Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Tuberkulosis
2.1.1 Definisi dan Etiologi
Tuberkulosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis, yaitu kuman aerob yang dapat hidup terutama di paru atau berbagai
organ tubuh lainnya yang mempunyai tekanan parsial yang oksigen yang tinggi.
Kuman ini juga mempunyai kandungan lemak yang tinggi pada membran selnya
sehingga menyebabkan bakteri ini memnjadi tahan terhadap asam dan
pertumbuhan dari kumannya berlangsung dengan lambat.
1
2.1.2 Epidemiologi
Diperkirakan sekitar 1/3 penduduk dunia telah terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis. Tahun 1995 terdapat 9 juta pasien TB baru dan 3
juta kematian akibat TB diseluruh dunia. 95 % kasus TB dan 98 % kematian
akibat TB di dunia, terjadi di negara berkembang. Kematian wanita akibat TB
lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan, dan nifas.
2
Tujuh puluh lima persen pasien TB adalah kelompok usia yang paling
produktif secara ekonomis (15-50 tahun), diperkirakan seorang pasien TB dewasa
akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut
mengakibatkan hilangnya pendapatan tahunan rumah tangga sekitar 20-30 %.
Tuberculosis juga memberikan dampak buruk secara ekonomis dan sosial stigma
sehingga penderitanya akan dikucilkan oleh masyarakat.
2
Tahun 1990-an, situasi TB didunia semakin memburuk, jumlah kasus TB
meningkat, dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan terutama pada negara
yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB besar (high burden
countries). Tahun 1993, WHO mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia
(global emergency).
2

2.1.3 Klasifikasi Tuberculosis
1. Berdasarkan organ tubuh (anatomical site) yang terkena
a. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan
(parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar
hilus.
b. Tuberkulosis ekstra paru merupakan tuberkulosis yang menyerang
organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput
jantung (perikardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit,
usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
Pasien dengan TB paru dan TB ekstraparu diklasifikasikan sebgai TB
paru.
2. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis
a. Tuberkulosis paru BTA positif.
i. Sekurang-kurnagnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif
ii. Satu spesimen daha SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
iii. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman
TB positif
iv. Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif
dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
b. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yabg tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
i. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
ii. Foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberkulosis.
iii. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT, bagi
pasien dengan HIV negatif.
iv. Ditentukan (dipertimbangkan oleh dokter untuk diberi pengobatan.

3. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya disebut sebagai
tipe pasien, yaitu :
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari 1 bula (4 minggu). Pemeriksaan
BTA bisa positif atau negatif.
1
b. Kasus yang sebelumbnya diobati
i. Kasus kambuh (Relaps)
Adalah paseien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif.
ii. Kasus setelah putus obat (Default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau
lebih dengan BTA positif.
iii. Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembanli menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.

1. Kasus pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan keregister lain untuk melanjutkan
pengobatannya.
2. Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas,
seperti:
i. Tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya,
ii. Pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya
iii. Kembali diobati dengan BTA negatif.

2.1.4 Patofisiologi dan Patogenesis Tuberculosis
Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau
dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel
infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada
tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelebaban. Dalam suasana
lemabab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila
partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran nafas
atau jaringan paru-paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel <5
mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru
oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag
keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya.
Bila kuman menetap dijaringan paru, maka kuman akan berkembang biak dalam
sitoplasma makrofag. Di sini ia dapat terbawa masuk ke organ lainnya. Kuman
yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia
kecil dan disebut sarang primer atau afek primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang
primer ini dapat terjadi disetiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke
pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk melalui saluran
gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional
kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti
paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran
ke seluruh bagian paru menjadi TB milier.
3
Dari sarang primer akan timul peradangan salurann getah bening menuju
hilus (limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus
(limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal ditambah limfadenitis
regional sama dengan kompleks primer (Ranke). Semua proses ini memakan
waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya aka menjadi sembuh sama
sekali tanpa meninggalkan cacat, sembuh dengan meninggalkan sedikit berkas
berupa garis-garis fibrotik, dan kalsifikasi di hilus. Seluruh kejadian di atas
tergolong dalam perjalanan tuberkulosis primer.
3
Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-
tahunkemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa
(tuberkulosis post primer = TB pasca primer atau TB sekunder). Mayoritas
reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun
seoerti malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, gagal ginjal,.
Tuberkulosis pasca primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi regio
atas paru (bagian apikal-posterior lobus superior atau inferiror). Invasinya adalah
ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru. Sarang dini ini mula-
mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10 minggu sarang ini
menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel histiosit dan sel
Datia Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh sel-sel
limfosit dan berbagai jaringan ikat. TB pasca primer juga dapat berasal dari
infeksi eksogen dari usia muda menjadi TB usia tua (elderly tuberculosis).
Tergantung dari jumlah kuman, virulensinya dan imunitas pasien, sarang dini ini
dapat menjadi a; direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat. B;
sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan serbukan
jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan
perkapuran. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang
menhancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis,
menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar
akan terjadilah kavitas. Kavitas ini awalnya berdinding tipis, lama-lama
dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan fibroblas dalam jumlah besar
sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya perkijuan dan kavitas
adalah karena hidrolisis protein lipid dan asam nuleat oleh ensim yang diproduksi
oleh makrofag, dan proses yang berlebihan sitokin TNF-nya. Bentuk perkijuan
lain yang jarang adalah cryptic disseminate TB yang terjadi pada imunodefisiensi
dan usia lanjut.
3
2.1.5 Diagnosis
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu
atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur
darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik,demam meriang
lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada
penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker
paru, dan lain-lain.
2
Mengingat prevalensi TB paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka
setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai
seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak
secara mikroskopis langsung pada pasien remaja dan dewasa, serta skoring pada
pasien anak.
2
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak
untuk penegakan diagnosis pada semua suspek TB dilakukan dengan
mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan
yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):
1. S (sewaktu) : Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung
pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk
mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
2. P (Pagi) : Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera
setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di
UPK.
3. S (sewaktu) : Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi.
Diagnosis TB Paru pada orang remaja dan dewasa ditegakkan dengan
ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA
melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama.
Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan
sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak
dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja.
Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru,
sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak
selalu menunjukkan aktifitas penyakit.
2

Pada pemeriksaan foto toraks, foto pertama mungkin dapat memperlihatkan
beraneka raga, pola; diantaranya adalah infiltrat parenkim yang paling sering
mengenai lobus-lobus atas (apeks dan segmen posterior), Terdapat adenopati hiler
dan paratrakeal, efusi pleura unilateral, dan mungkin juga terdapat lesi berbentuk
kavitas. Foto torak diindikasikan untuk semua pasien yang dipertimbangkan
untuk mendapatkan terapi Laten Tuberculosis Infection (LTBI) untuk
menyingkirkan adanya TB paru-paru aktif. Jika foto toraks normal, dan tidak ada
gejala yang sesuai dengan TB aktif, orang-orang yang pemeriksaan tuberkulinnya
positif mungkin menjadi kandidat untuk pengobatan LTBI. Jika foto toraks atau
temua klinis sesuai dengan TB paru-paru atau TB ekstrapulmonal, sebaiknya
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut (seperti evaluasi medis, pemeriksaan biologis,
dan perbandingan foto toraks yang lama dengan yang baru) untuk menentukan
apakah terdapat indikasi memberikan pengobatan TB aktif.
4

Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun
pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan
indikasi sebagai berikut:
1. Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini
pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB
paru BTA positif.
2. Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak
SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
3. Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang
memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis
eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang
mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau
aspergiloma).
4. Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk
pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (pleuritis), pembesaran
kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang
belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.
5. Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat
ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan
menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis
bergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan
ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi
anatomi, serologi, foto toraks, dan lain-lain.
2


2.1.6 Pengobatan
2
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Pengobatan
tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis
tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).

3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

a. Tahap awal (intensif)
Pada tahap intensif pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
Bila pengobatan tahap tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menjadi tidak tertular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar
pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2
bulan.

b. Tahap lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting
untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan.

2.1.6.1 Panduan OAT yang digunakan di Indonesia
Panduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia :
Kategori 1 : 2 (HRZE)/4(HR)3.
Kategori 2 : 2 (HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini , disediakan panduan obat sisipan (HRZE)
Kategori anak : 2HRZ/4HR
Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resisten obat di Indonesia
terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu kanamisin, Capreomisin, Levofloksasin,
Ethionamide, Sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid dan
etambutol. Paket kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari isoniasid,
rifampisin, porazinamid, dan etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.
Panduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien
yang mengalami efek samping OAT KDT.
3
Panduan OAT lini pertama dan Peruntukannya
a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Panduan OAT ini diberikan untuk pasien baru :
- Pasien baru TB patu BTA positif.
- Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
- Pasien TB ekstra paru
Tabel 2.1 Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1





Tabel 2.2 Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1




b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
i. Pasien kambuh
ii. Pasien gagal
iii. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)







Tabel 2.3 Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2







Tabel 3.7 Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2






c. OAT Sisipan (HRZE)
Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif
kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).




Tabel 2.5 Dosis KDT untuk Sisipan




Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya
kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru
tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada
OAT lini pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan terjadinya rsiko
resistensi pada OAT lini kedua.






















DAFTAR PUSTAKA

1. Rab T. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Trans Info Media; 2013. hlm 157.
2. Saputra L. Intisari Ilmu Penyakit Dalam. Tangerang: Binarupa Aksara
Publisher; 2011. Hlm 280.
3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis. Ed ke-2. Jakarta 2011. hlm 1-25
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al. Ilmu Penyakit Dalam. Ed ke-5.
Jakarta: Interna Publishing; 2009. hlm. 583 590.

Anda mungkin juga menyukai