KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR MOEWARDI S U R A K A R T A 2014 2
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Demam dengue (DD) adalah penyakit demam akut selama 2-7 hari disertai dua atau lebih gejala klinis berupa nyeri kepala, nyeri retro-orbita, mialgia/ artralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan (tes tourniket positif dan petechiae) dan leukopenia. Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut dengan gejala seperti DD disertai manifestasi perdarahan yang lebih nyata (tes tourniket positif, petechiae, echimosis atau purpura, perdarahan mukosa), trombositopenia ( 100.000/L) dan kebocoran plasma akibat meningkatnya permeabilitas kapiler yang ditandai oleh peningkatan hematokrit 20%. Dengue Shock Syndrome (DSS) adalah penampilan klinis DBD yang disertai tanda-tanda kegagalan sirkulasi berupa penderita gelisah sampai penurunan kesadaran, nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (< 20 mmHg), hipotensi (tekanan sistolik < 80 mmHg), kulit dingin dan lembab, akral dingin (cappilary refill time > 2 detik), diuresis menurun sampai anuria. 2,3,4
BAB II 3
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Virus dengue dapat menimbulkan berbagai manifestasi klinis jika menyerang manusia. Mulai dari tanpa gejala (asimptomatik), demam ringan yang tidak spesifik (undifferentiated fibrile illness), demam dengue, dan sindrom shock dengue. 17 Demam dengue (DD) adalah penyakit demam akut selama 2-7 hari disertai dua atau lebih gejala klinis berupa nyeri kepala, nyeri retro-orbita, mialgia/ atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan (tes tourniket positif dan petechie) dan leucopenia. Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut dengan gejala seperti DD disertai manifestasi perdarahan yang lebih nyata (tes tourniket positif, petechie, echimosis, atau purpura, perdarahan mukosa), trombositopenia ( 100.000/L) dan kebocoran plasma akibat meningkatnya permeabilitas kapiler yang ditandai oleh peningkatan hematokrit 20 %. Dengue shock symdrome (DSS) adalah penampilan klinis DBD yang disertai tanda-tanda kegagalan sirkulasi berupa penderita gelisah sampai penurunan kesadaran, nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (< 20 mmHg), hipotensi (tekanan sistolik < 80 mmHg), kulit dingin dan lembab, akral dingin (capillary refill time > 2 detik), dieresis menurun sampai anuria. 17
2.2. Etiologi Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue termasuk grup B Arthropod borne virus (arboviruses) dan sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae yang mempunyai 4 jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN- 3 dan DEN-4. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe yang lain. Keempat jenis serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Serotipe DEN-3 4
merupakan serotipe yang dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat. 2,3
Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini tapi merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk aedes tersebut dapat menularkan virus dengue ke manusia baik secara langsung yaitu setelah menggigit orang yang sedang mengalami viremia maupun secara tidak langsung yaitu setelah melalui masa inkubasi dalam tubuhnya selama 8-10 hari (extrinsic incubation period). Pada manusia diperlukan waktu 4-6 hari (intrinsic incubation period) sebelum menjadi sakit setelah virus masuk ke dalam tubuh. Pada nyamuk, sekali virus dapat masuk dan berkembangbiak di dalam tubuhnya, maka nyamuk tersebut akan menularkan virus selama hidupnya (infektif). Sedangkan pada manusia, penularan hanya dapat terjadi pada saat tubuh dalam keadaan viremia yang timbul pada saat menjelang gejala klinik tampak hingga 5 - 7 hari setelahnya. 2,3
2.3. Epidemiologi DBD pertama kali ditemukan di Filipina pada tahun 1953 dan pada tahun 1956 ditemukan virus dengue pada isolasi darah penderita DBD. Selama tiga dekade, DBD juga ditemukan di wilayah asia tenggara termasuk Indonesia dan kepulauan pasifik. Sejak tahun 1960, jumlah penderita DBD mengalami peningkatan, menyebar dari satu daerah ke daerah lain di daerah endemik. Hal ini tergantung dari musim. Pada saat itu, dilaporkan 1.070.207 kasus dan 42.808 kematian yang disebabkan oleh DBD, dan kebanyakan adalah anak-anak. DBD termasuk dalam salah satu penyakit yang menyebabkan hospitalisasi pada penderita dan kematian anak di negara-negara tropis di Asia. 5 Di Indonesia infeksi virus dengue pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologi baru diperoleh pada tahun 1970. Setelah itu berturut-turut dilaporkan kasus dari kota di Jawa 5
maupun dari luar Jawa dan pada tahun 1994 telah menyebar ke seluruh propinsi yang ada. Setelah kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan virus dengue di Indonesia, jumlah orang yang menderita DBD makin bertambah dan menyebar di 27 propinsi di Indonesia. Sampai saat ini 200 kota telah melaporkan kejadian luar biasa. Insiden rate meningkat dari 0,005 per 100.000 penduduk pada tahun 1968 menjadi 6-27 per 100.000 penduduk pada tahun terakhir ini. Pada saat ini jumlah kasus masih tetap tinggi, rata- rata 10-25 per 100.000 penduduk, namun angka kematian telah menurun bermakna menjadi < 2%. 4
