Anda di halaman 1dari 10

w

tssN 2303-2324
tika
Kontemporer
Jurnal Sosiolosi
Diale
V0LUME l, l'10.1, JAiIUARI-JUNI 2013
DITERBITKAN OLEH:
PROG RAM PASCASARJANA U N IVE RSITAS N EG E RI MAKASSAR
I
Peran ElitAdat dalam
politik praktis
di Sulawesi Selatan
pasca
orde
Baru
Sudirman Muhammadiyah
I
RIVALITAS POLITIK LOKAL :
perspektif
Sosiologi Kekuasaan
atas Hegemoni Parpol Terhadap calon
perseorangan
dalam
pemilihan
Walikota Kendari2}I2
Ambo Upe
I
ISLAMOPHOBIA: (Analisis Sosiologi Trust Terhadap Islam di
Barat)
Syahrir Ibnu
I
PEMBINAAN SEBAGAI UPAYA REHABILITASI
SOSIAL
PENGGLINANAPZA
(Studi pada Lapas Narkotika Klas IIA Sungguminasa Gowa)
Darwis
I
MARAeDIABALANIPA (Srudi
pergeseran peran
di
polman
Provinsi Sulawesi Barat)
Muhammad Asdar A.B.
I DINAMIKA SOSIAL PRAMURIA: Sfudi KASUS di PhATOS NitE
Park, Makassar
Benyamin Rongrean
:
KAOMBO (Kearifan Lokal Buton tentang Hutan dan Lingkungan)
La Ode Muhammad Deden MarrahAdil
I
DAMPAK PRoGRAM PENGEMBANGAN
KECAMATAN (PPK)
TERHADAP PENINGKATAN EKONOMI MASYARAKAT DI
KECA]WATAN BANTIMURLING
KABUPATEN MAROS
Adi Sumandiyar
f
rovnrNirasl IERKAwTNANANTAR
ETNIK (srudi Kasus
PerkawinanAntar Etnik Manado
-
Jawa di Kota Makassar)
DeetjeAnna Kawengian
I:'
Merajut Persaudaraan Komunitas Lewat Konflik (studi suporter
Tumamen Sepak Bola Komodo cup Manggarai NTT di Makassar)
Arda Senaman
NIYATITAS POI,ITII( IOKAI,
Perspektif Sosioloui l{ekuasaan atas lleuemoni Parpol Terhadap Calon
Perseoranuan dalam Pemilihan llralikota l{endari 20lZ
Ambo Upe
FISIP Universitas Haluoleo Kendari
Abstract
The Region head elections have been undergone changes significant towards consolidqtion democrace, it is began
from
the representation system, the directly elections with giving chance
for
the politics
the couple of independent
candidate. The
fenomena
of the independent candidate at the new local politics
area hqve began in the
fith
years
lqte' So the sociological studies regard with the politics revility its limited. Therefore it is not
found
yet the scientific
publication held' So this study aims to explain the construction of the politics party hegemony of the independent
candidates and to understand the voters tendention in occur the politics revality at the Kendari Mayor elections in the
years 2012. To achieve the aims is used the qualitative
descriptive approach that based in the natural background and
the politics setting in Kendari City. The result of this research showed the couple victory Asrun Musadar that to discrip
the manifestation of the hegemony counstruction of the politics party and the incumbent politics party structuration.
Beside that the couple of La Ode Geo- Oscar Silverius as the independent candidqte
failure
in the hegemony counter
that coused by the internalisation politics was not optimally and the institutional is notforce to the lowers people
organization. Moreever the couple candidate independent
failure
its also coused by the viuters tendention of election
that have been hegemony by the politics party persuasived.
Thus the conclution of this case are the politics revality
in region heads elections is
following
with the pattern diatectically include; the hegemony, counter hegemony, new
hegemony, and the re-counter hegemony and so on.
Keywords: Election, Local Politic, Hegemony, Politic Party, Independ.ent Candidates
Pendahuluan
erjalanan sistem politik Indonesia memasuki babak baru setelah disahkan Undang-Undang
Nomor l2
Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.Produk
hukum ini merupakan putusan
untuk melegitimasi
secara tegas posisi calon perseorangan
dapat melenggang dalam perhelatan pemilihan kepala daerah (gubemur,
walikota, dan bupati) tanpa melalui jalur
partai politik. Putusan tersebut merupakan langkah maju dalam
pelembagaan demokrasi, baik secara nasional maupun lokal. Perkembangan
wacana calon perseorangan
dalam
rekrutmen pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah merupakan tuntutan dari dialektika sejarah
perpolitikan
nasional. Secara historis, sistem kepolitikan bangsa Indonesia hingga dewasa ini telah berkali-kali
mengalami perubahan, mulai dari Orde Lama hingga Reformasi. Hal ini sejalan dengan tesis Huntington bahwa
demokratisasi Indonesia ibarat gelombang yang pasang, surut, lalu bergulung-gulung
kemudian memuncak lagi.
