Anda di halaman 1dari 19

1

CLINICAL SCIENCE SESSION



ANTIHISTAMIN

Disusun oleh :
Then Moli Othayamoorthy 1301- 1209- 3066
Hemaarubeni Murugan 1301- 1210- 0219
Mohd Nizam Bin Roslan 1301- 1210- 0251



Preceptor :
dr. Inne Arline Diana, SpKK (K)







PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT DR. HASAN SADIKIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2010

2

ANTIHISTAMIN
ABSTRAK
Antihistamin (AH) adalah zat yang digunakan untuk mencegah atau
menghambat kerja histamine pada reseptornya. Antihistamin secara luas telah
digunakan sebagai pengobatan dalam bidang dermatologi, terutama antihistamin
H
1
dan H
2
. Secara umum, AH dapat menghambat efek yang ditimbulkan oleh
histamine, yaitu menghambat vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler
yang secara klinis berupa eritem, urtika dan rasa gatal. Antihistamin yang sering
digunakan yaitu; klorferamin, difenhidramin, hidroksizin, loratadin, cetirizin dan
feksofenadin.

I. PENDAHULUAN
Antihistamin adalah zat yang digunakan untuk mencegah atau
menghambat kerja histamin pada reseptornya. Histamin sendiri berasal dari
bahasa Yunani yaitu histos yang berarti jaringan, adalah autakoid yang berperan
penting pada aktivitas organ tubuh baik pada proses yang fisiologis maupun
patologis
Aktivitas blokade histamin pertama kali diketahui pada tahun 1937 oleh
Bovet dan Staub pada sebuah rangkaian amin dengan fungsi eter fenolik. Senyawa
ini, 2-isopropil-5-metilfenoksietildietilamin, melindungi hewan percobaan dari
berbagai dosis letal histamin, mengantagonisasi spasme berbagai otot polos yang
diinduksi oleh histamin, dan menurunkan gejala-gejala renjatan anafilaksis.
Senyawa ini terlalu toksis untuk penggunaan klinis, tetapi pada tahun 1944, Bovet
dkk telah memperkenalkan pirilamin maleat yang hingga saat ini masih menjadi
salah satu antagonis histamin yang efektif, selanjutnya diikuti perkembangan
antihistamin di Amerika yang bersifat kurang toksik seperti tripelenamin,
difenhidramin dan prometazin pada tahun 1945 dan 1946. Antara akhir tahun
1980-an hingga 1990, mulai diperkenalkan suatu generasi baru dari antihistamin 1
yang tidak menembus sawar otak untuk mengurangi efek sedasi yang sering
mengganggu. Antihistamin golongan ini sering disebut sebagai antihistamin
3
generasi kedua atau antihistamin non-sedasi. Terfenadin dan astemizole
merupakan antihistamin generasi kedua yang pertama kali dikeluarkan, namun
pada beberapa penelitian di Amerika, terfenadin dan astemizol sudah ditarik dari
peredaran karena memiliki bahaya interaksi obat yang serius berupa pemanjangan
Q-T interval. Dengan adanya efek kardiotoksik ini maka dikembangkan suatu
antihistamin yang non-kardiotoksik dan non-sedatif seperti desloratadin,
levocetirizin dan fexofenadin.
Antagonis reseptor H2 pertama kali disintesis pada tahun 1969. Reseptor
H2 terdapat pada pembuluh darah, jantung, kulit dan lambung , sedangkan
reseptor H3 pada manusia diyakini terdapat dalam otak dan paru, tetapi tidak
terdapat di kulit. Reseptor histamin intraseluler dan reseptor H4 dilaporkan
terdapat pada sel-sel dan jaringan tubuh, dan seperti halnya reseptor H3, tidak
terdapat di kulit.

Dalam bidang dermatologi, antihistamin secara luas telah digunakan
sebagai terapi. Sangatlah penting untuk mengetahui farmakologi antihistamin
yang akan diberikan. Pada makalah ini akan dibahas mengenai klasifikasi,
farmakologi, efek samping maupun beberapa penggunaan klinis dari antihistamin
terutama antihistamin (AH1) baik klasik maupun non sedasi yang sering
digunakan diantaranya klorfeniramin, difenhidramin, hidroksizin, loratadin,
cetirizin dan fexofenadin.



II. KLASIFIKASI
1. Antihistamin tipe H-1
a. AH-1 generasi I (klasik/sedatif)
Yang termasuk golongan ini adalah:
Alkilamin (propilamin) : bromfeniramin maleat, klorfeniramin
maleat dan tanat, deksbromfeniramin maleat, deksklorfeniramin
maleat, dimentinden maleat, tripolidin hidroklorida, feniramin
maleat/pirilamin maleat

4
Etanolamin (Aminoalkil eter) :karbioksamin maleat, difenhidramin
sitrat dan hidroklorida, doksilamin suksinat, embramin
hidroklorida, mefenhidramin metilsulfat, trimetobenzamin sitrat,
dimenhidrinat, klemastin fumarat


Etilendiamin : mepiramin maleat, pirilamin maleat, tripenelamin
sitrat dan hidroklorida, antazolin fosfat

Fenotiazin : dimetotiazin mesilat, mekuitazin, metdilazin dan
metdilazin hidroklrida, prometazin hidroklorida dan teoklat,
trieprazin tartrat


Piperidin : azatadin maleat, siproheptadin hidroklorida,
difenilpralin hidroklorida, fenindamin tartrat

Piperazin : hidroksizin hidroklorida dan pamoat (fitzpatrick)



Rumus bangun

Antihistamin pada umumnya


Difenhidramin Tripelenamin

5


Ciproheptadin Hidroksizin


Klorfeniramin Prometazin


b . AH-1 non sedatif (AH-1 GENERASI II dan III )
Beberapa AH-1 yang diperkenalkan dalam 2 dekade terakhir
ditemukan dengan cara menyaring beberapa komponen dan secara kimia
berhubungan AH-1 generasi yang lama. Sebagai contoh misalnya:
akrivastin berhubungan dengan tripolidin, cetirizin adalah metabolit dari
hidroksizin, levocetirizin adalah enantiomer dari cetirizin, desloratadin
adalah metabolik dari terfenadin.
- AH 1 generasi II
Yang termasuk golongan ini adalah:
Akrivastin
Astemizole
Cetirizin
Loratadin
Mizolastin
Terfenadin
Ebastin
-

6
Rumus bangun



Cetirizine


- AH-1 generasi III
Yang termasuk golongan ini adalah:
Levocetirizin
Desloratadin
Fexofenadin

Rumus bangun

Fexofenadine Desloratadine

7

Levocetirizine

2. Antihistamin tipe H-2
Yang termasuk golongan ini adalah :
Simetidin
Ranitidin
Famotidin
Nizatidin

Rumus bangun





Nizatidine



III. Antihistamin tipe H1 Klasik
a ) Mekanisme kerja:
Antihistamin tipe H1 bekerja sebagai competitif inhibitor terhadap
histamin pada reseptor jaringan, sehingga mencegah histamin berikatan dan
mengaktivasi reseptornya. Ikatannya antara antihistamin dan reseptornya bersifat
reversibel dan dapat digantikan oleh histamin dalam kadar yang tinggi. Dengan
8
menghambat kerja dari histamin, terjadi berbagai pengaruh yang ditimbulkan
antihistamin, yaitu menghambat peningkatan permeabilitas kapiler dan edema
yang disebabkan oleh histamin serta menghambat vasokonstriksi. Obat ini lebih
efektif jika diberikan sebelum pelepasan histamin. Pada pemberian awal,
antihistamin dapat mencegah edema dan pruritus selama reaksi hipersensitivitas,
sehingga banyak keuntungan yang didapat jika digunakan untuk pencegahan
urtikaria kronik idiopatik. Antihistamin tipe H1 klasik ini juga memiliki aktivitas
antikolinergik, efek anestesi lokal, antiemetik, dan anti mabuk perjalanan.
Beberapa antihistamin tipe H1 mempunyai kemampuan untuk menghambat
reseptor -adrenergik atau reseptor muskarinik kolinergik, sedangkan obat lain
mempunyai efek antiserotonin.

b) Farmakologi
Setelah pemberian secara oral, antihistamin akan diabsorbsi dengan baik
dalam saluran cerna. Efeknya dapat terlihat dalam 30 menit, mencapai konsentrasi
puncak plasma dalam 1-2 jam, dan dapat bertahan 4-6 jam, dan beberapa obat
lainnya dapat bertahan lebih lama. Antihistamin tipe H1 dimetabolisme oleh
sistem enzim sitokrom hepar P450 (CYP) CYP3S4, dikonjugasi membentuk
glukuronida dan hampir seluruhnya diekskresikan ke urin setelah 24 jam
pemberian.


c ) Kegunaan klinis
Antihistamin tipe H1 generasi I digunakan untuk menghilangkan pruritus,
pengobatan urtikaria akut, urtikaria kronis, angioedema dan reaksi alergi kulit
lainnya temasuk reaksi obat. Apabila salah satu dari kelompok antihistamin tipe
H1 tidak efektif, maka dapat diganti dengan obat dari kelompok yang lain.
Antihistamin tipe H1 digunakan untuk terapi pruritus pada penderita
dermatitis atopik. Efeknya berhubungan dengan menekan ansietas dan sedasinya.
Pruritus yang disebabkan hal lain, seperti dermatitis kontak alergi dan bentuk lain
dermatitis, liken planus, gigitan nyamuk dan pruritus yang terjadi sekunder karena
penyakit lain atau yang bersifat idiopatik, juga dapat dihilangkan dengan
penggunaan antihistamin tipe H1.
9
Kontraindikasi pemberian obat ini adalah pada bayi baru lahir atau bayi
prematur, kehamilan, ibu menyusui, glaukoma sudut sempit, retensi urin, dan
asma.
Panduan penggunaan antihistamin tipe H1 wanita hamil terbatas. Sebagian
besar antihistamin tipe H1 pada wanita hamil oleh United States of Food and Drug
Administration (FDA) digolongkan sebagai kategori B atau C.a


d) Efek samping:
Sifat lipofilik dari antihistamin AH1 klasik menyebabkan distribusi
jaringan yang luas dan dapat melewati sawar darah otak, plasenta dan air susu ibu,
karena itu dapat memberikan efek pada:
Sistem saraf pusat
Komplikasi tersering pada orang dewasa adalah depresi SSP,
sedasi dan pusing. Pada anak-anak dan orang tua dapat terjadi:
kecemasan, iritabilitas, insomia, tremor dan mimpi buruk.
Bangkitan dapat terjadi, walaupun jarang. Pernah dilaporkan
terjadinya diskinesia wajah dan mulut pada penggunaan kombinasi
antihistamin-dekongestan.

Gastrointestinal
Dapat terjadi mual, muntah, anoreksia, konstipasi dan diare.

Jantung
Takikardia, disritmia, hipotensi yang bersifat sementara

Genitourinaria
Disuria, disfungsi ereksi, retensi urin

Darah
Klorfeniramin dapat menebabkan pansitopenia, agranulositosis,
trombositopenia, leukopenia dan anemia aplastik.

Kulit
Reaksi kulit yang dapat terjadi berupa dermatitis, petekie, fixed
drug eruption dan fotosensitif.
10
Efek samping lainnya
Terdapat efek samping antikolinergik yang dapat berupa muka
merah, dilatasi pupil, hipertermia kekeringan pada membran
mukosa dan penglihatan yang buram.


e) Interaksi obat
Efek depresi SSP akan semakin meningkat apabila antihistamin tipe H1
diminum bersamaan dengan alkohol atau obat lain yang bersifat depresif terhadap
SSP seperti diazepam. Antihistamin kelompok fenotiazin menghambat dan
sebaliknya epinefrin mempunyai efek vasosupresi. Kontra indikasi pemberian
antihistamin tipe H1 adalah penderita yang mendapat inhibitor monoamine
oksidase, seperti

isokarboksazid, nialamid, moklobemid, ranilsipromin, fenelzim.

IV . Antihistamin H1 Non Sedatif
a) Mekanisme kerja
Antihistamin tipe H
1
non sedatif merupakan antagonis dari histamin pada
reseptor H
1
,berikatan secara tidak kompetitif, tidak mudah diganti oleh histamin,
dilepaskan secara perlahan dan kerjanay lebih lama. Antihistamin H
1
non sedatif
ini kurang bersifat lipofilik, sangat sedikit menembus sawar darah otak, dan lebih
mengikat reseptor H
1
di perifer secara lebih spesifik.

Walaupun golongan ini
sering dikatakan nonsedasi, obat-obat ini tetap dapat menyebabkan efek sedasi,
namun dalam banyak penelitian dikatakan insidensi sedasi jauh lebih sedikit
dibandingkan antihistamin H
1
klasik, demikian pula efek antikolinergiknya lebih
jarang terjadi dibanding antihistamin H
1
klasik. Salah satu penelitian yang
membandingkan efek sedasi dari 4 macam antihistamin nonsedatif yang berbeda,
yaitu loratadin, akrivastin, setirisin dan feksofenadin, didapatkan hasil loratadin
paling tidak menyebabkan sedasi, kemudian secara berurutan diikuti oleh
feksofenadin, akrivastin dan setirisin. Setirisin memiliki efek anti inflamasi seperti
hambatan aktivasi eosinofil, neutrofil, limfosit dan kemotaksis dengan jalan
menghambat:
- Adhesi leukosit ke endotel
11
- Efek kemotaksis sehingga terjadi migrasi melalui jaringan ke tempat
radang
- Aktivasi sel radang/ pelepasan mediator
- Ekspresi adhesi molekul oleh endotel/sel target

b) Farmakodinamik dan farmakokinetik:
Antihistamin tipe H
1
non sedatif diabsorbsi dari saluran cerna dan
mencapai puncak konsetrasi plasma dalam 2 jam. Obat tersebut dapat
menghilangkan urtikaria dan reaksi eritema sekitar 1-24 jam. Terfenadin,
astemisol, loratadin, aktivastin, mizolastin, ebastin dan oksatomid dimetabolisme
di hepar melalui sistem enzim sitokrom P450 3A4 dalam hepar. Setirisin,
feksofenadin, dan desloratadin tidak dimetabolisme dalam hepar.

Astemisol mempunyai efek jangka panjang dibandingkan dengan AH-1
yang lain. Astemisol mempunyai afinitas lebih besar terhadap reseptor H
1

sehingga khasiat anti urtikaria masih dapat berlangsung 4 minggu setelah obat
dihentikan. Waktu paruh eliminasi setirisin dan feksofenadin pada anak-anak
sama dengan dewasa yaitu 7-8 jam.


c) Kegunaan klinis
Antihistamin tipe H
1
non sedatif digunakan terutama untuk pengobatan
rinitis alergi dan urtikaria kronis.

d) Kontraindikasi
Kehamilan
Ibu menyusui
e) Efek samping
Antihistamin ini memiliki efek sedasi dan antikolinergik yang sedikit,
sehingga memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan
antihistamin tipe H-1 klasik.

Sistem saraf pusat
12
Dalam beberapa penelitian dikatakan tefenadin, astemizol dan loratadin
memiliki efek sedasi yang lebih rendah dibandingkan antihistamin H1 klasik.

Kardiovaskular
Efek samping kardiovaskular berupa fibrilasi ventrikel, pemanjangan interval
QT serta aritmia ventrikular torsades de pointes yang berhubungan dengan
pemakaian astemizol dan terfenadin.

Kelainan ini dapat terjadi terutama pada
wanita dan penderita dengan kelainan jantung organik yang sebelumnya telah
ada (seperti iskemia, kardiomiopati), aritmia, ataupun penderita dengan
gangguan elektrolit (seperti hipokalemia, hipokalsemia dan hipomagnesemia)

Hepar
Hepatotoksisitas jarang terjadi, namun dilaporkan adanya kasus hepatitis yang
berhubungan dengan penggunaan terfenadin selama 5 bulan. Peningkatan
serum transaminase dengan kadar ringan sampai sedang dapat terjadi.

Kulit
Fotosensitivitas, urtikaria, erupsi makulopapular, eritema serta pengelupasan
kulit tangan dan kaki. Selain itu juga dilaporkan adanya reaksi fotoalergi dan
alopesia yang diduga berhubungan dengan penggunaan terfenadin. Dilaporkan
juga suatu kasus psoriasis yang mengalami eksaserbasi selama menggunakan
terfenadin.

Efek samping lainnya
Dilaporkan adanya sakit kepala, mual, kekeringan pada mukosa mulut dan
beberapa efek antikolinergik lainnya, namun insidensinya sangat rendah.
Karena terbatasnya penelitian pada manusia, penggunaan antihistamin non
sedasi pada wanita hamil dan ibu menyusui sebaiknya dihindari.

f) Interaksi obat
Perpanjangan interval QT dapat terjadi pada penderita yang
mengkonsumsi terfenadin bersamaan dengan ketokonazol dan itrakonazol,
antibiotik makrolid, seperti eritromisin dan klaritromisin, troleandomisin,
lovastatin, protease inhibitor dan flavonoid, seperti naringin dalam grapefruit
juice.
13
Obat-obatan lain yang dapat berpengaruh pada peningkatan kadar
antihistamin serum dan yang memiliki risiko kardiovaskular adalah Human
Immunodeficiency Virus-1 (HIV-1) protease inhibitors, Selective Serotonin
Reuptake Inhibitors (SSRI) antidepresant, seperti quinin, zileuton.

V. Klorfeniramin
Klorfeniramin merupakan antihistamin sedatif dari golongan alkilamin
yang paling poten dan stabil. Setelah pemberian dosis tunggal per oral,
klorfeniramin diabsorbsi dengan baik dan cepat pada saluran pencernaan,
mencapai kadar puncak plasma dalam waktu 30-60 menit, melalui metabolisme
pertama di hati dan di mukosa saluran pencernaan selama proses absorbsi,
kemudian didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh termasuk susunan saraf
pusat. Sebanyak 50% dari dosis yang diberikan diekskresikan terutama melalui
urin dalam waktu 12 jam dalam bentuk asal dan metabolitnya.

Lama kerja dari klorfeniramin adalah 4-6 jam. Dosis yang diberikan 4-6
mg peroral dapat diberikan 3-4x/hari, dengan dosis maksimal 24 mg per hari baik
pada anak-anak dan dewasa.
Sediaan:
-
Klorfeniramin elixir, 2 mg/5ml: 120 ml, 480 ml

-
Klorfeniramin tablet 2 mg dan 4 mg

-
Klorfeniramin retarded tablet 8 mg dan 12 mg


VII. Difenhidramin
Difenhidramin adalah derivat etanolamin yang sering digunakan dalam
praktek sehari-hari, diabsorbsi dengan baik setelah pemberian per oral. Obat ini
mengalami metabolisme pertama di hati, dan hanya 40%-60% dari dosis
pemberian yang mencapai sirkulasi sistemik, didistribusikan secara luas ke
seluruh tubuh, termasuk sistem saraf pusat. Kadar puncak plasma dicapai dalam
14
waktu kurang lebih 1-5 jam dan bertahan selama 2 jam. Waktu paruh bervariasi
dari 2,4 sampai 10 jam.
Difenhidramin tidak dapat diberikan secara subkutan, intradermal atau
perivaskular karena sifatnya yang iritatif dan dapat menyebabkan nekrosis
setempat pada pemberian secara subkutan dan intradermal. Difenhidramin tidak
dapat menembus jaringan kulit yang intak pada pemberian secara topikal, bahkan
dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas.

Dosis pemberian adalah 25 mg-50 mg per oral, dosis maksimal 300
mg/hari, dengan lama kerja 4-6 jam. Pemberian 100 mg atau lebih dapat
menyebabkan hipertensi dan takikardia.
Sediaan :
- Difenhidramin kapsul 25 dan 50 mg
- Difenhidramin elixir (12,5 mg/5 ml): 120 cc, 480 cc
- Difenhiramin injeksi (50 mg/ml) : 1 ml ampul
- Difenhidramin spray : 60 ml
4


VIII. Hidroksizin
Hidroksizin merupakan derivat dari piperazin, sering digunakan sebagai
transquilizer, sedatif, antipruritus dan antiemetik. Kadar plasma biasanya dicapai
dalam 2-3 jam setelah pemberian per oral, dengan waktu paruh 6 jam kemudian
diekskresikan ke dalam urin.

Hidroksizin merupakan obat pilihan untuk
pengobatan dermatografisme dan urtikaria kolinergik, dapat digunakan sendirian
ataupun kombinasi dengan antihistamin lainnya untuk manajemen pengobatan
urtikaria kronis, urtikaria akut, dermatitis kontak, dermatitis atopik dan pruritus
15
yang diinduksi oleh histamin. Lama kerja dari obat ini adalah 6-24 jam dengan
dosis pemberian 10 mg sampai 50 mg peroral, setiap 4 jam
Sediaan:
- Hidroksizin tablet 10 mg, 25 mg, 50 mg dan 100 mg
- Hiroksizin injeksi 25 mg/ml, 50 mg/ml
- Hidroksizin sirup 10 mg/5ml: 240 ml, 480 ml

IX. Loratadin
Loratadin adalah trisiklik piperidin long acting yang mempunyai aktivitas
yang selektif dengan efek sedatif dan antikolinergik yang minimal pada dosis
yang direkomendasikan, merupakan antihistamin yang mempunyai masa kerja
yang lama. Metabolik utamanya, deskarboetoksi-loratadin, adalah biologikal
aktifnya.
Loratadin cepat diabsorbsi setelah pemberian dosis 10 mg, sekali sehari
dan mencapai konsentrasi plasma maksimum dalam 1-1,5 jam. Eliminasi waktu
paruhnya sekitar 8-11 jam, diekskresikan melalui urine 40%, feses 42% dan air
susu 0,029%. Loratadin diindikasikan untuk rinitis alergi dan urtikaria kronik
idiopatik pada pasien diatas 6 tahun. Loratadin mempunyai efek terhadap fungsi
dari miokardial potasium channel tetapi tidak menyebabkan disritmia jantung.
Loratadin merupakan long acting antihistamin dengan lama kerja 24 jam.
Dosis yang direkomendasikan 10 mg dosis oral, pada anak-anak (< 30 kg) adalah
5 mg/kg BB dosis tunggal. Meskipun loratadin tidak mempunyai kontraindikasi
pada penderita hati dan ginjal kronis, disarankan untuk mengurangi dosis yang
diberikan.
16
Sediaan:
- Loratadin sirup (1 mg/ml): 480 ml
- Loratadin tablet 10 mg
- Loratadin reditabs 10 mg

X. Cetirizin
Merupakan metabolit karboksil asid dari hidroksin. Obat ini pada manusia
hanya mempunyai transformasi metabolik yang minimal menjadi bentuk metabolit
aktif dan obat ini terutama diekskresi lewat urin. Karena cetirizin cepat diabsorbsi
dan sedikit yang dimetabolisme, dan juga diekskresi lewat urin, maka dosis obat
ini harus dikurangi pada pasien dengan gangguan ginjal.
Kadar puncak plasma dicapai dalam 1 jam dan waktu paruh plasma sekitar
7 jam, diekskresikan dalam urine sebanyak 60% dan feses 10%. Cetirizin dapat
menghambat eosinofil, netrofil dan basofil dan menghambat IgE serta
menurunkan prostaglandin D2. Cetirizin diindikasikan untuk terapi urtikaria
kronik di Amerika Serikat. Beberapa studi kemudian mendukung khasiat cetirizin
untuk kondisi ini dan juga ditemukan khasiatnya untuk terapi cold urtikaria.
Dosis yang direkomendasikan untuk dewasa 10 mg/hari (maksimal 20 mg)
dosis tunggal, pada anak-anak adalah 0,3 mg/kgBB sedangkan pada pasien dengan
gangguan ginjal kronik dan hepar dosis yang diberikan adalah 5 mg/hari. Lama
kerja dari cetirizin adalah 12-24 jam.

Sediaan:
- Cetirizin tablet 5 mg, 10 mg
- Cetirizin sirup 5mg/ml: 120 ml
17

XII. Feksofenadin
Feksofenadin, metabolit aktif utama dari terfenadin, merupakan reseptor
kompetitif antagonis H-1 yang selektif dengan sedikit atau tanpa efek samping
antikolinergik dan non sedatif, serta bersifat non kardiotoksik.
Feksofenadin diabsorbsi cepat setelah pemberian dosis tunggal atau dua
kapsul 60 mg dengan waktu rata-rata mencapai konsentrasi plasma maksimum 1-3
jam setelah pemberian per oral. Feksofenadin terikat pada protein plasma sekitar
60-70%, terutama pada albumin dan 1-acid gylcoprotein. Waktu paruh
feksofenadin adalah 11-15 jam,

diekskresikan sebanyak 80% pada urine dan 12%
pada feses.
Feksofenadin diindikasikan pada penderita rinitis alergi dan urtikaria
idiopatik kronis.

Pemberian feksofenadin bersama antibiotik golongan makrolid
dan obat anti jamur golongan imidazol tidak menunjukkan adanya interaksi obat
sehingga tidak terdapat pemanjangan interval QT.

Sediaan :
- Feksofenadin kapsul 30 dan 60 mg
- Feksofenadin tablet 60 mg











18
RINGKASAN
Antihistamin adalah zat yang digunakan untuk mencegah atau
menghambat kerja histamin pada reseptornya. Anti histamin tipe H
1
banyak
digunakan dalam bidang dermatologi, terbagi atas AH-1 sedatif dan AH-1 non
sedatif.
Antihistamin sedatif bersifat lipofilik, sehingga dapat terdistribusi secara
luas terutama pada sistem saraf pusat dan dapat menyebabkan depresi SSP.
Antihistamin non sedatif kurang bersifat lipofilik dan sangat sedikit menembus
sawar darah otak, sehingga efek samping yang terjadi lebih sedikit bila
dibandingkan dengan AH-1 yang sedatif.
Terfenadin dan astemisol dapat menyebabkan perpanjangan interval QT,
aritmia dan takikardi ventrikular (torsades de pointes), penggunaannya dapat
digantikan oleh feksofenadin yang bersifat non kardiotoksik. Setirisin
berpengaruh pada perpindahan sel dalam kulit dan jaringan lainnya, pelepasan
atau pembuatan dan pelepasan mediator inflamasi serta ekspresi molekul adhesi.
Antihistamin yang sering digunakan diantaranya adalah klorfeniramin,
difenhidramin, hidroksizin, loratadin, setirisin, dan feksofenadin.












19
DAFTAR PUSTAKA

1. Fitzpatricks dermatology in general medicine. Edisi ke-6. New York:
McGraw-Hill Incorporation; 2003.h.2420-6
2. Comprehensive dermatologic drug therapy. Edisi ke-1. New York: W.B.
Saunders Company; 2001.h.360-74
3. Systemic drugs for skin diseases. Edisi ke-1. Philadelphia: WB Saunders
Company; 1991.h.285-321
4. Manual of dermatologic therapeutics with essentials of diagnosis. Edisi
ke-6. Philadelphia: WB Saunders Company; 2002.h.294-303
5. Goodman & Gillmans the pharmacological basis of therapeutics. Edisi
ke-6. New York: Mc Graw-Hill Publisher; 2001.h.645-67

Anda mungkin juga menyukai