Anda di halaman 1dari 52

1

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh
Dengan Menyebut Nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang. Alhamdulillah panulis mengucapkan syukur yang tidak
terhingga pada Pemilik Kehidupan Allah swt. karena atas izinNya
penulis akhirnya dapat menyelesaikan makalah presentasi kasus
dengan judul Chronic Kidney Failure (CKD) dengan Anemia
dengan baik. Tidak lupa segala pujian penulis curahkan pada Baginda
Nabi Muhammad saw., keluarga, sahabat, dan semoga kepada kita
semua selaku umatnya hingga akhir zaman. Amin.
Penulisan makalah presentasi kasus ini tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak. Karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada :
1. dr. Gerie Amarendra, Sp.PD selaku pembimbing penulis yang telah
membantu penulis dalam mengerjakan makalah presentasi kasus,
2. dr. Waluyo Dwi Cahyono, Sp.PD, FINASIM, dr. Julius, Sp.PD, dr
Elza Febria, Sp.PD selaku pembimbing kepanitraan UIN yang telah
banyak memberikan ilmu maupun pengalaman yang membuat
panulis dan yang lainnya menjadi semangat dalam menjalani
kepanitraan klinik penyakit dalam di RSUD Bekasi,
3. Orangtua penulis yang selalu memberikan dukungan dan doa
tanpa henti
4. Teman-teman sejawat yang bersama-sama menjalani stase
penyakit dalam RSUD Bekasi, Aldho Bramantyo, Disca Ariella
Rucita, Faizal fahmi, Ning Widya, dan Singgih Kusuma yang telah
membuat hari-hari stase terasa menyenangkan.
2

5. Dan berbagai pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu
Maha Sempurna Allah, sesungguhnya tidak ada yang lebih sempurna
selainNya, dan sesungguhnya manusia itu penuh dengan kesalahan.
Begitu pula dengan penulisan referat ini. Penulis masih mrasa banyak
terdapat kekurangan dalam penulisan makalah presentasi kasusu ini.
karena itu segala kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah ini akan penulis terima dengan hati terbuka
Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi pembeca umumnya dan bagi penulis khususnya. Karena sebaik-
baik manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain.
Wasslamualaikum warahmatulllah wabarakatuh


01 Agustus 2013

Penulis







3

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI... 3
LEMBAR PENGESAHAN... 4
BAB I ILUSTRASI KASUS. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 24
GAGAL GINJAL KRONIK 24
ANEMIA PADA PENYAKIT KRONIS.. 41
BAB IV ANALISIS KASUS. 47
DAFTAR PUSTAKA 50













4


LEMBAR PENGESAHAN

Makalah presentasi kasus dengan judul
Chronic Kidney Failure (CKD) dengan Anemia
telah diterima dan disetujui
pada tanggal 1 Agustus 2013 sebagai salah satu syarat menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
periode 24 Juni 08 September 2013 di RSUD Kota Bekasi


Bekasi, 1 Agustus 2013








dr. Gerie Amarendra, Sp.PD


5


BAB I
ILUSTRASI KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
No Rekam medik : 03.07.46.08
Nama Pasien : Ny. Atikah
Usia : 48 tahun
Alamat : Kp. Rawa Pasung
Pendidikan terakhir : SD
Status : Menikah
Agama : Islam
Masuk Bougenville : 04 Juli 2013

II. ANAMNESIS
Dilakukan anamnesis pada tanggal 04 Juli 2013 secara
autoanamnesis dan aloanamnesis.

Keluhan Utama
Sesak yang semakin memberat sejak 3 hari SMRS

Keluhan Tambahan
Bengkak kedua tungkai, mual, mudah lelah,sakit kepala, BAK
sedikit

Riwayat penyakit Sekarang
Pasien mengeluh sesak yang semakin memberat sejak 3 hari
SMRS. Sesak dirasakan hilang timbul, terutama saat
melakukan aktivitas,, memberat saat pasien tidur, sehingga
6

pasien tidur menggunakan 3 bantal. Sesak mambaik saat
pasien dalam posisi duduk. Selain itu pasien juga mengeluh
sakit kepala yang dirasa berdenyut di seluruh kepala dan leher
terasa tegang. Pasien juga mengeluhkan kedua kakinya
bengkak sejak 1 hari SMRS. BAK sedikit, warna kuning jernih.
BAB normal. Terdapat mual namun pasien mengaku tidak
pernah sampai muntah, nafsu makan menurun, serta mudah
lelah. Pasien menyangkal adanya keluhan nyeri dada, batu,
pilek, riwayat minum jamu-jamuan disangkal.

Pasien memiliki riwayat darah tinggi sejak 2 tahun lalu,
terkontrol dengan captopril. Pasien juga memiliki riwayat sakit
jantung 2 tahun lalu, dikatakan jantungnya membengkak.
Riwayat sakit ginal ada, sejak 1 tahun lalu.

Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien menyangkal adanya riwayat sakit paru yang
membuatnya harus minum obat selama 6 bulan. Pasien juga
menyangkal adanya alergi terhadap obat-obatan dan asma.
Riwayat DM tidak diketahui.

III. PEMERIKSAAN FISIK
Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan fisik pada tanggal 4 Juli
2013.
Status Generalis :
Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos mentis
7

Tanda vital
-TD : 160/90 mmHg
-Nadi : 110x/menit, regular, isi cukup, kuat angkat
-Suhu : 36,6 C
-Nafas : 28 x/menit
Kepala: normocephal, alopesia (-), rambut tidak mudah
dicabut.
Mata : konjungtiva pucat (+), sklera ikterik (-).
Gigi dan mulut: oral thrush (-), gusi berdarah (-).
Tenggorok: arkus faring hiperemis (-/-), tonsil tenang T1-T1.
Hidung: sekret (-/-), perdarahan (-), tanda radang (-)
Telinga: normotia, sekret (-/-), perdarahan (-), tanda radang (-)
Leher : JVP tidak meningkat, KGB tidak teraba membesar, kel.
Tiroid tidak teraba membesar.
Paru:
-Inspeksi: pergerakan dada simetris saat statis maupun
dinamis.
-Palpasi: vocal fremitus sama kanan dan kiri
-Perkusi: sonor pada kedua lapang paru
-Auskultasi: Suara napas vesikuler +/+ Rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung:
8

-Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat.
-Palpasi : ictus cordis teraba di ICS VI MCL sinistra
-Perkusi : Batas atas jantung ICS III garis PSL sinistra
Batas jantung kiri ICS VI MCL sinistra
Batas kanan jantung ICS IV PSL sinistra
- Auskultas: BJ 1, 2 normal reguler, murmur (-), S3 gallop (-)
Abdomen
-Inspeksi : datar
-Palpasi : Supel, lemas, nyeri tekan (+) pada epigastrium,
hepar lien tidak teraba membesar
-Perkusi : shifting dullness (-)
-Auskultasi : Bising Usus (+) normal

Ekstremitas:
Akral hangat, udem tungkai +/+








9




IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium tanggal 04 Juli 2013
Pemeriksan Darah Rutin
Hemoglobin 6,8
Hematokrit 21
Leukosit 21.000
Trombosit 205.000
Pemeriksaan Diabetes
Gula Darah Sewaktu 253
Pemeriksaan Elektrolit
Natrium 140
Kalium 5,0
Chlorida 106
Pemeriksaan fungsi ginjal
ureum 101
kreatinin 3,1
Pemeriksaan fungsi hati
SGOT 54
SGPT 61





10



V. RESUME
Pasien, perempuan, 48 tahun datang dengan keluhan sesak yang
semakin memberat sejak 3 hari SMRS. Sesak dirasakan terutama
saat pasien aktivitas , memberat saat pasien tidur, sehingga pasien
tidur menggunakan dua bantal. Sesak membaik saat pasien duduk.
Selain itu pasien juga mengeluh sakit kepala yang dirasa berdenyut
di seluruh kepala dan leher terasa tegang. Mual(+), bengkak pada
kedua kaki (+) sejak 1 hari. BAK sedikit, warna kuning jernih, nafsu
makan turun, mudah lelah. Riwayat darah tinggi sejak 2 tahun lalu
terkontrol dengan captopril. Riwayat sakit jantung 2 tahun lalu,
dikatakan pembengkakan jantung. Riwayat sakit ginjal (+) sejak 1
tahun lalu.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tampak sakit sedang dengan
TD 160/90 mmHg, nafas 28x/menit, konjungtiva pucat, batas
jantung melebar. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan Hb 6,8
g/dL, leukosit 21.000/uL, ureum 101 mg/dL, kreatinin 3,1 mg.dL,
GDS 253 mg/dl.

VI. DAFTAR MASALAH
1. Dispnea ec CKD dd/CHF
2. Anemia ec CKD
3. CKD ec hipertensi
4. Hipertensi grade II
5. Hiperglikemi
6. Dispepsia

11



VII. PENGKAJIAN MASALAH
1. Dispnea ec CHF dd/CKD
Atas dasar : pasien mengeluh sesak yang semakin memberat
sejak 3 hari SMRS, sesak memberat saat posisi tidur dan
membaik saat duduk. Memiliki riwayat darah tinggi dan sakit
jantung sejak 2 tahun yang lalu. Riwayat sakit ginjal (+) sejak 1
tahun lalu. Pada PF didapatkan batas jantung melebar.

Diagnosis : Dispnea ec CHF dd/CKD

Rencana tata laksana
- Rontgen thorax
- O2 nasal kanul 3 lt/menit
- EKG

2. Anemia ec CKD
Atas dasar : pasien mengaku lemas (+), riwayat sakit ginjal (+)
konjungtiva pucat, Hb 6,8 g/dL

Diagnosis : Anemia ec CKD

Rencana Tata Laksana
- Rencana transfusi PRC dengan target Hb >10
- Cek Hb post transfusi

3. CKD ec hipertensi
12

Atas Dasar riwayat hipertensi + sejak 2 tahun lalu, JVP
meningkat,asites, pitting edem pada kedua tungkai.
TD : 160/90 mmHg
Ureum : 101 mg/dL
Kreatinin : 3,1 mg/dL
LFG (ml/menit/1,73m) = (140-umur) x berat badan / 72x
kreatinin plasma (mg/dl)*)
*) pada perempuan dikalikan 0,85

LFG = (140 48) x 60 / 72 x 3,1 = 5520 / 223,2 = 24,73 x 0,85 =
21,02
Kesan : CKD stage IV

Diagnosis : CKD stage IV ec Hipertensi grade II

Rencana Tata Laksana
Diagnosis :
- EKG
- Cek albumin
- Balance cairan : -
Terapi :
- Lasik 1 x 1 ampul
- Bicnat 3 x 1
- CaCO3 3 x 1

4. Hipertensi grade II
13

Atas dasar : sakit kepala yang terasa berdenyut dan leher
terasa tegang (+), riwayat hipertensi 2 tahun lalu, TD : 160/90
mmHg

Diagnosis : Hipertensi grade II

Rencana Tata Laksana
Captopril 2 x 25 mg PO

5. Dispepsia
Atas dasar keluhan mual dan nyeri tekan epigastrium

Diagnosis : dyspepsia

Rencana tata laksana :
- Ranitidin 2 x 1 ampul

6. Hiperglikemi
Atas dasar GDS : 253

Diagnosis : Hiperglikemi ec DM tipe II

Rencana Tata Laksana :
Diet DM
Cek GDP, GD2PP





14





VIII. FOLLOW UP
a. Tanggal 05 Juli 2013
1. Dispnea ec CHF
S/sesak berkurang, riwayat pembengkakan jantung 2 tahun
lalu, udem tungkai (-), batuk (+)
O/ Pemeriksaan jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS 5 1 jari lateral
MCL Sinistra
Perkusi : Batas jantung melebar
Auskultasi : S1 S2 reg, m(-), g(-)

EKG 05/07/2013
Sinus rhythm, normoaxis, P wave normal, QRS 0,08 s,
LVH (+)








15



Gambar 1. EKG Ny. Atikah

A/ CHF Fc II - III
P/ Rontgen Thorax
Lasix 1 x 1 ampul
2. Anemia ec CKD
S/ Lemas (+), Pusing (+)
O/ mata : konjungtiva pucat (+)
Lab (05/07/13)
Hb/Ht/Leu/Trom : 6,5/20,3/5800/206.000
A/ Anemia ec CKD
P/ rencana transfusi PRC 500 cc
Cek Hb post transfusi

3. CKD ec hipertensi
S/ BAK sedikit, riwayat sakit ginjal 1 tahun lalu, sesak
berkurang
O/ Nyeri ketok CVA -/-, terpasang kateter, urin kuning jernih
produksi
500 cc
Ur/cr (05/07/13) : 120/7,75 LFG = 5520 / 558 = 9,89 x
0,85 = 8,4
A/ CKD stage V ec hipertensi
P/ motivasi HD
Bicnat 3 x 1
CaCO3 3x1
16


4. Hipertensi Grade II Tekanan Darah Terkontrol
S/ Riwayat hipertensi sejak 1 tahun lalu, dalam pengobatan
captopril.
O/ TD : 140/90 mmHg
A/ Hipertensi grade II tekanan darah terkontrol
P/ captopril 25 mg PO
5. DM tipe II
S/ Lemas
O/ GDS (05/06/13) : 107
A/ DM tipe II Gula Darah terkontrol
P/ Novorapid 3 x 5 unit

b. Tanggal 6 Juli 2013

1. Dispnea ec CHF
S/ sesak (+), riwayat sakit jantung 2 tahun lalu
O/ Pemeriksaan cor
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS VI MCL Sinistra
Perkusi : Batas jantung melebar
Auskultasi : S1 S2 reg, m(-), g(-)

EKG 05/07/2013
Sinus rhythm, normoaxis, P wave normal, QRS 0,08 s,
LVH (+)
A/ CHF Fc II - III
P/ furosemid 1 x 1 amp

2. Anemia ec CKD
17

S/ Lemas (+)
O/ CM, TSR
TD : 170/100 mmHg; HR : 92x/menit ; RR : 28x/menit;
Mata : konjungtiva pucat (+)
Lab (06/07/13)
Hb : 7,1 g/dl
A/ Anemmia ec CKD
P/ transfusi 500 cc PRC
Cek Hb post transfusi

3. CKD stage V ec hipertensi
S/ Riwayat sakit ginjal 1 tahun lalu, sesak (+)
O/ terpasang kateter, produksi (+), watna kuning jernih,
LFG : 8,4
A/ CKD stage V ec hipertensi
P/ IVFD RL/24 jam
Motivasi HD
Bicnat 3 x 1
CaCO3 3 x 1

4. Hipertensi grade II
S/ sakit kepala (-), rowayat hipertensi 1 tahun lalu
O/ TD : 170/100 mmHg (belum minum obat)
TD : 130/90 mmHg (setelah minum obat)
A/ Hipertensi grade II Tekanan Darah terkontrol
P/ captopril 2 x 25 mg PO

5. DM tipe II
S/ Lemas
O/ GDS (04/07/13) : 253 mg/dl
18

A/ DM tipe II
P/ Novorapid 3 x 5 unit

c. Tanggal 08 Juli 2013
1. Dispnea ec CHF Fc II III
S/ sesak (+), riwayat sakit jantung 2 tahun lalu, batuk (+)
dahak warna kuning
O/ TD : 160/100 mmHg
Pemeriksaan cor
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS VI MCL Sinistra
Perkusi : Batas jantung melebar
Auskultasi : S1 S2 reg, m(-), g(-)
EKG 05/07/2013
Sinus rhythm, normoaxis, P wave normal, QRS 0,08 s,
LVH (+)
A/ CHF fc II - III
P/ furosemid 1 x 1

2. Anemia ec CKD
S/ Lemas (+), pusing (+)
O/ Konjungtiva pucat (+)
Lab (06/07/13) :
Hb : 7,1
Gambaran darah tepi (07/07/13)
Kesan : anemia mikrositik hipokrom ec penyakit kronis
(CKD)
A/ Anemia ec CKD
P/ Transfusi PRC 500 cc
19

Cek Hb post transfusi

3. CKD stage V ec Hipertensi
S/ Riwayat sakit ginjal 1 tahun lalu, sesak berkurang
O/ terpasang kateter, produksi (+) warna urin kuning jernih,
LFG : 8,4
A/ CKD stage V ec hipertensi
P/ IVFD RL/24 jam
Motivasi HD
Bicnat 3 x 1
CaCO3 3 x 1

4. Hipertensi grade II
S/ sakit kepala (-), rowayat hipertensi 1 tahun lalu
O/ TD : 170/100 mmHg (belum minum obat)
TD : 130/90 mmHg (setelah minum obat)
A/ Hipertensi grade II Tekanan Darah terkontrol
P/ captopril 2 x 25 mg PO
5. DM Tipe 2
S/ Lemas
O/ GDS (04/07/13) : 253 mg/dl
A/ DM tipe II GD belum terkontrol
P/ Novorapid 3 x 5 unit
Cek GD ulang

d. Tanggal 09 Juli 2013

1. Dispnea ec CHF Fc II III
S/ sesak (+), riwayat sakit jantung 2 tahun lalu, batuk (+)
dahak warna kuning
20

O/ TD : 140/90 mmHg
Pemeriksaan cor
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS 5 1 jari lateral
MCL Sinistra
Perkusi : Batas jantung melebar
Auskultasi : S1 S2 reg, m(-), g(-)
A/ CHF Fc II III dengan HT grade II TD terkontrol
P/ furosemid 1 x 1
Captopril 2x25 mg
DMP 3 x !c

2. Anemia ec CKD
S/ Lemas (+)
O/ Konjungtiva pucat (-)
Lab (06/07/13) :
Hb post transfusi : 10,6
A/ Anemia ec CKD
P/ hemobion 1 x 1


3. CKD stage V on HD ec hipertensi
S/ Lemas (+), riwayat sakit ginjal 1 tahun lalu, sesak
berkurang
O/ RR : 24x/menit, mata konjungtiva pucat (-)
Terpasangn kateter, urin jernih
Ur/cr : 98/5,21 LFG : 5520 / 375,12 = 14,71 x 0,85 =
12,50
A/ CKD on HD dengan anemia
P/ RL/24 jam
21

Bicnat 3 x 1
CaCO3 3 x 1

4. DM tipe II
S/ Lemas
O/ GDS (04/07/13) : 253 mg/dl
A/ DM tipe II
P/ Novorapid 3 x 5 unit

e. Tanggal 10 Juli 2013

1. CHF Fc II III dengan hipertensi grade II Tekanan Darah
belum terkontrol
S/ Riwayat pembengkakan jantung 1 tahun lalu, rowayat
hipertensi 1 tahun lalu.
O/ TD : 150/100 mmHg
Pemeriksaan cor
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS VI MCL Sinistra
Perkusi : Batas jantung melebar
Auskultasi : S1 S2 reg, m(-), g(-)
A/ CHF Fc II III dengan hipertensi grade II Tekanan Darah
belum terkontrol
P/ Furosemid 1 x 1
Captopril 2 x 25 mg

2. CKD on HD dengan riwayat anemia
S/ Riwayat sakit ginjal 1 tahun lalu, sesak berkurang
O/ RR : 22x.menit
Mata : konjungtiva pucat (-)
22

Terpasang kateter, urin jernih produksi 500cc
Lab (09/07/13)
Hb/Ht/leu/trom : 10,6/22,3/6600/231000
Ur/cr : 98/5,21 LFG : 5520 / 375,12 = 14,71 x 0,85 =
12,50
Na/K/Cl : 144/4,5/90
A/ CKD on HD dengan riwayat anemia
P/ HD
Bicnat 3 x 1
CaCO3 3 x 1
Asam Folat 1 x 1

3. DM tipe II
S/ -
O/ GDS (09/07/13) : 105 mg/dl
A/ DM tipe II Gula darah terkontrol
P/ Novorapid 3 x 5 unit

f. Tanggal 11 Juli 2013

1. CHF Fc II III dengan hipertensi grade II Tekanan Darah
terkontrol
S/ batuk (+) berkurang, riwayat pembengkakan jantung 1
tahun lalu, rowayat hipertensi 1 tahun lalu.
O/ TD : 140/90 mmHg
Pemeriksaan cor
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS VI MCL Sinistra
Perkusi : Batas jantung melebar
Auskultasi : S1 S2 reg, m(-), g(-)
23

A/ CHF Fc II III dengan hipertensi grade II Tekanan Darah
terkontrol
P/ Furosemid 1 x 1
Captopril 2 x 25 mg

2. CKD on HD dengan riwayat anemia
S/ Riwayat sakit ginjal 1 tahun lalu, sesak berkurang
O/ RR : 22x.menit
Mata : konjungtiva pucat (-)
Terpasang kateter, urin jernih produksi 500cc
Lab (09/07/13)
Hb/Ht/leu/trom : 10,6/22,3/6600/231000
Ur/cr : 98/5,21 LFG : 12,50
Na/K/Cl : 144/4,5/90
A/ CKD on HD dengan riwayat anemia
P/ HD
Bicnat 3 x 1
CaCO3 3 x 1
Asam Folat 1 x 1

3. DM tipe II
S/ -
O/ GDS (09/07/13) : 105 mg/dl
A/ DM tipe II Gula darah terkontrol
P/ Novorapid 3 x 5 unit

IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungtionam : dubia ad malam
24

Quo ad sanationam : dubia ad malam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

GAGAL GINJAL KRONIK
a. DEFINISI
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari
3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal
seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal.
diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus
kurang dari 60 ml/menit/1,73m, seperti pada tabel 1 berikut:
1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan
stuktural atau
fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju fitrasi qglomerolus
(LFG), dengan manifestasi:
a. Kelainan patologis
b. Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi
darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan
2. LFG kurang dari 60 ml/menit/1,73m, selama 3 bulan, dengan atau
tanpa kerusakan ginjal.

b. KLASIFIKASI
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu atas
dasar derajat (stage) penyakit dan dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi
25

atas dasar derajat penyakit dibuat atas dasar LFG yang dihitung
dengan mempergunakan rumus Kockcorft-Gault sebagai berikut:
LFG (ml/menit/1,73m) = (140-umur) x berat badan / 72x kreatinin
plasma (mg/dl)*)
*) pada perempuan dikalikan 0,85
Table 1. Klasifikasi penyakit ginjal kronik atas dasar derajat penyakit
Derajat Penjelasan LFG(ml/mnt/1,73m)
Derajat Penjelasan LFG (ml/mnt/1,73m
3
)
1

2

3

4

5
Kerusakan ginjal dengan
LFG normal atau meningkat
Kerusakan ginjal dengan
LFG menurun ringan
Kerusakan ginjal dengan
LFG menurun sedang
Kerusakan ginjal dengan
LFG menurun berat
Gagal Ginjal
90

60 89

30 29

15 29

< 15 atau dialisis

Tabel 2. Klasifikasi atas dasar diagnosis

Penyakit Tipe Mayor (contoh)
Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non
diabetes
Penyakit glomerular(penyakit
otoimun, infeksi sistemik, obat,
neoplasia)
Penyakit vascular (penyakit
pembuluh darah besar, hipertensi,
26

mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstitial
(pielonefritis kronik, batu, obstruksi,
keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada
transplantasi
Rejeksi kronik
Keracunan obat
(siklosporin/takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy


c. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada
penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya
proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal
menyebabkan hipertrofi sisa nefron secara struktural dan fungsional
sebagai upaya kompensasi. Hipertrofi kompensatori ini akibat
hiperfiltrasi adaptif yang diperantarai oleh penambahan tekanan
kapiler dan aliran glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat
akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang
masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi
nefron yang progresif walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif
lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensinaldosteron
intrarenal ikut memberikan konstribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi,
sklerosis dan progesifitas tersebut. Aktivitas jangka panjang aksis
renin-angiotensinaldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor
seperti transforming growth factor . Beberapa hal yang juga dianggap
27

berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah
albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Pada stadium yang
paling dini penyakit ginjal kronik terjadi kehilangan daya cadang ginjal
(renal reserve), pada keadaan dimana basal LFG masih normal atau
malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti akan terjadi
penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG
sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik),
tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai
pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti
nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan
berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien
memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia,
peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan
kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga
mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran
napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan
keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan
keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG
dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan
pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement
therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini
pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.

d. ETIOLOGI
Etiologi penyakit ginjal kronik bervariasi antara satu negara dengan
negara lain. tabel 3 menunjukkan penyebab utama dan insiden
penyakit ginjal kronik di Amerika Serikat.

28

Sedangkan Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Perneffri) tahun 2000
mencatat
penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia,
seperti pada tabel 4.

Dikelompokkan pada sebab lain di antaranya, nefritis lupus, nefropati
urat, intoksikasi obat, penyait ginjal bawaan, tumor ginjal, dan
penyebab yang tidak diketahui.
Penyebab Insinden
Diabetes Melitus
- Tipe 1 (7%)
- Tipe 2 (37%)
Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar
Glomerulonefritis
Nefritis Interstitialis
Kista dan penyakit bawaan lain
Penyakit sistemik (missal, lupus dan vaskulitis)
Neoplasma
Tidak diketahui
Penyakit lain
44%


27%
10%
4%
3%
2%
2%
4%
4%
Tabel 3. Penyebab Utama Penyakit Ginjal Kronik di AS (1995 1999)

Penyebab Insiden
Glomerulonefritis
Diabetes Mellitus
Obstruksi dan Infeksi
Hipertensi
sebab lain
46,39%
18,65%
12,85%
8,46%
13,65%
Tabel 4. Penyebab Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialisis di
Indonesia tahun 2000
29





e. PENDEKATAN DIAGNOSTIK
Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes
melitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius,
hipertensi, hiperurikemi, LupusEritomatosus Sistemik
(LES),dll.
b. Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia,
mual, muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume
overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis,
kejang-kejang sampai koma.
c. Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia,
osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik,
gangguan keseimbangan elektrolit (sodium,kalium, khlorida).

Gambaran Laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan
kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung
mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin
serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan
fungsi ginjal.
30

c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar
hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau
hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalemia, asidosis metabolic
d. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria
1


Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis penyakit GGK meliputi:
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering
tidak bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran
terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang
sudah mengalami kerusakan.
c. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau
batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila
ada indikasi.

f. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi :
Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid
condition)
Memperlambat perburukan fungsi ginjal
Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
31

Terapi pengganti ginjal berupa dialysis atau transplantasi ginjal
Perencanaan tatalaksaan. Penyakit ginjal kronik sesuai dengan
derajatnya, dapat dilihat pada tabel 5.
Derajat LFG
(ml/mnt/1,73m
3
)
Rencana Tatalaksana
1



2
3
4

5
90



60 89
30 59
15 29

< 15
Terapi penyakit dasar, kondisi
komorbid, evaluasi pemburukan
fungsi ginjal. Memperkecil risiko
kardiovaskular
menghambat perburukanungsi
ginjal
evaluasi dan terapi komplikasi
persiapan untuk terapi
pengganti ginjal
terapi pengganti ginjal
Tabel 5. Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan
Derajatnya
Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah
sebelum terjadinya penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi
ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara
ultrasonografi, biopsy dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat
menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya,
bila LGF sudah menurun sampai 20 30% dari normal, terapi
terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.

Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid
32

Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan
LFG pada pasien penyakit gagal ginjal kronik. Hal ini untuk
mengetahui kondisi komorbid yang dapat memeperburuk keadaan
pasien. Faktor faktor komorbid ini antara lain gangguan
keseimbangan cairan, hipertensi tidak terkontrol, infeksi traktus
urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat obat nefrotoksiok, bahan
radiokontras, atau pengingkatan aktivitas penyakit dasarnya.

Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus. Skematik tentang pathogenesis perburukan
fungsi ginjal dapat dilihat pada gambar 2.








Gambar 2. Patogenesis perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronis

Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus ini adalah :
Pembatasan Asupan Protein. Pembatasan asupan protein mulai
dilakukan pada LFG 60 ml/menit, sedangkan di anilai tersebut
33

pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan
0,6 0,8/kg/BB/hari, yang 0,35 0,50 gr di antaranya merupakan
protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30
35 kkal/kgBB/hari. Dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap
status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan
protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat,
kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi
urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama dieksresikan melalui
ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion
hydrogen, fosfat, sulfat, dan ion unorganik lain juga dieksresikan
melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada
pasien gagal ginjal kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi
nitrogen dan ion anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis
dan metabolic yang disebut uremia. Dengan demikian, pembatasan
asupan protein akannmengakibakan berkurangnya sindrom uremik.
Masalah penting lainnya adalah, asupan protein berlebih (protein
overload) akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa
peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus (intraglomerulus
hyperfitration), yang akan meningkatkan progresifitas pemburukan
fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan
pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal
dari sumber yang sama. pembatasan fosfat perlu untuk mencegah
hiperfosfatemia.
LFG
ml/mnt
Asupan Protein
g/kgBB/hari
Fosfat g/KgBB/hari
60
25 60
5 25

Tidak dianjurkan
0,6 0,8/Kg/hari
0,6-0,8/kg/hari atau
tambahan 0,3 g asam
tidak dibatasi
10 g
10 g

34



< 60
amino esensial atau
asam keton
0,8/kg/hari(=1 gr protein
/g proteinuria atau
0,3g/kg tambahan asam
amino esensial atau
asam keton.


9 g
Tabel 5. Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Gagal
Ginjal kronik

Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus.
Pemkaian obat anti hipertensi, di samping bermanfaat
untukmemperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk
memperlambat pemburukan nefron dengan mengurangi hipertensi
intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa studi
membuktikan bahwa, pengendalian tekanan darah mempunyai peran
yang sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein, dalam
memperkecil hipertensi intragllomerulus dan hipertrofi glomerulus. Di
samping itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat
proteinuria. Saat ini diketahui secara luas bahwa, proteinuria
merupakan faktor risiko terjadinya pemburukan fungsi ginjal, dengan
kata lain derajat proteinuria berkaitan dengan proses perburukan
fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.
Beberapa obat anti hipertensi, terutama Penghambat Enzim
Konverting Angiotensin (ACE Inhibitor), melaluui berbagai studi
terbukti dapat memperlambat proses perburukan fungsi ginjal. Hal ini
terjadi lewwat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan
antiproteinuria.
35




Pencegahan dan Terapi Terhadap Penaykit Kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan
hal yang pentin, karena 40 45% kematian pada penyakit ginjal kronik
disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal hal yang termasuk
dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular adalah,
pengendalian dislipidemia, pengendalian anmia, pengendalian
hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan
keseimbangan dan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan
dan terapi terhadap komplikasi penyakit gagal ginjal kronik secara
keseluruhan.

Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi
Penyakit gagal ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang
manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang
terjadi.
Derajat Penjelasan LFG
(ml/mnt)
Komplikasi
1

2


3
Kerusakan ginjal
dengan LFG
normal
Kerusakan ginjal
dengan
penurunan LFG
90

60 89


30 - 59


tekanan darah mulai
meningkat

- Hiperfosfatemia
36






4




5
ringan
Penurunan LFG
sedang




Penurunan LFG
berat




Gagal Ginjal






15 29




< 15
- Hipokalemia
- Anemia
- Hiperparatiroid
- Hipertensi
- Hiperhomosisteinemia
- Malnutrisi
- Asidosis Metabolik
- Cenderung
hiperkalemi
- Dislipidemia
- Gagal jantung
- Uremia
Tabel 6. Komplikasi Penyakit Gagal Ginjal Kronik
Anemia
Anemia terjadi pada terjadi 80 90 % pasiendengan penyakit gagal
ginjal kronik, Anemia pada penyakit gagal ginjal kronik terutama
disebabkan oleh defisiensi eritropoietin. Hal hal lain yang ikut
berperan dalam terjadinya anemia adalah, defisiensi besi, kehilangan
darah, (missal perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup
eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat,
penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi
akut mauoun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar
hemoglobin 10g% atau hematokrit 30%, meliputi evaluasi terhadap
status besi (kadar besi serum/serum iron, Total Iron Binding Capacity,
feritin serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit,
kemungkinan adamnya hemolisis dan lain sbagainya.
37

Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di
samping penyebab lain bila ditemukan.
Pemberian eritropoietin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam
pemberian EPO ini, status besi harus selalu mendapat perhatian
karena EPO memerlukan beesi dalam mekanisme kerjanya.
Pemberian transfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan
secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat danpemantauan
yang cermat. Trasnfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat
dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemi dan
pemburukan fungsi ginnjal/ sasaran hemoglobin menurut berbagai
studi klinik adalah 11 12 g/dl

Osteodistrofi Renal
Osteodistrofi renal merupakan komlikasi penyakit ginjal kronik yang
sering terjadi.









38


Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan cara
mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol.
Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat,
pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorpsi fosfat
di saluran cerna. Dialysis yang dilakukan pada pasien dengan gagal
hinjal juga beperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.

Mengatasi Hiperfosfatemia
a. Pembatasan asupan fosfat. Pemberian diet rendah fosfat sejalan
dengan diet pada pasien penyakit ginjal kronik secara umum yaitu
tinggi kalori, rendah protein, dan rendah garam, karena fosfat
sebagian besar terkandung dalam daging dan produk hewan
seperti susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600 800 mg.hari.
Pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan,
untuk menghindari terjadinya malnutrisi.
b. Pemberian pengikat fosfat. Pengikat fosfat yang banyak dipakai
adalah garam kalsium, alumunium hidroksida, garam magnesium.
Garam garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat
absorpsi fosfat yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang
banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium
asetat.
Cara/Bahan Efikasi Efek Samping
Diet rendah fosfat
Al(OH)3
Ca CO3
Ca Acetat
tidak selalu mudah
bagus
sedang
Sangat Bagus
malnutrisi
Intoksikasi Al
Hipercalcemia
Mual, muntah
39

Mg(OH)2/MgCO3 Sedang Intoksikasi Mg
Tabel 7. Pengikat fosfat, efikasi, dan efek sampingnya
c. Pemberian bahan kalsium mimetic (calcium mimetic agent). Akhir-
akhir ini dikembangkan sejenis obat yang dapat menghambat
reseptor Ca pada kelenjar partiroid, dengan nama sevelamer
hidroklrorida. Obat ini disebut juga calcium mimetic agent, dan
dilaporkan mempunyai efektivitas yang sangat baik serta efek
samping yang minimal.
Pemberian Kalsitriol (1,25 (OH
2
D
3
)
Pemberian kalsitriol untuk mengatasi osteodistrofi renal banyak
dilaporkan. Tetapi pemakaiannya tidak begitu luas, karena dapat
meningkatkan absorpsi obat fosfat dan kalsium di saluran cerna
sehingga dikhawatirkan mengakibatkan penumpukan garam calcium
carbonat di jaringan, yang disebut kalsifikasi metastatic. Di samping itu
juga dapat mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap
kelenjar paratiroid. Oleh karena itu, pemakaiannya dibatasi pada
pasien dengan kadar fosfat darah normal dan kadar hormon paratiroid
(PTH) >2,5 kali normal.
Pembatasan Cairan dan Elektrolit
Pembatasan asupan air pada pasien penyakit hinjal kronik, sangat
perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edem
dan komlikasi kardiovaskular. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat
seimbang dengan air yang keluar, baik melalui urin maupun insensible
water loss. Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui
insensible water loss antara 500 800 ml/hari (sesuai dengan luas
permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500 800 ml
ditambah jumlah urin.
40

Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium.
Pembatasan kalium dilakukan, karena hiperkalemia dapat
mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian
obat obat yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium
harus dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5 5,5 mEq/lt.
Pembatasan natrium dimaksudkan mengendalikan hipertensi dan
edema. Jumlah garam natrium yang diberikan, disesuaikan dengan
tingginya tekanan darah dan derajat edem yang terjadi.
Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapy)
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium
5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/mnt. Terapi pengganti tersebut
dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialysis atau transplantasi ginjal.











41



ANEMIA PADA PENYAKIT KRONIS
Anemia sering dijumpai pada pasien dengan infeksi atau inflamasi
kronis maupun keganasan. Anemia ini umumnya ringan atau sedang,
disertai oleh rasa lemah dan penurunan berat badan dan disebut
anemia pada penyakit kronis. Pada umumnya, anemia pada penyakit
pada penyakit kronis ditandai oleh kadar Hb sekitar 7 11 g/dL, kadar
Fe serum menurunan disertai TIBC yang rendah, cadangan Fe yang
tinggi di jaringan serta produksi sel darah merah yang berkurang.
a. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Laporan/data penyakit tuberculosis, abses paru, endokarditis bakteri
subakut, osteomielitis dan infeksi jamur kronis serta HIV membuktikan
bahwa hampir semua infeksi supuratif kronis berkaitan dengan
anemia. Derajat anemia sebanding dengan berat ringannya gejala,
seperti demam, penurunan berat badan dan debilitas umum. Untuk
terjadinya anemia memerlukan waktu 1 2 bulan setelah infeksi terjadi
dan menetap, setela teradi keseimbangan antara produksi dan
penghancuran eritrosit dan Hb menjadi stabil.

Pemendekan Masa Hidup Eritrosit
Diduga anemia yang terjadi merupakan bagian dari sindrom stress
hematologic (hematological stress syndrome), dimana terjadi produksi
sitokin yang berlebihan karena kerusakan jaringan akibat infeksi,
inflamasi, atau kanker. Sitokin tersebut dapat menyebabkan
sekuestrasi makrofag sehingga mengikat lebih banyak zat besi,
meningkatkan destruksi eritrosit di limpa, menekan produksi
eritropoietin oleh ginjal, serta menyebabkan perangsangan yang
42

inadekuat pada eritropoiesis di sumsum tulang. Pada keadaan lebih
lanjut, malnutrisi dalat menyebabkan penurunan transformasi T4
(Tetraiodothyronine) menjadi T3 (tri iodothyronine), meneyebabkan
hipotiroid fungsional di mana terjadi penurunan kebutuhan Hb yng
mengangkut O2 sehingga sintesis eritropoietin berkurang.

Penghancuran Eritrosit
Beberapa penelitian membuktikan bahwa masa hidup eritrosit
memendek pada sekitar 20 30% pasien. Defek ini terjadi di
ekstrakorpuskular, karena bila eritrosit pasien ditransfusikan ke
resipien normal, maka dapat hidup normal. Aktivasi makrofag oleh
sitokin menyebabkan peningkatan daya fagositosis makrofag oleh
sitokin menyebabkan peningkatan daya fagositosis makrofag tersebut
dan sebagai bagian dari filter limpa (compulsive screening), menjadi
kurang toleran terhadap perubahan/kerusakan minor dari eritrosit

Produksi Eritrosit
Gangguan metabolisme zat besi. Kadar besi yang rendah meskipun
cadangan besi cukup menunjukkan adanya gangguan metabolisme
zat besi pada penyakit kronis. Hal ini memberikan konsep bhawa
anemia disebabkan oleh penurunan kemampuan Fe dalam sintesis
Hb. Penelitian akhir menunjukkan parameter Fe yang terganggu
mungkin lebih penting untuk diagnosis daripada untuk pathogenesis
anemia tersebut.

Normal Anemia
Defisisensi Fe
Anemia
Penyakit
Kronis
Fe plasma (mg/L) 70 90 30 30
43

TIBC
Persen saturasi
Kandungan Fe di
makrofag
Feritin serum
Reseptor
transferin serum
250 400
30
++

20 200
8 28

>450
7
-

10
>28
<200
15
+++

150
8 28

Tabel 8. Perbedaan Parameter Fe pada Orang Normal, Anemia
Defisiensi Besi dan Anemia Penyakit Kronis


Pengukuran kecepatan penyerapan zat besi oleh saluran cerna pada
beberapa kasus dengan kelainan kronis memberikan hasil yang
sangat bervariasi, sehingga tidak dapat disimpulkan. Pada umumnya
memang terdapat gangguan absorpsi, walaupun ringan. Ambilan zat
besi ke sel-sel usus dan pengikatanoleh apoferitin intrasel masih
normal, sehingga defek agaknya terjadi saat pembebasan Fe dari
makrofag dan sel sel hepar pada pasien penyakit kronis

Fungsi sumsum tulang. Meskipun sumsum tulang yang normal dapat
mengkompensasi pemendekan masa hidup eritrosit, diperlukan
stimulus eritropoietin oleh hipoksia akibat anemia. Pada penyakit
kronis, kompensasi yang terjadi kurang dari yang diharapkan akibat
berkurangnya penglepasan atau menurunnya respons terhadap
eritropoietin.

Terdapat 3 jenis sitokin yakni TNF-, IL 1, IFN yangditemukan
dalam plasma pasien dengan penyakit inflamasi atau kanker, dan
terdapat hubungan secara langsung antara kadar sitokin ini dengan
beratnya anemia.
44




b. GAMBARAN KLINIS
Karena anemia yang terjadi umumnya derajat ringan dan sedang,
sering kali gejalanya tertutup oleh gejala penyakit dasarnya, karena
kadar Hb sekitar 7 11 gr/dl umumnya asimtomatik. Meskipun
demikian apabila demam atau debilitas fisik meningkat, pengurangan
kapasitas transport O
2
jaringan akan memeprjelas gejala anemianya
atau memperberat keluhan sebelumnya.

Pada pemeriksaan fisik, umumnya hanya dijumpai konjungtiva pucat
tanpa kelainan yang khas dari anemia jenis ini, dan diagnosis
biasanya tergantung dari hasil pemeriksaan laboratorium.

c. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Anemia umumnya adalah normokrom normositer, meskipun banyak
pasien mempunyai gambaran hipokrom dengan MCHC <31 g/dL dan
beberapa mempunyai sel mikrositer dengan MCV >80 fL. Nilai
retikulosit absolute dalam batas normal atau sedikit meningkat.
Perubahan pada leukosit dan trombosit tidak konsisten, tergantung
pada penyakit dasarnya.

Penurunan Fe serum merupakan kondisi sine quo non untuk diagnosis
anemia penyakit kronis. Keadaan ini timbul segera setelah onset suatu
infeksi atau inflamasi dan mendahului terjadinya anemia. Konsentrasi
protein pengikat Fe menurun menyebabkan saturasi Fe lebih tinggi
daripada anemia defisiensi besi. Proteksi saturasi Fe relative mungkin
mencukupi dengan meningkatkan transfer Fe dari suatu persediaan
yang kurang dari Fe dalam sirkulasi kepada sel eritroid imatur.
45


Penurunan kadar transferin setelah suatu jejas terjadi lebih lambat
daripada penurunan kadar Fe serum, disebabkan karena waktu paruh
transferin lebih lama (8 12 hari) dibandingkan dengan Fe (90 menit)
dank arena fungsi metabolic yang berbeda.

d. DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
Meskipun banyak pasien dengan infeksi kronik, inflamasi dan
keganasan menderita anemia, anemia tersebut disebut anemia pada
penyakit kronik hanya jika anemia tersebut sedang, selularitas
sumsum tulang normal, kadar besi serum dan TIBC renda, kadar besi
dalam makrofag dalam sumsum tulang normal atau meningkat, serta
feritin serum yang meningkat.

Beberapa penyebab anemia berikut ini merupakan diagnosis banding
atau mengaburkan diagnosis anemia pada penyakit kronis
1. Anemia delusional
2. Drug induced marrow suppression atau drug induced hemolysis.
Pada penekanan sumsum tulang akibat obat, kadar besi serum
tinggi. Pemeriksaan hitung retikulosit, bilirubi LDH dan tes coombs
harus dilakukan untuk menyingkirkan hemolisis.
3. Perdarahan kronis
4. Thalasemia minor
5. Gangguan ginjal. Pada keadaan iniumur eritrosit memendek dan
terdapat kegagalan relative sumsum tulang.

e. PENGOBATAN
Terapi utama pada anemia penyakit kronis adalah mengobati penyakit
dasarnya.
46

- Transfusi. Merupakan pilihan pada kasus kasus yang dsertai
gangguan hemodinamik. Sebaiknya kadar Hb diperthankan 10
11 gr/dL.
- Pereprarat besi. Pemberian preoarat besi pada anemia
penyakit kronis masih terus dalam perdebatan.
- Eritropoietin. Data penelitian menunjukkan bahwa pemberian
eritropoietin bermanfaat dan sudah disepakati untuk diberikan
pada pasien anemi akibat kanker, gagal ginjalt kanker, gagal
ginjal, myeloma multiple, arthritis rheumatoid dan pasien HIV.
Selain dapat menghindari transfusi beserta efek sampingnya,
pemberian eritropoietin mempunyai beberapa keuntungan,
yakni : mempunyai efek anti inflamasi dengan cara menekan
produksi TNF dan interferon . Di lain pihak pemberian
eritropoietin akan menambah proliferasi sel sel kanker ginjal
serta meningkatkan rekurensi pada kanker kepala dan leher.










47



BAB IV
ANALISIS KASUS
Pasien datang dengan keluhan sesak yang semakin berat sejak 3
hari sebelum masuk rumah sakit. sesak dirasakan pasien hilang
timbul. Timbul saat pasien melakukan aktivitas dan hilang saat
istirahat. Sesak juga dirasakan memberat saat tidur dan membaik
saat duduk. Hal ini sesuai dengan gejala gagal jantung, dimana
pada pasien ini memang sudah memiliki riwayat sakit jantung yang
dikatakan terjadi pembengkakkan pada jantungnya. Gejala gejala
yang timbul pada pasien ini mengarah kepada gagal jantung kiri.
Pada gagal jantung kiri, sesak terjadi akibat penimbunan cairan
dalam alveoli dan mengganggu pertukaran gas, dapat terjadi
ortopnoe. Pasien juga mengeluhkan mudah lelah, Hal ini terjadi
karena menurunnya curah jantung serta menurunnya pembuangan
sisa katabolisme juga terjadi karena meningkatnya energy yang
digunakan untuk bernafas. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
adanya udem di kedua tungkai dan batas jantung yang melebar,
pada pemeriksaan EKG terlihat ada pembesaran ventrikel kiri.
Gagal jantung bisa ditegakkan dengan menggunakan criteria
Framingham, yakni
Kriteria mayor :
1. Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea
2. Peningkatan tekanan vena jugularis
3. Ronki basah tidak nyaring
48

4. Kardiomegali
5. Edema paru akut
6. Irama derap S
3

7. peningkatan tekanan vena >16 cm H
2
O
8. Refluks hepatojugular

Kriteria minor :
1. Edema pergelangan kaki
2. Batuk malam hari
3. Dyspnea deffort
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Kapasitas vital berkurang menjadi 1/3 maksimum
7. Takikardi (>120x/menit)

Gagal jantung dapat ditegakkan apabila terdapat 2 kriteria mayor
atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Pada pasien ini memiliki
2 kriteria mayor (ortopnea dan kardiomegali) dan 1 kriteria minor
(udem tungkai). Dengan begitu diagnosis gagal jantung pada
pasien ini sudah bisa ditegakkan. Berdasarkan New York
Association (NYHA) klasifikasi gagal jantung pada pasien ini
termasuk kelas II III yaitu pasien tidak bisa melakukan aktivitas
yang ringan sedang. Tata laksana yang dapat diberikan adalah
dengan memperbaiki oksigenasi dan menurunkan konsumsi O
2

melalui istirahat dan pembatasan aktivitas, bisa juga dibantu
dengan oksigen nasal kanul 3 lt/menit. Selain itu, harus diberikan
pula terapi untuk menurunkan beban jantung yaitu dengan diet
rendah garam dan diuretik. Untuk gagal jantung kelas II III
diberikan diuretik dalam dosis rendah atau menengah (furosemid
40 80 mg).
49


Gagal jantung yang terjadi pada pasien ini kemungkinan besar
disebabkan dari penyakit hipertensinya yang sudah diderita pasien
sejak 2 tahun lalu. Penyakit darah tinggi dapat membuat kerja
jantung menjadi berat untuk memompa darah sehingga
menyebabkan menurunnya fungsi ventrikel.

Selain sesak yang diakibatkan dari gagal jantungnya, pasien juga
memiliki riwayat sakit ginjal 1 tahun terakhir. kerusakan ginjal yang
berlangsung selama lebih dari 3 bulan disebut gagal ginjal kronik
(chronic heart failure). Dari anamnesis didapatkan pasien memiliki
keluhan mudah lelah, dengan konjungtiva yang pucat. Pada
pemeriksaan lab ditemukan kadar kreatinin serum yang meningkat.
Jika dihitung laju filtrasi glomerulus pasien saat masuk, 21,02 yakni
termasuk ke dalam CKD stage IV, ini berarti pasien ini sudah terjadi
kerusakan ginjal yang berat. sedangkan untuk gejala lemas dan
konjungticva pucat pada pasien merupakan gejala anemia yang
terbukti dengan pemeriksaan Hb : 6,8 g/dL. Anemia yang terjadi
merupakan salah satu komplikasi dari penyakit ginjalnya akibat
defisiensi eritropoietin. Eritropoietin adalah hormon yang dibuat
oleh ginjal sehat merangsang sumsum tulang untuk memproduksi
sel darah merah yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan
oksigen tubuh. Tata laksana yang diberikan adalah mengoreksi
anemia pasien tersebut, yakni dengan transfusi PRC : Hb x BB x
4 = 3,2 x 60 x 4 = 768 cc 750 cc (3 kantong). Kemudian di cek
kembali Hb post transfusi dengan target Hb11 12 g/dL. Kemudian
untuk gagal ginjal kronik pada pasien ini meliputi terapi spesifik
terhadap penyakit dasarnya, pasien ini kemungkinan gagal ginjal
berasal hipertensi yang dideritanya. Gagal ginjal terjadi akibat
kerusakan yang progresif akibat tekanan tinggi pada kapiler-kapiler
50

ginjal dan glomerulus. Dnegan rusaknya glomerulus, darah akan
mengalir ke unit-unit fungsional ginjal, nefron akan terganggu. Jadi
terapi yang diberikan harus mengatasi darah tingginya. Pasien ini
diberikan golongan ACE inhibitor yakni captopril 2 x 25 mg. selain
pengobati penyakit dasarnya, penatalaksanaan gagal ginjal kronik
adalah dengan memperlambat perburukan fungsi ginjal, Karena
pasien ini sudah masuk CKD stage IV denga GFR 21,02 dan
ternyata semakin memburuk keesokan harinya (GFR : 12,50 maka
pilihan pertama adalah dengan melakukan cuci darah, Bicnat 3 x 1
dan CaCO3 3 x 1. Penggunaan bicnat ditujukan untuk mencegah
asidosis metabolik yang sering terjadi pada pasien CKD karena
bikarbonat menetralisir asam. Sedangkan penggunaan CaCO3
adalah untuk mencegah komplikasi osteodistrofi karena CaCO3 in
bermanfaat untuk mengikat kadar phosphor dalam makanan.











51



DAFTAR PUSTAKA
1. Hayat A. Savety issues with intravenous iron product in the
management of anemia in chronic kidney disease. Clin Med and
Research. 2008;6:93-102
2. Ketut S. Profile anemia in chronic renal failure patients:
Comparison between predialyzed and dialyzed patients at the
division of nephrology, departement of internal medicine,
sanglah hospital, denpasar, bali, indonesia. Indones J Intern
Med . 2005;37:181-195
3. Saul N. Anemia in chronic kidney disease : Causes,
diagnosis,treatment. Clev Clinic J of Med. 2006;73:289-297
4. Masaoni N. Pathogenesis of renal anemia. Semin in Nephrol
2006;26:261-268
5. Ali K, Abu A. CKD series: Evaluation and treatment of anemia in
chronic kidney disease. Hospital Phys. 2003:142-152
6. Horl W. Iron therapy for renal anemia : How much needed, how
much harmful?.Pediatr Nephrol.2007;22:480-489
7. Qunibi WY. Treatment of iron-deficiency anemia in nondialysis
and hemodialysis-dependent CKD patients.US Renal Disease.
2006;45-499
9. Perhimpunan nefrologi indonesia konsensus manajemen
anemia pada penyakit ginjal kronik. 2011;1-52
10. Bandiara R. Penatalaksanaan anemia defisiensi besi pada
pasien yang menjalani hemodialisa. Subbagian Ginjal
Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FK Unpad, RS Dr
Hasan Sadikin. 2003.
52

11. Casey L . Management of renal anemia in stage 4/5 chronic
kidney disease. Armadale Heart Service. 2010;1-17
12. Cesare G. Advancements in anemias related to chronic
condition. Clic Chem Lab Med.2010:1218-1226
13. Allen R. Iron defisiensi in patients with renal failure. Kidney
Intern. 1999;55:18-21
14. Robert C. Kopelman LS. Functional iron deficiency in
hemodialysis patients with high ferritin. Hemodial Inter.
2007;11:238-246
15. Wish JB. Assesing iron status : Beyond serum ferritin and
transferin saturation. Clin J Am Soc Nephrol. 2006;1 54-58
16. Francois M. Clinical practice guidelines for assesment and
management of iron deficiensy Intern Soc of Nephrol.
2008;74:7-14
17. Brunelli SM, Berns JS. Anemia in chronic kidney disease and
end-stage renal disease.Nephrology Rounds. 2009
18. OMara NB. Anemia in patients with chronic kidney disease
Diabetic spec. 2008;21:12-17
19. Adeera L. KDOQ clinical practice guideline and clinical practice
recomendation for anemia in chronic kidney disease : 2007
update of hemoglobin target. 2007
20. Tomasello S. Anemia of chronic kidney disease. l of Pharm
Prac. 2008;21:181-194
21. Tsubakihara Y, Nishi S, Akiba T, Hirakata H. 2008 japanese
society for dialysis therapy : Guidelines for renal anemia in
chronic kidney disease. Ther Aph and Dial. 2010;14:240-275

Anda mungkin juga menyukai