Dewasa ini reformasi sering dimaknai sebagai era yang lebih demokratis, akan tetapi Indonesia masih berada
dalam masa transisi demokrasi. Transisi yang terjadi ditandai oleh tingginya derajat ketidakpastian, akibat belum
9
terlembagakannya
pola baru sementara pola lama telah mengalami dekonstruksi pasca liberalisasi (O'Domel, 1993).
Idealnya,
perubahan sistem pemilihan dapat berpengaruh
positif pada iklim politik yang semakin demokratis. Larry
Diamond dan Juan Linz, merumuskan tiga unsur untuk mengukur derajat demokrasi, yakni kompetisi nyata dan
meluas di kalangan individu dan kelompok dalam memperebutkan
jabatan-jabatan politik tanpa menggunakan
paksaan; partisipasi politik yang luas; dan tingkat kebebasan sipil dan politik yang cukup untuk menjamin integritas
kompetisi dan partisipasi politik (Lipset,2007). Sejalan dengan itu, menurut Huntingtonbahwaparameter terwujudnya
demokrasi antara lain pemilihan umrun, rotasi kekuasaan, rekrutrnen secara terbuka, serta akuntabilitas publik.
Dalam konteks Pemilukada,
pergantian pemimpin tingkat lokal ini bukanlah semata-mata pergantian penguasa
(circulates des elites), melainkan merupakan fase baru untuk menata sistern kemasyarakatan dan pemerintahan
1,ang
good governance dan clean governance. Dengan demikian, fenomena yang menarik diteliti dalam perspektif
sosiologikekuasaanpadaPemilukadadewasainiyaituterjadinyaperubahansistempemilihan(electoralreform)yang
diasumsikan akan berimplikasi pada tampilnya pasangan calon perseorangan yang mumpuni. Kehadiran regulasi
ini memang telah melahirkan kontestan calon perseorangan, namun kehadiran kontestan melalui
jalur perseorangan
tampaknya beium menuai hasil yang signifikan. Pasalnya, sebagian besar kontestan
jalur
pe$eorangan di beberapa
rvilayah pemilihan, termasuk Pemilukada di Sulawesi Tenggara sampai saat ini belum ada yang memenangkan
perebutan kursi nomor wahid tersebut. Pasangan calon perseorangan secara signifikan gagal mendapatkan suara
terbanyak dari pemilih termasuk kegagalan calon perseorangan pada pemilihan Walikota Kendari tahun2012.
Berdasarkan serpihan fenomena sosial politik tersebut, besar dugaan bahwa kekalahan pasangan calon
perseorangan dalam rivalitas politik pada pemilihan Walikota Kendari tahun2072 dipicu oleh hegemoni partai
politik yang telah lama mengakar pada masyarakat. Untuk memastikan kebenaran pernyataan penelitian ini,
secara teknis diajukan dua hal penting untuk dieksplor atas realitas rivalitas politik lokal tersebut. Pertama,
bagaimana proses konstruksi hegemoni partai politik atas calon perseorangan pada pemilihan Walikota Kendari
tahun 2012? Kedua, bagaimana kecenderungan pemilih di tengah rivalitas politik yang terjadi pada pemilihan
Walikota Kendari tahun 20 12?
Metode Penelitian
pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yang dimaksudkan untuk
menggambarkan pola rivalitas politik dalam pemilihan Walikota Kendari tahun 2012. Selain data primer
juga
digunakan data sekunder berupa rekapitulasi hasil perolehan suara yang bersumber dari KPU Kota Kendari.
lnterpretasi dalam analisis data dilakukan dengan secara mengelaborasi 6eberapa pandangan teoretis dengan
maksud mempertajam analisis" Teknik analisis kualitatif digunakan model Miles and Huberman (1994) yang
meliputi tiga tahapan. Pertama, reduksi data (data reduction), yakni merangkum, memilih hal-hal pokok, dan
memfokuskan pada hal-hal penting dari datayang telah diperoleh dan mencari polanya. Kedua, penyajian data
t data display), yakni menampilkan data yang telah direduksi yang sifatnya sudah terorganisasikan dan mudah
dipahami. Ketiga, kesimpulan
(conclution drawing),yakni akumulasi dari kesimpulan awal yang disertai dengan
bukti yang valid, sehingga kesimpulan yang dihasilkan dalam penelitian ini dapat menjawab permasalahan
penelitian, yaitu memberikan
gambaran tentang rivalitas politik dalam pemilihan Walikota Kendari tahw2012.
Pembahasan
Hajatan demokrasi lokal di Kota Kendari dalam rangka memilih pasangan Walikota dan Wakil Walikota
,iigelar pada tanggal7 Juli21l}lalu. Pesta politik lokal ini membuahkan hasil yang menarik dikaj i dalam perspektif
sosiologi kekuasaan, khususnya berkenaan dengan ruang lingkup usaha pencapaian kekuasaan. Menariknya,
10
pemilihan V/alikota diramaikan oleh pasangan calon perseorangan yang secara konseptual dipandang sebagai
rival hebat atas tahta partai politik (partitokrasi) yang selama ini mengakar. Pada momentum Pemilukada I(ota
Kendari talrr.lr;'2012 diramaikan oleh lima pasangan calon, empat pasangan calon yang diusung oleh gabungan
partai politik, dan sepasang calon perseorangan. Meski telah melakukan kerja keras, namun pasangan calon
perseorangan belum mampu menumbangkan hegemoni pasangan dari partai politik. Karena itu, komposisi
perolehan suara dari masing-masing calon menjadi hal pokok ditampilkan (display)
dalam pembahasan ini
sebagai dasar analisis. Untuk lebih
jeiasnya
dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel Perolehan suara sah pasangan calon Walikota Kendari
No Pasangan Calon
Suara
Sah
Jalur
J
I
2
4
5
Dr. Ir. La Ode Maghribi, MT. dan
H. Rachman Siswanto Latjinta, SE.
Dr. La Ode Geo, MS. dan
Silverius Oscar Unggul, SP.
Dr. Ir. H. Asrun, M.Eng.Sc. dan
H. Musadar Mappasomba, SP.,
M.P.
Abd. Hasid Pedansa dan
Orda Miradwan Silindae, S.Sos.
Drs. H. Tony Herbiansyah, M.Si.
dan Muh. Yani Kasim Marewa, SE.
14.555
(9,95%)
7.889
(5,39%)
81.968
(56,05%)
6.781
(4,64%)
35.054
(23,97%)
17 partai non sheet
Perseorangan
PAN, PKS, PPP,
Golkar, Demokrat
PBR, PDIP, PPDI
Hanura, Gerindra,
PBB
Tabel di atas menunjukkan secara realistis adanya upaya politik secara konstitusional untuk meraih
kekuasaan pada level Walikota dan Wakil Walikota. Peristilahan kekuasaan dalam sosiologi dipopulerkan oleh
Weber. Menurutnya, kekuasaan adalah kemampuan untuk melaksanakan keinginan pemegang kekuasaan,
meskipun kekuasaan itu ditentang oleh orang lain. Tetapi orang tersebut tidak memiliki kekuatan untuk melawan
dan terpaksa patuh kepada pemegang kekuasaan (Johnson, 1986; Henslin, 2006). Sejalan dengan pandangan
Weber, Dahl (1994), mendefinisikan kekuasaan sebagai kemampuan seseorang memerintah orang lain untuk
melakukan sesuatu. Proses meraih kekuasaan dalam ajang pemilihan Walikota Kendari 2012 sebagaimana data
di atas secara umum menunjukkan terjadinya rivalitas politik lokal antara pasangan calon dari gabungan partai
politik dan pasangan calon perseorangan.
Parpol dan calon Perseorangan dalam Dialektika Konstruksi Hegemoni
Kajian atas konstruksi kekuasaan seperti yang telah dipaparkan di atas dipandang tepat
jika
menggunakan
kerangka teori konstruksi sosial Berger dan Luckmann. Konstruksi sosial mulai dikenal sejak Peter L. Berger
dan Thomas Luckmann menulis buku yang berjudul The Social Construction of Reality, A Trecttise In The
Sociological of Knowledge (1966). Ia menjelaskan bahwa proses sosial berlangsung melalui tindakan dan
interaksinya dimana individu menciptakan secara terus manerussuatu realitas yang dimiliki dan dialami secara
subjektif. Secara teknis, tesis utama Berger dan Luckmann menjelaskan bahwa manusia dan masyarakat adalah
produk yang dialektis, dinamis, dan plural secara kontinum. Proses dialektis tersebut meliputi tiga momen, yaitu
eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.
Posisi partai politik dan pasangan perseorangan dalam perhelatan politik merupakan proses konstruksi
kekuasaan. Salah satu dari kutub tersebut (kutup Parpol dan Perseorangan) akan tampil sebagai pemenang dan
i,) i c I c lt: t: i kl !{u n tc tt y u r t t 11
pihak lain akan kalah. Kemenangan dan kekalahan adalah buah dari upaya konstruksi hegemoni yang telah
dilakukan. Dalam konteks pemilihan kepala daerah, kemenangan pasangan Asrun-Musadar pada pemilihan
Walikota Kendari tahun 2012 merupakan bentuk keberhasilan dalam mengkonstruksi hegemoni dalam bentuk
ekstemalisasi politik, dan tenfu saja telah mengalami objektivasi dan internalisasi yang cukup lama dilakukan
oleh gabungan parlai besar yakni PAN, PKS, PPP, Golkar, Demokrat. Koalisi partai pendukung pasangan
Asrun-Musadar tampak
jelas
berasal dari partai besar. Pada dimensi analisis struktural partai pengusung, partai
Demokrat merupakan partai penguasa di tingkat pusat, demikian
juga
PAN sebagai partai di bawah nahkoda
penguasa tingkat provinsi, dan tidak kalah pentingnya adalah partai Golkar yang sekian lama mengakar selama
Orde Baru berkuasa.
