakah dengan pemberian awal suplementasi
fibrinogen dan konsentrat dari prothrombin kompleks ataukah dengan pemakaian dari plasma
segar beku yang dapat memberikan perbaikan klinis pada pasien dengan pendarahan hebat. Uji
acak terkontrol yang berikutnya sebaiknya membahas tentang manfaat dan keamanannya secara
keseluruhan, termasuk tentang angka insiden terjadinya tromboembolism vena yang didapatkan
dari perawatan rumah sakit (hospital-acquired venous thromboembolism).
Penggunaan dari rekombinan faktor VIIa telah terbukti menurunkan angka pemakaian sel darah
merah pada pendarahan tapi tidak menurunkan angka mortalitas sehingga perlu dilakukan
evaluasi lebih lanjut. Data dari uji placebo terkontrol menunjukkan bahwa penggunaan dari
rekombinan faktor VIIa meningkatkan resiko terjadinya thrombosis arterial secara signifikan .
Asam tranexamic sebaiknya diberikan pada semua pasien dengan pendarahan hebat akibat
trauma. Rekomendasi ini didukung oleh adanya uji acak yang terkontrol oleh Clinical
Randomization of an Antofibrinolytic in Significant Hemorrhage (CRASH-2), yang dimana
20,000 pasien trauma dengan pendarahan atau dengan resiko terjadinya pendarahan hebat
diberikan asam tranexamic secara acak atau placebo. Pasien yang diberikan asam tranexamic
dalam 3 jam setelah terjadinya cedera menunjukkan adanya penurunan angka kematian akibat
pendarahan sebanyak 1/3 dari jumlah total pasiennya. Setelah dilakukan analisis kedua dari data-
data yang ada, investigator dari CRASH-2 merekomendasikan agar diberikannya asam
tranexamic sesegera mungkin setelah terjadinya cedera karena hal tersebut akan berhenti
memberikan manfaat. Tampaknya hal tersebut berhubungan dengan peningkatan mortalitas jika
diberikannya lebih dari 3 jam setelah cedera terjadi.
Bukti-bukti kuat tentang pemberian asam tranexamic dapat menurunkan angka kebutuhan dari
transfuse darah pada operasi ternyata sudah ada sejak lama, walaupun efek dari asam tranexamic
pada kejadian thromboemboli dan mortalitas pada pasien-pasien tersebut masih belum pasti.


Dukungan Hemostatik pada Prosedur Invasive
Tidak ada bukti yang cukup mendukung pada penggunaan profilaksis dari plasma beku segar
dapat memperbaiki hasil abnormal yang terdapat pada skrining koagulasi (prothrombin time,
activated partial-thromboplastin time, dan fibrinogen) yang dilakukan sebelum dilakukannya
prosedur invasif. Skrining koagulasi tidak memiliki nilai prediktif untuk pendarahan yang terjadi
kemudian. Pemakaian dari plasma segar beku juga tidak memperbaiki hasil abnormal dari tes
koagulasi. Sampai saat ini belum ada konsensus yang membahas tentang hasil skrining koagulasi
yang membutuhkan pemberian plasma segar beku sehingga terdapat variasi pemakaian dari
plasma segar beku oleh pada dokter pada perawatan intensif. Hasil thrombin yang walaupun
tertunda, juga termasuk dalam kategori normal atau meningkat ketika rasio dari prothrombin 1,5
atau kurang, sehingga saya menyimpulkan bahwa rasio prothrombin 1,5 atau kurang sudah
cukup memuaskan pada pemasangan kateter vena sentral atau kateter arterial pada pasien-pasien
yang tidak memerlukan adanya suplementasi profilaksis plasma segar beku.
Kemungkinan terdapat intake yang tidak adekuat dari vitamin K pada pasien perawatan intensif
dimana vitamin K tersebut diperlukan untuk pembentukan faktor koagulasi II, VII, IX, dan X.
Walaupun terdapat kekurangan bukti yang cukup kuat tentang ketidakmampuan vitamin K dalam
memperbaiki masalah koagulopati pada pasien penderita penyakit hati, saya merekomendasikan
diberikannya suplementasi vitamin K1 (dengan dosis minimal 1mg/hari secara oral atau
10mg/minggu secara IV) untuk pasien perawatan intensif dengan resiko tinggi.
Koagulasi Intravaskular Diseminata
Koagulasi Intravaskular Diseminata adalah sebuah diagnosis klinikopatologi dari kelainan yang
didefinisikan oleh International Society on Thrombosis and Hemostasis (ISTH) sebagai sebuah
sindrom didapat, ditandai dengan aktivitas koagulasi intravaskular dengan hilangnya lokalisasi
yang muncul dari penyebab yang berbeda-beda. Kondisi ini khas pada mikrovaskular dan dapat
menyebabkan kerusakan dengan berbagai tingkat keparahan yang menyebabkan disfungsi organ
multiple (gambar 2).


Hal tersebut dapat diidentifikasi pada sistem penilaian dasar yang dikembangkan ISTH (tabel 2).

KID (koagulasi intravaskular diseminata) biasanya muncul sebagai perdarahan, dengan hanya
5-10% kasus menunjukkan adanya mikrotrombi (contoh: iskemia digitalis). Kondisi muncul
dengan episode trombotik / perdarahan bergantung pada penyebabnya dan pertahanan dari
penjamu. Sepsis adalah penyebab paling sering KID pada perawatan intensif ; infeksi sistemik de
ngan perkiraan adanya bakteri Staphilococcus aureus dan Escherichia coli. Kompleks patofisiolo
gi dimediasi oleh pola molekuler patogen, dimana menghasilkan respon inflamasi pada penjamu
melalui sinyal pada reseptor spesifik. Sebagai contoh, sinyal oleh Toll -like receptor dan reseptor
komplemen menginisiasi sinyal intraseluler, dimana menghasilkan sintesis beberapa protein ( ter
masuk sitokin proinflamasi). Protein ini memicu perubahan hemostasis yang menyebabkan peni
ngkatan regulasi dari faktor jaringan dan kerusakan dari antikoagulan fisiologis serta terjadinya fi
brinolisis. Faktor jaringan mempunyai peran penting pada proses ini. Terlihat pada septikemia m
eningokokus, dimana kadar faktor jaringan pada monosit mungkin memprediksi pertahanan tubu
h. Studi lain dari sepsis meningokokus menunjukkan bahwa sejumlah besar faktor jaringan ditem
ukan adanya derivat monosit pada mikropartikel yang bersirkulasi. Peningkatan regulasi dari fak
tor jaringan akan mengaktivasi koagulasi yang mengakibatkan deposisi fibrin yang menyebar lua
s dan trombosis mikrovaskular yang berkontribusi pada disfungsi organ multipel.

Studi dari endotoxemia pada binatang menunjukkan bahwa terjadi keabnormalan yang kompleks
dari antikoagulan fisiologik, dosis farmakologis dari protein C teraktivasi, antitrombin, serta inhi
bisi jalur faktor jaringan yang akhirnya muncul sebagai keuntungan pada studi tersebut. Studi ya
ng menjanjikan ini mengarahkan pada sebuah uji acak terkontrol dari suplementasi antikoagulan
fisiologik dengan dosis farmakologik dari protein C teraktivasi, antitrombin dan inhibitor jalur fa
ktor jaringan pada pasien dengan sepsis. Bagaimanapun, studi ini menunjukan tidak adanya penu
runan angka kematian dan peningkatan episode perdarahan.

Konsumsi dari protein koagulasi dan trombosit menghasilkan kecenderungan pendarahan dengan
trombositopenia, pemanjangan PT dan aPTT, hipofibrinogenemia, dan peningkatan kadar FDP (
produk degradasi fibrinogen / Fibrinogen Degradation Product, contohnya : D-dimer). Antikoagu
lan fisiologik juga digunakan pada proses inhibisi pada beberapa faktor koagulasi yang teraktivas
i. Pada KID yang parah, konsumsi dan pengurangan suplai dari trombosit dan protein koagulasi b
iasanya mengakibatkan terjadinya kebocoran secara perlahan pada tempat akses vaskular dan luk
a tetapi biasanya menyaebabkan perdarahan yang mengalir.

Dasar untuk penanganan kondisi ini tetap berdasarkan dari penyebabnya (co: sepsis). Penangana
n lebih jauh mungkin tidak diperlukan pada pasien dengan koagulasi abnormal ringan yang tidak
adanya bukti perdarahan. Panduan penanganan didasari terutama oleh pendapat ahli, yang menya
rankan dilakukan penggantian protein koagulasi dan trombosit pada pasien dengan perdarahan. T
ransfusi trombosit diindikasikan untuk mempertahankan kadar trombosit > 50.000/mm3, bersam
a dengan pemberian FFP (Fresh Frozen Plasma) untuk mempertahankan PT dan aPTT <1,5 x dar
i waktu normal (kontrol) dan pemberian sumber fibrinogen untuk mempertahankan kadar fibrino
gen >1,5 g/liter.


