Anda di halaman 1dari 27

11.

Alergi Makanan
No. ICPC II: A92 Allergy/ allergic reaction NOS
No. ICD X: L27.2 Dermatitis due to ingested food
Alergi makanan adalah suatu respons normal terhadap makanan yang dicetuskan oleh suatu
reaksi yang spesifik didalam suatu sistem imun dan diekspresikan dalam berbagai gejala yang
muncul dalam hitungan menit setelah makanan masuk; namun gejala dapat muncul hingga
beberapa jam kemudian.
Tatalaksana
Riwayat alergi berat atau anafilaksis :
1. Hindari makanan penyebab
2. Jangan lakukan uji kulit atau provokasi makanan
3. Gunakan pemeriksaan in-vitro (tes radioalergosorbent-RAST)
Rencana Tindak Lanjut
1. Edukasi pasien untuk kepatuhan diet pasien
2. Menghindari makanan yang bersifat alergen sengaja maupun tidak sengaja (perlu
konsultasi dengan ahli gizi)
3. Perhatikan label makanan
4. Menyusui bayi sampai usia 6 bulan menimbulkan efek protektif terhadap alergi makanan
Medikamentosa :
1. Antihistamin
2. Kortikosteroid
12. Exanthematous Drug Eruption
No. ICPC II: S07 Rash generalized
No. ICD X: L27.0 Generalized skin eruption due to drugs and medicaments
Exanthematous Drug Eruption adalah salah satu bentuk reaksi alergi ringan pada kulit yang
terjadi akibat pemberian obat yang sifatnya sistemik. Obat yang dimaksud adalah zat yang
dipakai untuk menegakkan diagnosis, profilaksis, dan terapi. Bentuk reaksi alergi merupakan
reaksi hipersensitivitas tipe IV (alergi selular tipe lambat) menurut Coomb and Gell. Nama
lainnya adalah erupsi makulopapular atau morbiliformis.
Penatalaksanaan
Prinsip tatalaksana adalah menghentikan obat terduga. Pada dasarnya erupsi obat akan
menyembuh bila obat penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Farmakoterapi
yang diberikan, yaitu:
a. Kortikosteroid sistemik: Prednison tablet 30 mg/hari dibagi dalam 3 kali pemberian
per hari selama 1 minggu.
b. Antihistamin sistemik:
Setirizin2x10 mg/hari selama 7 hari bila diperlukan, atau
Loratadin 10 mg/hari selama 7 hari bila diperlukan
c. Topikal:
Bedak salisilat 2% dan antipruritus (Menthol 0.5% - 1%)
Konseling & Edukasi
1. Prinsipnya adalah eliminasi obat penyebab erupsi.
2. Pasien dan keluarga diberitahu untuk membuat catatan kecil di dompetnya tentang
alergi obat yang dideritanya.
3. Memberitahukan bahwa kemungkinan pasien bisa sembuh dengan adanya
hiperpigmentasi pada lokasi lesi.
Kriteria rujukan
1. Lesi luas, hampir di seluruh tubuh, termasuk mukosa dan dikhawatirkan akan
berkembang menjadi Sindroma Steven Johnson.
2. Bila diperlukan untuk membuktikan jenis obat yang diduga sebagai penyebab :
Uji tempel tertutup, bila negatif lanjutan dengan
Uji tusuk, bila negatif lanjutkan dengan
Uji provokasi
3. Bila tidak ada perbaikan setelah mendapatkan pengobatan standar dan menghindari
obat selama 7 hari
4. Lesi meluas
13. Fixed Drug Eruption (FDE)
No. ICPC II: A85 Adverse effect medical agent
No. ICD X: L27.0 Generalized skin eruption due to drugs and medicaments
Fixed Drug Eruption (FDE) adalah salah satu jenis erupsi obat yang sering dijumpai.
Darinamanya dapat disimpulkan bahwa kelainan akan terjadi berkali-kali pada tempat
yangsama. Mempunyai tempat predileksi dan lesi yang khas berbeda dengan Exanthematous
Drug Eruption. FDE merupakan reaksi alergi tipe 2 (sitotoksik).
Penatalaksanaan
Prinsip tatalaksana adalah menghentikan obat terduga. Pada dasarnya erupsi obat akan
menyembuh bila obat penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Untuk
mengatasi keluhan, farmakoterapi yang dapat diberikan, yaitu:
Kortikosteroid sistemik, misalnya prednison tablet 30 mg/hari dibagi dalam 3 kali
pemberian per hari
Antihistamin sistemik untuk mengurangi rasa gatal; misalnya hidroksisin tablet 10
mg/hari 2 kali sehari selama 7 hari atau loratadin tablet 1x10 mg/hari selama 7 hari