Analisis teoritis atas kemenangan pasangan Asrun-Musadar tidak hanya dadasari pada hegemoni partai
pengusung, tetapi
juga
karena hegemoni sang petahana (incumbenr). Dalam bingkai teoretis, Parsons dalam
kerangka sistem GAIL secara gamblang rnenguraikan bagaimana suatu sistem mampu mempertahankan
keseimbangan (equilibrium). Model analisis Parsons merujuk pada kebutuhan setiap sistem sosial untuk
memenuhi persyaratan fungsional yaitu penyesuaian, pencapaian tujuan, integrasi, dan pemeliharaan pola-pola
yang laten (Parsons, 1951). Pasangan Asrun-Musadar adalah incumbent, dimana secata struktural melakukan
penekanan pada sistem yang ada, dalam hal ini cenderung mempertahankan kekuasaan yang tengah dimilikinya
selama lima tahun sebelumnya.
Selain kekuatan melalui
jalur
partai pendukung secara struktural dan
jalur
birokrasi, hasil penelitian
juga
menunjukkan bahwa kemenangan pasangan ini
juga
dipengaruhui oleh
jaringan
tatanan santri yang cenderung
memberi dukungan kepada PKS. Tatanan moril ini secara aktif memainkan peranan dalam politik karena
terdapat dorongan kemanusiaan yang tidak dapat dihindarkan atau diabaikan untuk melakukan perbaikan tatanan
kehidupan. Karena itu, meskipun para santri secara struktur tidak masuk dalam partai politik, namun perannya
di luar sistem cukup berpengaruh. Dalam konteks ini, analisis teori elite Pareto mengenai sirkulasi elite relevan
digunakan. Pareto mernbagi elite ke dalam kelas yang berkuasa (governing elite) yang terdiri dari orang-orang
yang secara langsung atau tidak langsung memainkan peran penting dalam mekanisme kekuasaan politik, dan
elite yang tidak berkuasa (non-governing elite) yang terdiri dari orang-orang yang terampil tetapi tidak terlibat
dalam proses politik (Bottomore, 2006; Hartm ann, 20A7
).
Tentu saja keberadaan dan peran elite tidak lepas dari proses politik dan kekuasaan dalam kehidupan suatu
masyarakat di mana elite itu berada. Dalam tataran mikro, dilihat pada kelompok elite sosial mana yang dianggap
paling berkuasa atau berpengaruh dalam struktur kekuasaan kelompok elite'itu yang pada akhimya memengaruhi
posisi dan peran pemilih dalam kehidupan masyarakat yang bersangkutan, sedangkan pada tingkat makro, dilihat
pada kekuasaan elite apa saja yang tengah bekuasa dalam kehidupan sistem politik yang
juga
dimungkinkan
memengaruhi peran dan posisi pemilih (Nashir, 2000). Dengan demikian, dalam pandangan struktural fungsional
menekankan bahwa partisipasi masyarakat dalam politik tidak didasarkan atas kesadaran politik sebagai
implementasi dari kedaulatan politik, melainkan lebih pada dominasi mobilisasi massa secara kolektif.
Dengan prinsip kolektivisme, maka organisasi masyarakat mengikat individu sebagai suatu fakta sosial
dalam melakukan partisipasinya. Selain itu, pengaruh elite penguasa (the ruling elite) sebagait:uan
Qtatron)
darr
hamba (client) merupakan strategi kekuatan dalam memobilisasi massa.
Lantas bagaimana dengan kehadiran pasangan calon pereseorangan pada pemilihan Walikota Kendari,
mampukah melakukan perlawanan hegemoni? Kehadiran pasangan calon perseorangan dalam pentas politik
lokal merupakan "perlawanan" atas hegemoni partai politik. Kendati perlawanan atas hegemoni partai politik
telah ditempuh oleh La Ode Geo
-
Oscar Silverius sebagai pasangan calon perseorangan dalam pemilihan
t2
Walikota Kendari 2012,namun belum berhasil dicapai dengan mulus. Hal ini didasarkan oleh adanya kekuasaan
struktur yang mendominasi (hegemoni).
