Para pengamat politik nampaknya sepakat bahwa dalam pemilu 2014 ini, partai Isla m akan memperoleh suara yang semakin rendah. Mereka umumnya mengatakan bahwa pem ilih Islam akan mengalihkan pilihannya ke partai sekuler. Berbagai alasan dijela skan mengapa terjadi pengalihan pilihan ini, di antaranya: partai Islam tidak me mpunyai figur pemimpin yang populer; kinerja dan kapabilitas mereka tidak menonj ol; integritasnya kini diragukan; mereka terlalu islami; dan telah berakhirnya p olitik aliran (Nasihin Masha, Menimbang Relevansi Simbolisme Partai Islam, repub lika.co.id, Jumat, 28 Maret 2014). Terdorong keingintahuan kemana suara pemilih partai Islam, saya dengan menggunak an spreadsheet membuat simulasi kecil. Simulasi ini bertujuan untuk memprediksi kemana pemilih partai Islam pada 2004 mengalihkan suaranya pada 2009 dan berapa besarnya. Untuk simulasi ini, data yang digunakan adalah sebagai berikut: untuk pemilu 2004, DPT sebanyak 147jt, partai Islam mendapat 38% (55,86jt), partai sek uler mendapat 39% (57,33jt), golput sebesar 23% (33,81jt); untuk pemilu 2009, DP T sebanyak 171jt, partai Islam mendapat 29% (49,59jt), partai sekuler mendapat 4 2% (71,82jt), golput sebesar 29% (49,59jt), pemilih pemula 36jt dengan distribus i diasumsikan 35% untuk partai Islam, 40% untuk partai sekuler, dan 25% untuk go lput; jumlah kematian selama 2004-2009 diasumsikan proposional dengan perolehan suara pada 2004. Hasilnya sangat mengejutkan, 14,31jt (25,6%) pemilih partai Islam pada 2004 meng alihkan pilihannya pada 2009 dengan proporsi sepertiga (4,77jt) ke partai sekule r dan duapertiga (9,54jt) menjadi golput. Untuk membuat masuk akal (to make sense) hasil ini, saya coba cari penjelasannya . Penjelasan yang dapat diterima mengapa begitu besar, seperempat, pemilih parta i Islam pada 2004 mengalihkan pilihannya pada 2009 adalah: partai Islam tidak me miliki figur pemimpin, sedangkan partai sekuler pada saat itu memiliki SBY yang sangat populer; partai Islam tidak menunjukkan kinerja dan kapabilitas yang meno njol, bahkan sebagian orang menilainya lebih inferior dari partai sekuler; parta i Islam meski pada saat itu belum ada kasus-kasus besar yang mendiskreditkan int egritas partai atau pemimpinnya, tetapi keyakinan masyarakat terhadap integritas nya belum terlalu tinggi. Penjelasan yang menarik adalah penjelasan yang mengata kan bahwa partai Islam ditinggalkan pemilihnya karena mereka terlalu islami. Pen jelasan terakhir ini sulit untuk diterima. Oleh karena itu, saya perlu mencari p enjelasan yang lebih masuk akal (plausible). Ketika browsing internet, saya secara kebetulan masuk ke blog Drs. H. Mahfudz Si ddiq, M.Si, Anggota DPR-RI dari FPKS Dapil Kota/kab Cirebon-Indramayu, Jawa Bara t. Di sana, ada kliping berita dari INILAH.COM, 13/12/2008, dengan judul "PKS He ran MUI Ogah Fatwa Golput Haram". Saya langsung teringat bahwa tak lama setelah itu, 29/1/2009, pada Ijtima' Ulama di Padangpanjang, Sumatra Barat, MUI mengelua rkan fatwa "golput haram". Berdasarkan ini, saya simpulkan bahwa partai-partai I slam pada saat itu telah menyadari bahwa ada sebagian, dengan jumlah yang cukup besar, dari pemilih partai Islam pada 2004 akan menjadi golput pada 2009. Hanya saja, apa yang mendorong mereka untuk menjadi golput? Pada Agustus 2007, Hizbut Tahrir berhasil menyelenggarakan konferensi khilafah. Media massa dalam dan luar negeri ramai meliput peristiwa ini. Gelora Bung Karno , Jakarta, dengan kapasitas untuk 100.000 orang, sesak dipenuhi para peserta. Pa ra peserta ini sebagian besar bukan anggota Hizbut Tahrir, mereka adalah para ul ama, utusan-utusan dari pesantren, ormas Islam, gerakan dawah, majelis ta'lim, d km, dan masyarakat umum. Ini menunjukkan keberhasilan Hizbut Tahrir menjalin kom unikasi dengan komponen umat Islam di Indonesia. Satu di antara konsep-konsep ut ama yang Hizbut Tahrir komunikasikan yang mungkin menjadi dasar bagi sebagian pe milih Islam untuk menjadi golput adalah apa yang tertuang dalam bukunya "Demokra si Sistem Kufur: Haram Mengambilnya, Menerapkannya, dan Mempropagandakannya". Sk enario ini lebih plausible, dan mungkin sejalan dengan apa yang dimaksud oleh Pr of Ikrar Nusa Bhakti, pakar politik dari LIPI, ketika mengatakan "Peta politik p artai Islam, sekarang tidak lagi atas dasar muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU ). Namun, yang ada sekarang Hizbut Tahrir". (Pemilih Islam Bakal Nyebrang ke Par tai Nasionalis, okezone.com, Kamis, 20 Maret 2014) Jadi, partai Islam ditinggalkan pemilihnya, bukan karena mereka terlalu islami, justru karena mereka dinilai tidak atau kurang ideologis. Partai Islam tidak mam pu menunjukkan sistem Islam sebagai solusi ideologis atas permasalahan yang seda ng dihadapi masyarakat. Jika demikian halnya, apakah kemudian dapat dikatakan bahwa fenomena golput di I ndonesia menunjukkan tumbuhnya ideologi Islam di tengah masyarakat?