Pengobatan topikal
o Pemberian topikal tergantung dari keadaan lesi, bila terjadi erosi atau madidans
dapat dilakukan kompres NaCl 0,9% atau Larutan Permanganas kalikus 1/10.000
dengan 3 lapis kasa selama 10-15 menit. Kompres dilakukan 3 kali sehari sampai
lesi kering.
o Terapi dilanjutkan dengan pemakaian topikal kortikosteroid potensi ringan-sedang,
misalnya hidrokortison krim 2.5% atau mometason furoat krim 0.1%
Konseling & Edukasi
1. Prinsipnya adalah eliminasi obat terduga
2. Pasien dan keluarga diberitahu untuk membuat catatan kecil di dompetnya tentang
alergi obat yang dideritanya.
3. Memberitahukan bahwa kemungkinan pasien bisa sembuh dengan adanya
hiperpigmentasi pada lokasi lesi. Dan bila alergi berulang terjadi kelainan yang sama,
pada lokasi yang sama.
14. Reaksi Anafilaktik
No. ICPC II: A92 Allergy/allergic reaction NOS
No. ICD X: T78.2 Anaphylactic shock, unspecified
Reaksi anafilaksis merupakan sindrom klinis akibat reaksi imunologis (reaksi alergi) yang
bersifat sistemik, cepat dan hebat yang dapat menyebabkan gangguan respirasi, sirkulasi,
pencernaan dan kulit. Jika reaksi tersebut cukup hebat dapat menimbulkan syok yang disebut
sebagai syok anafilaktik. Syok anafilaktik membutuhkan pertolongan cepat dan tepat.
Penatalaksanaan
1. Posisi trendeleburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat (diganjal dengan
kursi) akan membantu menaikkan venous return sehingga tekanan darah ikut
meningkat.
2. Pemberian Oksigen 35 ltr/menit harus dilakukan, pada keadaan yang amat ekstrim
tindakan trakeostomi atau krikotiroidektomi perlu dipertimbangkan.
3. Pemasangan infus, Cairan plasma expander (Dextran) merupakan pilihan utama guna
dapat mengisi volume intravaskuler secepatnya. Jika cairan tersebut tak tersedia, Ringer
Laktat atau NaCl fisiologis dapat dipakai sebagai cairan pengganti. Pemberian cairan
infus sebaiknya dipertahankan sampai tekanan darah kembali optimal dan stabil.
4. Adrenalin 0,3 0,5 ml dari larutan 1 : 1000 diberikan secara intramuskuler yang dapat
diulangi 510 menit. Dosis ulangan umumnya diperlukan, mengingat lama kerja
adrenalin cukup singkat. Jika respon pemberian secara intramuskuler kurang efektif,
dapat diberi secara intravenous setelah 0,1 0,2 ml adrenalin dilarutkan dalam spuit 10
ml dengan NaCl fisiologis, diberikan perlahan-lahan. Pemberian subkutan, sebaiknya
dihindari pada syok anafilaktik karena efeknya lambat bahkan mungkin tidak ada akibat
vasokonstriksi pada kulit, sehingga absorbsi obat tidak terjadi.
5. Aminofilin, dapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila bronkospasme belum
hilang dengan pemberian adrenalin. 250 mg aminofilin diberikan perlahan-lahan
selama 10 menit intravena. Dapat dilanjutkan 250 mg lagi melalui drips infus bila
dianggap perlu.
6. Antihistamin dan kortikosteroid merupakan pilihan kedua setelah adrenalin. Kedua obat
tersebut kurang manfaatnya pada tingkat syok anafilaktik, dapat diberikan setelah
gejala klinik mulai membaik guna mencegah komplikasi selanjutnya berupa serum
sickness atau prolonged effect. Antihistamin yang biasa digunakan adalah
difenhidramin HCl 5 20 mg IV dan untuk golongan kortikosteroid dapat digunakan
deksametason 5 10 mg IV atau hidrokortison 100 250 mg IV.
7. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP), seandainya terjadi henti jantung (cardiac arrest)
maka prosedur resusitasi kardiopulmoner segera harus dilakukan sesuai dengan falsafah
ABC dan seterusnya. Mengingat kemungkinan terjadinya henti jantung pada suatu syok
anafilaktik selalu ada, maka sewajarnya ditiap ruang praktek seorang dokter tersedia
selain obat-obat emergency, perangkat infus dan cairannya juga perangkat resusitasi
(Resuscitation kit) untuk memudahkan tindakan secepatnya.
Alogaritma Penatalaksanaan Syok Anafilaksis



