Anda di halaman 1dari 9

PERKEMBANGAN HUKUM LINGKUNGAN DI INDONESIA

DITINJAU DARI PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA


DAN PERAN SERTA MASYARAKAT



I.PENDAHULUAN.

Hukum lingkungan dalam bidang ilmu hukum, merupakan salah satu bidang ilmu hukum
yang paling strategis karena hukum lingkungan mempunyai banyak segi yaitu segi hukum
administrasi, segi hukum pidana, dan segi hukum perdata. Dengan demikian, tentu saja
hukum lingkungan memiliki aspek yang lebih kompleks. Sehingga untuk mendalami hukum
lingkungan itu sangat mustahil apabila dilakukan seorang diri, karena kaitannya yang sangat
erat dengan segi hukum yang lain yang mencakup pula hukum lingkungan di dalamnya.
Dalam pengertian sederhana, hukum lingkungan diartikan sebagai hukum yang mengatur
tatanan lingkungan (lingkungan hidup), di mana lingkungan mencakup semua benda dan
kondisi, termasuk di dalamnyamanusia dan tingkah perbuatannya yang terdapat dalam ruang
di mana manusia berada dan memengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia
serta jasad-jasad hidup lainnya. Dalam pengertian secara modern, hukum lingkungan lebih
berorientasi pada lingkungan atau Environment-Oriented Law, sedang hukum lingkungan
yang secara klasik lebih menekankan pada orientasi penggunaan lingkungan atau Use-
Oriented Law.
Hukum Lingkungan Klasik menetapkan ketentuan dan norma-norma dengan tujuan terutama
sekali untuk menjamin penggunaan dan eksploitasi sumber-sumber daya lingkungan dengan
berbagai akal dan kepandaian manusia guna mencapai hasil semaksimal mungkin, dan dalam
jangka waktu yang sesingkat-singkatnya. Hukum Lingkungan Klasik bersifat sektoral, serta
kaku dan sukar berubah.
Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan, bahwa sistem pendekatan terpadu atau utuh harus
diterapkan oleh hukum untuk mampu mengatur lingkungan hidup manusia secara tepat dan
baik, sistem pendekatan ini telah melandasi perkembangan Hukum lingkungan di Indonesia.
Drupsteen mengemukakan, bahwa Hukum Lingkungan (Millieu recht) adalah hukum yang
berhubungan dengan lingkungan alam (Naturalijk milleu) dalam arti seluas-luasnya. Ruang
lingkupnya berkaitan dengan dan ditentukan oleh ruang lingkup pengelolaan lingkungan.
Mengingat pengelolaan lingkungan dilakukan terutama oleh Pemerintah, maka Hukum
Lingkungan sebagian besar terdiri atas Hukum Pemerintahan (bestuursrecht).
Dalam hukum lingkungan modern, ditetapkan ketentuan dan norma-norma guna mengatur
tindak perbuatan manusia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dan
kemerosotan mutunya demi untuk menjamin kelestariannya agar dapat secara langsung terus-
menerus digunakan oleh generasi sekarang maupun generasi-generasi mendatang. Hukum
Lingkungan modern berorientasi pada lingkungan, sehingga sifat dan waktunya juga
mengikuti sifat dan watak dari lingkungan itu sendiri dan dengan demikian lebih banyak
berguru kepada ekologi. Dengan orientasi kepada lingkungan ini, maka Hukum Lingkungan
Modern memiliki sifat utuh menyeluruh atau komprehensif integral, selalu berada dalam
dinamika dengan sifat dan wataknya yang luwes.
Hukum Lingkungan merupakan instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan hidup,
dengan demikian hukum lingkungan pada hakekatnya merupakan suatu bidang hukum yang
terutama sekali dikuasai oleh kaidah-kaidah hukum tata usaha negara atau hukum
pemerintahan.


II.SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA.

