0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
67 tayangan19 halaman
Antihistamin adalah zat yang digunakan untuk mencegah atau menghambat kerja histamin pada reseptornya. Antihistamin secara luas telah digunakan sebagai pengobatan dalam bidang dermatologi untuk menghambat efek yang ditimbulkan oleh histamin seperti eritem, urtikaria dan rasa gatal. Beberapa antihistamin yang sering digunakan adalah klorfeniramin, difenhidramin, hidroksizin, loratadin, cetirizin dan f
Antihistamin adalah zat yang digunakan untuk mencegah atau menghambat kerja histamin pada reseptornya. Antihistamin secara luas telah digunakan sebagai pengobatan dalam bidang dermatologi untuk menghambat efek yang ditimbulkan oleh histamin seperti eritem, urtikaria dan rasa gatal. Beberapa antihistamin yang sering digunakan adalah klorfeniramin, difenhidramin, hidroksizin, loratadin, cetirizin dan f
Antihistamin adalah zat yang digunakan untuk mencegah atau menghambat kerja histamin pada reseptornya. Antihistamin secara luas telah digunakan sebagai pengobatan dalam bidang dermatologi untuk menghambat efek yang ditimbulkan oleh histamin seperti eritem, urtikaria dan rasa gatal. Beberapa antihistamin yang sering digunakan adalah klorfeniramin, difenhidramin, hidroksizin, loratadin, cetirizin dan f
Disusun oleh : Then Moli Othayamoorthy 1301- 1209- 3066 Hemaarubeni Murugan 1301- 1210- 0219 Mohd Nizam Bin Roslan 1301- 1210- 0251
Preceptor : dr. Inne Arline Diana, SpKK (K)
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN RUMAH SAKIT DR. HASAN SADIKIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2010
2
ANTIHISTAMIN ABSTRAK Antihistamin (AH) adalah zat yang digunakan untuk mencegah atau menghambat kerja histamine pada reseptornya. Antihistamin secara luas telah digunakan sebagai pengobatan dalam bidang dermatologi, terutama antihistamin H 1 dan H 2 . Secara umum, AH dapat menghambat efek yang ditimbulkan oleh histamine, yaitu menghambat vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler yang secara klinis berupa eritem, urtika dan rasa gatal. Antihistamin yang sering digunakan yaitu; klorferamin, difenhidramin, hidroksizin, loratadin, cetirizin dan feksofenadin.
I. PENDAHULUAN Antihistamin adalah zat yang digunakan untuk mencegah atau menghambat kerja histamin pada reseptornya. Histamin sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu histos yang berarti jaringan, adalah autakoid yang berperan penting pada aktivitas organ tubuh baik pada proses yang fisiologis maupun patologis Aktivitas blokade histamin pertama kali diketahui pada tahun 1937 oleh Bovet dan Staub pada sebuah rangkaian amin dengan fungsi eter fenolik. Senyawa ini, 2-isopropil-5-metilfenoksietildietilamin, melindungi hewan percobaan dari berbagai dosis letal histamin, mengantagonisasi spasme berbagai otot polos yang diinduksi oleh histamin, dan menurunkan gejala-gejala renjatan anafilaksis. Senyawa ini terlalu toksis untuk penggunaan klinis, tetapi pada tahun 1944, Bovet dkk telah memperkenalkan pirilamin maleat yang hingga saat ini masih menjadi salah satu antagonis histamin yang efektif, selanjutnya diikuti perkembangan antihistamin di Amerika yang bersifat kurang toksik seperti tripelenamin, difenhidramin dan prometazin pada tahun 1945 dan 1946. Antara akhir tahun 1980-an hingga 1990, mulai diperkenalkan suatu generasi baru dari antihistamin 1 yang tidak menembus sawar otak untuk mengurangi efek sedasi yang sering mengganggu. Antihistamin golongan ini sering disebut sebagai antihistamin 3 generasi kedua atau antihistamin non-sedasi. Terfenadin dan astemizole merupakan antihistamin generasi kedua yang pertama kali dikeluarkan, namun pada beberapa penelitian di Amerika, terfenadin dan astemizol sudah ditarik dari peredaran karena memiliki bahaya interaksi obat yang serius berupa pemanjangan Q-T interval. Dengan adanya efek kardiotoksik ini maka dikembangkan suatu antihistamin yang non-kardiotoksik dan non-sedatif seperti desloratadin, levocetirizin dan fexofenadin. Antagonis reseptor H2 pertama kali disintesis pada tahun 1969. Reseptor H2 terdapat pada pembuluh darah, jantung, kulit dan lambung , sedangkan reseptor H3 pada manusia diyakini terdapat dalam otak dan paru, tetapi tidak terdapat di kulit. Reseptor histamin intraseluler dan reseptor H4 dilaporkan terdapat pada sel-sel dan jaringan tubuh, dan seperti halnya reseptor H3, tidak terdapat di kulit.