Rencana Tindak Lanjut
Mencari penyebab reaksi anafilaktik dan mencatatnya di rekam medis serta memberitahukan
kepada pasien dan keluarga.
Konseling & Edukasi
Keluarga perlu diberitahukan mengenai penyuntikan apapun bentuknya terutama obat-obat
yang telah dilaporkan bersifat antigen (serum,penisillin, anestesi lokal, dll) harus selalu
waspada untuk timbulnya reaksi anafilaktik. Penderita yang tergolong risiko tinggi
(adariwayat asma, rinitis, eksim, atau penyakit-penyakit alergi lainnya) harus lebih
diwaspadai lagi. Jangan mencoba menyuntikkan obat yang sama bila sebelumnya pernah ada
riwayat alergi betapapun kecilnya. Sebaiknya mengganti dengan preparat lain yang lebih
aman.
15. Syok
No. ICPC II: K99 Cardiovascular disease other
No. ICD X: R57.9 Shock, unspecified
Syok merupakan salah satu sindroma kegawatan yang memerlukanpenanganan intensif dan
agresif. Syok adalah suatu sindroma multifaktorial yang menuju hipoperfusijaringan lokal
atau sistemis dan mengakibatkan hipoksia sel dan disfungsimultipel organ. Kegagalan
perfusijaringan dan hantaran nutrisi dan oksigensistemik yang tidak adekuat tak mampu
memenuhi kebutuhan metabolisme sel. Karakteristik kondisi ini, yaitu:
1. Ketergantungan suplai oksigen.
2. Kekurangan oksigen.
3. Asidosis jaringan.
Sehingga terjadi metabolisme anaerob dan berakhir dengan kegagalan fungsi organ vital dan
kematian.
Syok diklasifikasikan berdasarkan etiologi, penyebab dan karakteristik pola hemodinamik
yang ditimbulkan, yaitu:
1. Syok Hipovolemik yaitu kegagalan perfusi dan suplai oksigen disebabkan oleh
hilangnya sirkulasi volume intravaskuler sebesar >20-25% sebagai akibat dari
perdarahan akut, dehidrasi, kehilangan cairan pada ruang ketiga atau akibat sekunder
dilatasi arteri dan vena.
2. Syok Kardiogenik yaitu kegagalan perfusi dan suplai oksigen disebabkan oleh adanya
kerusakan primer fungsi atau kapasitas pompa jantung untuk mencukupi volume
jantung semenit, berkaitan dengan terganggunya preload, afterload, kontraktilitas,
frekuensi ataupun ritme jantung. Penyebab terbanyak adalah infark miokard akut,
keracunan obat, infeksi/inflamasi, gangguan mekanik.
3. 3. Syok Distributif yaitu kegagalan perfusi dan suplai oksigen disebabkan oleh
menurunnya tonus vaskuler mengakibatkan vasodilatasi arterial, penumpukan vena dan
redistribusi aliran darah. Penyebab dari kondisi tersebut terutama komponen vasoaktif
pada syok anafilaksis; bakteria dan toksinnya pada septik syok sebagai mediator dari
SIRS; hilangnya tonus vaskuler pada syok neurogenik.
4. Syok Obstruktif yaitu kegagalan perfusi dan suplai oksigen berkaitan dengan
terganggunya mekanisme aliran balik darah oleh karena meningkatnya tekanan
intrathorakal atau terganggunya aliran keluar arterial jantung (emboli pulmoner, emboli
udara, diseksi aorta, hipertensi pulmoner, tamponade perikardial, perikarditis
konstriktif) ataupun keduanya oleh karena obstruksi mekanis.
5. Syok endokrin, disebabkan oleh hipotiroidisme, hipertiroidisme dengan kolaps kardiak
dan insufisiensi adrenal. Pengobatan adalah tunjangan kardiovaskular sambil mengobati
penyebabnya. Insufisiensi adrenal mungkin kontributor terjadinya syok pada pasien
sakit gawat. Pasien yang tidak respon pada pengobatan harus tes untuk insufisiensi
adrenal.

