puan yang menggandrungi kopi melebihi Flora. Para pelayan akan lantas mengenali tamu tersebut saat ia memasuki Lartista. Si mungil yang kerap mengelabang rambut, berkulit seeksotis cappuccino, serta pelit bicara. Setiap kunjungan, ia pasti meme- san latte, minimal dua cangkir, dengan lukisan hati di atasnya. Bagi Flora, kopi identik dengan dirinya: mustahil sejernih air mineral, tidak setransparan teh, apalagi seputih susu. Ia selalu datang sendirian, pada hari Rabu atau akhir pekan. Ia akan duduk ber- jam-jam di sofa dekat jendela, menonton aksi barista di konter bar, atau sesekali menghampiri pianis mingguan di sudut lounge. Selain nama, aku tak cukup men- genalnya, kecuali satu kebiasaan unik. Ia betah berada di kafe ini sampai pemutar musik mengalunkan lagu La Vie en Rose. Sejak itu, aku tertarik memer- hatikannya, terutama alasan yang membu- atnya tak bergegas angkat kaki sebelum mendengar suara merdu Edith Piaf. *** SEBAGIAN orang menyebut kedai ini The Artist. Kesan semacam anggun dan elegan sering kutemukan ketika membaca kartu komentar. Mulai dari atap yang menyerupai kubah berhias mozaik, hingga sapuhan cat marun yang selaras dengan pijar keemasan lampu gantung. Adapun jari-jari lincah Albero yang mampu membuai pelanggan saat menari di atas piano. Termasuk tamu cantik itu, gadis yang baru saja menggantungkan mantel di depan pintu. Ia berjalan lambat seraya mengedarkan pandangan ke sekeli- ling lounge. Saat mata kami beradu, langkahnya kian mantap menyam- bangiku. Selamat malam, Tuan Kucing. Bagaimana harimu? Aku alpa kapan per- sisnya, ia tidak lagi menyapaku dengan Anda. Kami mulai dekat semenjak aku berlaku sok akrab, cara klasik agar perempuan sedikit membuka dirinya. Aku bahkan hafal jumlah tegukannya untuk menandaskan secangkir kopi. Kebetulan namaku pun serupa tokoh kartun favorit- nya, Tom and Jerry. Ah, aku masih belum berhasil menangkap tikus cerdik itu. Kutampakkan raut lesu. Flora tertawa kecil, lalu mengusap rambutnya yang basah oleh gerimis. Thomas, buatkan aku secangkir latte bergambar daun. Belakangan, ia gemar duduk di depan konter bar. Menurut seorang rekan, ia bersikap demikian hanya bila aku, barista yang bertugas. Jadi, kau sudah tidak jatuh cinta? aku menggoda. Mungkin. Sebab kau tak juga meng- hadiahkan Jerry padaku. Aku lekas sibuk dengan mesin kopi Jura. Kupertontonkan kelihaianku mencu- rahkan susu dari corong stainless saat mencipta buih-buih rosetta. Ia begitu serius memandangiku, kadang bertopang dagu, kadang memiringkan kepala. Ketika kusajikan pesanannya, ia melengkungkan senyum semanis karamel. Nona berkepang itu seolah tak sadar, kepolosannya mem- buat jantungku berdebar. Aku melipat tangan di atas meja. Tak sedetik pun melepaskan pandangan darinya. Saat jemarinya mulai menyentuh cuping gelas, matanya memandangi kepu- lan asap, hidung yang tak mau kalah mencium aroma, hingga kopi buatanku mendarat di lidahnya. Aku sering berlagak bodoh untuk memancingnya bicara banyak. Pemahamannya tentang asal-usul kopi jauh dari yang kuperkirakan. Ia mem- bandingkan kisah penggembala Kaldi berikut domba-dombanya di Ethiopia, serta Sheik Omar yang menemukan tum- buhan liar di Yaman. Ia juga tahu Kazuki Yamamoto, pelukis latte art andal di Jepang yang menurutnya mirip denganku hanya karena kacamata dan kulit pucat. Aku semakin terlena. Mengapa baru sekarang bersua gadis sememikat Flora? *** ENTAH sejak kapan, Flora mulai mencocokkan waktu kunjungannya dengan jadwalku. Ia tak canggung bertukar cerita, melempar lelucon, tertawa lepas, walau berpasang mata menatap penuh curiga. Dengarkan, ucapku di tengah musik yang mengalun. Kami menambah koleksi musik jaz. Khusus malam ini, lagu kesukaanmu tidak akan diputar. Flora membelalakkan gundu matanya. Aku menegakkan badan. Dua kali berdeham agaknya cukup untuk menyi- asati suaraku yang lumayan serak. Tangan kananku berlagak memegang leher mikrofon, sedangkan sebelah lainnya melakukan improvisasi. Quand il me prend dans ses bras Il me parle tout bas Je vois la vie en rose (*) Flora menahan geli. Kau lebih bagus menirukan suara kucing daripada bernyanyi, potongnya, cukup, Thomas, perutku melilit karena suaramu. Sialnya, ini bukan akhir pekan. Tidak ada Albero yang bisa memainkan lagu pesananmu. Aku terus bernyanyi dengan suara sumbang, tak peduli meskipun Flora sam- pai terbungkuk seraya memegangi perut- nya. Aku berhenti saat ia menyapu air di sudut matanya. Jangan khawatir. Kalau kau tak sanggup berjalan, aku bersedia mengan- tarmu pulang. Aku kelepasan bicara. Flora bungkam. Ia mengganguk pelan, tertahan, dengan pandangan berpencar. Senyum karamelnya terlihat kembali. Tangannya lembut mengaduk permukaan kopi, membuat denting antara sendok dengan bibir gelas, kemudian mengangkatnya lagi. *** SILAKAN, komplimen dariku. Kusodorkan segelas kopi dingin, hadiah kecil karena ia menemani hingga kafe tutup. Di tengah area yang sunyi, kami duduk tepat di bawah lampu kristal bohemia. Hanya aku dan Flora. Mungkin Flora satu-satunya gadis yang membuatku tahan berlama-lama menyembunyikan lintingan tembakau. Ia menolak mentah-mentah sekotak sigaret bermerek yang pernah kutawarkan. Padahal, biasanya aku menjauhi lawan bicara yang alergi terhadap nikotin. Aku tak keberatan mengunyah permen karet mint selama bersamanya. Kau bilang tak punya pengalaman barista, tapi bisa bekerja di kedai elite sekelas Lartista. Selain ahli meracik kopi, bahasa Perancis-mu pasti bagus, ya? Tidak juga. Mulutku asyik berdecap di hadapan Flora, duduk berjagang sambil memainkan sebatang kayu manis. Kebetulan aku kenal pemiliknya. O ya? Kapan-kapan kenalkan padaku, pelanggan setia Lartista. Ia tidak terlalu ramah. Kau tak kan senang bertemu dengannya. Kau takut aku jatuh hati padanya? Bukan, tepisku sam- bil menggaruk kepala, itu tidak mungkin, lagipula kau pasti sudah punya kekasih. Kekasih? ia terkikik. Aku mengangkat pundak. Gelembung permen di bibirku meletup sekeras balon pecah. Jadi... belum punya? Entah mengapa, hatiku sedikit lega. Dua tahun lalu, sebuah cincin sem- pat melingkar di sini. Ia menunjuk jari manisnya. Mantan tunanganku seorang pelaut, pecandu kafein, dan penggemar musik klasik. La Vie en Rose? Itu lagu yang dinyanyikannya saat melamarku di dermaga. Kenapa cincinnya menghilang? Jeda. Pandangannya hampa, tertum- buk pada gelas plastik berembun. Setelah lamaran, ia melakukan pela- yaran terakhirnya. Malang, kapalnya tenggelam di perairan Hindia, jasadnya tak pernah ditemukan. Dulu, aku selalu melarangnya minum kopi. Aku tidak per- nah tertarik dengan hobinya mengoleksi biji-biji arabika, robusta, luwak, apa pun. Aku juga tak berminat menemaninya ke kafe sekadar minum kopi, ungkap Flora sembari menyeruput icepresso. Itu alasannya kau terus menyusuri jejak