2.4. Patofisiologi Dan Patogenesis Ada dua patofisiologi utama pada DBD, yaitu : pertama, meningkatnya permeabilitas kapiler yang menghasilkan kebocoran plasma dan hal ini menyebabkan hipovolemia, hemokonsentrasi serta renjatan ; kedua, adanya hemostasis yang abnormal, melibatkan perubahan pembuluh darah, trombositopeni dan koagulopati. Sistem vaskuler Patofisiologi primer DBD dan DSS adalah peningkatan akut permeabilitas vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Volume plasma menurun lebih dari 20% pada kasus-kasus berat. Tidak terjadinya lesi destruktif nyata pada vaskuler, menunjukkan bahwa perubahan sementara fungsi vaskuler diakibatkan suatu mediator kerja singkat. Jika penderita sudah stabil dan mulai sembuh, cairan ekstravasasi diabsorbsi dengan cepat, menimbulkan penurunan hematokrit. Perubahan hemostasis pada DBD dan DSS melibatkan 3 faktor : perubahan vaskuler, trombositopeni dan kelainan koagulasi. Hampir semua penderita DBD mengalami peningkatan fragilitas vaskuler dan trombositopeni, dan banyak diantaranya penderita menunjukkan koagulogram yang abnormal. 6
6
Hemostasis yang abnormal menyebabkan bermacam-macam manifestasi perdarahan. Penyebab perdarahan pada DBD sangat komplek dan mungkin melibatkan satu atau lebih dari trombositopeni, kerusakan pembuluh darah kecil, gangguan fungsi trombosit dan diseminated intravasculan coagulation (DIC). Kerusakan trombosit dapat secara kualitatif maupun kuantitatif. Oleh karena itu, pasien dengan trombosit lebih dari 100.000/ mm 3 mungkin didapat waktu perdarahan yang memanjang. DIC terjadi pada renjatan berkepanjangan dan berat serta menyebabkan perdarahan hebat dan irreversibel syok dengan prognosis buruk. 2 Adanya ikatan antigen-antibodi (komplek antibodi-virus) ini dalam sirkulasi darah akan mengakibatkan hal-hal sebagai berikut : 1. Agregasi trombosit melepaskan ADP dan mengalami metamorfosis yang kemudian kehilangan fungsi sehingga dimusnahkan sistem retikulo endotel dengan akibat trombositopeni hebat dan perdarahan. Disamping itu trombosit yang mengalami metamorfosis melepaskan faktor trombosis ke-3 yang mengakibatkan sistem pembekuan. 2. Aktivasi faktor Hageman (faktor XII) akan mengakibatkan sistem pembekuan dengan akibat terjadinya pembekuan intravaskuler yang sangat luas. Dalam proses ini plasminogen menjadi plasmin yang berperan dalam pembentukan anafilatoksin menjadi plasmin yang berperan dalam pembentukan anafilatoksin dan penghancuran fibrin menjadi fibrin degradation product. Disamping itu aktivasi faktor XII menggiatkan sistem kinin yang berperan meningkatkan permeabilitas kapiler, menurunnya faktor pembekuan yang disebabkan aktivasi sistem pembekuan dan kerusakan hati akan menambah beratnya perdarahan. 2
7
Secondary Heterologous Dengue Infection
Disimpulkan bahwa penyebab dari kebocoran plasma yang khas terjadi pada pasien DBD dan SSD disebabkan oleh kerja bersama seperti suatu konser dari aktivasi komplemen, induksi kemokin, dan kematian sel apoptotik. Bila terjadi hipovolemi akibat kebocoran plasma maka tubuh akan melakukan kompensasi melalui mekanisme neurohumoral yang akan meningkatkan kemampuan kardiovaskuler sehingga tekanan darah bisa dipertahankan. Akibat kompensasi ini maka terjadi takikardia, vasokonstriksi, penyempitan tekanan nadi, akral dingin dan penurunan produksi urin. 6,12
2.5. Manifestasi Klinik Manifestasi klinis infeksi virus dengue tergantung dari berbagai faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh penderita. Terdapat berbagai keadaan mulai dari tanpa gejala (asimtomatik) demam ringan yang tidak Replikasi virus Respon antibodi sebelumnya + Komplek virus-antibodi Agregasi trombosit Pelepasan trombosit oleh RES Trombositopeni Pemakaian koagulopati Faktor pembekuan Kegagalan fungsi trombosit Pelepasan faktor III trombosit Perdarahan hebat Aktivasi koagulasi Sistem kinin Aktivasi faktor Hageman Kinin Renjatan FDP Aktivasi komplemen Anafilatoksin Permeabilitas pembuluh darah Plasmin 8
1. Demam dengue (DD) Setelah masa inkubasi 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul gejala prodromal yang tidak khas seperti nyeri kepala, sakit tulang belakang, dan rasa lelah. Tanda khas dari DD adalah peningkatan suhu mendadak, kadang-kadang disertai menggigil, sakit kepala dan flushed face (muka kemerahan). Dalam 24 jam, terasa nyeri pada belakang mata terutama pada pergerakan mata atau bila bola mata ditekan, fotofobia, dan nyeri otot serta sendi. Gejala lainnya adalah anoreksia, konstipasi, nyeri perut/kolik, nyeri tenggorok dan depresi. Gejala tersebut biasanya menetap selama beberapa hari. 2,8,10
Demam, suhu pada umumnya antara 39-40 o C, dapat bersifat bifasik, menetap antara 5-6 hari. Pada awal fase demam timbul ruam menyerupai urtikaria di muka, leher, dada dan pada akhir fase demam (hari sakit ke3 atau 4), ruam akan menjadi makulopapular. Pada akhir fase demam atau awal suhu turun timbul petekie yang menyeluruh biasanya pada kaki dan tangan. Perdarahan kulit pada DD terbanyak adalah uji tourniquet positif dengan atau tanpa petekie. 2,8,10
