Anda di halaman 1dari 83

KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM

KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI


PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS









ENDANG MINDARWATI















SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2 0 0 6
J udul Tesis : Kajian Pembuatan Edibel Film Komposit dari Karagenan
Sebagai Pengemas Bumbu Mie Instant Rebus
Nama : Endang Mindarwati
NIM : F051030041







Disetujui
Komisi Pembimbing




Prof. Dr.Ir. Rizal Syarief SN, DESS Dr. Ir. Hari Eko Irianto, APU
Ketua Anggota




Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Teknologi PascaPanen




Dr.Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr. Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.

Tanggal Ujian : 20 Maret 2006 Tanggal Lulus :

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di J awa Timur pada tanggal 6 April 1966 dari Ayah
Imam Tegoeh dan Ibu Sulamah. Penulis merupakan anak keenam dari tujuh
bersaudara.
Pendidikan Sarjana ditempuh di Program Studi Manajemen Sumberdaya
Perairan, Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya Malang, lulus pada tahun
1989.
Pada tahun 2003, penulis diterima di Program Studi Teknologi Pasca
Panen pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Beasiswa Pendidikan
Pascasarjana diperoleh dari Dana Anggaran Proyek Peningkatan Sumberdaya
Manusia Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan J akarta.

ABSTRAK


ENDANG MINDARWATI. Kajian Pembuatan Edibel Film Komposit dari
Karagenan Sebagai Pengemas Bumbu Mie Instant Rebus. Dibimbing oleh
RIZAL SYARIEF sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan HARI EKO IRIANTO
sebagai Anggota Komisi Pembimbing.
Di Indonesia, masih sangat jarang industri yang menghasilkan karagenan
murni (refined carageenan) atau formula produk karagenan siap pakai yang dapat
digunakan untuk industri pangan. Pembuatan karagenan menjadi edibel film
merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan pemanfaatan karagenan.
Sehingga diharapkan pemanfaatan rumput laut menjadi karagenan sebagai salah
satu bahan dasar pembuat edibel film dapat memacu industri untuk menghasilkan
karagenan. Mie instant merupakan salah satu jenis makanan siap saji yang sangat
disukai oleh sebagaian besar masyarakat Indonesia. Kemasan bumbu mie instant
yang digunakan selama ini adalah kemasan dari bahan sintetik yang tidak
biodegradable yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Selain itu
adanya ketentuan penggunaan bahan kemasan yang ramah lingkungan
(ecolabelling) dari dunia internasional memacu untuk memikirkan penggunaan
kemasan yang memenuhi kriteria tersebut. Penggunaan edibel film komposit dari
karagenan sebagai pengemas bumbu mie instant rebus merupakan salah satu
alternatif yang perlu dicoba. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk
mengoptimalkan pemanfaatan karagenan sebagai bahan dasar pembuatan edible
film dan tujuan khusus adalah (1) mendapatkan sifat fungsional dan formulasi
pembuatan edible film komposit dari campuran hidrokoloid, protein dan lemak (2)
mempelajari penggunaan edible film sebagai pengemas bumbu mie instant rebus
ditinjau dari sifat-sifat organoleptik, kimia dan mikrobiologi produk yang dapat
diterima konsumen.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa karagenan dapat digunakan sebagai
bahan pembuatan edibel film komposit. Tahapan teknik formulasi pembuatannya
adalah sebagai berikut pembuatan larutan pembentuk film, pencampuran larutan
film dengan gliserol dan beeswax, pemanasan dan pengadukan, penyaringan,
penghilangan gas terlarut, pencetakan, pengeringan, pendinginan, pelepasan film
dan penyimpanan. Penambahan konsentrasi karagenan dapat meningkatkan
ketebalan, kuat tarik dan persen pemanjangan edibel film komposit. Ketebalan
film yang dipersyaratkan maksimal 0,25 mm. Edibel film yang dihasilkan
memiliki kelebihan dalam hal kekuatan tarik dan transparansi yang merupakan
kriteria plastik dari beberapa kriteria yang dikehendaki produsen untuk dapat
digunakan sebagai pengemas bumbu. Kombinasi perlakuan karagenan 2%,
tapioka 0,7%, beeswax 0,3% menghasilkan edibel film yang mempunyai nilai laju
transmisi uap air yang terendah 752,6 g/m
2
/hari,. selanjutnya diaplikasikan
sebagai pengemas bumbu mie instant rebus. Sebagai pembanding dibuat edibel
film komposit dari karagenan komersial. Semakin lama penyimpanan, nilai skor
kesukaan panelis terhadap penampakan, warna, kelarutan dan bau edibel film
komposit dari karagenan (hasil ekstraksi maupun komersial) semakin menurun,
namun sampai dengan hari ke-14 panelis masih menerima edibel film komposit
yang digunakan sebagai pengemas bumbu mie instant rebus.





















Hak cipta milik Endang Mindarwati, tahun 2006
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya

KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM
KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI
PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS









ENDANG MINDARWATI




Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Teknologi Pasca Panen








SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2 0 0 6
PRAKATA

Puji Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
segala Karunia-Nya sehingga penulisan karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Karya ilmiah ini berjudul Kajian Pembuatan Edibel Film Komposit dari
Karagenan sebagai Pengemas Bumbu Me Instant Rebus.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Bpk. Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief SN,
DESS dan Bapak Dr. Ir. Hari Eko Irianto, APU selaku pembimbing atas segala
bimbingan dan pengarahannya, Bapak Dr. Ir. Usman Ahmad, M.Agr. selaku
dosen penguji luar komisi yang telah memberikan wawasan dan pengetahuannya.
Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada Bapak Kepala Balai Besar
Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan yang telah memberikan izin
belajar, beserta staf yang telah memberi dukungan baik moril maupun materiil.
Bapak Kepala Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan
dan Perikanan yang telah memberikan fasilitas dan beaya penelitian. Bapak/Ibu
Kepala Laboratorium dan Rekan-rekan di Balai Besar Riset Pengolahan Produk
dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Ibu Murdinah, Bapak Darmawan, Ibu
Dina Fransiska, Bapak Said dan Rekan-rekan Mahasiswa dari IPB dan UNDIP
yang banyak membantu selama penelitian, Rekan-rekan Mahasiswa Program
Studi Teknologi Pasca Panen atas segala bantuan dan dukungannya.
Uangkapan rasa terima kasih juga disampaikan kepada Suami Ir. Yuliadi,
MM, Ayahanda (alm), Ibunda, Ananda Ardi serta seluruh keluarga tercinta, atas
segala bantuan, doa, dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2006

Endang Mindarwati
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL . vii
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR LAMPIRAN.. x
PENDAHULUAN ..... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 3

