Anda di halaman 1dari 1

B

elum pernah kujumpai, perem-


puan yang menggandrungi kopi
melebihi Flora. Para pelayan
akan lantas mengenali tamu
tersebut saat ia memasuki Lartista. Si
mungil yang kerap mengelabang rambut,
berkulit seeksotis cappuccino, serta pelit
bicara. Setiap kunjungan, ia pasti meme-
san latte, minimal dua cangkir, dengan
lukisan hati di atasnya. Bagi Flora, kopi
identik dengan dirinya: mustahil sejernih
air mineral, tidak setransparan teh, apalagi
seputih susu.
Ia selalu datang sendirian, pada hari
Rabu atau akhir pekan. Ia akan duduk ber-
jam-jam di sofa dekat jendela, menonton
aksi barista di konter bar, atau sesekali
menghampiri pianis mingguan di sudut
lounge. Selain nama, aku tak cukup men-
genalnya, kecuali satu kebiasaan unik. Ia
betah berada di kafe ini sampai pemutar
musik mengalunkan lagu La Vie en
Rose. Sejak itu, aku tertarik memer-
hatikannya, terutama alasan yang membu-
atnya tak bergegas angkat kaki sebelum
mendengar suara merdu Edith Piaf.
***
SEBAGIAN orang menyebut kedai
ini The Artist. Kesan semacam anggun
dan elegan sering kutemukan ketika
membaca kartu komentar. Mulai dari atap
yang menyerupai kubah berhias mozaik,
hingga sapuhan cat marun yang selaras
dengan pijar keemasan lampu gantung.
Adapun jari-jari lincah Albero yang
mampu membuai pelanggan saat menari
di atas piano. Termasuk tamu cantik itu,
gadis yang baru saja menggantungkan
mantel di depan pintu. Ia berjalan lambat
seraya mengedarkan pandangan ke sekeli-
ling lounge. Saat mata kami beradu,
langkahnya kian mantap menyam-
bangiku.
Selamat malam, Tuan Kucing.
Bagaimana harimu? Aku alpa kapan per-
sisnya, ia tidak lagi menyapaku dengan
Anda. Kami mulai dekat semenjak aku
berlaku sok akrab, cara klasik agar
perempuan sedikit membuka dirinya. Aku
bahkan hafal jumlah tegukannya untuk
menandaskan secangkir kopi. Kebetulan
namaku pun serupa tokoh kartun favorit-
nya, Tom and Jerry.
Ah, aku masih belum berhasil
menangkap tikus cerdik itu.
Kutampakkan raut lesu.
Flora tertawa kecil, lalu mengusap
rambutnya yang basah oleh gerimis.
Thomas, buatkan aku secangkir latte
bergambar daun.
Belakangan, ia gemar duduk di depan
konter bar. Menurut seorang rekan, ia
bersikap demikian hanya bila aku, barista
yang bertugas.
Jadi, kau sudah tidak jatuh cinta?
aku menggoda.
Mungkin. Sebab kau tak juga meng-
hadiahkan Jerry padaku.
Aku lekas sibuk dengan mesin kopi
Jura. Kupertontonkan kelihaianku mencu-
rahkan susu dari corong stainless saat
mencipta buih-buih rosetta. Ia begitu
serius memandangiku, kadang bertopang
dagu, kadang memiringkan kepala. Ketika
kusajikan pesanannya, ia melengkungkan
senyum semanis karamel. Nona berkepang
itu seolah tak sadar, kepolosannya mem-
buat jantungku berdebar.
Aku melipat tangan di atas meja. Tak
sedetik pun melepaskan pandangan
darinya. Saat jemarinya mulai menyentuh
cuping gelas, matanya memandangi kepu-
lan asap, hidung yang tak mau kalah
mencium aroma, hingga kopi buatanku
mendarat di lidahnya.
Aku sering berlagak bodoh untuk
memancingnya bicara banyak.
Pemahamannya tentang asal-usul kopi
jauh dari yang kuperkirakan. Ia mem-
bandingkan kisah penggembala Kaldi
berikut domba-dombanya di Ethiopia,
serta Sheik Omar yang menemukan tum-
buhan liar di Yaman. Ia juga tahu Kazuki
Yamamoto, pelukis latte art andal di
Jepang yang menurutnya mirip denganku
hanya karena kacamata dan kulit pucat.
Aku semakin terlena. Mengapa baru
sekarang bersua gadis sememikat Flora?
