= x 2
Keterangan :
AUC : Jumlah serapan pd n dan serapan n-1 dibagi 2.
n : Panjang gelombang yang menghasilkan serapan 0,05
1
: 290 nm
Yaitu membagi jumlah seluruh area dibawah kurva dengan selisih panjang gelombang
terbesar dan terkecil lalu dikalikan dua, selanjutnya nilai log SPF diubah menjadi nilai SPF
(Petro, 1981).
c. Penentuan Aktivitas Antioksidan
Pembuatan natrium tiosianat 30%
Sebanyak 3 g amonium tiosianat larutkan dalam etanol 70% secukupnya, pindahkan pada
labu ukur 10 mL dan tambahkan etanol 70% hingga batas tanda.
Pembuatan FeCl
3
0.02 M dalam HCl 3.5%
Sebanyak 0,03244 g FeCl
3
.4H
2
O larutkan dalam HCl 3,5% secukupnya, pindahkan pada
labu ukur 10 mL, tambahkan dengan HCl 3,5% hingga batas tanda.
Penetapan panjang gelombang maksimum
Larutan vitamin E 4 mL ditambahkan etanol 5 mL homogenkan masukkan dalam kuvet
dibaca absorbansinya pada 400 800nm.
7. Uji Antioksidan
Dalam penelitian ini digunakan metode besi tiosianat (ferric thiocyanate, FTC) dari
Kikuzaki dan Nakatani (1993). Metode ini mengukur jumlah peroksida pada tahap awal
peroksidasi lemak. Peroksida bereaksi dengan besi (III) klorida membentuk besi (II) klorida yang
berwarna merah. Dalam hal ini, konsentrasi peroksida berbanding terbalik dengan aktivitas
antioksidan sampel.
Dari masing-masing larutan sampel diambil 4 mL, tambahkan 4,1 asam linoleat 2,52%
dalam etanol absolut, 8 mL bufer fosfat 0,05 M (pH 7.0) dan 3.9 mL air diletakan dalam vial
bertutup, kemudian ditempatkan dalam oven bersuhu 40
o
C yang terlindung dari cahaya. Pada 0,1
mL campuran tersebut ditambahkan 9.7 mL etanol 75% dan 0,1 mL amonium tiosianat 30%.
Tepat 3 menit setelah penambahan 0,1 mL besi (II) klorida 0,02 M dalam asam klorida 3,5%
kedalam campuran, ukur absorbansinya pada panjang gelombang 500 nm. Pengukuran
absorbansi ini dilakukan setiap 24 jam sekali sampai larutan kontrol memberikan absorbansi
konstan.
8. Analisis Data
Untuk mengetahui profil efek campuran terhadap suatu parameter digunakan metode simplex
lattice design. Metode ini dapat diterapkan pada pembuatan formula dengan menggunakan dua
campuran atau lebih, campuran yang paling sederhana menggunakan dua komponen bahan.
Prinsip dasar simplex lattice design adalah untuk mengetahui profil efek campuran terhadap
suatu parameter. Dasar dari metode ini adalah adanya dua variabel bebas, A dan B. Rancangan
ini dibuat dengan memilih tiga kombinasi dari campuran dua variabel tersebut dan dari setiap
kombinasi diamati respon yang didapat. Respon yang diharapkan haruslah yang paling
mendekati tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya baik maksimum atau minimum (Bolton, S.
1997 dan Amstrong and James, 1996).
Hasil Dan Pembahasan
Determinasi
Setelah dideterminasi dengan menggunakan buku Flora of Java (Backer dan Bakhuizen
van den Brink, volume II tahun 1963 dan volume III, tahun 1968), benar bahwa tanaman yang
digunakan dalam penelitian ini adalah lidah buaya (Aloe barbadensis Mill sinonim Aloe vera (L.)
Webb dan alpukat (Persea americana Mill). Determinasi tanaman dilakukan di Laboratorium
Taksonomi Tumbuhan Fakultas Biologi Universitas Muhammadiyah Purwokerto, dan hasil
determinasi menyatakan benar bahwa tanaman yang diteliti adalah benar alpukat (Persea
americana) (lampiran 1).