Peraturan-peraturan yang orientasinya menyangkut lingkungan, baik disadari atau tidak
sebenarnya telah hadir di masa abad sebelum Masehi, misalnya di dalam Code of Hammurabi
yang ada di dalamnya terdapat salah satu klausul yang menyebutkan bahwa sanksi pidana
dikenakan kepada seseorang apabila ia membangun rumah dengan gegabahnya sehingga
runtuh dan menyebabkan lingkungan sekitar terganggu. Demikian pula di abad ke 1 pada
masa kejayaan Romawi telah dikemukakan adanya aturan tentang jembatan air (aqueducts)
yang merupakan bukti adanya ketentuan teknik sanitasi dan perlindungan terhadap
lingkungan.
Di Indonesia sendiri, organisasi yang berhubungan dengan lingkungan hidup sudah dikenal
lebih dari sepuluh abad yang lalu. Dari prasasti Juruna tahun 876 Masehi diketahui ada
jabatan Tuhalas yakni pejabat yang mengawasi hutan atau alas, yang kira-kira identik
dengan jabatan petugas Perlindungan Hutan Pelestarian Alam (PHPA). Kemudian prasasti
Haliwangbang pada tahun 877 Masehi menyebutkan adanya jabatan Tuhaburu yakni
pejabat yang mengawasi masalah perburuan hewan di hutan. Contoh lain adalah
pengendalian pencemaran yang ditimbulkan oleh pertukangan logam; kegiatan membuat
logam, yang sudah tentu menimbulkan pencemaran dikenai pajak oleh petugas yang disebut
Tuhagusali.
Pertumbuhan kesadaran hukum lingkungan klasik menghebat, bermula pada abad ke-18 di
Inggris dengan kemunculan kerajaan mesin, dimana pekerjaan tangan dicaplok oleh
mekanisasi yang ditandai dengan penemuan mesin uap oleh James Watt. Dengan demikian
terbukalah jaman tersebarnya perusahaan-perusahaan besar dan meluapnya industrialisasi
yang dinamakan revolusi industri. Dengan kepentingan untuk menopang laju pertumbuhan
industri di negara-negara dunia pertama atau negara-negara yang telah maju indstrinya,
sementara persediaan sumber daya alam di negara-negara dunia pertama semakin terbatas
maka diadakanlah penaklukan danpengerukan sumberdaya alam di negara-negara dunia
ketiga (Asia-Afrika).
Pada masa itu negara-negara yang telah mengalami proses industrialisasi telah banyak
diadakan peraturan yang ditujukan kepada antisipasi terhadap dikeluarkannya asap yang
berlebihan baik dalam perundang-undangan maupun berdasarkan keputusan-keputusan
hakim. Selain itu dengan adanya penemuan-penemuan baru dalam bidang medis, telah
dikeluarkan pula peraturan-peraturan tentang bagaimana memperkuat pengawasan terhadap
epidemi untuk mencegah menjalarnya penyakit di kota-kota yang mulai berkembang dengan
pesat.
Namun demikian, sebagian besar dari hukum lingkungan klasik, baik berdasarkan perundang-
undangan maupun berdasarkan keputusan-keputusan hakim yang berkembang sebelum abad
ke-20, tidaklah ditujukan untuk melindungi lingkungan hidup secara menyeluruh, akan tetapi
hanyalah untuk berbagai aspek yang menjangkau ruang lingkup yang sempit.