Pada awal fase demam akan dijumpai jumlah leukosit normal, kemudian menjadi leukopenia selama fase demam. Jumlah trombosit dan semua faktor pembekuan umumnya normal. Serum biokimia dan enzim pada umumnya normal tetapi enzim hati dapat meningkat. 2,8,10
2. Demam berdarah dengue (DBD) Terdapat empat gejala utama DBD yaitu demam tinggi, fenomena perdarahan, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Gejala klinis diawali dengan demam mendadak, disertai dengan muka kemerahan (facial flush) dan gejala klinis lain yang tidak khas menyerupai gejala DD. Keempat gejala utama DBD adalah : a. Demam 9
Penyakit didahului demam tinggi mendadak, terus menerus berlangsung 2-7 hari dengan sebab yang tidak jelas dan hampir tidak bereaksi terhadap pemberian antipiretik (mungkin hanya turun sedikit kemudian naik kembali). Bila tidak disertai syok maka demam akan turun dan penderita sembuh dengan sendirinya. Akhir fase demam merupakan fase kritis pada DBD, oleh karena fase tersebut dapat merupakan awal penyembuhan tetapi dapat pula sebagai awal fase syok. 2 b. Tanda-tanda perdarahan Penyebab perdarahan pada DBD adalah vaskulopati, trombositopeni dan gangguan fungsi trombosit serta koagulasi intravaskular yang menyeluruh. Jenis perdarahan terbanyak antara lain perdarahan kulit seperti uji tourniquet (uji Rumple Leede) positif, petekie, purpura, ekimosis, dan perdarahan mukosa seperti epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, melena. Petekie merupakan tanda perdarahan yang tersering ditemukan. Tanda ini dapat muncul pada hari-hari pertama demam. Perdarahan yang paling ringan adalah uji tourniquet positif, berarti fragilitas kapiler meningkat, namun hal ini dapat dijumpai pada penyakit virus lain (misalnya campak, demam chikungunya), infeksi bakteri dan lain- lain. Uji tourniquet positif sangat berguna apabila secara klinis diduga DBD, karena pada awal perjalanan penyakit 70,2% kasus DBD mempunyai hasil uji tourniquet positif. Uji tourniquet dinyatakan positif jika terdapat 10-20 atau lebih petekie dalam diameter 2,8 cm (1 inci persegi) di lengan bawah bagian depan (volar) dan pada lipatan siku (fossa cubiti). 2
c. Pembesaran hepar Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit, bervariasi dari hanya sekedar dapat diraba sampai 2-4 cm 10
di bawah lengkung iga kanan. Derajat pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit. Nyeri tekan di daerah hati seringkali ditemukan dan ini berhubungan dengan adanya perdarahan. 2 d. Syok Perjalanan syok tergantung pada penyakit primer penyebab renjatan, kecepatan dan jumlah cairan yang hilang, lama renjatan serta kerusakan jaringan yang terjadi, tipe dan stadium renjatan. 2
3. Dengue Shock Syndrome (DSS) Syok biasa terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara hari ke 3 sampai hari sakit ke-7. Pada kasus ringan dan sedang, semua tanda dan gejala klinis menghilang setelah demam turun. Demam turun disertai keluarnya keringat, perubahan pada denyut nadi dan tekanan darah, akral ekstremitas dingin, disertai kongesti kulit. Perubahan ini menunjukkan gejala gangguan sirkulasi, sebagai akibat dari perembesan plasma yang dapat bersifat ringan atau sementara. 2,9
Pada kasus berat, keadaan umum pasien mendadak menjadi buruk setelah beberapa hari demam. Pada saat atau beberapa saat setelah suhu turun, antara hari sakit ke 3-7, terdapat tanda kegagalan sirkulasi. Sesaat sebelum syok seringkali pasien mengeluh nyeri perut. Syok ditandai dengan kulit pucat, dingin dan lembab terutama pada ujung kaki dan tangan; anak menjadi rewel, gelisah lambat laun kesadarannya menurun menjadi apatis, sopor dan koma; denyut nadi cepat dan lemah; tekanan nadi menurun ( 20 mmHg); hipotensi (tekanan sistolik 80 mmHg); oligouri sampai anuria. Pasien dapat dengan cepat masuk ke dalam fase kritis yaitu syok berat (profound shock), pada saat itu tekanan darah dan nadi tidak terukur lagi. 2,9,11
Dengan diagnosis dini dan penggantian cairan adekuat, syok biasanya teratasi dengan segera, namun bila terlambat diketahui atau pengobatan tidak adekuat, syok dapat menjadi syok berat dengan berbagai penyulitnya seperti asidosis metabolik, perdarahan hebat saluran cerna, sehingga memperburuk prognosis. Secara klinis 11
perjalanan syok dapat dibagi dalam 3 fase yaitu fase kompensasi, dekompensasi, dan ireversibel. 12,13
Tanda klinis Kompensasi Dekompensasi Ireversibel Blood loss ( % ) Sampai 25 25 - 40 > 40 Heart rate Takikardia + Takikardia ++ Taki/bradikardia Tek. Sistolik Normal Normal/menurun Tidak terukur Nadi ( volume ) Normal/menurun Menurun + Menurun ++ Capillary refill Normal/ Meningkat>5 detik Meningkat ++ meningkat 3-5 detik Kulit Dingin, pucat Dingin/mottled Dingin/deadly pale Pernafasan Takipneu Takipneu + Sighing respiration Kesadaran Gelisah Lethargi Reaksi / hanya bereaksi thd nyeri Pemeriksaan laboratorium Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit < 100.000/l biasa ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai hematokrit. Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi. Perlu diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan atau oleh perdarahan. 2
Jumlah leukosit bisa menurun (leukopenia) atau leukositosis, limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering ditemukan pada saat sebelum suhu turun atau syok. Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma biasa ditemukan. Adanya fibrinolisis dan ganggungan 12
koagulasi tampak pada pengurangan fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III. PTT dan PT memanjang pada sepertiga sampai setengah kasus DBD. Fungsi trombosit juga terganggu. Asidosis metabolik dan peningkatan BUN ditemukan pada syok berat. 2
Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu menggambarkan derajat kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan tekanan darah dan tekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak terlalu sensitif. Untuk Puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan dengan menggunakan Hb. Sahli dengan estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb. 2
Pemeriksaan Radiologis Pada foto rontgen dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemithoraks kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemithoraks. Pemeriksan foto rontgen dada sebaiknya dilakukan dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur disisi badan sebelah kanan). Ascites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG. 2
Pemeriksaan Serologi Merupakan salah satu pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis infeksi virus dengue. Pemeriksaan serologi terdapat 4 jenis uji serologi yang biasa dipakai untuk menentukan adanya infeksi virus dengue:
13
1. Uji hemaglutinasi inhibisi (HI test) 2. Uji komplemen fiksasi (Complement Fixation Test = CF test) 3. Uji neutralisasi (Neutralization test = NT test) 4. Uji Eliza Pemeriksaan serologi yang banyak dipakai yaitu uji Hemaglutinasi Inhibisi dan uji Eliza. 3
Hemaglutinasi Inhibisi Sampai sekarang ini uji HI masih menjadi patokan baku WHO untuk konfirmasi dan klasifikasi jenis infeksi virus dengue. Prinsip metode ini adalah mengukur kadar Ig M dan Ig G melalui prinsip adanya kemampuan antibodi antidengue menghambat reaksi hemaglutinasi darah angsa. 3
Eliza Uji Eliza mempunyai sensitivitas yang sama dengan uji H.I. Prinsip metode ini adalah mendeteksi adanya antibodi Ig M dan Ig G dalam serum penderita dengan cara menangkap antibodi yang beredar dalam darah penderita. Uji Eliza ini tidak mengadakan reaksi silang dengan golongan flaviirus yang lain, sehingga metode ini lebih spesifik dibandingkan metode H.I. 3
2.6. Diagnosis Untuk menegakkan diagnosis DBD didasarkan pada kriteria menurut WHO (1997), yaitu : 4
1. Kriteria Klinis a. Panas tinggi mendadak, terus menerus selama 2 7 hari tanpa sebab yang jelas (tipe demam bifasik) b. Manifestasi perdarahan - Uji Tourniquet positif - Petechie, echimosis, purpura - Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi - Hematemesis dan atau melena c. Hepatomegali 14
d. Kegagalan sirkulasi (syok) yang ditandai dengan : - Nadi cepat dan lemah - Tekanan nadi menurun ( 20 mmHg) - Hipotensi (tekanan sistolik 80 mmHg) - Akral dingin - Kulit lembab - Pasien tampak gelisah 2. Kriteria Laboratoris a. Trombositopenia (AT < 100.000/ul) b. Hemokonsentrasi ditandai dengan nilai hematokrit lebih dari atau sama dengan 20% dibandingkan dengan masa konvalesen yang dibandingkan dengan nilai Hct sesuai umur, jenis kelamin dari populasi. Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan hemo- konsentrasi (atau peningkatan hematokrit) cukup untuk menegakkan diagnosis klinis DBD. Efusi pleura dan atau hipoalbuminemia dapat memperkuat diagnosis terutama pada pasien anemi dan atau terjadi perdarahan.Pada kasus syok, adanya peningkatan hematokrit dan adanya trombositopenia mendukung diagnosis DBD. 2
2.7. Derajat Penyakit Mengingat derajat beratnya penyakit yang bervariasi dan sangat erat kaitannya dengan pengelolaan dan prognosis maka WHO (1997) membagi DBD dalam derajat setelah kriteria laboratoris terpenuhi yaitu : 2
Derajat I : Demam disertai gejala tidak khas dan satu satunya manifestasi perdarahan adalah uji tourniquet positif. Derajat II : Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lain. Derajat III : Terdapat kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lembut, tekanan nadi menurun (<20mmHg) atau hipotensi disertai kulit dingin, lembab dan penderita menjadi gelisah. 15
Derajat IV: Renjatan berat dengan nadi yang tak teraba dan tekanan darah yang tak terukur, kesadaran amat menurun.
2.8. Komplikasi Komplikasi yang harus diwaspadai, antara lain : 4
a. Ensefalopati dengue, dapat terjadi pada DBD dengan atau tanpa syok. Evaluasi gejala sisa SSP sangat penting, mengingat organ ini sangat sensitif terhadap hipoksia yang dapat terjadi pada renjatan berkepanjangan. b. Kelainan ginjal, akibat syok berkepanjangan dapat terjadi gagal ginjal akut. c. Edema paru, seringkali terjadi akibat overloading cairan. d. Depresi miokard-gagal jantung. e. Gangguan koagulasi/ pembekuan (DIC).
2.9. Diagnosis Banding 1. Pada awal perjalanan penyakit, diagnosis banding mencakup infeksi bakteri, virus atau protozoa seperti demam tifoid, campak, influenza, hepatitis, demam chikungunya, leptospirosis dan malaria. 2. Idiopatic Thrombocytopenic Purpura (ITP). 3. Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit infeksi, misalnya sepsis, meningitis meningokokus; leukemia atau anemia aplastik.
2.10. Penatalaksanaan Pengobatan DBD bersifat suportif. Tatalaksana didasarkan atas adanya perubahan fisiologi berupa perembesan plasma dan perdarahan. Perembesan plasma dapat mengakibatkan syok, anoksia, dan kematian. Deteksi dini terhadap adanya perembesan plasma dan penggantian cairan yang adekuat akan mencegah terjadinya syok. Perembesan plasma biasanya terjadi pada saat peralihan dari fase demam (fase febris) ke fase 16
penurunan suhu (fase afebris) yang biasanya terjadi pada hari ketiga sampai kelima. Oleh karena itu pada periode kritis tersebut diperlukan peningkatan kewaspadaan. Adanya perembesan plasma dan perdarahan dapat diwaspadai dengan pengawasan klinis dan pemantauan kadar hematokrit dan jumlah trombosit. Pemilihan jenis cairan dan jumlah yang akan diberikan merupakan kunci keberhasilan pengobatan. Pemberian cairan plasma, pengganti plasma, tranfusi darah, dan obat-obat lain dilakukan atas indikasi yang tepat. 9,13
Penggantian Volume Plasma Segera Pengobatan awal cairan intravena larutan ringer laktat > 20 ml/kg BB. Tetesan diberikan secepat mungkin maksimal 30 menit. Pada anak dengan berat badan lebih, diberi cairan sesuai berat BB ideal dan umur 10 cc/kg BB/jam, bila tidak ada perbaikan pemberian cairan kristoloid ditambah cairan koloid. Apabila syok belum dapat teratasi setelah 60 menit beri cairan kristaloid dengan tetesan 10ml/kg BB/jam bila tidak ada perbaikan stop pemberian kristaloid dan beri cairan koloid (dekstran 40 atau plasma) 10 ml/kg BB/jam. Pada umumnya pemberian koloid tidak melebihi 30 ml/kg BB. Maksimal pemberian koloid 1500 ml/hari, sebaiknya tidak diberikan pada saat perdarahan. Setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid dan koloid syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit turun, diduga sudah terjadi perdarahan; maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Apabila kadar hematokrit tetap > tinggi, maka berikan darah dalam volume kecil (10 ml/kg BB/jam) dapat diulang sampai 30 ml/kgBB/24 jam. Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infus dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis dankadar hematokrit. 9
Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah membaik dan kadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kg BB/jam dan kemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam. Pemasangan CVP yang ada kadangkala pada pasien SSD berat, saat ini tidak dianjurkan lagi. 17
Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun, dibandingkan nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin/ml/kg BB/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaaan sirkulasi membaik. Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam syok teratasi. Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah yang berlebih pada saat terjadi reabsorpsi plasma dari ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar hematokrit setelah pemberian cairan rumatan), maka akan menyebabkan hipervolemia dengan akibat edema paru dan gagal jantung. Penurunan hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini jangan dianggap sebagai tanda perdarahan, tetapi disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah normal, diuresis cukup, tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi. 9
Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien DBD/ SSD, maka analisis gas darah dan kadar elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks. Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan dilakukan koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai akibat KID, tidak akan tejadi sehingga heparin tidak diperlukan. 9
Pemberian Oksigen Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua pasien syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus diingat pula pada anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker oksigen. 9
Transfusi Darah Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada setiap pasien syok, terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged 18
shock). Pemberian transfusi darah diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata. Kadangkala sulit untuk mengetahui perdarahan interna (internal haemorrhage) apabila disertai hemokonsentrasi. Penurunan hematokrit (misalnya dari 50% menjadi 40%) tanpa perbaikan klinis walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan. Pemberian darah segar dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan karena cukup mengandung plasma, sel darah merah dan faktor pembesar trombosit. Plasma segar dan atau suspensi trombosit berguna untuk pasien dengan KID dan perdarahan masif. KID biasanya terjadi pada syok berat dan menyebabkan perdarahan masif sehingga dapat menimbulkan kematian. Pemeriksaan hematologi seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protombin, dan fibrinogen degradation products harus diperiksa pada pasien syok untuk mendeteksi terjadinya dan berat ringannya KID. 9
Adapun penatalaksanaan DBD menurut derajatnya lihat bagan.
19
TATA LAKSANA PENATALAKSANAAN KASUS TERSANGKA DEMAM BERDARAH DENGUE DBD (Bagan 1) Tersangka DBD Demam tinggi, mendadak, terus- menerus, < 7 hari tidak disertai ISPA, badan lemah/lesu Tanda syok muntah terus menerus, kesadaran menurun Kejang, muntah darah, berak darah, berak hitam Ada kedaruratan Tidak ada kedaruratan Periksa uji tourniquet Perhatikan untuk orang tua: pesan bila timbul tanda syok : gelisah, lemah, kaki tangan dingin, sakit perut, berat hitam, kencing berkurang. Lab Hb/Ht naik dan trombosit turun Uji tourniquet (-) Uji Tourniquet (+) Jumlah trombosit < 100.000/ul Jumlah trombosit > 100.000/ul - Rawat jalan - Parasetamol - Kontrol tiap hari sampai demam hilang Nilai tanda klinis & jumlah trombosit, Ht bila masih demam hari sakit ke-3 Rawat Inap Rawat Jalan Minum banyak, Parasetamol bila perlu Kontrol tiap hari sp demam turun. Bila demam menetap periksa Hb.Ht, AT. segera bawa ke rumah sakit
20
PENATALAKSANAAN KASUS DBD DERAJAD I DAN II TANPA PENINGKATAN HEMATOKRIT (Bagan 2)
DBD Derajad I Gejala klinis : demam 2-7 hari Uji tourniquet positif Lab. hematokrit tidak meningkat trombositopeni (ringan) Pasien Masih dapat minum Beri minum banyak 1-2 liter/hari atau 1 sd. mkn tiap 5 menit. Jenis minuman; air putih teh manis, sirup, jus buah, susu, oralit Bila suhu > 38,5 derajad celcius beri parasetamol Bila kejang beri obat antikonvulasif Pasien tidak dapat minum Pasien muntah terus menerus Pasang infus NaCl 0,9%: Dekstrosa 5% (1:3) tetesan rumatan sesuai berat badan Periksa Hb, Ht, trombosit tiap 6-12 jam Ht naik dan atau trombositopeni Infus ganti ringer laktat (tetesan disesuaikan, lihat Bagan 3) Perbaikan klinis dan laboratoris Pulang Kriteria memulangkan pasien : 1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik 2. Nafsu makan membaik 3. Secara klinis tampak perbaikan 4. Hematokrit stabil 5. Tiga hari setelah syok teratasi 6. Jumlah trombosit lebih dari 50.000/ml 7. Tidak dijumpai distress pernafasan 21
PENATALAKSANAAN KASUS DBD DERAJAD II DENGAN PENINGKATAN HEMATOKRIT (Bagan 3)
Perbaikan DB Derajad I + perdarahan spontan Hemokonsentrasi & Trombositopeni Cairan awal RL/NaCl 0,9% atau RLD5%/NaCl 0,9 + D 5% 6 7 ml/kgBB/jam Monitor Tanda Vital/Nilai Ht & trombosit tiap 6 jam Tidak Ada Perbaikan DBD Derajat II Tidak gelisah Nadi kuat Tek Darah stabil Diuresis cukup (1 ml/kgBB/jam) Ht Turun (2x pemeriksaan) Gelisah Distres pernafasan Frek.nadi naik Ht tetap tinggi/naik Tek. Nadi < 20 mmHg Diuresis kurang/tidak ada Tanda Vital memburuk Ht meningkat Tetesan dikurangi Tetesan dinaikkan 10-15 ml/kgBB/jam (bertahap) Perbaikan 5 ml/kgBB/jam Evaluasi 15 menit Perbaikan Tanda vital tidak stabil Sesuaikan tetesan 3 ml/kgBB/jam IVFD stop setelah 24-48 jam apabila tanda vital/Ht stabil dan diuresis cukup Distress pernafasan, Ht naik, tek. Nadi 20mmHg Ht turun Koloid 20-30 ml/kgBB Transfusi darah segar 10 ml/kgBB Perbaikan 22
PENATALAKSANAAN KASUS SSD ATAU DBD DERAJAD III DAN IV (Bagan 4)
Ht turun + Transfusi fresh blood 10 ml/kg Dapat diulang sesuai kebutuhan
Ht tetap tinggi/naik + Koloid 20 ml/kgBB
Syok teratasi
Cairan 10 ml/kgBB/jam
23
BAB II STATUS PENDERITA
I. Identitas Penderita Nama : An. F Tanggal Lahir : 19 Juni 2006 Jenis Kelamin : Laki-laki Agama : Islam Nama Ayah : Bp. M. Pekerjaan Ayah : Swasta Nama Ibu : Ny. S Pekerjaan Ibu : Ibu rumah tangga Alamat : Sumberejo Krebet Masaran, Sragen Tanggal Masuk : 2 Mei 2014 Tanggal Pemeriksaan : 7 Mei 2014 No. CM : 83 41 90 II. Anamnesis A. Keluhan Utama Panas B. Riwayat Penyakit Sekarang (Alloanamnesis) Sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit penderita merasakan badannya panas. Panas dirasakan sumer-sumer. Panas dirasakan sejak malam hari ( jam 20.00 WIB), dan hingga esok harinya panas tidak turun. Kemudian oleh ibu penderita diberi obat penurun panas. Panas mulai berkurang, tapi penderita kemudian merasa mual, dan penderita tidak mau makan. Mencret (-), gusi berdarah (+) sedikit, mimisan (-), batuk (-), pilek (-), sakit tenggorok (-). Dua hari sebelum masuk rumah sakit penderita tiba-tiba panas disertai menggigil, dan oleh orang tuanya dibawa ke RSDM. Keluarga penderita menolak rawat inap, dan diberi obat (orang tua penderita lupa), 24
panas turun tapi penderita masih merasa mual. Sejak siang hari penderita tidak mau makan, dan minum hanya sedikit ( 3 gelas belimbing). Lima jam sebelum masuk rumah sakit penderita mengeluh perutnya sakit sekali, dan penderita juga mulai mengigau. Penderita tidak menjawab tiap kali ditanya oleh keluarganya, dan terus menerus mengigau, serta tampak pucat dan kulitnya dingin. Kemudian penderita dibawa ke RSDM lagi, masuk rumah sakit sekitar jam 20.00 WIB dan penderita disarankan untuk mondok.Panas (-), mual (+),muntah (+) 2x isi makanan dan air, mencret (-), gusi berdarah (+) sedikit, mimisan (-), BAK terakhir 4 jam sebelum masuk rumah sakit (1/4 gelas aqua) dan penderita tidak mau makan sejak pagi hari. C. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat sakit serupa : disangkal Riwayat imunisasi : (+) lengkap Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal D. Riwayat Imunisasi Jenis I II III IV BCG 2 bulan - - - DPT 2 bulan 3 bulan 4 bulan - POLIO 2 bulan 3 bulan 4 bulan 9 bulan Hepatitis 3 bulan 4 bulan 9 bulan - Campak 9 bulan - - -
E. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat sakit serupa : disangkal Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal Riwayat sakit demam berdarah : (+) guru dan teman penderita III. Pemeriksaan Fisik (7 Mei 2014) A. Keadaan Umum : tampak pucat, gelisah, apatis, gizi kesan baik Berat badan : 18,5 kg 25
Tinggi badan : 117 cm Lingkar perut : 58,5 cm B. Tanda vital Tekanan Darah : 90/60 mmHg Nadi : 124 x/menit, regular, teraba lemah, simetris Laju Pernapasan : 32 x/menit, tipe torakoabdominal Suhu : 35,8 0 C C. Kulit : warna sawo matang, lembab, ujud kelainan kulit (- ), uji turniquet (+) D. Kepala : bentuk mesocephal, rambut hitam sukar dicabut E. Mata : conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik(-/-), air mata (+/+), Refleks cahaya (+/+), pupil isokor (3 mm/ 3 mm), bulat, di tengah, mata cekung (-/-) F. Hidung : nafas cuping hidung (-/-), sekret (-/-) G. Mulut : bibir pucat (+), sianosis (-), mukosa basah (+) H. Telinga : sekret (-), mastoid pain (-), tragus pain (-) I. Tenggorok : uvula di tengah, mukosa faring hiperemis (-), tonsil T 1 T 1