Penatalaksanaan
Pengenalan dan restorasi yang cepat dari perfusi adalah kunci pencegahan disfungsi
organ-multipel dan kematian.
Pada semua bentuk syok, manajemen jalan nafas dan pernafasan untuk memastikan
oksigenasipasien baik, kemudian restorasi cepat dengan infus cairan.
Pilihan pertama adalah kristaloid (Ringer laktat/Ringer asetat) disusul darah pada syok
perdarahan. Keadaan hipovolemi diatasi dengan cairan koloid atau kristaloid sekaligus
memperbaiki keadaan asidosis.
Pengobatan syok sebelumnya didahului dengan penegakan diagnosis etiologi.
Diagnosis awal etiologi syok adalah esensial, kemudian terapi selanjutnya tergantung
etiologinya.
Tindakan invasif seperti intubasi endotrakeal dan cricothyroidotomy atau tracheostomy
dapat dilakukan hanya untuklife saving oleh dokter yang kompeten.

1. Syok Hipovolemik:
Infus cepat kristaloid untuk ekspansi volume intravaskuler melalui kanula vena
besar(dapat lebih satu tempat) atau melalui vena sentral.
Pada perdarahan maka dapat diberikan 3-4 kali dari jumlah perdarahan. Setelah
pemberian 3 liter disusul dengan transfusi darah. Secara bersamaan sumber
perdarahan harus dikontrol.
Resusitasi tidak komplit sampai serum laktat kembali normal. Pasien syok
hipovolemik berat dengan resusitasi cairan akan terjadi penumpukan cairan di
rongga ketiga.
Vasokonstriksi jarang diperlukan pada syok hipovolemik murni.
2. Syok Obstruktif:
Penyebab syok obstruktif harus diidentifikasi dan segera dihilangkan.
Pericardiocentesis atau pericardiotomi untuk tamponade jantung.
Dekompressi jarum atau pipa thoracostomy atau keduanya pada pneumothorax
tension
Dukungan ventilasi dan jantung, mungkin thrombolisis, dan mungkin prosedur
radiologi intervensional untuk emboli paru.
Abdominal compartment syndrome diatasi dengan laparotomy dekompresif.

3. Syok Kardiogenik:
Optimalkan pra-beban dengan infus cairan.
Optimalkan kontraktilitas jantung dengan inotropik sesuai keperluan, seimbangkan
kebutuhan oksigen jantung. Selain itu, dapat dipakai dobutamin atau obat vasoaktif
lain.
Sesuaikan pasca-beban untuk memaksimalkan CO. Dapat dipakai vasokonstriktor
bila pasien hipotensi dengan SVR rendah. Pasien syok kardiogenik mungkin
membutuhkan vasodilatasi untuk menurunkan SVR, tahanan pada aliran darah dari
jantung yang lemah. Obat yang dapat dipakai adalah nitroprusside dan nitroglycerin.
Diberikan diuretik bila jantung dekompensasi.
PACdianjurkan dipasang untuk penunjuk terapi.
Penyakit jantung yang mendasari harus diidentifikasi dan diobati.

4. Syok Distributif:
Pada SIRS dan sepsis, bila terjadi syok ini karena toksin atau mediator penyebab
vasodilatasi. Pengobatan berupa resusitasi cairan segera dan setelah kondisi cairan
terkoreksi, dapat diberikan vasopressor untuk mencapai MAP optimal. Sering terjadi
vasopressor dimulai sebelum pra-beban adekuat tercapai. Perfusi jaringan dan
oksigenasi sel tidak akan optimal kecuali bila ada perbaikan pra-beban.
Obat yang dapat dipakai adalah dopamin, nor-epinefrin dan vasopresin.
Dianjurkan pemasangan PAC.
Pengobatan kausal dari sepsis.

5. Syok Neurogenik:
Setelah mengamankan jalan nafas dan resusitasi cairan, guna meningkatkantonus
vaskuler dan mencegah bradikardi diberikan epinefrin.
Epinefrin berguna meningkatkan tonus vaskuler tetapi akan memperberat bradikardi,
sehingga dapat ditambahkan dopamin dan efedrin. Agen antimuskarinikatropin dan
glikopirolat juga dapat untuk mengatasi bradikardi.
Terapi definitif adalah stabilisasi Medulla spinalis yang terkena.

Rencana Tindak Lanjut
Mencari penyebab syok dan mencatatnya di rekam medis serta memberitahukan kepada
pasien dan keluarga untuk tindakan lebih lanjut yang diperlukan. Konseling & Edukasi
Keluarga perlu diberitahukan mengenai kemungkinan terburuk yang dapat terjadi pada pasien
dan pencegahan terjadinya kondisi serupa. Kriteria Rujukan Setelah kegawatan pasien
ditangani, pasien dirujuk ke layanan sekunder.
III.2. DARAH, PEMBENTUKAN DARAH, SISTEM IMUN

1. Anemia
No. ICPC II: B82 Anaemia other/unspecified
No. ICD X: D64.9 Anaemia, unspecified
Anemia adalah Penurunan kadar Hemoglobin yang menyebabkan penurunan kadar oksigen
yang didistribusikan ke seluruh tubuh sehingga menimbulkan berbagai keluhan (sindrom
anemia).
Klasifikasi Anemia

Penatalaksanaan
Atasi penyebab yang mendasarinya. Jika didapatkan kegawatan (misal: anemia gravis atau
distres pernafasan), pasien segera dirujuk. Pada anemia defisiensi besi:
Anemia dikoreksi peroral: 3 4x sehari dengan besi elemental 50 65 mg
o Sulfas ferrosus 3 x 1 tab (325 mg mengandung 65 mg besi elemental, 195; 39)
o Ferrous fumarat 3 x 1 tab (325; 107 dan 195; 64)
o Ferrous glukonat 3 x 1 tab (325; 39)
Pasien diinformasikan mengenai efek samping obat: mual, muntah, heartburn,
konstipasi, diare, BAB kehitaman
Jika tidak dapat mentoleransi koreksi peroral atau kondisi akut maka dilakukan koreksi
parenteral segera.
Pada anemia defisiensi asam folat dan defisiensi B12
Anemia dikoreksi peroral dengan:
o Vitamin B12 80 mikrogram (dalam multivitamin)
o Asam folat 500 1000 mikrogram (untuk ibu hamil 1 mg)


Konseling & Edukasi
Prinsip konseling pada anemia adalah memberikan pengertian kepada pasien dan keluarganya
tentang perjalanan penyakit dan tata laksananya, sehingga meningkatkan kesadaran dan
kepatuhan dalam berobat serta meningkatkan kualitas hidup pasien.
Kriteria rujukan
Anemia berat dengan indikasi transfusi (Hb < 6 mg%).
Untuk anemia karena penyebab yang tidak termasuk kompetensi dokter layanan primer,
dirujuk ke dokter spesialis penyakit dalam.















2. HIV/AIDS tanpa Komplikasi
No. ICPC II: B90 HIV-infection/AIDS
No. ICD X: Z21 Asymptomatic human immunodeficiency virus (HIV) infection status
HIV adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyerang sel-sel kekebalan tubuh.
AIDS atau Acquired Immunodefficiency Syndrome adalah kumpulan gejala akibat penurunan
kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV.


Penatalaksanaan Layanan terkait HIV meliputi:
1. Upaya dalam menemukan pasien HIV secara dini dengan melakukan tes dan konseling
HIV pada pasien yang datang ke layanan primer.
2. Perawatan kronis bagi ODHA dan dukungan lain dengan sistem rujukan ke berbagai
fasilitas layanan lain yang dibutuhkan ODHA. Layanan perlu dilakukan secara
terintegrasi, paripurna, dan berkesinambungan. Infeksi HIV merupakan infeksi kronis
dengan berbagai macam infeksi oportunistik yang memiliki dampak sosial terkait
stigma dan diskriminasi serta melibatkan berbagai unsur dengan pendekatan tim.
Perlu dilakukan upaya pencegahan. Strategi pencegahan HIV menurut rute penularan, yaitu:
1. Untuk transmisi seksual:
Program perubahan perilaku berisiko, termasuk promosi kondom.
Pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah.
Konseling dan tes HIV.
Skrening IMS dan penanganannya.
Terapi antiretrovirus pada pasien HIV.
2. Untuk transmisi darah:
Pengurangan dampak buruk penggunaan napza suntik.
Keamanan penanganan darah.
Kontrol infeksi di RS.
Post exposure profilaksis.
3. Untuk transmisi ibu ke anak:
Menganjurkan tes HIV dan IMS pada setiap ibu hamil.
Terapi ARV pada semua ibu hamil yang terinfeksi HIV.
Persalinan seksiosesaria dianjurkan.
Dianjurkan tidak memberikan ASI ke bayi, namun diganti dengan susu formula.
Layanan kesehatan reproduksi.
Setiap daerah diharapkan menyediakan semua komponen layanan HIV yang terdiri dari:
1. Informed consent untuk tes HIV seperti tindakan medis lainnya.
2. Mencatat semua kegiatan layanan dalam formulir yang sudah ditentukan.
3. Anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap oleh dokter.
4. Skrining TB dan infeksi oportunistik.
5. Konseling bagi ODHA perempuan usia subur tentang KB dan kesehatan reproduksi
termasuk rencana untuk mempunyai anak.
6. Pemberian obat kotrimoksasol sebagai pengobatan pencegahan infeksi oportunistik.
7. Pemberian ARV untuk ODHA yang telah memenuhi syarat.
8. Pemberian ARV profilaksis pada bayi segera setelah dilahirkan oleh ibu hamil dengan
HIV.
9. Pemberian imunisasi dan pengobatan pencegahan kotrimoksasol pada bayi yang lahir
dari ibu dengan HIV positif.
10. Anjuran rutin tes HIV, malaria, sifilis dan IMS lainnya pada perawatan antenatal
(ANC).
11. Konseling untuk memulai terapi.
12. Konseling tentang gizi, pencegahan penularan, narkotika dan konseling lainnya sesuai
keperluan.
13. Menganjurkan tes HIV pada pasien TB, infeksi menular seksual (IMS), dan kelompok
risiko tinggi beserta pasangan seksualnya, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
14. Pendampingan oleh lembaga non kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien
TATALAKSANA PEMBERIAN ARV
A. Saat Memulai Terapi ARV
Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 (bila
tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut adalah untuk
menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi antiretroviral atau belum.
Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai terapi ARV pada ODHA dewasa.
a. Tidak tersedia pemeriksaan CD4
Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi ARV
adalah didasarkan pada penilaian klinis.
b. Tersedia pemeriksaan CD4
Rekomendasi sesuai dengan hasil pemeriksaan yaitu:
1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350 sel/mm3 tanpa
memandang stadium klinisnya.
2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan
koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4

Anjuran Pemilihan Obat ARV Lini Pertama Paduan yang ditetapkan oleh
pemerintah untuk lini pertama adalah: 2 NRTI + 1 NNRTI Mulailah terapi
antiretroviral dengan salah satu dari paduan di bawah ini:

Penggunaan d4T (Stavudine) dikurangi sebagai paduan lini pertama karena
pertimbangan toksisitasnya.
Terapi lini kedua harus memakai Protease Inhibitor (PI) yang diperkuat oleh
Ritonavir (ritonavir-boosted) ditambah dengan 2 NRTI, dengan pemilihan
Zidovudine (AZT) atauTenofovir (TDF) tergantung dari apa yang digunakan pada
lini pertama dan ditambah Lamivudine (3TC) atau Emtricitabine (FTC). PI yang ada
di Indonesia dan dianjurkan digunakan adalah Lopinavir/Ritonavir (LPV/r).
c. Tatalaksana infeksi oportunistik sesuai dengan gejala yang muncul.
Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK)
Beberapa infeksi oportunistik (IO) pada ODHA dapat dicegah dengan pemberian
pengobatan profilaksis. Terdapat dua macam pengobatan pencegahan, yaitu
profilaksis primer dan profilaksis sekunder.
Profilaksis primer adalah pemberian pengobatan pencegahan untuk mencegah
suatu infeksi yang belum pernah diderita.
Profilaksis sekunder adalah pemberian pengobatan pencegahan yang ditujukan
untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah diderita sebelumnya.
Pemberian kotrimoksasol untuk mencegah (secara primer maupun sekunder)
terjadinya PCP dan Toxoplasmosis disebut sebagai Pengobatan Pencegahan
Kotrimoksasol (PPK). PPK dianjurkan bagi:
ODHA yang bergejala (stadium klinis 2, 3, atau 4) termasuk perempuan hamil
dan menyusui. Walaupun secara teori kotrimoksasol dapat menimbulkan kelainan
kongenital, tetapi karena risiko yang mengancam jiwa pada ibu hamil dengan
jumlah CD4 yang rendah (<200) atau gejala klinis supresi imun (stadium klinis 2,
3 atau 4), maka perempuan yang memerlukan kotrimoksasol dan kemudian hamil
harus melanjutkan profilaksis kotrimoksasol.
ODHA dengan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm3 (apabila tersedia pemeriksaan
dan hasil CD4)


Kotrimoksasol untuk pencegahan sekunder diberikan setelah terapi PCP atau
Toxoplasmosis selesai dan diberikan selama 1 tahun.
Rencana Tindak Lanjut
1. Pasien yang belum memenuhi syarat terapi ARV
Perlu dimonitor perjalanan klinis penyakit dan jumlah CD4-nya setiap 6 bulan sekali.
Evaluasi klinis meliputi parameter seperti pada evaluasi awal termasuk pemantauan
berat badan dan munculnya tanda dan gejala klinis perkembangan infeksi HIV sehingga
terkontrol perkembangan stadium klinis pada setiap kunjungan dan menentukan saat
pasien mulai memenuhi syarat untuk terapi profilaksis kotrimoksazol dan atau terapi
ARV. Berbagai faktor mempengaruhi perkembangan klinis dan imunologis sejak
terdiagnosis terinfeksi HIV. Penurunan jumlah CD4 setiap tahunnya adalah sekitar 50
sampai 100 sel/mm3. Evaluasi klinis dan jumlah CD4 perlu dilakukan lebih ketat ketika
mulai mendekati ambang dan syarat untuk memulai terapi ARV.
2. Pemantauan Pasien dalam Terapi Antiretroviral
Pemantauan klinis
Frekuensi pemantauan klinis tergantung dari respon terapi ARV. Sebagai batasan
minimal, Pemantauan klinis perlu dilakukan pada minggu 2, 4, 8, 12 dan 24 minggu
sejak memulai terapi ARV dan kemudian setiap 6 bulan bila pasien telah mencapai
keadaan stabil. Pada setiap kunjungan perlu dilakukan penilaian klinis termasuk
tanda dan gejala efek samping obat atau gagal terapi dan frekuensi infeksi (infeksi
bakterial, kandidiasis dan atau infeksi oportunirtik lainnya) ditambah konseling
untuk membantu pasien memahami terapi ARV dan dukungan kepatuhan.
Pemantauan laboratoris
o Direkomendasikan untuk melakukan pemantauan CD4 secara rutin setiap 6 bulan,
atau lebih sering bila ada indikasi klinis.
o Untuk pasien yang akan memulai terapi dengan AZT maka perlu dilakukan
pengukuran kadar Hemoglobin (Hb) sebelum memulai terapi dan pada minggu ke
4, 8 dan 12 sejak mulai terapi atau ada indikasi tanda dan gejala anemia
o Pengukuran ALT (SGPT) dan kimia darah lainnya perlu dilakukan bila ada tanda
dan gejala dan bukan berdasarkan sesuatu yang rutin. Akan tetapi bila
menggunakan NVP untuk perempuan dengan CD4 antara 250350 sel/mm3
maka perlu dilakuan pemantauan enzim transaminase pada minggu 2, 4, 8 dan 12
sejak memulai terapi ARV (bila memungkinkan), dilanjutkan dengan pemantauan
berdasarkan gejala klinis.
o Evaluasi fungsi ginjal perlu dilakukan untuk pasien yang mendapatkan TDF.
o Keadaan hiperlaktatemia dan asidosis laktat dapat terjadi pada beberapa pasien
yang mendapatkan NRTI, terutama d4T atau ddI. Tidak direkomendasi untuk
pemeriksaan kadar asam laktat secara rutin, kecuali bila pasien menunjukkan
tanda dan gejala yang mengarah pada asidosis laktat.
o Penggunaan Protease Inhibitor (PI) dapat mempengaruhi metabolisme glukosa
dan lipid. Beberapa ahli menganjurkan pemeriksaan gula darah dan profil lipid
secara reguler tetapi lebih diutamakan untuk dilakukan atas dasar tanda dan
gejala.
o Pengukuran Viral Load (VL) sampai sekarang tidak dianjurkan untuk memantau
pasien dalam terapi ARV dalam keadaan terbatas fasilitas dan kemampuan
pasien. Pemeriksaan VL digunakan untuk membantu diagnosis gagal terapi. Hasil
VL dapat memprediksi gagal terapi lebih awal dibandingkan dengan hanya
menggunakan pemantauan klinis dan pemeriksaan jumlah CD4. Jika pengukuran
VL dapat dilakukan maka terapi ARV diharapkan menurunkan VL menjadi tidak
terdeteksi (undetectable) setelah bulan ke 6.
Pemantauan pemulihan jumlah sel CD4
Pemberian terapi ARV akan meningkatkan jumlah CD4. Hal ini akan berlanjut
bertahun-tahun dengan terapi yang efektif. Keadaan tersebut, kadang tidak terjadi,
terutama pada pasien dengan jumlah CD4 yang sangat rendah pada saat mulai terapi.
Meskipun demikian, pasien dengan jumlah CD4 yang sangat rendah tetap dapat
mencapai pemulihan imun yang baik tetapi memerlukan waktu yang lebih lama.
Pada pasien yang tidak pernah mencapai jumlah CD4 yang lebih dari 100 sel/mm3
dan atau pasien yang pernah mencapai jumlah CD4 yang tinggi tetapi kemudian
turun secara progresif tanpa ada penyakit/kondisi medis lain, maka perlu dicurigai
adanya keadaan gagal terapi secara imunologis.

Keterangan:
a. Hasil tes HIV (+) yang tercatat (meskipun sudah lama) sudah cukup untuk dasar
memulai terapi ARV. Bila tidak ada dokumen tertulis, dianjurkan untuk dilakukan tes
HIV sebelum memulai terapi ARV
b. Bagi pasien yang mendapat AZT: perlu di periksa kadar hemoglobin sebelum terapi
AZT dan pada minggu ke 4, 8 dan 12, dan bila diperlukan (misal ada tanda dan gejala
anemia atau adanya obat lain yang bisa menyebabkan anemia).
c. Lakukan tes kehamilan sebelum memberikan EFV pada ODHA perempuan usia subur.
Bila hasil tes positif dan kehamilan pada trimester pertama maka jangan diberi EFV.
d. Bila hasil tes kehamilan positif pada perempuan yang sudah terlanjur mendapatkan
EFV maka segera ganti dengan paduan yang tidak mengandung EFV
e. Pasien yang mendapat TDF, perlu pemeriksaan kreatinin serum pada awal, dan setiap 3
bulan pada tahun pertama kemudian jika stabil dapat dilakukan setiap 6 bulan.
f. Pengukuran viral load (HIV RNA) tidak dianjurkan sebagai dasar pengambilan
keputusan untuk memulai terapi ARV atau sebagai alat pemantau respon pengobatan
pada saat tersebut. Dapat dipertimbangkan sebagai Diagnosis dini adanya kegagalan
terapi atau menilai adanya ketidaksesuaian antara hasil CD4 dan keadaan klinis dari
pasien yang diduga mengalami kegagalan terapi ARV.

