Anda di halaman 1dari 3

Kapitalisme dan Negara Kesejahteraan

Menyambung dari artikel tentang Hidup Sederhana Gaya Kuba yang dikirim oleh om fauqa di
rubrik features. Saya coba tambahkan sebuah artikel lagi tentang sistem ekonomi di Eropa yang
merupakan salah satu bukti sukses perlawanan terhadap sistem kapitalis.

Kapitalisme dan Negara Kesejahteraan

Oleh Edie Suharto


Kandidat Doktor, Massey University, New Zealand
Sumber : Republika.co.id

Selama ini, seluruh perangkat analisis dinamika pembangunan berporos pada ideologi
kapitalisme. Kapitalisme yang mengedepankan demokrasi liberal, hak asasi manusia dan
ekonomi pasar bebas ini telah merasuki hampir seluruh pendekatan pembangunan. Kapitalisme
bahkan diklaim telah menjadi pandangan hidup universal seluruh bangsa manusia. Pendekatan
lain seringkali dianggap telah menemui jalan buntu dan akhir sejarahnya (the end of history).

Lebih dari dua abad setelah buku The Wealth of Nation karya mahaguru kapitalisme Adam Smith
terbit, sistem ekonomi kapitalistis berhasil mengalahkan semua pesaingnya dari ideologi lain.
Kemenangan kapitalisme memang sangat mengesankan. Pada akhir PD II, hanya dua kawasan
bumi yang tidak komunis, otoriter, merkantilistis atau sosialis, yakni Amerika Utara dan Swiss.
Kini selain kita menyaksikan negara-negara komunis rontok satu demi satu, hampir tak ada
satupun negara yang saat ini bebas dari Coca-cola, McDonald, KFC dan Levis, lambang
supremasi corporate kapitalisme yang menguasai sistem ekonomi abad 21.

Menggugat kapitalisme
Setelah kapitalisme memonopoli hampir seluruh sistem ekonomi, kini semakin banyak pengamat
yang menggugat apakah sistem yang didasari persaingan pasar bebas ini mampu menjawab
berbagai permasalahan nasional maupun global. Masalah seperti perusakan lingkungan,
meningkatnya kemiskinan, melebarnya kesenjangan sosial, meroketnya pengangguran, dan
merebaknya pelanggaran HAM serta berbagai masalah degradasi moral lainnya ditengarai
sebagai dampak langsung maupun tidak langsung dari beroperasinya sistem ekonomi kapitalistis.

Sinyalemen tersebut bukan tanpa bukti. Berdasarkan studinya di negara-negara berkembang,


Haque dalam Restructuring Development Theories and Policies (1999) menunjukkan bahwa
kapitalisme bukan saja telah gagal mengatasi krisis pembangunan, melainkan justeru lebih
memperburuk kondisi sosial-ekonomi di Dunia Ketiga. Menurutnya, compared to the
socioeconomic situation under the statist governmentts during the 1960s and 1970s, under the
pro-market regimes of the 1980s and 1990s, the condition of poverty has worsened in many
African and Latin American countries in terms of an increase in the number of people in
poverty, and a decline in economic-growth rate, per capita income, and living standards (Haque,
1999:xi).
Menurut Rudolf Hickel, setelah kapitalisme mengalahkan semua lawannya, ia akan cenderung
menjadi lupa diri karena tiadanya "tangan pengatur keadilan". Pemikir sosialis Jerman Robert
Heilbroner kemudian mengajukan strategi bahwa perlawanan terhadap kapitalisme di masa
depan seharusnya tidak diarahkan untuk membongkar total sistem ini, melainkan lebih diarahkan
agar sistem yang "unggul" ini lebih berwajah manusiawi (compassionate capitalism).

Contoh paling mirip dengan gagasan Heilbroner ini adalah diterapkannya sistem negara
kesejahteraan (welfare state) khususnya di negara-negara Barat yang dikenal selama ini
pendukung loyal kapitalisme. Di Eropa dan AS negara kesejahteraan diwujudkan dalam bentuk
perlindungan negara terhadap masyarakat, terutama kelompok lemah seperti orang miskin, cacat,
penganggur agar terhindar dari gilasan mesin kapitalisme.

Negara kesejahteraan
Negara kesejahteraan sejatinya adalah strategi pembangunan kesejahteraan sosial yang memberi
peran lebih besar kepada negara dalam penyelenggaraan sistem jaminan sosial (social security)
secara terencana, melembaga dan berkesinambungan. Bentuk perlindungan negara mencakup
jaminan sosial dasar yang melindungi warga negara dari risiko kehilangan pendapatan karena
sakit, kematian, menganggur, kecelakaan kerja atau kehamilan.

Pada awalnya, negara kesejahteraan merupakan konsep sosialisme-radikal karena mutlaknya


peran negara dalam penyelenggaraan sistem jaminan sosial. Kemudian seiring dengan
persentuhannya dengan konsep kapitalisme, negara kesejahteraan lebih bersikap demokratis-
liberal. Artinya, negara memang masih berperan besar dalam penyelenggaraan jaminan sosial,
namun terjadi perpaduan antara peran negara dan swasta (dunia usaha dan LSM) baik dalam
pembiayaan maupun pelaksanaan berbagai skim jaminan sosial dan pelayanan sosial.

Persinggungan kapitalisme dan sosialime inilah yang kemudian melahirkan berbagai model
negara kesejahteraan: Model Universal (Swedia, Norwegia, Denmark, Finlandia), Model
Institusional (Jerman, Austria), Model Residual (AS, Inggris, Australia, Selandia Baru), dan
Model Minimal (Yunani, Portugis, Chile, Brazil, Korea Selatan, Sri Lanka, Philipina).

Sumber utama pembiayaan jaminan sosial adalah pajak yang dipungut dari rakyat. Karenanya,
prinsip utama yang mendorong mengapa negara perlu memberikan jaminan sosial adalah karena
semua bentuk perlindungan sosial tersebut termasuk dalam kategori hak-hak dasar warga negara
yang wajib dipenuhi oleh negara.

Dalam praktiknya, jaminan sosial tidak diberikan begitu saja seperti layaknya sinterklas
membagikan hadiah natal bagi anak-anak, melainkan didukung oleh perangkat kebijakan sosial
(social policy) yang mengikat dan strategi pemberdayaan masyarakat dalam arti luas. Seperti
yang kini tengah populer di Inggris, Australia dan Selandia Baru, pemberian jaminan sosial,
khususnya kepada kalangan miskin dan penganggur, dibarengi dengan welfare-to-work
programmes, yakni program-program kesejahteraan sosial untuk meningkatkan kemampuan
memasuki dunia kerja dan/atau menghasilkan barang dan jasa yang berguna bagi masyarakat.

Kasus Indonesia
Perlunya keterlibatan negara dalam menangani masalah kesejahteraan sosial di Indonesia telah
tersirat dan tersurat dengan jelas dalam Pancasila, UUD 1945 dan UU No. 6/1974 tentang
Pokok-pokok Usaha Kesejahteraan Sosial. Namun demikian, harus diakui perhatian pemerintah
dalam hal pembangunan kesejahteraan sosial ini boleh dibilang masih rendah, parsial dan
residual. Baik pada masa Orde Baru maupun era reformasi saat ini, pembangunan kesejahteraan
sosial baru sebatas jargon dan belum terintegrasi dengan strategi pembangunan nasional.

Penanganan masalah sosial masih belum menyentuh persoalan mendasar. Program-program


jaminan sosial dan pelayanan sosial masih bersifat parsial dan karitatif serta belum didukung
oleh kebijakan sosial yang mengikat. Orang miskin, cacat, dan menganggur masih dipandang
sebagai sampah pembangunan yang harus dibersihkan. Kalaupun mereka dibantu, itu baru
sebatas bantuan uang atau barang berdasarkan prinsip belas kasihan, tanpa konsep dan strategi
yang jelas.

Bahkan dengan menguatnya ide liberalisme dan kapitalisme, kini terdapat kecenderungan,
pemerintah semakin enggan terlibat mengurusi permasalahan sosial. Pemerintah lebih tertarik
pada bagaimana memacu pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya, termasuk menarik pajak dari
rakyat sebesar-besarnya. Sedangkan tanggung jawab menangani masalah sosial dan memberikan
jaminan sosial inginnya diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat.

Dalam literatur pembangunan sosial maupun praktek pemerintahan di seluruh dunia, negara
senantiasa secara jelas menunjukkan keberpihakannya kepada kelompok lemah, salah satunya
dengan memiliki departemen khusus yang menangani permasalahan sosial. Jadi tidak terbalik:
untuk kelompok masyarakat yang kuat, pemerintah memiliki berbagai departemen dan badan,
sementara untuk kelompok lemah, pemerintah "angkat kaki" sambil dengan enteng
mengharuskan mereka menyelesaikan masalah sendiri.
Sikap seperti ini dapat menjadi ciri sebuah rejim yang tunduk pada adagium plesetan "maju tak
gentar membela yang besar!" ()

Anda mungkin juga menyukai