***
ENTAH sejak kapan, Flora mulai
mencocokkan waktu kunjungannya
dengan jadwalku. Ia tak canggung
bertukar cerita, melempar lelucon, tertawa
lepas, walau berpasang mata menatap
penuh curiga.
Dengarkan, ucapku di
tengah musik yang
mengalun.
Kami menambah koleksi
musik jaz. Khusus malam ini, lagu
kesukaanmu tidak akan diputar.
Flora membelalakkan gundu matanya.
Aku menegakkan badan. Dua kali
berdeham agaknya cukup untuk menyi-
asati suaraku yang lumayan serak. Tangan
kananku berlagak memegang leher
mikrofon, sedangkan sebelah lainnya
melakukan improvisasi.
Quand il me prend dans ses bras
Il me parle tout bas
Je vois la vie en rose (*)
Flora menahan geli. Kau lebih bagus
menirukan suara kucing daripada
bernyanyi, potongnya, cukup, Thomas,
perutku melilit karena suaramu.
Sialnya, ini bukan akhir pekan.
Tidak ada Albero yang bisa memainkan
lagu pesananmu.
Aku terus bernyanyi dengan suara
sumbang, tak peduli meskipun Flora sam-
pai terbungkuk seraya memegangi perut-
nya. Aku berhenti saat ia menyapu air di
sudut matanya.
Jangan khawatir. Kalau kau tak
sanggup berjalan, aku bersedia mengan-
tarmu pulang. Aku kelepasan bicara.
Flora bungkam. Ia mengganguk
pelan, tertahan, dengan pandangan
berpencar. Senyum karamelnya terlihat
kembali. Tangannya lembut mengaduk
permukaan kopi, membuat denting antara
sendok dengan bibir gelas, kemudian
mengangkatnya lagi.
***
SILAKAN, komplimen dariku.
Kusodorkan segelas kopi dingin, hadiah
kecil karena ia menemani hingga kafe
tutup. Di tengah area yang sunyi, kami
duduk tepat di bawah lampu kristal
bohemia. Hanya aku dan Flora.
Mungkin Flora satu-satunya gadis
yang membuatku tahan berlama-lama
menyembunyikan lintingan tembakau. Ia
menolak mentah-mentah sekotak sigaret
bermerek yang pernah kutawarkan.
Padahal, biasanya aku menjauhi lawan
bicara yang alergi terhadap nikotin. Aku
tak keberatan mengunyah permen karet
mint selama bersamanya.
Kau bilang tak punya pengalaman
barista, tapi bisa bekerja di kedai elite
sekelas Lartista. Selain ahli meracik kopi,
bahasa Perancis-mu pasti bagus, ya?
Tidak juga. Mulutku asyik berdecap
di hadapan Flora, duduk berjagang sambil
memainkan sebatang kayu manis.
Kebetulan aku kenal pemiliknya.
O ya? Kapan-kapan kenalkan
padaku, pelanggan setia Lartista.
Ia tidak terlalu ramah. Kau tak kan
senang bertemu dengannya.
Kau takut aku
jatuh hati padanya?
Bukan, tepisku sam-
bil menggaruk kepala, itu
tidak mungkin, lagipula kau pasti
sudah punya kekasih.
Kekasih? ia terkikik.
Aku mengangkat pundak. Gelembung
permen di bibirku meletup sekeras balon
pecah. Jadi... belum punya? Entah
mengapa, hatiku sedikit lega.
Dua tahun lalu, sebuah cincin sem-
pat melingkar di sini. Ia menunjuk jari
manisnya. Mantan tunanganku seorang
pelaut, pecandu kafein, dan penggemar
musik klasik.
La Vie en Rose?
Itu lagu yang dinyanyikannya saat
melamarku di dermaga.
Kenapa cincinnya menghilang?
Jeda. Pandangannya hampa, tertum-
buk pada gelas plastik berembun.
Setelah lamaran, ia melakukan pela-
yaran terakhirnya. Malang, kapalnya
tenggelam di perairan Hindia, jasadnya
tak pernah ditemukan. Dulu, aku selalu
melarangnya minum kopi. Aku tidak per-
nah tertarik dengan hobinya mengoleksi
biji-biji arabika, robusta, luwak, apa pun.
Aku juga tak berminat menemaninya ke
kafe sekadar minum kopi, ungkap Flora
sembari menyeruput icepresso.
Itu alasannya kau terus menyusuri
jejak kekasihmu?
Aku sudah berusaha melupakan, tapi
semakin mencoba, semakin tersiksa.
Kemudian aku berpikir untuk mengingat-
nya, terus mengenang kepedihan, sampai
bosan dan tak lagi merasakan apa-apa.
Aku rehat memamah permen yang
mulai terasa hambar. Tangan Flora
gemetar, membuatku serta-merta
menggenggamnya. Akal sehatku mulai
kacau.
Kenangan lama memang tak bisa
kau hapus, Flora. Tetapi kau punya dua
pilihan, mengabaikannya dalam tumpuk-
an memori, atau menciptakan kenangan
baru.
Flora memaksa tertawa ketika
matanya berkaca. Aku berhenti bicara,
hanya mengamatinya. Suara tawanya ber-
selingan dengan seruputan kopi yang
surut perlahan. Pingkal mereda saat pipi
mulusnya kejatuhan gerimis. Ia tak henti
menenggak minumannya hingga
kerontang, menyisakan batu-batu es, seo-
lah tak bernapas. Segelas kopi yang tan-
das tersebut, cukup menyiratkan kecamuk
hatinya.
***
KAULAH satu-satunya alasanku
mendatangi Lartista, tutupnya di ujung
obrolan kami.
Aku berupaya mengendalikan diri,
sesudah kayu manis di tangan tak mampu
kukuasai. Benda cokelat itu tergeletak di
atas marmer
kelabu, seakan meringis, mengejek keti-
dakberdayaan seorang lelaki pecundang.
Aku bangkit, memenuhi janji untuk
mengantarnya pulang. Lekas kusam-
pirkan jaket pada punggung Flora agar
angin di luar tidak menusuk kulitnya.
Flora yang masih terisak menahan sesaat,
tangan mungilnya kuat menggayuti
lenganku. Betapa sulit menahan jemariku
yang lancang menyeka air matanya, alih-
alih kusorongkan berhelai tisu kemudian.
Ini mutlak kesalahanku, membawa
Flora bernostalgia dengan masa lalu,
sementara aku tak bisa berbagi bahu.
Kuharap, ia tak memberiku kesempatan
selangkah pun untuk maju.
Andai waktu bisa diundurkan, setahun
saja, aku rela kehilangan jati diri, terma-
suk bakat mengolah kopi. Sebab Lartista,
kedai tempat kami bercengkerama, adalah
milik perempuan yang lebih dulu menun-
tut kesetiaanku. (62)
(*) Petikan lirik lagu klasik La Vie
en Rose (1945) yang dipopulerkan oleh
penyanyi berdarah Perancis, Edith Piaf.
Wi Noya, lahir di Jakarta, 14
November 1988 dan tinggal di kota terse-
but.
Nana Riskhi Susanti
Suara Para Sai Maras
: Yudin Ainusi
subuh masih jauh
burung malam lari berebut cahaya pertama
melangitkan mimpi para pendendam
raja-raja datang dan pergi
mengutuk nasibku jadi penguhuni paling sunyi:
Papua
tanah yang dijanjikan
tanah yang ditinggalkan
kamilah kaki-kaki hitam yang berjalan memunggungi matahari
memunggungi arah pendatang-pendatang malang
rimbunan bambu berjajar di bukit-bukit
menjelma doa pagi di sekarung sagu:
remah-remah rezeki paling purba itu
ke rumah-rumah ke perut anak-anak ke dapur para istri
matahari belum benar-benar tinggi
ketika huruf-huruf latin itu susah payah kami eja
dan angka-angka keparat itu makin memusingkan kepala
apakah sesudah itu akan kita dapati
gedung yang tak berpindah-pindah, guru-guru
yang selalu hadir dan ada, atau sisa-sisa buku dari kota?
kami lebih abadi dari dongeng
dari noken-noken Sai Maras
yang membentang pulau
yang warna-warnanya di langit
menjelma kejora
dusun ini tak dapat kami tempuh dengan puisi
dengan gerimis pelengkap sepi
hanya dengan mata-mata nyalang
dan tangan mengepal
kebodohan ini bisa ditamatkan
Sai Maras, 2 Mei 2014
Kepanikan Babi
: Sarwenda Kongtesa
mengendus bagai babi
wajahku menjelma ribuan kendi usai pesta bakar diri
pesta satu-satunya yang jadi kebencian
orang-orang di kampung ini
bila niat baikmu berjumpa wajah pucatku
kepanikan-kepanikan ini hanya sebagian kecil
dari derita babi yang diikat kuat-kuat
dan tak pernah dianggap terhormat
bila aku pergi sangat pagi
menyusuri dosa-dosamu menjelang Natal
akankah rambut yang kubakar ini
tak lebih menggetarkan dari tangisan babi?
air mata jadi tak luar biasa dalam barisan para penduka
dalam arakan sesaji yang membayang bunga kamboja
bersama ingatan tentang Tuhan
aku mengerti piutang-piutang kata mengendap
berjumpa kepanikan-kepanikan yang lain di keraguan yang
lain
yang tak dapat engkau jelaskan di rumah Tuhan
pada jam-jam menjelang fajar sekalipun
di sebuah nusa kecil nan lengang
kupunguti bunga pepaya berguguran
aku kelaparan dan masih setia
menyimakmu berdoa menyanyi puji-puja
aku kelaparan dan terus mengendus bagai babi
binatang yang tak sudi tunduk pada Tuan
pada hari-hari terakhirku di dekat kandang babi
terberkatilah kepedihan yang membelanga
kesepian yang menggenapi petang milik pendatang
malam melambat
kunang-kunang pijar sempurna
kita akan berjumpa di Surga
Adonara Timur, 25 Juni 2014
Cerpen Wi Noya
Kirimkan cerpen, sajak, esai budaya,
dan biodata Anda ke
swarasastra@gmail.com.
MINGGU, 24 AGUSTUS 2014
Lartista
S
etiap pengarang didesak untuk
menulis lantaran ada sesuatu yang
penting dan hendak dikatakan
pada banyak orang. Pengarang Eka
Kurniawan punya alasan itu melalui
novel terbarunya yang berjudul Seperti
Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
(Gramedia Pustaka Utama, Mei 2014).
Membaca judul yang mirip dengan novel
remaja picisan ini, Eka berbicara soal fil-
safat, silat, moralitas, dengan bumbu
cinta yang dikemas dengan cara kocak,
dan konyol. Novel yang menggelorakan
simpul saraf.
Eka piawai menyisipkan makna yang
tertebar di sana-sini. Salah satu muatan
yang menonjol itu yakni filsafat. Alumnus
Fakultas Filsafat Universitas Gadjah
Mada (UGM) Yogyakarta tahun 1999 ini,
melalui tokoh-tokoh rekaan yang sering
muncul, lincah menyisipkan makna
niatan yang dalam bahasa Remy Sylado,
pesan kenabian.
Konflik utama bermuara pada si Ajo
Kawir, bocah yang burungnya tidak bisa
berdiri gara-gara (oknum) polisi. Cerita
ringkasnya begini: Ajo Kawir, putra
pegawai perpustakaan daerah yang
bergiat di surau dan menghabiskan
masa remaja untuk berkelahi. Dia selalu
ditemani sahabat karibnya si Tokek. Akar
masalah justru berasal di pangkal
pahanya: burung.
Saat bergiat di surau, penikmat buku
komik tentang surga dan neraka ini dia-
jak si Tokek mengintip perempuan tak
waras, Rona Merah. Suatu malam Rona
Merah diperkosa oleh dua polisi yang
menembak mati suaminya dalam sebuah
operasi terselubung pemberantasan pre-
man. Dua polisi itu bernama Si Pemilik
Luka dan Si Perokok Kretek. Ia ter-
tangkap saat mengintip dan dipaksa ikut
memerkosa Rona Merah yang ditelan-
jangi dan dibuat tak berdaya di atas meja
besar. Dan, saat itulah, ketika berhada-
pan langsung dengan kemaluan Rona
Merah yang sudah dihantam dua polisi
itu, dan di bawah todongan pistol di
kepalanya, burung Ajo Kawir remaja
tiba-tiba lumpuh layu.
Individu ke Sosial
Burung Ajo Kawir yang mulanya
menjadi masalah individu menjadi masa-
lah sosial baru ketika diketahui Iwan Ang-
sa dan Iteung, istri Ajo Kawir. Untuk me-
nutupi ketidaksempurnaannya, Ajo Kawir
mendaku sebagai lelaki tangguh yang
hasratnya hanya ingin berduel kepada
lelaki mana pun di kampung. Aku rindu
berkelahi dan dengan senang hati men-
cabut nyawa! (hal. 48). Bahkan, ia me-
nerima dengan lapang dada tawaran Pa-
man Gembul menjadi pembunuh bayar-
an. Pekerjaan yang kemudian mengan-
tarkannya ke penjara. Setelah keluar, ia
menjadi sopir truk Jawa-Sumatera yang
mengubah hidup menjadi lelaki bijak de-
ngan bimbingan si burung yang lemah
lunglai. Ya, si burung menjadi sema-
cam guru spiritual bagi Ajo Kawir, mela-
hirkan kebajikan, melahirkan filsafat
kehidupan.
Dari persoalan burung-nya, Ajo
Kawir belajar arti jalan kesunyian. Jalan
para pencari ketenangan. Jalan Para sufi
dan para mahaguru. Sebuah jalan tanpa
kekerasan. Jalan tanpa ketamakan dan
keberingasan karena menghindari keri-
butan. Hidup dalam kesunyian. Tanpa
kekerasan, tanpa kebencian. Aku
berhenti berkelahi untuk apa pun. Aku
mendengar apa yang diajarkan Si
Burung. (hal.123)
Bagi Ajo Kawir, sebagaimana ditu-
turkan kepada keneknya, Mono
Ompong, kemaluan bisa menggerakkan
orang dengan biadab. Kemaluan adalah
otak kedua manusia, seringkali lebih
banyak mengatur ketimbang yang dilaku-
kan kepala. Dan, pada saat yang lain,
Ajo Kawir berkata dengan arif:
Kehidupan manusia ini hanyalah impian
kemaluan kita. Manusia hanya men-
jalaninya saja. (hal.189)
Pada akhirnya, di bagian akhir novel,
burung Ajo Kawir bisa bangun dan
perkasa lagi setelah memakan tumbal
nyawa dua orang polisi. Ya, dua orang
polisi, Si Pemilik Luka dan Si Perokok
Kretek, yang menjadi penyebab burung
Ajo Kawir lumpuh layu dibinasakan oleh
istrinya, Iteung. Namun sayangnya, saat
burung Ajo Kawir bisa tegak, Ajo Kawir
mesti kehilangan Iteung yang harus
masuk bui akibat pembunuhan yang
disangkakan kepadanya. Pada bagian ini
saya kira muatan judul novel ini, berupa
tulisan di bak truk Ajo Kawir saat menjadi
sopir angkutan berat: Seperti Dendam,
Rindu Harus Dibayar Tuntas, dengan
gambar seekor burung yang tampaknya
tengah tertidur pulas, nyaris menyerupai
burung mati (hal.138).
Membaca novel ini, dari tuturan tokoh
Ajo Kawir, kita akan menemukan narasi
sarat filsafat. Filsafat bermuara pada
anggota tubuh kelelakian. Filsafat yang
lahir dari tempaan konflik batin tokoh di
dalam meredam gejolak hasrat dan
nafsu. Eka melalui tokoh Ajo Kawir seo-
lah hendak berfilsafat namun dalam
kemasan yang ringan. Filsafat dalam diri
orang biasa, sopir truk. Filsafat melalui
narasi model komik silat yang ia gemari.
Bagi Eka yang notabene telah menga-
krabi ilmu filsafat sejak kuliah di UGM,
tiap kata seolah punya celah untuk berfil-
safat. Termasuk, ketika mengangkat
tema yang kerapkali ditabukan: perihal
keintiman dan organ vital.
Kritik
Satu hal yang menarik dari novel
setebal 245 ini adalah keberanian Eka
dalam menghidupkan bahasa-bahasa
tabu yang cenderung dibunuh. Bisa
dikatakan, Eka melalui novel ini hendak
mengkritik kalangan konservatisme dari
kacamata literer. Kritik bagi sebagian
kalangan penulis yang mengharamkan
atau menghindari sebagian kata karena
dinilai tidak patut dan bercitarasa
pornografi. Ia hendak membangkitkan
kembali bahasa yang oleh sebagian
pengguna bahasa dikebumikan dalam
pusara tabu. Eka tak ingin menutup-
nutupi kata-kata hanya karena faktor nilai
rasa yang sifatnya subjektif. Dalam ranah
literer, pengarang melalui bahasa tak
boleh membodohi dan mendikte pemba-
ca. Meski demikian, karena kecakapan
Eka, karya ini tidak terjebak pada karya
vulgar nan erotik laiknya novel picisan
ala Enny Arrow.
Selama ini diketahui kata-kata yang
merujuk pada selangkangan oleh kalang-
an konservatisme diperhalus. Efeknya
memberangus kata-kata yang diasum-
sikan jorok dan porno. Melalui novel ini
justru Eka menganggap biasa kata yang
ditabukan itu. Tak beda dengan kata lain-
nya. Di novel ini akan pembaca temukan
varian kata yang merujuk ke kelamin laki-
laki dan perempuan.
Tak ada yang tabu pada kata.
Pengguna dan sistem sosiallah yang
menabukannya. Bahasa tak semestinya
dibinasakan. Namun, menabukan lazim
terjadi pada kata yang merujuk makna
alat kelamin manusia. Kata seputar se-
langkangan mengalami penghalusan,
padahal juga sudah dicantumkan dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesoa (KBBI)
sebagai rujukan. Penghalusan kata pada
hal yang tidak sepatutnya justru beraki-
bat pada pengrusakan dan distorsi baha-
sa. Pada sebuah kesempatan, seorang
ahli bahasa, Alif Danya Munsyi, me-
nyampaikan, bahasa yang menunjukkan
alat kelamin laki-laki kerapkali diperhalus.
Hemat saya, anggapan menyembun-
yikan bahasa sebagai upaya menghin-
dari kesan bahasa pornografi membuat
pelaku bahasa tak memahami bahasa itu
sendiri. Padahal, yang bikin porno sejati-
nya otak kita. Jorok dan porno itu berasal
dari pikiran kita. Dalam bahasa Eka pada
catatan berjudul Kata-kata yang Dibu-
nuh dari blog ekakurniawan.com, Kata-
kata akan selalu merupakan metafor, ia
bukan realitas itu sendiri. Membunuh ka-
ta-kata, tak jauh berbeda dengan me-
mukul bayangan sosok buruk di per-
mukaan air. Sosoknya yang asli tak ter-
pukul, dan di waktu yang tak berapa
lama, ketika air kembali tenang, bayang-
an itu akan kembali muncul.
Secara umum, novel ini tampaknya
menyerap banyak teori dan karya sastra
dengan jejak-jejak jelas. Ada jejak plot
Haruki Murakami, gaya cerita silat Kho
Ping Hoo, dan adegan polisi ala film-film
Bollywood, dan ada pula struktur cerita
Gabriel Garcia Marquez. Namun, sa-
yangnya, dalam novel yang ditulisi 21+
(untuk 21 tahun ke atas), Eka tidak pi-
awai menerapkan teknik Marquez seperti
yang ia tulis dalam novel pertama, Cantik
Itu Luka (2002). Kalaupun ada yang saya
catat pada adegan penggerebekan polisi
di rumah Agus Klobot. Darahnya mem-
basuh muka istrinya, tubuhnya bolong-
bolong. Dari lubang di tubuhnya tak
hanya keluar darah, tapi juga sisa nasi
dan cacing perut. (hal. 13).
Catatan akhir, Eka terlalu asyik
dengan cerita silat, mengejar soal
burung serta sensualitas. Adegan sen-
sualitas kelewat banyak. Hal ini mengor-
bankan plot utama. Dia berhasil mencip-
takan tokoh yang unik, Ajo Kawir, tetapi
kehilangan karakter. Masa transisi per-
ubahan dunia batin Ajo Kawir, dari
kelumpuhan burung hingga menjadi
seorang filsuf begitu ringkas. Eka tampak
terengah-engah di bagian akhir cerita.
Seolah ingin cepat selesai. Buku ini bisa
menjadi lebih, namun karena catatan-
catatan tadi, buku ini menjadi serupa
novel pop. Apabila saya bandingkan
dengan Cantik Itu Luka-nya, novel ini
mengalami penurunan kualitas. Ada
yang kurang dan ada yang melimpah,
tapi tetap menggemaskan. (62)
Heri CS, pengelola Komunitas
Lereng Medini dan Pondok Baca Ajar
Boja Kendal
Pendobrakan Bahasa Tabu ala Eka
KRITIK SASTRA
Oleh Heri CS
Nana Riskhi Susanti, lahir di Tegal, 2 Oktober
1989. Penyair, deklamator, dan reporter film doku-
menter. Pada 2013, magister susastra ini meraih
Anugerah Pembaca Puisi Terbaik Hari Puisi
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai