Anda di halaman 1dari 78

1

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas Laporan Hasil Penelitian Kepaniteraan Klinik
Ilmu Kesehatan Masyarakat di Puskesmas Kelurahan Cilandak Barat, mengenai Hubungan
Antara Banjir dengan Kejadian Psikosomatik pada Usia Produktif di Kelurahan Cilandak Barat.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang dihadapi. Namun,
penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan,
dorongan dan bimbingan semua pihak, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi dapat
teratasi. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-
besarnya kepada Dr. Novia I. S, M. Epid dan Dr. Aris Nurzamzami sebagai dokter pembimbing
dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Masyarakat ini.
Semoga Laporan Hasil Penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca
pada umumnya. Penulis menyadari bahwa Laporan Hasil Penelitian ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu kritik dan saran diharapkan dari para pembaca.


Jakarta, 14 Maret 2014


Penulis











2

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...1
DAFTAR ISI..2
ABSTRAK.4
BAB I PENDAHULUAN..6
1.1 LATAR BELAKANG................6
1.2 RUMUSAN MASALAH................7
1.3 TUJUAN PENELITIAN.7
1.4 HIPOTESIS PENELITIAN................8
1.5 MANFAAT PENELITIAN................8
1.6 RUANG LINGKUP PENELITIAN...8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA9
2.1 DEFINISI PSIKOSOMATIK.....9
2.2 STRES DAN STRESSOR..9
2.3 PATOFISIOLOGI.11
2.4 KRITERIA KLINIS..12
2.5 MANIFESTASI KLINIS..13
2.6 PEMERIKSAAN..22
2.7 DIAGNOSIS.23
2.8 TERAPI.24
2.9 KERANGKA TEORI...27
BAB III KERANGKA KONSEP, VARIABEL PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL..28
3.1 KERANGKA KONSEP28
3.2 VARIABEL PENELITIAN..28
3.3 DEFINISI OPERASIONAL.29
BAB IV METODE PENELITIAN..33
4.1 DESAIN PENELITIAN33
4.2 TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN.33
3

4.3 POPULASI PENELITIAN...33
4.4 KRITERIA INKLUSI DAN EKSLUSI36
4.5 INSTRUMEN PENELITIAN...36
4.6 ALUR PELAKSANAAN PENELITIAN DAN PENGAMBILAN DATA.37
4.7 RENCANA PENGOLAHAN DATA...38
4.8 ANALISIS DATA38
BAB V HASIL PENELITIAN39
5.1 FAKTOR INDIVIDU...39
5.2 KARAKTERISTIK BANJIR....40
5.3 HUBUNGAN ANTARA FAKTOR INDIVIDU DAN PSIKOSOMATIK.41
5.4 HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK BANJIR DAN PSIKOSOMATIK......43
BAB VI PEMBAHASAN45
6.1 HUBUNGAN ANTARA FAKTOR INDIVIDU DAN PSIKOSOMATIK.45
6.2 HUBUNGAN ANTARA FAKTOR BANJIR DAN PSIKOSOMATIK..47
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN49
7.1 KESIMPULAN.49
7.2 SARAN.49
DAFTAR PUSTAKA..50
LAMPIRAN 1 PLAN OF ACTION (POA). ..51
LAMPIRAN 2 KUESIONER PENELITIAN .52
LAMPIRAN 3 HASIL PENGOLAHAN DATA PENELITIAN62








4

ABSTRAK
LATAR BELAKANG: Keluhan psikosomatik sering ditemukan pada praktik klinis dimana
lebih dari 50% pasien dengan keluhan fisik yang tidak mempunyai penyebab objektif dari
keluhannya itu. OBJEKTIF: Untuk menjelaskan hubungan antara faktor sosio-dermografi dan
faktor banjir dengan kejadian psikosomatik pada usia produktif di Kelurahan Cilandak Barat
periode banjir Januari 2014. METODE: Penelitian ini berjenis observasional analitik dengan
menggunakan metode cross-sectional. Sampel sebanyak 100 orang dipilih melalui purposive
sampling dan simple random sampling. Variabel diukur dengan menggunakan kuesioner
psikosomatik dari Bradford Somatic Inventory seri 21 dan kuesioner banjir dari PMI serta
dianalisa menggunakan chi-square. HASIL: Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
psikosomatik pada usia produktif di Kelurahan Cilandak Barat ialah usia (p=0.642), jenis
kelamin (p=0.780), tingkat pendidikan (p=0.00), pekerjaan (p=0.003), status marital (p=0.065),
kesiapan menghadapi banjir (p=0.009), ketinggian banjir (p=0.008), lama surutnya banjir
(p=0.007) dan kejadian banjir berulang (p=0.015). KESIMPULAN: Faktor-faktor yang
berhubungan secara bermakna antara banjir dengan kejadian psikosomatik adalah tingkat
pendidikan, pekerjaan, kesiapan menghadapi banjir, ketinggian banjir, lama surutnya banjir dan
kejadian banjir berulang.
KATA KUNCI: Banjir, psikosomatik, usia.















5

ABSTRACT
BACKGROUND: Psychosomatic complaints often found in clinical practice where more than
50% of patients with physical complaints that have no objective cause of the complaint.
OBJ ECTI VE: To explain the association between the socio-dermografic and flood as a factor
with the incidence of psychosomatic in the productive age in Puskesmas Kelurahan Cilandak
Barat flood period in January 2014. METHODS: Outcomes measured in this observational-
analytical research are based on Psychosomatic Questionnaire from Bradford Somatic Inventory
21 and Flood Questionnaire from PMI. This study uses cross-sectional methods and samples of
100 respondents were chosen by using purposive sampling technique and simple random
sampling. The factors associated with each outcomes were analyzed by using chi-square.
RESULT: Factors associated with the incidence of psychosomatic on reproductive age in
Puskesmas Kelurahan Cilandak Barat is the age (p = 0642), gender (p = 0.780), education level
(p = 0:00), occupation (p = 0.003), marital status (p = 0.065), flood preparedness (p = 0.009),
flood heights (p = 0.008), duration of flooding reflux (p = 0.007) and recurrent flooding events
(p = 0.015). CONCLUSI ON: Factors significantly associated with the incidence of
psychosomatic between flooding is the level of education, occupation, flood preparedness, flood
heights, duration of flooding reflux and recurrent flooding events.
KEY WORDS: Flood, psychosomatic, age.















6

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
Hubungan antara psikis dan somatik telah menjadi perhatian para ahli dan para peneliti
sejak dahulu. Aspek psikis dan somatik saling terkait secara erat dan tidak bisa dipisahkan antara
satu dengan lainnya. Kedua aspek saling mempengaruhi yang selanjutnya tercermin dengan jelas
dalam ilmu kedokteran psikosomatik.
Keluhan psikosomatik sering ditemukan pada praktik klinis sehari-hari. Dokter umum
juga seringkali mendapati pasien dengan keluhan psikosomatik. Kepustakaan melaporkan lebih
dari 50% pasien dengan keluhan fisik yang tidak mempunyai penyebab objektif dari keluhannya
itu. Keluhannya bisa dari kelelahan, nyeri dada, batuk, nyeri punggung, napas pendek, hingga
berbagai keluhan yang melibatkan organ tubuh.
2,3
Prevalensi distress psikologis tanpa gejala,
yaitu psikosomatik pasca bencana pada korban banjir di Kentucky, USA, pada tahun 1990
menurut penelitian yang dilakukan oleh Phifer adalah sebesar 13.2 %. Sedangkan, pada
Puskesmas Kelurahan Cilandak Barat sendiri dilaporkan angka kejadian psikosomatik sebesar 32
kasus pada Januari 2014.
Banjir adalah kata yang familiar bagi warga Jakarta. Setiap tahunnya warga dituntut
untuk bersiap menghadapi banjir. Banjir merupakan bencana alam yang terjadi secara mendadak,
yang mengakibatkan kerusakan lingkungan pemukiman, perubahan kualitas lingkungan oleh
cemaran yang ditimbulkan dan kerawanan masalah kesehatan pada masyarakat yang terkena.
Pada kejadian banjir tahun 2013, hujan dengan intensitas lebat hingga sangat lebat terjadi
merata di Jakarta. Hasil pantauan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pada
tanggal 17 Januari 2013, terdapat 9 titik lokasi pemantauan di wilayah Jabodetabek yang
memantau curah hujan lebih dari sama dengan 100 mm/hari. Lokasi-lokasi tersebut adalah
Tanjung Priok, Kemayoran, Pakubuwono, Halim Perdana Kusuma, dan lain-lain. Sedangkan
pada 12 Januari 2014 sebanyak 10 lokasi pemantauan yang mencatat curah hujan lebih dari sama
dengan 100 mm/hari.
Wilayah Kecamatan Cilandak terletak di sebelah Barat Daya Kota Jakarta di ketinggian +
50 m di atas permukaan laut dengan sudut kemiringan 0,25
o
serta curah hujan rata-rata 2.036
mm/tahun tidak merupakan pengecualian. Luas wilayah kecamatan Cilandak sendiri sebesar
17,35 m
2
terbagi dalam lima kelurahan, 46 RW dan 475 RT, adapun daerah terluas adalah
Kelurahan Cilandak Barat sebesar 6,04 km
2
sedangkan yang terkecil Kelurahan Gandaria Selatan
sebesar 1,77 km
2
. Jumlah penduduk di wilayah Kecamatan Cilandak tahun 2012 adalah 202.304
jiwa, terdiri dari penduduk pria sebanyak 102.981 jiwa dan penduduk wanita sebanyak 99.323
jiwa. Kelurahan Cilandak Barat memiliki penduduk terbanyak sebanyak 59.186 jiwa sedangkan
kelurahan Gandaria Selatan memiliki penduduk paling sedikit, yaitu 24.606 jiwa. Kelurahan
terpadat penduduknya adalah Kelurahan Pondok Labu sebanyak 15.590 jiwa/km
2
, sedangkan
yang kepadatan penduduknya terkecil adalah Kelurahan Lebak Bulus sebanyak 9.505 jiwa/km
2
.
7

Kerentanan akibat paparan banjir tampaknya lebih besar pada individual dengan
kerentanan sosial yang telah ada sebelumnya seperti faktor sosio-ekonomi, demografi, dan faktor
kesehatan. Dampak banjir terutama diperparah akibat kurangnya kesadaran masyarakat,
mobilitas terbatas atau keterbatasan kapasitas fisik, jaminan atau asuransi properti, dan jaringan
sosial yang terbatas. Dampak yang lebih besar (yang berhubungan dengan non-medis) dari
paparan banjir termasuk kerusakan properti dan kepemilikan benda lainnya, penyelamatan
(rescue) atau bantuan langsung saat banjir, evakuasi, dan konsekuensi pasca-banjir dari aspek
ekonomi.
Terjadinya genangan air di wilayah Kecamatan Cilandak selain diakibatkan oleh curah
hujan yang terus menerus juga diakibatkan oleh banjir kiriman (luapan air) dari tiga sungai yang
melalui wilayah Kecamatan Cilandak. Daerah/lokasi rawan banjir yang ada di wilayah
Kecamatan Cilandak tercatat pada tahun 2012 berkisar antara 50 cm hingga 150 cm akibat
luapan kali Krukut. Pada Januari 2013 tercatat sebanyak empat RW di Kelurahan Cilandak Barat
yang tertimpa musibah banjir.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apakah terdapat hubungan antara karakteristik (demografi dan sosio-ekonomi) dan
kejadian psikosomatik pada populasi yang terkena banjir di Kelurahan Cilandak
Barat?
2. Apakah terdapat hubungan antara kesiapan menghadapi banjir dan kejadian
psikosomatik pada populasi yang terkena banjir di Kelurahan Cilandak Barat?
3. Apakah terdapat hubungan antara banjir (ketinggian air, lama surutnya air dan
kejadian banjir berulang) dan kejadian psikosomatik pada populasi yang terkena
banjir di Kelurahan Cilandak Barat?
1.3 TUJUAN PENELITIAN
1.3.1 Tujuan Umum
Menurunkan prevalensi kesakitan/morbiditas akibat psikosomatik di Kelurahan Cilandak
Barat pasca banjir.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui hubungan antara karakteristik (demografi dan sosio-ekonomi) dan
kejadian psikosomatik pada populasi yang terkena banjir di Kelurahan Cilandak
Barat
2. Mengetahui hubungan antara kesiapan menghadapi banjir dan kejadian
psikosomatik pada populasi yang terkena banjir di Kelurahan Cilandak Barat.
3. Mengetahui hubungan antara banjir (ketinggian air, lama surutnya air dan kejadian
banjir berulang) dan kejadian psikosomatik pada populasi yang terkena banjir di
Kelurahan Cilandak Barat.


8

1.4 HIPOTESIS PENELITIAN
1. Adanya hubungan antara karakteristik (demografi dan sosio-ekonomi) dan
kejadian psikosomatik pada populasi yang terkena banjir di Kelurahan
Cilandak Barat.
2. Adanya hubungan antara kesiapan menghadapi banjir dan kejadian
psikosomatik pada populasi yang terkena banjir di Kelurahan Cilandak Barat.
3. Adanya hubungan antara banjir (ketinggian air, lama surutnya air dan kejadian
banjir berulang) dan kejadian psikosomatik pada populasi yang terkena banjir
di Kelurahan Cilandak Barat.
1.5 MANFAAT PENELITIAN
1) Bagi peneliti:
Peneliti dapat menambah pengetahuan dan pengalaman dalam melaksanakan
penelitian serta lebih memperkaya wawasan dalam bidang kesehatan masyarakat pada
umumnya terutama yang berkaitan dengan bidang yang diteliti.
2) Bagi instalasi/ profesi kedokteran:
(1) Sebagai bahan penambahan karya ilmiah pada bagian ilmu kesehatan
masyarakat
(2) Institusi terkait dapat melakukan upaya yang berkenaan dengan penurunan
angka kejadian psikosomatik di Kelurahan Cilandak Barat.
1.6 RUANG LINGKUP PENELITIAN
1.6.1 Ruang Lingkup Tempat
Ruang lingkup tempat pada penelitian ini adalah Kelurahan Cilandak Barat di Jakarta
Selatan.
1.6.2 Ruang Lingkup Waktu
Ruang lingkup waktu pada penelitian ini adalah pada bulan Januari 2014.







9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI PSIKOSOMATIK
Psikosomatik berasal dari dua kata yaitu psiko yang artinya psikis, dan soma yang artinya
tubuh. Dalam Diagnostic And Statistic Manual Of Mental Disorders edisi ke empat (DSM IV)
istilah psikosomatik telah digantikan dengan kategori diagnostik faktor psikologis yang
mempengaruhi kondisi medis.
1,2
Ilmu kedokteran psikosomatik memiliki dimensi pengertian yang sangat luas, sejalan
dengan konsep jiwa dan badan yang tidak dapat dipisahan antara satu dengan yang lain. Misi
yang diemban oleh ilmu ini antara lain mendorong dan menggali secara luas dan ilmiah
hubungan antara lain faktor-faktor biologis, psikologis, sosial, dan perilaku manusia baik yang
sehat maupun dalam keadaan sakit, dan mengintegrasikan bidang-bidang tersebut dalam
memberikan edukasi dan tatalaksana gangguan psikosomatik. Sesuai dengan definisi WHO
tahun 1994 mengenai pengertian sehat yang meliputi kesehatan fisis, psikologis, sosial, dan
spiritual. Dalam pengertian kedokteran psikosomatik secara luas, aspek bio-psiko-sosial-spiritual
tersebut sangat perlu dipahami untuk melakukan pendekatan dan pengobatan terhadap pasien
secara holistik (menyeluruh) dan ekliktik (rinci) yaitu pendekatan psikosomatik.
1

Gangguan psikosomatik adalah gangguan atau penyakit dengan gejala-gejala yang
menyerupai penyakit fisis dan diyakini adanya hubungan yang erat antara suatu peristiwa
psikososial tertentu dengan timbulnya gejala-gejala tersebut. Ada juga yang memberikan batasan
bahwa gangguan psikosomatik merupakan suatu kelainan fungsional suatu alat atau sistem organ
yang dapat dinyatakan secara obyektif, misalnya adanya spasme, hipo atau hipersekresi,
perubahan konduksi saraf dan lain-lain. Keadaan ini dapat disertai adanya kelainan
organik/struktural sebagai akibat gangguan fungsional yang sudah berlangsung lama. Pada
kenyataannya gangguan fisis dapat disebabkan oleh gangguan psikis dan sebaliknya gangguan-
gangguan psikis dapat disebabkan oleh kondisi somatik medis seseorang. Ada yang menyatakan
setiap penyakit dapat disebut psikosomatik sebab tidak ada penyakit somatik yang sepenuhnya
bebas dari gejala psikis dan sebaliknya, gangguan psikis sering bermanifestasi berupa gangguan
somatik.
1

Menurut JC Heinroth yang dimaksud dnegan gangguan psikosomatik adalah gangguan
psikis dan somatik yang menonjol dan tumpang tindih. Berdasarkan pengertian dan pernyataan
di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud gangguan atau penyakit yang ditandai oleh
keluhan-keluhan psikis dan somatik yang dapat merupakan kelainan fungsional suatu organ
dengan ataupun tanpa gejala obyektif dan dapat pula bersamaan dengan kelainan
organik/struktural yang berkaitan erat dengan stresor atau peristiwa organik tertentu. Gangguan
fungsional yang dapat ditemukan bersamaan dengan gangguan struktural organis dapat
berhubungan sebagai berikut :
1

10

Gangguan fungsional yang lama dapat menyebabkan atau mempengaruhi timbulnya
gangguan struktural seperti asma bronkial, hipertensi, penyakit jantung koroner,
artritis reumatoid, dan lain-lain.
Gangguan atau kelainan struktural dapat menyebabkan gangguan psikis dan
menimbulkan gejala-gejala gangguan fungsional seperti pada pasien dengan kanker,
penyakit jantung, gagal ginjal, dan lain-lain.
Gangguan fungsional dan struktural organik berada bersamaan oleh sebab yang
berbeda (suatu koinsidensi).
Dalam kenyataannya di klinik jarang sekali faktor psiko-emosi seperti frustasi, konflik,
ketegangan, dan sebagainya, dikemukakan sebagai keluhan utama pasien. Justru keluhan-
keluhan somatik yang beraneka ragam yang selalu ditonjolkan pasien. Keluhan-keluhan yang
dirasakan pasien pada umumnya terletak di bidang penyakit dalam seperti keluhan sistem
kardiovaskular, sistem pernafasan, saluran cerna, saluran urogenital, dan sebagainya. Keluhan-
keluhan tersebut adalah manifestasi adanya ketidakseimbangan sistem saraf autonom vegetatif
seperti sakit kepala, pusing, serasa mabuk, cenderung untuk sesak nafas, gangguan pada lambung
dan usus, diare, anoreksia, kaki dan tangan dingin, kesemutan, merasa panas atau dingin seluruh
tubuh, dam banyak lagi gejala lainnya. Seringkali keluhan berpindah-pindah dari sistem organ ke
sistem lainnya dan kemudian menghilang dalam waktu singkat.
1
2.2 STRES DAN STRESOR
2.2.1 Pengertian Stres
Stres sebenarnya secara umum memberikan pengertian gangguan psikosomatik, sehingga
tidak jarang dalam praktek kedokteran istilah stres cenderung digunakan sebagai suatu diagnosis.
Menurut Hans Selye seorang ahli fisiologi dan pakar stres yang dimaksud dengan stres ialah
suatu respons tubuh yang tidak spesifik terhadap aksi atau tuntutan atasnya. Jadi merupakan
respons automatik tubuh yang bersifat adaptif pada setiap perlakuan yang menimbulkan
perubahan fisis atau emosi yang bertujuan untuk mempertahankan kondisi fisis yang optimal
suatu organisme. Reaksi fisiologis ini disebut sebagai general adaption syndrome.

Respons tubuh
terhadap perubahan-perubahan tersebut dibagi menjadi tiga fase yaitu:
1

Alarm reaction (reaksi peringatan): Pada fase ini tubuh dapat mengatasi stresor
(perubahan) dengan baik.
The stage of resistance (reaksi pertahanan): Reaksi terhadap stresor sudah
mencapai/melampaui tahap kemampuan tubuh. Pada keadaan ini sudah dapat timbul
gejala-gejala psikis dan somatik.
Stage of exhaustion (reaksi kelelahan): Pada fase ini gejala-gejala psikosomatik
tampak dengan jelas.
Baik dari sudut pandang kedokteran maupun psikologis, dalam keadaan stres terjadi
perubahan-perubahan psikis, fisiologis, biokemis, dan lain-lain reaksi tubuh di samping adanya
proses adaptasi Pada saat perubahan itu sudah mengganggu fungsi psikis dan somatik, timbul
keadaan yang disebut distres, yang secara klinis merupakan gangguan psikosomatik. Dalam
keadaan demikian seseorang akan dibawa atau datang ke dokter dengan manifestasi gangguan
fisis seperti sakit dada, merasa berdebar-debar, sakit kepala, sakit ulu hati, dan lain-lain.
1

11

2.2.2 Pengertian Stresor
Stresor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan
dalam kehidupan seseorang. Karena adanya stresor terpaksa seseorang harus menyesuaikan diri
untuk menanggulangi stresor yang timbul. Dengan kata lain, jelas bahwa stresor ialah suatu
keadaan yang dapat menimbulkan stres. Jenis-jenis stresor dapat dikelompokkan sebagai berikut:
masalah perkawinan, keluarga, hubungan interpersonal, pekerjaan, lingkungan, hukum,
keuangan, perkembangan, penyakit fisis, dan lain-lain. Adapun yang membagi stresor menjadi:
1

Stresor fisis seperti panas, dingin, bising, dan lain sebagainya.
Stresor sosial seperti keadaan sosial, ekonomi, politik, pekerjaan, karir, masalah
keluarga, hubungan interpersonal dan lain-lain.
Stresor psikis misalnya frustasi, rendah diri, perasaan berdosa, masa depan yang tidak
jelas. dan sebagainya.
Menurut Thomas Holmes dan Richard Rahe, di dalam skala urutan penyesuaian kembali
sosial (social read justment rating scale) menuliskan 43 peristiwa kehidupan yang disertai oleh
jumlah gangguan dan stres pada kehidupan orang rata-rata, sebagai contohnya kematian
pasangan 100 unit perubahan kehidupan, perceraian 73 unit, perpisahan perkawinan 65 unit, dan
kematian anggota keluarga dekat 63 unit. Skala dirancang setelah menanyakan pada ratusan
orang dengan berbagai latar belakang untuk menyusun derajat relatif penyesuaian yang
diperlukan oleh perubahan lingkungan kehidupan. Penelitian terakhir telah menemukan bahwa
orang yang menghadapi stres umum secara optimis bukan secara pesimis adalah tidak cenderung
mengalami gangguan psikosomatik, dan jika orang tersebut mengalaminya mereka mudah pulih
dari gangguan.
3
2.3 PATOFISIOLOGI
Gangguan psikis/konflik emosi yang menimbulkan gangguan psikosomatik ternyata
diikuti oleh perubahan-perubahan fisiologis dan biokemis pada tubuh seseorang. Perubahan
fisiologi ini berkaitan erat dengan adanya gangguan pada sistem saraf autonom vegetatif, sistem
endokrin, dan sistem imun. Oleh karena itu belakangan ini perubahan-perubahan fisiologi
tersebut dapat diterangkan dalam bidang ilmu baru yaitu psiko-neuro-endokrinologi atau
psikoneuroimunologi atau psiko-neuro-imuno-endokrinologi. Perubahan pada ketiga sistem ini
terjadi secara bersamaan dan saling tumpang tindih. Beberapa teori yang menerangkan mengenai
patofisiologi gangguan psikosomatik adalah sebagai berikut:
1

Gangguan keseimbangan saraf autonom vegetatif: Pada keadaan ini konflik emosi
yang timbul diteruskan melalui korteks serebri ke sistem limbik kemudian
hipotalamus dan akhirnya ke sistem saraf autonom vegetatif. Gejala klinis yang timbul
dapat berupa hipertoni simpatik, hipotoni simpatik, hipertoni parasimpatik, ataksi
vegetatif (bila koordinasi antara simpatik dan parasimpatik sudah tidak ada lagi), dan
amfotoni (bila gejala hipertoni simpatik dan parasimpatik terjadi silih berganti).
Gangguan konduksi impuls melalui neurotransmiter: Gangguan konduksi ini
disebabkan adanya kelebihan atau kekurangan neurotransmiter di presinaps atau
adanya gangguan sensitivitas pada reseptor-reseptor postsinaps. Beberapa
neurotransmiter yang telah diketahui berupa amin biogenik antara lain noradrenalin,
dopamin, dan serotonin.
12

Hiperalgesia alat viseral: Meyer dan Gebhart (1994) mengemukakan konsep-konsep
dasar terjadinya gangguan fungsional pada organ viseral yaitu adanya visceral
hyperalgesia. Keadaan ini mengakibatkan respons refleks yang berlebihan pada
beberapa bagian alat viseral tadi. Konsep ini telah dibuktikan pada kasus-kasus non-
cardiac chest pain, non-ulcer dyspepsia, dan irritable bowel syndrome.
Gangguan sistem endokrin/hormonal: Perubahan-perubahan fisiologi tubuh yang
diakibatkan stres dapat terjadi akibat gangguan sistem hormonal. Perubahan tersebut
terjadi melalui hypothalamic-pituitary-adrenal axis. Hormon yang berperan pada jalur
ini antara lain: hormon pertumbuhan, prolaktin, ACTH, dan katekolamin.
Perubahan pada sistem imun: Perubahan tingkah laku dan stres selain dapat
mengaktifkan sistem endokrin melalui hypothalamus-pituitary axis (HPA) juga dapat
mempengaruhi imunitas seseorang sehingga mempermudah timbulnya infeksi dan
penyakit neoplastik. Fungsi imun menjadi terganggu karena sel-sel imunitas yang
merupakan immunotransmitter mengalami berbagai perubahan. Contohnya pada
keadaan depresi, jumlah neutrofil dalam sirkulasi meningkat, sedangkan jumlah sel
NK (natural killer) menurun, limfosit T dan B menurun; sel T-helper dan T-supressor
menurun. Aktivitas sel NK dan proliferasi limfosit menurun, dan produksi interferon
menurun. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi imunitas adalah sebagai berikut:
a. Kualitas dan kuantitas stres yang timbul.
b. Kemampuan individu dalam mengatasi stres secara efektif.
c. Kualitas dan kuantitas rangsang imunitas.
d. Lama stres.
e. Latar belakang lingkungan sosio-kultural pasien.
f. Faktor individu pasien (umur, jenis kelamin, status gizi).
2.4 KRITERIA KLINIS
2.4.1 Kriteria klinis gangguan psikosomatik dibagi menjadi dua, yaitu:
1

Kriteria Negatif (yang biasanya tidak ada)
Tidak didapatkan kelainan-kelainan organik pada pemeriksaan yang teliti sekalipun,
walaupun mempergunakan alat-alat canggih. Bila ada kelainan organic belum tentu
bukan psikosomatik, sebab:
Bila penyakit psikosomatik tidak diobati, dalam jangka waktu yang cukup lama
dapat menimbulkan kelainan-kelainan organik pada alat-alat yang dikeluhkan.
Secara kebetulan ada kelainan organik, tapi kelainan ini tidak dapatmenerangkan
keluhan yang ada pada pasien tersebut, yang dinamakankoinsidensi.
Sebelum timbulnya psikosomatik, telah ada lebih dahulu kelainan organiknya
tetapi tidak disadari oleh pasien. Baru disadari setelah diberitahu oleh orang lain
atau kadang-kadang oleh dokter yang mengobatinya. Hal ini membuatnya
menjadi takut, khawatir dan gelisah, yang dinamakan iatrogen.
13

Tidak didapatkan kelainan psikiatri. Tidak ada gejala-gejala psikotik yakni tidak ada
disintegrasi kepribadian, tidak ada distorsi realitas. Masih mengakui bahwa dia sakit,
masih mau aktif berobat.
Kriteria Positif (yang biasanya ada)
Keluhan-keluhan pasien ada hubungannya dengan emosi tertentu.
Keluhan-keluhan tersebut berganti-ganti dari satu sistem ke sistem lain, yang
dinamakan shifting phenomen atau alternasi.
Adanya imbalans vegetatif (ketidakseimbangan susunan saraf otonom).
Penuh dengan stress sepanjang kehidupan (stressful life situation) yang menjadi
sebab konflik mentalnya.
Adanya perasaan yang negatif yang menjadi titik tolak keluhan-keluhannya.
Adanya faktor pencetus (faktor presipitasi) proksimal dari keluhan-keluhannya.
Adanya faktor predisposisi yang dicari dari anamnesis longitudinal. Yang
membuat pasien rentan terhadap faktor presipitasi itu. Faktor predisposisi dapat
berupa faktor fisik/somatik, biologi, stigmata neurotik, dapat pula faktor psikis dan
sosiokultural.
Untuk kriteria-kriteria ini tidak perlu semuanya ada tetapi bila ada satu atau lebih,
presumtif, indikatif untuk penyakit psikosomatik.
2
2.5 MANIFESTASI KLINIS
Beberapa manifestasi klinis dari gangguan psikosomatik antara lain:
3

Terdapat suatu kondisi medis umum
Faktor psikologis secara merugikan mempengaruhi kondisi medis umum dengan cara
sebagai berikut:
- Faktor psikologis telah mempengaruhi perjalanan kondisi medis umum seperti
yang ditunjukkan oleh hubungan temporal yang erat antara faktor psikologis dan
perkembangan atau eksaserbasi dari atau keterlambatan penyembuhan dari
kondisi medis umum.
- Faktor psikologis mempengaruhi terapi kondisi medis umum.
- Faktor psikologis berperan dalam risiko kesehatan individu.
- Respon psikologis yang berhubungan dengan stres mencetuskan atau
mengeksaserbasi gejala kondisi medis umum.
Yang dimaksud dengan faktor psikologis tersebut adalah:
3

Gangguan mental mempengaruhi kondisi medis (misalnya gangguan depresi berat
memperlambat penyembuhan infark miokard).
Gangguan psikologis mempengaruhi kondisi medis (misalnya gejala depresi
memperlambat pemulihan setelah pembedahan, kecemasan mengeksasebasi asma).
14

Sifat kepribadian atau gaya menghadapi masalah mempengaruhi kondisi medis (misalnya
penyangkalan patologis terhadap kebutuhan pembedahan pada seorang pasien dengan
kanker, perilaku bermusuhan dan tertekan berperan pada penyakit kardiovaskuler).
Gangguan kesehatan maladatif mempengaruhi kondisi medis (misalnya tidak melakukan
olahraga, seks yang tidak aman, atau sikap makan yang berlebihan).
Respon fisiologis yang berhubungan dengan stres mempengaruhi kondisi medis
(misalnya eksasebasi ulkus, hipertensi, aritmia, atau nyeri kepala yang berhubungan
dengan stres).
Faktor psikologi lain yang tidak ditentukan mempengaruhi kondisi medis(misalnya faktor
personal, kultural atau religius).
2.5.1 Kelainan Spesifik Pada Gangguan Psikosomatik
1,2

1) Sistem Kardiovaskuler
Mekanisme yang terjadi pada psikosomatik dapat melalui rasa takut atau kecemasan yang
akan mempercepat denyutan jantung, meninggikan daya pompa jantung dan tekanan darah,
menimbulkan kelainan pada ritme dan EKG. Kehilangan semangat dan putus asa mengurangi
frekuensi, daya pompa jantung dan tekanan darah.