Pengumpulan Bahan
Biji alpukat yang telah dipanen kemudian dicuci dengan air mengalir untuk
menghilangkan kotoran yang menempel dalam tanaman, tiriskan sampai semua sisa-sisa air
pencucian tidak ada lagi pada tanaman. Biji dirajang setebal 3 mm untuk mempermudah
pengeringan. Proses pengeringan dilakukan selama 3 hari atau sampai biji alpukat benar-benar
kering. Pengeringan bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi kandungan air yang
dikandung dalam tanaman sehingga kandungan bahan aktif dapat terjaga dari kerusakan,
mencegah reaksi enzimatis yang ada pada tanaman dan penjamuran yang dikarenakan adanya
bakteri serta mencegah perubahan kimia. Setelah didapatkan simplisia biji alpukat yang kering
kemudian diblender dan diayak dengan pengayak no 40 untuk mendapatkan serbuk simplisia.
Dari 1,5 kg biji alpukat, dihasilkan 507 gram serbuk kering biji alpukat.
Pembuatan Ekstrak Isopropil Alkohol Biji Alpukat
Sebelum maserasi, simplisia diserbuk untuk memperkecil ukuran partikel dan
meningkatkan efektifitas penyarian. Semakin kecil ukuran partikel maka semakin besar luas
permukaannya dan akan semakin luas pula permukaan yang kontak dengan cairan penyari
sehingga penyarian akan lebih efektif. Ukuran partikel yang semakin kecil juga akan mengurangi
tebal lapisan batas dari cairan penyari. Semakin kecil tebal lapisan batas maka cairan penyari
akan mempunyai jarak yang lebih kecil untuk menarik senyawa aktif yang ada dalam sel keluar
sel dan terlarut dalam cairan penyari. Keluarnya zat aktif dalam sel tersebut karena perbedaan
konsentrasi di dalam sel dan diluar sel.
Pembuatan ekstrak isopropil alkohol biji alpukat dilakukan dengan metode maserasi.
Metode ini dipilih karena alat yang digunakan sederhana dan baik untuk senyawa yang tidak
tahan terhadap pemanasan. Pertama kali, dilakukan pembasahan serbuk agar zat aktif dapat
dengan mudah tersari. Pembasahan dilakukan selama satu jam, lalu dilakukan perendaman
selama lima hari dengan beberapa kali pengadukan pada temperatur ruangan (Depkes RI, 2000)
supaya zat aktif yeng terlarut bisa dalam jumlah yang banyak. Setelah maserasi, rendaman
diperas dan diuapkan sampai terbentuk ekstrak yang kental. Ekstrak isopropil alkohol biji
alpukat yang didapatkan berwarna cokelat kemerahan dengan rendemen 2,46 %.
Pembuatan Ekstrak Kering Lidah Buaya
Lidah buaya dikeringkan dengan menggunakan metode freeze drying dari gel lidah buaya
yang berada di bagian bawah kulit daun lidah buaya. Metode freeze drying dipilih karena jika
dikeringkan dengan pengovenan, ekstrak lidah buaya yang terbentuk berupa lembaran yang
sangat sulit diserbuk. Hasil pengeringan dengan metode freeze drying berupa ekstrak berbentuk
mirip serat-serat kecil yang sangat higroskopis dan mudah menggumpal, berwarna krem
kekuningan dan berbau khas. Rendemen ekstrak kering lidah buaya adalah 0,25%.
Pembuatan Losio
Dari hasil pembuatan losio biji alpukat diperoleh suatu bentuk emulsi minyak dalam air
dengan emulgator sabun trietanolamin stearat. Sabun trietanolamin stearat terbentuk sebagai
hasil reaksi antara Trietanolamin dan Asam stearat.