Pemilihan Walikota Kendari merupakan proses reproduksi kekuasaan yang didalamnya terdapat struktur
yang mendominasi. Struktur tersebut dapat berupa penanda, penguasaan, dan pembenaran (Giddens, 1984).
Strukturpenanda(signification) menyangkut simbolik, pemaknaan, penyebutan,
dan wacana. Sementara struktur
penguasaan (domination) berkenaan dengan penguasaan atas orang dan barang, dan yang tidak kalah pentingnya
adalah struktur pembenaran (legitimation) yang menyangkut peraturan normatif yang digunakan oleh petahana
dalam membenarkan keberhasilan atau kinerjannya selama berkuasa.
Jika hegemoni kelas borjuis atas proletar dibangun atas dasar determinisme ekonomi melalui moda
produksi (Marx dan Engels, 1914), maka lain halnya dengan hegemoni partai politik atas calon perseorangan
yang dikonstruksi secara politik. Di sini relevan dengan pandangan Gramsci yang melihat hegemoni sefagai
konstruksi ideologi, nilai-nilai, dan budaya yang seolah-olah menjadi milik bersama, sehingga legitimasi
kepentingan penguasa dipandang sebagai milik masyarakat. Ia rneneropong konsep hegemoni antaramasyarakat
sipil dengan masyarakat politik.
Hegemoni partai politik sebagai suatu produk sosial tentu saja tidak mudah diruntuhkan oleh pasangan
calon perseorangan. Gramsci (1971) dalam bahasan teorinya memberi solusi untuk melawan hegemoni (counter
hegemony) dengan menitikberatkan pada sektor pendidikan. Kaum intelektual menurut Gramsci memegang
peranan penting di masyarakat. Kaum intelektual ini meliputi intelektual tradisional yang bersifat independen,
otonom, misalnya para profesor. Selain itu,
juga
terdapat kaum intelektual organik, yaitu mereka yang ada di
masyarakat dari kelas yang berkuasa, serta turut aktif dalam pembentukan masyarakatyang diinginkan. Lalu
bagaimana dengan konstruksi hegemoni incumbent yang diusung oleh partai politik dalam rnenghadapi rival-
rival politiknya, termasuk pasangan calon perseorangan?
Kekalahan pasangan calon perseorangan tampaknya tidak mengejutkan banyak pengamat, bahkan sudah
diperkirakan sebelumnya. Sebelum pemilihan berlangsung, sebagian pengamat politik sudah berani memastikan
pasangan calon perseorangan gagal meraih suara terbanyak, apalagi pasangan independen sedang berhadapan
dengan partai politik mapan sekaligus diramaikan oleh mantan pejabat lama yang ikut maju dalam pemilihan
Walikota Kendari. Kemenangan incumbent antara lain karena keberhasilannya mengkonstruk hegernoni dalam
bentuk popularitas
dan penguasaan opini publik. Kemampuan para incumbent menaikkan citra dirinya tidak
terlepas dari kelihaian mereka menguasai media massa. Selama masa kampanye lihai menciptakan isu yang
menarik perhatian media, sehingga mendapat publikasi kampanye luas.
Hegemoni penguasa dikonstruksi dan dipertahankan melalui dua tingkatan. Pertama, penguasa melestarikan
hegemoninya dengan memosisikan para pendukungnya pada jabatan-jabatan
tertentu yang dimaksudkan untuk
'omengamankan"
suara ketika moment perhelatan politik untuk menduduki kursi nomor wahid. Ironisnya,
menyingkirkan pejabat-pejabat yang tidak berjuang untuk mencapai kekuasaan. Di sinilah dilema birokrasi yang
sarat dengan kepentingan politik perorangan. Kedua, hegemoni dilanggengkan di kalang an grassrool melalui
kunjungan kerja sembari menabur senyum dan sedikit "buah tangan" dengan harapan membangun citra sebagai
pemimpin yang baik, empati, dan bijaksana. Manuver yang demikian ini akan semakin mengaburkan esensi
program kerja sebagaimana yang pernah didengung-dengunkan pada waktu kampanye. Pola hegemoni kepala
daerah yang demikian ini tidak pernah akan membangun sikap kritis masyarakat, melainkan selalu mengamputasi
"fakultas
otak" bagi generasi bangsa yang kritis.