1.Zaman Hindia Belanda.
Dalam sejarah peraturan perundang-undangan lingkungan terdapat peraturan-peraturan sejak
zaman Hindia belanda, sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri,
SH. ML. Apabila diperhatikan peraturan perundang-undangan pada waktu zaman Hindia
Belanda sebagaimana tercantum dalam Himpunan peraturan-Peraturan perundangan di
Bidang Lingkungan Hidup yang disusun oleh Panitia Perumus dan rencana kerja bagi
pemerintah di bidang Pengembangan Lingkungan hidup diterbitkan pada tanggal 15 Juni
1978, maka dapatlah dikemukakan, bahwa pertama kali diatur adalah mengenai Perikanan,
mutiara, dan perikanan bunga karang, yaitu Parelvisscherij, Sponserviss cherijordonantie
(Stb. 1916 No. 157) dikeluarkan di Bogor oleh Gubernur Jenderal Indenburg pada tanggal 29
Januari 1916, dimana ordonansi tersebut memuat peraturan umum dalam rangka melakukan
perikanan siput mutiara, kulit mutiara, teripang dan bunga karang dalam jarak tidak lebih dari
tiga mil-laut Inggris dari pantai-pantai Hindia Belanda (Indonesia).
Yang dimaksud dengan melakukan perikanan terhadap hasil laut ialah tiap usaha dengan alat
apapun juga untuk mengambil hasil laut dari laut tersebut
Ordonansi yang sangat penting bagi lingkungan hidup adalah Hinder-ordonnantie (Stbl. 1926
No. 226, yang diubah/ditambah, terakhir dengan Stbl. 1940 No. 450), yaitu Ordonansi
Gangguan.
Dalam hubungan dengan terjemahan Hinder Ordonantie menjadi undang-undang Gangguan
yang sering terdapat dalam berbagai dokumen dan peraturan perlu dikemukakan bahwa
ordonantie tidak dapat diterjemahkan menjadi Undang-undang, karena ordonantie merupakan
produk perundang-undangan zaman penjajahan Hindia Belanda, sedangkan Undang-undang
merupakan produk negara yang merdeka. Meskipun sebuah ordonantie hanya dapat dicabut
dengan sebuah undang-undang, ini tidaklah berarti ordonantie dapat diterjemahkan dengan
undang-undang. Istilah yang tepat adalah mentransformasikan ordonantie ke dalam bahasa
Indonesia menjadi ordonansi. Di dalam Pasal 1 Ordonansi Gangguan ditetapkan larangan
mendirikan tanpa izin tempat-tempat usaha yang perincian jenisnya dicantumkan dalam ayat
(1) pasal tersebut, meliputi 20 jenis perusahaan. Di dalam ordonansi ini ditetapkan pula
berbagai pengecualian atas larangan ini.
Di bidang perusahaan telah dikeluarkan Bedrijfsreglemenigsordonnantie 1934 (Stbl. 1938
No. 86 jo. Stbl. 1948 No. 224). Ordonansi yang penting di bidang perlindungan satwa adalah
Dierenbeschermingsordonnantie (Stbl. 1931 No. 134), yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juli
1931 untuk seluruh wilayah Hindia Belanda (Indonesia). Berdekatan dengan ordonansi ini
adalah peraturan tentang uruan, yaitu Jachtordonnantie 1931 (Stb1.1931 No.133) dan
Jachtordonnantie Java en Madoera 1940 (Stb1.1940 No.733) yang berlaku untuk Jawa dan
Madura sejak tanggal 1 Juli 1940. Ordonansi yang mengatur perlindungan alam adalah
Natuurhermings Ordonnantie 1941 (Stbl. 1941 No. 167). Ordonansi ini mencabut ordonansi
yang mengatur cagar-cagar alam dan suaka-suaka margasatwa, yaitu Natuurmonumenten en
reservatenordonnantie 1932 (Stbl. 1932 No. 17) dan menggantikanya dengan
Natuurbeschermingsordonnantie 1941 tersebut. Ordonansi tersebut dikeluarkan untuk
melindungi kekayaan alam di Hindia Belanda (Indonesia). Peraturan-peraturan yang
tercantum di dalamnya berlaku terhadap suaka-suaka alam atau Natuur monumenten, dengan
pembedaan atas suaka-suaka margasatwa dan cagar-cagar alam. Keempat ordonansi di
bidang perlindungan alam dan satwa tersebut di atas telah dicabut berlakunya dengan
diundangkannya UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya pada tanggal 10 Agustus 1990.
Dalam hubungan dengan pembentukan kota telah dikeluarkan Stads Vormings Ordonnantie
(Stbl. 1948 No. 168), disingkat SVO, yang mulai berlaku pada tanggal 23 Juli 1948. Yang
menarik di sini adalah bahwa Stadsvormings Ordonnantie diterbitkan pada tahun 1948,
padahal Republik Indonesia diproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus
1945. Penjelasannya adalah bahwa SVO tersebut ditetapkan di wilayah yang secara de facto
diduduki Belanda.
Berbagai ordonansi tersebut di atas telah dijabarkan lebih lanjut dalam verordeningen, seperti
misalnya: Dierenbeschermingsverordening (Stbl. 1931 No. 266); berbagai
Bedrijfsreglementeringsverordeningen yang meliputi bidang-bidang tertentu seperti pabrik
sigaret, pengecoran logam, pabrik es, pengolahan kembali karet, pengasapan karet,
perusahaan tekstil; Jachtveiordening Java en Madura 1940 (Stbl. 1940 No. 247 jo. Stbl. 1941
No. 51); dan Stadsvormingsverordening, disingkat SW (Stbl. 1949 No. 40). Begitu pula
terdapat peraturan tentang air, yaitu Algemeen Waterreglement (Stbl. 1936 No. 489 jo. Stbl.
1949 No. 98).