Evaluasi Sediaan
1. Organoleptis
Tabel 5.1. Data sifat organoleptis sediaan losio ektrak alpukat-ekstrak lidah buaya
Formula Warna Bau Konsistensi
I Coklat kemerahan Khas ekstrak alpukat Kental
II Agak coklat
kemerahan
Kurang tercium bau
ekstrak
Lebih kental
III Krem kekuningan Khas ekstrak lidah buaya Sangat kental
KN Putih Tidak berbau Agak encer
KP Putih kekuningan Tidak berbau Agak encer
2. Pengukuran pH
Pengukuran pH dalam penelitian ini bertujuan untuk melihat pH sediaan yang
berpengaruh terhadap sifat iritasi kulit. Idealnya, pH sediaan topikal adalah sesuai dengan
pH kulit, yaitu 5,0 7,0. Jika pH sediaan terlalu basa atau terlalu asam maka bisa
menyebabkan iritasi kulit. Hasil pengukuran pH adalah sebagai berikut:
Tabel 5.2. Hasil pengukuran pH sediaan losio ektrak alpukat-ekstrak lidah buaya
Formula pH
I 7
II 7
III 7
KN 8
KP 8
Berdasarkan tabel 2 di atas, menunjukkan bahwa pH tiga formula yang berisi
ekstrak adalah netral, sedangkan dua formula yang tidak berisi ekstrak cenderung basa.
pH basis losio tanpa ekstrak cenderung basa karena basis ini ditambah dengan trietanolamin
yang bersifat basa. Sedangkan ekstrak alpukat maupun lidah buaya mengandung senyawa
yang bersifat asam yaitu asam fenolat dan asam-asam amino, yang menyebabkan turunnya
pH menjadi netral.
3. Viskositas Losio
Pengujian terhadap viskositas dimaksudkan agar sediaan yang telah dibuat mudah
dituang sehingga memudahkan dalam pemakaiannya. Viskositas tersebut diuji dengan
menggunakan Viskotester Rion VT-04E, kecepatan putar 100 rpm dan menggunakan
spindel no. 4. Data yang diperoleh dari penelitian dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 5.3. Hasil pengukuran viskositas sediaan losio ektrak alpukat-ekstrak lidah
buaya
Formula Viskositas
(Poise)
I 39,5
II 28
III 45,5
KN 19
KP 18,5
Dari hasil analisis diatas dapat diketahui bahwa perbedaan konsentrasi ekstrak
dapat mempengaruhi viskositas losio. Jadi semakin tinggi konsentrasi ekstrak lidah buaya
maka losio akan semakin kental.
Berdasarkan data uji sifat fisik di atas, maka didapatkan persamaan SLD sebagai
berikut:
Y
viskositas
= 39,5 (A) + 45,5 (B) 228 (A) (B)
Dari persamaan di atas maka dapat dilihat bahwa koefisien persamaan dari fraksi
ekstrak lidah buaya lebih tinggi daripada ekstrak alpukat. Hal ini berarti ekstrak lidah
buaya lebih dominan dalam meningkatkan viskositas dibandingkan dengan ekstrak
alpukat. Sedangkan kombinasi kedua ekstrak mempunyai koefisien persamaan negatif,
yang artinya akan menurunkan viskositas sediaan.
4. Homogenitas losio
Uji homogenitas losio dilakukan untuk mengetahui apakah pencampuran masing
masing komponen dalam pembuatan losio setelah tercampur merata. Hal tersebut untuk
menjamin bahwa zat aktif yang terkandung didalamnya telah terdistribusi secara merata.
Data yang diperoleh dari penelitian dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 5.4. Hasil uji homogenitas sediaan losio ektrak alpukat-ekstrak lidah buaya
Formula Homogenitas
I Homogen
II Homogen
III Homogen
KN Homogen
KP Homogen
Masing masing formula telah tercampur dengan baik sehingga losio terlihat
homogen dan teksturnya tidak kasar.
5. Kestabilan losio
Penyimpanan pada suhu kamar (27C) dan suhu rendah (4
o
C) menunjukkan
bahwa kelima formula sediaan losio tersebut tetap stabil dan tidak menunjukkan
perubahan fisik yang berarti. Kelima formula losio tersebut tetap homogen, tidak terjadi
creaming, bau dan warnanya juga tidak berubah. Hal tersebut menunjukkan bahwa
sediaan losio yang terbentuk stabil secara termodinamik.
6. Daya sebar losio
Uji daya menyebar losio dilakukan untuk mengetahui kualitas losio yang dapat
menyebar pada kulit dan dengan cepat pula memberikan efek terapinya dengan asumsi
bahwa semakin luas daya sebar suatu formula losio maka dengan cepat melepaskan efek
terapi yang diinginkan di kulit. Daya sebar yang baik dapat menjamin pelepasan bahan
obat yang memuaskan (Voight, 1989:313). Data yang diperoleh dari penelitian dapat
dilihat pada tabel 5.
Tabel 5.5. Hasil uji daya sebar losio sediaan losio ektrak alpukat-ekstrak lidah
buaya
Formula Diameter rata-rata (cm) SD
I 7,75 0,21
II 6,13 0,30
III 5,95 0,16
KN 7,93 0,11
KP 9,15 0,23
Berdasarkan data uji sifat fisik di atas, maka didapatkan persamaan SLD sebagai
berikut:
Y
koefisien sebar
= 7,75 (A) + 5,95 (B) 30,28 (A) (B)
Dari persamaan di atas maka dapat dilihat bahwa koefisien persamaan dari fraksi
ekstrak alpukat lebih tinggi daripada ekstrak lidah buaya. Hal ini berarti ekstrak alpukat
lebih dominan dalam meningkatkan daya sebar dibandingkan dengan ekstrak lidah buaya.
Dari viskositas dan daya sebar ini, dapat dilihat bahwa ekstrak lidah buaya yang
mempunyai viskositas lebih tinggi, mempunyai daya sebar yang lebih kecil. Hal ini
berarti, semakin tinggi viskositas (kekentalan) sediaan, semakin kecil daya sebarnya.
Daya sebar formula yang mengandung ekstrak ini lebih kecil dibandingkan
dengan formula kontro positif maupun negatif, karena konsentrasi zat aktifnya yang lebih
kecil atau nol.
Penetapan panjang gelombang maksimum
Panjang gelombang maksimum merupakan panjang gelombang dimana terjadi eksitasi
elektronik yang memberikan absorbansi maksimum. Penetapan panjang gelombang maksimum
ini bertujuan untuk mengetahui pada panjang gelombang berapakah larutan vitamin E dapat
menghasilkan absorbansi maksimum pada spektrofotometer Ultraviolet-Visibel. Setiap
pengukuran harus dilakukan pada panjang gelombang maksimum. Hal ini berkenaan dengan
kepekaan analisis, dimana perubahan absorbansi untuk setiap satuan konsentrasi adalah yang
paling besar pada panjang gelombang maksimum sehingga akan diperoleh kepekaan analisis
yang maksimum. Pada penetapan panjang gelombang maksimum ini, digunakan larutan yang
mengandung vitamin E dan dibaca pada spektrofotometer Ultraviolet Visibel. Dari scanning
ini, didapatkan panjang gelombang maksimum untuk vitamin E pada panjang gelombang 483nm
dengan absorban 0,3042 dan hasil spektrumnya dapat dilihat pada gambar 5.
Gambar 5.1 Scaning panjang gelombang maksimal
Panjang gelombang yang dihasilkan tidak termasuk dalam range (490-500nm)
perbedaan tersebut dikarenakan etanol 96% yang dapat menyebabkan pergeseran
hipsokromik atau pergeseran biru. Pergeseran hipsokromik adalah pergeseran serapan
kearah panjang gelombang yang lebih kecil. Hal ini dapat disebabkan karena pengaruh
pelarut (Sastrohamidjojo, 2007)
Aktivitas Antioksidan dengan Metode Ferri Tiosianat.
Pengukuran absorbansi dilakukan selama 7 hari pada semua seri kadar konsentrasi
dengan menggunakan alat spektrofotometer UV-Vis pada 500nm. Metode ini adanya aktivitas
antioksidan ditandai penurunan absorbansi, kontrol positif yang digunakan adalah vitamin E
karena vitamin E sudah terbukti aktivitas antioksidannya. Kerja antioksidan dari vitamin E yaitu
sebagai pendonor ion hidrogen yang mampu mengubah radikal peroksil (hasil peroksidasi lipid)
menjadi radikal tokoferol yang kurang reaktif, sehingga tidak mampu merusak rantai asam lemak
(Winarsi, 2007).
Hidroperoksida yang terbentuk mengalami dekomposisi membentuk radikal lain seperti
radikal peroksil, alkoksida, dan peroksil. Radikal peroksil akan mengalami dekomposisi yang
manghasilkan O
2
dan akan mangoksidasi ion ferro (Fe
2+
) menjadi ferri (Fe
3+
) yang selanjutnya
dengan amonium tiosianat (NH
4
SCN) membentuk ferritiosianat [Fe(SCN)
3
] yang berwarna
merah dan dapat dibaca pada spektrofotometer UV
berikut :
ROO RO + O
ROOH ROH + O
O
n
+ Fe
2+
Fe
3+
+ O
O + O O
2
Fe
3+
+ NH
4
SCN
Warna merah dari pembentukan
mana menunjukan adanya senyawa radikal. Semakin tinggi intensitas warna yang terbentuk
maka semakin tinggi radikal yang terbentuk. Dengan pedoman ini maka efektifitas antioksidan
dapat diukur.
Pada metode tiosianat ini sampel di inkubasi (pada oven) pada suhu 40
berfungsi untuk mempercepat terbentuknya radikal, dan juga untuk menyesuaikan dengan suhu
tubuh yaitu 37
o
C dan dapat sesuai dengan kondisi yang ada pada tubuh manusia (Muzamilah,
2006).
Data absorbansi dari masing
Gambar 5.2. Histogram daya a
Berdasarkan data uji sifat fisik di atas, maka didapatkan persamaan SLD sebagai berikut:
Grafik Daya Antioksidan Losio Ekstrak Alpukat -
16,92
0
5
10
15
20
25
30
35
40
1
P
e
r
s
e
n
d
a
y
a
a
n
t
i
o
k
s
i
d
a
n
merah dan dapat dibaca pada spektrofotometer UV-Vis. Adapun reaksinya adalah sebagai
RO + O
ROH + O
n
+ O
[Fe(SCN)
3
] (warna merah)
Warna merah dari pembentukan kompleks warna Fe
3+
dengan tiosianat pada sampel yang
mana menunjukan adanya senyawa radikal. Semakin tinggi intensitas warna yang terbentuk
maka semakin tinggi radikal yang terbentuk. Dengan pedoman ini maka efektifitas antioksidan
de tiosianat ini sampel di inkubasi (pada oven) pada suhu 40
berfungsi untuk mempercepat terbentuknya radikal, dan juga untuk menyesuaikan dengan suhu
C dan dapat sesuai dengan kondisi yang ada pada tubuh manusia (Muzamilah,
Data absorbansi dari masing-masing formula dapat ditunjukan pada gambar
Gambar 5.2. Histogram daya antioksidan losio biji alpukat- lidah buaya
Berdasarkan data uji sifat fisik di atas, maka didapatkan persamaan SLD sebagai berikut:
Grafik Daya Antioksidan Losio Ekstrak Alpukat -
Lidah Buaya
16,92
11,28
8,34
0
1 2 3 4
Formula
Vis. Adapun reaksinya adalah sebagai
dengan tiosianat pada sampel yang
mana menunjukan adanya senyawa radikal. Semakin tinggi intensitas warna yang terbentuk
maka semakin tinggi radikal yang terbentuk. Dengan pedoman ini maka efektifitas antioksidan
de tiosianat ini sampel di inkubasi (pada oven) pada suhu 40
o
C yang mana
berfungsi untuk mempercepat terbentuknya radikal, dan juga untuk menyesuaikan dengan suhu
C dan dapat sesuai dengan kondisi yang ada pada tubuh manusia (Muzamilah,
dapat ditunjukan pada gambar 2.
lidah buaya
Berdasarkan data uji sifat fisik di atas, maka didapatkan persamaan SLD sebagai berikut:
Grafik Daya Antioksidan Losio Ekstrak Alpukat -
37,68
5
Y
daya antioksidan
= 16,92 (A) + 8,34 (B) 55,92 (A) (B)
Dari persamaan di atas maka dapat dilihat bahwa koefisien persamaan dari fraksi ekstrak
alpukat lebih tinggi daripada ekstrak lidah buaya. Hal ini berarti ekstrak alpukat lebih dominan
dalam meningkatkan daya antioksidan dibandingkan dengan ekstrak lidah buaya.
Uji SPF Sediaan
Dari uji SPF, kesemua formula hanya menunjukkan serapan di daerah panjang
gelombang 200 222 nm yang merupakan daerah serapan sinar UV C. Dari perhitungan,
didapatkan SPF Formula I sebesar 2,00, sedangkan Formula II sebesar 1,32 dan Formula III
sebesar 1,11.
Berdasarkan data uji sifat fisik di atas, maka didapatkan persamaan SLD sebagai berikut:
Y
SPF
= 2 (A) + 1,11 (B) 7,16 (A) (B)
Dari persamaan di atas maka dapat dilihat bahwa koefisien persamaan dari fraksi ekstrak
alpukat lebih tinggi daripada ekstrak lidah buaya. Hal ini berarti ekstrak alpukat lebih dominan
dalam meningkatkan SPF dibandingkan dengan ekstrak lidah buaya.
Nilai SPF yang lebih kecil dibandingkan dengan 2 tergolong dalam efek perlindungan
yang sangat kecil, sehingga hanya Formula I yang mempunyai efek tabir surya. Namun efek
protektifnya terhadap sinar UVC tergolong minimal.
Kesimpulan Dan Saran
Kesimpulan
Losio yang mengandung ekstrak alpukat tanpa ekstrak lidah buaya mempunyai sifat
fotoprotektif terhadap sinar UVC dengan kategori perlindungan yang minimal. Dilihat dari
karakteristik fisik, nilai SPF dan aktivitas antioksidan maka formula yang optimum adalah
formula losio yang mengandung ekstrak alpukat tanpa ekstrak lidah buaya.
Saran
Perlu dilakukan penyempurnaan terhadap formula losio yang memberikan karakteristik fisik
yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, Making Natural Soap from Scratch, diakses dari
http://www.cranberrylane.com/soapmaking.htm pada tanggal 30 Oktober 2010
Ansel HC. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, edisi IV. Jakarta : Universitas Indonesia
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia ed III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1994, Inventaris Tanaman Obat Indonesia (III) ,
Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia, hal 139-140
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2001, Inventaris Tanaman Obat Indonesia (I) Jilid
2, Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia, hal 265-266
Food and Drug Administration (FDA). 2003. Guidance for Industry Photosafety Testing,
Pharmacology Toxycology Coordinating Committee in the Centre for Drug Evaluation
and Research (CDER) at the FDA.
Heinrich, M., Barnes, J., Gibbons. S., and Williamson, E.M., 2010, Farmakognosi dan
Fitoterapi, diterjemahkan oleh Winnie R. Syarief, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC, hal. 305-306
Ismail, Z and Sidiqi, J., 2010, Developing Herbs for Cosmetics, Makalah dalam Seminar
Nasional Kosmetika Alami dan Presentasi Hasil Penelitian, Yogyakarta, 12 Juni 2010
Petro, A. J. 1981. Correlation of Spectrophotometric Data With Sunscreen Protection Factors.
International Journal. Cos. Sci.
Pramono, S., 2010, Khasanah dan Kekayaan Ramuan Tradisional Indonesia untuk Kecantikan,
Makalah dalam Seminar Nasional Kosmetika Alami dan Presentasi Hasil Penelitian,
Yogyakarta, 12 Juni 2010
Retief, L., McKenzie, J. M. and Koch, K. R., 2009, A Novel Approach to The Rapid Assignment
of
13
C NMR Spectra of Major Components of Vegetable Oils Such As Avocado, Mango
Kernel and Macadamia Nut Oils, Magnetic Resonance in Chemistry Journal, 47: 771
781. doi: 10.1002/mrc.2463
Rowe RC, Paul JS dan Paul JW. 2003. Handbook of Pharmaceutical Excipients,
4th
edition.
London: Chicago Pharmaceutical Press.
Soong, Y.Y and Barlow, P. J., Antioxidant activity and phenolic content of selected fruit seeds,
Food Chemistry Journal, Volume 88, Issue 3, December 2004, Pages 411-417
Subakat, N., 2010, Teknologi Formulasi dan Pengembangan Produk Kosmetika, Makalah dalam
Seminar Nasional Kosmetika Alami dan Presentasi Hasil Penelitian Yogyakarta, 12 Juni
2010