Anda di halaman 1dari 19

Gustilo et al mengklasifikasikan fraktur terbuka menjadi tiga tipe yaitu

Tipe I: Luka lebih kecil dari 1 cm, bersih dan disebabkan oleh fragmen tulang yang
menembus kulit.
Tipe II: Ukuran luka antara 1 10 cm, tidak terkontaminasi dan tanpa cedera jaringan lunak
yang major
Tipe III: Luka lebih besar dari 10 cm dengan kerusakan jaringan lunak yang signifikan.
Biasanya disebabkan oleh cedera dengan energi tinggi sehinggamembuat fraktur yang tidak
stabil dengan multifragmentasi. Tipe III juga dibagimenjadi beberapa sub tipe:
IIIA: Luka memiliki jaringan yang cukup untuk menutupi tulang tanpamemerlukan flap
coverage.
IIIB: kerusakan jaringan yang luas membuat diperlukannya local atau distant flap coverage.
Luka mungkin telah terkontaminasi sehingga irigasi dan debridement diperlukan
untuk membersihkan luka.
IIIC: Fraktur apapun yang menyebabkan cedera arterial yang membutuhkan perbaikan
segera. Gambar 2. Klasifikasi Fraktur menurut Gustilo

Manifestasi klinis:
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk
meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Deformitas dapat disebabkan pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan eksremitas.
Deformitas dapat di ketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas
tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas
tulang tempat melengketnya obat.
3. Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat
fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5,5 cm
4. Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang.
Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar fragmen satu dengan lainnya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma dan perdarahan
yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam atau beberapa hari setelah
cedera.

Diagnosa Fraktur
Untuk mendiagnosis fraktur, pertama dapat dilakukan anamnesis baik dari pasien maupun
pengantar pasien. Informasi yang digali adalah mekanisme cedera, apakah pasien
mengalami cedera atau fraktur sebelumnya. Informasi mengenai riwayat pengobatan medis
dan pembedahan juga harus didapatkan, termasuk obat yang dikonsumsi dan
alergi.Informasi tambahan yang mungkin juga dibutuhkan adalah riwayat sosial dan
pekerjaan. Pasien dengan fraktur tibia mungkin akan mengeluh rasa sakit, bengkak dan
ketidakmampuan untuk berjalan atau bergerak, sedangkan pada fraktur fibula pasien
kemungkinan mengeluhkan hal yang sama kecuali pasien mungkin masih mampu bergerak.
Selain anamnesis, pemeriksaan fisik juga tidak kalah pentingnya. Pemeriksaan fisik yang
dibutuhkan dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu
look
atau inspeksi di mana kita memperhatikan penampakan dari cedera, apakah ada fraktur
terbuka (tulang terlihat kontak dengan udara luar). Apakah terlihat deformitas dari
ekstremitas tubuh, hematoma, pembengkakan dan lain-lain.
feel
atau palpasi. Kita harus mempalpasi seluruh ekstremitis dari proksimal hingga distal
termasuk sendi di proksimal maupun distal dari cedera untuk menilai area rasa sakit, efusi,
maupun krepitasi. Selain itu statur neurologi dan vaskular jug harus dinilai dan
didokumentasikan. Seringkali akan ditemukan cedera lain yang terjadi bersamaan dengan
cedera utama.
move
Penilaian dilakukan untuk mengetahui ROM (Range of Motion). Seringkali pemeriksaan
ROM tidak bisa dilakukan karena rasa sakit yang dirasakan oleh pasien tetapi hal ini harus
tetap didokumentasikan.
Skor Glasgow Coma Scale (GCS) juga dinilai untuk mengetahui apakah ada cedera kepala
dan seberapa parah cederanya. Survey sekunder dilakukan setelahnya
dan meliputi pemeriksaan dada, abdomen, pelvis, ekstrimitas bagianatas untu memeriksa
cedera tambahan dan tidak lupa pemeriksaan ekstrimitas bawah baik ipsilateral maupun
kontralateral dari cedera. Penilaian cedera otot, ligamen, dan tendon juga sebaiknya
dilakukan dan didokumentasikan.
Pemeriksaan ekstrimitas juga harus melingkupi vaskularitas dari ekstrimitas termasuk warna,
suhu, perfusi, perabaan denyut nadi, capillary return (normalnya < 3 detik) dan pulse
oximetry. Pemeriksaan neurologi yang detail juga harus mendokumentasikan fungsisensoris
dan motoris.
Apabila pasien datang dengan cedera yang parah atau politrauma maka penanganan
awal pasien harus mengikuti protokol Advanced Trauma Life Support (ATLS) termasuk
identifikasi dan penanganan cedera yang membahayakan nyawa. Langkah pertama adalah
mengamankan dan mengevaluasi jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi dari pasien.Intubasi
endotrakeal dan cairan intravena mungkin diperlukan. Perlindungan terhadap tulang
belakang harus diperhatikan dengan seksama sampai cedera tulang belakang dapat
dieksklusi dengan pemeriksaan klinis maupun radiologi. Saa pasien sudah stabil
hemodinamiknya barulah diadakan survey sekunder yang secara lengkap mengevaluasi
cedera dalam tubuh pasien.
Tegantung dari kondisi pasien, pemeriksaan foto thorax dapat dilakukan. Dalam pemeriksaan
radiologi untuk cedera dan fraktur diberlakukan rule of two yaitu:
Dua sudut pandang : foto Anteroposterior dan lateral view harus didapatkan (duasudut
pandang yang bersudut 90 satu sama lain) tergantung dari area yangterkena, foto
yang spesifik mungkin diperlukan.
Dua Sendi: apabila terdapat cedera pada ekstrimitas, maka direkomendasikan untuk
mendapatkan foto yang mana mendapatkan gambaran radiologi sendi proksimal dan distas
dari cedera untuk mengevaluasi apakah ada kerusakan atau dislokasi pada sendi tersebut.
Dua ekstrimitas: direkomendasikan untuk mendapatkan foto dari kedua ekstrimitas baik yang
cedera maupun yang tidak cedera sehingga dapat membantu menganalisis anatomi dari
tulang dan membantu diagnosis. Foto ini jugamembantu menentukan panjang tulang dan
kelainan rotasi pada tulang.
Dua waktu : direkomendasikan untuk mendapatkan dua foto radiografi dimana satu waktu
sebelum reduksi dan satu fotonya lagi setelah reduksi atau fiksasi untuk menilai adekuasi
dari reduksi fraktur.



Menurut Hardiyani (1998), fraktur dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, dan cruris dst).
2. Berdasarkan luas dan garis fraktur terdiri dari :
a. Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks
tulang).
b. Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis penampang tulang).
3. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :
a. Fraktur kominit (garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan).
b. Fraktur segmental (garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan).
c. Fraktur Multipel ( garis patah lebih dari satu tapi pada tulang yang berlainan tempatnya,
misalnya fraktur humerus, fraktur femur dan sebagainya).
4. Berdasarkan posisi fragmen :
a. Undisplaced (tidak bergeser) / garis patah komplit tetapi kedua fragmen tidak bergeser.
b. Displaced (bergeser) / terjadi pergeseran fragmen fraktur
5. Berdasarkan hubungan fraktur dengan dunia luar :
a. Tertutup
b. Terbuka (adanya perlukaan dikulit).
6. Berdasar bentuk garis fraktur dan hubungan dengan mekanisme trauma :
a. Garis patah melintang.
b. Oblik / miring.
c. Spiral / melingkari tulang.
d. Kompresi
e. Avulsi / trauma tarikan atau insersi otot pada insersinya. Missal pada patela.
7. Berdasarkan kedudukan tulangnya :
a. Tidak adanya dislokasi.
b. Adanya dislokasi
- At axim : membentuk sudut.
- At lotus : fragmen tulang berjauhan.
- At longitudinal : berjauhan memanjang.
- At lotus cum contractiosnum : berjauhan dan memendek.


A : Airway, dengan kontrol servikal. Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan
nafas. Ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas oleh adanya benda asing atau
fraktur di bagian wajah. Usaha untuk membebaskan jalan nafasharus memproteksi tulang
cervikal, karena itu teknik Jaw Thrust dapat digunakan.Pasien dengan gangguan kesadaran
atau GCS kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway definitif .
B : Breathing . Setelah mengamankan airway maka selanjutnya kita harus menjamin ventilasi
yang baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi dari paru -paru yang baik,dinding dada dan
diafragma. Beberapa sumber mengatakan pasien dengan fraktur ektrimitas bawah yang
signifikan sebaiknya diberi high flow oxygen 15 l/m lewat non-rebreathing mask dengan
reservoir bag.
C : Circulation. Ketika mengevaluasi sirkulasi maka yang harus diperhatikan di siniadalah
volume darah, pendarahan, dan cardiac output. Pendarahan sering menjadi permasalahan
utama pada kasus patah tulang, terutama patah tulang terbuka. Kerusakan pada jaringan
lunak dapat mengenai pembuluh darah besar dan menyebabkan pendarahan yang hebat. Patah
tulang femur dapat menyebabkan kehilangan darah dalam paha 3 4 unit darah dan
membuat syok kelas III. Menghentikan pendarahan yang terbaik adalah menggunakan
penekanan langsung dan meninggikan lokasi atau ekstrimitas yang mengalami pendarahan
di atas level tubuh. Pemasangan bidai yang baik dapat menurunkan pendarahan secara nyata
dengan mengurangi gerakan dan meningkatkan pengaruh tamponade otot sekitar patahan.
Pada patah tulang terbuka, penggunaan balut tekan steril umumnyadapat menghentikan
pendarahan. Penggantian cairan yang agresif merupakan hal penting disamping usaha
menghentikan pendarahan.
D : Disability. Menjelang akhir survey primer maka dilakukan evaluasi singkat terhadap
keadaan neurologis. yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil,
tanda-tanda lateralisasi dan tingkat cedera spinal. GCS merupakan sistem skoring yang
sederhana namun dapat meramalkan kesudahan pasien terutama perkiraan motorik
terbaiknya.
E : Exposure. Pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya, seiring dengan cara menggunting,
guna memeriksa dan evaluasi pasien. Setelah pakaian dibuka, penting bahwa pasien
diselimuti agar pasien tidak hipotermia. harus dipakaikanselimut hangat, ruangan yang cukup
hangat, dan diberikan cairan intravena yang hangat agar pasien tidak hipotermia.

Pemeriksaan tambahan pada pasien dengan trauma muskuloskeletal seperti fraktur adalah
imobilisasi patah tulang dan pemeriksaan radiologi
A.1 terapi pada fraktur tertutup
Pada dasarnya terapi fraktur terdiri atas manipulasi fraktur untuk memperbaiki posisi
fragmen, diikuti dengan pembebatan untuk mempertahankannya bersama-sama sebelum
fragmen-fragmen itu menyatu; sementara itu gerakan sendi dan fungsi harus di pertahankan.
Pada penyembuhan fraktur dianjurkan untuk melakukan aktivitas otot dan penahanan beban
secara lebih awal. Tujuan ini mencakup dalam 3 keputusan yang sederhana; reduksi,
mempertahankan, lakukan latihan.
Pada penanganan sulit menahan fraktur secara memadai sambil tetap menggunakan tungkai
secukupnya: ini merupakan suatu pertentangan (tahan lawan gerakan) yang perlu dicari
pemecahannya secepat mungkin oleh ahli bedah (misalnya dengan fiksasi internal). Terapi
bukan saja d tentukan oleh jenis fraktur tetapi juga oleh keadaan jaringan lunak di sekitarnya.
Tscherne (1984) telah menyediakan klasifikasi cedera tertutup yang bermanfaat: tingkat 0
adalah fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cidera jaringan lunak; tingkat 1 adalah fraktur
dengan abrasi dangkal atau memar pada kulit dan jaringan subkutan; tingkat 3 adalah cedera
berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan ancaman sindroma kompartemen.

A.1.1 Reduksi
Meskipun terapi umum dan resusitasi harus selalu di dahuluka, tidak boleh ada keterlambatan
dalam menangani fraktur; pembengkakan bagian lunak selama 12 jam pertama akan
mempersukar reduksi. Tetapi terapat beberapa situasi yang tak memerlukan reduksi;
(1) bila pergeseran tidak banyak atau tidak ada;
(2) bila pergeseran tidak berarti (misalnya pada fraktur clavicula); dan
(3) bila reduksi tampak tak akan berhasil (misalnya pada fraktur kompresi pada vertebra).
Fraktur yang melibatkan permukaan sendi; ini harus di reduksi sempurna mungkin karna
setiap ketidakberesan akan memudahkan timbulnya arthritis degenerative. Terdapat dua
metode reduksi; tertutup dan terbuka.

Reduksi tertutup
Dengan anastesi yang tepat dan relaksasi otot, fraktur dapat direduksi dengan manuver tiga
tahap:
(1) bagian distal tungkai di tarik ke garis tulang;
(2) sementara fragmen-fragmen terlepas, fragmen itu di reposisi (dengan membalikkan arah
kekuatan asal kalau ini dapat di perkirakan); dan
(3) penjajaran di sesuaikan ke setiap bidang. Beberapa fraktur (misalnya pada batang femur)
sulit
di reduksi dengan manipulasi karena tarikan otot yang sangat kuat dan membutuhkan
traksi
yang lama.

Reduksi terbuka
Reduksi bedah pada fraktur dengan penglihatan langsung di indikasikan:
(1) Bila reduksi tertutup gagal, baik karena kesukaran mengendalikan fragmen atau karena
Terdapat jaringan lunak di antara fragmen-fragmen itu;
(2) bila terdapat fragmen artikular besar yang perlu di tempatkan secara tepat; atau
(3) bila terdapat fraktur traksi yang fragmennya terpisah. Namun biasanya reduksi terbuka
hanya
merupakan langkah pertama untuk fiksasi internal.

A.1.2 Mempertahankan Reduksi
Metode yang tersedia untuk mempertahankan reduksi adalah:
(1) traksi terus-menerus;
(2) pembebatan dengan gips:
(3) pemakaian panahan fungsional,
(4) fiksasi internal; dan

(5) fiksasi eksternal.

Otot di sekeliling fraktur, kalau utuh bertindak sebagai suatu kompartemen cair; traksi
atau kompresi menciptakan suatu efek hidrolik yang dapat membebat fraktur. Karena itu
metode tertutup paling cocok untuk fraktur dengan jaringan yang lunak yang utuh, dan
cenderung gagal jika metode itu digunakan sebagai metode utama untuk terapi fraktur yang
disertai dengan kerusakan jaringan lunak yang hebat.

Traksi terus menerus
traksi dilakukan pada tungkai di bagian distal fraktur, supaya melakukan suatu tarikan
yang terus menerus pada poros panjang tulang itu. Cara ini sangat berguna untuk fraktur
batang yang bersifat oblik atau spiral yang mudah bergeser dengan kontraksi otot.

Traksi tidak dapat menahan fraktur yang diam, traksi dapat menarik tulang panjang secara
lurus dan mempertahankan panjangnya tetapi reduksi yang tepat kadang-kadang suka
dipertahankan. Dan sementara itu pasien dapat menggerakkan sendi-sendinya dan melatih
ototnya. Traksi cukup aman, asalkan tidak berlebihan dan berhati-hati bila menyiapkan pen-
traksi. Masalahnya adalah kecepatan: bukan karena fraktur menyatu secara perlahan-lahan
(bukan demikian) tetapi karena traksi tungkai bawah akan menahan pasien tetap di rs.
Akibatnya, segera setelah fraktur lengket (dapat mengalami deformitas tetapi tidak
mengalami pergeseran), traksi harus digantikan dengan bracing kalau metode ini dapat
dilaksanakan.

Traksi dengan gaya berat; cara ini hanya berlaku pada cidera tungkai atas. Karena itu,
bila memakai kain penggendong lengan, berat lengan akan memberiakan traksi terus menerus
pada humerus.
Traksi kulit; traksi kulit (traksi buck) dapat menahan tarikan yang tak lebih dari 4 atau 5
kg. Ikatan holland atau elastoplast rentang-satu-arah di tempelkan pada kulit yang telah di
cukur dan di pertahankan dengan suatu pembalut. Maleolus di lindungi dengan tisu gamgee,
dan untuk traksi di gunakan tali atau plaster
Traksi kerangka; kawat kirscer, pen steinmann atau pen denham di masukkan, biasanya
di belakang tuberkel tibia untuk cidera pinggul, paha dan lutut; di sebelah bawah tibia atau
pada kalkaneus untuk fraktur tibia. Kalau digunakan suatu pen, di pasang kait yang dapat
berputar dengan bebas, dan tali dipasang pada kait itu untuk menerapkan traksi. Traksi harus
selalu dilawan dengan oleh aksi lawan; artinya, tarikan harus di lakukan terhadap sesuatu,
atau tarikan itu hanya akan menarik pasien ke bawah tempat tidurnya.
Traksi tetap; tarikan di lakukan terhadap suatu titik tertentu, contohnya palster di
tempelkan pada bagian persilangan bebat thomasdan menarik kaki ke bawah hingga pangkal
tungkai menyentuh cicin bebat itu.
Traksi berimbang; tarikan di lakukan terhadap kekuatan berlawanan yang berasal dari
berat tubuh bila kaki tempat tidur tersebut di naikkan. Tali dapat di ikata pada kaki tempat
tidur, atau di lewatkan pada kerekan-kerekan dan di beri pemberat.

Traksi kombinasi; beban thomas di gunakan. Plester di tempelkan pada ujung bebat
dan bebat itu di gantung, atau di ikat pada ujung tempat tidur yang di angkat.




Pembelatan dengan gips
cara ini cukup aman, selama kita waspada akan bahaya pembalut gips yang ketat dan
asalkan borok akibat tekanan dapat dicegah. Kecepatan penyatuannya tidak lah lebih tinggi
maupun lebih rendah dibandingkan traksi, tetapi pasien dapat pulang lebih cepat.
Mempertahankan reduksi biasanya tak ada masalah dan pasien dengan fraktur tibia dapat
menahan berat pada pembalut gips. Tetapi, sendi-sendi yang terbungkus dalam gips tidak
dapat bergerak dan cenderung kaku, kekakuan yang mendapat julukan penyakit fraktur
merupakan masalah dalam penggunaan gips konvensional.
Kekakuan dapat diminimalkan dengan :
1. Pembebatan tertunda yaitu penggunaan traksi hingga gerakan telah diperoleh kembali,
dan baru kemudian menggunakan gips, atau
2. Memulai dengan gips konvensional, tetapi setelah beberapa hari bila tungkai dapat
dipertahankan tanpa terlalu banyak ketidaknyamanan gips tersebut maka diganti dengan suatu
penahan fungsional yang memungkinkan gerakan sendi.

Bracing fungsional


Bracing fungsional menggunakan gips salah satu dari bahan yang ringan merupakan
salah satu cara mencegah kekakuan pada sendi sambil masih memungkinkan pembebatan
fraktur. Segmen dari gips hanya dipasang pada batang tulang itu, membiarkan sendi-sendi
bebas, segmen gips itu dihubungkan dengan engsel dari logam atau plastic yang
memungkinkan gerakan pada suatu bidang. Bebat bersifat fungsional dalam arti bahwa
gerakan sendi tidak banyak terbatas dibandingkan gips konvensional.




Bracing fungsional paling luas digunakan untuk fraktur femur atau tibia, tetapi karena
penahan ini tidak kaku, biasanya ini hanya dipakai bila fraktur mulai menyatu, misalnya 3-6
minggu setelah traksi atau gips konvensional. Bila digunakan dengan cara ini, ternyata 4
persyaratan dasar yang diperlukan akan terpenuhi; fraktur dapat dipertahankan cukup baik;
sendi-sendi dapat digerakkan; fraktur akan menyatu dengan kecepatan normal (atau mungkin
sedikit lebih cepat) tanpa tetap menahan pasien di rs dan metode itu cukup aman.
Teknik diperlukan banyak keterampilan untuk memasang suatu penahan yang efektif.
Pertama fraktur di stabilkan; setelah beberapa hari dalam traksi atau dalam gips konvensional
untuk fraktur tibia; dan setelah beberapa minggu dalam traksi untuk fraktur femur (sampai
fraktur telah lengket, artinya dapat melentur tetapi tidak dapat terjadi pergeseran). Kemudian
pembalut gips atau bebat yang berengsel di pasang yang akan cukup menahan fraktur tetapi
memungkinkan gerakan sendi; di anjurkan melakukan aktivitas fungsional, termasuk penahan
beban.
Fiksasi internal
fragmen tulang dapat di ikat dengan sekrup, pen atau paku pengikat, plat logam yang di ikat
dengan sekrup, paku intramedular yang panjang (dengan atau tanpa sekrup
pengunci),circumferential bands, atau kombinasi dari metode ini. Bila di pasang dengan
semestinya, fiksasi internal menahan fraktur secara aman sehingga gerakandapat segera di
mulai; dengan gerakan lebih awal penyakit fraktur (kekakuan dan edema) dapat di hilangkan.
Dalam hal kecepatan pasien dapat meninggalkan rumah sakit segera setelah luka sembuh,
tetapi dia harus ingat bahwa meskipun tulang bergerak sebagai satu potong, fraktur belum
menyatu, hanya dipertahankan oleh jembatan logam; karna itu penahanan beban yang tak
terlidung selama beberapa waktu tidak aman. Bahaya yang terbesar adalah sepsis; kalau
terjadi infeksi semua keuntungan fiksasi internal (reduksi yang tepat, stabilitas yang segera
dan gerakan lebih awal) dapat hilang.














Indikasi fiksasi internal sering menjadi bentuk terapi yang paling di perlukan. Indikasi
utamanya adalah:
1. Fraktur yang tidak dapat di reduksi kecuali dengan operasi
2. Fraktur yang tak stabil secara bawaan dan cenderung mengalami pergeseran kembali
setelah reduksi (misalnya fraktur pertengahan batang pada lengan bawah dan fraktur
pergelangan kaki yang bergeser); selain itu, juga fraktur yang cenderung perlu di tarik
terpisah oleh kerja otot (misalnya fraktur melintang pada patella atau olecranon)
3. Fraktur yang penyatuannya kurang baik dan perlahan-lahan, terutama fraktur pada leher
femur.
4. Fraktur patologik, di mana penyakit tulang dapat mencegah penyembuhan.
5. Fraktur multiple, bila fiksasi dini (dengan fiksasi internal atau luar) mengurani resiko
komplikasi umum dan kegagalan organ pada berbagai sistem.
6. Fraktur pada pasien yang sulit perawatannya (penderita paraplegia, pasien dengan cedera
multiple) dan sangat lansia).
Teknik banyak tersedia metode, termasuk pengunaan kawat, skrup, plat, batang intramedula
dan kombinasi dari semua itu. Bila plat di gunakan, kalau mungkin plat harus di pasang pada
permukaan yang
Dapat di tegangkan, yang biasanya pada sisi cembung tulang, bila paku intramedula di
gunakan, paku itu dapat dikuncikan dengan sekrup melintang (muller dkk., 1991)
Frakturulang tidak boleh melepas logam terlalu cepat, atau tulang akan patah lagi. Paling
cepat satu tahun dan 18 atau 24 bulan lebih aman; beberapa minggu setelah pelepasan, tulang
itu lemah, dan di perlukan perawatan atau perlindungan.
Fiksasi luar
fraktur dapat di pertahankan dengan sekrup pengikat atau kawat penekan melalui tulang
di atas dan di bawah fraktur dan di lekatkan pada suatu kerangka luar. Cara ini dapat di
terapkan terutama pada tibia dan pelvis, tetapi metode ini juga digunakan untuk fraktur pada
femur, humerus, radius bagian bawah dan bahkan tulang-tulang pada tangan.



Indikasi fiksasi luar sangat berguna untuk:
1. Fraktur yang di sertai dengan kerusakan jaringan lunak yang hebat di mana luka dapat
dibiarkan terbuka untuk pemeriksaan, pembalutan atau pencangkokan kulit.
2. Fraktur yang disertai dengan kerusakaan saraf atau pembuluh.
3. Fraktur yang sangat kominutif dan tak stabil, sehingga sebujur tulangnya dapat
dipertahankan hingga mulai terjadi penyembuhan.
4. Fraktur yang tak menyatu, yang dapat dieksisi dan dikompresi; kadang-kadang fraktur ini
di kombinasi dengan pemanjangan.
5. Fraktur pada pelvis, yang sering tidak dapat di atasi dengan metode lain.
6. Fraktur yang terinfeksi, di mana fiksasi internal mungkin tidak cocok.
7. Cidera multipel yang berat, bila stabilisasi lebih awal mengurangi resiko komplikasi yang
berbahaya (phillips dan contreras, 1990)
Teknik prinsip fiksasi eksternal sederhana: tulang di tranfiksikan di atas dan di bawah
fraktur dan sekrup atau kawat di transfiksikan bagian proksimal dan distal kemudian di
hubungkan satu sama lain dengan suatu batang yang kaku. Terdapat berbagai teknik dan alat
fiksasi: transfiksi dengan pen, sekrup atau kawat; batang penghubung pada kedua sisi tulang
atau pada satu sisi saja.
A.1.3 latihan
Lebih tepatnya memulihkan fungsi-bukan saja pada bagian yang mengalami cedera tetapi
juga pada pasien secara keseluruhan. Tujuannya adalah mengurangi edema, mempertahankan
gerakan sendi, memulihkan tenaga otot dan memandu pasien kembali ke aktivitas normal.
Pencegahan edema pembengkakan hampir tak dapat dielakkan setelah fraktur dan dapat
menyebabkan perengangan dan lepuh pada kulit. Edema yang menetap adalah penyebab
adalah penyebab penting kekakuan sendi, terutama pada tangan; kalau dapat, ini perlu
dicegah, dan terapi dengan giat kalau sudah terjadi, dengan kombinasi peninggian dan
latihan. Pasien tidak perlu dirawat di rumah sakit, dan cidera yang tidak begitu berat pada
tungkai atas berhasil ditangani dengan penempatan lengan pada kain gondongan; tetapi
kemudian penting untuk berusaha menggunakannya secara aktif, dengan menggerakkan
semua sendi bebas. Inti perawatan jaringan lunak dapat diringkas sbb : meninggikan dan
melakukan latihan: jangan menjutaikan, jangan memaksa.
Peninggian tungkai yang mengalami cedera berat biasanya perlu di tinggikan; setelah reduksi
pada fraktur kaki, kaki tempat tidur ditinggikan dan latihan di mulai.
Latihan aktif gerakan aktif membantu memompa keluar cairan edema, merangsang sirkulasi,
mencegah pelekatan jaringan lunak dan membantu penyembuhan fraktur.
Gerakan berbantuan telah lama diajarkan bahwa gerakan pasif dapat merusak, terutama pada
cidera sekitar siku dimana terdapat banyak resiko munculnya miositis osifikans. Tentu saja
tak boleh lakukan gerakan paksaan, tetapi bantuan perlahan-lahan selama latihan aktif dapat
membantu mempertahankan fungsi atau memperoleh kembali gerakan setelah terjadi fraktur
yang melibatkan permukaan artikular.

Aktifitas fungsional pasien mungkin perlu diajarkan lagi bagaimana cara melakukan tugas
sehari-hari, misalnya berjalan, rebah, dan bangun dari tempat tidur, mandi, dll.

A.2 terapi pada fraktur terbuka

1. Pertimbangan umum
Ada 4 klasifikasi yang perlu di perhatikan; (1) bagaimana sifat luka itu; (2) bagaimana
keadan kulit di sekitar luka? Apakah sirkulasi cukup baik? Dan (3) apakah semua saraf utuh?
Semua fraktur terbuka seberapapun ringannya harus di anggap terkontaminasi dan perlu
untuk mencegah adanya infeksi. Untuk tujuan ini, empat hal penting adalah: (1) pembalutan
luka dengan segera; (2) profilaksis antibiotika; (3) debridemen luka secara dini; dan (4)
stabilisasi fraktur.
3. Penanganan dini
Luka harus tetap ditutup. Antibiotika diberikan secepat mungkin, seberapapun laserasi itu
harus dilanjutkan hingga bahaya infeksi terlewati. Pada umumnya pemberian kombinasi
benzilpensilin dan flukloksasilin tiap 6 jam selama 48 jam akan mencukupi. Jika luka sangat
terkontaminasi, maka untuk mencegah gram-negatif yaitu dengan menambahkan
gentaminisin atau methonidazol dan melanjutkan terapi selama 4-5 hari. Pemberian
profilaksis tetanus juga penting. Toksoid yang diberikan pada mereka yang sebelumnya telah
diimunisasi. Jika belum, berilah antiserum manusia.
4. Debridemen
Operasi bertujuan untuk membersihkan luka dari benda asing dan jaringan mati, memberikan
persediaan darah yang baik di seluruh bagian tersebut. Dilakukan irigasi akhir disertai obat
antibiotika. Jaringan kemudian di tangani sebagai berikut.
Kulit
Hanya sesedikit mungkin kulit di eksisi dari tepi luka. Pertahankan sebanyak mungkin kulit.
Luka sering perlu di perluas dengan insisi yang terencana untuk memperoleh daerah terbuka
yang memadai.setelah di perbesar, pembalut dan bahan asing lain dapat di lepas.
Fasia
Fasia di belah secara meluas sehigga sirkulasi tidak terhalang.
Otot
Otot yang mati berbahaya, karna merupakan makanan bakteri. Otot yang mati biasanya dapat
dikenal melalui perubahan warna yang keungu-unguannya, konsistensinya buruk, tidak dapat
berkontraksi bila di rangsang, dan tak berdarah bila di potong.
Pembuluh darah
Pembuluh darah yang banyak mengalami pendarahan diikat dengan cermat tetapi, untuk
meminimalkan jumlah benang yang tertinggal dalam luka, pembuluh yang kecil di jepit
dengan gunting tang arteridan di pilin.
Saraf
Saraf yang terpotong biasanya terbaik dibiarkan saja tetapi bila luka itu bersih dan ujung-
ujung luka bersih dan tidak terdiseksi, selubung luka dijahit dengan bahanyang tak dapat
diserap untuk memudahkan pengenalan dibelakang hari.
Tendon Biasanya, tendon yang terotong juga dibiarkan saja seperti halnya saraf, penjahitan
diperbolehkan hanya kalau luka itu bersih dan diseksi tak perlu dilakukan.
Tulang Permukaan fraktur dibersihkan secara perlahan dan ditempatkan kembali pada posisi
yang benar. Tulang, seperti kulit, harus diselamatkan dan fragmen baru boleh dibuang bila
kecil dan lepas sama sekali.
Sendi Cidera sendi terbuka terbaik diterapi dengan pembersihan luka, penutupan sinovium
dan kapsul, dan antibiotika sistemik: drainase atau irigasi sedotan hanya digunakan kalau
terjadi kontaminasi hebat.

5. Penutupan luka
Luka tipe i yang kecil dan tidak terkontaminasi, yang dibalut dalam beberapa jam setelah
cidera, setelah debridement, dapat dijahit. Luka yang laim harus dibiarkan terbuka hingga
bahay infeksi telah dilewati. Luka itu dibalut sekedarnya dengan kasa steril dan diperiksa
setelah 5 hari. Kalau bersih, luka tersebut dijahit.

6. Stabilisasi fraktur
Stabilisasi fraktur diperlukan untuk mengurangi infeksi. Untuk luka tipe i atau tipe ii yang
kecil dengan fraktur yang stabil, boleh menggunakan gips yang dibelah secara luas atau,
untuk femur digunakan traksi pada bebat. Metode yang paling aman adalah fiksasi external.
Pemasangan pet intramedula dapat digunakan untuk femur atau tibia, terbaik jangan
melakukan pelebaran luka pendahuluan yang akan meningkatkan resiko infeksi.

7. perawatan sesudahnya
Tungkai ditinggikan ditemoat tidur dan sirkulasinya diperhatikan dengan cermat. Syok
mungkin masih membutuhkan terapi. Kalau luka dibiarkan terbuka, periksa setelah 5-7 hari.

8. Sekuele pada fraktur terbuka
Kulit kalau terdapat kehilangan kulit atau kontraktur, pencangkokan mungkin diperlukan.
Bila diperlukan operasi perbaikan atau rekonstruksi pada jaringan yang lebih dalam,
pencangkokan kulit dengan ketebalan penuh sangat diperlukan.
Tulang infeksi dapat mengakibatkan sekuester dan sinus. Sekuester yang kecil harus
disingkirkan secara dini, tetapi potongan-potongan besar dapat dieksisi. Penundaan
penyatuan tak dapat dielakkan setelah infeksi fraktur, tetapi penyatuan akan terjadi jika
infeksi dikendalikan dan terapi dilanjutkan dalam waktu yang cukup lama.
Sendi bila fraktur yang terinfeksi mempunyai hubungan dengan suatu sendi, prinsip terapinya
sama seperti terapi infeksi tulang, yaitu ; pengobatan, drainase, dan pembebatan.

Obat-obat emergency atau obat-obat yang dipakai pada gawat darurat adalah atrofin,
efedrinn, ranitidin, ketorolak, metoklorpamid, amonofilin, asam traneksamat, adrenalin,
kalmethason, furosemid, lidokain, gentamisin, oxitosin,methergin, serta adrenalin.
Adapun macam-macam obat emergency yang akan dibahas dalam referat iniadalah sebagai
berikut:2
1. Efinefrin
2. Efedrin
3. Sulfas atrofin
4. Aminophlin
5. Deksamethason

1. Epinefrin (Adrenalin)
Epinefrin merupakan prototipe obat kelompok adrenergik. Dengan mengerti efek
epinefrin, maka mudah bagi kita untuk mengerti efek obat adrenergik yang bekerja di
reseptor lainnya. epinefrin bekerja pada semua reseptor adrenergik: 1,
2, 1 dan 2sedangkan norepinefrin bekerja pada reseptor 1, 2, 1 sehingga efeknya
sama dengan epinefrin dikurangi efek terhadap 2. Selektivitas obat tidak mutlak, dalam
dosis besar selektivitas hilang. Jadi dalam dosis besar agonis 2 tetap dapat menyebabkan
perangsangan reseptor 1 di jantung.4,5

2. Efedrin
Efedrin adalah alkaloid yang terdapat dalam tumbuhan yang disebut efedra atau ma-
huang. Ma-huang mengandung banyak alkaloid mirip efedrin yang kemudian dapat diolah
menjadi efedrin. Bahan herbal yang mengandung efedrin telah digunakan di Cina selama
2000 tahun, dan sejak puluhan tahun merupakan komponen obat herbal Cina untuk berbagai
klaim misalnya obat pelangsing, obat penyegar atau pelega napas.4,5
Efedrin mulai diperkenalkan di dunia kedokteran modern pada tahun 1924 sebagai
obat simpatomimetik pertama yang dapat dikonsumsi secara oral. Karena efedrin adalah
suatu non-katekolamin maka efedrin memiliki bioavailabilitas yang tinggi dan secara relative
memiliki durasi kerja yang lama selama berjam-jam.5
Efedrin belum secara luas diteliti pada manusia, meskipun sejarah penggunaanya
telah lama. Kemampuannya untuk mengaktivasi reseptor mungkin bermanfaan pada
pengobatan awal asma. Karena efeknya yang mencapai susunan saraf pusat maka efedrin
termasuk suatu perangsang SSP ringan. Pseudoefedrin yang merupakan satu dari empat
turunan efedrin, telah tersedia secara luas sebagai campuran dalam obat-obat dekongestan.
Meskipun demikian penggunaan efedrin sebagai bahan baku methamfetamin meyebabkan
penjualannya telah dibatasi.4,5

3. Sulfas Atropin (Anti Muskarinik)
Penghambat reseptor muskarinik atau anti-muskarinik dikelompokkan dalam 3
kelompok yaitu: 5
1. Alkaloid antimuskarinik : Atropin dan Skopolamin
2. Derivat semisintetisnya, dan
3. Derivat sintetis
Sintesis dilakukan dengan maksud mendapatkan obat dengan efek khusus terhadap gangguan
tertentu dan efek samping yang lebih ringan. Kelompok obat ini bekerja pada reseptor
muskarinik dengan afinitas berbeda untuk berbagai subtipe reseptor muskarinik. Oleh karena
itu saat ini terdapat antimuskarinik yang digunakan untuk: 5
1. Mendapatkan efek perifer tanpa efek sentral misalnya, antispasmodik.
2. Pengunaan lokal pada mata sebagai midriatikum.
3. Memperoleh efek sentral, misalnya untuk mengobati penyakit Parkinson
4. Bronkodilatasi
5. Memperoleh efek hambatan pada sekresi lambung dan gerakan saluran cerna.
Atropin (campuran dan l-hiosiamin) terutama ditemukan pada Atropa
belladonna dan Datura stramonium, merupakan ester organik dari asam tropat dengan
tropanol atau skopin (basa organik). Walaupun selektif menghambat reseptor muskarinik,
pada dosis sangat besar atropine memperlihatkan efek penghambatan juga di ganglion
otonom dan otot rangka yang reseptornya nikotinik.5

4. Aminofilin (Derivat Xantin: theophylline ethylenediamine)
Derivat xantin yang terdiri dari kafein, teofilin dan teobromin ialah alkaloid yang
terdapat dalam tumbuhan. Sejak dahulu ekstrak tumbuh-tumbuhan ini digunakan sebagai
minuman. Kafein terdapat dalam kopi yang didapat dari biji Coffea Arabica, Teh dari
daun Thea sinensis mengandung kafein dan teofilin. Cocoa, yang didapat dari bijiTheobroma
cacao mengandung kafein dan teobromin. Ketiganya merupakan derivat xantin yang
mengandung gugus metil. Xantin sendiri ialah dioksipurin yang mempunyai struktur mirip
dengan asam urat.5

5. Deksamethason (Kortikosteroid)
Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein dan lemak; dan
mempengaruhi juga fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik, sistem saraf dan organ
lain. Korteks adrenal berfungsi homeostatis, artinya penting bagi organisme untuk dapat
mempertahankan diri dalam menghadapi perubahan lingkungan.5
Glukokortikoid memiliki efek yang tersebar luas karena mempengaruhi fungsi dari
sebagian besar sel-sel tubuh. Dampak metabolik yang utama dari sekresi atau pemberian
glukokortikoid adalah disebabkan karena kerja langsung hormon-hormon ini pada sel. Tetapi
dampak pentingnya adalah dalam menghasilkan respon homeostatik pada insulin dan
glucagon. Meskipun banyak efek dari glukokortikoid berkaitan dengan dosis dan efeknya
membesar ketika sejumlah besar glukokortikoid diberikan untuk tujuan terapi.5,6

Anda mungkin juga menyukai