2.Zaman J epang.
Pada waktu zaman pendudukan Jepang, hampir tidak ada peraturan perundang-undangan di
bidang lingkungan hidup yang dikeluarkan, kecuali Osamu S Kanrei No. 6, yaitu mengenai
larangan menebang pohon aghata, alba dan balsem tanpa izin Gunseikan. Peraturan
perundang-undangan di waktu itu terutama ditujukan untuk memperkuat kedudukan
penguasa Jepang di Hindia Belanda, dimana larangan diadakan untuk menjaga bahan pokok
untuk membuat pesawat peluncur (gliders) yang berbahan pokok kayu aghata, alba, balsem
dimana dalam rangka menjaga logistik tentara, karena kayu pohon tersebut ringan, tetapi
sangat kuat.

3.Periode Setelah Kemerdekaan .
Pada periode ini secara bertahap muncul beberapa peraturan-peraturan antara lain : a) UU No.
4 prp Tahun 1960 tentang perairan Indonesia; b) UU No. 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan;
c) UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pokok Pertambangan. d) UU No. 1 Tahun 1973 tentang
landas Kontinen Indonesia; e) UU No. 11 Tahun 1974 tentang pengairan; f) UU No. 4 Tahun
1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup; g) UU No. 5
Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia; h) UU No. 9 Tahun 1985 tentang
Perikanan; i) UU No. 17 Tahun 1985 tentang I Pengesahan Konvensi Hukum Laut 1982; j)
UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya; k) UU
No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang; l) PP No. 17 Tahun 1974 tentang Pengawasan
Pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi di Daerah Lepas Pantai (LN
No. 20 Tahun 1974 TLN No. 3031); m) PP No. 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber
Daya Alam Hayati di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia; n) PP No. 6 Tahun 1988 tentang
Koordinasi Instansi Vertikal di Daerah; o) Keputusn menteri pertanian No. 67 tahun 1976
tentang Empat Daerah Operasi Bagi Kapal-kapal Perikanan; p) Keputusan presiden No. 32
Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung; setelah dilakukan penggantian terhadap
UU No. 4 Tahun 1982 dengan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Undang-Undang Pokok
Lingkungan Hidup, juga mulai memperhatikan bagaimana untuk menjaga agar lingkungan
tidak tercemar, yaitu mengeluarkan Undang-Undang yang menjaga agar bagaimana
lingkungan secara dini akan terjaga dari pencemaran atas adanya proses pembangunan yaitu
AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Peraturan
pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, Peraturan Pemerintah No.
85 Tahun 1999 tentang Peraturan Perubahan Atas Peraturan Pemerintah. q) Keputusan
presiden No. 55 tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum.
Dalam rangka membentuk aparatur dalam bidang lingkungan hidup, maka berdasarkan
Keppres No 28 Tahun 1978 yang kemudian disempurnakan dengan Keppres No 35 Tahun
1978, terbentuklah Kementrian Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup
(PPLH) dan sebagai Mentri Negara PPLH telah diangkat Emil Salim. Kemajuan lebih lanjut
dari kinerja Kementrian Negara PPLH ditandai dengan diterbitkannya peraturan perundangan
bidang lingkungan hidup yang pertama di Indonesia, yaitu UU No. 4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Selanjutnya peraturan perundang-undangan No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah
B3, Peraturan pemerintah No. 19 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau
Perusakan Laut, Peraturan pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia
Nomor : Kep-13/MENLH/3/94 tentang pedoman susunan keanggotaan dan tata kerja komisi
amdal, Keputusan menteri negara lingkungan hidup republik indonesia Nomor : KEP
14/MENLH/3/1994 tanggal 19 Maret 1994 tentang pedoman umum penyusunan analisis