J. Leher : kelenjar getah bening tidak membesar K. Thorax Bentuk : normochest Cor Inspeksi : ictus cordis tidak tampak Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar Kanan atas : SIC II linea parasternalis dextra Kiri atas : SIC II linea parasternalis sinistra Kanan bawah : SIC IV linea parasternalis dextra Kiri bawah :SIC V linea medioclavicularis sinistra Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-) Pulmo 26
Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri, retraksi (-) Palpasi : fremitus raba dada kanan = kiri Perkusi : sonor di seluruh lapang paru Batas paru hepar : SIC VI dextra Batas paru lambung :spatium intercosta VII Sinistra Redup relatif : batas paru hepar Redup absolut : hepar Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan RBK (-/-), RBH (-/-), wheezing (-/-) L. Abdomen Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada Auskultasi : peristaltik (+) normal Perkusi : timpani Palpasi : supel, nyeri tekan (+), hepar teraba 3 cm BACD, lien tidak teraba, turgor kulit baik M. Ekstremitas : Akral dingin Oedema + + - - + + - -
N. Perhitungan Status Gizi 1. Secara klinis Nafsu makan : kurang Kepala : rambut jagung (-), susah dicabut (+) Mata : CA (-/-), SI (-/-) Mulut : bibir kering dan pecah-pecah (-) Ekstremitas : pitting oedem (-) 27
Status gizi secara klinis : gizi kesan baik 2. Secara Antropometri BB = 18,5 x 100 % = 82,2 % (P 3 CDC 2000) normal U 22,5
TB = 117 x 100 % = 97,5 % (P 25 CDC 2000) normal U 120
BB = 18,5 x 100 % = 86,05 % (P 25 <BB<P 50 CDC 2000) kurang TB 21,5
-2 SD > Z score > -1 SD Status gizi secara antropometri : gizi baik IV. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Darah (5 Mei 2014) Hb : 18,1 g/dL AE : 6,80 x 10 6 uL Hct : 56,6 % AL : 14,3 x 10 3 uL AT : 30 x 10 3 uL Golongan darah : B V. Resume Sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit penderita merasakan badannya panas, sumer-sumer, terus-menerus. Saat panas mulai berkurang, penderita merasa mual, tidak mau makan, dan gusi berdarah (+). Dua hari sebelum masuk rumah sakit, panas disertai menggigil, minum obat, panas turun tapi masih mual. Penderita tidak mau makan, minum hanya sedikit ( 3 gelas belimbing). Lima jam sebelum masuk rumah sakit penderita mengeluh perutnya sakit sekali dan mulai mengigau. Penderita tidak menjawab tiap kali ditanya oleh keluarganya, dan terus menerus mengigau, serta tampak pucat dan kulit dirasa dingin. Panas (-), mual (+),muntah (+) 2x isi makanan dan air,gusi berdarah (+) sedikit, BAK terakhir 4 jam sebelum masuk rumah sakit (1/4 gelas aqua) dan tidak mau makan sejak pagi hari. 28
Riwayat sakit serupa sebelumnya disangkal, riwayat sakit serupa di keluarga disangkal, riwayat sakit demam berdarah (+) pada guru dan teman penderita. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum penderita tampak pucat, gelisah, apatis, gizi baik. Berat badan : 18,5 kg Tinggi badan : 117 cm Pemeriksaan tanda vital didapatkan: Tekanan Darah : 90/60 mmHg Nadi : 124 x/menit, regular, teraba lemah, simetris Laju Pernapasan : 32 x/menit, tipe torakoabdominal Suhu : 35,8 0 C Pada kulit didapatkan uji turniquet positif.Pada palpasi abdomen nyeri tekan dan hepar teraba membesar 3 cm BACD. Selain itu pada ektremitas atas dan bawah teraba akral dingin. Dari pemeriksaan laboratorium darah (25 maret 2013) didapatkan hasil: Hb : 18,1 g/dL AE : 6,80 x 10 6 uL Hct : 56,6 % AL : 14,3 x 10 3 uL AT : 30 x 10 3 uL Golongan darah : B VI. Diagnosa Banding - DHF grade III (DSS/Dengue Syok Sindrom) - Gizi baik VII. Diagnosis Kerja - DSS/Dengue Syok Sindrom (Observasi febris hari ke-6) - Gizi baik
VIII. Penatalaksanaan - O 2 nasal 2 L/ menit 29
- Infuse RL 20 ml/kgBB bolus 30 menit 2 jalur @ 92 tpm makro, selanjutnya jika syok teratasi diberikan : infuse RL 10 ml/kgBB/jam 1 jalur 46 tpm makro - Mondok bangsal infeksi anak IX. Penulisan Resep R/ Infus Ringer Lactat flabot no VI Cum : Infuse set no I IV catheter no 22 no I imm Pro : An. F, 7 tahun X. Planning Diagnosis : - Pemeriksaan Hb, HCT, dan AT per 6 jam - Pemeriksaan lingkar perut setiap hari Monitoring : - Keadaan umum dan tanda vital tiap 4 jam - Balans cairan dan diuresis tiap 6 jam - Awasi tanda-tanda syok berulang Edukasi : - Motivasi banyak minum XI. Prognosis Ad vitam : baik Ad sanam : baik Ad fungsionam : baik
XII. Pembahasan Ringer Laktat 30
RL merupakan cairan yang paling fisiologis yang dapat diberikan pada kebutuhan volume dalam jumlah besar. RL banyak digunakan sebagai replacement therapy, antara lain untuk syok hipovolemik, diare, trauma, dan luka bakar. 15 Laktat yang terdapat di dalam larutan RL akan dimetabolisme oleh hati menjadi bikarbonat yang berguna untuk memperbaiki keadaan seperti asidosis metabolik. Kalium yang terdapat di dalam RL tidak cukup untuk pemeliharaan sehari-hari, apalagi untuk kasus defisit kalium. 15 Larutan RL tidak mengandung glukosa, sehingga bila akan dipakai sebagai cairan rumatan, dapat ditambahkan glukosa yang berguna untuk mencegah terjadinya ketosis. 15 Kemasan larutan kristaloid RL yang beredar di pasaran memiliki komposisi elektrolit Na+ (130 mEq/L), Cl- (109 mEq/L), Ca+ (3 mEq/L), dan laktat (28 mEq/L). Osmolaritasnya sebesar 273 mOsm/L. Sediaannya adalah 500 ml dan 1.000 ml. 15 Pemberian Ringer Laktat pada kasus ini bertujuan untuk menyeimbangkan cairan dan rehidrasi tubuh yang optimal. Pada kasus DSS pasien biasanya akan banyak kehilangan cairan tubuh yang di sebabkan karena suhu tubuh yang tidak seimbang. Pengobatan DSS bersifat suportif simptomatik dengan tujuan memperbaiki sirkulasi dan mencegah timbulnya renjatan dan timbulnya Koagulasi Intravaskuler Diseminata (KID). Ringer laktat biasanya terdiri dari beberapa elektrolit seperti elektrolit Na+ (130 mEq/L), Cl- (109 mEq/L), Ca+ (3 mEq/L), dan laktat (28 mEq/L). Osmolaritasnya sebesar 273 mOsm/L. Sediaannya adalah 500 ml dan 1.000 ml. 15 Pada kasus dengue syok syndrome penanganan yang utama adalah menghindari syok hipovolemik yang terjadi karena hilangnya ion dan mineral dalam tubuh. Selain pemberian terapi cairan, tirah baring merupakan salah satu penangan yang utama. 14 Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekanan darah sistolik 100 mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi 31
