Anda di halaman 1dari 27

0

TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK DAN IMPLEMENTASINYA


DALAM PEMBELAJARAN IPA KELAS 5 SEKOLAH DASAR




ARTIKEL
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Landasan Pendidikan dan Pembelajaran
yang dibina oleh Prof. Dr. Ery Tri Djatmika R.W.W



Oleh
Kuncahyono NIM 132103818601












UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASAR
Desember 2013

1

TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK DAN IMPLEMENTASINYA
DALAM PEMBELAJARAN IPA KELAS 5 SD
Oleh: Kuncahyono

Abstrak. Pendekatan pembelajaran merupakan sudut pandang
terhadap kegiatan pembelajaran didalamnya meliputi metode
pembelajaran dengan cakupan berbagai teori tertentu. Melalui
pendekatan pembelajaran siswa diharapkan sudah menguasai fakta,
keterampilan, konsep dan prinsip yang diperlukan untuk terjadinya
belajar yang bermakna. Pendekatan kontruktivisme dianggap sesuai
diterapkan dalam pembelajran IPA kelas 5 SD, karena model ini
dianggap model pembelajaran yang mengaktifkan siswa. Artikel ini
bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik manusia masa depan
yang diinginkan, konsep dasar teori konstruktivistik, tokoh-tokoh
dalam teori belajar konstruktivistik, ragam teori konstruktivistik,
prinsip-prinsip belajar menurut teori konstruktivistik, kelemahan
dan kelebihan dari teori belajar konstruktivistik, proses belajar
menurut teori konstruktivistik, dan implementasi teori belajar
konstruktivistik. Oleh karena itu untuk menjawab tantangan
tersebut, guru harus kreatif dan inovatif dalam penyampaian materi
pembelajaran yang tidak hanya mementingkan hasil, tetapi juga
proses.
Kata Kunci: Teori Konstruktivistik, pembelajaran, IPA

Guru merupakan pemegang peran penting dalam sebuah interaksi
pembelajaran. Peranan guru tidak hanya sebagai pendidik, tetapi juga sebagai
pembimbing siswa saat pembelajaran berlangsung. Pelaksanaan pembelajaran di
lapangan saat ini belum melahirkan siswa-siswa yang memiliki generasi
memahami, melainkan sebatas menghafal. Siswa hanya mampu menghafal materi
dan tidak memahami apa makna sebenarnya yang terkandung di dalamnya.
Cara yang dapat dilakukan guru agar pembelajaran menjadi bermakna
salah satunya dengan merubah metode atau pendekatan pembelajaran yang
digunakan. Pendekatan pembelajaran adalah titik tolak atau sudut pandang
terhadap kegiatan pembelajaran yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya
suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, didalamnya meliputi metode
pembelajaran dengan cakupan berbagai teori tertentu. Melalui pendekatan
pembelajaran siswa diharapkan sudah menguasai fakta, keterampilan, konsep dan
prinsip yang diperlukan untuk terjadinya belajar yang bermakna.

1
2

Adapun pendekatan yang bisa digunakan guru dalam pemebelajaran IPA
untuk membantu menanamkan konsep kepada siswanya di sekolah dasar yaitu
dengan pendekatan konstruktivistik. Pendekatan kontruktivisme dianggap sesuai
diterapkan karena model ini dianggap model pembelajaran yang mengaktifkan
siswa walaupun dalam model pembelajaran ini memiliki beberapa kekurangan
atau kelemahan.
Guru dengan menguasai pendekatan konstruktivistik, diharapkan dapat
lebih percaya diri menyampaikan materi yang bermakna dan variatif dan tidak
membutuhkan waktu yang lama karena siswa dapat menguasai konsep dan
mengembangkan konsep wawasannya sendiri melalui interaksi dengan
lingkungan sekitarnya.
Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dipaparkan maka rumusan
masalah dalam artikel ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana karakteristik manusia masa depan yang diinginkan?
2. Bagaimana konsep dasar teori konstruktivistik?
3. Siapa tokoh-tokoh dalam teori belajar konstruktivistik?
4. Bagaimana ragam teori konstruktivistik?
5. Bagaimana prinsip-prinsip belajar menurut teori konstruktivistik?
6. Bagaimana kelemahan dan kelebihan dari teori belajar konstruktivistik?
7. Bagaimana proses belajar menurut teori konstruktivistik?
8. Bagaimana implementasi teori belajar konstruktivistik dalam Pembelajaran
IPA kelas 5 Sekolah Dasar?
Berdasarkan rumusan masalah yang sudah dipaparkan sebelunya, maka
dapat dirumuskan tujuan dalam makalah ini adalah untuk mendeskripsikan:
1. Karakteristik manusia masa depan yang diinginkan
2. Konsep dasar teori konstruktivistik
3. Tokoh-tokoh dalam teori belajar konstruktivistik
4. Ragam teori konstruktivistik
5. Prinsip-prinsip belajar menurut teori konstruktivistik
6. Kelemahan dan kelebihan dari teori belajar konstruktivistik
7. Proses belajar menurut teori konstruktivistik
3

8. Implementasi teori belajar konstruktivistik dalam Pembelajaran IPA kelas 5
Sekolah Dasar
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari artikel ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagi Kepala Sekolah
Setelah mempelajari dan memahami teori konstruktivistik, maka dapat
dijadikan bahan rujukan dalam mengimplementasikan pendekatan teori belajar
konstruktivistik di lingkup sekolah masing-masing.
2. Bagi Guru
Guru dapat mengaplikasikan terori pembelajaran kontruktivistik dengan benar
pada proses kegiatan belajar mengajar di Sekolah Dasar.
3. Bagi Mahasiswa PGSD
Sebagai bahan acuan dalam mempelajari dan mengaplikasikan teori
kontruktivistik dalam pembelajaran.

Karakteristik Manusia Masa Depan yang Diinginkan
Pembangunan sumber daya manusia ditentukan oleh karakteristik manusia
dan masyarakat masa depan yang dikehendaki. Karakteristik manusia masa depan
yang dikehendaki tersebut adalah manusia-manusia yang memiliki kepekaan,
kemandirian, tanggung jawab terhadap risiko dalam pengambilan keputusan,
mengembangkan segenap aspek potensi melalui proses belajar yang terus menerus
untuk menemukan diri sendiri dan menjadi diri sendiri yaitu sebuah proses learn
to be. Mampu melakukan kolaborasi dalam memecahkan masalah yang luas dan
kompleks bagi kelestarian dan kejayaan bangsanya (Raka Joni, 1990 dalam
Budiningsih, 2005:55).
Kepekaan berarti ketajaman baik dalam arti kemampuan berpikirnya,
maupun mudah tersentuh hati nuraninya di dalam melihat dan merasakan segala
sesuatu mulai dari kepentingan orang lain sampai dengan kelestarian lingkungan
yang merupakan gubahan sang pencipta. Kemandirian merupakan kemampuan
menilai proses dan hasil berpikir sendiri di samping proses dan hasil berpikir
orang lain, serta keberanian bertindak sesuai dengan apa yang dianggapnya benar
dan perlu. Tanggung jawab merupakan kesediaan untuk menerima segala
4

konsekuensi keputusan serta tindakan sendiri. Kolaborasi berarti mampu bekerja
sama dengan individu lainnya dalam meningkatkan mutu kehidupan bersama.
Langkah srategis yang dapat diwujudkan adalah dengan adanya layanan
ahli kependidikan yang berhasil guna dan berdaya guna tinggi. Student active
learning atau pendekatan cara belajar siswa aktif di dalam pengelolaan kegiatan
belajar mengajar yang mengakui sentralisasi peranan siswa di dalam proses
belajar, adalah landasan yang kokoh bagi terbentuknya manusia-manusia masa
depan yang diharapkan.
Penerapan ajaran Ki Hajar Dewantoro yaitu Tut Wuri Handayani
merupakan wujud nyata yang bermakna bagi manusia masa kini dalam rangka
menjemput masa depan. Untuk melaksanakannya diperlukan penanganan yang
memberikan perhatian terhadap aspek strategis pendekatan yang tepat ketika
invidu belajar. Pendidikan ditantang untuk memusatkan perhatian pada
terbentuknya manusia masa depan yang memiliki karakteristik di atas. Untuk itu
diperlukan pembelajaran yang dapat mengkonstruk pengetahuan siswa.
Konstruktivistik merupakan landasan filosofi yang meyakini bahwa
pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas
melalui konteks yang terbatas dan tidak secara tiba-tiba. Pengetahuan bukanlah
seperangkat fakta konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat.
Manusia mengkonstruksi pengetahuannya melalui interaksi dengan objek,
fenomena, pengalaman dan lingkungan sekitarnya. Suatu pengetahuan dianggap
benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan
persoalan atau fenomena yang sesuai.
Tujuan dari pembelajaran melalui pendekatan teori belajar konstruktivistik
ini adalah menghasilkan manusia-manusia yang memiliki kepekaan (ketajaman
baik dalam arti kemampuan berpikirnya), kemandirian (kemampuan menilai
proses dan hasil berpikir sendiri), tanggung jawab terhadap resiko dalam
mengambil keputusan, mengembangkan segenap aspek potensi melalui proses
belajar yang terus menerus untuk menemukan diri sendiri yaitu suatu proses
"Learn To Be" serta mampu melakukan kolaborasi dalam memecahkan masalah
yang luas dan kompleks bagi kelestarian dan kejayaan bangsanya.

5

Konsep Dasar Teori Konstruktivistik
Konstruktivistik merupakan istilah yang sangat besar yang digunakan oleh
berbagai kalangan. Para kalangan tersebut diantaranya filsuf, guru, psikologi
pendidikan, dan pihak-pihak lain (Philips, 2000 dalam Hitipeuw, 2009:86). Dalam
pendidikan, secara umum konstruktivistik adalah satu pandangan belajar yang
menyatakan bahwa pebelajar menggunakan pengalaman-pengalamannya untuk
membangun pemahamannya secara aktif agar masuk akal baginya dan bukannya
memperoleh pemahamannya melalui penyajian informasi dalam bentuk yang
sudah jadi (Eggen & Kauchak, 994 dalam Hitipeuw, 2009:86).
Teori belajar konstruktivistik ini pada dasarnya lahir dari kolaborasi dua
pendekatan aliran psikologi yaitu psikologi perkembangan yang dikembangkan
oleh Piaget dan aliran psikologi sosial yang dikembangkan oleh Vygotsky. Kedua
tokoh ini menekankan bahwa perubahan kognitif ke arah perkembangan terjadi
ketika konsep-konsep yang sebelumnya sudah ada mulai bergeser karena ada
sebuah informasi baru yang diterima melalui proses ketidakseimbangan
(disequilibrium).
Konstruktivistik memandang belajar sebagai proses di mana pembelajar
secara aktif mengkonstruksi atau membangun gagasan-gagasan atau konsep-
konsep baru didasarkan atas pengetahuan yang telah dimiliki di masa lalu atau ada
pada saat itu. Dengan kata lain, belajar melibatkan konstruksi pengetahuan
seseorang dari pengalamannya sendiri oleh dirinya sendiri. Dapat dikatakan
bahwa, belajar menurut konstruktivistik merupakan upaya keras yang sangat
personal, sedangkan internalisasi konsep, hukum, dan prinsip-prinsip umum
sebagai konsekuensinya seharusnya diaplikasikan dalam konteks dunia nyata.
Guru bertindak sebagai fasilitator yang meyakinkan siswa untuk menemukan
sendiri prinsip-prinsip dan mengkonstruksi pengetahuan dengan memecahkan
masalah-masalah yang realistis.
Konstruktivistik (yang merupakan perkembangan kognitif) merupakan
suatu aliran yang didasarkan pada gagasan bahwa proses atau interaksi dari
perkembangan dan pembelajaran melalui konstruksi aktif dari siswa sendiri yang
difasilitasi dan dipromosikan oleh orang dewasa yaitu tidak lain adalah guru yang
ada di sekolah.
6

Teori belajar konstruktivistik pada intinya adalah bahwa pengetahuan yang
didapat oleh siswa tidak diberikan begitu saja secara tidak bermakna, tetapi siswa
sendiri yang secara mandiri membangun atau mengonstruksi pengetahuan tersebut
dari semua informasi yang masuk atau yang ada di lingkuangan belajarnya,
menjadi sebuah informasi yang tersusun secara utuh. Hal ini menunjukkan bahwa
pengetahuan tidak begitu saja dipindahkan melainkan harus dikonstruksikan
sendiri oleh siswa. Menurut Wahyu (2012) Peran guru dalam pembelajaran bukan
pemindah pengetahuan, tetapi hanya sebagai fasilitator yang menyediakan
stimulus baik berupa strategi pembelajaran, bimbingan dan bantuan ketika siswa
kesulitan belajar, sehingga pembelajaran menjadi bermakna dan akhirnya siswat
tersebut mampu mengonstruksi sendiri pengetahuannya.
Konstruktivistik merupakan landasan berpikir (filosofi) pembelajaran
konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit,
yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak secara tiba-tiba.
Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap
untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan
memberi makna melalui pengalaman nyata. Konstruktivistik menekankan bahwa
siswa secara individual harus menemukan dan mentransformasi informasi
kompleks, mengecek informasi yang baru terhadap aturan-aturan informasi yang
lama, dan merevisi aturan-aturan yang lama bila sudah tidak sesuai lagi.
Menurut Santrock (2008) konstruktivistik adalah pendekatan untuk
pembelajaran yang menekankan bahwa individu akan belajar dengan baik apabila
mereka secara aktif mengkonstruksi pengetahuan dan pemahaman. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa teori konstruktivistik secara ideal bahwa pemahaman dalam
proses belajar dilakukan sendiri oleh siswa secara aktif.
Hakikat pembelajaran konstruktivistik menurut Brooks & Brooks (1993)
adalah pengetahuan bersifat non-objektif, bersifat temporer, selalu berubah, dan
tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman
konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar berarti
menata lingkungan agar siswa termotivasi dalam menggali makna. Atas dasar ini,
maka siswa akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan
7

tergantung pada pengalaman dan perspektif yang digunakan dalam
menginterpretasikannya (Dibyo, 2013).
Adapun tujuan dari teori ini adalah sebagai berikut:
a. Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu
sendiri.
b. Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengejukan pertanyaan dan
mencari sendiri pertanyaannya.
c. Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep
secara lengkap.
d. Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
e. Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.

Tokoh-tokoh dalam teori belajar konstruktivistik
1. Jean Piaget
Teori belajar konstruktivistik yang dikembangkan oleh Piaget dikenal
dengan nama konstruktivistik kognitif (personal constructivism). Teorinya berisi
konsep-konsep utama di bidang psikologi perkembangan dan berkenaan dengan
pertumbuhan intelegensi, yang untuk Piaget, berarti kemampuan untuk secara
lebih akurat merepresentasikan dunia, dan dan mengerjakan operasi-operasi logis
dari representasi-representasi konsep realitas dunia (Agustina, 2012). Teori ini
memiliki fokus perhatian pada bangkitnya dan dimilikinya schemata-skema
bagaimana seseorang mengenal dunia-dalam saat "tingkatan-tingkatan
perkembangan", ketika anak-anak menerima cara baru bagaimana secara mental
merepresentasikan informasi.
Teori ini dapat dianggap "konstruktivis", yang berarti bahwa, tidak seperti
teori nativis (yang berpendapat bahwa perkembangan kognitif sebagai
perkembangan dari pengetahuan dan kemampuan bawaan) ataupun teori empiris
(yang berpendapat bahwa perkembangan kognitif sebagai perolehan gradual dari
pengetahuan melalui pengalaman), teori ini berpendapat bahwa kita
mengkonstruksi kemampuan kognitif kita melalui kegiatan motivasi-diri dalam
dunia nyata.
8

Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh
secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan aktif. Dari pandangan
Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada
tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda
berdasarkan kematangan intelektual anak. Pada teori ini konsekuensinya adalah
siswa harus memiliki keterampilan untuk menyesuaikan diri atau adaptasi secara
tepat.
Ada empat konsep dasar yang diperkenalkan oleh Piaget, yaitu:
a) Schemata adalah kumpulan konsep atau kategori yang digunakan individu
ketika beradaptasi dengan lingkungan baru, konsep ini sendiri terbentuk dalam
struktur pekiran (Intellectual Scheme) sehingga dengan intelektualnya itu
manusia dapat menata lingkungan barunya. Dapat dikatakan bahwa skemata
adalah suatu struktur kognitif yang slalu berkembang dan berubah, karena
proses asimiliasi dan proses akomodasi aktif serta dinamis.
b) Asimilasi adalah proses penyesuian informasi yang akan diterima sehingga
menjadi sesuatu yang dikenal oleh siswa, proses penyesuian yang dilakukan
dalam asimilasi adalah mengolah informasi yang akan diterima, sehingga
memilki kesamaan dengan apa yang sudah ada dalam skema.
c) Akomodasi adalah penempatan informasi yang sudah diubah dalam skemata
yang sudah ada, untuk penempatan tersebut skema perlu menyesuaikan diri.
d) Equilibrium (keseimbangan) adalah sebuah proses adaptasi oleh individu
terhadap lingkungan individu, agar berusaha untuk mencapai struktural mental
atau skemata yang stabil atau seimbang antara asimilasi dan akomodasi.
Model konstruktivis Piaget dalam mengajar, hendaknya memperhatikan 8
hal berikut :
1. Siapkanlah benda-benda nyata yang digunakan siswa. Misalnya penggunaan
media yang bersifat riil atau kontekstual sesuai dengan materi.
2. Pilihlah pedekatan yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Yaitu
dengan memperhatikan penggunaan pendekatan sesuai dengan jenjang/kelas
saat mengajar.
3. Perkenalkan kegiatan yang layak dan menarik. Guru dapat menciptakan
pembelajaran yang menyenangkan melalui permainan.
9

4. Tekankan penciptaan pertanyaan-pertanyaan dan massalah-masalah serta
pemecahannya.
5. Anjurkan para siswa untuk saling berinteraksi
6. Hindari istlah-istilah teknis dan berpikir
7. Anjurkan para siswa berpikir dengan cara mereka sendiri
8. Perkenalkan ulang materi dan kegiatan yang sama dalam beberapa tahun.
Implikasi teori Piaget dalam pembelajaran, antara lain:
a) Memusatkan perhatian pada proses berpikir anak, bukan sekedar pada hasil.
b) Menekankan pada pentingnya peranan siswa dalam berinisiatif sendiri dan
keterlibatan secara aktif dalam pembelajaran.
c) Memaklumi adaya perbedaan individual dalam kemajuan perkembangan.

2. Teori Vigosky
Teori belajar Vygotsky menekankan pada sosiokultural dan pembelajaran.
Siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya dipengaruhi oleh lingkungan sosial
disekitarnya. Pengetahuan, sikap, pemikiran, tata nilai yang dimilki siswa akan
berkembang melalui proses interaksi. Konsep penting dalam teori Vygosky yaitu
Zone Of Proximal Development (ZPD) dan Scaffolding. Zone Of Proximal
Development adalah jarak antara perkembangan sesungguhnya dengan tingkat
perkembangan potensial dimana siswa mampu mengkonstruksikan pengetahuan
dibawah bimbingan orang dewasa (guru). Sedangkan Scaffolding merupakan
pemberian kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian
mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih
tanggung jawab yang makin besar setelah dapat melakukannya sendiri.
Kostrukstivisme sosial Vygotsky meyakini bahwa interaksi sosial, unsur
budaya, dan aktivitas yang membentuk pengembangan dan pembelajaran
individu. Vygotsky menekankan bahwa semua mental tingkat tinggi seperti
berpikir dan pemecahan masalah dimediasi dengan alat-alat psikologis seperti
bahasa, lambang dan simbol. Vygotsky dalam penelitiannya membedakan dua
macam konsep yaitu konsep spontan dan konsep ilmiah. Konsep spontan
diperoleh dari pengetahuan sehari-hari, sedangkan konsep ilmiah diperoleh dari
pengetahuan dan pembelajaran yang diperoleh dari sekolah. Konsep ini saling
berhungan antara satu dengan yang lain.
10

Menurut teori Vygotsky untuk dapat menjelaskan bagaimana pengetahuan
dibentuk, maka dirangkum dalam dua penjelasan yang bertahap. Pertama, realitas
dan kebenaran dari dunia luar mengarahkan dan menentukan pengetahuan.
Kedua, faktor eksternal dan internal mengarahkan pembentukan pengetahuan
yang tumbuh melalui interaksi faktor-faktor eksternal (kognitif) dan internal
(lingkungan dan sosial).
Belajar dalam teori Vygotsky berarti terjadi proses perkembangan internal
untuk membentuk pengetahuan barunya dengan bantuan orang lain yang
kompeten, dan hal itu terjadi ketika individu berinteraksi dengan lingkungan
sosialnya. Oleh karena itu, kesiapan individu untuk belajar sangat bergantung
pada stimulus lingkungan yang sesuai serta bentuk bimbingan dari orang lain
yang berkompeten secara tepat, sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna
dan terwujud perkembangan potensinya secara tepat.
Teori Vygotsky juga menekankan pada hakikat sosiokultural dari
pembelajaran yaitu siswa belajar menangani tugas-tugas yang dipelajari melalui
interaksi dengan orang dewasa (guru) dan teman dewasa atau teman sebaya.
Implementasi teori Vygotsky dalam pembelajaran antara lain:
a) Pembelajaran kooperatif antar siswa tertata dengan baik
b) Pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran menerapkan scaffolding yaitu
pemberian sejumlah besar bantuan pada siswa pada awal bantuan
pembelajaran, kemudian siswa mengambil alih tanggung jawab yang semakin
besar setelah ia dapat melakukannya.
c) Memaklumi adanya perbedaan perbedaan individu dalam hal kemajuan dalam
tingkat pemahaman.
Piaget dan Vygotsky merupakan dua tokoh utama konstruktivistik. Kedua
tokoh ini memandang bahwa peningkatan pengetahuan merupakan hasil
konstruksi pembelajaran, bukan sesuatu yang disuapkan dari orang lain. Kedua
tokoh ini juga berpendapat bahwa belajar bukan semata pengaruh dari luar, tetapi
ada juga kekuatan atau potensi dari dalam individu yang belajar.
Meskipun memiliki kesamaan pandangan kedua tokoh ini juga memiliki
perbedaan, yaitu:
For Piaget, modes of thinking in the child developed from
autistic to egocentric to socialized thought. Vygotsky accepted
11

the general stages of development but rejected the underlying
genetically determined sequence. Succinctly stated, Piaget believed
that development precedes learning, Vygotsky believed that
learning precedes development. A second point of defference
between the theorists is on the nature and function of speech. For
Piaget egocentric speech, which the child uses when thinking
aloud give way to social speech in which the child recognizes the
laws of experience and uses speech to communicate. For Vygotsky,
the child mind is in herently social in nature, and egocentric speech
is social in purpose: children learn egocentric speech from other
and use it to communicate with others (Solso, 2004).

Perbedaan lainnya antara lain, 1) Piaget memandang pentahapan kognitif
anak berdasarkan umur yang kaku, semestara Vygotsky menyatakan bahwa dalam
setiap tahapan itu terdapat perbedaan kemampuan anak, 2) Piaget lebih
menekankan pada perkembangan kognitif anak sebagai manusia individu yang
mandiri, sementara Vygotsky mementingkan perkembangan kognitif anak sebagai
makhluk sosial, dan merupakan bagian integral dari masyarakat, dan 3) Piaget
menamai potensi diri anak sebagai skemata, sementara Vygotsky menyebutnya
sebagai Zone of Proximal Development.
Menurut konsep Zone of Proximal Development (ZPD), perkembangan
psikologi bergantung pada kekuatan sosial luar sekaligus pada kekuatan batin
(inner resources). Asumsi konsep dasar ini adalah bahwa perkembangan
psikologis dan pembelajaran tertanam secara sosial, dan untuk memahaminya kita
harus menganalisis masyarakat sekitar dan hubungan-hubungan sosialnya.
Vygotsky menyatakan bahwa anak mampu meniru tindakan yang
melampaui kapasitasnya, namun hanya dalam batas-batas tertentu. Ketika sedang
meniru, anak sanggup melakukan secara lebih baik bila dibimbing oleh orang
dewasa daripada dilakukannya sendiri. Kajian lain menurut (Vygotsky, 1978
dalam wahyu, 2012) mendefinisikan ZPD sebagai jarak antara tingkat
perkembangan aktual anak sebagaimana ditentukan oleh kemampuan
memecahkan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial
sebagaimana ditentukan oleh pemecahan masalah di bawah bimbingan orang
dewasa atau kerjasama dengan sebaya yang mampu. Oleh karena itu ZPD,
merupakan perangkat analitik yang diperlukan untuk merencanakan pembelajaran
12

dan pembelajaran yang berhasil harus menciptakan ZPD yang merangsang
serangkaian proses perkembangan batiniah.
Konsep sentral lain dalam karya Vygotsky adalah pembicaraan batin
(inner speech). Konsep ini muncul dari penjelajahan Vygotsky untuk menemukan
hubungan antara tindakan pikiran yang tidak terlihat dengan bahasa sebagai
fenomena kebudayaan, yang bisa dijelaskan dengan analisis obyektif.

3. Teori Jhon Dewey dan Von Graselfeld
Selain Piaget dan Vygosky tokoh lain teori belajar kontruktivisme adalah
Jhon Dewey dan Von Graselfeld. Dalam hal ini seperti dikemukakan oleh Robert
B. Innes (2004:1) dalam Wahyu, 2012 menjelaskan bahwa Constructivist views
of learning include a range of theories that share the general perspective that
knowledge is constructed by learners rather than transmitted to learners. Most of
these theories trace their philosophical roots to John Dewey. Maksudnya adalah
bahwa pandangan penganut konstruktivistik mengenai belajar meliputi
serangkaian teori yang membagi perespektif umum bahwa pengetahuan
dikonstruksi oleh siswa bukan ditransfer ke siswa. Kebanyakan dari teori seperti
ini berakar dari filsafat Jhon Dewey. Dewey menjelaskan bahwa manusia tidak
selayaknya dibagi ke dalam dua bagian, satunya emotional dan yang lainnya
intelektual yang satunya materi nyata, lainnya imajinatif.

Ragam Teori Konstruktivistik
Terdapat dua ragam dalam teori konstruktivistik yang biasanya disebut
sebagai konstruktivistik kognitif dan konstruktivistik sosial. Pengertian belajar
menurut konstruktivistik kognitif adalah proses perubahan dalam struktur kognitif
seorang individu sebagai hasil konstruksi pengetahuan yang bersifat individual
dan internal.
Berbeda dengan konstruktivistik kognitif dimana anak cenderung lebih
bebas mengkonstruk sendiri pengetahuannya dan peran guru yang akhirnya kabur
dan tidak jelas sebagai pengajar. Sebaliknya, konstruktivistik sosial yang
dipelopori Vygotsky mengedepankan pengkonstruksian pengetahuan dalam
konteks sosial sehingga peran guru menjadi jelas dalam membantu anak mencapai
kemandirian. Dari Piaget ke Vygotsky ada pergeseran konseptual dari individual
13

ke kolaborasi, interaksi sosial, dan aktivitas sosiakultural. Pengertian belajar
menurut konstruktivistik sosial adalah proses perubahan perilaku yang terjadi
sebagai akibat munculnya pemahaman baru yang dibangun dalam konteks sosial
sebelum menjadi bagian pribadi individu.
Menurut Santrock (2008) salah satu asumsi penting dari konstruktivistik
sosial adalah situated cognition yaitu ide bahwa pemikiran selalu ditempatkan
(disituasikan) dalam konteks sosial dan fisik, bukan dalam pikiran seseorang.
Konsep situated cognition menyatakan bahwa pengetahuan dilekatkan dan
dihubungkan pada konteks di mana pengetahuan tersebut dikembangkan. Jadi
idealnya, situasi pembelajaran diciptakan semirip mungkin dengan situasi dunia
nyata. Adapun perbedaan secara garis besar antara konstruktivistik kognitif dan
konstruktivistik sosial sebagai berikut:

Tabel 1: Perbedaan konstruktivistik kognitif dan konstruktivistik sosial
Aspek Konstruktivistik Kognitif Konstruktivistik Sosial
Pengetahuan Dibangun secara individual dan internal. Sistem
pengetahuan secara aktif dibangun oleh
pebelajar berdasarkan struktur yang sudah ada
Dibangun dalam konteks
sosial sebelum menjadi
bagian pribadi individu
Pandangan
terhadap
interaksi
Menimbulkan disequilibration yang mendorong
individu mengadaptasi skema-skema yang ada
Meningkatkan
pemahaman yang telah
ada sebelumnya dari
hasil interaksi
Belajar Proses asimilasi dan akomodasi aktif
pengetahuan-pengetahuan baru ke dalam
struktur kognitif yang sudah ada
Integrasi siswa ke dalam
komunitas pengetahuan.
Kolaborasi informasi
baru untuk meningkatkan
pemahaman
Strategi belajar Experience based & discovery oriented Sharing & Cooperative
learning
Peran guru Minimal & lebih membiarkan siswa
menemukan sendiri ide sehingga posisi guru
sebagai pengajar menjadi kabur
Penting dalam membantu
(scaffolding) siswa
mencapai kemandirian
melalui interaksi sosial.
Sumber: diadobsi dari (Dibyo, 2013)

Prinsip-Prinsip Belajar Menurut Teori Konstruktivistik
Berkaitan dengan teori konstruktivistik dalam, Vygotsky mengemukakan
empat prinsip seperti yang dikutip oleh (Slavin, 2000:256 dalam Wahyu, 2012)
yaitu:

14

a) Pembelajaran Sosial (social leaning).
Pendekatan pembelajaran yang dipandang sesuai adalah pembelajaran
kooperatif. Vygotsky menyatakan bahwa siswa belajar melalui interaksi bersama
dengan orang dewasa atau teman yang lebih cakap.
b) ZPD (Zone of Proximal Development)
Bahwa siswa akan dapat mempelajari konsep-konsep dengan baik jika
berada dalam ZPD (zona perkembangan maksimal). Siswa bekerja dalam ZPD
jika siswa tidak dapat memecahkan masalah sendiri, tetapi dapat memecahkan
masalah itu setelah mendapat bantuan orang dewasa atau temannya. Bantuan atau
support dimaksud agar si anak mampu untuk mengerjakan tugas-tugas atau soal-
soal yang lebih tinggi tingkat kerumitannya dari pada tingkat perkembangan
kognitif si anak.
c) Masa Magang Kognitif (Cognitif Apprenticeship)
Suatu proses yang menjadikan siswa sedikit demi sedikit memperoleh
kecakapan intelektual melalui interaksi dengan orang yang lebih ahli, orang
dewasa, atau teman yang lebih pandai.
d) Pembelajaran Termediasi (mediated learning)
Pada prinsip ini Vygostky menekankan pada scaffolding yaitu siswa diberi
masalah yang kompleks, sulit, dan realistik, dan kemudian diberi bantuan
secukupnya dalam memecahkan masalah siswa.

Kelemahan dan Kelebihan Dari Teori Belajar Konstruktivistik
a) Kelebihan
Dalam proses membina pengetahuan baru, siswa berpikir untuk dapat
menyelesaikan masalah, mengembangkan ide dan membuat keputusan.
Siswa terlibat secara langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka menjadi
lebih paham dan dapat mengapliksikannya dalam setiap situasi di lingkungan.
Oleh kerana siswa terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih
lama terhadap semua konsep. Melalui pendekatan ini siswa akan membina sendiri
kepahaman mereka. Justru mereka lebih yakin dalam menghadapi dan
menyelesaikan masalah dalam setiap situasi baru. Oleh kerena mereka terlibat
secara terus, mereka paham, ingat, yakin dan berinteraksi dengan sehat.
Teori belajar konstuktivisme memiliki beberapa kelebihan atau keunggulan yaitu:
15

Dalam aspek berpikir yakni pada proses membina pengetahuan baru, siswa
berpikir untuk menyelesaikan masalah, menggali ide dan membuat keputusan.
Dalam aspek kepahaman seorang siswa terlibat secara langsung dalam mebina
pengetahuan baru, mereka akan lebih paham dan mampu mengaplikasikannya
dalam semua situasi.
Dalam aspek mengingat yakni siswa terlibat secara langsung dengan aktif,
mereka akan mengingat lebih lama tentang konsep. Melalui pendekatan ini
siswa dapat meningkatkan kepahaman mereka.
Dalam aspek kemahiran sosial yakni kemahiran sosial diperoleh apabila
seorang siswa berinteraksi dengan teman, kelompok kerja maupun dengan guru
dalam proses mendapatkan ilmu pengetahuan maupun wawasan baru.
Pembelajaran konstruktivistik memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan menggunakan bahasa siswa
sendiri.
Pembelajaran konstruktivistik memberi pengalaman yang berhubungan dengan
gagasan yang telah dimiliki siswa sehingga siswa terdorong untuk
membedakan dan memadukan gagasan tentang fenomena yang menantang
siswa.
Pembelajaran konstruktivistik memberi siswa kesempatan untuk berpikir
tentang pengalamannya. Ini dapat mendorong siswa berpikir kreatif, imajinatif,
mendorong refleksi tentang model dan teori, mengenalkan gagasan-gagasan
pada saat yang tepat.
Pembelajaran konstruktivistik memberi kesempatan kepada siswa untuk
mencoba gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan
diri dengan menggunakan berbagai konteks.
Pembelajaran konstruktivistik mendorong siswa untuk memikirkan perubahan
gagasan merka setelah menyadari kemajuan mereka serta memberi kesempatan
siswa untuk mengidentifikasi perubahan gagasan mereka.
Pembelajaran konstruktivistik memberikan lingkungan belajar yang kondusif
yang mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan
menghindari kesan selalu ada satu jawaban yang benar.

16

b) Kelemahan
Teori belajar konstuktivisme memiliki kekurangan atau kelemahan yakni:
Siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil
konstruksi siswa tidak cocok dengan hasil konstruksi sesuai dengan kaidah
ilmu pengetahuan sehingga menyebabkan miskonsepsi.
Konstruktivistik menanamkan agar siswa membangun pengetahuannya sendiri,
hal ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan
penanganan yang berbeda-beda.
Situasi dan kondisi tiap sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah
memiliki sarana prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreatifitas
siswa.
Meskipun guru hanya menjadi pemotivasi dan memediasi jalannya proses
belajar, tetapi guru disamping memiliki kompetensi dibidang itu harus
memiliki perilaku yang elegan sebagai spirit bagi anak sehingga dibutuhkan
pengajaran yang sesungguhnya mengapresiasi nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam proses belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik itu sepertinya
kurang begitu mendukung, siswa berbeda persepsi satu dengan yang lainnya.
Proses belajar kontruktivistik secara konseptual adalah proses belajar yang
bukan merupakan perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar
kedalam diri siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan
akomodasi yang bermuara pada pemuktahiran struktur kognitifnya. Kegiatan
belajar lebih dipandang dari segi prosesnya dari pada segi perolehan
pengetahuan dari pada fakta-fakta yang terlepas-lepas.

Proses Belajar Menurut Teori Konstruktivistik
Proses belajar konstruktivistik dipandang sebagai pemberian makna oleh
siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan skomodasi yang
bermuara pada pemutakhiran struktur kognitifnya (Budiningsih, 2005:58).
Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi prosesnya daripada segi perolehan
pengetahuan dari fakta-fakta yang terlepas-lepas. Pemberian makna terhadap
objek dan pengalaman oleh individu tersebut tidak dilakukan sendiri-sendiri oleh
siswa, melainkan melalui interaksi dalam kehidupan sosial yang beragam dan
17

unik. Interaksi sosial tersebut bisa terjadi di dalam kelas atau di luar kelas. Dapat
dikatakan bahwa dalam mengkonstruk pengetahuan siswa, hendaknya
mengutamakan pada pengelolaan proses informasi daripada hasil belajarnya,
seperti ijasah, penghargaan bahkan nilai.
Adapun aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam proses belajar
menurut teori konstruktivistik adalah:
a. Peranan siswa
Menurut pandangan konstruktivistik, belajar merupakan suatu proses
pembentukan pengetahuan (Budiningsih, 2005:58). Siswa dipandang memiliki
kemampuan atau pengetahuan awal tersebut menjadi dasar dalam
mengkonstruki pengetahuan yang baru. Pembentukan pengetahuan aktif
dilakukan oleh siswa itu sendiri. siswa sudah memiliki kemampuan awal
sebelum mempelajari sesuatu. Siswa aktif dalam menggali beragam informasi,
melakukan kegiatan, aktif dalam berpikir, menyusun konsep dan memaknai
konsep tersebut sesuai dengan arahan dan bimbingan dari guru.
b. Peranan guru
Dalam belajar konstruktivistik, peran guru adalah membantu dan membimbing
siswa agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa berjalan dengan
lancar atau sesuai tujuan. Ada yang perlu ditekankan bahwa guru tidak
menstransfer pengetahuan yang dimilikinya ke siswa, melainkan membantu
siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri.
Menurut Budiningsih (2005:59) peranan kunci guru dalam interaksi
pendidikan adalah pengendalian yang meliputi: (1) menumbuhkan kemandirian
dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan bertindak, (2)
menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siswa, dan (3) menyediakan sistem
dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang
optimal untuk berlatih.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa peran pokok guru
dalam interaksi pendidikan haruslah dapat menumbuhkan kemandirian,
kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dan menyediakan sistem
dukungan yang memberikan kemudahan belajar bagi siswa.
18

c. Sarana belajar
Pandangan teori konstruktivistik menekankan bahwa sarana belajar juga
memiliki peranan yang besar dalam membantu siswa untuk mengkonstruk
pengetahuannya. Sarana belajar tersebut dapat berupa media, peralatan,
lingkungan sekitar, dan bahan-bahan lainnya yang dapat menunjang
pelaksanaan pembelajaran.
d. Evaluasi belajar
Berbagai bentuk evaluasi belajar yang dapat dilakukan adalah dengan
mengarahkan pada tugas-tugas autentik, mengkonstruki pengetahuan yang
menggambarkan proses berpikir yang lebih tinggi seperti tingkat penemuan
pada taksonomi Merrill, atau strategi kognitif dari Gagne, serta sintesis pada
taksonomi bloom (Budiningsih, 2005:61).

Implementasi Teori Belajar Konstruktivistik dalam Pembelajaran IPA Kelas
5 SD
a. Tahapan Konstruktivistik dalam pembelajaran IPA
Dalam paradigma absolutisme, siswa dianggap tidak memiliki
pengetahuan apa pun ketika berada di awal proses pembelajaran. Ibarat sebuah
botol kosong. Sebaliknya, dalam paradigma konstruktivistik, siswa diakui telah
memiliki pengetahuan. Pengetahuan yang dimiliki sebelum mengikuti proses
kegiatan pembelajaran yang sesungguhnya sering diberi label pengetahun awal
siswa. Pengetahuan awal ini diperolehnya dari sumber-sumber belajar yang
tersedia di luar lingkungan sekolah atau dari pembelajaran sebelumnya.
Konsepsi yang dibangun siswa sebelum mengikuti pembelajaran dapat
dikatakan sebagai pengetahuan awal para siswa tentang fenomena atau kejadian
yang akan dipelajari. Pengetahuan yang telah dimiliki siswa mengarahkan
perhatiannya pada satu atau dua hal tertentu dari seluruh materi yang sedang
dipelajari. Hal ini dapat dikatakan bahwa, pengetahuan siswa ini menjadi
semacam penyaring tentang hal-hal yang harus dipelajari.
Demikian juga, proses mengajar dalam paradigma konstruktivistik, siswa,
seperti anak yang sedang belajar menaikkan layang-layang, aktif mencari
pengetahuan (IPA) didampingi guru sebagai fasilitator yang juga aktif. Mereka
19

secara bersama-sama terlibat aktif dalam dialog mencari kebenaran IPA.
Mengajar berarti memberdayakan, mengajar untuk belajar.
Walaupun penerapan tradisi konstruktivis itu berbeda-beda, namun ada hal-hal
yang sama.
Ishii (2003) menawarkan five guiding principles of constructivism yang
dapat diterapkan di kelas.
a) Posing problems of emerging relevance to students
Dengan fokus pada minat siswa dan pengetahuan awal sebagai titik awal, siswa
menjadi mudah terlibat dan termotivasi untuk belajar. Pertanyaan-pertanyan
yang relevan diberikan kepada siswa untuk mendorong mereka berpikir dan
mempertanyakan apa yang dipikirkan itu.
b) Structuring learning around primary concepts
Ini merujuk pada perancangan pelajaran di sekeliling ide atau konsep utama,
daripada menyajikan berbagai topik yang terpisah-pisah satu dengan yang
lainnya. Menggunakan konsep yang lebar memungkinkn siswa terlibat dari
berbagai perspektif dan kemampuannya.
c) Seeking and valuing students' points of view
Prinsip ini memberi kesempatan mengakses penalaran siswa dan proses
berpikirnya. Dengan cara itu, guru dapat menyusup lebih dalam agar belajar
menjadi lebih bearti bagi siswa. Tentu saja Anda sebagai guru harus siap
menjadi pendengar yang baik terlebih dahulu.
d) Adapting curriculum to address students suppositions
Adapatasi kurikulum untuk menghargai gagasan siswa merupakan fungsi dari
kebutuhan kognitif pada tugas-tugas spesifik dan hakikat pertanyaan siswa
yang terlibat pada tugas tersebut.
e) Assessing student learning in the context of teaching
Dalam pengajaran tradisional, konteks belajar sering tidak berhubungan
dengan assessment (penilaian). Assessmentyang autentik mestinya dapat
dicapai melalui pengajaran, interaksi antara guru dan siswa siswa dengan
siswa, serta pengamatan tentang tugas-tugas yang dilaksanakan siswa.
Ciri pembelajaran yang bersifat konstruktif ini dapat dibedakan dengan
pembelajaran yang bersifat tradisional dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1) lebih
20

memahami dan merespon minat, kekuatan, pengalaman dan keperluan siswa
secara individual; (2) senantiasa menyeleksi dan mengadaptasi kurikulum; (3)
berfokus pada pemahaman siswa dan menggunakan pengetahuan sains, ide, serta
proses inkuiri; (4) membimbing siswa dalam mengembangkan saintifik inkuiri;
(5) menyediakan kesempatan bagi siswa untuk berdiskusi dan berdebat dengan
siswa lain; (6) secara berkesinambungan melakukan asesmen terhadap
pemahaman siswa; (7) memberikan bimbingan pada siswa untuk berbagi
tanggung jawab dengan siswa lain; dan (8) mensuport pembelajaran kooperatif
(cooperative learning), mendorong siswa untuk bekerja sama dengan guru lain
dalam mengembangkan proses inkuiri.
Adapun implementasi pendekatan pembelajaran konstruktivistik yang
bertujuan meningkatkan pemahaman, aktivitas, dan hasil belajar menurut Karli
dan Yuliariatiningsih (2003:5) antara lain meliputi 4 tahapan yaitu sebagai
berikut: (1) tahap apersepsi/mengungkapkan konsepsi awal, (2) tahap eksplorasi,
(3) tahap diskusi dan penjelasan konsep, dan (4) tahap pengembangan dan aplikasi
konsep.
Secara rinci tahapan kegiatan pembelajaran tersebut adalah sebagai
berikut:
1) Tahap pertama, yaitu dengan mengaitkan pengetahuan awal siswa dengan
mengajukan pertanyaan. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan masalah-
masalah yang sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan
dengan konsep yang akan dipelajari.
2) Tahap kedua, siswa diberi kesempatan untuk menyelidiki dan menemukan
konsep melalui pengumpulan, pengorganisasian, dan penginterpretasian data
dalam suatu kegiatan yang dirancang oleh guru. Pada pelaksanaannya siswa
berkelompok untuk berdiskusi, baik dalam diskusi kelompok itu sendiri
maupun antarkelompok memecahkan masalah yang disajikan oleh guru. Secara
keseluruhan tahap ini akan memenuhi rasa keingintahuan siswa.
3) Tahap ketiga, siswa berperan secara aktif dalam menginterpretasikan dan
memahami konsep yang baru dalam diskusi kelas, pada saat siswa memberikan
penjelasan dan solusi yang didasarkan pada hasil observasinya ditambah
21

dengan penguatan guru maka siswa membangun pemahaman baru tentang
konsep yang dipelajari.
4) Tahap keempat, memberi dorongan kepada siswa untuk mengaplikasikan atau
menerapkan konsep yang dipelajarinya dalam berbagai aspek
kegiatan/kehidupan sehari-hari di lingkungannya.Guru menciptakan iklim
pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat mengaplikasikan pemahaman
konseptual, melalui kegiatan atau pemunculan dan pemecahan masalah-
masalah yang berkaitan dengan lingkungan sekitarnya.
Dalam pembelajaran agar dapat melaksanakan keempat tahapan tersebut
dilakukan dengan menggunakan metode discovery dalam kerja kelompok. Hal ini
sesuai dengan pendapat Undang dan Komara, (1996:21), bahwa penggunaan kerja
kelompok dalam belajar mengajar bertujuan agar para peserta didik mampu
bekerja sama dengan teman yang lain dalam mencapai tujuan bersama.

b. Pembelajaran konsep perubahan benda dengan pendekatan pembelajaran
konstruktivistik
Materi pembelajaran perubahan benda di kelas V Sekolah Dasar
merupakan bagian dari ruang lingkup perubahan sifat benda baik sementara
maupun tetap yang terdapat dalam kurikulum KTSP 2006 IPA SD. Berdasarkan
hal tersebut, maka pembelajaran perubahan benda di kelas V Sekolah Dasar
direncanakan sesuai dengan tuntutan pembelajaran IPA di SD yaitu pengenalan
masalah yang sesuai dengan situasi, meningkatkan keefektifan dalam
pembelajaran, dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi masa kini.
Dalam pembelajaran konsep perubahan benda di kelas V Sekolah Dasar
dengan menggunakan pendekatan konstruktivis dapat dipaparkan dalam
penjelasan berikut:
1) Tahap Apersepsi
Pada tahap ini, siswa diberi kesempatan untuk mengungkapkan
pengetahuan awalnya, mengembangkan pengetahuan baru, serta menjelaskan
fenomena yang mereka alami sesuai dengan konsep yang akan dipelajari yaitu
pembelajaran konsep perubahan benda. Siswa mengemukakan pengalaman
konkretnya misalnya, buah membusuk, nasi menjadi basi, pembuatan tape, dan
kayu menjadi lapuk, dsb.
22

2) Tahap Eksplorasi
Dalam tahap eksplorasi, hal ini dapat dilakukan dengan menghubungkan
antara pengetahuan awal siswa dengan materi yang baru dengan memberi
kesempatan kepada siswa untuk menyelidiki dan menemukan konsep melalui
pengumpulan, pengorganisasian, dan penginterpretasian data dalam suatu
kegiatan yang dirancang oleh guru. Pada tahap ini peran guru sedikit lebih
dominan dimana guru membantu siswa dalam mengidentifikasi konsep dari
pengalaman siswa. Untuk menemukan sendiri konsep yang dipelajarinya maka
dipandu dengan Lembar Kerja Siswa (LKS) yang dapat membantu pemahaman
siswa secara konseptual maupun prosedural.
Strategi pembelajaran yang digunakan adalah bertanya, diskusi kelompok,
inquiry, dan penggunaan media yang dirancang untuk memperdalam pemahaman
siswa dan juga untuk guru itu sendiri. Dalam kerja kelompok dengan
menggunakan metode discovery, dibentuk kelompok dengan anggota antara 4-5
orang, hal ini sesuai dengan pendapat Lie (2005:47) bahwa, jumlah anggota
dalam satu kelompok bervariasi mulai dari 2 sampai 5, menurut kesukaan guru
dan kepentingan tugas. Anggota kelompok dibuat secara heterogen berdasarkan
beberapa alasan. Menurut Lie (2005:45), yaitu: (a) kelompok heterogen
memberikan kesempatan untuk saling mengajar (peer tutoring) dan saling
mendukung,(b) kelompok ini meningkatkan relasi dan interaksi antar ras, agama,
etnik, dan gender; dan (c) kelompok heterogen memudahkan pengelolaan kelas
karena dengan adanya satu orang yang berkemampuan akademis tinggi, guru
mendapatkan satu asisten untuk setiap tiga orang.
3) Tahap Diskusi dan Penjelasan Konsep
Pada tahap ini, siswa berperan secara aktif dalam menginterpretasikan dan
memahami konsep yang baru dalam diskusi kelas, pada saat siswa memberikan
penjelasan dan solusi yang didasarkan pada hasil observasinya ditambah dengan
penguatan guru, maka siswa membangun pemahaman baru tentang konsep yang
dipelajari. Pada bagian ini guru membimbing dan memfasilitasi siswa agar dapat
membangun suatu konsep tentang perubahan benda baik yang bersifat
sementara/tetap dan membantu pemahaman serta pengkomunikasian pengalaman
kongkrit siswa.
23

4) Tahap Pengembangan dan Aplikasi Konsep
Guru membantu siswa untuk dapat menginterpretasikan dan
menggeneralisasikan hasil dari pengalaman konkretnya serta hasil analisis
bersama guru. Pada tahap ini siswa mencoba memecahkan masalah-masalah baru
yang masih berhubungan dengan perubahan pada benda. Misalnya, faktor-faktor
penyebab, macam-macam perubahan benda, dsb. Siswa juga mencoba untuk
memperlakukan benda-benda (manipulatif material) misalnya melakukan
percobaan atau mendemonstrasikan di depan kelas.
Pembelajaran IPA sangat ditunjang terutama dalam proses pelaksanaan
pembelajarannya. Hal ini dikarenakan bahwa, sangat penting bagi para siswa
dengan adanya model pembelajaran yang tepat maka hasil belajar siswa akan
sangatlah baik. Semua belajar tergantung pada pengalaman, baik pengalaman
langsung maupun tidak langsung, disinilah pembelajaran konstruktivis sangat
cocok digunakan sebagai model belajar IPA.
Dalam pembelajaran IPA khususnya pembelajaran konsep perubahan
benda, siswa akan belajar melalui pendekatan pembelajaran konstruktivis.
Diantaranya dengan menggali materi, menemukan permasalahan, berdiskusi
kelompok, memperagakan model secara langsung dalam konsep sifat dan
perubahan wujud benda. Setelah pembelajaran berakhir, guru dapat memberikan
refleksi, konfirmasi, dan evaluasi terhadap hasil belajar siswa.
24

PENUTUP


Kesimpulan
Berdasarkan hasil paparan pembahasan materi, maka dapat disimpulkan
bahwa: Tujuan dari pembelajaran melalui pendekatan teori belajar konstruktivistik
ini adalah menghasilkan manusia-manusia yang memiliki kepekaan (ketajaman
baik dalam arti kemampuan berpikirnya), kemandirian (kemampuan menilai
proses dan hasil berpikir sendiri), tanggung jawab terhadap resiko dalam
mengambil keputusan, mengembangkan segenap aspek potensi melalui proses
belajar yang terus menerus untuk menemukan diri sendiri. Tokoh-tokoh dalam
teori belajar konstruktivistik diantaranya adalah Jean Piaget, Vygotsky, dan Jhon
Dewey dan Von Graselfeld. Implementasi pendekatan pembelajaran
konstruktivistik antara lain meliputi 4 tahapan yaitu sebagai berikut: (1) tahap
apersepsi/mengungkapkan konsepsi awal, (2) tahap eksplorasi, (3) tahap diskusi
dan penjelasan konsep, dan (4) tahap pengembangan dan aplikasi konsep.

Saran
Guru hendaknya dapat menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif
sesuai dengan karakteristik siswa, materi, metode dan strategi pembelajaran agar
pembelajaran menjadi bermakna. Dalam pendekatan konstruktivistik, guru
dituntut untuk kreatif, dan inovatif dalam mengemas pembelajaran. Peran guru
dalam pembelajaran kontekstual dengan pendekatan konstruktivistik diharapkan
dapat menjadikan siswa lebih paham tentang suatu konsep materi, karena siswa
sendiri secara aktif yang membangun pemahamannya. Untuk itu guru perlu
meningkatkan fungsi kredibilitasnya tidak hanya sebagai pendidik, tetapi juga
sebagai mediator, fasilitator dan pembimbing yang baik.

24
25


DAFTAR RUJUKAN


Agustina, Ridha. 2012. Memilih dan Memilah Prinsip Pembelajaran IPA SD yang
Berprinsip pada Pendekatan Konstruktivistik, (online),
(http://ridhaagustinapgsdipab.blogspot.com/2012/10/memilih-dan-
memilah-prinsip.html), diakses 23 November 2013.

Brooks, Jacqueline Grennon and Brooks, Martin G. 1993. The case for
constructivist classrooms. Alexandria, VA: ASCD, pdf (online).

Budiningsih, C Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Rineka Cipta.

Dibyo Wiyono, Bambang. 2013. Teori Belajar dan Pembelajaran Konstruktivistik
dan Implikasinya dalam Setting Bimbingan Konseling, (online),
(http://bambangdibyo.wordpress.com/2013/03/16/teori-belajar-dan-
pembelajaran-konstruktivistik-dan-implikasinya-dalam-setting-bimbingan-
konseling/), diakses 10 September 2013.

Hitipeuw, Imanuel. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Malang: Universitas Negeri
Malang.

Ishii, Drew K. 2003. Learning in Science and Mathematics ERIC Clearinghouse
for Science Mathematics and Environmental Education ERIC Identifier:
ED482722, pdf (online)

Karli, H., dan Yuliariatiningsih, S.M. 2003. Implementasi KBK (edisi2). Bandung:
Bina Media Informasi.

Lie, A. 2005. Cooperative Learning. Jakarta: Grasindo.
Santrock, J. W. 2008. Psikologi Pendidikan Edisi Kedua (terjemahan). Jakarta:
Kencana.

Slavin, Robert E. 1997. Educational Psychology-Theory and Practice. Fourth
Edition. Boston: Allyn and Bacon.

Solso, Robert L. 2004. Cognitive Psychology. New York: Pearson Educational.

Undang, G., Komara, C., dan Suhendar D. 1996. Peningkatan Mutu Proses
Belajar Mengajar Sekolah Dasar. Bandung: Siger Tengah.


25
26

Wahyu. 2012. Teori Belajar Menurut Konstruktivistik dan Landasan Filosofinya,
(online), (http://wahyushine.blogspot.com/2012/06/v-
behaviorurldefaultvmlo.html), diakses 23 November 2013.

Anda mungkin juga menyukai