mengenai dampak lingkungan, Keputusan kepala badan pengendalian dampak lingkungan
republik indonesia nomor : Kep-056 Tahun 1994 tentang pedoman mengenai ukuran dampak
penting, Keputusan menteri negara lingkungan hidup republik indonesia nomor : KEP-
15/MENLH/3/1994 tanggal 19 Maret 1994 tentang pembentukan komisi analisis mengenai
dampak lingkungan terpadu, Keputusan presiden republik indonesia nomor : 77 tahun 1994
tentang badan pengendalian dampak lingkungan, Surat keputusan menteri perindustrian
nomor : 250/M/SK/10/1994 tentang pedoman teknis penyusunan pengendalian dampak
terhadap lingkungan hidup pada sektor industri., Keputusan bersama menteri kesehatan
republik indonesia dan menteri negara kependudukan dan lingkungan hidup republik
indonesia/kepala badan pengendalian dampak lingkunga nomor :
181/MENKES/SKB.II/1993, KEP.09/BAPEDAL/02/1993 Tanggal 26 Februari 1993 tentang
Pelaksanaan Pemantauan Dampak Lingkungan, Keputusan menteri dalam negeri nomor : 29
tahun 1992 tentang pedoman tata cara pelaksanaan analisis mengenai dampak lingkungan
bagi proyek-proyek PMA dan PMDN di Daerah., Keputusan Menteri Pertambangan dan
Energi Nomor : 523 K/201/MPE/1992 tentang Pedoman Teknis Penyusunan Penyajian
Informasi Lingkungan, Rencana Pengelolaan Lingkungan, dan Rencana Pemantauan
Lingkungan Untuk Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C, Keputusan Menteri
Negara Lingkungan hidup republik indonesia nomor : Kep-11/MENLH/3/1994 tanggal 19
Maret 1994 tentang jenis usaha atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan analisis
mengenai dampak lingkungan, Peraturan pemerintah republik indonesia nomor : 12 tahun
1995 tentang perubahan peraturan pemerintah nomor 19 tahun 1994 tentang pengelolaan
limbah bahan berbahaya dan beracun, Peraturan pemerintah republik indonesia nomor 19
tahun 1994 tentang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun, Undang-undang
republik indonesia nomor 24 tahun 1992 tentang penataan ruang, Keputusan presiden
republik indonesia nomor 75 tahun 1993 tentang koordinasi pengelolaan tata ruang nasional,
Keputusan presiden republik indonesia nomor 32 tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan
lindung, Peraturan pemerintah republik indonesia nomor 35 tahun 1991 tentang sungai,
Peraturan pemerintah republik indonesia nomor 27 tahun 1991 tentang rawa, Peraturan
pemerintah republik indonesia nomor 18 tahun 1994 tentang pengusahaan pariwisata alam di
zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam, Undang-undang
republik indonesia nomor 5 tahun 1992 tentang benda cagar budaya, Peraturan pemerintah
No. 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara, Peraturan pemerintah No. 20
tahun 19990 tentang Pengendalian Pencemaran Air, Undang-undang No. 41 tahun 1999
tentang Kehutanan. Peraturan pemerintah republik indonesia nomor 10 tahun 1993 tanggal 19
pebruari 1993 tentang pelaksanaan undang-undang nomor 5 tahun 1992 tentang benda cagar
budaya, Keputusan menteri negara lingkungan hidup republik indonesia nomor: Kep-
42/MENLH/11/1994 tentang pedoman umum pelaksanaan audit lingkungan, Keputusan
menteri negara lingkungan hidup republik indonesia nomor : Kep-10/MENLH/3/1994
tentang pencabutan keputusan menteri negara kependudukan dan lingkungan hidup nomor :
a. KEP-49/MENKLH/6/1987 tentang Pedoman penentuan dampak penting dan lampirannya;
b. KEP-50/MENKLH/6/1987 tentang pedoman umum penyusunan analisis mengenai dampak
lingkungan dan lampirannya; c. Kep-51/ MENKLH/6/1987 tentang pedoman umum
penyusunan studi evaluasi mengenai dampak lingkungan dan lampirannya; d. Kep-
52/MENKLH/6/1987 tentang batas waktu penyusunan studi evaluasi mengenai dampak
lingkugnan; e. Kep-53/MENKLH/6/1987 tentang pedoman susunan keanggotaan dan tata
kerja komisi.

