Anda di halaman 1dari 2

NILAI SOSIAL DALAM CERPEN GURU KARYA PUTU WIJAYA

Oleh: Lady Apsari



Nilai sosial merupakan nilai yang dianut masyarakat, tentang suatu hal baik itu bernilai
buruk atau bernilai baik. Dalam sebuah cerpen pasti mempunyai unsur ekstrinsik yang berisi
nilai-nilai. Nilai tersebut antara lain adalah nilai sosial, nilai pendidikan, nilai filosofis dan lain-
lain. Salah satunya contohnya ada dalam cerpen berjudul Guru karya Putu Wijaya. Cerpen
guru ini sarat akan nilai-nilai sosial yang sangat kental. Cerpen ini menghadirkan tentang nilai
sosial yang ada pada masyarakat indonesia. Putu Wijaya mengangkat fenenoma tentang guru.
Tema yang jarang dianggkat untuk sebuah cerpen. Putu Wijaya memaparkan dengan detail
bagaimana pandangan guru dalam masyarakat.
Putu Wijaya menjadikan konflik untuk memaparkan nilai sosial seorang guru. Beliau
menggunakan konflik dengan senjata dalam cerpen ini. Konflik disepanjang alur cerita
dipaparkan dengan lugas dan apik. Anggapan masyarakat terhadap guru. Selain itu juga ada
nilai-nilai sosial yang lain dalam cerpen ini. Dengan menggunakan alur maju dan flasback, Putu
Wijaya berhasil membuat pembaca terus ingin membaca dan penasaran dengan alur ceritanya.
Alur maju yang dibuat dibuat dengan klimaks perhalahan-lahan membuat sensasi yang berbeda
dalam cerpen ini. Pembaca seolah-seolah berada dalam situasi yang menegangkan dan ikut andil
dalam pertengkaran antara ayah dan Taksu. Tapi tidak dengan anti klimaks. Anti klimaks
terkesan motonon jika dibandingkan dengan klimaks-klimaks yang sudah disajikan. Dengan
klimaks yang disajikan begitu kental, namun diakhiri dengan anti klimaks yang terkesan
sederhana membuat novel ini terasa hambar. Dengan akhir yang terkesan sederhana membuat
pembaca kecewa. Pembaca yang sudah larut dengan klimaks kaget dengan anti klimaks itu.

Nilai sosial terhadap paradigma seorang guru dapat terlihat dari Putu Wijaya menuliskan menjadi seorang
guru bukanlah merupakan suatu cita-cita. Mereka menjadi guru karena terpaksa agar mereka tidak
mengangggur. Masyarakat memandang rendah profesi guru. Hidup guru dianggap tidak layak. Hidup
sebagai guru itu miskin. Guru tidak ada yang kaya semuanya miskin. Guru tidak punya masa
depan. Hidupnya bersusah-susah, dengan perjuangan yang berat, dengan hasil yang sangat
minim. Menjadi guru itu tidak terhormat. Ibarat kasta, guru berada pada kasta yang paling
rendah. Semboyan yang mengatakan guru itu pahlawan tanpa tanda saja, tinggallah sebuah
semboyan. Tak menjadi berarti dengan sekelompok oknum guru yang melakukan hal-hal tidak
bermoral. Padahal notabennya guru merupakan individu yang harus menjunggung tinggi tingkah
laku yang bermoral. Sesuai dengan istilah jawanya guru berasal dari akronim dari di gugu lan di
tiru. Yang secara kasar berarti dipatuhi tutur katanya dan di contoh tingkah lakunya. Guru tidak
punya masa depan, karena guru sepanjang hidupnya akan tetap menjadi guru. Sulitnya rasanya
meninggalkan profesi menjadi guru. Menjadi guru sudah mendarah daging dalam hidup seorang
guru. Bahkan terkadang di saat guru tersebut sudah pensiun pun masih dianggap sebagai guru.
guru yang menjadi panutan untuk orang lain, menjadi contoh yang baik dalam tingkah lakunya.
Ini merupakan gambaran guru dalam artian yang sesungguhnya. Guru yang mengajarkan
pelajaran untuk murid-muridnya. Tapi selain guru yang sesungguhnya itu juga ada guru yang
dalam tanda petik. Seperti yang diceritakan dalam "ia seorang guru bagi sekitar 10.000 orang
pegawainya. Guru juga bagi anak-anak muda lain yang menjadi adik generasinya. Bahkan guru
bagi bangsa dan negara, karena jasa-jasanya menularkan etos kerja,". Seseorang yang menjadi
inspirasi untuk orang lain. Menjadi motivasi untuk semangat hidup orang lain. Putu Wijaya ingin
menyampaikan makna lain dari seorang guru. di bagian-bagian lain juga disebutkan bagaimana
martabat seorang guru Seperti pada kutipan berikut ini
"Taksu, dengar baik-baik. Bapak hanya bicara satu kali saja. Setelah itu terserah kamu!
Menjadi guru itu bukan cita-cita. Itu spanduk di jalan kumuh di desa. Kita hidup di kota. Dan ini
era milenium ketiga yang diwarnai oleh globalisasi, alias persaingan bebas. Di masa sekarang
ini tidak ada orang yang mau jadi guru. Semua guru itu dilnya jadi guru karena terpaksa,
karena mereka gagal meraih yang lain. Mereka jadi guru asal tidak nganggur saja. Ngerti?
Setiap kali kalau ada kesempatan, mereka akan loncat ngambil yang lebih menguntungkan.
Ngapain jadi guru, mau mati berdiri? Kamu kan bukan orang yang gagal, kenapa kamu jadi
putus asa begitu?!"
Cerpen ini menggabarkan tentang nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Kenyataan itu
selain bisa menggabarkan nilai sosial yang ada dalam masyarakat, bisa juga menjadi kritik sosial
untuk pemerintah yang tidak memperhatikan nasib guru. Seperti pada kutipan berikut ini:
"Negara sengaja memuji-muji guru setinggi langit tetapi lihat sendiri, negara tidak pernah
memberi gaji yang setimpal, karena mereka yakin, banyak orang seperti kamu, sudah puas
karena dipuji. Mereka tahu kelemahan orang-orang seperti kamu, taksu.
Nilai sosial dalam novel ini juga mengunggapkan tentang anggapan orang bahwa yang
bisa menjadi kaya harus memmiliki gelar dan jabatan tinggi. Masyarakat Indonesia masih gila
gelar. Yang membuatnya sukses adalah gelarnya. Pendidikan atau yang biasa disebut sekolah
hanyalah sebagai cara untuk mendapatkan gelar. Sekolah hanya untuk mencari nilai. Tentu saja
semakin nilai bagus maka semakin bagus pula uang yang akan diperoleh. Tak heran jika
kecurangan dalam sekolah masih terus dilakukan. Ujian yang sejatinya digunakan untuk menjadi
pengukur kemampuan. Malah menjadi ajang untuk membuka peluang berbuat kecurangan. Jika
pada waktu sekolah saja sudah biasa berbuat curang apalagi waktu menjadi pejabat. Fasih
mencari celah untuk mencari kecurangan, bukan fasih untuk mencari prestasi yang
membanggakan. Nilai sosial masyarakat Indonesia juga terlihat disini, mereka beranggapan
kecurangan atau istilah modernnya korupsi. Sudah menjadi hal yang biasa. Tanpa korupsi tidak
ada jalan. Tentu saja nilai ini dibentuk dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat Indonesia sejak
masa penjajahan dulu. Seperti pada kutipan berikut ini:
"Mobil ini tidak pantas dipakai seorang guru. Kunci ini boleh kamu ambil sekarang juga, kalau
kamu berjanji bahwa kamu tidak akan mau jadi guru, sebab itu memalukan orang tua kamu.
Kamu ini investasi untuk masa depan kami, taksu, mengerti? Kamu kami sekolahkan supaya
kamu meraih gelar, punya jabatan, dihormati orang, supaya kami juga ikut terhormat. Supaya
kamu berguna kepada bangsa dan punya duit untuk merawat kami orang tuamu kalau kami
sudah jompo nanti

Anda mungkin juga menyukai