Dalam bidang dermatologi, antihistamin secara luas telah digunakan sebagai terapi. Sangatlah penting untuk mengetahui farmakologi antihistamin yang akan diberikan. Pada makalah ini akan dibahas mengenai klasifikasi, farmakologi, efek samping maupun beberapa penggunaan klinis dari antihistamin terutama antihistamin (AH1) baik klasik maupun non sedasi yang sering digunakan diantaranya klorfeniramin, difenhidramin, hidroksizin, loratadin, cetirizin dan fexofenadin.
II. KLASIFIKASI 1. Antihistamin tipe H-1 a. AH-1 generasi I (klasik/sedatif) Yang termasuk golongan ini adalah: Alkilamin (propilamin) : bromfeniramin maleat, klorfeniramin maleat dan tanat, deksbromfeniramin maleat, deksklorfeniramin maleat, dimentinden maleat, tripolidin hidroklorida, feniramin maleat/pirilamin maleat
Piperazin : hidroksizin hidroklorida dan pamoat (fitzpatrick)
Rumus bangun
Antihistamin pada umumnya
Difenhidramin Tripelenamin
5
Ciproheptadin Hidroksizin
Klorfeniramin Prometazin
b . AH-1 non sedatif (AH-1 GENERASI II dan III ) Beberapa AH-1 yang diperkenalkan dalam 2 dekade terakhir ditemukan dengan cara menyaring beberapa komponen dan secara kimia berhubungan AH-1 generasi yang lama. Sebagai contoh misalnya: akrivastin berhubungan dengan tripolidin, cetirizin adalah metabolit dari hidroksizin, levocetirizin adalah enantiomer dari cetirizin, desloratadin adalah metabolik dari terfenadin. - AH 1 generasi II Yang termasuk golongan ini adalah: Akrivastin Astemizole Cetirizin Loratadin Mizolastin Terfenadin Ebastin -
6 Rumus bangun
Cetirizine
- AH-1 generasi III Yang termasuk golongan ini adalah: Levocetirizin Desloratadin Fexofenadin
Rumus bangun
Fexofenadine Desloratadine
7
Levocetirizine
2. Antihistamin tipe H-2 Yang termasuk golongan ini adalah : Simetidin Ranitidin Famotidin Nizatidin
Rumus bangun
Nizatidine
III. Antihistamin tipe H1 Klasik a ) Mekanisme kerja: Antihistamin tipe H1 bekerja sebagai competitif inhibitor terhadap histamin pada reseptor jaringan, sehingga mencegah histamin berikatan dan mengaktivasi reseptornya. Ikatannya antara antihistamin dan reseptornya bersifat reversibel dan dapat digantikan oleh histamin dalam kadar yang tinggi. Dengan 8 menghambat kerja dari histamin, terjadi berbagai pengaruh yang ditimbulkan antihistamin, yaitu menghambat peningkatan permeabilitas kapiler dan edema yang disebabkan oleh histamin serta menghambat vasokonstriksi. Obat ini lebih efektif jika diberikan sebelum pelepasan histamin. Pada pemberian awal, antihistamin dapat mencegah edema dan pruritus selama reaksi hipersensitivitas, sehingga banyak keuntungan yang didapat jika digunakan untuk pencegahan urtikaria kronik idiopatik. Antihistamin tipe H1 klasik ini juga memiliki aktivitas antikolinergik, efek anestesi lokal, antiemetik, dan anti mabuk perjalanan. Beberapa antihistamin tipe H1 mempunyai kemampuan untuk menghambat reseptor -adrenergik atau reseptor muskarinik kolinergik, sedangkan obat lain mempunyai efek antiserotonin.
b) Farmakologi Setelah pemberian secara oral, antihistamin akan diabsorbsi dengan baik dalam saluran cerna. Efeknya dapat terlihat dalam 30 menit, mencapai konsentrasi puncak plasma dalam 1-2 jam, dan dapat bertahan 4-6 jam, dan beberapa obat lainnya dapat bertahan lebih lama. Antihistamin tipe H1 dimetabolisme oleh sistem enzim sitokrom hepar P450 (CYP) CYP3S4, dikonjugasi membentuk glukuronida dan hampir seluruhnya diekskresikan ke urin setelah 24 jam pemberian.
c ) Kegunaan klinis Antihistamin tipe H1 generasi I digunakan untuk menghilangkan pruritus, pengobatan urtikaria akut, urtikaria kronis, angioedema dan reaksi alergi kulit lainnya temasuk reaksi obat. Apabila salah satu dari kelompok antihistamin tipe H1 tidak efektif, maka dapat diganti dengan obat dari kelompok yang lain. Antihistamin tipe H1 digunakan untuk terapi pruritus pada penderita dermatitis atopik. Efeknya berhubungan dengan menekan ansietas dan sedasinya. Pruritus yang disebabkan hal lain, seperti dermatitis kontak alergi dan bentuk lain dermatitis, liken planus, gigitan nyamuk dan pruritus yang terjadi sekunder karena penyakit lain atau yang bersifat idiopatik, juga dapat dihilangkan dengan penggunaan antihistamin tipe H1. 9 Kontraindikasi pemberian obat ini adalah pada bayi baru lahir atau bayi prematur, kehamilan, ibu menyusui, glaukoma sudut sempit, retensi urin, dan asma. Panduan penggunaan antihistamin tipe H1 wanita hamil terbatas. Sebagian besar antihistamin tipe H1 pada wanita hamil oleh United States of Food and Drug Administration (FDA) digolongkan sebagai kategori B atau C.a
d) Efek samping: Sifat lipofilik dari antihistamin AH1 klasik menyebabkan distribusi jaringan yang luas dan dapat melewati sawar darah otak, plasenta dan air susu ibu, karena itu dapat memberikan efek pada: Sistem saraf pusat Komplikasi tersering pada orang dewasa adalah depresi SSP, sedasi dan pusing. Pada anak-anak dan orang tua dapat terjadi: kecemasan, iritabilitas, insomia, tremor dan mimpi buruk. Bangkitan dapat terjadi, walaupun jarang. Pernah dilaporkan terjadinya diskinesia wajah dan mulut pada penggunaan kombinasi antihistamin-dekongestan.
Gastrointestinal Dapat terjadi mual, muntah, anoreksia, konstipasi dan diare.
Jantung Takikardia, disritmia, hipotensi yang bersifat sementara
Genitourinaria Disuria, disfungsi ereksi, retensi urin
Darah Klorfeniramin dapat menebabkan pansitopenia, agranulositosis, trombositopenia, leukopenia dan anemia aplastik.