4.Konferensi Internasional Berkaitan Dengan Hukum Lingkungan Hidup.
Perkembangan hukum lingkungan tidak dapat dipisahkan dari gerakan sedunia untuk
memberikan perhatian lebih besar kepada lingkungan hidup. Pada tahun 1962, terdapat
peringatan yang menggemparkan dunia yakni peringatan Rachel Carson tentang bahaya
penggunaan insektisida. Peringatan inilah yang merupakan pemikiran pertama kali yang
menyadarkan manusia mengenai lingkungan. Seiring dengan pembaharuan, perkembangan
hukum lingkungan tidak dapat dipisahkan dari gerakan dunia international untuk memberikan
perhatian lebih besar terhadap lingkungan hidup.
Hal ini mengingat kenyataan bahwa lingkungan hidup telah menjadi masalah yang perlu
ditanggulangi bersama demi kelangsungan hidup di dunia. Gerakan sedunia ini dapat
disimpulkan sebagai suatu peristiwa yang menimpa diri seorang sehingga menimbulkan
resultante atau berbagai pengaruh di sekitarnya. Begitu banyak pengaruh yang mendorong
manusia kedalam suatu kondisi tertentu, sehingga adalah wajar jika manusia tersebut
kemudian juga berusaha untuk mengerti apakah sebenarnya yang mempengaruhi dirinya dan
sampai berapa besarkah pengaruh-pengaruh tersebut. Inilah dinamakan ekologi.
Di kalangan PBB perhatian terhadap masalah lingkungan hidup ini dimulai di kalangan
Dewan Ekonomi dan Sosial atau lebih dikenal dengan nama ECOSOC PBB pada waktu
diadakan peninjauan terhadap hasil-hasil gerakan dasawarsa pembanguna dunia ke-1 tahun
1960-1970. pembicaraan tentang masalah lingkungan hidup ini diajukan delegasi Swedia
pada tanggal 28 Mei 1968, disertai saran untuk dijajakinya kemungkinan penyelenggaraan
suatu konferensi international. Kemudian pada garakan konferensi PBB tentang Lingkungan
Hidup Manusia di Stockholm.
Dalam rangka persiapan menghadapi Konferensi Lingkungan Hidup PBB tersebut, Indonesia
harus menyiapkan laporan nasional sebagai langkah awal. Untuk itu diadakan seminar
lingkungan pertama yang bertema Pengelolaan Lingkungan Hidup Manusia dan
Pembanguna Nasional di Universitas Padjadjaran Bandung. Dalam seminar tersebut
disampaikan makalah tentang Pengaturan Hukum Masalah Lingkungan Hidup Manusia:
Beberapa Pikiran dan Saran oleh Moctar Kusumaatmadja, makalah tersebut merupakan
pengarahan pengarahan pertama mengenai perkembangan hukum lingkungan di Indonesia.
Mengutip pernyataan Moenadjat, tidak berlebihan apabila mengatakan bahwa Moctar
Kusumaatmadja sebagai peletak batu pertama Hukum Lingkungan Indonesia.
Konferensi PBB tentang lingkungan hidup manusia akhirnya diadakan di Stockholm tanggal
5-16 juni 1972 sebagai awal kebangkitan modern yang ditandai perkembangan berarti
bersifat menyeluruh dan menjalar ke berbagai pelosok dunia dalam bidang lingkungan hidup.
Konferensi itu dihadiri oleh 113 negara dan beberapa puluh peninjau serta telah
menghasilkan telah menghasilkan Deklarasi Stockholm yang berisi 24 prinsip lingkungan
hidup dan 109 rekomendasi rencana aksi lingkungan hidup manusia hingga dalam suatu
resolusi khusus, konferensi menetapkan tangga 5 juni sebagai hari lingkungan hidup sedunia.

III.DASAR HUKUM HAK ASASI MANUSIA ATAS LINGKUNGAN HIDUP DI
INDONESIA.

Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi
setiap warga negara Indonesia. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku
kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat
tetap menjadi sumber dan penunjang bagi rakyat Indonesia serta makluk hidup lainnya.
Dasar justifikasi argumen hak asasi manusia atas lingkungan diantaranya tercantum dalam:

A.Hukum Internasional.
Hak atas lingkungan tidak diatur secara ekplisit dalam Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusaia (DUHAM). Namun, pasal 28 DUHAM dapat dijadikan dasar justifikasi argumen
bahwa hak atas lingkungan adalah hak asasi manusia, begitu juga dalam Kovenan Hak
Eksob, pasal 1 (2) dijadikan dasar justifikasi hak atas lingkungan adalah hak asasi manusia.
Hak atas lingkungan sebagai HAM baru mendapatkan pengakuan dalam bentuk kesimpulan
oleh Sidang Komisi Tinggi HAM pada bulan April 2001: bahwa setiap orang memiliki hak
hidup di dunia yang bebas dari polusi bahan-bahan beracun dan degradasi lingkungan hidup.

B.Hukum di Indonesia.
Secara konstitusional, hak atas lingkungan dalam hukum nasional Indonesia diantaranya
tercantum dalam:
1.Alinea keempat Pembukaan UUD 1945: membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia, serta dikaitkan dengan Hak Penguasaan
Negara atas bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya untuk kemakmuran
rakyat.
2.Amandemen UUD 1945 Pasal 28H (1) menyebutkan: Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik
dan sehat serta berhak memperoleh palayanan kesehatan
3.Piagam HAM yang merupakan bagian tak terpisahkan dari TAP MPR No.
XVII/MPR/1998 yang ditetapkan oleh Sidang Istimewa MPR tahun 1998 diantaranya
menyatakan, bahwa manusia adalah mahluk Tuhan Yang Maha Esa yang berperan sebagai
pengelola dan pemelihara alam secara seimbang dan serasi dalam ketaatan kepada-Nya.
Manusia dianugerahi hak asasi dan memiliki tanggungjawab serta kewajiban untuk menjamin
keberadaan, harkat, dan martabat kemuliaan kemanusiaan serta menjaga keharmonisan
kehidupan.
4.UU No.23/1997 Pasal 5 (1): Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat; dan Pasal 8 (1): Sumber daya alam dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, serta pengaturannya
ditentukan oleh pemerintah
5. UU No.39/1999 tentang HAM Pasal 3, menyatakan: masyarakat berhak atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat.
6. UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 65 (1)
setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak
asasi manusia".

IV.DASAR HUKUM PERAN SERTA MASYARAKAT ATAS LINGKUNGAN HIDUP
DI INDONESIA.

Dasar hukum peran serta masyarakat terdapat dalam:
1. UUD 1945 Pasal 1(2), wujud kekuatan peran serta masyarakat berupa kedaulatan rakyat
diakui secara penuh dan dilaksanakan menurut UUD.
2. Konteks hukum lingkungan diantaranya dinyatakan pada:
a. UU No. 23/1997 Pasal 5(3) dan Pasal 34 PP No. 27/1999 tentang AMDAL.
b. UU No.5/1990 Pasal tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
c. UU No. 4/1992 Pasal 29 tentang Perumahan dan Pemukiman.
d. UU No.10/1992 Pasal 24 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga Sejahtera.
e. UU No. 12/1992 Pasal 52 tentang Sistem Budidaya Tanaman.
f. UU No. 16/1992 Pasal 29 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan.
g. UU No. 24/1992 Pasal . 5 tentang Penataan Ruang.
h. UU No. 41/1999 Pasal 70 tentang Kehutanan.
Peran serta masyarakat menjadi penting, karena peran serta masyarakat merupakan bagian
dari prinsip demokrasi, yang salah satu prasyarat utamanya adalah adanya asas keterbukaan
dan transparansi dengan 5 unsur utama (agar asas tersebut terpenuhi), yakni: 1) Hak untuk
mengetahui; 2) Hak untuk memikirkan; 3) Hak untuk menyatakan pendapat; 4) Hak untuk
mempengaruhi pengambilan keputusan; 5) Hak untuk mengawasi pelaksanaan keputusan.

V.PENYELESAIAN MASALAH LINGKUNGAN HIDUP MELALUI PENGADILAN
DI INDONESIA.

1.Prosedur Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan.
Prosedur penyelesaian sengketa lingkungan yang dimungkinkan oleh perangkat hukum,
yaitu:
1. Preventif, yang dilakukan sebelum pencemaran terjadi (PP No. 27/1999 Tentang Amdal).
2. Represif, yang baru dilakukan setelah pencemaran atau perusakan terjadi (Pasal 30 (1) UU
No.23/1997).
Penyelesaian sengketa lingkungan masih tunduk pada 2 jenis dasar hukum, yaitu berperkara
di pengadilan (Pasal 20(1), Pasal 34-39 UU No. 23/1997 jo. Pasal 1365 BW) dan
musyawarah di luar pengadilan (Pasal 20(2), Pasal 31-33 UU No. 23/1997), yaitu
penyelesaian sengketa lingkungan alternatif.

2.Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan.
Penyelesaian sengketa Lingkungan hidup melalui pengadilan adalah dimana salah satu pihak
yang sedang bersengketa mengajukan gugatan melalui pengadilan, dan meminta hakim untuk
memeriksa dan memberi keputusan tentang siapa yang harus bertanggungjawab dalam
sengketa tersebut. Proses ini merupakan suatu proses panjang, dan dalam sengketa
lingkungan memerlukan cara pembuktian yang sangat rumit.
Kesulitan utama bagi korban pencemaran sebagai penggugat: Pertama, membuktikan unsur-
unsur yang terdapat dalam Pasal 1365 BW, terutama unsur kesalahan (schuld) dan unsur
hubungan kausal. Terlebih membuktikan pencemaran lingkungan secara ilmiah. Kedua,
masalah beban pembuktian yang menurut Pasal 1865 BW/Pasal 163 HIR-Pasal 283 R.Bg.
merupakan kewajiban penggugat, sedangkan korban pencemaran pada umumnya awam soal
hukum dan berada pada posisi ekonomi lemah.
Kesulitan tersebut dijawab oleh pasal 35 UU No. 23/1997 melalui asas tanggungjawab
mutlak (strict liability) sehingga unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat
sebagai dasar pembayaran ganti kerugian. Pasal ini menerapkan asas tanggung jawab mutlak
terbatas pada sengketa lingkungan akibat kegiatan usaha yang: a. Menimbulkan dampak
besar dan penting terhadap lingkungan hidup; b. Menggunakan bahan berbahaya dan beracun
(B-3), dan/atau c. Menghasilkan B-3.

