Anda di halaman 1dari 2

PERJANJIAN YANG DILARANG DALAM UNDANG-UNDANG NO.

5 TAHUN 1999

Perjanjian yang dilarang
Dalam sistem hukum perjanjian, maka dianut sistem terbuka, artinya para pihak
mempunyai kebebasan yang sebesar-besarnya untuk mengadakan perjanjian yang berisi
dan berbentuk apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Hal
ini dapat kita lihat dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang pada intinya menyatakan
bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi
mereka yang membuatnya. Selanjutnya Pasal 1320 KUH Perdata menyatakan bahwa
untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 4 syarat. Pertama, sepakat mereka untuk
mengikatkan diri. Kedua, kecakapan untuk membuat suatu perjanjian. Ketiga, suatu hal
tertentu, dan keempat, suatu sebab (causa) yang halal.
Pengakuan dan masuknya perjanjian yang tidak tertulis sebagai bukti adanya
kesepakatan yang dilakukan oleh para pelaku usaha dalam Hukum Persaingan Usaha
adalah sangat tepat dan telah sesuai dengan rezim Hukum Persaingan Usaha yang
berlaku di berbagai negara. Pada umumnya para pelaku usaha tidak akan begitu ceroboh
untuk memformalkan kesepakatan diantara mereka dalam suatu bentuk tertulis, yang
akan memudahkan terbuktinya kesalahan mereka. Oleh karenanya perjanjian tertulis
diantara para pelaku usaha yang bersekongkol atau yang bertentangan dengan Hukum
Persaingan Usaha akan jarang ditemukan. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur
beberapa perjanjian yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu:
1. Oligopoli
2. Penetapan harga

a. Penetapan harga (Pasal 5 UU No.5/1999);
b. Diskriminasi harga (Pasal 6 UU No.5/1999);
c. Jual Rugi (Pasal 7 UU No.5/1999);
d. Pengaturan Harga Jual Kembali (Pasal 8 UU No.5/1999);

3. Pembagian wilayah (Pasal 9 UU No.5/1999);
4. Pemboikotan (Pasal 10 UU No.5/1999);
5. Kartel (Pasal 11 UU No.5/1999);
6. Trust (Pasal 12 UU No.5/1999);
7. Oligopsoni (Pasal 13 UU No.5/1999) ;
8. Integrasi vertikal (Pasal 14 UU No.5/1999);
9. Perjanjian Tertutup

a. exclusive distribution agreement (Pasal 15 ayat (1) UU No.5/1999);
b. tying agreement (Pasal 15 ayat (2) UU No.5/1999);
c. vertical agreement on discount (Pasal 15 ayat (3) UU No.5/1999);

10. Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri.

Selanjutnya akan dibahas secara lebih detail satu persatu perjanjian- perjanjian
yang dilarang menurut UU No. 5 Tahun 1999 tersebut, agar dapat lebih mudah
dimengerti.

1. Oligopoli
Ketentuan Hukum Persaingan kita merumuskan dalam Pasal 4 ayat (1) apa yang disebut
dengan oligopoli yaitu pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain
untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang
dan/atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan
usaha tidak sehat. Sedangkan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang No.5/1999 menyatakan bahwa:
pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi
dan/ atau pemasaran barang dan/atau jasa sebagimana dimaksud ayat (1) apabila 2 (dua) atau
3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari
75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Pasal 4 Undang-undang No.5/1999 merupakan pasal yang ditafsirkan menggunakan
prinsip Rule of Reason, oleh karena itu sebenarnya pelaku usaha tidak dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama- sama melakukan penguasaan produksi
dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa atau membuat perjanjian oligopoli selama tidak
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat dan
mempunyai alasan-alasan yang dapat diterima sebagai dasar pembenar dari perbuatan mereka
tersebut.


Namun demikian pada umumnya perjanjian oligopoli dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Hal ini disebabkan dalam oligopoli
sangat mungkin terjadi perusahaan-perusahaan yang ada akan saling mempengaruhi untuk
menentukan harga pasar, menentukan angka produksi barang dan jasa, yang kemudian dapat
mempengaruhi perusahaan lainnya, baik yang sudah ada (existing firms) maupun yang masih
di luar pasar (potential firms).




2. Penetapan harga

Perjanjian penetapan harga yang dilarang oleh Undang-undang No.5 Tahun
1999 diatur di dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 8 Undang-undang No.5 Tahun
1999 terdiri dari perjanjian penetapan harga (Price Fixing Agreement), diskriminasi harga (Price
Discrimination), harga pemangsa atau jual rugi (Predatory Pricing), dan pengaturan harga jual
kembali (Resale Price Maintenance). Untuk lebih jelasnya akan diuraikan lebih lanjut dibawah ini.

Anda mungkin juga menyukai