Karena itu sebagaimana yang disarankan oleh Gramsci, kontestasi calon perseorangan perlu menjalin
hubungan dengan kalangan intelektual untuk memberikan pencerahandan menanamkan kesadaran baru kepada
!,) i u ! t: k i. i kt' l{t} u !-t: tt p t, t r r 13
w,r{. arakat. Bagi pasangan calon perseorangan haruslah berkolaborasi dengan kedua kaum intelektual ini karena
mm':kalah yang memahami kenyataanyang ada di masyarakat. Di sinilah letak kegagalan pasangan La Ode
lel-*Oscar Silverius dalarn menjalin hubungan tersebut. Karena itu, setiap pasangan calon perseorangan yang
nr-:raksud melakukan perjuangan melawan hegemoni (counter hegemony) harus saling bekerja sama agar
rmerjadi kekuatan kolektif yang tidak mudah dipatahkan, mulai kalangan intelektual hingga konsolidasi di akar
anput.
ijival itas Politik dan Kecenderungan Perni lih
Terlepas dari langkah strategis sebagai konstruksi hegemoni antara partai politik dan calon perseorangan,
--=l
).ang
tidak kalah menarik untuk dipahami adalah kecenderungan pemilih. Kaena itu, peftanyaan sosiologis
_,:.ng
menarik adalah apakah pemilih dewasa ini lebih cenderung kepada identifikasi partai (party identffication)
::au identifikasi sosok (figure identifcatio,rz). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemilih di Kota Kendari
:remiliki kecenderunganpada sosok figur. Jika demikian, akankah suara pemilih dipastikan diarahkan pada
:a1on perseorangan? Tampaknya konstruksi politik yang terjadi tidak sesederhana itu. Pada Pemilukada Kota
Kendari sosok figur diperkuat oleh instrumen parlai sebagai kendaraan politik. Kendati demikian, masih terdapat
:emilih yang menaruh perhatian pada pasangan calon perseorangan, namun belum cukup signifikan.
Menyoal kecenderungan perilaku pemilih, Kleden (Thaha, 2004) menyimpulkan bahwa pemilih lebih
cenderung pada identifikasi partai
jika
partai bernafaskan keagamaan karena dorongan partai. Pada dasarnya
setiap parlai politik memiliki dogma tersendiri secara struktural khususnya partai yang menggunakan atribut
keagamaan. Analisis polarisasi sebagaimana yang disimpulkan oleh Kleden tampaknya sudah tidak relevan
dalam politik kekinian, khususnya dalam pemilihan Walikota Kendari tahun 2012. Pasalnya, koalisi partai
pengusung tidak didasarkan pada ideologi keagamaan semata. Gabungan partai pengusung pasangan nomor
urut 3, nomor 4, dannomor 5 menggambarkan kolaborasi ideologi nasionalis dan religius. Jadi bukan atas dasar
ideologi, namun lebih pada pertimtrangan peningkatan elektabilitas.
Karena itu, pemilih pun tidak memiliki pertimbangan ideologi partai secara signifikan, melainkan pada
konstruksi politik kontemporer yang sedang terbangun pada saat itu (pragmatis). Kecenderungan politik pemilih
dalam pemilihan Walikota Kendari tahun 2072 terpola dalam bentuk partisipasi yang didasarkan pada niat
dan motivasi peribadi, dan
juga
masih terdapat pemilih yang datang memberikan hak suaranya dimobilisasi
(Huntington dan Nelson, 1994) oleh pasangan calon tertentu, sehingga terkesan proses pelaksanaan Pemilihan
Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kota Kendari berlangsung tidakjujur dan tidak adil serla penuh
dengan praktik kecurangan yang bersifat sistematis, masif, terstruktur dan terencana berdasarkan dokumen-
dokumen yang secara sengaja dibuat dan dipersiapkan (butir gugatan dalam Putusan MK No.54IPHPU/
D-XtzArD"
Perilaku pemilih model pertama sebagaimana pandangan Huntington dan Nelson memiliki kepentingan
tertentu secara subjektif. Kepentingan sebagai tujuan yang dikejar oleh aktor merupakan faktor yang penting
dalam perilaku politik, individu maupun kelompok, yang selalu melekat dalam proses politik. Kepentingan
merupakan kekuatan pendorong yang utama bagi manusia dan seperti tindakan manusia didasarkan atas
pemilikan kepentingan (Nashir, 2000). Di sini Pareto mendefinisikan tindakan logis sebagai tindakan-tindakan
yang diarahkan pada tujuan-tujuan yang dapat diusahakan serta mengandung maksud pemilikan yang pada
akhirnya dapat dijangkau. Sedangkan yang dimaksudkan dengan tindakan non-logis adalah tindakan-tindakan
yang tidak diarahkan pada suatu tujuan, atau diarahkan pada usaha-usaha yang tidak dapat dilakukan, atau
didukung oleh alat-alat yang tidak memadai guna melaksanakan usaha tersebut (Varma, 2003).
74
Berkenaan arah pilihan politik pemilih, hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis tentang perilaku pemilih
pada Pilkada Sulawesi Tenggara tahun20A7 menemukan rasionalitas politik pemilih yang terimplementasi dalam
pola memilih dan pola Golput. Kedua pola ini merupakan perilaku yang dapat berubah-ubah sewaktu-waktu.