Kulit Reaksi kulit yang dapat terjadi berupa dermatitis, petekie, fixed drug eruption dan fotosensitif. 10 Efek samping lainnya Terdapat efek samping antikolinergik yang dapat berupa muka merah, dilatasi pupil, hipertermia kekeringan pada membran mukosa dan penglihatan yang buram.
e) Interaksi obat Efek depresi SSP akan semakin meningkat apabila antihistamin tipe H1 diminum bersamaan dengan alkohol atau obat lain yang bersifat depresif terhadap SSP seperti diazepam. Antihistamin kelompok fenotiazin menghambat dan sebaliknya epinefrin mempunyai efek vasosupresi. Kontra indikasi pemberian antihistamin tipe H1 adalah penderita yang mendapat inhibitor monoamine oksidase, seperti
IV . Antihistamin H1 Non Sedatif a) Mekanisme kerja Antihistamin tipe H 1 non sedatif merupakan antagonis dari histamin pada reseptor H 1 ,berikatan secara tidak kompetitif, tidak mudah diganti oleh histamin, dilepaskan secara perlahan dan kerjanay lebih lama. Antihistamin H 1 non sedatif ini kurang bersifat lipofilik, sangat sedikit menembus sawar darah otak, dan lebih mengikat reseptor H 1 di perifer secara lebih spesifik.
Walaupun golongan ini sering dikatakan nonsedasi, obat-obat ini tetap dapat menyebabkan efek sedasi, namun dalam banyak penelitian dikatakan insidensi sedasi jauh lebih sedikit dibandingkan antihistamin H 1 klasik, demikian pula efek antikolinergiknya lebih jarang terjadi dibanding antihistamin H 1 klasik. Salah satu penelitian yang membandingkan efek sedasi dari 4 macam antihistamin nonsedatif yang berbeda, yaitu loratadin, akrivastin, setirisin dan feksofenadin, didapatkan hasil loratadin paling tidak menyebabkan sedasi, kemudian secara berurutan diikuti oleh feksofenadin, akrivastin dan setirisin. Setirisin memiliki efek anti inflamasi seperti hambatan aktivasi eosinofil, neutrofil, limfosit dan kemotaksis dengan jalan menghambat: - Adhesi leukosit ke endotel 11 - Efek kemotaksis sehingga terjadi migrasi melalui jaringan ke tempat radang - Aktivasi sel radang/ pelepasan mediator - Ekspresi adhesi molekul oleh endotel/sel target
b) Farmakodinamik dan farmakokinetik: Antihistamin tipe H 1 non sedatif diabsorbsi dari saluran cerna dan mencapai puncak konsetrasi plasma dalam 2 jam. Obat tersebut dapat menghilangkan urtikaria dan reaksi eritema sekitar 1-24 jam. Terfenadin, astemisol, loratadin, aktivastin, mizolastin, ebastin dan oksatomid dimetabolisme di hepar melalui sistem enzim sitokrom P450 3A4 dalam hepar. Setirisin, feksofenadin, dan desloratadin tidak dimetabolisme dalam hepar.
Astemisol mempunyai efek jangka panjang dibandingkan dengan AH-1 yang lain. Astemisol mempunyai afinitas lebih besar terhadap reseptor H 1
sehingga khasiat anti urtikaria masih dapat berlangsung 4 minggu setelah obat dihentikan. Waktu paruh eliminasi setirisin dan feksofenadin pada anak-anak sama dengan dewasa yaitu 7-8 jam.
c) Kegunaan klinis Antihistamin tipe H 1 non sedatif digunakan terutama untuk pengobatan rinitis alergi dan urtikaria kronis.
d) Kontraindikasi Kehamilan Ibu menyusui e) Efek samping Antihistamin ini memiliki efek sedasi dan antikolinergik yang sedikit, sehingga memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan antihistamin tipe H-1 klasik.
Sistem saraf pusat 12 Dalam beberapa penelitian dikatakan tefenadin, astemizol dan loratadin memiliki efek sedasi yang lebih rendah dibandingkan antihistamin H1 klasik.
Kardiovaskular Efek samping kardiovaskular berupa fibrilasi ventrikel, pemanjangan interval QT serta aritmia ventrikular torsades de pointes yang berhubungan dengan pemakaian astemizol dan terfenadin.
Kelainan ini dapat terjadi terutama pada wanita dan penderita dengan kelainan jantung organik yang sebelumnya telah ada (seperti iskemia, kardiomiopati), aritmia, ataupun penderita dengan gangguan elektrolit (seperti hipokalemia, hipokalsemia dan hipomagnesemia)
Hepar Hepatotoksisitas jarang terjadi, namun dilaporkan adanya kasus hepatitis yang berhubungan dengan penggunaan terfenadin selama 5 bulan. Peningkatan serum transaminase dengan kadar ringan sampai sedang dapat terjadi.
Kulit Fotosensitivitas, urtikaria, erupsi makulopapular, eritema serta pengelupasan kulit tangan dan kaki. Selain itu juga dilaporkan adanya reaksi fotoalergi dan alopesia yang diduga berhubungan dengan penggunaan terfenadin. Dilaporkan juga suatu kasus psoriasis yang mengalami eksaserbasi selama menggunakan terfenadin.
Efek samping lainnya Dilaporkan adanya sakit kepala, mual, kekeringan pada mukosa mulut dan beberapa efek antikolinergik lainnya, namun insidensinya sangat rendah. Karena terbatasnya penelitian pada manusia, penggunaan antihistamin non sedasi pada wanita hamil dan ibu menyusui sebaiknya dihindari.
f) Interaksi obat Perpanjangan interval QT dapat terjadi pada penderita yang mengkonsumsi terfenadin bersamaan dengan ketokonazol dan itrakonazol, antibiotik makrolid, seperti eritromisin dan klaritromisin, troleandomisin, lovastatin, protease inhibitor dan flavonoid, seperti naringin dalam grapefruit juice. 13 Obat-obatan lain yang dapat berpengaruh pada peningkatan kadar antihistamin serum dan yang memiliki risiko kardiovaskular adalah Human Immunodeficiency Virus-1 (HIV-1) protease inhibitors, Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRI) antidepresant, seperti quinin, zileuton.
V. Klorfeniramin Klorfeniramin merupakan antihistamin sedatif dari golongan alkilamin yang paling poten dan stabil. Setelah pemberian dosis tunggal per oral, klorfeniramin diabsorbsi dengan baik dan cepat pada saluran pencernaan, mencapai kadar puncak plasma dalam waktu 30-60 menit, melalui metabolisme pertama di hati dan di mukosa saluran pencernaan selama proses absorbsi, kemudian didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh termasuk susunan saraf pusat. Sebanyak 50% dari dosis yang diberikan diekskresikan terutama melalui urin dalam waktu 12 jam dalam bentuk asal dan metabolitnya.
Lama kerja dari klorfeniramin adalah 4-6 jam. Dosis yang diberikan 4-6 mg peroral dapat diberikan 3-4x/hari, dengan dosis maksimal 24 mg per hari baik pada anak-anak dan dewasa. Sediaan: - Klorfeniramin elixir, 2 mg/5ml: 120 ml, 480 ml
- Klorfeniramin tablet 2 mg dan 4 mg
- Klorfeniramin retarded tablet 8 mg dan 12 mg
VII. Difenhidramin Difenhidramin adalah derivat etanolamin yang sering digunakan dalam praktek sehari-hari, diabsorbsi dengan baik setelah pemberian per oral. Obat ini mengalami metabolisme pertama di hati, dan hanya 40%-60% dari dosis pemberian yang mencapai sirkulasi sistemik, didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh, termasuk sistem saraf pusat. Kadar puncak plasma dicapai dalam 14 waktu kurang lebih 1-5 jam dan bertahan selama 2 jam. Waktu paruh bervariasi dari 2,4 sampai 10 jam. Difenhidramin tidak dapat diberikan secara subkutan, intradermal atau perivaskular karena sifatnya yang iritatif dan dapat menyebabkan nekrosis setempat pada pemberian secara subkutan dan intradermal. Difenhidramin tidak dapat menembus jaringan kulit yang intak pada pemberian secara topikal, bahkan dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas.
Dosis pemberian adalah 25 mg-50 mg per oral, dosis maksimal 300 mg/hari, dengan lama kerja 4-6 jam. Pemberian 100 mg atau lebih dapat menyebabkan hipertensi dan takikardia. Sediaan : - Difenhidramin kapsul 25 dan 50 mg - Difenhidramin elixir (12,5 mg/5 ml): 120 cc, 480 cc - Difenhiramin injeksi (50 mg/ml) : 1 ml ampul - Difenhidramin spray : 60 ml 4
VIII. Hidroksizin Hidroksizin merupakan derivat dari piperazin, sering digunakan sebagai transquilizer, sedatif, antipruritus dan antiemetik. Kadar plasma biasanya dicapai dalam 2-3 jam setelah pemberian per oral, dengan waktu paruh 6 jam kemudian diekskresikan ke dalam urin.
Hidroksizin merupakan obat pilihan untuk pengobatan dermatografisme dan urtikaria kolinergik, dapat digunakan sendirian ataupun kombinasi dengan antihistamin lainnya untuk manajemen pengobatan urtikaria kronis, urtikaria akut, dermatitis kontak, dermatitis atopik dan pruritus 15 yang diinduksi oleh histamin. Lama kerja dari obat ini adalah 6-24 jam dengan dosis pemberian 10 mg sampai 50 mg peroral, setiap 4 jam Sediaan: - Hidroksizin tablet 10 mg, 25 mg, 50 mg dan 100 mg - Hiroksizin injeksi 25 mg/ml, 50 mg/ml - Hidroksizin sirup 10 mg/5ml: 240 ml, 480 ml
IX. Loratadin Loratadin adalah trisiklik piperidin long acting yang mempunyai aktivitas yang selektif dengan efek sedatif dan antikolinergik yang minimal pada dosis yang direkomendasikan, merupakan antihistamin yang mempunyai masa kerja yang lama. Metabolik utamanya, deskarboetoksi-loratadin, adalah biologikal aktifnya. Loratadin cepat diabsorbsi setelah pemberian dosis 10 mg, sekali sehari dan mencapai konsentrasi plasma maksimum dalam 1-1,5 jam. Eliminasi waktu paruhnya sekitar 8-11 jam, diekskresikan melalui urine 40%, feses 42% dan air susu 0,029%. Loratadin diindikasikan untuk rinitis alergi dan urtikaria kronik idiopatik pada pasien diatas 6 tahun. Loratadin mempunyai efek terhadap fungsi dari miokardial potasium channel tetapi tidak menyebabkan disritmia jantung. Loratadin merupakan long acting antihistamin dengan lama kerja 24 jam. Dosis yang direkomendasikan 10 mg dosis oral, pada anak-anak (< 30 kg) adalah 5 mg/kg BB dosis tunggal. Meskipun loratadin tidak mempunyai kontraindikasi pada penderita hati dan ginjal kronis, disarankan untuk mengurangi dosis yang diberikan. 16 Sediaan: - Loratadin sirup (1 mg/ml): 480 ml - Loratadin tablet 10 mg - Loratadin reditabs 10 mg
X. Cetirizin Merupakan metabolit karboksil asid dari hidroksin. Obat ini pada manusia hanya mempunyai transformasi metabolik yang minimal menjadi bentuk metabolit aktif dan obat ini terutama diekskresi lewat urin. Karena cetirizin cepat diabsorbsi dan sedikit yang dimetabolisme, dan juga diekskresi lewat urin, maka dosis obat ini harus dikurangi pada pasien dengan gangguan ginjal. Kadar puncak plasma dicapai dalam 1 jam dan waktu paruh plasma sekitar 7 jam, diekskresikan dalam urine sebanyak 60% dan feses 10%. Cetirizin dapat menghambat eosinofil, netrofil dan basofil dan menghambat IgE serta menurunkan prostaglandin D2. Cetirizin diindikasikan untuk terapi urtikaria kronik di Amerika Serikat. Beberapa studi kemudian mendukung khasiat cetirizin untuk kondisi ini dan juga ditemukan khasiatnya untuk terapi cold urtikaria. Dosis yang direkomendasikan untuk dewasa 10 mg/hari (maksimal 20 mg) dosis tunggal, pada anak-anak adalah 0,3 mg/kgBB sedangkan pada pasien dengan gangguan ginjal kronik dan hepar dosis yang diberikan adalah 5 mg/hari. Lama kerja dari cetirizin adalah 12-24 jam.
XII. Feksofenadin Feksofenadin, metabolit aktif utama dari terfenadin, merupakan reseptor kompetitif antagonis H-1 yang selektif dengan sedikit atau tanpa efek samping antikolinergik dan non sedatif, serta bersifat non kardiotoksik. Feksofenadin diabsorbsi cepat setelah pemberian dosis tunggal atau dua kapsul 60 mg dengan waktu rata-rata mencapai konsentrasi plasma maksimum 1-3 jam setelah pemberian per oral. Feksofenadin terikat pada protein plasma sekitar 60-70%, terutama pada albumin dan 1-acid gylcoprotein. Waktu paruh feksofenadin adalah 11-15 jam,
diekskresikan sebanyak 80% pada urine dan 12% pada feses. Feksofenadin diindikasikan pada penderita rinitis alergi dan urtikaria idiopatik kronis.
Pemberian feksofenadin bersama antibiotik golongan makrolid dan obat anti jamur golongan imidazol tidak menunjukkan adanya interaksi obat sehingga tidak terdapat pemanjangan interval QT.
18 RINGKASAN Antihistamin adalah zat yang digunakan untuk mencegah atau menghambat kerja histamin pada reseptornya. Anti histamin tipe H 1 banyak digunakan dalam bidang dermatologi, terbagi atas AH-1 sedatif dan AH-1 non sedatif. Antihistamin sedatif bersifat lipofilik, sehingga dapat terdistribusi secara luas terutama pada sistem saraf pusat dan dapat menyebabkan depresi SSP. Antihistamin non sedatif kurang bersifat lipofilik dan sangat sedikit menembus sawar darah otak, sehingga efek samping yang terjadi lebih sedikit bila dibandingkan dengan AH-1 yang sedatif. Terfenadin dan astemisol dapat menyebabkan perpanjangan interval QT, aritmia dan takikardi ventrikular (torsades de pointes), penggunaannya dapat digantikan oleh feksofenadin yang bersifat non kardiotoksik. Setirisin berpengaruh pada perpindahan sel dalam kulit dan jaringan lainnya, pelepasan atau pembuatan dan pelepasan mediator inflamasi serta ekspresi molekul adhesi. Antihistamin yang sering digunakan diantaranya adalah klorfeniramin, difenhidramin, hidroksizin, loratadin, setirisin, dan feksofenadin.
19 DAFTAR PUSTAKA
1. Fitzpatricks dermatology in general medicine. Edisi ke-6. New York: McGraw-Hill Incorporation; 2003.h.2420-6 2. Comprehensive dermatologic drug therapy. Edisi ke-1. New York: W.B. Saunders Company; 2001.h.360-74 3. Systemic drugs for skin diseases. Edisi ke-1. Philadelphia: WB Saunders Company; 1991.h.285-321 4. Manual of dermatologic therapeutics with essentials of diagnosis. Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Company; 2002.h.294-303 5. Goodman & Gillmans the pharmacological basis of therapeutics. Edisi ke-6. New York: Mc Graw-Hill Publisher; 2001.h.645-67