Penggunaan agen antifibrinolitik dikontraindikasikan pada penanganan KID, karena sistem fibrin
olitik diperlukan dalam perbaikan untuk memastikan disolusi dari fibrin yang menyebar luas. Be
berapa panduan merekomendasikan pemberian dosis terapi Unfractioned heparin pada pasien de
ngan fenotip trombotik (co:gangren), tetapi beberapa rekomendasi tetap kontroversial karena suli
tnya monitor terapi pada pasien dengan aPTT yang memanjang. Selain itu, pemberian heparin m
ungkin memicu perdarahan. Akhir-akhir ini, masih kurang bukti klinis untuk membuat rekomend
asi pada pemakaian heparin pada pasien dengan KID.

Trombositopenia
Mekanisme patofisiologi
Trombositopenia mungkin muncul karena penurunan produksi atau peningkatan destruksi (imun/
non imun) dari trombosit, serta dari sekuestrasi limpa. Diantara pasien ICU, kondisi terjadi pada
20% pasien medis dan 30% pada pasien bedah. Penyebab dari kondisi ini sering multifaktor. Pasi
en dengan trombositopenia cenderung tampak lebih sakit, dengan nilai keparahan sakit lebih
tinggi, daripada mereka yang hasil hitung trombositnya adalah normal.



Tabel 3. Daftar Diagnosis Banding dari trombositopenia pada perawatan kritis.


Identifikasi pasien dengan trombositopenia penting karena memerlukan penanganan khusus ( co:
trombositopenia diinduksi heparin, purpura trombositik trombositopenia). Trombositopenia diind
uksi obat merupakan tantangan diagnostik,karena secara kritis pasien sakit sering menerima obat
-obatan multipel yang dapat menyebabkan trombositopenia.

Ambang batas trombosit dari 10.000/mm3 untuk transfusi trombosit pada pasien dengan kondisi
stabil adalah efikasi dan ekonomis secara hemostatik dalam mengurangi kebutuhan transfusi tro
mbosit. Pasien dengan kegagalan produksi trombosit yang lama, seperti mielodisplasia, anemia a
plastik, mungkin tetap bebas dari perdarahan serius, dengan penghitungan trombosit dibawah 5.0
00 sampai 10.000/mm3. Bagaimanapun, peningkatan stimulasi transfusi trombosit harus dilakuk
an pada pasien dengan kelainan hemostatik lainnya atau dengan peningkatan tekanan pada pengg
antian trombosit / fungsi trombosit. Jika pada pasien terjadi perdarahan aktif, hitung trombosit 5
0.000/mm3 harus dipertahankan. Diantara pasien yang mempunyai risiko perdarahan pada SSP a
tau yang akan menjalani operasi bedah saraf, hitung trombosit >100.000/mm3 sering direkomend
asi, walaupun kurangnya data untuk mendukung rekomendasi ini.

Standar hitung trombosit dihasilkan oleh penghitungan sel yang mengkategorisasikan sel berdasa
rkan ukuran, akan tetapi besar trombosit mungkin ukurannya sama seperti sel darah merah dan k
emudian dikategorisasikan sama dengan sel darah merah. Karena itu, sebuah metode imunologik
hitung trombosit, dimana antigen trombosit dilabel dengan petanda yang dapat dideteksi dengan
penggunaan aliran sitometri, mungkin membantu membuktikan perhitungan yang benar. Karena
transfusi trombosit dapat terjadi trombosit imunologis yang refrakter menyebabkan pembentukan
antibodi anti-HLA, dimana penggunaan trombosit yang cocok dengan HLA, harus menghasilkan
hitung trombosit yang lebih baik setelah transfusi.

Penyebab imunologik
Penurunan secara mendadak pada hitung trombosit pada pasien dengan riwayat operasi baru-bar
u ini diperkirakan karena adanya sebuah penyebab imunologik atau reaksi transfusi yang berat (P
ost Transfusion Purpura atau Trombositopenia diinduksi obat). Trombosis pada Trombositopenia
yang diinduksi heparin adalah sebuah kelainan protrombotik autoimun yang jarang , transient, da
n terinduksi obat, yang disebabkan oleh pembentukan antibodi Ig G sehingga menyebabkan aktiv
asi dari trombosit yang berasal dari pembentukan antibodi terhadap kompleks trombosit faktor 4
dan heparin.


Purpura post transfusi
Purpura post transfusi adalah kelainan perdarahan yang jarang disebabkan oleh alloantibodi spesi
fik trombosit (biasanya, anti-human platelet antigen 1a (HPA-1a)) pada resipien. HPA-1a kemud
ian bereaksi dengan trombosit donor yang akan menghancurkan trombosit donor tersebut serta tr
ombosit dari resipien sendiri. Mayoritas dari pasien yang terkena adalah wanita yang sudah mela
hirkan berkali-kali yang telah tersensitisasi selama kehamilan. Pengobatan purpura post transfusi
terdiri dari IVIg (gamma), glukokortikoid dan plasmapheresis. IVIg dosis tinggi (2g/kgBB diberi
kan 2-5 hari) memberikan peningkatan hitung trombosit sekitar 85% pada pasien. Transfusi trom
bosit jumlah besar mungkin diperlukan untuk mengontrol perdarahan hebat sebelum ada respon t
erhadap IVIg. Terdapat keterbatasan bukti bahwa penggunaan trombosit HPA-1a negatif lebih ef
ektif daripada penggunaan trombosit dari donor acak.
Trombosis Mikroangiopati
Trombosis mikroangiopati mempunyai karakterisitik yaitu adanya trombositopenia bermakna
dan anemia hemolisis mikroangiopati (fragmentasi sel darah merah), dimana terdiri dari 3
kelainan mayor : trombosis trombositopenia purpura, sindrom hemolisisuremic, dan sindrom
HELLP (ditandai dengan hemolisis yang berhubungan dengan kehamilan, peningkatan enzim
hati, dan jumlah trombosit yang rendah ). Mayoritas kasus trombosis trombositopenia purpura
disebabkan oleh defisiensi disintegrin dan metalloproteinase dengan tipe thrombospondin tipe 1
motif 13 (ADAMTS13), yaitu gangguan yang mungkin disebabkan secara herediter atau
kerusakan autoimun. Ketiadaan dari ADAMTS13 akan menghasilkan faktor von Willebrand
yang bermolekul berat yang persisten, yang dapat menyebabkan agregasi trombosit spontan
ketika terdapat pemotongan pada protein tersebut. Tingkat kematian pada kasus yang tidak
diobati mendekati 95%, namun dengan dilakukan plasmapheresis di awal, tingkat kelangsungan
hidup mencapai 80 sampai 90%. Penggunaan rituximab, sebuah antibodi monoklonal chimeric
terhadap protein permukaan Sel-B CD20 yang menyebabkan kerusakan sel-sel, telah terbukti
mengurangi tingkat kekambuhan bentuk kelainan autoimun ini dari 57% sampai 10%. Trombosis
trombositopenia purpura adalah keadaan darurat medis dan dalam kasus-kasus yang tidak diobati
terkait dengan tingkat kematian 90%, biasanya dari infark miokard karena trombus trombosit di
arteri koroner. Dengan demikian, diagnosa aktif dari gangguan ini sebaiknya segera dilakukan
plasmapheresis.
Penyakit Hati
Thrombopoietin dan hemostatis protein disintesis di hati. Penurunan fungsi sintesis hati
menyebabkan skrining tes koagulasi yang memanjang (protrombin time) dan penurunan jumlah
trombosit, walaupun kadar dari faktor VII dan von Willebrand meningkat. Asupan alkohol akan
menghambat agregasi trombosit. Pada penyakit hati kronis, juga terjadi peningkatan fibrinolisis
oleh karena kegagalan hati untuk memetabolisme activator dari plasminogen jaringan. Pada
penyakit hati kolestatik, terjadi penurunan absorbsi vitamin larut lemak sehingga terjadi
penurunan jumlah produksi factor koagulasi yang bergantung pada kadar vitamin K (faktor
koagulasi II, VII, IX, dan X). Selanjutnya pada penyakit hati, kegagalan dari enzim normal untuk
membersihkan asam sialic dari fibrinogen menyebabkan disfibrinogenemia.

(Gambar 3A Hemostasis pada gagal hati dan penyakit ginjal.).
Namun, seiring dengan penurunan faktor koagulasi, terjadi juga penurunan jumlah produksi
antikoagulan yang fisiologis. Maka, pasien dengan penyakit hati kronis dan waktu protrombin
yang memanjang tidak lagi dipertimbangkan memiliki defisiensi faktor koagulasi, sebab
koagulasi tersebut telah diseimbangkan dan adanya trombin yang normal. Pada kasus tersebut,
yang dimana tidak terdapat adanya pendarahan, tidak diperlukan pengobatan untuk waktu
koagulasi yang memanjang.
Jika perdarahan terjadi pada penyakit hati, maka sesuai pedoman konsensus merekomendasikan
manajemen komponen darah sesuai dengan hasil jumlah trombosit, PT (waktu protrombin),
aPTT (waktu parsial tromboplastin teraktivasi), TT (waktu thrombin), dan fibrinogen. Dalam
percobaan acak yang terkontrol, peneliti membandingkan strategi tranfusi sel darah merah yang
liberal (kadar hemoglobin <9 g/dL) dan strategi restriktif (kadar hemoglobin <7g/dL) pada
pasien dengan perdarahan akut pada saluran cerna atas. Pasien yang diobati dengan strategi
restriktif memiliki kelangsungan hidup lebih lama (6 minggu) dan tingkat perdarahan ulang yang
lebih rendah daripada mereka yang diobati dengan strategi liberal. Dalam penelitian ini, tekanan
sirkulasi portal meningkat secara signifikan diantara pasien grup strategi liberal.
Meskipun tidak ada penelitian serupa yang menunjukkan adanya perubahan koagulopati atau
trombostiopenia, tampaknya masuk akal untuk mengadopsi pendekatan dalam pembatasan
penggunaan plasma segar beku, dan trombosit pada pasien perdarahan saluran cerna atas. Peran
asam traneksamat pada pasien dengan perdarahan saluran cerna sedang dilakukan investigasi
(controlled Hemorrhage Alleviation with Tranexamic Acid- Intestinal system / HALT-IT trial
NCT01658124). Pada pasien dengan penyakit hati dan laboratorium yang mengindikasikan hasil
abnormal sintesis factor koagulasi, vitamin K harus diberikan secara rutin untuk membantu
sintesis factor koagulasi.
Penyakit Ginjal
Pendarahan uremik biasanya tampak dengan adanya ekimosis, purpura, epistaksis, dan
perdarahan dari tempat suntikan oleh karena adanya fungsi trombosit yang terganggu. Disfungsi
trombosit adalah suatu hasil dari perubahan kompleks yang termasuk didalamnya terdapat
disfungsi factor von Willebrand, penurunan produksi thromboxane, peningkatan level siklik
AMP, dan siklik GMP, toxin uremic, anemia, serta adanya perubahan granula trombosit yang
semuanya memerlukan formasi sumbatan trombosit yang adekuat. Anemia yang sering
menyertai penyakit ginjal menyebabkan hilangnya aliran laminar dalam arteriol sehingga sel
darah merah tidak lagi mendorong trombosit dan plasma ke endotelium yang menyebabkan
perpanjangan waktu perdarahan; pengobatan anemia cukup memperbaiki masalah ini. Ada juga
beberapa bukti dari gangguan fibrinolisis pada pasien dengan penyakit ginjal.
Di masa lalu, waktu perdarahan dianggap sebagai tes klinis yang paling berguna dari koagulasi
pada pasien dengan penyakit ginjal, namun banyak bukti yang mendukung bahwa pengujian dan
pengobatan tersebut berasal dari studi kualitas buruk yang dilakukan lebih dari 30 tahun yang
lalu. Kita sekarang tahu bahwa dialisis, terutama peritoneal dialisis, meningkatkan fungsi
trombosit. Eritropoietin, kriopresipitat, estrogen terkonjugasi, desmopressin, dan asam
traneksamat semuanya telah terbukti tidak mengurangi waktu perdarahan. Dalam decade
terakhir, popularitas sitrat telah meningkat sebagai pengganti antikoagulan pada terapi pengganti
ginjal, dengan penurunan perdarahan, meskipun data pada pasien gagal hati masih kurang.
Perdarahan Fibrinolitik
Fibrinolisis yang berlebihan yang mengancam integritas gumpalan dikenal sebagai
hiperfibrinolisis. Aktivitas abnormal dari fibrinolitik dapat diabaikan sebagai penyebab
perdarahan, terutama penyakit hati, dan kondisi ini sulit didiagnosis karena ketiadaan tes rutin
yang spesifik. Kecurigaan klinis harus tinggi dalam kasus-kasus dimana perdarahan terus
berlanjut, meskipun terapi pengganti hemostatik dan kadar trombosit yang relative, tingkat
fibrinogen yang rendah dan D-dimer yang tinggi pada kasus DIC (Disseminated intravascular
coagulation ). Thromboelastography, yang dapat membantu membedakan aktivasi fibrinolitik
dari defisiensi faktor koagulasi, memiliki kekurangan karena hanya mendeteksi perubahan
perdarahan fibrinolitik. Perdarahan fibrinolitik harus dipertimbangkan pada pasien dengan
penyakit hati dan penyakit kanker yang meluas. Penggunaan asam traneksamat baik infus
maupun oral, bermanfaat dalam mengontrol perdarahan.
Penyakit Von Willebrand's
Jika perdarahan yang tidak diketahui penyebabnya terjadi, pertimbangan harus mengarah pada
kelainan perdarahan didapat. Seorang dan riwayat keluarga yang mudah memar, dan mudah
terjadi perdarahan harus dicari penyebabnya. Terkadang, kondisi seperti penyakit Von
willebrands ringan bisa timbul terus menerus setelah cedera / operasi.
Penyakit Von Willebrands yang didapat, bisa disebabkan oleh beberapa mekanisme potensial
akibat autoantibodi, gangguan mieloproliferatif dan limfoproliferatif, atau faktor Von Willebrand
multimer yang bermolekul berat, dapat terjadi pada pasien di ICU. Gangguan ini dapat
disebabkan oleh tegangan geser pada aliran darah dalam rangkaian ekstrakorporeal, seperti yang
disebabkan oleh oksigenasi membrane ekstracorporeal dan alat bantu ventrikel kiri. Tegangan
geser dari stenosis katup aorta dapat menyebabkan penyakit Von Willebrands, yang
menyebabkan perdarahan gastrointestinal (sindrom Heydes).
Penyakit Von Willebrands yang didapat diterapii dengan penggunaan desmopressin, yang
menstimulasi pelepasan simpanan residual faktor Von willebrand oleh sel endotel, atau faktor
konsentrat von willebrand, yang dianggap sebagai terapi yang lebih efektif. Penggunaan agen
antifibrinolitik dapat digunakan untuk meringankan perdarahan mukokutan. Penyebab harus
dihilangkan jika kondisi memungkinkan pada penyakit Von Willebrand yang didapat karena
adanya tegangan geser yang tinggi.




Perdarahan terkait dengan terapi Antithrombotic

(Gambar 4. Agen antitrombotik yang umum, mekanisme kerja, and Reversibilitas. Kesimpulan
dari obat antithrombotik, mekanisme kerja, and Reversibilitas)
Sulit untuk mengobati perdarahan pada pasien yang mendapat antikoagulan oral seperti
dabigatran dan rivaroxaban, karena tidak ada antidote spesifik. Bukti saat ini menunjukkan
bahwa complex konsentrat protrombin adalah pilihan terbaik untuk membalikkan efek
rivaroxaban yang lebih baik daripada efek dabigatran. Langkah umum seperti menghentikan obat
antitrombotik, dokumentasi waktu dan jumlah dosis obat terakhir, serta mencatat jika terdapat
gangguan ginjal dan hati sangat disarankan. Manajemen dapat dibantu dengan skrining darah
lengkap dan skrining hemostatik, bersama dengan tes laboratorium spesifik untuk mengukur efek
obat antitrombotik. Jika obat yang baru saja diminum dan tidak ada antidote spesifik, arang aktif
dapat diberikan untuk menyerap sisa obat yang ada di lambung.
Kesimpulan
Manajemen perdarahan pada pasien kritis tetap menjadi tantangan klinis utama. Penyebab
masalah perdarahan mungkin rumit dan hanya dipahami sebagian, dengan alat diagnostik yang
terbatas dan strategi manajemen yang tersedia baru baru ini. Tidak adanya bukti yang kuat dari
uji klinis untuk memandu pengelolaan kelainan perdarahan yang didapat sangat mencolok dan
membutuhkan penelitian untuk mengatasi beberapa bukti yang saat ini ada.

Anda mungkin juga menyukai