Domain pertimbangan utarnanya sangat ditentukan oleh tujuan atas tindakan para pemilih. Perilaku politik yang
didasarkan pada waktu pencapaian tujuan inilah yang disebut dengan rasionalitas diakhronik, yang meliputi
rasionalitas retrospektif, pragmatis-adaptif, dan rasionalitas prospektif (Upe, 2008). Rasionalitas ini didasarkan
pada stimulus politik yang berupa identifikasi figur, identifikasi partai politik, isu kampanye,
juru
kampanye,
hibah politik, dan pressure groups.
Realitas kerasionalan perilaku politik pemilih sepenuhnya ditentukan oleh kesadaran peribadi. Hal ini oleh
Etzioni (1963) disebut sebagai masyarakat aktif (active society), masyarakat yang mampu mengendalikan dan
menguasai dunia sosial mereka. Menurutnya, dalam masyarakat aktif orang dapat merubah hukum-hukum
sosialnya. Dalam konteks demikian, pemilih dipandang sebagai orang yang sangat kreatif. Ia mampu menciptakan
tujuan, mengubah keadaan, dan pada gilirannya dapat membentuk pola perilaku pemilih yang berorientasi pada
pemenuhan kebutuhan, secara personal maupun kolektif, baik pada masa sekarang maupun yang akan datang.
Individu demikian itu memiliki kesadaran pribadi, pengetahuan dan komitmen pada tujuan tertentu yang harus
dicapai, dan memiliki fasilitas kekuasaan untuk mengubah suatu Iatanan sosial.
Dengan demikian, perilaku politik dalam perspektif tindakan sosial adalah tindakan individual dan
kelompok dalam melakukan tindakan-tindakan politik memiliki keterkaitan dengan kesadaran dan tujuan politik
dari aktor yang memainkannya. Bahkan tingkah laku politik merupakan hasil dari pertemuan faktor-faktor
struktur kepribadian, keyakinan politik, tindakan politik individu, dan struktur, serta proses politik menyeluruh
(Martin, 1993). Kesadaran yang dimaksud di sini adalah sebuah landasan ideologi yang tertuang dalam visi-misi
dari sebuah partai politik untuk diperjuangkan melalui taktik dan strategi tertentu. Karena itu, seorang politisi,
politikus, dan politikolog akan berpikir dan bertindak dalam kerangka landasan idealisme dan orientasi yang
khas.
Penjelasan di atas semakin menegaskan bahwa pemilih memiliki posisi penting dalam rivalitas politik dalam
pemilihan kepala daerah. Partai politik dan calon perseorangan adalah dua kubu yang senantiasa mengitari dan
mengkonstruk hegemoni mereka melalui simpati pemilih. Masyarakat pemilih merupakan basis sosial politik
sebagai arena mengkonstruk hegemoni sekaligus pemilih sebagai elemen yang menentukan kemenangan para
pasangan calon yang sedang berada dalam rivalitas untuk mencapai kekuasaan (rivalitokrasi). Rivalitokrasi
memiliki makna persaingan dan perlawanan politik untuk mencapai kekuasaanyang tercermin dalarn suatu
hubungan sosial. Dahrendorf (1986) menarik tiga proposisi mengenai sifat kekuasaan yakni penggunaan
kekuasaan serta adanya orang yang berkuasa dan yang dikuasai melekat dalam organisasi sosial; otoritas sebagai
kekuasaan yang dianggap sah yang diakui oleh masyarakat; adanya pemaksaan kepentingan dari kelompok yang
mempunyai kekuasaan kepada kelompok yang tidak mempunyai kekuasaan.
Penutup
Berdasarkan hasil dan pembahasan sebagaimanayangtelah diuraikan di atas, terdapat dua hal pokok sebagai
simpulan penelitian. Pertama, kemenangan pasangan Asrun-Musadar menggambarkan bentuk konstruksi
hegemoni kekuasaan dalam pemilihan Walikota Kendari. Keberhasilan mencapai suara terbanyak merupakan
bentuk ekstemalisasi yang diraih setelah berhasil melakukan intemalisasi atas keberhasilan kinerja selama
menjabat lima tahun sebelumnya. Selain itu, pasangan Asrun-Musadar berhasil diobjektivasi oleh partai besar
(PAN, PKS, PPP, Golkar, dan Demokrat). Hal yang tidak kalah pentingnya adalah karena pasangan incumbent
{l}inlr:tttk* }{itr:teruptrtrer 15
cenderung mempertahankan (latency) pola lama dengan
jargon
n'lanjutkan".
Sementara pasangan calon La Ode
Geo-Oscar Silverius sebagai calon perseorangan hanya menduduki peringkat keempat dari lima pasangan calon.
Artinya, pasangan ini gagal melakukan counterhegemony ataspasangan yang diusung oleh partai politik. Kendati
demikian, tidak secara keseluruhan kalah total karena rnasih berhasil metrumpuhkan pesaingnya dati pasangan
Hasid Pedansa
-
Orda Silondae yang diusung oleh partai politik yang juga
sangat familiar, yaitu PBR, PDIP,
PPDL Kegagalan pasangan calon perseorangan disebabkan oleh kurangnya internalisasi politik yang dilakukan.
Di samping itu, pasangan calon perseorangan kurang melakukan objektivasi politik melalui pengkaderan hingga
akar rumput.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kehadiran calon perseorangan dalam Pemilukada memungkinkan
terjadinya counter hegemony, dan
jika
berhasil melakukan counterhegemony, maka pasti akan terjadi re-
counterhegemony partai politik atas pasangan calon perseorangan, sehingga akan terbentuk pola rivalitas
politik secara dialektikal melalui proses: hegemony, counter hegemony, hegemony baru, kemudian re-counter
hegemony. Begitulah seterusnya. Keberhasilan counter hegemony dan re-counter hegemony sangat ditentukan
oleh proses objektivasi, intemalisasi, dan struktur politik yang sedang berkembang. Karena itu, pasangan calon
perseorangan akan sukar memenangkan pemilihan sebagai bentuk counter hegemoni,
jika
pasangan tersebut
gagal menciptakan objektivasi dan internalisasi. Namun sebaliknya, pasangan calon perseorangan memiliki kans
yang besar untuk memenangkan pemilihan sebagai bentuk counter hegemoni,
jika
pasangan incumbent, atau
pasangan lainnya yang diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik sedang mengalami objektivasi
negatif atau citra negatif.
Kedua, perilaku politik pemilih dalam arena pemilihan kepala daerah sangat variatif, sebagian besar
masih bersifat pragmatis, dan sebagian lainnya sudah prospektif dengan mengorientasikan pilihannya pada
calon yang memiliki visi misi reformis. Kendati demikian, masih
juga
terdapat pemilih yang berorientasi masa
lalu. Tipologi pemilih yang demikian akan membentuk pola orientasi kepada partai politik atau kepada calon
perseorangan. Karena itu, semakin tinggi kecerdasan prospektif pemilih, maka semakin besar peluang pasangan
calon perseorangan mengkonstruksi objektivasi dan intemalisasi politiknya. Semakin gencar pasangan calon
perseorangan mengkonstruk objektivasi dan internalisasi politik di berbagai daerah, maka semakin tinggi
intensitas partai politik termasuk incumbent melakukan kunjungan kerja dan sosialisasi program kerja.
fi3 !{
:\$l f,{
{,irM,,lb
Berger, Peter dan Thommas Luckmann. 1966. The Social Construction of Reali4t, A Treatise In The Socioligical
of Knowledge. London: Penguin Books.
Bottomore. 2006. Elite dan Masyarakat.Iakarta: Akbar Tanjung Institute.
Dahl, Robert. 1994. Analisis Politik Modern. Jakarta: Bumi Aksara.
Dahrendorf, Ralf. 1986. Konflik dalam Masyarakat Industri. Jakarta: Rajawali Pers.
Etzioni, Amitai. 1968. The Active Society. New York: The Free Press.
Giddens, Anthony. 1984. The Constitution of Society, Owtline of the Theory of Structuration. Cambridge: Polity
Press.
Gramsci, Antonio. 1971' Selections
from
the Prison Notebooks. London: Lawrence and Wishart.
Hartmann, Michael. 2007. The Sociologt of Elites. London and New York: Routledge.
Henslin, James M.2006. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi. Jakarta: Erlangga.
16 ]urtr:rl
Sosiologi
Johnson, Paul Doyle. 1986. kori Sosiologi Klasik dan Modern
jilid 1. Jakarta: Gramedia.
Lipset, Seymour Martin. 2007. Political Man Basis SosialTentang Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Martin, Roderick. 1993. Sosiologi Kekuasaan. Jakarta: Rajawali Press.
Marx, Karl and Fredercik Engels. 1974. The German ldeologi. New York: International Publisher.
Miles, Matthew B. and A. Michael Huberman. 1994.
Qualitative
Analysis Data. London: Sage.
Nashir, Haeder. 2000. Perilaku Politik Elit Muhammadiyah. Yogyakarta: Terawang.
O'Donnel, Guilermo, dkk. (Ed). 1993. Transisi Menuju Demokrasi. Jakarta: LP3ES.
Parsons, Talcott. 1957. The Social System. London: Routledge & Kegan Paul.
Thaha, Idris (ed). 2004. Pergulatan Partai Potitik di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Upe, Ambo. 2008. Sosiologi Politik Kontemporer. Jakarla: Prestasi Pustaka.
Varma, SP. 2003. Teori Politik Modern. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai