Anda di halaman 1dari 8

VIS VITALIS, Vol. 02 No.

2, September 2009
Kurnianingsih, dkk.
23
PENGARUH PEMBERIAN BAP (6-Benzyl Amino Purine)
PADA MEDIA MULTIPLIKASI TUNAS Anthurium hookerii Kunth. Enum.
SECARA IN VITRO
Rahayu Kurnianingsih
1
, Marfuah
2
, Ikhsan Matondang
1
1 Fakultas Biologi Universitas Nasional ; 2 Dinas Pertamanan DKI Jakarta Raya
ABSTRACT
Anthurium hookerii Kunth. Enum. is a species of Anthurium which attract high
interest from many people, because of its unique shape of leaves. Tissue culture or
in vitro culture is an alternative propagation method for Anthurium and it has high
potential to be developed. In this experiment the axillary buds from in vitro plants of
Anthurium hookerii Kunth. Enum. was used as explant. The experiment was
conduted according to Completely Randomized Design with five replication each
and five treatments of MS media added with varying concentrations of BAP (6-
Benzyl Amino Purine) (0; 0.2; 0.4; 0.6 and 0.8 ppm). The result showed that
addition of BAP in the MS media increased shoot formation and multiplication of
Anthurium hookerii Kunth. Enum. compared to MS media without BAP. Addition of
0.2 ppm BAP in the MS media was the best media for increased shoot formation
and multiplication of Anthurium hookerii Kunth. Enum. with the most optimum
number of shoot and leaves.
Key words : Anthurium hookerii, in vitro culture
PENDAHULUAN
Anthurium merupakan tanaman hias
komersial di Indonesia. Tanaman ini
disukai oleh masyarakat karena keindahan
warna, bentuk bunga dan daunnya yang
beragam, diantaranya adalah bentuk
jantung, lanset dan bulat telur. Anthurium
dibedakan menjadi dua golongan yaitu
Anthurium daun dan Anthurium bunga.
Anthurium daun terkenal karena keindahan
daunnya sehingga disebut sebagai tanaman
hias berdaun indah, sedangkan Anthurium
bunga terkenal dengan kesegaran bunganya
yang dapat bertahan lama sehingga sering
dimanfaatkan sebagai bunga potong
(cutting flower) (Budhiprawira dan
Saraswati, 2006).
Anthurium daun merupakan
tanaman hias yang sangat populer dan
diminati oleh masyarakat karena
mempunyai daun dengan bentuk yang unik
dan bervariasi (Kadir, 2007). Henny dkk.
(2007) menyebutkan Anthurium hookerii
adalah salah satu jenis Anthurium daun
yang diminati oleh masyarakat. Tanaman
ini terkenal dengan nama Anthurium sarang
burung atau Birds Nest Anthurium.
Daunnya yang berukuran besar dan
berbentuk lanset dengan tepi daun
bergelombang merupakan daya tarik
tersendiri dari Anthurium hookerii
(Budhiprawira dan Saraswati, 2006).
Anthurium merupakan tanaman hias
yang berpotensi untuk diekspor selain
anggrek (Rukmana, 1997). Perkembangan
ekspor tanaman Anthurium Indonesia
mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun. Pada tahun 2004 ekspor tanaman
Anthurium Indonesia mencapai 1.112.724
ton, tahun 2005 meningkat menjadi
2.615.999 ton (Departemen Pertanian,
ISSN 1978-9513
VIS VITALIS, Vol. 02 No. 2, September 2009
Kurnianingsih, dkk.
24
2005; Dinas Pertanian dan Kehutanan
Propinsi DKI Jakarta, 2006).
Permintaan konsumen yang
semakin meningkat terhadap tanaman hias
Anthurium menyebabkan produsen
tanaman hias berusaha untuk
meningkatkan produksi tanaman tersebut
dengan melakukan berbagai cara
perbanyakan. Marlina (2004) menjelaskan
bahwa secara konvensional, perbanyakan
Anthurium dilakukan melalui biji dan
pemisahan anakan, tetapi teknik ini tidak
dapat diharapkan untuk memenuhi
permintaan konsumen dalam skala besar
karena memerlukan waktu yang lama
untuk mendapatkan biji atau memisahkan
anakan. Melalui biji diperlukan waktu
kurang lebih 3 tahun, sejak penyerbukan,
biji masak, hingga tanaman menjadi
dewasa, sedangkan melalui pemisahan
anakan memerlukan waktu antara 6 - 12
bulan untuk siap dipisahkan dan untuk
pendewasaan hingga tanaman siap dijual
memerlukan waktu sekitar 6 - 8 bulan.
Peningkatan produksi tanaman hias
Anthurium hanya dapat dicapai dengan
usaha perbanyakan tanaman yang efisien.
Metode kultur jaringan atau kultur in vitro
merupakan salah satu metode perbanyakan
alternatif pada tanaman Anthurium (Lee-
Espinosa dkk., 2003). Kultur in vitro
merupakan teknik menumbuhkembangkan
bagian tanaman, baik berupa sel, jaringan
maupun organ dalam kondisi aseptik secara
in vitro. Teknik ini mampu memperbanyak
tanaman dalam jumlah banyak dan dalam
waktu yang relatif singkat. Oleh karena itu
perbanyakan Anthurium dengan teknik
kultur in vitro memiliki potensi untuk
dikembangkan (Marlina dan Rusnandi,
2007).
BAP (6-Benzyl Amino Purine)
merupakan golongan sitokinin sintetik
yang paling sering digunakan dalam
perbanyakan tanaman secara kultur in
vitro. Hal ini karena BAP mempunyai
efektifitas yang cukup tinggi untuk
perbanyakan tunas, mudah didapat dan
relatif lebih murah dibandingkan dengan
kinetin (Krikorian, 1995; Yusnita, 2003).
Penggunaan BAP dalam
perbanyakan tanaman Anthurium secara
kultur in vitro dilakukan oleh Puchooa dan
Sookun (2003) yang menggunakan 0,5
mg/L BAP dalam media Nitsch untuk
menginduksi multiplikasi tunas Anthurium
andreanum. Penggunaan BAP 1 mg/L
dalam media MS dilakukan oleh Marlina
(2004) untuk menginduksi pembentukan
kalus dan bakal tunas pada Anthurium hasil
silangan Merah Filipina x Merah Belanda.
Oleh karena itu penggunaan BAP dengan
beragam konsentrasi diharapkan dapat
meningkatkan multiplikasi tunas tanaman
Anthurium hookerii Kunth. Enum. secara
in vitro.
Tujuan penelitian ini adalah
mendapatkan konsentrasi BAP yang
terbaik untuk multiplikasi tunas tanaman
Anthurium hookerii Kunth. Enum. secara
in vitro.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Laborato-
rium Kultur Jaringan Kebun Bibit Ciganjur
Seksi Pembibitan Tanaman, Sub Dinas
Budidaya Tanaman, Dinas Pertamanan
DKI Jakarta pada bulan Maret - Agustus
2007.
Bahan tanaman yang digunakan
sebagai sumber eksplan adalah tunas
samping (tunas aksiler) dari biakan
Anthurium hookerii Kunth. Enum. secara
in vitro. Media dasar yang digunakan
adalah media Murashige-Skoog (MS)
dalam bentuk padat dengan penambahan
agar swallow sebanyak 7 g/L.
Rancangan percobaan yang
digunakan adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan 5 ulangan dan 5
perlakuan yaitu media MS padat dengan
penambahan zat pengatur tumbuh sitokinin
VIS VITALIS, Vol. 02 No. 2, September 2009
Kurnianingsih, dkk.
25
berupa BAP (6-Benzyl Amino Purine)
dengan beberapa konsentrasi yaitu 0 (tanpa
BAP); 0,2; 0,4; 0,6 dan 0,8 ppm.
Botol-botol kultur yang telah
ditanam dengan eksplan diletakkan di atas
rak-rak kultur secara acak. Kondisi
ruangan kultur diatur pada suhu 21C,
kelembaban 50 - 60% dengan lama
penyinaran 11 jam terang dan 13 jam
gelap. Pengamatan dilakukan pada minggu
ke-8 setelah tanam dengan variabel-
variabel pengamatan yaitu jumlah tunas,
jumlah daun dan tinggi tunas (cm).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan secara visual
selama 8 minggu menunjukkan bahwa
secara umum eksplan yang ditanam pada
media MS tanpa penambahan zat pengatur
tumbuh BAP maupun pada media MS
dengan penambahan zat pengatur tumbuh
BAP memperlihatkan pertumbuhan yang
baik. Masing-masing perlakuan menunjuk-
kan pengaruh yang berbeda-beda terhadap
pertumbuhan dari eksplan. Pertumbuhan
eksplan ditandai dengan eksplan terlihat
membesar dan adanya nodul-nodul bakal
tunas.
Eksplan yang ditanam pada media
MS tanpa penambahan BAP menunjukkan
adanya pertumbuhan yang ditandai dengan
terjadinya pemanjangan sel, tetapi tidak
terjadi perbanyakan atau multiplikasi tunas
sehingga eksplan yang ditanam hanya
terlihat bertambah tinggi. Selain itu, pada
perlakuan ini juga terlihat adanya
pembentukan akar (Gambar 1). Hal ini
mungkin disebabkan eksplan tunas
samping yang ditanam pada media kultur
menghasilkan auksin endogen dengan
konsentrasi yang cukup tinggi sehingga
pertumbuhan eksplan lebih diarahkan pada
pemanjangan sel dan pembentukan akar.
Pendapat tersebut didukung oleh
Widyastuti (2004) bahwa akar yang
tumbuh pada media tanpa zat pengatur
tumbuh kemungkinan diinduksi oleh
auksin endogen.
Gambar 1. Pembentukan akar pada media MS tanpa penambahan BAP
Rahardja (1989) dan Cleland
(1995) menyebutkan bahwa dalam kultur
jaringan auksin merupakan zat pengatur
tumbuh yang dapat menyebabkan
terjadinya pemanjangan sel pada jaringan
tunas muda dan merangsang pembentukan
akar. Jika konsentrasi auksin dalam media
kultur tinggi maka akan menghambat
pertumbuhan tunas (Jacobs, 1979).
Pada komposisi media perlakuan
yaitu media MS yang ditambah zat
pengatur tumbuh BAP dengan beragam
konsentrasi (0,2; 0,4; 0,6 dan 0,8 ppm)
menunjukkan terjadinya pembentukan dan
multiplikasi tunas melalui organogenesis
Akar
VIS VITALIS, Vol. 02 No. 2, September 2009
Kurnianingsih, dkk.
26
secara langsung dari eksplan tunas samping
(tunas aksiler) Anthurium hookerii Kunth.
Enum. Komposisi media MS dengan
penambahan BAP 0,2 ppm merupakan
komposisi media perlakuan yang paling
banyak merangsang pembentukan dan
multiplikasi tunas dibandingkan dengan
konsentrasi BAP yang lainnya.
Terjadinya pembentukan dan
multiplikasi tunas pada media perlakuan
diduga karena konsentrasi sitokinin
eksogen yang ditambahkan ke dalam media
kultur lebih tinggi dibandingkan dengan
konsentrasi auksin endogen yang
dihasilkan oleh eksplan. Hal ini diperkuat
oleh pernyataan Gunawan (1992) bahwa
interaksi antara zat pengatur tumbuh
eksogen dan endogen menentukan arah
perkembangan suatu kultur. Jika dalam
media kultur konsentrasi sitokinin lebih
tinggi dibandingkan dengan auksin maka
akan merangsang pembentukan dan
multiplikasi tunas (Hartmann dan Kester,
1959; Widiastoety dkk., 1997).
A. Jumlah Tunas
Hasil sidik ragam menunjukkan
adanya pengaruh yang berbeda nyata
(signifikan) antara beberapa perlakuan
yang diberikan terhadap nilai rata-rata
jumlah tunas (p = 0,000). Pemberian zat
pengatur tumbuh BAP beragam
konsentrasi dalam media MS mampu
meningkatkan terjadinya pembentukan dan
multiplikasi tunas Anthurium hookerii
Kunth. Enum. bila dibandingkan dengan
media MS tanpa penambahan BAP. Hal ini
terlihat dari nilai rata-rata jumlah tunas
yang lebih banyak terdapat pada perlakuan
pemberian BAP (Tabel 1).
Tabel 1. Ringkasan Statistik Deskriptif Jumlah Tunas.
Konsentrasi
BAP N Mean
Std.
Deviation Std. Error
95% Confidence
Interval for Mean
Min Max Lower
Bound
Upper
Bound
0 ppm
5 3.4 .894427 .400000 2.28942 4.51058 2 4
0,2 ppm
5 18.4 .894427 .400000 17.28942 19.51058 18 20
0,4 ppm
5 17.8 .447214 .200000 17.24471 18.35529 17 18
0,6 ppm
5 15.6 1.516575 .678233 13.71692 17.48308 14 17
0,8 ppm
5 15.2 1.303840 .583095 13.58107 16.81893 14 17
Total
25 14.08 5.678321 1.135664 11.73610 16.42390 2 20
Widiastoety dkk. (1991) melapor-
kan bahwa pemberian BAP dalam media
kultur dapat merangsang terjadinya
pembentukan dan multiplikasi tunas dari
eksplan (potongan jaringan). Hal ini
terlihat dari nilai rata-rata jumlah tunas
yang dihasilkan pada media dengan
penambahan BAP lebih banyak dibanding-
kan dengan media tanpa penambahan BAP.
Menurut Utami (1998) sitokinin
dalam hal ini BAP berperan memacu
terjadinya sintesis RNA dan protein pada
berbagai jaringan yang selanjutnya dapat
mendorong terjadinya pembelahan sel.
Selain itu, BAP juga dapat memacu
jaringan untuk menyerap air dari sekitarnya
sehingga proses sintesis protein dan
pembelahan sel dapat berjalan dengan baik.
Chaerudin dkk. (1996) menambahkan BAP
merupakan suatu zat pengatur tumbuh
sintetik yang tidak mudah dirombak oleh
VIS VITALIS, Vol. 02 No. 2, September 2009
Kurnianingsih, dkk.
27
sistem enzim dari tanaman sehingga dapat
memacu induksi dan multiplikasi tunas.
Pemberian BAP dengan konsentrasi
0,2 ppm ke dalam media dasar MS
merupakan media yang paling baik untuk
merangsang terjadinya pembentukan dan
multiplikasi tunas melalui organogenesis
secara langsung (Gambar 2). Kenyataan ini
sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Lee-Espinosa dkk. (2003),
yang dengan menggunakan BAP 0,2 mg/L
dalam media MS padat dapat menginduksi
tunas-tunas adventif dan meningkatkan
kemampuan regenerasi yang tinggi melalui
organogenesis secara langsung dari eksplan
tunas aksiler pada tanaman Anthurium
andreanum kultivar Midori dan Kalapana.
Gambar 2. Jumlah tunas dan daun terbanyak pada media MS dengan
penambahan BAP 0,2 ppm.
B. Jumlah Daun
Hasil sidik ragam menunjukkan
adanya pengaruh yang berbeda nyata
(signifikan) antara beberapa perlakuan
yang diberikan terhadap nilai rata-rata
jumlah daun (p = 0,000). Pemberian BAP
dengan beragam konsentrasi dalam media
MS mempunyai pengaruh merangsang
pembentukan daun yang lebih baik bila
dibandingkan dengan media MS tanpa
penambahan BAP. Hal ini terlihat dari nilai
rata-rata jumlah daun yang lebih banyak
terdapat pada perlakuan pemberian BAP
(Tabel 2).
Tabel 2. Ringkasan Statistik Deskriptif Jumlah Daun
Konsentrasi
BAP N Mean
Std.
Deviation
Std.
Error
95% Confidence
Interval for Mean
Min Max Lower
Bound
Upper
Bound
0 ppm
5 4.6 .547723 .244949 3.91991 5.28009 4 5
0,2 ppm
5 16.8 1.303840 .583095 15.18107 18.41893 15 18
0,4 ppm
5 15.6 .547723 .244949 14.91991 16.28009 15 16
0,6 ppm
5 13.6 1.341641 .600000 11.93413 15.26587 12 15
0,8 ppm
5 13.2 .836660 .374166 12.16115 14.23885 12 14
Total 25 12.76 4.465423 .893085 10.91676 14.60324 4 18
VIS VITALIS, Vol. 02 No. 2, September 2009
Kurnianingsih, dkk.
28
Menurut Hess (1975) sitokinin
mempunyai kemampuan mendorong
terjadinya pembelahan sel dan diferensiasi
jaringan terutama dalam pembentukan
pucuk. Senyawa nitrogen yang terkandung
dalam sitokinin berperan untuk proses
sintesis asam-asam amino dan protein
secara optimal yang selanjutnya digunakan
untuk proses pertumbuhan dan
perkembangan eksplan dalam hal ini
pembentukan daun (Gardner dkk., 1991).
C. Tinggi Tunas
Hasil sidik ragam yang dilakukan
menunjukkan adanya pengaruh yang
berbeda nyata (signifikan) antara beberapa
perlakuan yang diberikan terhadap nilai
rata-rata tinggi tunas (p = 0,000).
Pemberian BAP dengan beragam
konsentrasi (0,2; 0,4; 0,6 dan 0,8 ppm)
ternyata tidak berpengaruh terhadap tinggi
tunas karena nilai rata-rata tinggi tunas
yang dihasilkan terlihat lebih rendah bila
dibandingkan dengan perlakuan tanpa
penambahan BAP (Tabel 3). Hal ini diduga
pada perlakuan tanpa BAP eksplan yang
ditanam menghasilkan auksin endogen
dengan konsentrasi yang cukup tinggi
sehingga menyebabkan terjadinya proses
pemanjangan sel dan eksplan yang ditanam
bertambah tinggi lebih cepat, sedangkan
pada perlakuan dengan BAP, aktivitas dari
auksin endogen terhambat karena adanya
sitokinin eksogen (dalam hal ini BAP).
Menurut Klerk (2006) zat pengatur tumbuh
sitokinin dapat menghambat terjadinya
pemanjangan sel sehingga eksplan yang
ditanam tidak bertambah tinggi.
Tabel 3. Ringkasan Statistik Deskriptif Tinggi Tunas (cm)
Konsentrasi
BAP N Mean
Std.
Deviation
Std.
Error
95% Confidence
Interval for Mean
Min Max Lower
Bound
Upper
Bound
0 ppm
5 1.0634 .087022 .038917 .95535 1.17145 1.000 1.167
0,2 ppm
5 .6786 .002608 .001166 .67536 .68184 .676 .683
0,4 ppm
5 .6708 .008526 .003813 .66021 .68139 .662 .683
0,6 ppm
5 .5690 .006671 .002983 .56072 .57728 .562 .579
0,8 ppm
5 .5556 .012033 .005381 .54066 .57054 .535 .565
Total
25 .70748 .192233 .038447 .62813 .78683 .535 1.167
Gambar 3. Tunas yang tertinggi pada media MS tanpa penambahan BAP
VIS VITALIS, Vol. 02 No. 2, September 2009
Kurnianingsih, dkk.
29
Menurut Gunawan (1992) bahwa
level zat pengatur tumbuh endogen
merupakan salah satu faktor yang
mendorong proses pertumbuhan dan
morfogenesis. Auksin yang terkandung
dalam eksplan berperan dalam sintesis
nukleotida DNA dan RNA serta sintesis
protein dan enzim yang selanjutnya
digunakan dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan pada eksplan. Pemanjangan
sel terjadi karena adanya proses
pembelahan, pemanjangan dan pembesaran
sel-sel baru yang terjadi pada meristem
ujung sehingga eksplan yang ditanam
bertambah tinggi (Gardner dkk., 1991).
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Pemberian zat pengatur tumbuh BAP
dalam media MS dapat meningkatkan
pembentukan dan multiplikasi tunas
Anthurium hookerii Kunth. Enum. bila
dibandingkan dengan media MS tanpa
penambahan BAP.
2. Perlakuan penambahan BAP 0,2 ppm
dalam media MS merupakan media
yang terbaik untuk pembentukan dan
multiplikasi tunas Anthurium hookerii
Kunth. Enum terlihat dari nilai rata-rata
jumlah tunas dan daun yang terbanyak.
3. Perlakuan MS tanpa penambahan BAP
berbeda nyata dengan perlakuan yang
lainnya yaitu penambahan BAP
beragam konsentrasi (0,2; 0,4; 0,6 dan
0,8 ppm) dalam media MS, terlihat dari
nilai rata-rata tunas yang tertinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Budhiprawira S dan D Saraswati.
Anthurium. Penebar Swadaya,
Jakarta, 2006.
Chaerudin TS, T Supriatun dan A Bavadal.
Multiplikasi Tunas Tanaman Mentha
arvensis Melalui Kultur Jaringan.
Fakultas MIPA Universitas
Padjajaran, 1996.
Cleland RE. Auxin And Cell Elongation.
In Davies PJ. Plant Hormones
Physiology, Biochemistry And
Molecular Biology. Kluwer
Academic Publishers, London, 1995:
214-227.
Departemen Pertanian. Peluang Pasar
Tanaman Hias Ekspor Ke
Mancanegara. Ditjen Pengolahan Dan
Pemasaran Hasil Pertanian,
Departemen Pertanian, Jakarta, 2005.
Dinas Pertanian dan Kehutanan Propinsi
DKI Jakarta. Signifikan Peningkatan
PDB Dari Tanaman Hias. Jakarta,
2006.
Gardner FP, RB Pearce and RL Mitchell.
Fisiologi Tanaman Budidaya. UI
Press, Jakarta, 1991.
Gunawan LW. Teknik Kultur Jaringan
Tumbuhan. Pusat Antar Universitas
Bioteknologi Institut Pertanian
Bogor, Bogor, 1992.
Hartmann HT dan DE Kester. Plant
Propagation Principles And Practices.
Second Edition. Prentice-Hall Inc.,
New Jersey, 1959.
Henny RJ, AR Chase dan LS Osborne.
Anthurium. CFREC-Apopka Foliage
Plant Research Note RH-91-3,
University Of Florida.
http://mrec.ifas.ufl.edu/foliage/folnot
es/anthurium.htm, 2007; 26
November.
VIS VITALIS, Vol. 02 No. 2, September 2009
Kurnianingsih, dkk.
30
Hess D. Plant Physiology. Springer-Verlag
New York Inc., New York, 1975.
Jacobs WP. Plant Hormones And Plant
Development. Cambridge University
Press, USA, 1979.
Kadir A. Anthurium Daun. Penebar
Swadaya, Jakarta, 2007.
Klerk GJ de. Plant Hormones In Tissue
Culture. In Duchefa Biochemie.
Biochemicals Plant Cell And Tissue
Culture Phytopathology. Duchefa
Biochemie BV, Haarlem,
Netherlands, 2006.
Krikorian AD. Hormones In Tissue Culture
And Micropropagation. In Davies PJ.
Plant Hormones Physiology,
Biochemistry And Molecular
Biology. Kluwer Academic
Publishers, London, 1995: 774-796.
Lee-Espinosa HE, JG Cruz-Castillo dan B
Garcia-Rosas. Multiple Shoot
Proliferation And Acclimation Of
Midori And Kalapana Anthurium
(Anthurium andreanum L.) Cultured
In Vitro. Revista Fitotecnia Mexicana
2003; 26 (4): 301-307.
Marlina N. Teknik Perbanyakan
Anthurium Dengan Kultur Jaringan.
Buletin Teknik Pertanian 2004; 9 (2):
73-75.
Marlina N dan D Rusnandi. Teknik
Aklimatisasi Plantlet Anthurium Pada
Beberapa Media Tanam. Buletin
Teknik Pertanian 2007; 12 (1): 38-40.
Puchooa D dan D Sookun. Induced
Mutation And In Vitro Culture Of
Anthurium andreanum. Faculty Of
Agriculture, University Of Mauritius,
Mauritius, 2003.
Rahardja PC. Kultur Jaringan Teknik
Perbanyakan Tanaman Secara
Modern. Penebar Swadaya, Jakarta,
1989.
Rukmana R. Anthurium. Kanisius,
Yogyakarta, 1997.
Utami ESW. Pengaruh Penambahan Ragi
Roti Sebagai Alternatif Pengganti Zat
Pengatur Tumbuh BA Untuk
Diferensiasi Pada Kultur Jahe Merah
(Zingiber officinale var. sunti val).
Fakultas MIPA Universitas
Airlangga, 1998.
Widiastoety D, Syafril dan B Haryanto.
Kultur In Vitro Anggrek Dendrobium
Dalam Medium Cair. Jurnal
Hortikultura 1991; 1 (3): 6-10.
Widiastoety D, S Kusumo dan Syafni.
Pengaruh Tingkat Ketuaan Air
Kelapa Dan Jenis Kelapa Terhadap
Pertumbuhan Plantlet Anggrek
Dendrobium. Jurnal Hortikultura
1997; 7 (3): 768-772.
Widyastuti N. Abnormalitas Pertumbuhan
dan Morfogenesis Pada Plantlet
Krisan (Chrysanthemum morifolium)
Dan Kalalili (Zantedeschia
rehmannii) Dalam Kultur In Vitro.
Pusat Pengkajian Dan Penerapan
Teknologi Bioindustri, Badan
Pengkajian Dan Penerapan
Teknologi, Jakarta, 2004.
Yusnita. Kultur Jaringan Cara
Memperbanyak Tanaman Secara
Efisien. Agromedia Pustaka, Jakarta,
2003.

Anda mungkin juga menyukai