3.Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan.
Sesuai pasal 30-33 UU PLH, penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat di luar
pengadilan dengan mediasi menggunakan jasa pihak ketiga, dan outputnya adalah ganti rugi
ataupun tindakan pemulihan kerusakan lingkungan yang terjadi. Penyelesaian sengketa di
luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup. Apabila upaya
penyelesaian di luar pengadilan tidak berhasil, baru dapat melakukan gugatan melalui
pengadilan.

4.Prosedural Gugatan Lingkungan Hidup (Legal standing, Kelompok
Masyarakat/Class Action, Citizen Law Suit).
Gugatan legal standing merupakan gugatan dimana penggugat tidak tampil di pengadilan
sebagai penderita, tetapi sebagai organisasi mewakili kepentingan publik yaitu
mengupayakan perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan hidup. Legal
standing pertama kali diakui oleh pengadilan Indonesia pada 1988 ketika PN Jakarta Pusat
menerima gugatan Yayasan WALHI terhadap 5 instansi pemerintah dan PT. Inti Indorayon
Utama (PT. IIU). Kriteria organisasi untuk mengajukan gugatan Legal Standing, yaitu: a)
Berbentuk badan hukum atau yayasan; b) Dalam anggaran dasar organisasi disebutkan
dengan tegas tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan publik; c)
Melaksanakan kegiatan sesuai dengan Anggaran Dasarnya.
Gugatan class action yang dalam PERMA No. 1/2002 disebut sebagai gugatan perwakilan
kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang
mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri mereka sendiri dan sekaligus
mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau
dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud. Jika dalam legal
standing tuntutan ganti rugi bukan merupakan lingkup penggugat, dalam Class Action hal itu
adalah tuntutan dari penggugat.
Citizen Law Suit adalah akses orang perorangan warga negara untuk kepentingan
keseluruhan warga negara atau kepentingan publik termasuk kepentingan lingkungan
mengajukan gugatan di pengadilan guna menuntut agar pemerintah melakukan penegakan
hukum yang diwajibkan kepadanya atau untuk memulihkan kerugian publik yang terjadi.

VI.KESIMPULAN DAN SARAN.

1.Hukum Lingkungan di Indonesia merupakan Hukum Lingkungan Modern yang memiliki
sifat utuh menyeluruh atau komprehensif integral, selalu berada dalam dinamika dengan sifat
dan wataknya yang luwes, memperhatikan hak asasi manusia dan peran serta mayarakat
termasuk lingkungan hidup itu sendiri, yang seiring dengan perkembangan hukum
lingkungan hidup Internasional.
2.Hukum lingkungan dalam bidang ilmu hukum, merupakan salah satu bidang ilmu hukum
yang paling strategis karena hukum lingkungan mempunyai banyak segi yaitu segi hukum
administrasi, segi hukum pidana, dan segi hukum perdata, yang sebagian besar terdiri atas
Hukum Pemerintahan (bestuursrecht).
3.Hukum Lingkungan di Indonesia pada prakteknya belum dapat diterapkan secara optimal,
hal ini disebabkan Lingkungan Hidup di Indonesia sangat dipengaruhi banyak kepentingan,
khususnya kepentingan ekonomi (sektor: pertambangan, pertanian, perkebunan, industri dan
permukiman) baik berskala lokal, nasional maupun internasional
4.Dengan telah diberikan dasar hukum yang kuat atas peran serta masyarakat dan hak asasi
manusia, sebagai warga negara Indonesia diharapkan masyarakat mampu memanfaatkan
secara maksimal kekuatan tersebut, sehingga pengaruh yang menjadi faktor penyebab kurang
optimal praktek penegakan hukum lingkungan di Indonesia dapat diatasi, dan keberadaan
lingkungan hidup bagi kesejahteraan dan keamanan kehidupan manusia dan pelestarian.

Anda mungkin juga menyukai