nadi kurang dari 100 kali per menit, dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis 0,5-1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7 mlkgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit kemudian keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 3ml/KgBB/jam. Bila 24- 48 setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta dieresis cukup maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan. 14 Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan terutama dalam 48 jam pertama sejak terjadi renjatan karena selain proses pathogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian. Oleh karena untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan nafas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium kanan dan epigastrik, serta jumlah diuresis. Diuresis diusahakan 2ml/kgBB/jam. 14
Pemantauan kadar hemoglobin, hematokrit dan jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauanperjalanan penyakit. Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka pemberian kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/KgBB dan kemudian dievaluasi setelah 20- 30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan plasma masih berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi bila nilai hematokrit menurun, berarti terjadi perdarahan (internal bleeding) maka diberikan transfuse darah segar 10ml/KgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan. 16
Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10-20 ml/KgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral dan pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30ml/KgBB (maksimal 1-1,5 l/hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18 cm H2O. Bila keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan 32
koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID,infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan tetap belum teratasi maka dapat diberikan obat inotropik / vasopresor. 16 33
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN Penatalaksanaan pada kasus Dengue Syok Syndrome harus cepat dan tepat, karena pada kasus Dengue Syok Syndrom sangat berisiko terjadinya syok berat. Jika syok sudah teratasi sebaiknya pasien tetap diawasi, hal ini berguna untuk memulihkan keadaan pasien yang banyak kehilangan cairan
SARAN Pemberian terapi cairan merupakan salah satu penatalaksanaan dalam mengatasi Dengue Syok Syndro. Cairan yang digunakan biasanya Ringer Laktat. Selain itu istirahat yang cukup dengan tirah baring dan asupan makanan yang baik merupakan salah satu terapi supportif yang bias diberikan kepada pasien dengan gejala DSS untuk memulihkan kondisi tubuh.
34
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO, 1997. Dengue Haemorrhagic Fever, 2nd edition. Geneva: WHO. 2. Sri Rejeki HH, 2002. Demam Berdarah Dengue. Naskah Lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak dan Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam Tatalaksana Kasus DBD. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 3. Staf Medis Fungsional Anak RSDM, 2004. Standar Pelayanan Medis Kelompok Staf Medis Fungsional Anak. Surakarta: RSUD Dr. Moewardi. 4. Hendarwanto, 2000. Dengue dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid 1, ed. 3., editor : HM Sjaifoellah Noer. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 5. Saford, Jay, P, 1999. Infeksi Arbovirus dalam : Harrison Prinsip-prinsup Ilmu Penyakit Dalam, vol. 2 ed.13., editor : Kurt J Isselbacher, Eugene Braunwaald, Jean Wilson, Joseeph B Martin, Anthony S Fauci, Dennis L Kasper. Jakarta: EGC. 6. Soegijanto S, 2006. Patogenesa dan Perubahan Patofisiologi Infeksi Virus Dengue. http://www.pediatrik.com. (Diakses 7 Mei 2014) 7. Wijaya H, 2006. Hubungan antara Respon Imun Humoral dengan Severitas Demam Berdarah Dengue (DBD). http://www.pediatrik.com. (Diakses 7 Mei 2014) 8. Price D, 2006. Dengue Fever. www.emedicine.com/emerg/byname/dengue- fever.htm. (Diakses 7 Mei 2014) 9. Wills B, 2006. Volume Replacement in Dengue Shock Syndrome. http://www.searo.who.int/LinkFiles/Dengue. (Diakses 7 Mei 2014) 10. Departemen IKA RSCM, 2005. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM. Jakarta: RSCM. 11. Rampengan Th, 1997. Demam Berdarah Dengue. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Jakarta: EGC. 12. Halstead S, 2000. Arbovirus dalam : Nelson Ilmu Kesehatan Anak, vol. 2, ed. 15., editor : Richard E. Behrman, RK Kliegman, AM Arvin. Jakarta: EGC. 13. Ashadi T, 2006. Terapi Cairan Intravena pada Syok Hipovolemik. http://www.pdpi.com. (Diakses 7 Mei 2014)
35
14. Mansjoer, Arif. (et al). 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 15. Mukhlis, 2006. Pengaruh Pemberian Cairan Ringer Laktat Dibandingkan NaCl Terhadap Keseimbangan Asam Basa Pada Pasien Sectio Caesaria Dengan Anestesi Regional. Tesis. Sumatra: Universitas Sumatra Utara. 16. Sudoyo, Aru W. (et al). 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 17. Hadinegoro S. R. H., Satari H. I. 2004. Demam Berdarah Dengue. Jakarta : FK-UI.