kekasihmu? Aku sudah berusaha melupakan, tapi semakin mencoba, semakin tersiksa. Kemudian aku berpikir untuk mengingat- nya, terus mengenang kepedihan, sampai bosan dan tak lagi merasakan apa-apa. Aku rehat memamah permen yang mulai terasa hambar. Tangan Flora gemetar, membuatku serta-merta menggenggamnya. Akal sehatku mulai kacau. Kenangan lama memang tak bisa kau hapus, Flora. Tetapi kau punya dua pilihan, mengabaikannya dalam tumpuk- an memori, atau menciptakan kenangan baru. Flora memaksa tertawa ketika matanya berkaca. Aku berhenti bicara, hanya mengamatinya. Suara tawanya ber- selingan dengan seruputan kopi yang surut perlahan. Pingkal mereda saat pipi mulusnya kejatuhan gerimis. Ia tak henti menenggak minumannya hingga kerontang, menyisakan batu-batu es, seo- lah tak bernapas. Segelas kopi yang tan- das tersebut, cukup menyiratkan kecamuk hatinya. *** KAULAH satu-satunya alasanku mendatangi Lartista, tutupnya di ujung obrolan kami. Aku berupaya mengendalikan diri, sesudah kayu manis di tangan tak mampu kukuasai. Benda cokelat itu tergeletak di atas marmer kelabu, seakan meringis, mengejek keti- dakberdayaan seorang lelaki pecundang. Aku bangkit, memenuhi janji untuk mengantarnya pulang. Lekas kusam- pirkan jaket pada punggung Flora agar angin di luar tidak menusuk kulitnya. Flora yang masih terisak menahan sesaat, tangan mungilnya kuat menggayuti lenganku. Betapa sulit menahan jemariku yang lancang menyeka air matanya, alih- alih kusorongkan berhelai tisu kemudian. Ini mutlak kesalahanku, membawa Flora bernostalgia dengan masa lalu, sementara aku tak bisa berbagi bahu. Kuharap, ia tak memberiku kesempatan selangkah pun untuk maju. Andai waktu bisa diundurkan, setahun saja, aku rela kehilangan jati diri, terma- suk bakat mengolah kopi. Sebab Lartista, kedai tempat kami bercengkerama, adalah milik perempuan yang lebih dulu menun- tut kesetiaanku. (62) (*) Petikan lirik lagu klasik La Vie en Rose (1945) yang dipopulerkan oleh penyanyi berdarah Perancis, Edith Piaf. Wi Noya, lahir di Jakarta, 14 November 1988 dan tinggal di kota terse- but. Nana Riskhi Susanti Suara Para Sai Maras : Yudin Ainusi subuh masih jauh burung malam lari berebut cahaya pertama melangitkan mimpi para pendendam raja-raja datang dan pergi mengutuk nasibku jadi penguhuni paling sunyi: Papua tanah yang dijanjikan tanah yang ditinggalkan kamilah kaki-kaki hitam yang berjalan memunggungi matahari memunggungi arah pendatang-pendatang malang rimbunan bambu berjajar di bukit-bukit menjelma doa pagi di sekarung sagu: remah-remah rezeki paling purba itu ke rumah-rumah ke perut anak-anak ke dapur para istri matahari belum benar-benar tinggi ketika huruf-huruf latin itu susah payah kami eja dan angka-angka keparat itu makin memusingkan kepala apakah sesudah itu akan kita dapati gedung yang tak berpindah-pindah, guru-guru yang selalu hadir dan ada, atau sisa-sisa buku dari kota? kami lebih abadi dari dongeng dari noken-noken Sai Maras yang membentang pulau yang warna-warnanya di langit menjelma kejora dusun ini tak dapat kami tempuh dengan puisi dengan gerimis pelengkap sepi hanya dengan mata-mata nyalang dan tangan mengepal kebodohan ini bisa ditamatkan Sai Maras, 2 Mei 2014 Kepanikan Babi : Sarwenda Kongtesa mengendus bagai babi wajahku menjelma ribuan kendi usai pesta bakar diri pesta satu-satunya yang jadi kebencian orang-orang di kampung ini bila niat baikmu berjumpa wajah pucatku kepanikan-kepanikan ini hanya sebagian kecil dari derita babi yang diikat kuat-kuat dan tak pernah dianggap terhormat bila aku pergi sangat pagi menyusuri dosa-dosamu menjelang Natal akankah rambut yang kubakar ini tak lebih menggetarkan dari tangisan babi? air mata jadi tak luar biasa dalam barisan para penduka dalam arakan sesaji yang membayang bunga kamboja bersama ingatan tentang Tuhan aku mengerti piutang-piutang kata mengendap berjumpa kepanikan-kepanikan yang lain di keraguan yang lain yang tak dapat engkau jelaskan di rumah Tuhan pada jam-jam menjelang fajar sekalipun di sebuah nusa kecil nan lengang kupunguti bunga pepaya berguguran aku kelaparan dan masih setia menyimakmu berdoa menyanyi puji-puja aku kelaparan dan terus mengendus bagai babi binatang yang tak sudi tunduk pada Tuan pada hari-hari terakhirku di dekat kandang babi terberkatilah kepedihan yang membelanga kesepian yang menggenapi petang milik pendatang malam melambat kunang-kunang pijar sempurna kita akan berjumpa di Surga Adonara Timur, 25 Juni 2014 Cerpen Wi Noya Kirimkan cerpen, sajak, esai budaya, dan biodata Anda ke swarasastra@gmail.com. MINGGU, 24 AGUSTUS 2014 Lartista S etiap pengarang didesak untuk menulis lantaran ada sesuatu yang penting dan hendak dikatakan pada banyak orang. Pengarang Eka Kurniawan punya alasan itu melalui novel terbarunya yang berjudul Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (Gramedia Pustaka Utama, Mei 2014). Membaca judul yang mirip dengan novel remaja picisan ini, Eka berbicara soal fil- safat, silat, moralitas, dengan bumbu cinta yang dikemas dengan cara kocak, dan konyol. Novel yang menggelorakan simpul saraf. Eka piawai menyisipkan makna yang tertebar di sana-sini. Salah satu muatan yang menonjol itu yakni filsafat. Alumnus Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta tahun 1999 ini, melalui tokoh-tokoh rekaan yang sering muncul, lincah menyisipkan makna niatan yang dalam bahasa Remy Sylado, pesan kenabian. Konflik utama bermuara pada si Ajo Kawir, bocah yang burungnya tidak bisa berdiri gara-gara (oknum) polisi. Cerita ringkasnya begini: Ajo Kawir, putra pegawai perpustakaan daerah yang bergiat di surau dan menghabiskan masa remaja untuk berkelahi. Dia selalu ditemani sahabat karibnya si Tokek. Akar masalah justru berasal di pangkal pahanya: burung. Saat bergiat di surau, penikmat buku komik tentang surga dan neraka ini dia- jak si Tokek mengintip perempuan tak waras, Rona Merah. Suatu malam Rona Merah diperkosa oleh dua polisi yang menembak mati suaminya dalam sebuah operasi terselubung pemberantasan pre- man. Dua polisi itu bernama Si Pemilik Luka dan Si Perokok Kretek. Ia ter- tangkap saat mengintip dan dipaksa ikut memerkosa Rona Merah yang ditelan- jangi dan dibuat tak berdaya di atas meja besar. Dan, saat itulah, ketika berhada- pan langsung dengan kemaluan Rona Merah yang sudah dihantam dua polisi itu, dan di bawah todongan pistol di kepalanya, burung Ajo Kawir remaja tiba-tiba lumpuh layu. Individu ke Sosial Burung Ajo Kawir yang mulanya menjadi masalah individu menjadi masa- lah sosial baru ketika diketahui Iwan Ang- sa dan Iteung, istri Ajo Kawir. Untuk me- nutupi ketidaksempurnaannya, Ajo Kawir mendaku sebagai lelaki tangguh yang hasratnya hanya ingin berduel kepada lelaki mana pun di kampung. Aku rindu berkelahi dan dengan senang hati men- cabut nyawa! (hal. 48). Bahkan, ia me- nerima dengan lapang dada tawaran Pa- man Gembul menjadi pembunuh bayar- an. Pekerjaan yang kemudian mengan- tarkannya ke penjara. Setelah keluar, ia menjadi sopir truk Jawa-Sumatera yang mengubah hidup menjadi lelaki bijak de- ngan bimbingan si burung yang lemah lunglai. Ya, si burung menjadi sema- cam guru spiritual bagi Ajo Kawir, mela- hirkan kebajikan, melahirkan filsafat kehidupan. Dari persoalan burung-nya, Ajo Kawir belajar arti jalan kesunyian. Jalan para pencari ketenangan. Jalan Para sufi dan para mahaguru. Sebuah jalan tanpa kekerasan. Jalan tanpa ketamakan dan keberingasan karena menghindari keri- butan. Hidup dalam kesunyian. Tanpa kekerasan, tanpa kebencian. Aku berhenti berkelahi untuk apa pun. Aku mendengar apa yang diajarkan Si Burung. (hal.123) Bagi Ajo Kawir, sebagaimana ditu- turkan kepada keneknya, Mono Ompong, kemaluan bisa menggerakkan orang dengan biadab. Kemaluan adalah otak kedua manusia, seringkali lebih banyak mengatur ketimbang yang dilaku- kan kepala. Dan, pada saat yang lain, Ajo Kawir berkata dengan arif: Kehidupan manusia ini hanyalah impian kemaluan kita. Manusia hanya men- jalaninya saja. (hal.189) Pada akhirnya, di bagian akhir novel, burung Ajo Kawir bisa bangun dan perkasa lagi setelah memakan tumbal nyawa dua orang polisi. Ya, dua orang polisi, Si Pemilik Luka dan Si Perokok Kretek, yang menjadi penyebab burung Ajo Kawir lumpuh layu dibinasakan oleh istrinya, Iteung. Namun sayangnya, saat burung Ajo Kawir bisa tegak, Ajo Kawir mesti kehilangan Iteung yang harus masuk bui akibat pembunuhan yang disangkakan kepadanya. Pada bagian ini saya kira muatan judul novel ini, berupa tulisan di bak truk Ajo Kawir saat menjadi sopir angkutan berat: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, dengan gambar seekor burung yang tampaknya tengah tertidur pulas, nyaris menyerupai burung mati (hal.138). Membaca novel ini, dari tuturan tokoh Ajo Kawir, kita akan menemukan narasi sarat filsafat. Filsafat bermuara pada anggota tubuh kelelakian. Filsafat yang lahir dari tempaan konflik batin tokoh di dalam meredam gejolak hasrat dan nafsu. Eka melalui tokoh Ajo Kawir seo- lah hendak berfilsafat namun dalam kemasan yang ringan. Filsafat dalam diri orang biasa, sopir truk. Filsafat melalui narasi model komik silat yang ia gemari. Bagi Eka yang notabene telah menga- krabi ilmu filsafat sejak kuliah di UGM, tiap kata seolah punya celah untuk berfil- safat. Termasuk, ketika mengangkat tema yang kerapkali ditabukan: perihal keintiman dan organ vital. Kritik Satu hal yang menarik dari novel setebal 245 ini adalah keberanian Eka dalam menghidupkan bahasa-bahasa tabu yang cenderung dibunuh. Bisa dikatakan, Eka melalui novel ini hendak mengkritik kalangan konservatisme dari kacamata literer. Kritik bagi sebagian kalangan penulis yang mengharamkan atau menghindari sebagian kata karena dinilai tidak patut dan bercitarasa pornografi. Ia hendak membangkitkan kembali bahasa yang oleh sebagian pengguna bahasa dikebumikan dalam pusara tabu. Eka tak ingin menutup- nutupi kata-kata hanya karena faktor nilai rasa yang sifatnya subjektif. Dalam ranah literer, pengarang melalui bahasa tak boleh membodohi dan mendikte pemba- ca. Meski demikian, karena kecakapan Eka, karya ini tidak terjebak pada karya vulgar nan erotik laiknya novel picisan ala Enny Arrow. Selama ini diketahui kata-kata yang merujuk pada selangkangan oleh kalang- an konservatisme diperhalus. Efeknya memberangus kata-kata yang diasum- sikan jorok dan porno. Melalui novel ini justru Eka menganggap biasa kata yang ditabukan itu. Tak beda dengan kata lain- nya. Di novel ini akan pembaca temukan varian kata yang merujuk ke kelamin laki- laki dan perempuan. Tak ada yang tabu pada kata. Pengguna dan sistem sosiallah yang menabukannya. Bahasa tak semestinya dibinasakan. Namun, menabukan lazim terjadi pada kata yang merujuk makna alat kelamin manusia. Kata seputar se- langkangan mengalami penghalusan, padahal juga sudah dicantumkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesoa (KBBI) sebagai rujukan. Penghalusan kata pada hal yang tidak sepatutnya justru beraki- bat pada pengrusakan dan distorsi baha- sa. Pada sebuah kesempatan, seorang ahli bahasa, Alif Danya Munsyi, me- nyampaikan, bahasa yang menunjukkan alat kelamin laki-laki kerapkali diperhalus. Hemat saya, anggapan menyembun- yikan bahasa sebagai upaya menghin- dari kesan bahasa pornografi membuat pelaku bahasa tak memahami bahasa itu sendiri. Padahal, yang bikin porno sejati- nya otak kita. Jorok dan porno itu berasal dari pikiran kita. Dalam bahasa Eka pada catatan berjudul Kata-kata yang Dibu- nuh dari blog ekakurniawan.com, Kata- kata akan selalu merupakan metafor, ia bukan realitas itu sendiri. Membunuh ka- ta-kata, tak jauh berbeda dengan me- mukul bayangan sosok buruk di per- mukaan air. Sosoknya yang asli tak ter- pukul, dan di waktu yang tak berapa lama, ketika air kembali tenang, bayang- an itu akan kembali muncul. Secara umum, novel ini tampaknya menyerap banyak teori dan karya sastra dengan jejak-jejak jelas. Ada jejak plot Haruki Murakami, gaya cerita silat Kho Ping Hoo, dan adegan polisi ala film-film Bollywood, dan ada pula struktur cerita Gabriel Garcia Marquez. Namun, sa- yangnya, dalam novel yang ditulisi 21+ (untuk 21 tahun ke atas), Eka tidak pi- awai menerapkan teknik Marquez seperti yang ia tulis dalam novel pertama, Cantik Itu Luka (2002). Kalaupun ada yang saya catat pada adegan penggerebekan polisi di rumah Agus Klobot. Darahnya mem- basuh muka istrinya, tubuhnya bolong- bolong. Dari lubang di tubuhnya tak hanya keluar darah, tapi juga sisa nasi dan cacing perut. (hal. 13). Catatan akhir, Eka terlalu asyik dengan cerita silat, mengejar soal burung serta sensualitas. Adegan sen- sualitas kelewat banyak. Hal ini mengor- bankan plot utama. Dia berhasil mencip- takan tokoh yang unik, Ajo Kawir, tetapi kehilangan karakter. Masa transisi per- ubahan dunia batin Ajo Kawir, dari kelumpuhan burung hingga menjadi seorang filsuf begitu ringkas. Eka tampak terengah-engah di bagian akhir cerita. Seolah ingin cepat selesai. Buku ini bisa menjadi lebih, namun karena catatan- catatan tadi, buku ini menjadi serupa novel pop. Apabila saya bandingkan dengan Cantik Itu Luka-nya, novel ini mengalami penurunan kualitas. Ada yang kurang dan ada yang melimpah, tapi tetap menggemaskan. (62) Heri CS, pengelola Komunitas Lereng Medini dan Pondok Baca Ajar Boja Kendal Pendobrakan Bahasa Tabu ala Eka KRITIK SASTRA Oleh Heri CS Nana Riskhi Susanti, lahir di Tegal, 2 Oktober 1989. Penyair, deklamator, dan reporter film doku- menter. Pada 2013, magister susastra ini meraih Anugerah Pembaca Puisi Terbaik Hari Puisi Indonesia.