Konseling & Edukasi
Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit HIV/AIDS. Pasien
disarankan untuk bergabung dengan kelompok penanggulangan HIV/AIDS untuk
menguatkan dirinya dalam menghadapi pengobatan penyakitnya.
3. Limfadenitis
No ICPC II: L04.9
No ICD X: B70 Lymphadenitis Acute
Limfadenitis adalah peradangan pada satu atau beberapa kelenjar getah bening. Limfadenitis
bisa disebabkan oleh infeksi dari berbagai organisme, yaitu bakteri, virus, protozoa, riketsia
atau jamur. Secara khusus, infeksi menyebar ke kelenjar getah bening dari infeksi kulit,
telinga, hidung atau mata. Bakteri Streptokokus, staphilokokus, dan Tuberkulosis
adalahpenyebab paling umum dari limfadenitis, meskipun virus, protozoa, rickettsiae, jamur
juga dapat menginfeksi kelenjar getah bening.
Penatalaksanaan
Pencegahan dengan menjaga kesehatan dan kebersihan badan bisa membantu
mencegah terjadinya berbagai infeksi.
Untuk membantu mengurangi rasa sakit, kelenjar getah bening yang terkena bisa
dikompres hangat.
Tata laksana pembesaran KGB leher didasarkan kepada penyebabnya.
o Penyebab oleh virus dapat sembuh sendiri dan tidak membutuhkan pengobatan apa
pun selain dari observasi.
o Pengobatan pada infeksi KGB oleh bakteri (limfadenitis) adalah anti-biotic oral 10
hari dengan pemantauan dalam 2 hari pertama flucloxacillin 25 mg/kgBB empat kali
sehari. Bila ada reaksi alergi terhadap antibiotic golongan penicillin dapat diberikan
cephalexin 25 mg/kg (sampai dengan 500 mg) tiga kali sehari atau erythromycin 15
mg/kg (sampai 500 mg) tiga kali sehari.
o Bila penyebabnya adalah mycobacterium tuberculosis maka diberikan obat anti
tuberculosis.
o Biasanya jika infeksi telah diobati, kelenjar akan mengecil secara perlahan dan rasa
sakit akan hilang. Kadang-kadang kelenjar yang membesar tetap keras dan tidak lagi
terasa lunak pada perabaan.
Konseling & Edukasi
1. Keluarga turut menjaga kesehatan dan kebersihan sehingga mencegah terjadinya
berbagai infeksi dan penularan.
2. Keluarga turut mendukung dengan memotivasi pasien dalam pengobatan.
III.3. DIGESTIVE
1. Refluks Gastroesofageal
No ICPC II: D84 Oesphagus disease
No ICD X: K21.9Gastro-oesophageal reflux disease without oesophagitis
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) adalah mekanisme refluks melalui inkompeten
sfingter esofagus.
Penatalaksanaan
1. Modifikasi gaya hidup:
Mengurangi berat badan, berhenti merokok, tidak mengkonsumsi zat yang mengiritasi
lambung seperti kafein, aspirin, dan alkohol. Posisi tidur sebaiknya dengan kepala yang
lebih tinggi. Tidur minimal setelah 2 sampai 4 jam setelah makanan, makan dengan
porsi kecil dan kurangi makanan yang berlemak.
2. Terapi dengan medikamentosa dengan cara memberikan Proton Pump Inhibitor (PPI)
dosis tinggi selama 7-14 hari.Bila terdapat perbaikan gejala yang signifikan (50-75%)
maka diagnosis dapat ditegakkan sebagai GERD. PPI dosis tinggi berupa Omeprazole
2x20 mg/hari dan lansoprazole 2x 30 mg/hari.
3. Setelah ditegakkan diagnosis GERD, obat dapat diteruskan sampai 4 minggu dan boleh
ditambah dengan prokinetik seperti domperidon 3x10 mg.
4. Pada kondisi tidak tersedianya PPI , maka penggunaan H2 Blocker 2x/hari: simetidin
400-800 mg atau Ranitidin 150 mg atau Famotidin 20 mg.

Konseling & Edukasi
Edukasi pasien dan keluarga mengenai GERD dan terutama dengan pemilihan makanan
untuk mengurangi makanan yang berlemak dan dapat mengiritasi lambung (asam, pedas)
2. Gastritis
No ICPC II: D07 Dyspepsia/indigestion
No ICD X: K29.7 Gastritis, unspecified
Gastritis adalah proses inflamasi/peradangan pada lapisan mukosa dan submukosa lambung
sebagai mekanisme proteksi mukosa apabila terdapat akumulasi bakteri atau bahan iritan lain.
Proses inflamasi dapat bersifat akut, kronis, difus, atau lokal.
Penatalaksanaan
Menginformasikan kepada pasien untuk menghindari pemicu terjadinya keluhan, antara
lain dengan makan tepat waktu, makan sering dengan porsi kecil dan hindari dari
makanan yang meningkatkan asam lambung atau perut kembung seperti kopi, the,
makanan pedas dan kol.
Terapi diberikan per oral dengan obat, antara lain: H2 Bloker2 x/hari (Ranitidin 150
mg/kali, Famotidin 20 mg/kali, Simetidin 400-800 mg/kali), PPI 2x/hari (Omeprazole
20 mg/kali, Lansoprazole 30 mg/kali), serta Antasida dosis 3 x 500-1000 mg/hr.
Konseling & Edukasi
Menginformasikan pasien dan keluarga mengenai faktor risiko terjadinya gastritis.

Anda mungkin juga menyukai