Gejala-gejala yang sering didapati antara lain
takikardia, palpitasi, aritmia, nyeri perikardial, napas pendek, lelah, merasa seperti akan pingsan,
sukar tidur. Gejala- gejala seperti ini sebagian besar merupakan manifestasi gangguan
kecemasan.
(1) Penyakit arteri koroner
---- Penyakit arteri koroner menyebabkan penurunan aliran darah ke jantung yang ditandai
oleh rasa tidak nyaman, tekanan pada dada dan jantung episodik. Keadaan ini biasanya
ditimbulkan oleh penggunaan tenaga dan stres dan dihilangkan oleh istirahat atau nitrogliserin
sublingual.

Flanders Dunbar menggambarkan pasien dengan penyakit jantung koroner sebagai
kepribadian agresif-kompulsif dengan kecenderungan bekerja dengan waktu yang panjang dan
untuk meningkatkan kekuasaan. Meyer Fiedman dan Ray Rosenman mendefinisikan kepribadian
tipe A tipe B. Kepribadian tipe A adalah berhubungan erat dengan perkembangan penyakit
jantung koroner. Mereka adalah orang yang berorientasi tindakan berjuang keras untuk mencapai
tujuan yang kurang jelas dengan cara permusuhan kompetitif. Mereka sering agresif, tidak sabar,
banyak bergerak dan berjuang dan marah jika dihalangi. Kepribadian tipe B adalah
kebalikannya. Mereka cenderung santai, kurang agresif, kurang aktif berjuang untuk mencapai
tujuannya.
---- Untuk menghilangkan ketegangan psikis yang berhubungan dengan penyakit, klinisi
menggunakan obat psikotropika, contohnya diazepam. Terapi medis harus suportif dan
menentramkan, dengan suatu penekanan psikologis untuk menghilangkan stres psikis,
kompulsivitas dan ketegangan.


15

(2) Hipertensi esensial
Penderita hipertensi tampak dari luar menyenangkan, patuh dan kompulsif walaupun
kemarahan mereka tidak di ekspresikan secara terbuka, mereka memiliki kekerasan yang
terhalangi, yang ditangani secara buruk. Mereka tampak memiliki presdiposisi untuk hipertensi,
yaitu bila terjadi stres kronis pada kepribadian kompulsif yang terpresdiposisi secara genetik
yang telah merepresi dan menekan kekerasan, dapat terjadi hipertensi. Keadaan ini cenderung
terjadi pada kepribadian tipe A.
1
Psikoterapi suportif dan dan teknik perilaku (biofeedback,
meditasi, terapi relaksasi) telah dilaporkan berguna dalam pengobatan hipertensi.
(3) Gagal jantung kongestif
Faktor psikologis seperti stres, dan konflik emosional non spesifik, sering kali bermakna
dalam memulai atau eksaserbasi gangguan. Intinya bahwa psikoterapi suportif adalah penting
pada pengobatannya.
(4) Sinkop vasomotor (vasodepressor)
Sinkop vasomotor ditandai oleh kehilangan kesadaran secara tiba-tiba yang disebabkan
oleh serangan vasovagal. Rasa khawatir atau takut akut menghambat impuls untuk berkelahi atau
melarikan diri, dengan demikian menampung darah di anggota gerak bawah, dari vasodilatasi
pembuluh darah didalam tungkai. Reaksi tersebut menyebabkan penurunan pasokan darah ke
otak, sehingga terjadi hipoksia otak dan kehilangan kesadaran.
(5) Aritmia jantung
Aritmia yang potensial membahayakan hidup kadang-kadang terjadi dengan luapan
emosional dan trauma emosional. Terapi yang digunakan untuk membantu melindungi terhadap
aritmia akibat emosi adalah psikotropika dan beta-blocker seperti propanolol.
(6) Fenomena Raynaud
Fenomena Raynaud seringkali disebabkan oleh stres eksternal. Terapi dapat diobati
dengan psikotropika suportif, relaksasi progesif atau biofeedback dan dengan melindungi tubuh
dari dingin dan menggunakan sedatif ringan.
(7) Jantung psikogenik bukan penyakit
Beberapa pasien adalah bebas dari penyakit jantung tetapi masih mengeluh gejala yang
mengarah ke jantung. Mereka seringkali menunjukkan keprihatinan morbid tentang jantung
mereka dan rasa takut akan penyakit jantung yang meningkat. Rasa takut mereka dapat terentang
dari masalah kecemasan yang dimanifestasikan oleh fobia atau hipokondriasis parah, sampai
pada keyakinan waham bahwa mereka menderita penyakit jantung. Pengobatan psikofarmaka
ditujukan pada gejala yang menonjol. Obat antiansietas dapat digunakan pada kecemasan yang
berat.


16

2) Sistem Pernapasan
(1) Asma bronkialis
Faktor genetik, alergik, infeksi, stres akut dan kronis semuanya berperan dalam
menimbulkan penyakit. Stimuli emosi bersama dengan alergi penderita menimbulkan konstriksi
bronkioli bila sistem saraf vegetatif juga tidak stabil dan mudah terangsang. Walaupun pasien
asma karateristiknya memiliki kebutuhan akan ketergantungan yang berlebihan, tidak ada tipe
kepribadian yang spesifik yang telah diindentifikasi. Pasien asmatik harus diterapi dengan
melibatkan berbagai disiplin ilmu antara lain menghilangkan stres, penyesuaian diri,
menghilangkan alergen, serta mengatur kerja sistem saraf vegetatif dengan obat-obatan.
(2) Hay fever
Faktor psikologis yang kuat berkombinasi dengan elemen energi untuk menimbulkan
Hay Fever. Faktor psikiatrik, medis, dan alergik harus dipertimbangkan sebagai terapi hay fever.
1

(3) Sindroma hiperventilasi
Sindroma hiperventilasi disebut juga dispneu nerveous (freud), pseudo-asma, distonia
pulmonal. Gambaran klinis berupa:
1,5

Parastesia, terutama pada ujung tangan dan kaki.
Gejala-gejala sentral seperti gangguan penglihatan berupa mata kabur yang
dikenal sebagai blurry eyes. Penderita juga mengeluh bingung, sakit kepala dan
pusing.
Keluhan pernafasan seperti dispneu, takipneu, batuk kering, sesak dan perasaan
tidak dapat bernafas bebas.
Keluhan jantung. Sering dijumpai kelainan yang menyerupai angina pektoris dan
juga ditemukan pada kelainan fungsional jantung dan sirkulasi.
Keluhan umum, seperti kaki dan tangan dingin yang sangat menganggu, cepat
lelah, lemas, mengantuk, dan sensitif terhadap cuaca.
3) Sistem Gastrointestinal
(1) Dispepsia fungsional
Kriteria psikologis diperlukan karena diagnosis dengan penemuan negative organis dan
keluhan vegetatif tidak mencukupi. Dari evaluasi psikis ditemukan:
Gejala bersifat neurosis.
Depresi dan anxietas.
Berkeinginan untuk dirawat dan dimanja dan untuk memiliki objek yang diinginkan.
17

Patofisiologi terjadinya sindrom dispepsia masih diperdebatkan karena penyebabnya
bersifat multi-faktorial. Peran faktor psikososial pada dispepsia fungsional sangat penting karena
dapat menyebabkan hal-hal seperti menimbulkan perubahan fisiologi saluran cerna, perubahan
penyesuaian terhadap gejala-gejala yang timbul, mempengaruhi karakter dan perjalanan
penyakitnya, serta mempengaruhi prognosis.
Beberapa faktor yang diduga menyebabkan sindrom dispepsia antara lain karena
peningkatan asam lambung, dismotilitas lambung, gastritis dan duodenitis kronis, stres
psikososial, serta faktor lingkungan dan lain-lain seperti makanan, genetik, dan sebagainya.
Rangsangan psikis/emosi sendiri secara fisiologi dapat mempengaruhi lambung dengan dua cara
yaitu:
Jalur neurogen: Rangsangan konflik emosi pada korteks serebri mempengaruhi kerja
hipotalamus anterior dan selanjutnya ke nukleus vagus, nervus vagus, lalu ke lambung.
Jalur neuro-hormonal: Rangsangan pada korteks serebri diteruskan ke hipotalamus
anterior selanjutnya ke hipofisis anterior yang mengeluarkan kortikotropin. Hormon ini
merangsang produksi asam lambung.
Faktor psikis dan emosi dapat mempengaruhi saluran cerna dan mengakibatkan perubahan
sekresi asam lambung, mempengaruhi motilitas dan vaskularisasi mukosa lambung, serta
menurunkan ambang rangsang nyeri.
(2) Ulkus peptikum
Sifat kepribadian ulkus menjadi faktor presdiposisi. Sifat kepribadiannya antara lain:
1,8

Tingkah laku: Orang tersebut biasanya tegang, selalu was-was, sangat aktif dalam
berbagaibidang. Tidak mudah menerima kenyataan bila dia gagal.
Kepandaian: Mempunyai kepandaian dalam berbagai bidang yang dikerjakan
sekaliguspada waktu yang bersamaan.
Pertanggungjawaban: Mempunyai tanggung jawab yang sangat besar bahkan sampai
memikirkanpekerjaan orang lain.
Pengenalan terhadap penyakitnya: Tidak menghiraukan penyakitnya, sering terlambat
makan, merasa sakit uluhati tapi masih mau bekerja terus, sering datang terlambat ke
dokter.
Umur: Terbanyak pada usia 30-an, karena banyak faktor stres, kesulitan dalam bidang
ekonomi dan keluarga.
Jenis kelamin/ bangsa: Laki-laki lebih sering dibandingkan wanita. Kulit hitam lebih
jarang dibandingkan kulit putih.
Faktor sosial: Sering ditemukan dikota besar dan daerah industri. Stres dan kecemasan
yang disebabkan oleh berbagai konflik yang tidak spesifik dapat menyebabkan
hiperasiditas lambung dan hipersekresi pepsin, yang menyebabkan suatu ulkus.
Psikoterapi merupakan terapi yang dapat dipakai untuk konflik ketergantungan pasien.
18

Biofeedback dan terapi relaksasi mungkin berguna. Terapi medis lain yang digunakan
antara lain cimetidine, famotidine.
(3) Kolitis ulserativa
Tipe kepribadian dari pasien dengan Kolitis ulserativa menunjukkan sifat kompulsif yang
menonjol. Pasien cenderung pembersih, tertib, rapi, tepat waktu, hiperintelektual, malu-malu,
dan terinhibisi dalam mengungkapkan kemarahan. Stres non-spesifik dapat memperberat
penyakit ini. Terapi yang dianjurkan pada kolitis ulserativa yang akut adalah psikoterapi yang
non-konfrontatif dan suportif dengan psikoterapi interpretatif selama periode tenang. Terapi
medis terdiri dari tindakan medis non-spesifik, seperti antikolinergik dan anti diare.
(4) Konstipasi psikogenik
Konstipasi dikenal sebanyak dua macam, yaitu karena gangguan fungsi (konstipasi
simpel) dan gejala suatu penyakit (konstipasi simtomatik). Pada konstipasi psikogenik termasuk
salah satu dari gangguan fungsi. BAB biasanya terjadi setelah timbul rangsangan di hipotalamus
yang diteruskan ke kolon lalu ke sfingter ani melalui saraf otonom. Pada waktu tertentu seperti
pada seseorang yang sedang murung, kecewa, putus asa, dan lain-lain, rangsangan tersebut
kemungkinan tidak muncul. Penyebabnya karena rangsangan di hipotalamus menurun sampai
tidak ada, sehingga rangsangan di kolonpun sangat berkurang. Bila hal ini terjadi berlarut-larut
dapat terjadi atoni kolon dan konstipasi kronik.
(5) Diare psikogenik
Pasien dengan diare psikogenik biasanya timbul karena adanya konflik dalam batinnya,
di mana ia tidak dapat mengatasi problem tersebut. Masalah-masalah tersebut dapat memberikan
rangsangan berlebihan pada susunan saraf pusat terutama hipotalamus yang dapat menimbulkan
hiperperistaltik.
Sifat diare psikogenik pada umumnya menunjukkan sering BAB (frekuensi yang
meningkat), bersifat lembek, hampir tidak pernah bersifat cair, jarang disertai darah dan lendir,
serta tidak pernah disertai panas. Timbulnya keluhan ini sebagai akibat dari ketegangan jiwa atau
konflik psikis yang tidak dapat diatasi oleh pasien. Keluhan lainnya seperti kembung, ruktus,
flatus, atau kadang-kadang perut dirasa tegang. Banyak pula yang mengeluhkan gejala
vasomotor, mudah berkeringat, berdebar-debar, rasa takut, lemah, pusing atau sakit kepala.
Pada umumnya pasien dengan diare psikogenik pandai menceritakan keluhan lokasi
tempat yang paling nyeri, kapan mendapat serangan, penyebaran serangan nyeri, dan sebagainya.
Timbulnya diare selalu didahului dengan konflik jiwa dan stres psikis.
4) Sistem Muskuloskeletal
(1) Artritis rematoid
Stres psikologis mungkin mempresdiposisikan pasien pada artritis rematoid dan penyakit
autoimun melalui supresi kekebalan. Orang artritik merasaterkekang, terikat dan terbatas. Karena
banyak orang artritik memiliki riwayat aktivitas fisik. Mereka seringkali memiliki rasa marah
19

yang terepresi tentang pembatasan fungsi otot-otot mereka, yang memperberat kekakuan dan
imobilitas mereka.

----Kriteria diagnostik untuk rasa sakit psikosomatik adalah:
1

Saat rasa sakit bersamaan dengan krisis emosional.
Kepribadian yang khusus.
Perbedaan frekuensi pada pria dan wanita.
Hubungan dengan gangguan psikosomatik yang lain.
Riwayat keluarga.
Hilang timbul.
Hilang pada perubahan lingkungan, pergaulan, kebudayaan.
(2) Nyeri punggung bawah
Seringkali seorang pasien dengan nyeri punggung bawah melaporkan bahwa nyerinya
dimulai saat trauma psikologis atau stres. Disamping itu reaksi pasien terhadap nyeri adalah tidak
sebanding secara emosional, dengan kecemasan dan depresi yang berlebihan.
1

5) Sistem endokrin
(1) Hipertiroidisme
Hipertiroidisme (tirotoksikosis) adalah suatu sindroma yang ditandai oleh perubahan
biokimiawi dan psikologis yang terjadi sebagai akibat dari kelebihan hormon tiroid endogen atau
eksogen yang kronis. Gejala medis yang sering muncul berupa intoleransi panas, keringat
berlebihan, diare, penurunan berat badan, takikardi, palpitasi dan muntah. Gejala dan keluhan
psikiatrik yang muncul antara lain ketegangan, eksitabilitas, iritabilitas, bicara tertekan,
insomnia, mengekspresikan rasa takut yang berlebihan terhadap ancaman kematian.
(2) Diabetes melitus
Diabetes melitus adalah suatu gangguan metabolisme dan sistem vaskuler yang
dimanifestasikan oleh gangguan penanganan glukosa, lemak, dan protein tubuh. Riwayat
herediter dan keluarga sangat penting dalam onset diabetes. Onset yang mendadak sering kali
berhubungan dengan stress emosional yang mengganggu keseimbangan homeostatik pasien yang
terpredisposisi. Menurut Meninger ada 3 gangguan mental yang dijumpai pada diabetes:
1

Depresi
Anxietas
Fatik (letih)

20

(3) Gangguan Endokrin Pada Wanita
Premenstrual syndrome (PMS), ditandai oleh perubahan subjektif mood, rasa kesehatan
fisik, dan psikologis umum yang berhubungan dengan siklus menstruasi. Secara khusus,
perubahan kadar estrogen, progesteron, dan prolaktin dihipotesiskan berperan penting sebagai
penyebab. Gejala biasanya dimulai segera setelah ovulasi, meningkat secara bertahap, dan
mencapai intensitas maksimum kira-kira lima hari sebelum periode menstruasi dimulai. Faktor
psikososial, dan biologis telah terlibat di dalam patogenesis gangguan.
1
Penderitaan menopause
(menopause distress), adalah suatu keadaan yang terjadi setelah tidak adanya periode menstruasi
selama satu tahun yang disebut menopause. Banyak gejala psikologis yang dihubungkan dengan
menopause, termasuk kecemasan, kelelahan, ketegangan, labilitas emosional, mudah marah
(iritabilitas), depresi, pening, dan insomnia. Tanda dan gejala fisik adalah keringat malam, muka
kemerahan dan kilatan panas (hot flash). Keadaan ini kemungkinan berhubungan dengan sekresi
luteinizing hormone (LH). Fungsi yang tergantung pada estrogen hilang secara berurutan dan
wanita mungkin mengalami perubahan atrofik pada permukaan mukosa, disertai oleh vaginitis,
pruritus, dispareunia, dan stenosis.
2

Wanita mungkin juga mengalami perubahan dalam metabolisme kalsium dan lemak,
kemungkinan sebagai efek sekunder dari penurunan kadar estrogen, dan perubahan tersebut
mungkin disertai oleh sejumlah masalah medis yang terjadi pada tahun-tahun pasca menopause,
seperti osteoporosis dan atero-sklerosis koroner.
Keparahan gejala menopause tampaknya berhubungan dengan kecepatan pemutusan
hormon, jumlah deplesi hormon, kemampuan konstitusional wanita untuk menahan proses
ketuaan, kesehatan dan tingkat aktivitas mereka, serta artipsikologis ketuaan bagi mereka.

Kesulitan psikiatrik yang bermakna secara klinis dapat berkembang selama siklus kehidupan fase
involusional. Wanita yang sebelumnya mengalami kesulitan psikologis, seperti harga diri yang
rendah dan kepuasan hidup yang rendah, kemungkinan rentan terhadap kesulitan selama
menopause.
1
6) Sistem Kekebalan Tubuh
(1) Penyakit infeksi
Penelitian klinis menyatakan bahwa variabel psikologis mempengaruhi kecepatan
pemulihan dari mononukleosis infeksius dan influenza. Stres dan keadaan psikologis yang buruk
menurunkan daya tahan terhadap tuberkulosis dan mempengaruhi perjalanan penyakit. Dengan
demikian perkembangan penyakit sangat dipengaruhi oleh keadaan psikologis orang.
(2) Gangguan alergi
Bukti klinis menyatakan bahwa faktor psikologis berhubungan dengan pencetus alergi.
Asma bronkial adalah contoh utama proses patologis yang melibatkan hipersensitifitas segera
yang berhubungan dengan proses psikososial.


21

7) Kulit
(1) Pruritus menyeluruhPruritus psikogenik menyeluruh adalah tidak ada penyebab organik
. Kemarahan yang terekspresi dan kecemasan yang terekspresi merupakan penyebab paling
sering, karena secara disadari atau tidak mereka menggaruk dirinya sendiri secara kasar.
(2) Pruritus setempat
Pruritus ani
Pruritus vulva
(3) Hiperhidrosis
Hiperhidrosis dipandang sebagai fenomena kecemasan yang diperantarai oleh sistem
saraf otonom. Ketakutan, kemarahan dan ketegangan dapat menyebabkan meningkatnya sekresi
keringat, karena manusia memiliki dua mekanisme berkeringat yaitu termal dan emosional.
Berkeringat emosional terutama tampak pada telapak tangan, telapak kaki dan aksila.
Berkeringat termal paling jelas pada dahi, leher, punggung tangan dan lengan bawah.
8) Nyeri Kepala
(1) Migren
Migren adalah ganguan paroksismal yang ditandai oleh nyeri kepala rekuren, dengan atau
tanpa gangguan visual dan gastrointestinal. 2/3 pasien memiliki riwayat gangguan yang sama.
Kepribadian obsesional yang jelas terkendali dan perfeksionistik, yang menekan marah, dan
yang secara genetik berpresdisposisi pada migren mungkin menderita nyeri kepala tersebut.
Mekanisme terjadinya migren psikosomatik berupa:
Vasospasme arteri serebri
Distensi arteri karotis eksterna
Edema dinding arteri
---- Pada periode prodromal migren paling baik diobati dengan Ergotamine, Tartrate
(Cafergot), dan analgetik. Psikoterapi bermanfaat untuk menghilangkan efek konflik dan stres.
(2) Tension (kontraksi otot)
Terjadi pada 80% populasi selama perode stres emosional. Kepribadian tipe A yang
tegang, berjuang keras dan kompetitif peka terhadap gangguan ini. Stres emosional sering kali
disertai kontraksi otot kepala dan leher yang lama melebihi beberapa jam dapat menyempitkan
pembuluh darah yang menyebabkan iskemia.
Gejalanya berupa nyeri tumpul dan berdenyut dimulai pada subocipitalis yang menyebar
keseluruh kepala. Kulit kepala nyeri terhadap sentuhan, biasanya bilateral dan tidak disertai
gejala prodromal seperti mual dan muntah. Onset cenderung pada sore dan malam hari. Pada
stadium awal dapat diberikan anti ansietas, pelemas otot dan pemijatan atau aplikasi panas pada
22

kepala dan leher. Jika terdapat depresi yang mendasari anti depresan perlu diberikan. Jika kronis
psikoterapi merupakan terapi pilihan.
(9) Keganasan
(1) Masalah pasien
Reaksi psikologis mereka adalah rasa takut akan kematian, cacat, ketidakmampuan, rasa
takut ditelantarkan dan kehilangan kemandirian, rasa takut diputuskan dari hubungan, fungsi
peran dan finansial, kecemasan, kemarahan, dan rasa bersalah. Setengah dari pasien kanker
menderita gangguan mental berupa gangguan penyesuaian 68%, gangguan depresi berat 13%
dan delirium 8%. Pada pasien kanker sering ditemukan pikiran dan keinginan bunuh diri.
(2) Masalah yang berkaitan dengan pengobatan
Terapi radiasi; Efek samping terapi radiasi adalah ensefalopati yang berhubungan dengan
peningkatan tekanan intrakranial.
Kemoterapi; Efek samping kemoterapi berupa mual dan muntah.
Rasa sakit; Pasien kanker dengan rasa sakit memiliki insidensi depresi dan kecemasan
yang lebih tinggi dibanding mereka yang tanpa rasa sakit.
(3) Masalah keluarga
---- Kecemasan dan depresi dalam anggota keluarga memerlukan intervensi yang aktif.
Keluarga harus memberikan pelayanan untuk pasien.
2.6 PEMERIKSAAN
Biasanya penderita datang kepada dokter dengan keluhan-keluhan, tetapi tidak
didapatkan penyakit atau diagnosis tertentu, namun selalu disertai dengan keluhan dan masalah.
Pada 239 penderita dengan gangguan psikogenik Streckter telah menganalisis gejala yang paling
sering didapati yaitu 89% terlalu memperhatikan gejala-gejala pada badannya dan 45% merasa
kecemasan, oleh karena itu pada pasien psikosomatik perlu ditanyakan beberapa faktor yaitu:
1

Faktor sosial dan ekonomi, kepuasan dalam pekerjaan, kesukaran ekonomi, pekerjaan
yang tidak tentu, hubungan dengan dengan keluarga dan orang lain, minatnya, pekerjaan
yang terburu-buru, kurang istirahat.
Faktor perkawinan, perselisihan, perceraian dan kekecewaan dalam hubungan seksual,
anak-anak yang nakal dan menyusahkan.
Faktor kesehatan, penyakit-penyakit yang menahun, pernah masuk rumah sakit, pernah
dioperasi, adiksi terhadap obat-obatan, atau tembakau.
Faktor psikologik, stres psikologik, keadaan jiwa waktu dioperasi, waktu penyakit berat,
status didalam keluarga dan stres yang timbul.

23

----Quirido membagi cara pemeriksaan dalam 3 lapangan:
2

Lapangan psikis
Lapangan sosial
Lapangan somatis
---- Yang ditujukan pada lapangan kejiwaan dinamakan psikoterapi indentik. Yang ditujukan
pada lapangan sosial dan somatik disebut psikoterapi non identik, yang terdiri dari
pemeriksaanfisik, mengobati kelainan fisik dengan obat, memperbaiki kondisi sosial ekonomi,
lingkungan, kebiasaan hidup sehat.
2.7 DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis berdasarkan DSM-IV untuk Gangguan Somatisasi:
1) Adanya riwayat keluhan-keluhan fisik yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang
berlangsung dalam periode beberapa tahun dan mencari-cari penyembuhannya atau terjadi
hambatan bermakna dalam fungsi-fungsi sosial, pekerjaan, atau area penting lainnya.
2) Setiap kriteria berikut selama ini harus terpenuhi dimana gejala-gejala individu terjadi pada
suatu waktu dalam perjalanan gangguan:
(1) 4 gejala nyeri: riwayat nyeri pada minimal 4 tempat atau fungsional (misalnya kepala,
perut, punggung, sendi, ekstremitas, dada, rektum, sewaktu koitus atau miksi).
(2) 2 gejala gastrointestinal: riwayat sedikitnya 2 gejala gastrointestinal selain nyeri
(misalnya nausea (mual), meteorismus, vomitus diluar kehamilan, diare, intoleransi
beberapa jenis makanan).
(3) 1 gejala seksual: riwayat sedikitnya ada 1 gejala seksual atau gejala reproduksi selain
nyeri (misalnya indiferen seksual, disfungsi ereksi atau ejakulasi, siklus haid iregular,
hipermenorrhea, vomitus sepanjang masa kehamilan).
(4) 1 gejala pseudoneurologis: riwayat sedikitnya 1 gejala atau defisit yang mengarah pada
suatu kondisi neurologis yang tidak hanya nyeri (gejala-gejala konversi seperti gangguan
koordinasi atau keseimbangan, paralisa atau kelemahan lokal, sukar menelan atau terasa
adanya massa di tenggorok, aphonia, retensi urinae, halusinasi, kehilangan sensasi nyeri
dan raba, visus ganda, kebutaan, tuli, kejang; gejala-gejala disosiatif seperti amnesia;
kehilangan kesadaran selain pingsan).
3)Adanya 1 atau 2:
Setelah penelitian yang sesuai; gejala-gejala pada kriteria B tidak dapat dijelaskan
berdasarkan kondisi medis umum yang dikenal atau efek langsung dari zat
(penyalahgunaan obat atau medikasi).
Ketika ada kaitan dengan suatu kondisi medis umum, keluhan-keluhan fisik atau
hambatan sosial atau pekerjaan adalah berlebihan berdasarkan riwayat,
pemeriksaan fisik atau temuan-temuan laboratorium.
24

Gejala-gejala tidak (dimaksudkan) dibuat-buat atau disengaja (seperti pada gangguan
buatan atau malingering).
Lewis memberikan beberapa kriteria khusus untuk diagnosis gangguan psikosomatik
yaitu:
1) Gejala-gejala yang didapat mempunyai permulaan, akibat, manifestasi dan jalannya yang
sangat mencurigakan akan adanya gangguan psikosomatik.
2) Dengan pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak didapatkan penyakit organik yang
dapat menyebabkan gejala-gejala.
3) Adanya suatu stres atau konflik yang menyulitkan penderita.
4) Reaksi penderita terhadap stres ini banyak hubungannya dengan gejala gejala yang
dikeluhkannya, yaitu bahwa gejala-gejala itu secara psikosomatik merupakan manifestasi
fisik dari konflik atau penyelesaian masalah yang tidak memuaskan.
5) Terjadinya stres harus memiliki korelasi antara waktu dan timbulnya keluhan, bertambah
beratnya penyakit yang ada.
Sementara itu untuk diagnosis perlu dievaluasi faktor-faktor sebagai berikut:
Komponen organik versus komponen non-organik.
Komponen fungsional nonpsikogenik versus psikogenik.
Dasar kestabilan emosi (kepribadian premorbid dan predisposisi).
Stres yang menimbulkan gejala-gejala.
Beratnya gangguan fisik atau psikologik.
2.8 TERAPI
Di Amerika Serikat 1/3 penderita yang datang berobat pada dokter umum tidak
mempunyai gangguan organik, 1/3 yang lain mempunyai gangguan organik tetapi keluhannya
berlebihan. Dengan kesabaran dan simpati banyak penderita dengan gangguan psikosomatik
dapat ditolong. Kita dapat menerangkan kepada penderita tidak dapat sesuatu dalam tubuhnya
yang rusak atau yang kurang, tidak terdapat infeksi dan kanker, hanya anggota tubuhnya bekerja
tidak teratur. Untuk menerangkan bagaimana emosi dapat mengganggu tubuh dapat diambil
contoh sehari-hari seperti orang yang malu mukanya akan menjadi merah, orang yang takut
menjadi gemetar dan pucat. Dapat dipakai perumpamaan menurut pendidikan dan pengetahuan
penderita.
---- Setelah dibuat diagnosis gangguan psikosomatik, terdapat 3 fase terapi yaitu:
2

Fase 1: Ialah fase pemeriksaan dan pemberian ketenangan, penderita dan dokter bersama-
sama berusaha dan saling membantu melalui anamnesis yang baik, pemeriksaan fisik yang teliti
dan tes laboratorium bila perlu. Diusahakan membuktikan bahwa tidak terdapat penyakit organik
25

dan dijelaskan kepada penderita tentang mekanisme fisiologik serta keterangan tentang gejala-
gejala. Berikan kesempatan kepada penderita untuk bertanya.
Fase 2: Merupakan fase pendidikan, fase ini dokter lebih banyak bicara. Untuk memberi
keterangan tentang keluhan, meyakinkan serta menenangkan pasien, dapat dikatakan antara lain:
Bahwa gejala-gejalanya benar ada, dapat dimengerti kalau ia mengeluh dan menderita.
Bahwa gejala-gejalanya sering terdapat juga pada orang lain yang sudah kita obati.
Bahwa tidak ada kanker atau penyakit berbahaya lain.
Bahwa gejala-gejala itu timbul karena ketegangan sehari-hari dan gangguan
emosional.
Bahwa gejala itu tidak akan segera hilang, diperlukan beberapa waktu, tetapi akan
hilang atau berkurang bila diobati dengan baik.
Bahwa kita semua mengalami ketegangan, kekecewaan, godaan dan kecemasan.
Bahwa kelelahan fisik atau jiwa dapat mengurangi daya tahan tubuh sehingga timbul
gejala.
Bahwa kita apabila terlalu terburu-buru akan timbul ketegangan jiwa.
Bahwa tubuh kita bereaksi terhadap ketegangan yang terlalu berat. Sering gejala
merupakan pekerjaan alat tubuh yang bekerja berlebihan.
Bahwa ini akan lebih baik bila pasien mengerti akan penyebab gejala.
Fase 3: Ialah fase keinsafan intelektual dan emosional. Pada fase ini pasien yang lebih banyak
bicara.Terjadi pengakuan, katarsis dan wawancara psikiatrik. Hal ini harus berjalan sangat
pribadi, rahasia, tanpa sering terganggu dan dalam suasana penuh kepercayaaan dan pengertian.
Dokter menjelaskan saja agar pembicaraan berjalan dengan baik, tidak terlalu menyimpang dari
pokok pembicaraan.
2

Menurut Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, komponen-komponen yang harus diperhatikan
dalam melakukan pengobatan psikosomatik adalah: 1) terapi somatik/simtomatik; 2) psikoterapi
dan sosioterapi (psikoedukasi); serta 3) psikofarmakoterapi.
1

Terdapat 3 golongan senyawa psikofarmaka:
1

1. Obat tidur (hipnotik): Diberikan dalam jangka waktu pendek 2-4 minggu. Obat yang
dianjurkan adalah senyawa benzodiazepine berkhasiat pendek seperti nitrazepam, flurazepam,
dan triazolam. Pada insomnia dengan kegelisahan dapat diberikan senyawa fenotiazin seperti
tioridazin, prometazin.


26

2. Obat penenang minor dan mayor:
- Obat penenang minor
Diazepam merupakan obat yang efektif yang dapat digunakan pada anxietas, agitasi,
spasme otot, delirium, epilepsi. Benzodiazepine hanya diberikan pada anxietas hebat maksimal 2
bulan.
- Obat penenang mayor
Yang paling sering digunakan adalah senyawa fenotiazin dan butirofenon seperti
clorpromazin, tioridazin dan haloperidol. Antidepresan yang dianjurkan adalah senyawa trisiklik
dan tetrasiklik seperti amitriptilin, imipramin, mianserin dan maprotilin yang dimulai dengan
dosis kecil yang kemudian ditingkatkan.
3. Antidepresan: Gejala-gejala psikosomatik sering bermanifestasi sebagai depresi. Obat anti
depresan klasik antara lain senyawa golongan trisiklik dan tetrasiklik (contoh : Amitriptilin,
Imipramin, Mianserin, dll). Antidepresan golongan trisiklik sudah jarang dipakai karena
memiliki efek samping yang biasa terjadi antara lain toksik terhadap jantung, aritmia, lidah
dan mulut kering, peningkatan TIO, dan sedasi yang kurang menguntungkan pada pasien
geriatri. Beberapa antidepresan baru dengan efek samping minimal antara lain:
Golongan SSRI (Selective Serotonine Reuptake Inhibitor) seperti sertralin, fluoksetin,
fluvoksamin.
Golongan SSRE (Selective Serotonine Reuptake Enhancer) seperti Venlafaksin.
Golongan RIMA (Reversible Inhibitory Monoamine Oxydase type A) seperti Moklobemid.
Golongan NaSSA (Nor-adrenaline and Serotonine Selective Anti-depressant) seperti
Mirtazapin.
Golongan Atipik seperti Trazodon dan Nefazodon.
Golongan benzodiazepin umumnya bermanfaat pada gangguan ansietas, namun pada
ansietas menyeluruh/GAD (Generalized Anxiety Disorder) dengan obat pilihan yaitu buspiron,
karena efek buspiron yang lambat maka awal pengobatan sering dikombinasikan dengan
golongan benzodiazepin.
Perlu ditegaskan ulang bahwa penggunaan psikofarmaka hendaknya bersama-sama
dengan pemberian psikoterapi yang efektif untuk hasil yang lebih baik.





27

2.9 KERANGKA TEORI





















Faktor Kerentanan Pasca Banjir
Faktor demografi : Usia, jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan,
status marital
Faktor sosio-ekonomi
Faktor keparahan banjir: ketinggian
air, lama surutnya banjir, kesiapan
menghadapi banjir, kejadian banjir
berulang
Morbiditas Psikologis
Depresi, kecemasan,
insomnia, PTSD,
psikosomatik
28

BAB III
KERANGKA KONSEP, VARIABEL PENELITIAN DAN DEFINISI
OPERASIONAL


3.1 KERANGKA KONSEP












3.2 VARIABEL PENELITIAN
3.2.1 VARIABEL BEBAS/I NDEPENDENT
1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Tingkat pendidikan
4. Pekerjaan
5. Status marital
6. Kesiapan menghadapi banjir
7. Ketinggian air saat banjir
8. Durasi lama surutnya air saat banjir
9. Kejadian banjir berulang


Usia
Jenis kelamin
Tingkat pendidikan
Pekerjaan
Status Marital
Faktor Individu
Kejadian
Psikosomatik
Ketinggian air
Lama surut
Kejadian berulang




Faktor Banjir

Individu
Kesiapan
menghadapi banjir
29

3.2.2 VARIABEL TERGANTUNG/DEPENDENT
Kejadian psikosomatik.
3.3. DEFINISI OPERASIONAL
No. Variabel Definisi Cara
Ukur
Alat
Ukur
Hasil Ukur Skala Daftar
Pustaka
1. Variabel
tergantung

Psikosomatik
Faktor
psikologis
yang
merugikan
dan
mempengaru
hi kondisi
medis pasien,
dimana
muncul
berbagai
keluhan pada
berbagai
sistem organ
(neuro,
digestif, KV,
RM, kulit,
nefrourologi,
respirasi)
yang tidak
didukung
oleh hasil
positif pada
pemeriksaan
medis. Pada
penelitian
keluhan
berdasarkan
sistem organ
yang
dirasakan
subjek
dirangkum
menjadi
psikosomatik
saja.
Wawan
cara
Kuesioner
Bradford
Somatic
Inventory
21
1. Ya, bila 14
gejala dari 21
pertanyaan
positif
2. Tidak, bila
kurang dari 14
gejala yang
ditemukan
positif
Ordinal Kaplan,
Saddock,
2010
30

No. Variabel Definisi Cara
Ukur
Alat
Ukur
Hasil Ukur Skala Daftar
Pustaka
2. Variabel
bebas

Usia

Usia subjek
saat
dilakukan
penelitian
Wawan
cara
Kuesioner 1.Middle age
(45-59 tahun)
2.Elderly (60-74
tahun)
Ordinal WHO, 2010
3. Jenis
Kelamin
Jenis kelamin
subjek yang
dilakukan
penelitian
Wawan
cara
Kuesioner 1. Laki-laki
2.Perempuan
Nominal BKKBN,
2008
4. Tingkat
Pendidikan
Pendidikan
formal
terakhir yang
sedang atau
pernah
dicapai
oleh subjek
Wawan
cara
Kuesioner 1. Pendidikan
rendah
(tamat/tidak
tamat SD, tidak
tamat SMP,
tamat SMP,
tidak tamat
SMA)
2. Pendidikan
tinggi (tamat
SMA dan
sederajat hingga
perguruan
tinggi)
Ordinal Depdikbud
RI, 2008
5. Pekerjaan Pekerjaan
subjek saat
dilakukan
penelitian
Wawan
cara
Kuesioner 1. Bekerja
2. Tidak bekerja
Ordinal Depsos RI,
2005
31

No. Variabel Definisi Cara
Ukur
Alat
Ukur
Hasil Ukur Skala Daftar
Pustaka
6. Status
Marital
Status
pernikahan
subjek yang
dilakukan
penelitian,
kemudian
digolongkan
menjadi
menikah
(married)
dan tidak
menikah
(single,
cohabitating,
separated,
divorced,
widow)
Wawan
cara
Kuesioner 1. Single
2. Married
3. Cohabitating
4. Separated
5. Divorced
6. Widow
Nominal WHO, 2010
7. Kesiapan
menghadapi
banjir
Persiapan
yang
dilakukan
subjek
sebelum
datangnya
banjir
Wawan
cara
Kuesioner
PMI
1. Memiliki
kesiapan (>50%
jawaban ya)
2. Tidak
memiliki
kesiapan (<50%
jawaban ya)
Ordinal PMI, 2013
8. Ketinggian
air saat banjir
Ketinggian
air yang
merendam
wilayah
kelurahan
Cilandak
Barat
Wawan
cara
Kuesioner 1. <50 cm
2. >50 cm
Ordinal Dinkes DKI,
2013
32

No. Variabel Definisi Cara
Ukur
Alat
Ukur
Hasil Ukur Skala Daftar
Pustaka
9. Lama
surutnya air
saat banjir
Rentang
waktu surut
banjir pada
kelurahan
Cilandak
Barat
Wawan
cara
Kuesioner 1. < 24 jam
2. > 24 jam
Ordinal Dinkes DKI,
2013
10. Kejadian
banjir
berulang
Banjir yang
terjadi rutin
atau tidaknya
setiap tahun
pada
kelurahan
Cilandak
Barat
Wawan
cara
Kuesioner 1. Setiap tahun
2. Hanya pada
tahun tertentu
Nominal Dinkes DKI,
2013














33

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 DESAIN PENELITIAN
Rancangan penelitian ini adalah observasional analitik dengan menggunakan pendekatan
cross sectional, yaitu data yang dikumpulkan sesaat atau data yang diperoleh pada saat
melakukan penelitian. Hal ini bermaksud mencari hubungan antara satu keadaan dengan keadaan
yang lain yang terdapat dalam populasi yang sama. Pendekatan tersebut berarti penelitian itu
dilakukan pada suatu saat tertentu dan tidak diikuti lebih lanjut.
4.2 TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Cilandak Barat pada bulan Januari-Februari 2014.
4.3 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN
Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh warga berusia 15-64 tahun di Kelurahan
Cilandak Barat yang tempat tinggalnya terendam banjir pada musim hujan periode Januari-
Februari 2014, yaitu di RW 1, RW 2, RW 11 dan RW 12, lebih spesifiknya pada RT yang
terendam banjir berdasarkan data dari kelurahan berjumlah 2.116 jiwa.
Sampel
Besar sampel minimal dalam penelitian ini sesuai dengan rumus berikut ini untuk
populasi infinit:




Keterangan
n
0
: Besar sampel optimal yang dibutuhkan.
z: Pada tingkat kemaknaan 95% besarnya 1,96.
p: Prevalensi distress psikologis dengan gejala psikosomatik pasca bencana pada korban
banjir di Kentucky, USA, menurut penelitian yang dilakukan oleh Phifer, et all. Tahun 1990,
yaitu sebesar = 13.2 %.
n
0
= 1,96
2
x x (1-)
(0,05)
2


n
0
= z
2
x p x q
d
2

n
0
=
34

q: Prevalensi distress psikologis tanpa gejala psikosomatik pasca bencana pada korban banjir
di Kentucky, USA, menurut penelitian yang dilakukan oleh Phifer, et all. Tahun 1990, yaitu
sebesar = 13.2 %.
d: Akurasi dari ketepatan pengukuran, untuk p = > 10% adalah 0,05.
Rumus populasi finit:





Keterangan
z : Target pada tingkat kesalahan.
n : Besar sampel yang dibutuhkan untuk populasi yang finit.
n
0
: Besar sampel dari populasi infinit.
N :Besar populasi finit (seluruh warga di kelurahan Cilandak Barat yang tempat tinggalnya
terendam banjir, yaitu di RW 1, RW 2, RW 11, dan RW 12).
d : Persisi=5%.
Rumus populasi infinit:




Rumus populasi finit:




n = _...__
1+ (/.)
n = __n
0
_
1+ (n
0
/N)

n=
n
0
= (1,96)
2
x 0,103 x 0,897
(0,05)
2


n
0
= z
2
x p x q
d
2

n
0
= 72,43
n = 72,43
1+ (72,43 / 2116)
n = __n
0
_
1+ (n
0
/N)

n 74,9
35

Sampel yang dibutuhkan sebanyak minimal 75 jiwa. Terdiri dari laki-laki atau perempuan
berusia antara 15-64 tahun yang terdapat di RW 1, RW 2, RW 11 dan RW 12 Kelurahan
Cilandak Barat yang terendam banjir.
Penelitian ini menggunakan metode cross sectional, pengambilan data sampel menggunakan
purposive sampling dari tingkat kecamatan secara umum sampai RT yang terkena banjir secara
khusus. Kemudian, pengumpulan sampel dilakukan dengan cara simple random sampling pada
tiap rumah di wilayah RT yang terendam banjir sampai melebihi jumlah minimal sampel untuk
mewakili populasi yang diteliti sesuai hasil dari penghitungan diatas, yaitu 75 jiwa.
Bagan cara pengambilan sampel:





















Kecamatan
Cilandak
Kel. Pondok
Labu
Kel. Cilandak
Barat
Kel. Cipete
Selatan
Kel. Gandaria
Selatan
Kel. Lebak
Bulus
RW2 RW3 RW4 RW5 RW6 RW7 RW8 RW9 RW10
RW1 RW13 RW12 RW11
RT10
RT11
RT12
RT13
RT8
RT6 RT5
RT6
RT11
RT9
1124
Jiwa
415
Jiwa
262
Jiwa
315
Jiwa
Purposive
sampling
Purposive
sampling

Purposive sampling
Simple random sampling
20
Responden
53
Responden
12
Responden
15
Responden
36

4.4 KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI
Kriteria Inklusi:
1. Warga kelurahan cilandak barat yang berdomisili di RW 1, RW 2, RW 11, dan RW 12
yang tempat tinggalnya terendam banjir.
2. Berusia 15-64 tahun.
3. Bersedia menjadi responden pada saat pengambilan sampel.
Kriteria Eksklusi:
1. Memiliki hendaya fisik untuk dapat berpartisipasi dalam mengisi kuesioner.
2. Memiliki ciri psikotik berupa waham untuk dapat berpartisipasi dalam mengisi kuesioner.
3. Memiliki ciri psikotik berupa halusinasi untuk dapat berpartisipasi dalam mengisi
kuesioner.
4.5 INSTRUMEN PENELITIAN
No.
INSTRUMEN FUNGSI INSTRUMEN
1.
Kuesioner Bradford
Somatic Inventory 21
Untuk mengetahui psikosomatik pada
responden.
2.
Kuesioner Palang Merah
Indonesia
Untuk mengetahui kesiapan responden dalam
menghadapi banjir.
3.
Anamnesis
Untuk mengetahui, apakah gejala-gejala yang
dirasakan dipengaruhi banjir, karakteristik
banjir dan menyingkirkan adanya cirri
psikotik pada responden.
4.
Pemeriksaan Fisik Untuk menegakkan diagnosis psikosomatik,
dimana tidak ditemukam pemeriksaan fisik
yang berarti pada responden.






37


4.6 ALUR PELAKSANAAN PENELITIAN DAN PENGAMBILAN DATA


Proposal penelitian disetujui
Pengumpulan sampel (Peneliti melakukan penyebaran
kuesioner kepada 100 responden)


Peneliti mengolah dan menganalisis
data dalam bentuk tabular, tekstular
dan grafik dengan menggunakan
Microsoft Excel, Microsoft Word
2007 dan SPSS 17.0

Penyajian data dalam bentuk laporan
penelitian dan presentasi
Drop out
Kriteria inklusi (+) Kriteria eksklusi (+)
Kuesioner kembali
Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik
Kriteria inklusi (+) Kriteria eksklusi (+) Drop out
38

4.7 RENCANA PENGOLAHAN DATA
PENGOLAHAN DATA
Data yang telah diperoleh diolah secara elektronik setelah melalui proses penyuntingan,
pemindahan data ke komputer dan tabulasi. Data yang telah terkumpul dari hasil kuesioner
diolah dan dianalisis dengan menggunakan program SPSS statistics 17.0.
4.8 ANALISIS DATA
Analisis Univariat
Analisis ini dilakukan pada masing-masing variabel. Hasil ini berupa distribusi dan persentase
pada variabel-variabel yang diteliti.
Analisis Bivariat
Analisis yang dilakukan untuk melihat ada tidaknya hubungan antara variabel bebas dengan
variabel tergantung. Dalam analisis ini, dilakukan uji prevalensi rasio untuk menilai adanya
hubungan antara semua variabel bebas dan tergantung. Uji prevalensi rasio digunakan karena
variabel bebas dan tergantung bersifat dikotomi.
















