Luka bakar atau combustio merupakan cedera yang cukup sering
dihadapi para dokter. Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi. Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi. Biaya yang dibutuhkan untuk penanganannya pun tinggi. Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering dihadapi para dokter. Luka bakar berat dapat menyebabkan morbiditas dan derajat cacat yang relatif tinggi dibandingkan dengan cedera oleh sebab lain. Biaya yang dibutuhkan untuk penanganannya pun tinggi. Di Amerika Serikat, kurang lebih 250.000 orang mengalami luka bakar membutuhkan tindakan emergensi, dan sekitar 210 penderita luka bakar meninggal dunia. Di Indonesia, belum ada angka pasti mengenai luka bakar, tetapi dengan bertambahnya jumlah penduduk serta industri, angka luka bakar tersebut makin meningkat.
Hal ini disebabkan karena pada luka bakar terdapat keadaan sebagai berikut : 1. terdapat kuman dengan patogenitas tinggi 2. terdapat banyak jaringan mati 3. mengeluarkan banyak air, serum dan darah 4. terbuka untuk waktu yang lama (mudah terinfeksi dan terkena trauma) 5. memerlukan jaringan untuk menutup Luka bakar yang lebih luas dan dalam memerlukan perawatan lebih intensif dibandingkan luka bakar yang hanya sedikit dan superfisial. Luka bakar menyebabkan hilangnya integritas kulit dan juga menimbukan efek sistemik yang sangat kompleks. Luka bakar biasanya dinyatakan dengan derajat yang ditentukan oleh kedalaman luka bakar. Beratnya luka bergantung pada dalam, luas, dan letak luka. Selain beratnya luka bakar, umur dan keadaan kesehatan penderita sebelumnya merupakan faktor yang sangat mempengaruhi prognosis. Di Indonesia, luka bakar masih merupakan problem yang berat. Perawatan dan rehabilitasinya masih sukar dan memerlukan ketekunan, biaya mahal, tenaga terlatih dan terampil. Oleh karena itu, penanganan luka bakar lebih tepat dikelola oleh suatu tim trauma yang terdiri dari spesialis bedah (bedah anak, bedah plastik, bedah thoraks, bedah umum), intensifis, spesialis penyakit dalam, ahli gizi, rehabilitasi medik, psikiatri, dan psikologi.
TINJAUAN PUSTAKA
ANATOMI DAN HISTOLOGI KULIT Kulit adalah organ tubuh terluas yang menutupi otot dan mempunyai peranan dalam homeostasis. Kulit merupakan organ terberat dan terbesar dari tubuh. Seluruh kulit beratnya sekitar 16 % berat tubuh, pada orang dewasa sekitar 2,7 3,6 kg dan luasnya sekitar 1,5 1,9 meter persegi. Tebalnya kulit bervariasi mulai 0,5 mm sampai 6 mm tergantung dari letak, umur dan jenis kelamin. Kulit tipis terletak pada kelopak mata, penis, labium minus dan kulit bagian medial lengan atas. Sedangkan kulit tebal terdapat pada telapak tangan, telapak kaki, punggung, bahu dan bokong. Secara embriologis kulit berasal dari dua lapis yang berbeda, lapisan luar adalah epidermis yang merupakan lapisan epitel berasal dari ectoderm sedangkan lapisan dalam yang berasal dari mesoderm adalah dermis atau korium yang merupakan suatu lapisan jaringan ikat.
EPIDERMIS Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler. Terdiri dari epitel berlapis gepeng bertanduk, mengandung sel melanosit, Langerhans dan Merkel. Tebal epidermis berbeda-beda pada berbagai tempat di tubuh, paling tebal pada telapak tangan dan kaki. Ketebalan epidermis hanya sekitar 5 % dari seluruh ketebalan kulit. Terjadi regenerasi setiap 4-6 minggu. Fungsi Epidermis : Proteksi barier, organisasi sel, sintesis vitamin D dan sitokin, pembelahan dan mobilisasi sel, pigmentasi (melanosit) dan pengenalan alergen (sel Langerhans). Epidermis terdiri atas lima lapisan (dari lapisan yang paling atas sampai yang terdalam) : 1. Stratum Korneum : Terdiri dari sel keratinosit yang bisa mengelupas dan berganti. 2. Stratum Lusidum : Berupa garis translusen, biasanya terdapat pada kulit tebal telapak kaki dan telapak tangan. Tidak tampak pada kulit tipis. 3. Stratum Granulosum : Ditandai oleh 3-5 lapis sel polygonal gepeng yang intinya ditengah dan sitoplasma terisi oleh granula basofilik kasar yang dinamakan granula keratohialin yang mengandung protein kaya akan histidin. Terdapat sel Langerhans. 4. Stratum Spinosum : Terdapat berkas-berkas filament yang dinamakan tonofibril, dianggap filamen-filamen tersebut memegang peranan penting untuk mempertahankan kohesi sel dan melindungi terhadap efek abrasi. Epidermis pada tempat yang terus mengalami gesekan dan tekanan mempunyai stratum spinosum dengan lebih banyak tonofibril. Stratum basale dan stratum spinosum disebut sebagai lapisan Malfigi. Terdapat sel Langerhans. 5. Stratum Basale (Stratum Germinativum) : Terdapat aktifitas mitosis yang hebat dan bertanggung jawab dalam pembaharuan sel epidermis secara konstan. Epidermis diperbaharui setiap 28 hari untuk migrasi ke permukaan, hal ini tergantung letak, usia dan faktor lain. Merupakan satu lapis sel yang mengandung melanosit. DERMIS Terdiri atas jaringan ikat yang menyokong epidermis dan menghubungkannya dengan jaringan subkutis. Tebalnya bervariasi, yang paling tebal pada telapak kaki sekitar 3 mm. Dermis terdiri dari dua lapisan : Lapisan papiler; tipis : mengandung jaringan ikat jarang. Lapisan retikuler; tebal : terdiri dari jaringan ikat padat. Serabut-serabut kolagen menebal dan sintesa kolagen berkurang dengan bertambahnya usia. Serabut elastin jumlahnya terus meningkat dan menebal, kandungan elastin kulit manusia meningkat kira-kira 5 kali dari fetus sampai dewasa. Pada usia lanjut kolagen saling bersilangan dalam jumlah besar dan serabut elastin berkurang. Hal ini menyebabkan kulit terjadi kehilangan kelemasannya dan tampak mempunyai banyak keriput. Dermis mempunyai banyak jaringan pembuluh darah. Dermis juga mengandung beberapa derivat epidermis yaitu folikel rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar keringat. Kualitas kulit tergantung banyak tidaknya derivat epidermis di dalam dermis. Fungsi Dermis : struktur penunjang, mechanical strength, suplai nutrisi, menahan shearing forces dan respon inflamasi . SUBKUTIS Merupakan lapisan di bawah dermis atau hipodermis yang terdiri dari lapisan lemak. Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit secara longgar dengan jaringan di bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-beda menurut daerah di tubuh dan keadaan nutrisi individu. Berfungsi menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi. Fungsi Subkutis / hipodermis : melekat ke struktur dasar, isolasi panas, cadangan kalori, kontrol bentuk tubuh dan mechanical shock absorber.
DEFINISI Luka bakar adalah luka yang terjadi akibat sentuhan permukaan tubuh dengan benda-benda yang menghasilkan panas (api secara langsung maupun tidak langsung, pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik, maupun bahan kimia, air, dll) atau zat-zat yang bersifat membakar (asam kuat, basa kuat).
Etiologi Api Luka bakar kontak (terkena rokok, solder atau alat-alat memasak) air panas uap panas gas panas listrik semburan panas
Penyebab luka bakar yang tersering adalah terbakar api langsung yang dapat dipicu atau diperparah dengan adanya cairan yang mudah terbakar seperti bensin, gas kompor rumah tangga, cairan cairan dari tabung pemantik api, yang akan menyebabkan luka bakar pada seluruh atau sebagian tebal kulit. Pada anak kurang lebih 60% luka bakar disebabkan oleh air panas yang terjadi pada kecelakaan rumah tangga, dan umumnya merupakan luka bakar superfisial, tetapi dapat juga mengenai seluruh ketebalan kulit (derajat tiga). Penyebab luka bakar lainnya adalah pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik, maupun bahan kimia. Bahan kimia ini bisa berupa asam atau basa kuat. Asam kuat menyebabkan nekrosis koagulasi, denaturasi protein dan rasa nyeri yang hebat. Asam hidrofluorida mampu menembus jaringan sampai ke dalam dan menyebabkan toksisitas sistemik yang fatal, bahkan pada luka yang kecil sekalipun. Alkali atau basa kuat yang banyak terdapat dalam rumah tangga antara lain cairan emutih pakaian (bleaching), berbagai cairan pembersih, dll. Luka bakar yang disebabkan oleh basa kuat akan menyebabkan jaringan mengalami nekrosis yang mencair (liquefactive necrosis). Kemampuan alkali menembus jaringan lebih dalam lebih kuat daripada asam, kerusakan jaringan lebih berat karena sel mengalami dehidrasi dan terjadi denaturasi protein dan kolagen. Rasa sakit baru timbul belakangan sehingga penderita sering terlambat datang untuk berobat dan kerusakan jaringan sudah meluas. PATOGENESIS Kulit adalah organ terluar tubuh manusia dengan luas 0,025 m 2 pada anak baru lahir sampai 1m 2 pada orang dewasa. Apabila kulit terbakar atau terpajan suhu tinggi, pembuluh kapiler dibawahnya, area sekitarnya dan area yang jauh sekali pun akan rusak dan menyebabkan permeabilitasnya meningkat. Terjadilah kebocoran cairan intrakapiler ke interstisial sehingga terjadi udem dan bula yang mengandung banyak elektrolit. Rusaknya kulit akibat luka bakar akan mengakibatkan hilangnya fungsi kulit sebagai barier dan penahan penguapan. Kedua penyebab di atas dengan cepat menyebabkan berkurangnya cairan intravaskular. Pada luka bakar yang luasnya kurang dari 20%, mekanisme kompensasi tubuh masih bisa mengatasinya. Bila kulit yang terbakar luas (lebih dari 20%), dapat terjadi syok hipovolemik disertai gejla yang khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun, dan produksi urin berkurang. Pembengkakan terjadi perlahan, maksimal terjadi setelah delapan jam. Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas meninggi. Sel darah yang ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi anemia. Pada kebakaran dalam ruang tertutup atau bila luka terjadi di wajah, dapat terjadi kerusakan mukosa jalan napas karena gas, asap, atau uap panas yang terhirup. Udem laring yang ditimbulkannya dapat menyebabkan hambatan jalan napas dengan gejala sesak napas, takipnea, stridor, suara parau, dan dahak berwarna gelap akibat jelaga. Dapat juga terjadi keracunan gas CO atau gas beracun lainnya. Karbonmonoksida sangat kuat terikat dengan hemoglobin sehingga hemoglobin tidak mampu lagi mengikat oksigen. Tanda keracunan ringan yaitu lemas, bingung, pusing, mual, dan muntah. Pada keracunan yang berat terjadi koma. Bila lebih dari 60% hemoglobin terikat CO, penderita dapat meninggal. Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi mobilisasi serta penyerapan kembali cairan dari ruang interstisial ke pembuluh darah yang ditandai dengan meningkatnya diuresis. Luka bakar umumnya tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati yang merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan mempermudah infeksi. Infeksi ini sulit diatasi karena daerahnya tidak tercapai oleh pembuluh kapiler yang mengalami trombosis. Padahal, pembuluh ini membawa sistem pertahanan tubuh atau antibiotik. Kuman penyebab infeksi pada luka bakar, selain berasal dari kulit penderita sendiri, juga dari kontaminasi kuman saluran napas atas dan kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit. Infeksi nosokomial biasanya sangat berbahaya karena kumannya banyak yang sudah resisten terhadap berbagai antibiotik. Pada awalnya, infeksi biasanya disebabkan oleh kokus Gram positif yang berasal dari kulit sendiri atau dari saluran napas, tetapi kemudian dapat terjadi invasi kuman Gram negatif. Pseudomonas aeruginosa yang dapat menghasilkan eksotoksin protease dan toksin lain yang berbahaya, terkenal sangat agresif dalam invasinya pada luka bakar. Infeksi pseudomonas dapat dilihat dari warna hijau pada kasa penutup luka bakar. Kuman memproduksi enzim penghancur keropeng yang bersama dengan eksudasi oleh jaringan granu lasi membentuk nanah. Infeksi ringan dan noninvasif (tidak dalam) ditandai dengan keropeng yang mudah terlepas dengan nanah yang bayak. Infeksi yang invasif ditandai dengan keropeng yang kering dengan perubahan jaringan di tepi keropeng yang mula-mula sehat menjadi nekrotik; akibatnya, luka bakar yang mula-mula derajat dua menjadi derajat tiga. Infeksi kuman menimbulkan vaskulitis pada pembuluh kapiler di jaringan yang terbakar dan menimbulkan trombosis. Bila penderita dapat mengatasi infeksi, luka bakar derajat dua dapat sembuh dengan meninggalkan cacat berupa parut. Penyembuhan ini dimulai dari sisa elemen epitel yang masih vital, misalnya sel kelenjar sebasea, sel basal, sel kelenjar keringat, atau sel pangkal rambut. Luka bakar derajat dua yang dalam mungkin meninggalkan parut hipertrofik yang nyeri, gagal, kaku dan secara estetik sangat jelek.Luka bakar derajat tiga yang dibiarkan sembuh sendiri akan mengalami kontraktur. Bila ini terjadi di prsendian; fungsi sendi dapat berkurang atau hilang. Pada luka bakar berat dapat ditemukan ileus paralitik. Pada fase akut, peristaltis usus menurun atau berhenti karena syok. Juga peristaltis dapat menurun karena kekurngan ion kalium. Stres atau beban faali setra hipoperfusi daerah splangnikus pada penderita luka bakar berat dapat menyebabkan terjadinya tukak di mukosa lambung atau duodenum dengan gejala yang sama dengan gejala tukak peptik. Kelainan ini dikenal sebagai tukak Curling atau stress ulcer. Aliran darah ke lambung berkurang sehingga terjadi iskemia mukosa. Bila keadaan ini berlanjut, dapat timbul ulkus akibat nekrosis mukosa lambung. Yang dikhawatirkan pada tukak Curling ini adalah penyulit perdarahan yang tampil sebagai hematemesis dan/atau melena. Fase permulaan luka bakar merupakan fase katabolisme sehingga keseimbangan protein menjadi negatif. Protein tubuh banyak hilang karena eksudasi, metabolisme tinggi, dan mudah terjadi infeksi. Penguapan berlebihan dari kulit yang rusak juga memerlukan kalori tambahan. Tenaga yang diperlukan tubuh pada fase ini terutama didapat pembakaran protein dari otot skelet. Oleh karena itu, penderita menjadi sangat kurus, otot mengecil, dan berat badan menurun. Kecacatan akibat luka bakar bisa sangat hebat, terutama bila mengenai wajah. Penderita mungkin mengalami beban kejiwaan berat akibat cacat tersebut., sampai bisa menimbulkan gangguan jiwa yang disebut schizophrenia postburn. Pada kebakaran dalam ruang tertutup atau bila luka terjadi di wajah, dapat terjadi kerusakan mukosa jalan napas karena gas, asap, atau uap panas yang terhisap. Oedem laring yang ditimbulkannya dapat menyebabkan hambatan jalan napas dengan gejala sesak napas, takipnea, stridor, suara serak dan dahak bewarna gelap akibat jelaga. Trauma panas langsung yang disebabkan akibat menghirup udara panas dengan suhu (150 C atau lebih tinggi) biasanya mengakibatkan luka bakar di orofaring, wajah, dan saluran nafas bagian atas (di atas pita suara). Bahkan udara dengan panas berlebih dengan cepat didinginkan sebelum mencapai saluran pernafasan bawah karena efisiensi pertukaran panas luar biasa di orofaring dan nasopharing. Panas dan bahan kimia dalam asap menghasilkan cedera langsung pada mukosa saluran nafas, mengakibatkan edema, eritema, dan ulserasi. Meskipun terjadi perubahan mukosa namun perubahan anatomis mungkin timbul beberapa saat setelah luka bakar, perubahan fisiologis tidak akan timbul sampai terjadinya edema yang cukup secara klinis mengganggu patensi jalan napas atas. Ini tidak mungkin terjadi selama 12 sampai 18 jam. Dalam beberapa keadaan makin diperburuk oleh keracunan carbon moniksida (CO). Keracunan ini dapat menyebabkan rasa mual, muntah , sakit kepala sampai gangguan mental, kejang dan kematian tergangtung dari level karboksihemoglobin dalam darah penderita. Setelah 12 24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan mobilisasi serta penyerapan kembali cairan edema ke pembuluh darah. Ini di tandai dengan meningkatnya diuresis.
PENILAIAN DERAJAT LUKA BAKAR Luka bakar dibagi menjadi 4 derajat
1. Luka bakar grade I Disebut juga luka bakar superficial Mengenai lapisan luar epidermis, tetapi tidak sampai mengenai daerah dermis. Sering disebut sebagai epidermal burn Kulit tampak kemerahan, sedikit oedem, dan terasa nyeri. Pada hari ke empat akan terjadi deskuamasi epitel (peeling).
2. Luka bakar grade II Superficial partial thickness: o Luka bakar meliputi epidermis dan lapisan atas dari dermis o Kulit tampak kemerahan, oedem dan rasa nyeri lebih berat daripada luka bakar grade I o Ditandai dengan bula yang muncul beberapa jam setelah terkena luka o Bila bula disingkirkan akan terlihat luka bewarna merah muda yang basah o Luka sangat sensitive dan akan menjadi lebih pucat bila terkena tekanan o Akan sembuh dengan sendirinya dalam 3 minggu ( bila tidak terkena infeksi ), tapi warna kulit tidak akan sama seperti sebelumnya.
Deep partial thickness o Luka bakar meliputi epidermis dan lapisan dalam dari dermis o disertai juga dengan bula o permukaan luka berbecak merah muda dan putih karena variasi dari vaskularisasi pembuluh darah( bagian yang putih punya hanya sedikit pembuluh darah dan yang merah muda mempunyai beberapa aliran darah o luka akan sembuh dalam 3-9 minggu.
3. Luka bakar grade III Menyebabkan kerusakan jaringan yang permanen Rasa sakit kadang tidak terlalu terasa karena ujung-ujung saraf dan pembuluh darah sudah hancur. Luka bakar meliputi kulit, lemak subkutis sampai mengenai otot dan tulang
4. Luka Bakar grade IV Berwarna hitam.
Berat Ringannya Luka Bakar Kriteria berat ringannya luka bakar menurut American Burn Association ialah: 1. Luka bakar ringan a. Luka bakar derajat II < 15% pada orang dewasa b. Luka bakar derajat II < 10% pada anak-anak c. Luka bakar derajat III < 2% 2. Luka bakar sedang a. Luka bakar derajat II 15% 25% pada orang dewasa b. Luka bakar derajat II 10% 20% pada anak-anak c. Luka bakar derajat III < 10% 3. Luka bakar berat (mayor burn) 2, 13
a. Luka bakar derajat II 25% atau lebih pada orang dewasa b. Luka bakar derajat II 20% atau lebih pada anak-anak c. Luka bakar derajat III 10% atau lebih d. Luka bakar mengenai wajah, telinga, mata, dan genitalia/perineum e. Luka bakar dengan cedera inhalasi, listrik, disertai trauma lain
Berdasarkan kritieria diatas dimana pasien memiliki luka bakar derajat II dengan luas luka bakar 70 %, maka pasien termasuk dalam kriteria luka bakar berat (mayor burn).
PENILAIAN LUAS LUKA BAKAR Beberapa cara penentuan derajat luka bakar. 1. Palmar surface Luas permukaan pada telapak tangan pasien (termasuk jari-jari)secara kasar adalah 0,8% dari seluruh luas permukaan tubuh. Permukaan telapak tangan dapat digunakan untuk mengukur luka bakar yang kecil (<15%>85% luas permukaan tubuh). Untuk luka bakar dengan ukuran sedang, pengukuran dengan cara ini tidak akurat. 2. Wallace rule of nines Merupakan cara yang baik dan cepat untuk mengukur luas luka bakar pada orang dewasa. Tubuh dibagi menjadi area 9%, dan total daerah yang terkena luka bakar dapat dihitung. Tetapi cara ini tidak akurat pada anak-anak. Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif permukaan kepala anak jauh lebih besar dan luas relatif permukaan kaki lebih kecil. Karena perbandingan luas permukaan bagian tubuh anak kecil berbeda, dikenal rumus 10 untuk bayi dan rumus 10-15-20 untuk anak. Untuk anak, kepala dan leher 15 %, badan depan dan belakang masing-masing 20 %, ekstremitas atas kanan dan kiri masing-masing 10 %, ekstremitas bawah kanan dan kiri masing-masing 15 %
Gambar Rule of nine
Gambar Rule of nine pada bayi 3. Lund and Bowder chart Tabel ini, apabila digunakan dengan benar, merupakan cara yang paling akurat. Tabel ini mengkompensasi variasi bentuk tubuh dengan umur, sehingga dapat memberikan perhitungan luas luka bakar yang akurat pada anak-anak 7
Gambar Lund and Bowder Chart
PEMERIKSAAN PENUNJANG Terutama untuk luka bakar yang berat Lab darah o Hitung jenis o Kimia darah o Analisa gas darah dengan carboxyhemoglobin o Analisis urin o Creatinin Phosphokinase dan myoglobin urin ( Luka bakar akibat listrik) o Pemeriksaan factor pembekuan darah ( BT, CT) Radiologi o Foto thoraks : untuk mengetahui apakah ada kerusakan akibat luka bakar inhalasi atau adanya trauma dan indikasi pemasangan intubasi o CT scan : mengetahui adanya trauma Tes lain : dengan fiberoptic bronchoscopy untuk pasien dengan luka bakar inhalasi. 2.8 EFEK DARI LUKA BAKAR Efek lokal Kerusakan jaringan Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan sel darah yang ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi anemia. Luka bakar menyebabkan rupturnya sel atau nekrosis sel. Sel yang di perifer masih dapat hidup tapi sebagian ada yang rusak. Akibat rusaknya mikrosirkulasi perifer lapisan kolagen akan berubah bentuk dan rusak. Pembuluh kapiler yang mengalami trombosis, padahal pembuluh ini membawa sistem pertahanan tubuh atau antibiotik., permeabilitas kapiler akan meningkat mengakibatkan kebocoran cairan intravaskuler sehingga terjadi oedem. Luka bakar derajat tiga yang dibiarkan sembuh sendiri akan mengalami kontraktur. Bila ini terjadi di persendian, fungsi sendi dapat berkurang atau hilang. Inflamasi Reakasi infalamasi yang paling awal terlihat adalah erythema, yang disebabkan karena respon neurovaskular mengakbibatkan vasodilatasi pembuluh darah. Makin berat kerusakan jaringan, respon inflamasi yang muncul akan makin lama bertahan. Makrofag akan menghasilkan mediator inflamasi seperti cytokine dan sel fagosit nekrotik. Netrofil dan limfosit akan menghalangi terjadinya infeksi. Infeksi Luka bakar merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme, biasanya akan menyebabkan infeksi dalam 24-48 jam. Dalam kondisi yang lebih berat akan muncul bakteriemi atau septikemi yang kemudian akan tejadi penyebaran infeksi ke tempat yang lain. Bakteriemi merupakan penyebab kematian tersering pada luka bakar mulai dari 24 jam pertama sampai pada luka bakar yang sudah sembuh. Streptococcus -hemolitikus dan pseudomonas memproduksi enzym protease yang dapat mencegah penempelan dari skin graft. Infeksi ringan dan noninvasif ditandai dengan keropeng yang mudah terlepas dengan nanah yang banyak. Infeksi yang invasive ditandai dengan keropeng yang mula-mula kering dengan perubahan jaringan di tepi keropeng yang mula-mula sehat menjadi nekrotik, akibatnya luka bakar yang mula-mula derajat dua menjadi derajat tiga. Infeksi kuman menimbulkan vaskulitis pada pembuluh kapiler di jaringan yang terbakar dan menimbulkan trombosis. Efek regional Sirkulasi Jika terdapat oedem yang luas, maka akan terjadi pembengkakkan, aliran darah dari extremitas dapat mengalami obstruksi. Sirkulasi untuk otot tangan intrinsic dapat terganggu akibat oedem, dapat terjadi nekrosis yang lama kelamaan menjadi kontraktur. Akumulasi cairan interstitial dalam tangan menyebabkan jaringan kolagen menggembung maksimal sehinggga terbentuk posisi claw ( metacarpalphalangeal extensi, dan proximal interphalangeal flexi ). Dapat juga terjadi muscle compartement syndrome yang mengenai otot flexor dan extensor extremitas bagian atas maupun bawah. Efek sistemik Kehilangan cairan Meningkatnya permeabilitas menyebabkan udem dan menimbulkan bula yang banyak elektrolit. Hal itu menyebabkan berkurangnya volume cairan intravaskuler. Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan kehilangan cairan akibat penguapan yang berlebihan, masuknya cairan ke bula yang terbentuk pada luka bakar derajat dua dan pengeluaran cairan dari keropeng luka bakar derajat tiga. Bila luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme kompensasi tubuh masih bisa mengatasinya, tetapi bila lebih dari 20% akan terjadi syok hipovolemik dengan gejala yang khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil, dan cepat, tekanan darah menurun, dan produksi urin berkurrang. Pembengkakan terjadi pelan-pelan, maksimal terjadi setelah delapan jam. Multiple organ failure dan Sepsis Kegagalan progresif dari ginjal dan hepar di akibatkan karena kehilangan cairan, toxemia karena infeksi, sepsis. Ganguan sirkulasi ke ginjal menyebabkan iskemia ginjal ( tubulus) berlanjut dengan Akut Tubular Necrosis yang akhirnya terjadi gagal ginjal (ARF). Gangguan sirkulasi perifer meneybabkan iskemia otot-otot dengan dampak pemecahan glikoprotein yang meningkatkan produksi Nitric Oxide (NO). NO ini diketau berperan sebagai modulator sepsis. Ganguan sirkulasi ke kulit dan system integum menyebabkan gangauan system imun karena penurunan produksi limfosit dan penurunan fungsi barier kulit. Luka bakar inhalasi Pada kebakaran dalam ruang tertutup atau bila luka terjadi di wajah, dapat terjadi kerusakan mukosa jalan napas karena gas, asap, atau uap panas ayang terrisap. Udem laring yang ditimbulkannya dapat menyebabkan hambatan jalan napas dengan gejala sesak napas, takipnea, stridor, suara serak dan dahak bewarna gelap akibat jelaga. Dapat juga keracunan gas CO dan gas beracun lainnya. Karbon monoksida akan mengikat hemoglobin dengan kuat sehingga hemoglobin tak mampu lagi mngeikat oksigen. Tanda keracuna ringan adalah lemas, bingung, pusing, mual dan muntah. Pada keracunan yang berat terjadi koma. Bila lebih dari 60% hemoglobin terikat CO, penderita dapat meninggal.
Komplikasi sistemik Stress atau beban faali yang terjadi pada penderita luka bakar berat dapat menimbulkan tukak di mukosa lambung atau duodenum dengan gejala yang sama dengan tukak peptic. Kelainan ini disebut tukak Curling. Yang khawatirkan pada tukak curling ini adalah penyulit perdarahan yang tampil sebagai hematemesis dan atau melena. Fase permulaan luka bakar merupakan fase katabolisme sehingga keseimbangan protein menjadi negatif. Protein dalam tubuh banyak hilang karena eksudasi, metabolisme tinggi, dan infeksi. Penguapan berlebihan dari kulit yang rusak juga memerlukan kalori tambahan. Tenaga yang diperlukan pada fase ini terutama didapat dari pembakaran protein dari otot skelet. Oleh karena itu penderita menjadi sangat kurus, otot mengecil dan berat badan menurun.
DAFTAR PUSTAKA 1. Sjamsuhidajat, de Jong. Luka bakar. Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed 3. Jakarta: penerbit Buku Kedokteran EGC.2007. Hlm: 103-110. 2. Robert. H, Demling. MD. Current Surgical Diagnosis & Treatment. Doherty, Gerard M, Way, Lawrence W (editor). 2006. Hlm: 248 3. Perawatan luka bakar. http://www.zimbio.com/member/bedahumum/articles/3869708/PERAWATA N+LUKA+BAKAR 4. James H. Holmes., David M. heimbach. 2005. Burns, in : Schwartzs Principles of Surgery. 18 th ed. McGraw-Hill. New York. p.189-216 DIYANTI PENATALAKSANAAN LUKA BAKAR Kasus luka bakar merupakan suatu bentuk cedera, sehingga penatalaksanaannya secara umum sesuai dengan penatalaksanaan cedera yang diterapkan menurut Advanced Trauma Life Support (ATLS), secara khusus menurut Advanced Burn Life Support (ABLS) dijabarkan sebagai berikut:
A. Survai Primer 1. Penilaian jalan nafas (Airway) Perhatian utama ditujukan pada status pernafasan pasien yang berhubungan dengan adanya riwayat paparan saluran nafas terhadap suhu tinggi dan atau asap/sisa pembakaran yang terhisap. Adanya cedera inhalasi dicurigai pada kasus-kasus seperti dibawah ini: 1. Riwayat terbakar di dalam ruang tertutup 2. Riwayat terpapar pada ledakan 3. Luka bakar mengenai muka 4. Bulu hidung dan alis terbakar 5. Dijumpai deposit karbon dan tanda-tanda radang akut daerah orofaring 6. Sputum mengandung karbon. Komplikasi jalan napas dapat terbagi pada 3 fase sindrom : a. Komplikasi dini (0-24 jam post trauma) meliputi keracunan karbon monoksida dan direct inhalation injury, dan bisa berlanjut menjadi obstruksi jalan napas dan edema pulmonal. b. Delayed injury (2-5 hari post trauma) yaitu terjadinya respiratory distress syndrome. c. Komplikasi lanjut, muncul setelah hitungan hari atau minggu, terjadi pneumonia, atelektasis, dan emboli pulmonal.
2. Penilaian mekanisme bernafas (Breathing) Perhatian utama ditujukan pada gangguan mekanisme bernafas oleh karena adanya eskar melingkar di dinding dada dan atau adanya cedera toraks (misal pneumotoraks, hematotoraks, fraktur tulang iga dsb).
Cedera Inhalasi Cedera inhalasi merupakan suatu terminologi cedera mukosa akibat paparan terhadap cedera termis dan atau kimiawi yang terjadi pada luka bakar. Cedera panas secara langsung menyebabkan edema yang dapat berlanjut menjadi suatu bentuk obstruksi saluran nafas bagian atas (edema jalan nafas besar, di atas glotis). Kondisi patologik ini menyebabkan gangguan suplai oksigen yang diperlukan oleh sel/jaringan untuk menyelenggarakan metabolisme sehingga akan memperberat dampak dari cedera pada sel/jaringan.
Cedera inhalasi asap panas Cedera inhalasi menimbulkan efek berbahaya pada saluran nafas atas dan bawah. Produk kimiawi pada asap seperti amonia, nitrogen dioksida, sulfur dioksida, dan klorida yang bereaksi dengan uap air pada saluran nafas akan menghasilkan asam dan basa kuat, misalnya sulfur dioksida akan membentuk asam sulfur. Hasil akhir ini akan menyebabkan bronkospasme, edema jalan nafas, dan ulkus membran mukosa. Gas lain seperti nitrogen oksida, asam hidroklorid, dan asam sulfur dapat menembus jalan nafas lebih dalam, sehingga dapat merusak membran alveoli, dan mengganggu aktivitas surfaktan. Hasil akhir dari cedera inhalasi adalah nekrosis epitel trakhea dan bronkus, sehingga menyebabkan obstruksi jalan nafas parsial atau komplit, dan merusak sistem pertahanan jalan nafas terhadap infeksi.
Senyawa aldehida seperti akrolein yang dihasilkan oleh terbakarnya katun, kayu, dan bermacam serabut sintetik akan mengganggu fungsi silier dan merusak permukaan mukosa (terjadi udema dan transudasi mukus). Kadar akrolein hanya 10 ppm sudah dapat menimbulkan edema paru. Anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat mengarahkan secara akurat terjadinya cedera inhalasi. Pasien yang ditemukan pada lingkungan api di ruang tertutup atau terjebak misalnya di rumah atau dalam mobil merupakan resiko tinggi terjadinya cedera inhalasi. Luka bakar pada wajah, dahak berwarna hitam (karbon), dan gangguan bernafas merupakan tanda penunjang. Pemeriksaan gas darah sangat membantu dalam penatalaksanaan berikutnya, dengan mengetahui tekanan parsial oksigen dan karbondioksida, saturasi oksigen, dan lain-lain. Pemeriksaan lainnya yang diperlukan yaitu rontgen thorak dan bronkoskopi fibroptik. Terdapat hubungan antara gambaran bonkoskopi dengan faktor resiko cedera inhalasi yang dapat meningkatkan akurasi diagnosis. Gambaran bronkoskopi yang positif menunjukkan terjadinya cedera inhalasi didapatkan pada 96 % pasien yang memiliki trias: api di ruang tertutup, kadar karboksihemoglobin >10 %, dan dahak berwarna hitam karbon. Gambaran positif muncul sebesar 70% pada pasien yang hanya memiliki 2 parameter klinis cedera inhalasi, dan hanya <30% pada pasien dengan 1 parameter klinis cedera inhalasi. Penatalaksanaan cedera inhalasi yang terpenting adalah intubasi trakheal seawal mungkin, dengan bantuan ventilasi mekanik dan perawatan intensif untuk mengantisipasi terjadinya bronkospasme berat, kerusakan alveolar, dan edema paru-paru. Komponen senyawa kimiawi khusus, seperti karbon monoksida dan sianida, memerlukan penanganan yang lebih spesifik. Cedera sistem respirasi yang tidak langsung umumnya terjadi pada pasien luka bakar di kulit tanpa disertai adanya bukti klinis terjadi cedera inhalasi. Mekanismenya bermacam-macam, misalnya akibat resusitasi cairan yang masif, atau akibat terjadinya penurunan tekanan onkotik plasma melalui kehilangan protein plasma melalui jaringan luka bakar. Mediator inflamasi (lipid peroksida, prostanoid, komplemen) yang dilepaskan oleh jaringan yang terbakar juga ikut berperan dalam terjadinya udema paru-paru.
Penatalaksanaan Jalan Nafas Informasi awal yang harus diperoleh adalah ada tidaknya abnormalitas jalan nafas sebelumnya, cedera jalan nafas yang ada sekarang, dan tanda-tanda obstruksi jalan nafas. Setelah informasi terkumpul, maka rencana terbaik dalam penatalaksanaan jalan nafas dapat segera disusun saat pasien datang ke rumah sakit. Meskipun jalan nafas pasien tampak normal, perlu dipertimbangkan untuk melakukan intubasi endotrakheal profilaktik. Tidak semua cedera jalan nafas memiliki manifestasi yang timbul segera. Edema jalan nafas yang berhubungan dengan resusitasi cairan masif dapat mengganggu jalan nafas dan mempersulit dilakukannya intubasi trakhea. Oleh karena itu, lebih baik melakukan intubasi pasien luka bakar secepatnya daripada terlambat melakukannya.
Apabila terdapat cedera jalan nafas atas dengan tanda obstruksi jalan nafas, pasien memerlukan intubasi trakheal sesegera mungkin. Sehingga diperlukan tenaga dan sarana yang mencakup anestesiolog yang berpengalaman, peralatan untuk berbagai macam teknik intubasi, mesin anestesi, dan termasuk kemungkinan dilakukannya pembebasan jalan nafas secara operatif. Patofisiologi kerusakan parenkim paru sampai saat ini penyebabnya belum diketahui dengan jelas, apakah disebabkan langsung oleh panas (thermal) atau bahan-bahan kimia (chemical) atau karena efek tidak langsung akibat terapi cairan yang berlebihan, infeksi sekunder, ARDS ataupun karena edema paru. Gangguan pernapasan umumnya disebabkan karena kerusakan termal atau kemikal pada permukaan epitel pada saluran napas. Kerusakan sekunder disertai pneumonia bakterial dapat terjadi beberapa hari setelah terpapar, yang selanjutnya menyebabkan kerusakan sitotoksik. Proses inflamasi akan menyebabkan infiltrasi neutrofil, merusak makrofag dalam alveoli, sehingga memudahkan bakteri berkembang biak. Hipoksemia terjadi karena penurunan konsentrasi oksigen yang dihisap pasien ditempat kejadian, sumbatan jalan napas, kerusakan parenkim paru atau toksn-toksin (sianida dan CO) yang menghambatan transport oksigen ke jaringan. Disfungsi multi organ yang sering timbul akibat hipoksia tersebut akan menyebabkan morbiditas dan mortalitas meningkat tajam. Penatalaksanaan luka bakar tanpa distress pernapasan : 1. Intubasi (pemasangan pipa endotrakeal) tanpa menggunakan pelumpuh otot dan tanpa ventilator 2. Pemberian oksigen 2-4 liter/menit melalui pipa endotrakeal 3. Penghisapan sekret secara berkala 4. Humidifikasi dengan pemberian nebulizer setiap 6 jam 5. Pemberian bronkodilator (Ventolin inhalasi) dilakukan bila jelas dijumpai gejala dan tanda distress pernapasan 6. Pemantauan gejala/tanda distress pernapasan : a. Gejala subyektif : gelisah, sesak napas b. Gejala obyektif : peningkatan frekuensi pernapasan (>30 x/menit), sianotik, stridor, aktivitas otot pernapasan bertambah c. Untuk pemantauan ini dilakukan pemeriksaan : * Analisis gas darah : - pada pertama kali penderita ditolong (saat resusitasi) - pada 8 jam pertama - dalam 24 jam pasca cedera - selanjutnya sesuai kebutuhan * Foto thorax 24 jam pasca cedera 7. Pemeriksaan radiologi 8. Pelaksanaan dilakukan di ruang resusitasi instalasi gawat darurat
Penatalaksanaan Cedera Inhalasi Kasus luka bakar dengan kecurigaan/bukti klinis-obyektif adanya cedera inhalasi seperti edema muka sekitar hidung-mulut dan leher, bulu hidung terbakar dan edema mukosa hidung tanpa gejala dan tanda distres pernafasan. Pada kasus ini mendapat perhatian dan perlakuan secara khusus dalam 8 jam pertama pasca kejadian, didasari pemikiran bahwa obstruksi akibat edema mukosa saluran nafas bagian atas (edema jalan nafas besar, di atas glotis) biasanya terjadi dalam kurun waktu tersebut; meskipun obstruksi dapat terjadi dalam 24-36 jam pertama (edema jalan nafas dengan diameter lebih kecil). Pada umumnya kondisi ini disebabkan oleh cedera termis.
Prosedur yang dilakukan, antara lain: 1. Intubasi dan atau krikotiroidotomi: - Bila dijumpai distres pernafasan, kerjakan krikotiroidotomi - Bila tidak dijumpai distres pernafasan, kerjakan intubasi dan atau krikotiroidotomi Intubasi (pemasangan pipa endotrakea) tanpa menggunakan pelumpuh otot sebagai premedikasi, dilanjutkan perawatan dengan atau tanpa ventilator - Cedera pada wajah dan leher dapat me meningkatkan resiko edema saluran nafas, sehingga teknik intubasi standar dengan pelumpuh tidak aman untuk digunakan. Tabel 1. Kriteria Intubasi Kriteria Nilai PaO2 (mm Hg) PaCO2 (mm Hg) P/F ratio Respiratory/Ventilatori failure Upper airway edema < 60 > 50 (acutely) < 200 Impending Severe
Menurut Shehan secara klinis indikasi untuk intubasi adalah : 10
Visualisasi secara langsung didapatkan eritema atau pembengkakan oropharing. Perubahan suara dengan batuk yang kasar atau suara serak. Stridor, tachypnoe atau dyspnoea
Table 5. Kriteria Ekstubasi 5
Kriteria Nilai PaO2/FiO2 (P/F) ratio Maximum inspiratory pressure (MIP) (cm H2O Spontaneous tidal volume (ml/kg) Spontaneous vital capacity (ml/kg) Maximum voluntary ventilation Audible leak around the ET tube with cuff deflated > 250 > 60 > 5-7 > 15-20 > present twice the minute volume
2. Pemberian oksigen 2-4 liter/menit melalui pipa endotrakea, ditujukan untuk memberikan reverse efek dari keracunan CO dan membantuk membersihkannya. Kadar COHb Gejala 0 10% 10 20% 20 30% 30 40% 40 50% > 50% Minimal (kadar normal pada perokok berat) Mual, sakit kepala Pusing, letargik Disorientasi, agitasi Koma, deperesi pusat pernafasan Kematian COHb = Carboxyhaemoglobin
3. Penghisapan sekret secara berkala 4. Humidifikasi dengan melalui pipa endotrakea dan atau kanula krikotiroidotomi selama 24 jam 5. Lavase bronko-alveolar (bronchial washing, pulmonary toilet) untuk melepaskan sekret kental yang melekat dan mengencerkannya serta membersihkan sloughing mucosa yang memicu terbentuknya cast penyebab obstruksi. 6. Pemberian bronkodilator-selektif secara inhalasi: 1 ampul diuapkan dalam nebulizer, 3 kali sehari; dilakukan bila cedera inhalasi disebabkan oleh sisa pembakaran tak sempurna yang berasal dari bahan-bahan kimiawi (luka bakar kimia dan luka bakar listrik). 7. Pemantauan gejala dan tanda distres pernafasan: Gejala subyektif: gelisah (akibat hipoksia), sesak nafas (dispnu). Pada penderita yang gelisah selalu dipikirkan kemungkinan pertama telah terjadi hipoksemia khususnya pada sirkulasi serebral sebagai penyebab kegelisahan. Kemungkinan oleh sebab lain dipikirkan kemudian. Gejala obyektif: Klinis: peningkatan frekuensi pernafasan (>30kali per menit), pernafasan dangkal, sianotik, stridor, aktivitas otot-otot pernafasan tambahan, Pemeriksaan bantuan: perubahan nilai hasil pemeriksaan analisis gas darah (yang terjadi pada masa akut/8 jam pertama pasca kejadian) sementara gambaran perselubungan/infiltrat pada paru biasanya baru dijumpai >24jam s/d 4-5 hari (biasanya dikaitkan dengan entitas Acute Respiratory Distress Syndrome, ARDS), untuk pemantauan ini , maka dilakukan pemeriksaan : a. Analisis gas darah serial 1. Pertama kali pasien ditolong (saat resusitasi) 2. Dalam 8jam pertama 3. Dalam 24jam pasca cedera 4. Selanjutnya sesuai kebutuhan b. Foto toraks/paru, 24jam pasca cedera dan 3-4 hari pasca cedera. Pemeriksaan radiologik (foto toraks/paru) dikerjakan bila masalah pada jalan nafas, pernafasan dan gangguan sirkulasi telah diatasi. 8. Pelaksanaan intubasi-krikotiroidotomi dan perawatan jalan nafas dilakukan di Ruang Resusitasi Instalasi Gawat Darurat (IGD) 9. Tindakan resusitasi jalan nafas dilakukan sebelum tindakan resusitasi cairan 10. Penatalaksanaan di ruang intensif selanjutnya adalah perawatan saluran nafas (trakeostomi atau krikotiroidotomi) dengan penghisapan sekret secara periodik, humidifikasi dan lavase bronkial (bronchial-washing, pulmonary toilet). Seringkali dijumpai sekret kental bercampur dengan sloughing mucosa yang dapat menyebabkan obstruksi (cast, mucus plug) dengan gejala distres pernafasan; dalam hal ini diperlukan prosedur pembersihan kanula trakeostomi trakeostomi/ krikotiroidotomi secara periodik. 11. Prosedur rehabilitasi pernafasan dilakukan dengan cara mengatur posisi pasien (duduk atau setengah duduk, pronasi), vibrasi dan latihan otot-otot pernafasan baik secara pasif maupun aktif, latihan refleks batuk dsb dimulai sejak awal. Penatalaksanaan cedera inhalasi tanpa distres pernafasan diperlakukan sebagai cedera inhalasi dengan distres pernafasan (lebih agresif), sampai terbukti tidak ada distres pernafasan yang membahayakan jiwa pasien. Intubasi dan atau krikotiroidotomi disini bukan merupakan sarana mengatasi obstruksi jalan nafas akut, namun untuk memfasilitasi perawatan jalan nafas. Dengan intubasi dan atau krikotiroidotomi, perawatan jalan nafas (penghisapan sekret, humidifikasi, lavase bronko-alveolar, dsb) dapat dikerjakan secara optimal. Penatalaksanaan cedera inhalasi dengan distres pernafasan yang bersifat gawat darurat memerlukan tindakan agresif agresif untuk mengatasi distres pernafasan yang membahayakan jiwa pasien. Yang terbaik adalah melakukan trakeostomi/ krikotoroidotomi. Distres pernafasan merupakan suatu kondisi yang membahayakan jiwa pasien karena terjadi hipoksia jaringan. Upaya memelihara tersedianya suplai oksigen dilakukan secara maksimal dengan menjaga patensi saluran nafas (baik dengan intubasi maupun trakeostomi/krikotiroidotomi), perawatan saluran nafas dengan melakukan penghisapan sekret secara berkala, humidifikasi (menggunakan uap air) untuk mengencerkan sekret kental; serta menyediakan suplai oksigen 2-4 liter per menit. Dengan perawatan ini, proses inflamasi pada mukosa akan diredam, saluran nafas bebas dan suplai oksigen akan terselenggara baik. Proses pembuktian (sekaligus perawatan saluran nafas) terbaik dikerjakan menggunakan bronkoskop, sehingga diagnosis cedera inhalasi dapat ditegakkan lebih awal dan penatalaksanaan selanjutnya menjadi lebih tepat. Bila kasus ini diabaikan maka pada saat proses inflamasi semakin hebat dan manifestasi distres pernafasan menjadi nyata, pertolongan resusitasi jarang memberikan hasil baik.
Resusitasi Cairan Resusitasi cairan merupakan tindakan prioritas ketiga pada ABC penatalaksanaan kasus luka bakar akut dan ditujukan untuk melakukan koreksi volume (syok hipovolemik) yang terjadi akibat ekstravasasi cairan (dan elektrolit) ke jaringan interstisiel dalam upaya memperbaiki perfusi.
Tatalaksana resusitasi cairan Syok pada luka bakar merupakan suatu hal yang umum terjadi. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, syok menjadi faktor utama berperan pada timbul dan berkembangnya SIRS, dan MODS, sehingga harus ditatalaksanai dengan baik. Resusitasi adekuat dengan pemberian cairan kristaloid merupakan prosedur resusitasi yang dianggap paling aman untuk substitusi cairan namun harus disadari bahwa penggunaan larutan kristaloid bukan yang terbaik; meskipun masih dijumpai kontroversi mengenai penggunaan koloid untuk resusitasi. Untuk mencapai tujuan resusitasi, diperlukan pemilihan cairan yang tepat namun harus didasari pemahaman mengenai jenis cairan yang dibutuhkan. Berbagai macam cairan seperti kristaloid, hipertonik dan koloid masing-masing memiliki kelebihan (keuntungan) dan kekurangan (kerugian) bahkan bahaya penggunaannya pada saat yang tidak tepat.
Regimen resusitasi Regimen Parkland sampai saat ini merupakan metode resusitasi yang paling umum diterapkan untuk resusitasi cairan pada kasus luka bakar; menggunakan cairan kristaloid. Namun, sebagaimana disampaikan sebelumnya, resusitasi cairan dengan metode Parkland mengacu pada waktu iskemik ginjal (<8jam) sehingga lebih tepat disebut sebagai suatu metode resusitasi renal; dengan sendirinya metode ini akan tepat bila diterapkan pada kasus luka bakar tidak terlalu luas dan tanpa keterlambatan.
Pengertian keterlambatan disini bukan dimaksudkan dalam pengertian keterlambatan penanganan di rumah sakit (hospital delay) tetapi merujuk pada waktu iskemik organ (khususnya hipoperfusi splangnikus dengan waktu iskemik 4 jam)
Dasar pemilihan cairan Ada beberapa faktor yang diperhatikan dalam menentukan pemilihan cairan, yaitu : 1) Efek hemodinamik 2) Distribusi cairan dikaitkan dengan 3) Oxygen carrier 4) pH buffering 5) Efek hemostasis 6) Modulasi respons inflamasi 7) Faktor keamanan 8) Metode eliminasi 9) Praktis dan efisien
Tujuan resusitasi cairan pada syok luka bakar: 1. Preservasi perfusi yang adekuat dan seimbang di seluruh pembuluh vaskuler regional, sehingga iskemia jaringan tidak terjadi pada setiap organ sistemik, sekurangnya pada taraf fisiologik, baik cepat maupun lambat. 2. Minimalisasi dan eliminasi administrasi cairan bebas yang tidak perlu, garam-garam anorganik, molekul-molekul protein koloid, transfusi yang bersifat patogen dan dapat menimbulkan perubahan-perubahan patologik yang bersifat latrogenik. 3. Optimalisasi status volumedan komposisi intravaskuler untuk menjamin survival maksimal dari seluruh sel (dengan menggunakan kelebihan- keuntungan dari berbagai macam cairan seperti kristaloid, hipertonik, koloid dan sebagainya) pada waktu yang tepat. 4. Minimalisasi respon inflamasi dan hipermetabolik yang dapat dipengaruhi melalui upaya resusitasi dengan menggunakan kelebihan-keuntungan dari berbagai macam cairan seperti kristaloid, hipertonik, koloid dan sebagainya. 5. Mengupayakan stabilisasi pasien secepat mungkin kembali ke kondisi fisiologi dalam persiapan menghadapi intervensi bedah seawal mungkin. Jenis cairan terbaik untuk resusitasi cairan pada berbagai kondisi klinik masih merupakan topik yang tetap didebatkan dan terus diteliti. Selain itu, beberapa pertimbangan dalam memilih jenis cairan sangat dipengaruhi kompleksitas permasalahan pada luka bakar, sehingga sebagian orang berpendapat kristaloid adalah jenis cairan paling aman untuk tujuan resusitasi (awal); pada beberapa kondisi klinik tertentu (lanjut). Sebagian lain berpendapat bahwa cairan koloid bermanfaat pada entitas klinik lain, yang berlainan dengan kondisi sebelumnya. Hal ini dikaitkan dengan karakteristik masing-masing cairan, baik kristaloid maupun koloid memiliki manfaat dan risiko pada kondisi- kondisi klinik tertentu sehingga sulit untuk mengambil keputusan untuk diterapkan secara umum sebagai protokol.
Pastikan harus dilakukan akses vena : - akses vena perifer - akses vena sentral -----> lakukan monitoring dan pengukuran CVP
Penatalaksanaan dalam 24 jam pertama A. Resusitasi syok Menggunakan larutan kristaloid Ringers Lactate atau Ringers Acetate 1. Pemasangan satu atau beberapa jalur intravena. Bila dijumpai kesulitan melakukan pemasangan jalur vena biasa, lakukan vena seksi pada beberapa tempat. Catatan: a) jangan memilih jalur vena pada tungkai bawah karena terdapat hipoperfusi perifer dan banyaknya sistm klep pada vena-vena ekstremitas bawah, b) hindari pemasangan pada daerah luka. 2. Pemberian cairan pada syok atau pada kasus dengan luas >25-30% atau dijumpai keterlambatan >2jam. Dalam waktu <4jam pertama diberikan cairan kristaloid sebanyak: - 70% adalah volume total cairan tubuh - 25% adalah jumlah minimal kehilangan cairan tubuh yang dapat menimbulkan gejala klinik dari sindroma syok - Untuk melakukan resusitasi cairan (melakukan koreksi volume) menggunakan kristaloid, diperlukan 3 kali jumlah cairan yang diperlukan : 3 [ 25% ( 70%XBBkg ) ] ml Misal BB 70 kg, volume cairan (70%) adalah 4,9 liter (dibulatkan menjadi 5 liter). 25% dari jumlah cairan yang hilang adalah kurang lebih 1.250ml maka jumlah cairan kristaloid yang diperlukan untuk resusitasi awal adalah 3.750ml. Prinsip resusitasi cairan yang terbaik adalah memenuhi kebutuhan defisit cairan, sementara mengenai jenis cairan resusitasi tetap masih dijumpai kontroversi: kristaloid, koloid, larutan fisiologik atau hipertonik. Pemberian cairan dilakukan dalam waktu cepat (kurang dari 4jam atau waktu iskemik mukosa saluran cerna),
menggunakan beberapa jalur intravena, bila perlu melalui vascular access (vena seksi dan sebagainya). Dengan catatan khusus untuk akses vena, hindari vena-vena di tungkai bawah karena terlalu banyak klep (valve) dan kolaps venosa yang akan menghambat prosedur pemberian cairan. Akses vena juga perlu dihindari pada daerah cedera; edema interstisiel yang timbul pada pemberian kristaloid akan menyebabkan gangguan sirkulasi sehingga mengganggu perfusi ke daerah cedera dan mengakibatkan degradasi luka.
Setelah syok teratasi, pemberian cairan mengacu kepada kebutuhan cairan berdasarkan pemantauan klinik dari waktu ke waktu. Sebagai patokan kasar, produksi urin dapat dijadikan pegangan: a) pada saat resusitasi produksi urin 0.5ml/kgBB, b) pada hari pertama, produksi urin antara 0.5-1ml.kgBB, c) pada hari pertama-kedua, produksi urin berkisar antara 1-2ml/kgBB dan d) pada hari ketiga-empat, produksi urin berkisar antara 3-4ml/kgBB. Pegangan lainnya adalah nilai-nilai tekanan vena sentralis (CVP) dan nilai-nilai laboratorik darah (darah tepi, fungsi hepar, fungsi ginjal, analisis gas darah, dsb) . Volume Ringers Lactate dihitung berdasarkan kebutuhan mengatasi syok: 3kali jumlah 25% dari volume cairan tubuh (5000ml untuk BB 70kg); pemberiannya sebelum 4jam (waktu iskemik mukosa saluran cerna). Selanjutnya pemberian cairan (Ringers Lactate ditambah Glukosa 5% untuk manintenance) disesuaikan kebutuhan yang diketahui berdasarkan pemantauan produksi urin. Setelah delapan-duabelas jam, Ringers Lactate tidak diberikan lagi, digantikan dengan koloid.
B. Resusitasi tanpa syok Resusitasi cairan tanpa gejala klinik syok atau pada kasus dengan luas <25- 30%, tanpa keterlambatan atau dijumpai keterlambatan <2jam Kebutuhan cairan sehari dihitung berdasarkan Rumus Baxter sebagai berikut: Pemberiannya mengikuti metode yang ditentukan berdasarkan formula Parkland. Pemberian cairan resusitasi menggunakan formula Parkland. Pada 24 jam pertama: separuh jumlah cairan diberikan dalam 8jam pertama, sisanya diberikan dalam 16jam berikutnya. 1. Pada bayi dan anak, orang tua kebutuhan cairan adalah 4ml, a. Bila dijumpai cedera inhalasi, maka kebutuhan cairan adalah 4ml, ditambah 1% dari kebutuhan. b. Bila dijumpai hipertermia, kebutuhan cairan ditambahkan 1% dari kebutuhan. 2. Untuk memperbaiki perfusi sirkulasi perifer diberikan zat vasoaktif (Dopamine atau Dobutamin, vasodilator perifer) dengan dosis 3 g/kgBB (dosis rendah, dosis renal) dengan titrasi (menggunakan syringe- pump) atau dilarutkan dalam 500ml Glukosa 5% dengan jumlah tetesan dibagi rata dalam 24 jam.
Pemantauan Pemantauan bertujuan menilai sirkulasi sentral, Central Venous Pressure diupayakan minimal berkisar 6-12cmH2O dan pemantauan sirkulasi perifer yaitu sirkulasi renal, jumlah produksi urin dipantau melalui kateter : Saat resusitasi : 0.5-1ml/kgBB/jam, kemudian hari 1-2 : 1-2 ml/kgBB/jam. Bila produksi urin <0.5ml/kg/jam, maka jumlah cairan diberikan ditingkatkan sebanyak 50% dari jumlah yang diberikan pada jam sebelumnya. Bila produksi urin >1ml/kg/jam, maka jumlah cairan yang diberikan dikurangi 25% dari jumlah yang diberikan pada jam sebelumnya. Lakukan juga pemeriksaan laboratorium, Fungsi renal: Ureum dan Kreatinin, Berat jenis dan sedimen urin. Selain itu tetap dilakukannya pemantauan sirkulasi splangnikus yang meliputi penilaian kualitas dan kuantitas produksi cairan lambung melalui pipa nasogastrik, dan penilaian fungsi hepar. Pemeriksaan darah perifer lengkap. Komposisi nilai hemoglobin dan hematokrit darah menggambarkan hemokonsentrasi atau hemodilusi. Nilai yang diperoleh dari hasil pemeriksaan ini harus dikonfirmasi pula dengan nilai lekosit dan trombosit; karena pada umumnya terjadi kerusakan endotel pembuluh darah, yang menyebabkan perlekatan komponen-komponen darah tersebut pada dinding vaskular.
Penatalaksanaan dalam 24 jam kedua 1. Pada 24 jam kedua, cairan yang diberikan berupa cairan mengandung glukosa. 2. Jumlah cairan diberikan merata dalam 24jam. 3. Jenis cairan yang diberikan pada hari kedua: a. Glukosa 5% atau 10%, 1500-2000ml b. Batasi/kurangi pemberian Ringers Lactate karena akan menyebabkan edema interstitial bertambah dan sulit diatasi 4. Pemantauan: a. Pemantauan sirkulasi Nilai CVP, bila volume cairan intravaskular tetap rendah (CVP di bawah +2) pemberian HES akan bermanfaat. Jumlah produksi urin: 1-2 ml/kgBB/jam. Bila jumlah cairan yang diberikan sudah mencukupi, namun produksi urin tidak sesuai (<1-2ml/kgBB/jam) nilai kembali apakah zat vasoaktif (Dopamine, Dolbutamine) sudah diberikan dengan dosis cukup. Bila dengan dosis 3g belum memberikan efek yang diinginkan, dosis dapat dinaikkan sampai 5g/kgBB. Bila jumlah cairan yang diberikan sudah mencukupi, zat vasoaktif sudah diberikan, produksi urin masih belum sesuai, maka tindakan selanjutnya merubah regimen pemberian cairan menggunakan larutan hipertonik (Nacl 3-6%) atau koloid jangan meningkatkan dosis zat vasoaktif karena justru akan menyebabkan vasokonstriksi. Bila produksi urin <1ml/kg/jam dan CVP meningkat >12cmH20, dapat diberikan diuretikum (khusus untuk pemberian furosemid, tambahkan kalium). Bila pada pemeriksaan urinalisis dijumpai pigmen, berikan Mannitol 20% per infus 0.5gm/kg.
b. Pemantauan perfusi: Perfusi ke jaringan dipantau dengan menilai analisis gas darah, dengan perhatian khusus pada kadar HCO3, H2CO3, tekanan parsial oksigen (PaO2) dan karbondioksida (PaCO2), nilai pH dan defisit basa (base excess/BE), serta konsentrasi elektrolit. Nilai-nilai ini harus dikonfirmasi dengan menilai kadar hemoglobin darah dan kadar glukosa darah. Jangan melakukan penilaian analisis gas darah dengan hanya memperhatikan pH dan BE saja; dan berupaya melakukan koreksi BE dengan pemberian bicarbonas natricus, karena hanya akan mengaburkan kondisi hipoksia yang sebenarnya terjadi. Pemberian bicarbonas natricus untuk koreksi BE hanya dilakukan bila BE melebihi minus 5, dimana pada nilai tersebut dianggap kemampuan jaringan melakukan kompensasi diatas batas maksimal. Kondisi abnormal pada analisis gas darah mencerminkan gangguan/ hambatan perfusi; sehingga harus dinilai kembali. Asupan oksigen yang terjamin baik (tidak ada sumbatan jalan nafas, tidak ada edema paru, gerakan respirasi baik); dengan kata lain tidak dijumpai distres pernafasan Vasokonstriksi perifer yang (masih) berlangsung. (2)
Jumlah cairan resusitasi adekuat, sudah diberikan dan tidak ada masalah dengan akses jalur vena. Bila kadar glukosa darah melebihi >150- 200mg/dl, maka berikan insulin 5unit subkutan, dilanjutkan pemberian per drip atau melalui syringe-pump. Pemberian insulin harus selalu dilakukan dengan memantau kadar glukosa darah dan kadar elektrolit. Pada pemantauan kadar elektrolit bila pada pemantauan dijumpai abnormalitas kadar natrium dan kalium, pemikiran pertama tertuju pada gangguan soudium-pump yang timbul akibat gangguan perfusi selular, umumnya hiponatremia terjadi akibat edema selular yang mendorong kalium keluar sel. Penatalaksanaan setelah 48 jam 1. Cairan diberikan sesuai kebutuhan maintenance. 2. Pemantauan sirkulasi: a. Komposisi Hemoglobin terhadap hematokrit mulai mendekati normal, cenderung menurun. Kadang dijumpai anemia relatif. b. Jumlah produksi urin: 3-4ml/kgBB/jam Produksi urin tidak adekuat (tidak sesuai target resusitasi) mencerminkan perfusi ke sirkulasi renal tidak baik. Dalam hal ini perlu dipikirkan penyebabnya, yaitu keseimbangan tekanan onkotik di ruang intravaskular terganggu, demikian pula halnya dengan keseimbangan di jaringan interstisiel. Perbandingan tekanan onkotik intravaskular dengan tekanan onkotik di ruang interstisiel tidak seimbang akibat gangguan permeabilitas kapilar yang masih berlangsung; menyebabkan perfusi tidak terselenggara termasuk ke sirkulasi renal yang mengakibatkan anuria. Dalam hal ini, upaya yang dilakukan adalah mengupayakan pengembalian keseimbangan tekanan hidrostatik-onkotik; dengan pemberian koloid. Pemberian koloid akan memperbaiki keseimbangan tekanan onkotik di ruang intravaskular, melalui proses penarikan cairan dari jaringan interstisiel. (2,16) Cara perhitungan lain tentang kebutuhan cairan pada pasien luka bakar adalah dengan perhitungan Formula Baxter : a. Kebutuhan cairan hari Pertama : Dewasa : RL 4 CC X BB X% Luas LB / 24 jam Anak : RL : DEXTRAN=17:3 Kebutuhan Faali < 1 tahun : BB X 100 CC 1-3 tahun : BB X 75 CC 3-5 tahun : BB X 50 CC -----> Jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama -----> Diberikan 16 jam berikutnya b. Kebutuhan cairan hari Kedua : Dewasa : diberikan sesuai kebutuhan Anak : diberikan sesuai kebutuhan faali Lakukan : - Pemasangan nasogastrik tube - Pemasangan urine kateter - Assessment perfusi ekstremitas - Continued ventilatory assessment - Paint management - Psychosocial assessment
Monitoring resusitasi cairan : 1. Urine produksi setiap jam Dewasa : 0,5 cc/kg/jam (30-50 cc/jam) Anak : 1 cc/kg/jam 2. Oligouria Berhubungan dengan sistemik vaskular resistensi dan reduksi cardiac output) 3. Haemochromogenuria (Red Pigmented Urine) 4. Blood pressure 5. Heart Rate 6. Hematokrit dan hemoglobin
Resusitasi cairan menggunakan cara lain: 1. Larutan Nacl 0.9% Merupakan alternatif bila cairan RL tidak tersedia. Penggunaan larutan ini dihadapkan pada kemungkinan timbulnya asidosis hipernatremia dengan segala bentuk resikonya; sehingga diperlukan pemantauan yang lebih terfokus pada keseimbangan elektrolit utama ini.
2. Larutan hipertonik (Nacl 3-6%) Resusitasi menggunakan larutan hipertonik masih tetap kontroversi bahkan sebagian mengatakan berbahaya khususnya bila diterapkan pada kondisi syok. Pemberiannya harus dilakukan dengan pemantauan khusus. Resusitasi dilakukan dengan pemberian 500ml Nacl 3-6% dalam 24jam dengan pemantauan produksi urin dalam 24jam pertama 1ml/kgBB/jam, dan 0.5ml/kgBB/jam untuk 24 jam kedua. 3. Koloid Pada formula Evans, dalam 24 jam pertama diberikan plasma 1 ml/ kgBB/%luas luka bakar ditambah larutan fisiologi (Nacl 0.9%) 1ml.kgBB/%luas luka bakar dengan pemantauan produksi urin 0.5ml/kgBB/jam. Selanjutnya, dalam 24 jam kedua, diberikan separuh jumlah regimen terapi hari pertama; ditambah glukosa 5% dengan jumlah yang sama. Pada formula Brooke, dalam 24 jam pertama diberikan plasma 1.5 ml/ kgBB/%luas luka bakar ditambah larutan RL 0.5ml.kgBB/%luas luka bakar dengan pemantauan produksi urin 0.5ml/kgBB/jam. Selanjutnya, dalam 24 jam kedua, diberikan separuh jumlah regimen terapi hari pertama; ditambah glukosa 5% dengan jumlah yang sama. Pemberian HES dipertimbangkan lebih awal (8-12jam pertama pasca cedera), karena koloid ini memiliki efek antiinflamasi yang dapat memperbaiki gangguan permeabilitas kapilar, disamping efek pengembang plasma. Pedoman resusitasi cairan yang ada hanya merupakan panduan untuk memberikan sejumlah cairan yang diperlukan, bukan suatu hal yang mutlak, oleh karena itu dijumpai beragam regimen yang sampai saat ini masih menimbulkan pro dan kontra, dan karena tidak ditunjang oleh suatu bentuk RCT maka protokol resusitasi cairan yang ada hanya merupakan guidelines. Pemberian koloid/plasma, menyebabkan penarikan cairan dari jaringan interstisiel ke intravaskular. Peningkatan volume intravaskular dengan sendirinya meningkat (dipantau melalui peningkatan CVP, preload jantung meningkat), sehingga harus diyakini bahwa jantung dan ginjal dalam keadaan baik.
Reference: 1. American College of Surgeons. Guidelines for the Operation of Burn Units. Reprinted from Resources for Optimal Care of the Injured Patient, Chapter 14: Committee on Trauma, 1999. Available in website:http://www.ameriburn.org/ guidelinesops.pdf
2. Naguib, M. and Lien C. A., 2005 Pharmacology of Muscle Relaxants and Their Antagonists in Millers Anesthesia sixth edition. p. 530-1
3. Tim Bantuan Medis 110 [Online]. 2011 Feb 10 [cite 2011 Nov 14]; Available from : URL: http://www.tbm110.org/artikel- medis/manajemen-luka-bakar.
MANAJEMEN ANESTESI UNTUK LUKA BAKAR
Tatalaksana korban luka bakar penting dari 2 sisi; pertama, anestesiologi sering harus menjadi asesmen primer, kemungkinan resusitasi, dan diharapkan dapat menstabilisasi pasien dan kedua, tatalaksana anestesu untuk korban luka bakar meliputi tatalaksana anestesi umum yang berulang yang dapat diaplikasikan kepada hamper setiap kasus pada lingkungan kerja sehari-hari. Homeostasis dari seluruh tubuh korban-korban ini telah berubah ; kita ditantang untuk memfasilitasi stabilitas hemodinamik dalam status hipermetabolik dalam setiap system organ. Tujuan operatif adalah untuk menimimalisasi respon inflamasi dengan mengeksisi jaringan mati. Prosedur operatif yang paling sering dilakukan untuk disiapkan untuk pasien ini adalah debridemen luka dan fasiotomi untuk tekanan kompartmental yang meningkat,
Luka bakar paling umum dibagi menjadi 4 kategori ; setiapnya memerlukan tatalaksana yang sedikit berbeda untuk penyembuhan optimal, tetapi semua memulai hipermetabolik, respon inflamasi, 4 kategori paling sering untuk luka bakar adalah flame (fire/thermal/scalding steam/liquid) ; tatalaksana tergantung terutama pada luasnya luka pada kulit. Luka bakar elektrik dapat menjadi tantangan untuk metalaksana destruksi CNS, myocardial, renal dan jaringan di sekitar tulang yang sekunder. 2 kategori terakhir paling umum disebutkan adalah luka bakar kimia dan luka bakar radiasi.
Evaluasi preoperative harus difokuskan paling pertama terhadap luasnya luka yang dapat dianalisa dengan rule of 9: kepala dan leher 9%, lengan 9%(setiap), kaki 18%(setiap), batang tubuh depan dan belakang 18% (setiap). Luka bakar ringan yang kurang dari 10% total body surface area (TBSA) biasanya memerlukan resusitasi formal; riwayat medis signifikan dapat membuktikan sebaliknya. Luka bakar yang mencapai 10-30% TBSA diklasifikasikan sedang dalam derajat keparahan dan yang melebihi 30% diklasifikasikan sebagai berat, sehingga monitoring yang invasive dan ventilasi mekanik direkomendasikan dengan perkiraan respon sistemik.
Presentasi TBSA luka bakar juga menyediakan suatu panduan untuk resusitasi cairan. Penggantian cairan dengan kristaloid versus koloid adalah kontroversial, namun menjaga volume cairan intravascular yang cukup dengan apapun yang dipilih tidak bisa dianggap enteng. Puncak third spacing setelah luka bakar adalah 6-12 jam, lalu barrier kapiler akan mulai dibangun kembali. Regimen penggantian cairan yang paling sering digunakan, formula Parkland, menunjukkan bahwa pada period 24 jam, RL harus diberikan dalam 2-4 mL per %TBSA luka bakar per kgBB, dengan setengah dari volume ini diberikan dalam 8 jam pertama. Bagaimanapun juga, terpisah dari formula cairan pengganti yang digunakan; Parkland, Moore atau Brooke, pada pasien dengan luka bakar berat, regimen 10cc/kg/jam dalam 12 jam pertama, diikuti 5cc/kg/jam untuk 12 jam selanjutnya sering cukup, dan ini dibuktikan dengan setidaknya 1 cc./kg/jam UOP. Tekanan darah dan nadi dapat menyesatkan dan bisa tidak merefleksikan status volume serta UOP pada pasien ini, Dalam tujuan proteksi renal bagaimanapun juga, menambah aliran urin dapat memerlukan tambahan dopamine dosis rendah atau bahkan manitol dalam kasus penampakan pigmen ketika UOP harus dijaga pada 1-2 cc/kg/jam. Kerugian dari penggunaan dopamine serta manitol adalah tidak terlihatnya hasil status volume pasien,
Fokus lain pada evaluasi dini termasuk: derajat oksigenasi, luka lain; inhalasi atau skeletal-vertebra, luasnya area grafting, rencana posisi pasien (dengan pad yang pantas; posisi tertentu, dengan kombinasi dengan administrasi volume tinggi dapat memperburuk edema saluran napas). Hasil lab untuk dimonitor preopreatif termasuk hemoglobin, PT/PTT, elektrolit, glukosa, U/A, analisa gas darah, sebagai tambahan foto thorax serta EKG. Tipe dan cross dari produk darah sejalan dengan transfuse yang sering pada pasien dengan prosedur debridemen luka mayor; sering mencapai satu volume darah atau lebih yang diadministrasikan. Tergantung dari luasnya luka, banyak anesthesiologist secara rutin akan menyiapkan darah segera setelah mengamankan jalan napas. Bagaimanapun juga komplikasi dari transfuse massif harus selalu dipertimbangkan; hipokalsemia sering menjadi problem umum yang dapat berkontribusi terhadap depresi miokardial.
Monitoring pasien, setidaknya dengan 2 bore besar IV, harus termasuk a-line dan CVP. Penggunaan PAC dapat membantu menganalisa kecukupan volume resusitasi dan tingkat keparahan dari edema pulmonal interstitial. Montor itu sendiri harus bersih dan steril, karna pasien luka bakar adalah imunokompromise. Monitor EKG memerlukan penggunaan elektroda jarum versus penjahitan EKG pad pada tempatnya, mengingat naiknya bahaya elektrikal. Kateter foley untuk monitor kritikal UOP adalah penting karna disfungsi renal perioperative sering menjadi penyebab kematian utama pada oasien ini. Tidal akhir CO2 dapat memperburuk status hipermetabolik yang memerlukan minute ventilation yang lebih besar. Level glukosa harus diperiksa karna hiperglikemia yang berasal dari respon stress dapat mennyebabkan osmotic diuresis yang memperburuk hipovolemia.
Induksi adalah paling baik untuk memindahkan pasien dari tempat tidur menuju meja operasi mengingat nyeri pada pasien. Trauma langsung dari jalan napas atas maupun bawah memerlukan persiapan untuk intubasi fiberoptik. Jarang terjadi adalah luka dibawah larynx karna reflek penutupan laryngeal. Awake fiberoptic intubation pada trauma luka bakar fasial/jalan napas adalah sering, dan dapat menjadi sulit diantara edema, sekresi dan distorsi struktur. Bagaimanapun juga, pengawasan edema yang mungkin tidak berkembang dalam beberapa jam dan paling nyata pada 8jam post luka bakar, menyebabkan obstruksi dan asfiksia. Elevasi kepala tempat tidur dapat membantu menurunkan potensial kepala dan leher yang bengkak. Penggunaan relaksan otot maka dari itu adalah kontraindikasi pada kebanyakan kasus kecuali tempat luka bakar jauh dari saluran napas. Lalu, pertimbangkan suksion gastrik, karna dengan lambung penuh yang diasumsikan pada pasien luka bakar, dengan pengosongan lambung yang tertunda sering pada semua pasien trauma.
Tidak ada agen anestesi satu ataupun kombinasi dari agen ini yang diindikasikan maupun dikontraindikasikan pada induksi pasien luka bakar luas; bagaimanapun juga succinylcholine harus dihindari sekunder terhadap hyperkalemia karna dapat menyebabkan cardiac arrest secepat 5 hari setelah luka bakar dan mencapai 3 bulan setelahnya. Pada umumnya pasien luka bakar memerlukan naiknya permintaan untuk semua obat anesthesia, karna status hipermetabolik. Sebagai contoh, pada 48 jam setelah terbakar, kebutuhan relaksan nondepolarizing mm meningkat 5 kali dari dosis dari pasien yang tidak terbakar. Bagaimanapun juga, dosis reversal dari neostigmine tidak berubah.
Teknik maintenance anestesi harus memaksimalkan pertukaran gas sementara meminimalisasi efek hemodinamik sebaliknya. Organ yang terkena adalah luas; system kardiovaskular dan respirasi sebagai tambahan dari status hipermetablik harus ditatalaksana intraoperative sebagai didiskusikan di bawah.
Efek mayor kardiovaskular dimanifestasikan sebagai turunnya cardiac output. Perubahan fisiologik dini yang dapat menyebabkan ini adalah naiknya permeabilitas vascular dari pembuluh darah dan turunnya kontraktilitas miokardial. Dalam 24 jam pertama, perpindahan cairan mayor, dari intravascular dan interstitial menuju intraselular, menyebabkan turunnya volume plasma, hiponatremia dan hipoproteinemia. Namun, jika resusitasi volume yang cukup telah dilakukan, cariac output pre-luka bakar kembali dalam 36 jam. Studi menunjukkan bahwa turunnya kontraklititas adalah hasil dari toxin yang bersikulasi dalam sera pasien luka bakar yang menyebabkan depresi miokardial. Pada setting ini, tidak ada kontraindikasi untuk penggunaan inotrope, seperti dobutamin bersamaan dengan penurun afterload seperti nitropurusid, dan penghindaran agen depresan miokardial seperti agen inhalasi dosis tinggi.
Kebanyakan efek respiratorik adalah hasil dari racun inhalasi; keracunan karbon monoksida (CO) adalah penyebab utama dari kematian yang berasosiasi dengan api. Hipoksemia yang diasosiasikan dengan inhalasi asap dan keracunan karbon monoksida (CO) dapat menjadi fatal. CO memiliki afinitas 200x dari oksigen untuk berikatan dengan hemoglobin. Perpindahan ke kiri dari kurva oksihemoglobin merepresentasikan turunnya pelepasan oksigen ke jaringan; 100% FiO2 adalah penting untuk menatalaksana keracunan CO. Efek respiratorik lain yang sering yang diamati adalah terjadinya ARDS dan manajemen ventilator harus dilakukan. Oksigenasi yang terganggu sekunder terhadap edema pulmonal dan atelectasis memerlukan FiO2 lebih tinggi dan peep. Aplikasi dari peep (lebih dipilih <10) meskipun membantu untuk oksigenasi dengan merekruit alveoli atelektik, dapat menyebabkan perburukan dari kerusakan membrane alveolar. Bronkodilatasi dapat membantu, namun steroid adalah kontroversial. Bronkoskopi dapat membantu tidak hanya untuk mendiagnosa keparahan dari trauma inhalasi namun menjadi panduan tatalaksana lanjut.
Status hipermetabolik yang terjadi diasosiasikan dengan penemuan yang dapat diprediksi seperti demam, takikardia, tachypnea, dan turunnya berat badan. Proses katabolic dapat menyebabkan cachexia berat yang dimana nutrisi dini dan berkelanjutan, seperti TPN dapat mempercepat rehabilitasi. Karna hilangnya kulit sebagai barrier protektif dan karna hilangnya panas karna penguapan, hipotermi menjadi problem utama menyebabkan kebutuhan metabolic tambahan dalam mencoba menghasilkan panas pada pasien yang sudah hipermetabolik. Konsekuensi tambahan dari hipotermia termasuk: turunnya cardiac output, menurunnya konstriksi pulmonary hipoksi, left shift dari kurva disosiasi Hb-O2, pelepasan hormone katabolic(termasuk katekolamin), masking dari hipovolemia, dan hilangnya graft kulit ( sekunder dari vasokonstriksi berat). Pasien dengan suhu tubuh utama harus dijaga sekitar 100 derajat F. Metode yang dapat dilakukan : selimut hangat dalam transport, ruang operasi setidaknya 77 derajat F, cairan hangat, melembabkan dan memanaskan semua gas inspirasi, lamput panas radiant seluruh tubuh, dan pengawasan terhadap ekstubasi pasien hipotermi (<96F).
Emergence dan manajemen postoperative harus dipertimbangkan dimana pasien perlu diekstubasi. Dengan keuntungan tidak adanya trauma inhalasi, perpindahan cairan signifikan sering menyebabkan pasien tetap perlu diintubasi. Jika