39

BAB V
HASIL PENELITIAN

Setelah dilakukan pemilihan responden berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi, sampel
yang berhasil dikumpulkan saat penelitian adalah 100 responden dari 75 sampel yang
dibutuhkan. Dari 100 responden, didapatkan 66 menderita psikosomatik (66%) sedangkan 44
lainnya (44%) tidak menderita psikosomatik.
5.1. Faktor Individu
Tabel 5.1 Distribusi Karakteristik Responden.
Faktor Individu n (%)
Usia Remaja 15 (15)
Dewasa 62 (62)
Lansia 23 (23)
Jenis Kelamin Laki-laki 51 (51)
Perempuan 49 (49)
Status Marital Menikah 61 (61)
Tidak Menikah 39 (39)
Tingkat Pendidikan Pendidikan Tinggi 47 (47)
Pendidikan Rendah 53 (53)
Pekerjaan Bekerja 53 (53)
Tidak Bekerja 47 (47)
Kesiapan Menghadapi Siap 41 (41)
40



Dari 100 sampel yang diteliti, penelitian ini melibatkan berbagai variasi usia yang
terdiri dari 15 responden (15%) remaja, 62 responden (62%) dewasa, dan 23 responden
(23%) lansia. Dimana 51 responden (51%) diantaranya berjenis kelamin laki-laki dan 49
responden (49%) lainnya berjenis kelamin perempuan. Dari total tersebut, 61 responden
(61%) sudah menikah dan 39 responden (39%) lainnya belum menikah. 47 responden
(53%) berpendidikan tinggi dan 53 respomden (47%) berpendidikan rendah. 53
responden (53%) bekerja dan 47 responden (47%) tidak bekerja. Adapun dalam hal
kesiapan menghadapi banjir, 41 responden (41%) siap menghadapi banjir, sementara 59
responden (59%) tidak siap menghadapi banjir.
5.2 Karakteristik Banjir
Tabel 5.2 Distribusi Karakteristik Banjir.











Dari 100 sampel yang diteliti, 70 responden (70%) menyatakan banjir di
lingkungannya mencapai ketinggian >50 cm, sementara 30 lainnya (30%) menyatakan
banjir di lingkungannya <50 cm. Adapun lama surut air diakui lebih dari 24 jam oleh 65
responden (65%), dan 35 responden lainnya menyatakan banjir di wilayahnya surut
dalam waktu kurang dari 24 jam. 81 responden (81%) mengaku tempat tinggalnya selalu
mengalami banjir tiap tahun di musim hujan, sementara 19 lainnya (19%) menyatakan
tempat tinggalnya tidak selalu mengalami banjir tiap tahunnya.

Banjir
Tidak Siap 59 (59)
Karakteristik Banjir n (%)
Ketinggian Air >50 cm 70
<50 cm 30
Lama Surut Air >24 Jam 65
<24 Jam 35
Banjir Tahunan

Ya 81
Tidak 19
41

5.3 Hubungan antara Faktor Individu dan Kejadian Psikosomatik
Tabel 5.3 Hubungan antara Faktor Individu dengan Kejadian Psikosomatik di Kelurahan
Cilandak Barat.
Karakteristik Responden
Psikosomatik
PR
95% CI
Lower-Upper
P
Ya (%) Tidak (%)

Usia


Lansia 17 (73.9 6 (26.1) -* -* 0.624
Dewasa 40 (64.5) 22 (35.5)
Remaja 9 (60.0) 6 (40.0)
Jenis Kelamin Perempuan 33 (67.3) 16 (35.3) 1.040 0.491-2.576 0.780
Laki-laki 33 (64.7) 18 (32.7)
Tingkat Pendidikan Rendah 46 (86.8) 7 (13.2) 2.037 3.319-23.713 0.000
Tinggi 20 (42.6) 27 (57.4)
Pekerjaan Tidak Bekerja 38 (80.9) 9 19.1) 1.532 1.525-9.317 0.003
Bekerja 28 (52.8) 25 (47.2)
Status Marital Tidak Menikah 30 (76.9) 9 (23.1) 1.303 0.938-5.710 0.065
Menikah 36 (59.0) 25 (41.0)
Kesiapan
Menghadapi Banjir
Tidak Siap 45 (76.3) 14 (23.7) 1.490 1.299-7.214 0.009
Siap 21 (51.2) 20 (48.8)
42

*kategori Usia tidak memakai table 2x2, sehingga Prevalence Ratio & 95% Confidence
Interval tidak berhasil didapatkan datanya dengan uji chi square melalui program statistik SPSS
17.0.

Berdasarkan tabel diatas, dari 100 orang total seluruh responden, dapat terlihat 9
atau 60% dari total 15 responden remaja menderita psikosomatik, sedangkan 6 atau 40%
responden lainnya tidak. Adapun untuk kategori usia dewasa tampak 40 atau 64.5% dari
total 62 responden dewasa menderita psikosomatik, sedangkan 22 atau 35.5% responden
lainnya tidak. Dan untuk kategori lansia tampak 17 atau 73.9% dari total 23 responden
lansia menderita psikosomatik, sedangkan 6 atau 26.1% responden lainnya tidak
menderita psikosomatik. Tingkat kemaknaan statistik menurut uji chi square
menunjukkan hasil yang tidak bermakna (p=0.624).

Berdasarkan tabel diatas, didapati dari 49 orang total responden perempuan, 33
(67.3%) orang diantaranya menderita psikosomatik, sedangkan 16 (35.3%) orang lainnya
tidak menderita psikosomatik. Dan dari 51 orang total responden laki-laki, didapati 33
(64.7%) orang menderita psikosomatik, sedangkan 18 (32.7%) orang lainnya tidak.
Responden yang berjenis kelamin perempuan memiliki risiko 1.040 kali lebih besar untuk
menderita psikosomatik dibanding yang berjenis kelamin laki-laki, namun menurut uji
statistik tidak bermakna (p=0.780).

Berdasarkan tabel diatas, dari 53 orang total responden dengan tingkat pendidikan
rendah, 46 (86.8%) orang diantaranya menderita psikosomatik, sedangkan 7 (13.2%)
orang lainnya tidak menderita psikosomatik. Dan dari 47 orang total responden dengan
tingkat pendidikan tinggi, didapati 20 (42.6%) orang menderita psikosomatik, sedangkan
27 (57.4%) orang lainnya tidak. Responden dengan tingkat pendidikan rendah memiliki
risiko 2.037 kali lebih besar untuk menderita psikosomatik dibanding responden dengan
tingkat pendidikan tinggi, dan menurut uji statistik bermakna (95% CI = 3.319-23.713;
p=0.000).

Berdasarkan tabel diatas, dari 47 orang total responden yang tidak bekerja,
didapati 38 (80.9%) orang diantaranya menderita psikosomatik, sedangkan 9 (19.1%)
orang lainnya tidak menderita psikosomatik. Dan dari 53 orang total responden yang
bekerja, didapati 28 (52.8%) orang menderita psikosomatik, sedangkan 25 (47.2%) orang
lainnya tidak. Responden yang tidak bekerja memiliki risiko 1.532 kali lebih besar untuk
menderita psikosomatik dibanding responden yang memiliki pekerjaan dan menurut uji
statistik bermakna (95% CI = 1.525-9.317; p=0.003).

Berdasarkan tabel diatas, dari 39 orang total responden yang tidak menikah,
didapati 30 (76.9%) orang diantaranya menderita psikosomatik, sedangkan 9 (23.1%)
orang lainnya tidak menderita psikosomatik. Dan dari 61 orang total responden yang
menikah, didapati 36 (59.0%) orang menderita psikosomatik, sedangkan 25 (41.0%)
orang lainnya tidak. Responden yang tidak menikah memiliki risiko 1.303 kali lebih
besar untuk menderita psikosomatik dibanding responden yang menikah, namun menurut
uji statistik tidak bermakna (p=0.065).

43

Berdasarkan tabel diatas, dari 59 orang total responden yang tidak siap
menghadapi banjir, didapati 45 (76.3%) orang diantaranya menderita psikosomatik,
sedangkan 14 (23.7%) orang lainnya tidak menderita psikosomatik. Dan dari 41 orang
total responden yang siap menghadapi banjir, didapati 21 (51.2%) orang menderita
psikosomatik, sedangkan 20 (48.8%) orang lainnya tidak. Responden yang tidak siap
menghadapi banjir memiliki risiko 1.490 kali lebih besar untuk menderita psikosomatik
dibanding responden yang siap menghadapi banjir, dan menurut uji statistik bermakna
(95% CI = 1.299-7.214; p=0.009).
5.4 Hubungan antara Karakteristik Banjir dan Kejadian Psikosomatik
Tabel 5.4 Hubungan antara Faktor Individu dengan Kejadian Psikosomatik di Kelurahan
Cilandak Barat.

Berdasarkan tabel diatas, didapati 70 responden melaporkan ketinggian air >50
cm di lingkungan tempat tinggal mereka. Dari 70 responden tersebut, 52 (74.3%) orang
diantaranya menderita psikosomatik, sedangkan 18 (25.7%) orang lainnya tidak.
Sementara itu terdapat 30 orang yang melaporkan ketinggian air <50 cm di lingkungan
tempat tinggal mereka. Dari 30 responden tersebut, 14 (46.7%) orang diantaranya
menderita psikosomatik, sedangkan 16 (24.6%) orang lainnya tidak. Responden yang
tinggal di lingkungan yang terendam banjir setinggi >50 cm memiliki risiko 1.591 kali
lebih besar untuk menderita psikosomatik dibandingkan yang terendam banjir setinggi
<50 cm, dan menurut uji statistik bermakna (95% CI = 1.348-8.083; p=0.008).

Karakteristik Responden
Psikosomatik
PR
95% CI
Lower-Upper
P
Ya (%) Tidak (%)

Ketinggian Air >50 cm 52 (74.3) 18 (25.7) 1.591 1.348-8.083 0.008
<50 cm 14 (46.7) 16 (53.3)
Lama Surut Air >24 jam 49 (75.4) 16 (24.6) 1.551 1.358-7.744 0.007
<24 jam 17 (48.6) 18 (51.4)
Banjir Berulang Ya 58 (71.6) 23 (28.4) 1.490 1.237-9.721 0.015
Tidak 8 (42.1) 11 (57.9.)
44

Berdasarkan tabel diatas, didapati 65 responden melaporkan lama surut air banjir
di wilayahnya >24 jam. Dari 65 responden tersebut, 49 (75.4%) orang diantaranya
menderita psikosomatik, sedangkan 16 (24.6%) orang lainnya tidak. Sementara itu
terdapat 35 orang yang melaporkan lama surut air banjir di wilayahnya <24 jam. Dari 35
responden tersebut, 17 (48.6%) orang diantaranya menderita psikosomatik, sedangkan 18
(51.4%) orang lainnya tidak. Responden yang lama surut air banjir di wilayahnya >24
jam memiliki risiko 1.551 kali lebih besar untuk menderita psikosomatik dibandingkan
responden yang lama surut air banjir di wilayahnya <24 jam, dan menurut uji statistik
bermakna (95% CI = 1.358-7.744; p=0.007).

Berdasarkan tabel diatas, terdapat 81 responden yang wilayahnya selalu
mengalami banjir tiap tahunnya. Dari 81 responden tersebut, 58 (71.6%) orang
diantaranya menderita psikosomatik, sedangkan 23 (28.4%) orang lainnya tidak.
Sementara itu terdapat 19 responden yang wilayahnya tidak selalu mengalami banjir tiap
tahunnya. Dari 19 responden tersebut, 8 (42.1%) orang diantaranya menderita
psikosomatik, sedangkan 11 (57.9%) orang lainnya tidak. Responden yang wilayahnya
selalu mengalami banjir tiap tahunnya memiliki risiko 1.490 kali lebih besar untuk
menderita psikosomatik dibandingkan responden yang wilayahnya tidak selalu
mengalami banjir tiap tahunnya, dan menurut uji statistik bermakna (95% CI = 1.237-
9.721; p=0.015).

























45

BAB VI
PEMBAHASAN

6.1 HUBUNGAN ANTARA FAKTOR INDIVIDU DENGAN KEJADIAN
PSIKOSOMATIK
6.1.1 Hubungan antara Usia dengan Kejadian Psikosomatik
Penelitian ini melibatkan 3 kategori usia, yaitu remaja, dewasa, dan lansia. Dari total 100
orang sampel, 15 orang diantaranya berada di rentang usia remaja, 62 responden merupakan
dewasa, dan 23 responden sisanya ialah lansia. Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa baik
pada kelompok umur remaja, dewasa, ataupun lansia, lebih banyak yang menderita psikosomatik
dibandingkan yang tidak mengalami psikosomatik. Namun perbedaan yang paling mencolok
terdapat di kategori lansia, dan yang paling tidak mencolok ialah kategori remaja. Hal ini
menunjukkan bahwa dari 3 kategorial usia yang diteliti, lansia memiliki kecenderungan
menderita psikosomatik yang paling besar dan remaja memiliki kecenderungan menderita
psikosomatik yang terkecil. Meskipun berdasarkan uji statistik chi square hasil tersebut tidak
bermakna (p=0.624), namun penelitian yang dilakukan oleh Phifer 1990
4
turut menyatakan
bahwa penduduk berusia 55-64 tahun adalah faktor risiko yang secara signifikan lebih besar
untuk mengalami gejala psikosomatik. Studi lain menyetujui (Lowe, 2013)
5
bahwa lansia
memiliki faktor risiko untuk mengalami distres (dengan skor >4 menggunakan instrumen
GHQ12) dibandingkan dengan kelompok usia lain.

6.1.2 Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Kejadian Psikosomatik
Dari total 100 orang sampel yang diteliti, didapati 49 responden berjenis kelamin
perempuan dan 51 responden lainnya berjenis kelamin laki-laki. Hasil penelitian menunjukkan
sampel berjenis kelamin perempuan lebih banyak yang menderita psikosomatik dibandingkan
yang tidak menderita psikosomatik. Adapun sampel berjenis kelamin laki-laki juga memiliki
angka kejadian psikosomatik yang lebih tinggi dibanding yang tidak mengalami psikosomatik.
Meskipun kedua jenis kelamin sama-sama lebih banyak yang menderita psikosomatik daripada
yang tidak, hasil analisis statistik menunjukkan responden yang berjenis kelamin perempuan
memiliki risiko 1.040 kali lebih besar untuk menderita psikosomatik dibanding yang berjenis
kelamin laki-laki. Hasil ini sesuai dengan studi di Polandia
5
yang menyatakan bahwa wanita
memiliki gejala psikologis yang lebih besar dibanding pria, namun menurut studi yang dilakukan
Phifer di Kentucky, 1990
4
, Laki-laki memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami
psikosomatik pasca banjir. Ketidak konsistenan ini menunjukkan penelitian mengenai hubungan
antara jenis kelamin dengan kejadian psikosomatik sejauh ini masih belum menunjukkan
hubungan yang signifikan. Pada penelitian inipun didapati rasio prevalensi yang hanya sedikit
diatas 1 (PR=1.040) dengan interval keyakinan 95% di rentang 0.491-2.576. hal ini menunjukkan
bahwa perempuan sebagai faktor risiko psikosomatik pada penelitian ini belum tentu sepenuhnya
benar karena interval keyakinan masih melewati 1. Jadi masih ada kemungkinan faktor jenis
kelamin perempuan justru merupakan faktor protektif terhadap kejadian psikosomatik dalam
penelitian ini.
46

6.1.3 Hubungan antara Pendidikan dengan Kejadian Psikosomatik
Penelitian yang melibatkan 100 sampel ini mendapatkan 53 responden dengan tingkat
pendidikan rendah dan 47 responden dengan tingkat pendidikan tinggi. Hasil penelitian kami
menunjukkan sampel dengan tingkat pendidikan rendah lebih banyak yang menderita
psikosomatik dibanding yang tidak. Sedangkan sampel dengan tingkat pendidikan tinggi lebih
sedikit yang menderita psikosomatik dibanding yang tidak menderita psikosomatik. Hasil
analisis statistik menunjukkan responden dengan tingkat pendidikan rendah memiliki risiko
2.037 kali lebih besar untuk menderita psikosomatik dibanding responden dengan tingkat
pendidikan tinggi, hasil ini sesuai dengan studi di US (Phifer,1990)
4
yang menyatakan
kerentanan pada kelompok pendidikan rendah menyertai tingkat sosio ekonomi yang rendah
merupakan kelompok yang memiliki faktor risiko yang lebih tinggi untuk mengalami gangguan
psikosomatik pasca banjir.

6.1.4 Hubungan antara Pekerjaan dengan Kejadian Psikosomatik
Dari 100 sampel yang diteliti, didapati 47 responden yang tidak bekerja dan 53 responden
yang bekerja. Hasil penelitian menunjukkan sampel yang tidak bekerja lebih banyak yang
menderita psikosomatik dibanding yang tidak menderita psikosomatik. Namun demikian, sampel
yang bekerja pun juga memiliki angka kejadian psikosomatik lebih banyak dibanding yang tidak
psikosomatik. Namun hasil analisis statistik menunjukkan responden yang tidak bekerja
memiliki risiko 1.532 kali lebih besar untuk menderita psikosomatik dibanding responden yang
bekerja, dan menurut uji statistik chi square bermakna (95% CI = 1.525-9.317; p=0.003). Pada
studi Phifer, 1990
4
menyatakan korban bencana banjir dengan status pekerjaan lebih rendah
memiliki distres yang lebih tinggi dibanding yang status pekerjaannya lebih tinggi. Kerentanan
pada golongan sosio ekonomi yang lebih rendah menghadapi peristiwa seperti banjir (stressful
events) mungkin berhubungan dengan defisit dalam mengatasi sumber masalah (coping tactics)
dan rendahnya dukungan sosial.
6.1.5 Hubugan antara Status Marital dengan Kejadian Psikosomatik
Dari 100 sampel yang diteliti dalam penelitian ini terdapat 39 responden yang tidak
menikah dan 61 responden menikah. Hasil penelitian kami menunjukkan responden yang tidak
menikah lebih banyak yang menderita psikosomatik dibanding yang tidak menderita
psikosomatik. Namun demikian, responden yang menikah juga menunjukkan angka
psikosomatik yang lebih tinggi dibanding yang tidak psikosomatik. Adapun hasil analisis
statistik menunjukkan responden yang tidak menikah memiliki risiko 1.303 kali lebih besar
untuk menderita psikosomatik dibandingkan responden yang menikah, Studi yang terfokus pada
gangguan depresi pasca-banjir di Amerika
5
menyatakan bahwa dampak psikosomatik pasca
banjir yang lebih besar menyerang kelompok penduduk tidak menikah (single, separated, or
divorced), sementara studi lain di korea (Heo JH, 2008)
10
menyatakan sebaliknya, bahwa
dampak banjir lebih besar dialami oleh kelompok penduduk yang menikah. Penelitian ini pun
menurut uji statistik tidak bermakna (p=0.065), dengan PR=1.303 dan 95% CI=0.938-5.710. hal
ini menunjukkan kelompok tidak menikah dalam populasi yang diteliti dalam penelitian ini
belum tentu merupakan faktor risiko terhadap terjadinya psikosomatik, tapi juga bisa
merupakan faktor protektif terhadap angka kejadian psikosomatik.
47

6.1.6 Hubungan antara Kesiapan Individu untuk Menghadapi Banjir dengan Kejadian
Psikosomatik
Dari 100 sampel yang diteliti didapati 59 responden tidak siap menghadapi banjir dan 41
responden memiliki kesiapan untuk menghadapi banjir. Hasil penelitian menunjukkan responden
yang tidak siap menghadapi banjir lebih banyak yang menderita psikosomatik dibanding yang
tidak terkena psikosomatik. Adapun responden yang siap menghadapi banjirpun juga memiliki
angka psikosomatik lebih tinggi dibanding yang tidak menderita psikosomatik. Namun hasil
analisis statistik menunjukkan responden yang tidak siap menghadapi banjir memiliki risiko
1.490 kali lebih besar untuk menderita psikosomatik dibanding responden yang siap menghadapi
banjir, dan menurut uji statistik bermakna (95% CI = 1.299-7.214; p=0.009). Hasil ini sesuai
dengan studi yang dilakukan di Inggris
12
melaporkan bahwa kejadian PTSD dangan gangguan
somatic meningkat terutama disebabkan oleh minimnya persiapan menghadapi banjir. Studi lain
5
juga mengatakan melalui survey bahwa penduduk yang terkena banjir memiliki kesehatan fisik
dan jiwa yang lebih buruk menyertai kurangnya persiapan terhadap banjir.
6.2 HUBUNGAN ANTARA FAKTOR BANJIR DENGAN KEJADIAN PSIKOSOMATIK
6.2.1 Hubungan antara Ketinggian Air saat Banjir dengan Kejadian Psikosomatik
Pada kelompok responden dengan ketinggian air banjir <50 cm di lingkungan tempat
tinggal mereka lebih sedikit yang menderita psikosomatik dibanding yang tidak menderita
psikosomatik. Hasil analisis statistik menunjukkan responden yang tinggal di lingkungan yang
terendam banjir setinggi >50 cm memiliki risiko 1.591 kali lebih besar untuk menderita
psikosomatik dibandingkan yang terendam banjir <50 cm, dan menurut uji statistik chi square
bermakna (95% CI = 1.348-8.083; p=0.008). Hasil ini sesuai dengan studi yang dilakukan
Tunstall et all, 2006
12
yang mengatakan tingginya air saat peristiwa banjir adalah salah satu
faktor risiko mayor dari distres psikis yang dapat memicu kepada kelainan somatik dan PTSD
sebagai dampak pasca-banjir. Survey mengatakan, masalah dengan asuransi (mengenai
kerusakan property) menjadi salah satu penyebabnya. (Paranjothy, 2007)
11

6.2.2 Hubungan antara Lama Surutnya Air saat Banjir dengan Kejadian Psikosomatik
Dari 100 sampel yang diteliti, 65 responden melaporkan lama surut air banjir di
wilayahnya >24 jam, dan 35 responden lainnya melaporkan lama surut air banjir di wilayahnya
<24 jam. Hasil penelitian kami menunjukkan responden yang lama surut air banjir di wilayahnya
>24 jam memiliki angka kejadian psikosomatik lebih tinggi dibanding yang tidak psikosomatik.
Sementara responden yang lama surut air banjir di wilayahnya <24 jam memiliki angka kejadian
psikosomatik lebih rendah dibanding yang tidak psikosomatik. Hasil analisis statistik
menunjukkan responden yang lama surut air banjir di wilayahnya >24 jam memiliki risiko 1.551
kali lebih besar untuk menderita psikosomatik dibandingkan responden yang lama surut air
banjir di wilayahnya <24 jam. Hasil ini dan hasil sesuai dengan studi studi di Amerika
5
yang
menyatakan dampak yang lebih luas dari paparan banjir mencakup kerusakan properti, lama
surut dan ketinggian air meningkatkan faktor risiko kerentanan terhadap kesehatan jiwa dan
meningkatnya keluhan somatik. Menurut studi tersebut, kemungkinan respon individual
menghadapi peristiwa banjir dengan menerapkan pengembangan strategi adaptatif.
48

6.2.3 Hubungan antara Frekuensi Banjir yang Terjadi Setiap Tahun dengan Kejadian
Psikosomatik
Dari 100 sampel yang diteliti, 81 responden mengaku wilayahnya selalu mengalami
banjir tiap tahunnya dan 19 responden mengaku wilayahnya tidak selalu mengalami banjir tiap
tahunnya. Hasil penelitian kami menunjukkan responden yang wilayahnya selalu mengalami
banjir tiap tahunnya memiliki angka kejadian psikosomatik yang lebih tinggi dibanding yang
tidak psikosomatik. Sementara responden yang wilayahnya tidak selalu mengalami banjir tiap
tahunnya memiliki angka kejadian psikosomatik lebih rendah dibanding yang tidak mengalami
psikosomatik. Hasil analisis statistik menunjukkan responden yang wilayahnya selalu mengalami
banjir tiap tahunnya memiliki risiko 1.490 kali lebih besar untuk menderita psikosomatik
dibandingkan responden yang wilayahnya tidak selalu mengalami banjir tiap tahunnya, dan
menurut uji statistik bermakna (95% CI = 1.237-9.721; p=0.015).


















49

BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah kita bahas pada bab
sebelumnya, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Hubungan antara karakteristik/faktor individu (demografi dan sosio-ekonomi) dan
kejadian psikosomatik pada daerah banjir di Kelurahan Cilandak Barat.
Ada hubungan bermakna antara pendidikan, pekerjaan dan kesiapan individu
untuk menghadapi banjir dan kejadian psikosomatik pada daerah banjir di
Kelurahan Cilandak Barat.
Ada hubungan antara usia, jenis kelamin dan status marital dan kejadian
psikosomatik pada daerah banjir di Kelurahan Cilandak Barat, namun tidak
bermakna.
2. Hubungan antara banjir (ketinggian air, lama surutnya air dan kejadian banjir berulang)
dan kejadian psikosomatik pada daerah banjir di Kelurahan Cilandak Barat. Ada
hubungan bermakna antara ketinggian air, lama surutnya air dan kejadian banjir berulang
dengan kejadian psikosomatik di Kelurahan Cilandak Barat.

7.2 SARAN
1. Puskesmas
a. Melakukan skrining, pemeriksaan serta pencatatan data secara baik dan benar
mengenai angka kejadian psikosomatik di Kelurahan Cilandak Barat.
b. Meningkatkan upaya penyuluhan kepada masyarakat mengenai pengetahuan
tentang psikosomatik.
2. Masyarakat
Meningkatkan peran serta masyarakat dalam menyadari adanya anggota
masyarakat yang membutuhkan konseling kejiwaan ke Puskesmas Kecamatan
Cilandak dalam menyelasaikan masalah personal yang sedang dihadapi.







50

DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid III. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p.2089-187.
2. Kaplan HI, Saddock BJ, Grebb JA. Sinopsis Psikiatri. Jilid II. 7th ed. Jakarta: Bina Rupa
Aksara; 2010. p.276-303.
3. Benuto LT. Guide to Psychological Assessment with Hispanics. New York: Springer;
2013. p. 299.
4. Phifer JF. Psychological distress and somatic symptoms after natural disaster:
Differential vulnerability. Psychology and Aging 1990 Sep;5(3):412-20. Available at:
http://psycnet.apa.org/journals/pag/5/3/412/
5. Lowe D, Ebi KL, Forsberg B. Factors Increasing Vulnerability to Health Effects before,
during, and after Floods. International Journal of Environmental Research and Public
Health 2013 Dec 11;10(12):7015-67. Available at: http://www.mdpi.com/1660-
4601/10/12/7015
6. Wahlstrm L, Michlsen H, Schulman A, Backheden H, Keskinen-Rosenqvist R.
Longitudinal course of physical and psychological symptoms after a natural disaster.
Europe Journal Psychotraumatology 2013 Dec 27;4(1):21892. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3933827/
7. Interian A, Allen LA, Gara MA, Escobar JI, Diaz-Martinez AL. Somatic complaints in
primary care: Further examining the validity of the patient health questionnaire (PHQ-
15). Psychosomatics 2006;47:392-8. Available at:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0033318206711161
8. Aragona M, Monteduro MD, Colosimo F, Masiano B, Geraci S. Effect of gender and
marital status on somatization symptoms of immigrants from various ethnic groups
attending a primary care service. German Journal of Psychiatry 2008 Jul 3; 11:64-72.
Available at: http://gjpsy.uni-goettingen.de/gjp-article-aragona.pdf
9. Nakao M. Work-related stress and psychosomatic medicine. Nakao BioPsychoSocial
Medicine 2010;4. Available at: http://www.bpsmedicine.com/content/4/1/4
10. Heo JH, Kim MH, Koh SB, Noh S, Park JH, Ahn JS et al. A prospective study on
changes in health status following flood disaster. Psychiatry Investigation 2008;5:186-92.
Available at:
http://synapse.koreamed.org/search.php?where=asummary&id=1073&code=0162PI
11. Paranjothy S, Gallacher J, Amlt R, Rubin GJ, Page L, Tony B et al. Psychosocial impact
of the summer 2007 floods in England. BMC Public Health 2011 Mar 3;11:145.
Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3062606/
12. Tunstall S, Tapsell S, Green C, Floyd P, George C. The health effects of flooding: Social
research results from England and Wales. Journal Water Health 2006;4:365-80. Available
at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17036844
51

LAMPIRAN 1
PLAN OF ACTION ( POA )
PENYULUHAN MENGENAI HUBUNGAN ANTARA BANJIR DAN KEJADIAN
PSIKOSOMATIK PADA USIA PRODUKTIF DI KELURAHAN CILANDAK BARAT
PERIODE FEBRUARI-MARET 2014
NO KEGIATAN TUJUAN SASARAN METODE TEMPAT WAKTU BIAYA
1. PERSIAPAN
Menyusun
rencana kerja
Pendekatan
intern
Mempermudah
pelaksanaan
penjelasan
program kerja
Seluruh
masyarakat
yang tempat
tinggalnya
terendam
oleh banjir
Presentasi
dan
diskusi
Wilayah
Kelurahan
Cilandak
Barat
Februari
2014
Swadana
2. Pelaksanaan
Melakukan
penyuluhan
Memberikan
informasi dan
edukasi tentang
persiapan
menghadapi
banjir dan
manajemen stress
saat banjir datang
Seluruh
masyarakat
yang
menggunak
an jamban,
baik jamban
bersama
maupun
jamban
yang ada
dirumah
masing
masing
Presentasi
dan
diskusi
Wilayah
Kelurahan
Cilandak
Barat
Februari
2014
Swadana
3. Evaluasi Mengetahui
keberhasilan
penyuluhan
Seluruh
masyarakat
yang tempat
tinggalnya
terendam
banjir
Diskusi
dan
survey
pencatatan
Wilayah
Kelurahan
Cilandak
Barat
Maret
2014
Swadana
Melakukan survey
masyarakat di
wilayah Kelurahan
Cilandak Barat
melalui kuesioner
Bradford Somatic
Inventory 21 dan
kuesioner banjir PMI
52

LAMPIRAN 2
KUESIONER PSIKOSOMATIK BRADFORD SOMATI C I NVENTORY 21
Pengisian dari kuesioner ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara banjir dengan
kejadian psikosomatik (gangguan kesehatan kejiwaan) pada usia produktif di Kelurahan Cilandak
Barat. Apabila anda menyetujui untuk mengisi kuesioner ini, silahkan isi biodata berikut lalu
dilanjutkan untuk mengisi pertanyaan - pertanyaan yang telah disediakan. Terima kasih kami
ucapkan atas perhatian saudara/i.
Nama :
Alamat (RT/RW) :
Status :
Pendidikan :
Pekerjaan :
Bersedia untuk mengisi kuesioner psikosomatik Bradford Somatic I nventory 21.

Jakarta, //2014


( )
TTD dan Nama Lengkap
1. Jenis kelamin anda?
Laki-laki
Perempuan
2. Usia saudara saat ini?
16-25 tahun
26-35 tahun
36-45 tahun
53

46-55 tahun
56-65 tahun
Di atas 65 tahun
3. Apakah anda pernah mengalami sakit kepala yang berat?
Ya
Tidak
4. Apakah anda pernah mengalami nyeri atau tekanan di leher dan pundak anda?
Ya
Tidak
5. Apakah anda pernah merasa ada sesuatu yang bergerak di perut anda?
Ya
Tidak
6. Apakah anda merasa nyeri di dada atau jantung?
Ya
Tidak
7. Apakah mulut dan tenggorakan anda terasa kering?
Ya
Tidak

54

8. Apakah anda mengalami kesulitan buang air besar?
Ya
Tidak
9. Apakah anda merasa kurang energi (lemah) di kebanyakan waktu?
Ya
Tidak
10. Apakah anda pernah berkeringat banyak?
Ya
Tidak
11. Apakah tangan dan kaki anda terasa dingin?
Ya
Tidak
12. Apakah anda pernah merasa sensasi tercekik di kerongkongan anda?
Ya
Tidak
13. Apakah kaki dan tangan anda terasa kesemutan?
Ya
Tidak

55

14. Apakah anda merasa nyeri dan sakit di seluruh badan anda?
Ya
Tidak
15. Apakah anda pernah berdebar-debar?
Ya
Tidak
16. Apakah anda pernah merasa gemetaran/menggigil/terguncang?
Ya
Tidak
17. Apakah anda pernah berkemih/kencing lebih sering?
Ya
Tidak
18. Apakah anda merasa perut penuh dan ingin muntah?
Ya
Tidak
19. Apakah anda merasa lelah walaupun anda tidak bekerja?
Ya
Tidak

56

20. Apakah anda sering bersendawa atau merasa seperti banyak gas di perut?
Ya
Tidak
21. (Khusus laki-laki) Apakah anda pernah merasa kesulitan ereksi?
Ya
Tidak
22. (Khusus laki-laki) Apakah anda merasa adanya air mani pada urin?
Ya
Tidak
23. Apakah anda pernah merasa tekanan di kepala seperti akan meledak?
Ya
Tidak
ANAMNESIS


1. Apakah keluhan yang anda rasakan muncul/diperberat saat terjadi banjir?
Ya
Tidak
2. Apakah keluhan yang anda rasakan terjadi berulang kali dalam 1 bulan terakhir?
Ya
57

Tidak
3. Apakah anda merasa seperti ada yang mengikuti atau mengincar anda?
Ya
Tidak
4. Apakah anda merasa memiliki kekuatan atau kelebihan yang tidak dimiliki
orang lain pada umumnya?
Ya
Tidak
5. Apakah anda merasa digila-gilai oleh lawan jenis?
Ya
Tidak
6. Jika salah satu dari pertanyaan 3, 4 dan 5 menjawab iya, apakah anda merasa yakin?
Ya
Tidak
7. Apakah anda pernah melihat, mendengar, mencium hal yang orang lain
tidak pernah rasakan?
Ya
Tidak

8. Jika iya, apakah anda merasa yakin?
Ya
Tidak
9. Apakah hal tersebut terjadi secara berulang-ulang?
Ya
Tidak
58

10. Berapakah ketinggian air saat terjadi banjir?
Kurang dari 50 cm
Lebih dari 50 cm
11. Berapa lama surutnya air saat terjadi banjir?
Kurang dari 24 jam
Lebih dari 24 jam
12. Apakah banjir terjadi pada setiap tahun?
Ya
Tidak

KUESIONER BANJIR PALANG MERAH INDONESIA

Perilaku Pengurangan Risiko Bencana
No Perilaku Pengurangan Risiko Bencana Jawaban
1 Mempunyai rencana penyelamatan keluarga (siapa melakukan apa) bila
terjadi kondisi darurat bencana.
1. Ya

2. Tidak


2 Saat banjir bertambah parah dan tidak memungkinkan tetap tinggal di
rumah, keluarga segera mengungsikan seluruh anggota keluarga yang
sangat rentan seperti bayi, anak-anak, ibu hamil dan lansia
1. Ya

59


2. Tidak

3 Keluarga memiliki sendiri peralatan penyelamatan dan evakuasi sederhana
seperti pelampung, rakit sederhana, dll untuk mengantisipasi risiko
bencana.
1. Ya

2. Tidak


4 Keluarga menyimpan stok air bersih dan air minum dalam jumlah dan
kualitas yang memadai yang dapat digunakan selama terjadi bencana
banjir.
1. Ya

2. Tidak


5 Selama bencana banjir, keluarga hanya menggunakan air bersih untuk
keperluan masak, dan keperluan MCK (Mandi, Cuci dan Kakus)
1. Ya

2. Tidak


No Perilaku Pengurangan Risiko Bencana Jawaban
6 Telah menyiapkan pakaian secukupnya, khususnya pakaian dalam dan
keperluan pribadi lainnya sebelum darurat bencana banjir.
1. Ya

2. Tidak


60

7 Membangun rumah di tidak berdekatan dengan sungai dan berada di
wilayah area yang terkena ancaman banjir
1. Ya

2. Tidak


8 Tetap menjaga kebersihan dan kesehatan tubuh, gosok gigi secara teratur
dan mandi setiap hari.
1. Ya

2. Tidak


9 Tidak membuang sampah, limbah dan material lainnya sembarangan di
rumah, sekitar rumah maupun sungai.
1. Ya

2. Tidak


10 Keluarga telah mempersiapkan : tabungan, asuransi jiwa/harta/benda,
tanah/rumah di tempat lain, dll, untuk kewaspadaan keluarga terhadap
kemungkinan terjadinya bencana
1. Ya

2. Tidak


11 Apabila terjadi bencana, keluarga mempunyai kerabat, sanak keluarga,
teman, baik di dalam desa maupun di luar desa yang siap membantu
1. Ya

2. Tidak


61

12 Terlibat aktif dalam rapat-rapat untuk persiapan dan perencanaan
pengurangan risiko bencana yang ada di lingkungannya
1. Ya

2. Tidak


13 Terlibat aktif dalam kegiatan pelatihan-pelatihan atau simulasi tentang
pengurangan risiko bencana
1. Ya

2. Tidak


14 Ikutserta dalam kegiatan gotong royong membersihkan di lingkungan dalam
rangka pengurangan risiko bencana
1. Ya

2. Tidak


15 Terlibat aktif dalam pembangunan sarana mitigasi struktural dalam rangka
pengurangan risiko bencana yang ada di lingkungannya
1. Ya

2. Tidak


Total memiliki Perilaku Sesuai yang diharapkan




62

LAMPIRAN 3
HASIL PENGOLAHAN DATA
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
USIA * PSIKOSOMATIK 100 100.0% 0 .0% 100 100.0%

USIA * PSIKOSOMATIK Crosstabulation
PSIKOSOMATIK
YA TIDAK Total
USIA REMAJA Count 9 6 15
% within USIA 60.0% 40.0% 100.0%
DEWASA Count 40 22 62
% within USIA 64.5% 35.5% 100.0%
LANSIA Count 17 6 23
% within USIA 73.9% 26.1% 100.0%

Total Count 66 34 100
63

USIA * PSIKOSOMATIK Crosstabulation
PSIKOSOMATIK
YA TIDAK Total
USIA REMAJA Count 9 6 15
% within USIA 60.0% 40.0% 100.0%
DEWASA Count 40 22 62
% within USIA 64.5% 35.5% 100.0%
LANSIA Count 17 6 23
% within USIA 73.9% 26.1% 100.0%

Total Count 66 34 100
% within USIA 66.0% 34.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square .943
a
2 .624
Likelihood Ratio .966 2 .617
Linear-by-Linear Association .874 1 .350
N of Valid Cases 100

64

Chi-Square Tests

Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square .943
a
2 .624
Likelihood Ratio .966 2 .617
Linear-by-Linear Association .874 1 .350
N of Valid Cases 100

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is 5.10.

Risk Estimate
Value
Odds Ratio for USIA
(REMAJA / DEWASA)

a

a. Risk Estimate statistics cannot be
computed. They are only computed for a
2*2 table without empty cells.







65

Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
GENDER * PSIKOSOMATIK 100 100.0% 0 .0% 100 100.0%

GENDER * PSIKOSOMATIK Crosstabulation
PSIKOSOMATIK
YA TIDAK Total
GENDER PEREMPUAN Count 33 16 49
% within GENDER 67.3% 32.7% 100.0%
LAKI-LAKI Count 33 18 51
% within GENDER 64.7% 35.3% 100.0%

Total Count 66 34 100
% within GENDER 66.0% 34.0% 100.0%



66

Chi-Square Tests

Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .078
a
1 .780

Continuity Correction
b
.005 1 .946

Likelihood Ratio .078 1 .780

Fisher's Exact Test

.835 .473
Linear-by-Linear Association .077 1 .782

N of Valid Cases 100

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 16.66.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for GENDER
(PEREMPUAN / LAKI-LAKI)
1.125 .491 2.576
For cohort PSIKOSOMATIK =
YA
1.041 .786 1.379
For cohort PSIKOSOMATIK =
TIDAK
.925 .535 1.600
N of Valid Cases 100


67

Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
PENDIDIKAN *
PSIKOSOMATIK
100 100.0% 0 .0% 100 100.0%

PENDIDIKAN * PSIKOSOMATIK Crosstabulation
PSIKOSOMATIK
YA TIDAK Total
PENDIDIKAN RENDAH Count 46 7 53
% within PENDIDIKAN 86.8% 13.2% 100.0%
TINGGI Count 20 27 47
% within PENDIDIKAN 42.6% 57.4% 100.0%


Total Count 66 34 100
% within PENDIDIKAN 66.0% 34.0% 100.0%
68




Chi-Square Tests

Value Df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 21.725
a
1 .000

Continuity Correction
b
19.799 1 .000

Likelihood Ratio 22.725 1 .000

Fisher's Exact Test

.000 .000
Linear-by-Linear Association 21.508 1 .000

N of Valid Cases 100

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15.98.
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for PENDIDIKAN
(RENDAH / TINGGI)
8.871 3.319 23.713
For cohort PSIKOSOMATIK =
YA
2.040 1.440 2.890
For cohort PSIKOSOMATIK =
TIDAK
.230 .110 .478
N of Valid Cases 100

b. Computed only for a 2x2 table
69

Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
PEKERJAAN *
PSIKOSOMATIK
100 100.0% 0 .0% 100 100.0%

PEKERJAAN * PSIKOSOMATIK Crosstabulation
PSIKOSOMATIK
YA TIDAK Total
PEKERJAAN TIDAK BEKERJA Count 38 9 47
% within PEKERJAAN 80.9% 19.1% 100.0%
BEKERJA Count 28 25 53
% within PEKERJAAN 52.8% 47.2% 100.0%

Total Count 66 34 100
% within PEKERJAAN 66.0% 34.0% 100.0%


70

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for PEKERJAAN
(TIDAK BEKERJA /
BEKERJA)
3.770 1.525 9.317
For cohort PSIKOSOMATIK =
YA
1.530 1.145 2.045
For cohort PSIKOSOMATIK =
TIDAK
.406 .211 .780
N of Valid Cases 100


Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
MARITAL_STATUS *
PSIKOSOMATIK
100 100.0% 0 .0% 100 100.0%



71

MARITAL_STATUS * PSIKOSOMATIK Crosstabulation
PSIKOSOMATIK
YA TIDAK Total
MARITAL_STATUS TIDAK MENIKAH Count 30 9 39
% within MARITAL_STATUS 76.9% 23.1% 100.0%
MENIKAH Count 36 25 61
% within MARITAL_STATUS 59.0% 41.0% 100.0%

Total Count 66 34 100
% within MARITAL_STATUS 66.0% 34.0% 100.0%
Chi-Square Tests

Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 3.399
a
1 .065

Continuity Correction
b
2.648 1 .104

Likelihood Ratio 3.502 1 .061

Fisher's Exact Test

.084 .051
Linear-by-Linear Association 3.365 1 .067

N of Valid Cases 100

72

Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
KETINGGIAN *
PSIKOSOMATIK
100 100.0% 0 .0% 100 100.0%


a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.26.
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for
MARITAL_STATUS (TIDAK
MENIKAH / MENIKAH)
2.315 .938 5.710
For cohort PSIKOSOMATIK =
YA
1.303 .994 1.709
For cohort PSIKOSOMATIK =
TIDAK
.563 .295 1.076
N of Valid Cases 100

b. Computed only for a 2x2 table
73

KETINGGIAN * PSIKOSOMATIK Crosstabulation
PSIKOSOMATIK
YA TIDAK Total
KETINGGIAN >50 cm Count 52 18 70
% within KETINGGIAN 74.3% 25.7% 100.0%
<50 cm Count 14 16 30
% within KETINGGIAN 46.7% 53.3% 100.0%

Total Count 66 34 100
% within KETINGGIAN 66.0% 34.0% 100.0%
Chi-Square Tests

Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 7.139
a
1 .008

Continuity Correction
b
5.961 1 .015

Likelihood Ratio 6.945 1 .008

Fisher's Exact Test

.011 .008
Linear-by-Linear Association 7.067 1 .008

N of Valid Cases 100

74


Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
LAMA_SURUT *
PSIKOSOMATIK
100 100.0% 0 .0% 100 100.0%



a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.20.
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for KETINGGIAN
(>50 cm / <50 cm)
3.302 1.348 8.083
For cohort PSIKOSOMATIK =
YA
1.592 1.060 2.391
For cohort PSIKOSOMATIK =
TIDAK
.482 .287 .811
N of Valid Cases 100

b. Computed only for a 2x2 table
75

LAMA_SURUT * PSIKOSOMATIK Crosstabulation
PSIKOSOMATIK
YA TIDAK Total
LAMA_SURUT 1.00 Count 49 16 65
% within LAMA_SURUT 75.4% 24.6% 100.0%
2.00 Count 17 18 35
% within LAMA_SURUT 48.6% 51.4% 100.0%

Total Count 66 34 100
% within LAMA_SURUT 66.0% 34.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 7.289
a
1 .007

Continuity Correction
b
6.143 1 .013

Likelihood Ratio 7.166 1 .007

Fisher's Exact Test

.009 .007
Linear-by-Linear Association 7.216 1 .007

76

N of Valid Cases 100

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11.90.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for
LAMA_SURUT (1.00 / 2.00)
3.243 1.358 7.744
For cohort PSIKOSOMATIK =
YA
1.552 1.074 2.243
For cohort PSIKOSOMATIK =
TIDAK
.479 .281 .816
N of Valid Cases 100

Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
BANJIR_TAHUNAN *
PSIKOSOMATIK
100 100.0% 0 .0% 100 100.0%

77

BANJIR_TAHUNAN * PSIKOSOMATIK Crosstabulation
PSIKOSOMATIK
YA TIDAK Total
BANJIR_TAHUNAN Ya Count 58 23 81
% within BANJIR_TAHUNAN 71.6% 28.4% 100.0%
TIDAK Count 8 11 19
% within BANJIR_TAHUNAN 42.1% 57.9% 100.0%

Total Count 66 34 100
% within BANJIR_TAHUNAN 66.0% 34.0% 100.0%
Chi-Square Tests

Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 5.968
a
1 .015

Continuity Correction
b
4.726 1 .030

Likelihood Ratio 5.687 1 .017

Fisher's Exact Test

.029 .016
Linear-by-Linear Association 5.909 1 .015

N of Valid Cases 100

78


a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.46.
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for
BANJIR_TAHUNAN (Ya /
TIDAK)
3.467 1.237 9.721
For cohort PSIKOSOMATIK =
YA
1.701 .986 2.932
For cohort PSIKOSOMATIK =
TIDAK
.490 .293 .822
N of Valid Cases 100

b. Computed only for a 2x2 table

Anda mungkin juga menyukai