TINJ AUAN PUSTAKA. 4
Klasifikasi dan Identifikasi Rumput Laut . 4
Edibel Film 5
Bahan-bahan Pembentuk Edibel Film ... 7
Karagenan.. 7
Struktur Molekul Karagenan 7
Sifat-sifat Karagenan 7
Kelarutan .. 8
Pembentukan Gel.. 9
Fungsi Karagenan . 10
Spesifikasi Mutu Karagenan.. 11
Tepung Tapioka.... 11
Lemak .. 13
Gliserol.. 14
Bumbu 15

BAHAN DAN METODE... 16
Bahan dan Alat . 16
Metode Penelitian... 16
Spesifikasi Mutu Karagenan. 16
Karakterisasi Sifat Fungsional dan Formulasi Pembuatan
Edibel Film Komposit (Hidrokoloid - Lemak). 18
Penelitian Tahap Pertama.. 18
Penelitian Tahap Kedua 20
Aplikasi Edibel Film Komposit Sebagai Pengemas
Bumbu Mie Instant Rebus. 21
Pengamatan dan Pengukuran 21
Kadar Air.. .... 21
Kadar Abu ............ 22
Kadar Abu tak larut asam. 22
Viskositas . 23
Kekuatan Gel. 23
Titik Gel.. 23
Titik Leleh... 24
Ketebalan.... 24
Kuat Tarik dan Persen Pemanjangan.. 24
Laju Transmisi Uap Air .. 25
Kadar Protein . 26
Kadar Lemak . 26
Uji Organoleptik . 26
Aktivitas Air .. 27
Total Mikroba ... 27
Total Kapang .. 27
Rancangan Percobaan. 28

HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................. 29
Spesifikasi Mutu Karagenan ... 29
Pembuatan dan Penenentuan Konsentrasi Bahan Penyusun
Edibel Film Komposit dari Karagenan ... 31
Karakterisasi dan Pemilihan Kombinasi Formula Edibel Film
Komposit . 34
Perbandingan Edibel Film yang Dihasilkan dengan Edibel Film
Hasil Penelitian Sebelumnya . 42
Aplikasi Edibel Film Komposit sebagai Pengemas Bumbu Mie
Instant Rebus 43

KESIMPULAN DAN SARAN .. 54
Kesimpulan .. 54
Saran . 55

DAFTAR PUSTAKA 56
LAMPIRAN .. 61
DAFTAR TABEL

Halaman
1 Sifat-sifat karagenan 8
2 Spesifikasi mutu karagenan . 11
3 Komposisi kimia setiap 100 gr tapioka ... 12
4 Spesifikasi mutu karagenan hasil ekstraksi.. 29
5 Deskripsi edibel film komposit dari karagenan ekstraksi 34
6 Perbandingan edibel film yang dihasilkan dengan
penelitian sebelumnya. 42
7 Karakteristik edibel film komposit dari karagenan
ekstraksi dalam penelitian dibandingkan dengan edibel
film dari karagenan komersial 44
8 Batas Aw minimal untuk pertumbuhan jasad renik
penyebab kebusukan makanan 46
9 Kadar abu, lemak dan protein edibel film komposit
dari karagenan hasil ekstraksi dan karagenan komersial
yang digunakan sebagai pengemas bumbu mie instant
rebus sebelum dan sesudah penyimpanan. 47

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1 Diagram alir ekstraksi karagenan modifikasi. 17
2 Diagram alir pembuatan edibel film komposit .. 19
3 Diagram alir pembuatan edibel film komposit .. 20
4 Persen pemanjangan edibel film komposit dari beberapa
kombinasi karagenan, tapioka dan beeswax . 35
5 Kekuatan tarik edibel film komposit dari beberapa
kombinasi karagenan, tapioka dan beeswax.. 37
6 Laju transmisi uap air edibel film komposit dari beberapa
kombinasi karagenan, tapioka dan beeswax. 38
7 Ketebalan edibel film komposit dari beberapa kombinasi
karagenan, tapioka dan beeswax... 40
8 Grafik hubungan lama penyimpanan dengan kadar air edibel
film (EF) komposit dari karagenan (krg) hasil ekstraksi (ekst)
dan komersial (kms) yang digunakan sebagai pengemas
bumbu mie instant rebus . 44
9 Grafik hubungan lama penyimpanan dengan Aw edibel
film komposit dari karagenan hasil ekstraksi dan komersial
yang digunakan sebagai pengemas bumbu mie instant rebus 46
10 Grafik perubahan jumlah total mikroba edibel film komposit
selama penyimpanan 49
11 Grafik penerimaan panelis terhadap penampakan edibel film
komposit yang digunakan sebagai pengemas bumbu mie
instant rebus. 50
12 Grafik penerimaan panelis terhadap warna edibel film
komposit yang digunakan sebagai pengemas bumbu mie
instant rebus. 51
13 Grafik penerimaan panelis terhadap kelarutan edibel film
komposit dalam mie instan rebus; 52
14 Grafik penerimaan panelis terhadap bau edibel film komposit
dalam mie instan rebus. 52



DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1a Rekapitulasi data persen perpanjangan edibel film komposit. 61
1b Analisa ragam pengaruh konsentrasi karagenan, tapioka dan
beeswax terhadap persen perpanjangan edibel film komposit. 61
1c Hasil uji duncan pengaruh peningkatan konsentrasi karagenan
terhadap persen perpanjangan edibel film komposit 61
2a Rekapitulasi data kekuatan tarik edibel film komposit... 62
2b Analisa ragam pengaruh konsentrasi karagenan, tapioka dan
beeswax terhadap kekuatan tarik edibel film komposit.. 62
2c Hasil uji duncan pengaruh peningkatan konsentrasi karagenan
terhadap persen kekuatan tarik edibel film komposit. 62
3a Rekapitulasi data kekuatan tarik edibel film komposit... 63
3b Analisa ragam pengaruh konsentrasi karagenan, tapioka dan
beeswax terhadap laju transmisi uap aire edibel film komposit. 63
3c Hasil uji duncan pengaruh peningkatan konsentrasi karagenan
terhadap laju transmisi uap air edibel film komposit... 63
4a Hasil uji duncan pengaruh peningkatan konsentrasi tapioka
terhadap laju transmisi uap air edibel film komposit... 64
4b Hasil uji duncan pengaruh interaksi tapioka dan beeswax
terhadap laju transmisi uap air edibel film komposit... 64
5a Hasil uji duncan pengaruh interaksi karagenan , tapioka dan
beeswax terhadap laju transmisi uap air edibel film komposit... 65
5b Rekapitulasi data ketebalan edibel film komposit... 65
6a Analisa ragam pengaruh konsentrasi karagenan, tapioka dan
beeswax terhadap ketebalan edibel film komposit.. 66
6b Hasil uji duncan pengaruh peningkatan konsentrasi karagenan
terhadap ketebalan edibel film komposit.. 66
6c Hasil uji homogenitas pengaruh peningkatan konsentrasi beeswax
terhadap ketebalan edibel film komposit.. 66
7a Rekapitulasi data kadar air edibel film komposit dari karagenan
hasil ekstraksi dibandingkan dengan karagenan komersial
yang digunakan sebagai pengemas bumbu mie instant 67
7b Rekapitulasi data Aw edibel film komposit dari karagenan
hasil ekstraksi dibandingkan dengan karagenan komersial
yang digunakan sebagai pengemas bumbu mie instant 67
8a Rekapitulasi total mikroba edibel film komposit dari karagenan
hasil ekstraksi dibandingkan dengan karagenan komersial
yang digunakan sebagai pengemas bumbu mie instant 68
8b Hasil uji organoleptik edibel film komposit dari karagenan
hasil ekstraksi dibandingkan dengan karagenan komersial
yang digunakan sebagai pengemas bumbu mie instant 68
9a Gambar edibel film komposit dari karagenan hasil ekstraksi
dalam penelitian dibandingkan dengan edibel film komposit
dari karagenan komersial . 69
9b Gambar edibel film komposit dari karagenan hasil ekstraksi
dalam penelitian dibandingkan dengan edibel film komposit
dari karagenan komersial yang digunakan sebagai pengemas
bumbu mie instant rebus.. 69


PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI


Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Pembuatan Edibel Film
Komposit dari Karagenan Sebagai Pengemas Bumbu Mie Instant Rebus adalah
karya saya sendiri dengan komisi pembimbing Bpk. Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief,SN.
DESS dan Bpk. Dr. Ir. Hari Eko Irianto, APU. dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.





Bogor, Maret 2006


Endang Mindarwati
NIM F051030041

PENDAHULUAN

Jenis rumput laut yang mempunyai nilai ekonomis penting dalam dunia
perdagangan yaitu kelas Rhodophyceae atau Phaeophyceae. Dari kelas
Rhodophyceae jenis Eucheuma sp, Hypnea sp, Chondrus sp dan Gigartina sp
merupakan rumput laut penghasil karagenan. Jenis lainnya seperti Gracilaria
sp, Gelidium sp, sebagai penghasil agar dan Furcellaria sebagai penghasil
furselaran. Sedangkan dari kelas Phaeophyceae dikenal jenis Ascophyllum sp,
Laminaria sp, Macrocistis sp dan Sargasum sp sebagai penghasil algin (Istini.
S dan A. Zatnika, 1991).
Rumput laut dimanfaatkan secara luas, baik dalam bentuk bahan mentah
seperti lalapan, sayuran, manisan, asinan, maupun dalam bentuk hasil olahan.
Salah satu bentuk hasil olahan rumput laut yang paling potensial dan bernilai
ekonomis tinggi yaitu polisakarida alga. Beberapa jenis polisakarida alga yang
komersial sampai saat ini adalah agar, karagenan dan alginat (Satari, 1996).
Karagenan merupakan getah yang bersumber dari rumput laut merah
(Rhodophyceae) berupa polisakarida sulfat yang memiliki sifat-sifat
hidrokoloid sehingga banyak digunakan dalam produk pangan dan industri.
Selain digunakan sebagai penstabil, sifat-sifat fungsional lainnya dalam
produk pangan adalah sebagai pencegah kristalisasi, pengemulsi, pembentuk
gel, pengental, koloid pelindung dan penggumpal. Beberapa marga rumput
laut merah penghasil karagenan antara lain Chondrus, Eucheuma, dan
Gigartina, namun pada umumnya untuk daerah tropis banyak dihasilkan oleh
marga Eucheuma (Winarno, 1990)
Pasar dunia untuk jenis rumput laut yang mengandung karagenan rata-
rata mencapai 130.000 ton per tahun, sedangkan pasar karagenan mencapai
15.000 20.000 ton/tahun. Pasar terbesar yaitu Eropa (35%), Asia Pasifik
(25%), Amerika Utara (25%), dan Amerika Selatan (15%). Perusahaan-
perusahaan yang mendominasi pasar rumput laut penghasil karagenan adalah
FMC (Amerika), QPF (Denmark), dan France Setia (Perancis). Industri
karagenan dunia mengalami pertumbuhan yang menggembirakan, khususnya
produk yang konvensional dan SRC (Semi Refine Products), hal ini
disebabkan karena banyaknya industri hilir yang membutuhkan seperti


2


industri daging dan dairy, khususnya di pasar Amerika Serikat (PPIP. Badan
Agribisnis, 1996).
Di Indonesia, masih sangat jarang industri yang menghasilkan
karagenan murni (refined caragenan) atau formula produk karagenan siap
pakai yang dapat digunakan untuk industri pangan. Pembuatan karagenan
menjadi edibel film merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan
pemanfaatan karagenan. Sehingga diharapkan pemanfaatan karagenan sebagai
salah satu bahan dasar pembuat edibel film dapat memacu industri untuk
menghasilkan karagenan.
Edibel film merupakan suatu katagori spesifik dari pengemasan
makanan yang didefinisikan sebagai type pengemasan seperti film, lembaran
atau lapis tipis sebagai bagian integral dari produk pangan dan dapat dimakan
bersama-sama dengan produk tersebut (Guilbert, S dan Gontard, N dalam
Karbowiak T. 2005). Film digunakan dalam produk pangan untuk mencegah
transfer massa antara produk pangan dengan lingkungan sekitar atau antara
fase yang berbeda dari produk pangan campuran (seperti Aw yang berbeda
dalam produk pangan yang sama) dan oleh karenanya untuk menghindari
kerusakan mutu pangan karena perubahan physiko-kimia, tekstur atau reaksi
kimia (oksidasi lemak, reaksi Maillard dan reaksi enzymatis). Sekat pelindung
dapat diformulasikan untuk mencegah transfer uap air, udara, flavour atau
lemak dan selanjutnya untuk memperbaiki mutu pangan dan meningkatkan
masa simpannya.
Bahan-bahan pembentuk film biasanya dapat berupa bahan itu sendiri
atau dalam bentuk kombinasi. Protein dan polisakarida digunakan untuk
memperbaiki sifat-sifat mekanis dan struktural film, sedangkan bahan
hidrofobik (lemak, laks, emulsifier dan lain-lain) untuk memperbaiki sifat
sebagai penahan terhadap uap air.
Dalam produk pangan telah banyak digunakan karagenan sebagai edibel
film, sebagai pengemas daging segar dan beku, ikan untuk mencegah
dehidrasi, casing sosis atau ham, produk kering, makanan berlemak dan
sebagainya, tetapi juga digunakan dalam pembuatan kapsul lunak dan
khususnya kapsul non gelatin.


3


Pati dapat berinteraksi dengan bahan tambahan pangan atau komponen
pangan. Sebagai hasil interaksi, mungkin dipengaruhi oleh sifat-sifat yang
berbeda dari bahan tambahan pangan atau pati tersebut. Pati dapat berinteraksi
dengan antimikroba seperti asam sorbat asam benzoat dan sifat alami
interaksi ini bergantung baik pada konsentrasi maupun karakteristik kimia
selama penyimpanan (Fama L et al. 2005).
Edibel film telah banyak digunakan sebagai pengemas produk pangan.
Pada penelitian ini, edibel film yang dihasilkan dicoba digunakan sebagai
pengemas bumbu mie instant. Seperti kita ketahui bahwa mie instant
merupakan salah satu jenis makanan siap saji yang sangat disukai oleh
sebagian besar masyarakat Indonesia. Kemasan bumbu mie instant yang
digunakan selama ini adalah kemasan dari bahan sintetik yang tidak
biodegradable yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Selain itu
adanya ketentuan penggunaan bahan kemasan yang ramah lingkungan
(ecolabelling) dari dunia internasional memacu untuk memikirkan
penggunaan kemasan yang memenuhi kriteria tersebut.

Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengoptimalkan
pemanfaatan karagenan sebagai bahan dasar pembuatan edibel film.
Tujuan khusus yang diharapkan dalam penelitian ini adalah :
1 Mendapatkan formulasi pembuatan dan sifat fungsional edibel film
komposit dari campuran hidrokoloid dan lemak.
2 Mempelajari penggunaan edibel film komposit sebagai pengemas
bumbu mie instant rebus ditinjau dari sifat-sifat organoleptik produk yang
dapat diterima konsumen.


4


TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi dan Identifikasi Rumput Laut
Alga merah jenis Eucheuma cottonii telah berubah nama menjadi
Eucheuma alvarezii (Doty, 1985), karena karagenan yang dihasilkan adalah
fraksi kappa karagenan maka jenis ini secara taksonomi dirubah namanya
menjadi Kappaphycus alvarezii (Doty, 1986 dalam Atmadja, et al. 1996).
Nama daerah cottonii umumnya lebih dikenal dan biasa dipakai dalam dunia
perdagangan nasional dan internasional.
Klasifikasi Kappaphycus alvarezii menurut Doty (1986) yang dikutip
Atmadja, et al (1996) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Rhodophyta
Kelas : Rhodophyceae
Ordo : Gigartinales
Famili : Solieriaceae
Species : Eucheuma alvarezii Doty
Kappaphycus alvarezii Doty
Ciri-ciri fisik dari Eucheuma cottonii atau Kappaphycus alvarezii
adalah mempunyai thallus silindris, permukaan licin, cartilogineus (lunak
seperti tulang rawan), warna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah.
Penampakan thalli bervariasi mulai dari bentuk sederhana sampai kompleks.
Duri-duri pada thallus runcing memanjang, agak jarang-jarang dan tidak
bersusun melingkari thallus. Percabangan ke berbagai arah dengan batang-
batang utama keluar saling berdekatan ke daerah asal (pangkal). Tumbuh
melekat ke substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang-cabang
pertama dan kedua tumbuh membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri-ciri
khusus mengarah ke arah datangnya sinar matahari (Atmadja, et al. 1996).
Cabang-cabang tersebut tampak ada yang memanjang atau melengkung
seperti tanduk. Jaringan tengah terdiri dari filamen-filamen yang berwarna dan
dikelilingi oleh sel-sel besar dan dilapisi oleh lapisan korteks dan lapisan
epidermis.



5


Edibel Film
Edibel film adalah suatu lapisan tipis dan kontinu, terbuat dari bahan-
bahan yang dapat dimakan, dibentuk diatas komponen makanan (coating) atau
diletakkan diantara komponen makanan (film) yang berfungsi sebagai
penghalang terhadap transfer massa (misalnya kelembaban, oksigen, lipid dan
zat terlarut) dan atau sebagai pembawa bahan makanan dan aditif serta untuk
meningkatkan kemudahan penanganan makanan (Krochta, 1992).
Donhowe dan Fennema (1994) membagi komponen utama penyusun
edibel film ke dalam hidrokoloid, lemak dan komposit (campuran hidrokoloid
dan lemak). Hidrokoloid dapat berupa protein, turunan selulosa, alginat,
pektin, pati dan polisakarida lain. Sedangkan lemak yang umum digunakan
antara lain lilin, asil gliserol dan asam lemak. Edibel film dengan komponen
campuran (komposit) dapat berupa film emulsi lemak-hidrokoloid atau
beberapa bilayer film dengan satu muka film hidrofilik dan muka lain film
hidrofobik.
Edibel dapat berperan sebagai lapisan yang dapat didegradasi oleh
bakteri dan terbuat dari sumber daya yang dapat diperbaharui. Film ini dapat
mengganti film berbasis minyak bumi atau upaya untuk meningkatkan
kepedulian lingkungan. Saat ini film yang dapat didegradasi berasal dari
protein dan polisakarida (Parris et al, 1995).
Perbedaan antara edibel film dengan edibel coating yaitu edibel film
merupakan bahan pengemas yang telah dibentuk terlebih dahulu berupa
lapisan tipis (film) sebelum digunakan untuk mengemas produk pangan.
Sedangkan edibel coating merupakan bahan pengemas yang dibentuk
langsung pada produk dan bahan pangan (Harris, 1999). Edibel film dan
coating digunakan dalam produk obat-obatan, konfeksioneri, buah-buahan dan
sayuran segar serta beberapa produk dari daging (Brandenburg, 1993).
Menurut Gennadios (1990), keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari
edibel film dibandingkan pengemas-pengemas tradisional non-edibel adalah :
1 Dapat langsung dikonsumsi bersama produk yang dikemas sehingga tidak
ada sampah kemasan. Jika film tidak dapat dikonsumsi masih dapat
didegradasi oleh bakteri sehingga mengurangi polusi lingkungan.


6


2 Meningkatkan sifat-sifat organoleptik pangan karena ke dalamnya dapat
ditambahkan flavor, pewarna, dan pemanis.
3 Dapat digunakan sebagai suplemen gizi.
4 Dapat diterapkan pada produk-produk yang berukuran kecil.
5 Dapat diaplikasikan di dalam produk yang heterogen sebagai penyekat
antara komponen makanan yang berbeda.
6 Dapat berfungsi sebagai pembawa senyawa antimikroba dan antioksidan.
7 Cocok digunakan untuk mikroenkapsulasi flavor pangan dan leaving
agents. Edibel film dapat dipakai bersama-sama non edibel sebagai lapisan
dalam untuk mencegah migrasi komponen kimia berbahan ke dalam
makanan.
Kittur et al (1998) menyatakan bahwa edibel coating juga edibel film
telah digunakan untuk mengontrol pertukaran gas (O
2
, CO
2
, dan etilen) antara
produk makanan dengan lingkungan sekitar atau antar komponen makanan,
juga dapat mengontrol perubahan fisiologi, mikrobiologi, dan fisikokimia
produk makanan.
Sifat penahan gas dan uap air dari edibel film dan coating dipengaruhi
oleh komposisi, gelembung udara dan lubang dalam film (Pasca, 1986 dalam
Park dan Chinnan, 1995). Pembentukan gelembung udara dan kemungkinan
adanya lubang dipengaruhi oleh teknik preparasi dan komposisi kimia,
termasuk konsentrasi dari pemlastis. Keberadaan gelembung udara dan lubang
mempengaruhi karakteristik permeabilitas film (Park dan Chinnan, 1995).
Aplikasi yang potensial dari edibel film dan coating dari biopolimer
adalah untuk memperlambat transportasi gas oksigen dan karbondioksida dari
buah dan sayuran, perpindahan kelembaban sedang, serta perpindahan zat
terlarut pada pangan beku. Kekurangan yang paling besar dari kebanyakan
edibel film yaitu kemampuannya yang kurang dalam menghalangi air yang
merupakan sifat hidrofilik dari edibel film. Kemampuan edibel film dan
coating dalam menahan uap air dan oksigen dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan kesegaran dari buah, sayuran, dan pangan lainnya (Park et al.,
1996).



7


Bahan-bahan Pembentuk Edibel Film
Karagenan
Karagenan merupakan nama yang diberikan untuk keluarga
polisakarida linear bersulfat yang diperoleh dari alga merah dan penting untuk
pangan. Dalam bidang industri, karagenan berfungsi sebagai stabilisator
(pengatur keseimbangan), thickener (bahan pengentalan), pembentuk gel, dan
lain-lain. Karagenan dapat diperoleh dari hasil pengendapan dengan alkohol,
pengeringan dengan alat (drum drying), dan dengan proses pembekuan. Jenis
alkohol yang dapat digunakan untuk pemurnian hanya terbatas pada methanol,
etanol dan isopropanol (Winarno, 1990).
Berdasarkan kandungan sulfatnya, Doty (1987) membedakan
karagenan menjadi dua fraksi yaitu kappa karagenan yang mengandung sulfat
kurang dari 28% dan iota karagenan jika lebih dari 30%. Sedangkan Winarno
(1990), membagi karagenan menjadi tiga fraksi berdasarkan unit penyusunnya
yaitu kappa, iota, dan lambda karagenan. Menurut Reen (1986) kappa
karagenan dihasilkan dari rumput laut jenis Eucheuma cottonii, sedangkan
iota karagenan dihasilkan dari Eucheuma spinosum.

Struktur Molekul karagenan. Karagenan merupakan senyawa
hidrokoloid yang terdiri dari ester, kalium, natrium, magnesium, dan kalsium
sulfat dengan galaktosa 3,6 anhidrogalaktosa kopolimer (Winarno, 1996).
Sedangkan menurut Arifin (1994) yang dikutip dari Anonim (1991)
menyatakan bahwa karagenan merupakan senyawa kompleks polisakarida
yang dibangun oleh sejumlah unit galaktosa dan 3,6-anhidrogalaktosa, baik
yang mengandung sulfat maupun yang tidak mengandung sulfat, dengan
ikatan -1,3-D galaktosa dan -1,4-3,6 anhidrogalaktosa secara bergantian.

Sifat-sifat karagenan. Di pasaran, karagenan merupakan tepung yang
berwarna kekuning-kuningan, mudah larut dalam air dan membentuk larutan
kental atau gel. Menurut Suryaningrum (1988), sifat-sifat karagenan meliputi
kelarutan, stabilitas pH, pembentukan gel dan viskositas. Sifat-sifat karagenan
dapat dilihat pada Tabel 1.


8



Tabel 1 Sifat-sifat Karagenan
Kappa Iota Lambda
Ester Sulfat 25-30 % 28 35 % 32 34 %
3,6-anhidrogalaktosa 28 38 % - 30 %
Kelarutan
Air Panas Larut pada
suhu > 70
0
C
Larut pada suhu
> 70
0
C
Larut
Air dingin Larut Na
+
Larut Na
+
Larut dalam
semua garam
Susu Panas Larut Larut Larut
Susu Dingin + Tspp Kental Kental Lebih Kental
Larutan Gula Larut (panas) Susah larut Larut (panas)
Larutan garam Tidak Larut Tidak Larut Larut (panas)
Larutan organik Tidak Larut Tidak larut Tidak larut
Gel
Pengaruh kation Membentuk
gel kuat
dengan K
+

Gel sangat kuat
Ca
+

Tidak
membentuk gel
Tipe gel Rapuh Elastis Tidak
membentuk gel
Stabilitas
PH netral dan basa Stabil Stabil Stabil
Asam (pH 3,5) Terhidrolisa Terhambat
dengan panas
Terhidrolisa
Sumber : Glicksman (1983)

Kelarutan. Air merupakan pelarut utama bagi karagenan. Kelarutan
karagenan dalam air dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu tipe karagenan,
pengaruh ion, suhu, komponen organik larutan, dan pH (Towle, 1973).
Karagenan dapat membentuk gel secara reversible artinya dapat
membentuk gel pada saat pendinginan dan kembali cair pada saat dipanaskan.
Pembentukan gel disebabkan karena terbentuknya struktur heliks rangkap
yang tidak terjadi pada suhu tinggi. Pada suhu rendah, struktur heliks rangkap
membentuk jaringan polimer yang bercabang-cabang dan selanjutnya akan
membentuk suatu kesatuan (Suryaningrum, 1988).
Faktor terpenting dalam pengamatan kelarutan karagenan adalah sifat
hidrofilik molekul yaitu pada kelompok ester-sulfat dan unit galaktopironosa.
Sedangkan unit 3,6 anhidrogalaktosa bersifat hidrofobik. Kappa karagenan
memiliki ester-sulfat dalam jumlah yang rendah, tetapi mengandung 3,6


9


anhidrogalaktosa yang bersifat hidrofobik seperti kalium. Keseimbangan
antara ion-ion yang larut dengan yang tidak larut akan terganggu seperti
terbentuknya gel. Kappa dan lambda karagenan larut dalam larutan gula jenuh
dalam keadaan panas. Sedangkan iota karagenan lebih sukar larut jika
dibandingkan dengan kedua karagenan tersebut, karena iota karagenan
mempunyai gel yang bersifat elastis, bebas sinersis dan reversible sehingga
lebih mudah larut dalam air dingin dan larutan garam natrium (Anonim,
1977).

Pembentukan Gel. Menurut Fardiaz (1989), pembentukan gel adalah
suatu fenomena penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai polimer
sehingga membentuk suatu jala tiga dimensi bersambungan. Selanjutnya jala
ini dapat menangkap atau mengimobilisasikan air di dalamnya dan
membentuk struktur yang kuat dan kaku. Sifat pembentukan gel ini beragam
dari satu jenis hidrokoloid ke jenis lain, tergantung pada jenisnya. Gel
mungkin mengandung sampai 99,9% air. Gel mempunyai sifat seperti
padatan, khususnya sifat elastis dan kekakuan.
Kemampuan pembentukan gel pada kappa dan iota karagenan terjadi
pada saat larutan panas yang dibiarkan menjadi dingin, karena mengandung
gugus 3,6-anhidrogalaktosa. Proses ini bersifat reversible artinya gel akan
mencair bila dipanaskan dan apabila didinginkan akan membentuk gel
kembali. Adanya perbedaan jumlah, tipe dan posisi gugus sulfat akan
mempengaruhi proses pembentukan gel. Kappa karagenan dan iota karagenan
akan membentuk gel hanya dengan adanya kation-kation tertentu seperti K
+
,
Rb
+
dan Cs
+
. Kappa karagenan sensitif terhadap ion kalium dan akan
membentuk gel yang kuat dengan adanya garam kalium (Glicksman, 1983).
Dalam aplikasi pangan ada lima kation yang paling umum digunakan yaitu
natrium, kalium dan kalsium serta beberapa ion lainnya seperti ammonium
dan barium.
Kemampuan membentuk gel adalah sifat-sifat penting kappa
karagenan. Konsistensi gel dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis
dan tipe karagenan, konsentrasi dan adanya ion-ion. Hal lain yang dapat


10


mempengaruhi konsentrasi gel kappa karagenan yaitu letak gugus sulfat pada
struktur molekulnya.

Fungsi Karagenan. Karagenan sangat penting peranannya sebagai
stabilisator (pengatur keseimbangan). thickener (bahan pengental), pembentuk
gel, pengemulsi, koloid pelindung, penggumpal dan pencegah kristalisasi.
Sifat ini sangat dimanfaatkan dalam industri makanan, obat-obatan, kosmetik,
tekstil, cat, pasta gigi dan industri lainnya.
Penambahan karagenan 0,01 0,05 % pada es krim berfungsi sebagai
stabilisator yang sangat baik. Sedangkan penambahan karagenan 0,02 0,03
% pada susu cokelat dapat mencegah pengendapan cokelat dan pemisahan es
krim serta peningkatan kekentalan lemak dan pengendapan kalsium (Winarno,
1990).
Di bidang industri kue dan roti, kombinasi karagenan dengan garam
natrium, lambda karagenan dengan lesitin dapat meningkatkan mutu adonan.
Dengan demikian dihasilkan kue dan roti bermutu tinggi.
Bila dikombinasi dengan garam kalium, maka karagenan sangat efektif
sebagai gel pengikat atau pelapis produk daging. Dalam jumlah yang relatif
kecil, karagenan juga dipergunakan dalam produk makanan lainnya, misalnya
macaroni, jam jelly, saribuah, bir dan lain-lain. (Winarno, 1990).
Diluar industri pangan, karagenan juga digunakan dalam industri
obat-obatan, kosmetik, tekstil, cat serta pasta gigi. Selain sebagai pengemulsi
dan penstabil, karagenan juga berfungsi sebagai pembentuk gel, pensuspensi,
pengikat, protective (melindungi koloid), film former (mengikat suatu bahan),
syneresis inhibitor (menghalangi terjadinya pelepasan air), dan flocculating
agent (mengkilat dan mengikat bahan-bahan lain)(Anggadiredja et al. 1993)



11


Spesifikasi Mutu Karagenan. Di Indonesia belum ada standar mutu
karagenan, tetapi secara internasional telah dikeluarkan spesifikasi mutu
karagenan sebagai persyaratan minimum yang diperlukan bagi suatu industri
pengolahan baik dari segi teknologi maupun dari segi ekonomis yang meliputi
kualitas dan kuantitas hasil ekstraksi rumput laut.
Spesifikasi kemurnian karagenan yang dikeluarkan oleh FAO, FCC
dan EEC dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Spesifikasi mutu karagenan
Spesifikasi FAO FCC EEC
Zat volatile (%)
Sulfat (%)
Viskositas pada larutan 1,5 %
Abu (%)
Abu tidak larut asam (%)
Logam berat :
Pb (ppm)
As (ppm)
Cu + Zn (ppm)
Zn (ppm)
Kehilangan karena pengeringan
Maks 12
15 40
min 5 cps
15 40
-

maks 10
maks 3
-
-
-
Maks 12
18 40
min 5 cps
maks 35
maks 1

maks 10
maks 3
-
-
-
Maks 12
15 40
min 5 cps
15 40
maks 2

maks 10
maks 3
maks 50
maks 25
-
Sumber : A/S Kobenhavsn Pektifabrik, 1978

Tepung Tapioka
Tapioka merupakan hasil ekstraksi pati ubi kayu yang telah mengalami
proses pencucian sempurna dan dilanjutkan dengan pengeringan. Pati
merupakan komponen utama tapioka dan merupakan senyawa yang tidak
mempunyai rasa dan bau, sehingga modifikasi citarasa tapioka mudah
dilakukan. Dalam bentuk aslinya secara alami pati merupakan butiran-butiran
kecil yang sering disebut granula. Bentuk dan ukuran granula merupakan
karakteristik setiap jenis pati. Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen
utama yaitu amilosa, amilopektin dan material antara seperti protein dan
lemak (Banks dan Greenwood, 1975).


12


Pati mempunyai sifat dapat merefleksikan cahaya terpolarisasi
sehingga dibawah mikroskop akan terlihat hitam putih. Sifat ini disebut sifat
birefringence. Pada waktu granula mulai pecah, sifat birefringence ini akan
hilang (Winarno, 1984).
Gelatinisasi adalah peristiwa hilangnya sifat birefringence granula pati
akibat penambahan air secara berlebih dan pemanasan pada waktu dan suhu
tertentu, sehingga granula pati membengkak dan tidak dapat kembali pada
kondisi semula (Belitz & Grosch, 1999).
Pada proses gelatinisasi terjadi pengrusakan ikatan hidrogen
intermolekuler. Ikatan hidrogen ini mempunyai peranan untuk
mempertahankan struktur integritas granula. Adanya gugus hidroksil yang
bebas akan menyerap molekul air, sehingga terjadi pembengkakan granula
pati. Semakin banyak jumlah gugus hidroksil dan molekul pati, maka
kemampuan untuk menyerap air semakin besar. Peningkatan kelarutan juga
diikuti oleh peningkatan viskositas. Hal ini disebabkan air yang sebelumnya
bebas bergerak diluar granula pati menjadi terperangkap dan tidak dapat
bergerak bebas lagi setelah mengalami gelatinisasi (Greenwood, 1979).
Komposisi kimia dalam setiap 100 g tapioka dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi kimia setiap 100 gr tapioka
Komponen Jumlah
Kalori (kal) 362
Protein (g) 0.5
Lemak (g) 0.3
Karbohidrat 86.9
Air (g) 12.0
Sumber : Haryanto dan Pangloli (1993) dalam Budiantoro, 1997

Menurut Grace (1977) dalam Budiantoro (1997), tapioka dapat
digunakan di berbagai industri pangan seperti :
a. Langsung dimakan sebagai makanan, custard dan bentuk makanan lainnya.
b. Sebagai pengental (thickener) seperti soup, makanan bayi, saus dan lain-
lain
c. Sebagai pengisi (filler) untuk memadatkan kandungan soup, pil tablet, es
krim dan lain-lain.


13


d. Sebagai bahan pengikat (binder) untuk menggabungkan massa dan
mencegahnya dari penguapan selama pemasakan (sosis dan daging olahan).
Tapioka harganya murah dan dapat memberikan dekstrin dengan
kelarutan yang baik, cita rasa netral serta warna terang pada produk (Radley,
1976).

Lemak
Film lemak sering digunakan sebagai penahan uap air. Penggunaan
lemak dalam bentuk murni sebagai film terbatas sebab integritas dan daya
tahannya yang kurang. Jenis lemak yang biasa digunakan adalah wax,
asilgliserol dan asam lemak. (Krochta et al, 1994)
Rumus molekul beeswax adalah C
13
H
27
CO
2
C
26
H
53
. Komposisinya
terdiri dari 71 persen ester lilin, 1-1.25 persen alkohol bebas, 13.5 14.5
persen asam lemak bebas, 10.4 13.6 persen hidrokarbon, dan 1-2 persen air
(Donhowe dan Fennema, 1992).
Beeswax memiliki tekstur keras, namun menjadi plastis dan dapat
diremas dengan tangan yang hangat tanpa menyebabkan lengket, serta
berbentuk butiran kecil yang tidak mengkristal bila dihancurkan. Beeswax
memiliki titik lebur sekitar 64
0
C. Disamping itu juga bersifat sulit larut dalam
pelarut organic polar maupun non polar pada kondisi dingin, namun larut
dengan sempurna jika dipanaskan pada titik didihnya (Elvers dan Hawkins,
1996).
Beeswax memiliki titik lebur sekitar 64
0
C dengan komposisi bervariasi
tergantung dari sumbernya. Demikian pula dengan warna, bervariasi mulai
dari kuning, oranye sampai dengan cokelat. Beeswax kuning dapat
dibleaching menjadi putih dengan bahan pengoksidasi seperti peroksida (Mark
et al., 1984).







14


Gliserol
Gliserol adalah senyawa alkohol polihidrat dengan tiga buah gugus
hidroksil dalam satu molekul (alkohol trivalen). Rumus kimia gliserol adalah
C
3
H
8
O
3
dengan nama kimia 1,2,3-propanatriol. Berat molekul gliserol 92.10,
massa jenisnya 1.23 g/cm
2
, dan titik didihnya 204
0
C (Winarno, 1992).
Gliserol mempunyai sifat mudah larut air, meningkatkan viskositas larutan,
mengikat air dan menurunkan A
w
(Lindsay, 1985).
Gliserol banyak terdapat di alam sebagai ester asam lemak pada lemak
dan minyak. Gliserol dihasilkan sebagai produk samping dalam pembuatan
sabun dan asam lemak dengan system saponifikasi atau hidrolisis. Gliserol
efektif digunakan sebagai pemlastis pada hidrofilik film, seperti pektin,
gelatin, alginat, pati dan modifikasi pati, maupun pada pembuatan edibel
coating berbasis protein. Penambahan gliserol akan menghasilkan film yang
lebih fleksibel dan halus. Selain itu gliserol dapat meningkatkan permeabilitas
film terhadap gas, uap air dan gas terlarut. Gliserol dapat meningkatkan
permeabilitas film tehadap uap air karena sifat gliserol yang hidrofilik.
Adanya gugus polar (-OH) pada rantai pemlastis karena menghasilkan ikatan
polimer-pemlastis menggantikan interaksi polimer-polimer dalam biopolimer
film, dimana gugus polar dapat mengabsorpsi dan mengikat air. Ukuran
molekul, susunan dan jumlah bilangan fungsional gugus hidroksil dari
pemlastis dan juga kesesuaian pemlastis dengan biopolimer dapat berpengaruh
terhadap interaksi polimer-pemlastis. (Gontard et al. 1993).
Transmisi uap air melalui film hidrofilik tergantung pada difusitas dan
kelarutan molekul air dalam matriks film (Gontard & Guilbert, 1994).
Bertambahnya ruang antar rantai disebabkan masuknya molekul gliserol
antara rantai polimer menyebabkan meningkatnya difusitas transmisi uap air
melelui film sehingga mempercepat transmisi uap air. sifat hidrofilik yang
tinggi pada molekul gliserol dimana mudah mengabsorpsi molekul air, juga
berperan meningkatkan transmisi uap air (Lieberman & Gilber, 1973).


15


Bumbu
Menurut Jenkins (1991) bumbu adalah nama umum produk yang
diperoleh dari berbagai macam bagian tanaman seperti kulit kayu, kuncup,
bunga, buah atau biji. Pada umumnya tanaman bumbu tumbuh dengan subur
di iklim semi tropis dan tropis, hal ini mungkin disebabkan bumbu dapat
dipertahankan mutunya pada iklim tersebut. FDA menggambarkan bumbu
sebagai aroma substansi sayuran dalam bentuk utuh, hancuran atau serbuk
yang digunakan terutama untuk memberi bumbu makanan dari pada untuk
memberi nutrisi. Sifat aromatik bumbu yang tinggi berasal dari kandungan
minyak esensial yang tinggi. Sedangkan menurut Somoatmadja (1985)
rempah-rempah didefinisikan sebagai bahan asal tumbuh-tumbuhan yang
biasanya dicampurkan kedalam berbagai masakan untuk memberi aroma dan
membangkitkan selera makan.
Fungsi rempah-rempah dalam makanan adalah untuk meningkatkan
selera dan nafsu makan, disamping itu juga digunakan sebagai bahan
pengawet dan fumigan. Dalam bidang farmasi, rempah-rempah sering
digunakan sebagai bahan untuk mencampur obat-obatan serta untuk
mengurangi rasa yang kurang sedap.
Bumbu mie instant merupakan campuran dari beberapa rempah-rempah,
penyedap rasa dan flavor sehingga diperoleh rasa yang diinginkan. Bumbu
mie instant rasa daging ayam terdiri dari lada, pala dan bahan tambahan
makanan meliputi MSG, garam dan flavor daging ayam.
Walaupun cahaya membutuhkan waktu yang lama untuk dapat
menyebabkan kerusakan bumbu, tetapi pada akhir-akhir ini study
menunjukkan bahwa cahaya disamping panas atau transmisi flavour aroma
adalah merupakan faktor pembatas masa simpan. Berdasarkan hal tersebut,
produsen menghendaki beberapa kriteria plastik yang dapat digunakan
sebagai pengemas bumbu yaitu barrier yang baik terhadap gas, uap air,
transparan, kuat, kemampuan proses, dan beaya produksi (Jenkins, 1991).


16


BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai dengan Desember
2005 di Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan
Perikanan, Slipi Jakarta dan di Laboratorium Organoleptik Balai Besar
Pengembangan dan Pengendalilan Hasil Perikanan Jakarta.

Bahan dan Alat
Bahan baku rumput laut yang digunakan adalah jenis Eucheuma
cottonii yang dipanen dari daerah Mataram dan Bali. Bahan Kimia yang
digunakan untuk ekstraksi karagenan adalah Kaporit (CaOCl
2
), KOH, KCl,
IPA. Sedangkan bahan yang digunakan untuk pembuatan edibel film adalah
tepung karagenan hasil ekstraksi, karagenan komersial, air destilata, tepung
tapioka, beeswax, dan gliserol.
Peralatan yang digunakan adalah timbangan, stirrer, micrometer, gelas
piala, pipet, pengaduk, termometer, gelas ukur, hot plate, pisau, TLC spreader,
alat pengujian Tensile Strength , alat pengujian Water Vapor Transmission
Rate Bergelahr, alat pengujian organoleptik dan alat-alat lain untuk analisis.

Metode Penelitian
Spesifikasi Mutu Karagenan
Ekstraksi karagenan dari rumput laut Eucheuma cottonii dilakukan
dengan menggunakan metode ekstraksi rumput laut Suryaningrum (2003),
yang bertujuan untuk mendapatkan karagenan yang akan digunakan sebagai
bahan dasar pembuatan edibel film. Diagram alir proses ekstraksi tersebut
dapat dilihat pada Gambar 1.


17


Rumput Laut Eucheuma cottonii kering
Ekstraksi (KOH 3,5 %) 90 - 95
0
C, 3 jam
Penyaringan Vibrasi
Dehidrasi dengan IPA (2:1)
Pengeringan
Penepungan
Karagenan
Perendaman (Koporit CaOCl
2
1%),
1 jam, pencucian


Gambar 1 Diagram alir ekstraksi karagenan modifikasi
(Suryaningrum, 2003).


Karagenan yang dihasilkan dan karagenan komersial, kemudian
dianalisis. beberapa parameter mutunya antara lain kadar air, kadar abu, kadar
abu tak larut asam, kekuatan gel, viskositas, titik pembentukan gel dan titik
pelelehan gel.




18


Karakterisasi Sifat Fungsional dan Formulasi Pembuatan
Edibel Film Komposit (Hidrokoloid - Lemak)

Penelitian Tahap Pertama
Pada penelitian tahap ini dilakukan pembuatan edibel film komposit
dengan bahan baku karagenan dengan 3 konsentrasi dan 3 kali ulangan.
Karagenan merupakan bahan baku, karena penggunaannya dalam jumlah yang
paling besar yaitu 55,56 s/d 78,95 %. Sedangkan tapioka 13,16 s/d 27,78 %
dan beeswax 7,89 s/d 16,67 % dari total padatan.
Air destilata sebanyak 100 ml disiapkan, 5 bagian dari 100 ml
digunakan untuk pengenceran tapioka. Air destilata dipanaskan sampai suhu
40
0
C, ditambahkan karagenan dan dilakukan pengadukan dengan magnetik
stirer. Setelah karagenan larut, pada suhu 60
0
C ditambahkan tapioka yang
sudah diencerkan dalam air destilata sambil diaduk selama 15 menit sehingga
terbentuk suspensi yang homogen. Ditambahkan pemlastis yaitu gliserol pada
saat suhu larutan mencapai 90
0
C. Selanjutnya suhu diturunkan menjadi 50
0
C
dan terus dilakukan pengadukan selama 15 menit. Larutan dipanaskan lagi,
setelah suhu mencapai 64
0
C, ditambahkan beeswax. Setelah beeswax larut
kemudian dilakukan penyaringan untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang
ada dalam larutan. Proses selanjutnya adalah penghilangan gas dengan cara
dipanaskan sampai mendidih sambil dilakukan pengadukan selama 5 menit.
Setelah itu larutan dituang dalam TLC spreader untuk selanjutnya dicetak di
atas plat kaca berukuran 30 x 20 cm
2
dengan ketebalan 2 mm. Pencetakan
harus dilakukan pada saat larutan masih panas dan dilakukan secara cepat,
mengingat karagenan yang bersifat cepat membentuk gel pada suhu rendah.
Film yang sudah tercetak dibiarkan 10 menit pada suhu ruang untuk
selanjutnya dikeringkan dalam oven bersuhu 50
0
C selama 1 jam. Setelah itu,
film dikeluarkan dari dalam oven dan dibiarkan pada suhu ruang selama 24
jam kemudian film dilepas dari pelat kaca dengan cara pemotongan pada
bagian tepi untuk memudahkan pelepasan film. Film yang telah dilepas segera
disimpan dalam aluminium foil dan plastik berkelim untuk keperluan aplikasi
dan analisa. Adapun bagan alirnya dapat dilihat pada Gambar 2.


19



100 ml air destilata
Karagenan 1, 2, 3 %
Homogenizing
Pemanasan sampai mendidih sambil diaduk
Penambahan gliserol 1 %
Homogenizing 50
0
C , 15 menit
Pemanasan, suhu mencapai 64
0
C
Larutan Film
Penyaringan
Penuangan pada cetakan (30 x 20) cm
2
Pengeringan 50
0
C, 1 jam
Beeswax 0,3 %
Tapioka 0,5 %
Edibel Film Komposit
Degassing (pemanasan sampai
mendidih sambil terus diaduk)
Pengeringan pada suhu ruang 24 jam

Gambar 2 Diagram alir pembuatan edibel film komposit.
Keterangan : prosentase bahan dari volume air destilata


20


Penelitian Tahap Kedua
Formulasi pembuatan edibel film dari penelitian tahap pertama yang
menghasilkan film yang terbaik (dilihat dari karakteristik fisik dan
organoleptik) yaitu konsentrasi karagenan 2%. Selanjutnya digunakan sebagai
acuan pembuatan edibel film komposit dengan rentang konsentrasi diperkecil
dan 2 kali ulangan. Adapun bagan alirnya dapat dilihat pada Gambar 3.
100 ml air destilata
Karagenan 1,5 % ; 2,0 % ; 2,5 % Tapioka 0,3 % ; 0,5 %; 0,7 %
Homogenizing
Pemanasan sampai mendidih sambil diaduk
Penambahan gliserol 1 %
Homogenizing 50
0
C, 15 menit
Pemanasan sampai suhu mencapai 64
0
C
Larutan film
Penyaringan
Beeswax 0,3 % ; 0,5 %
Degassing (pemanasan sampai
mendidih sambil terus diaduk)
Penuangan pada cetakan (30 x 20) cm
2
Pengeringan 50
0
C, 1 jam
Pengeringan pada suhu ruang, 24 jam
Edibel Film Komposit

Gambar 3 Diagram alir pembuatan edibel film komposit.


21


Aplikasi Edibel Film Komposit sebagai Pengemas Bumbu Mie
Instant Rebus.

Edibel film yang mempunyai nilai laju transmisi uap air yang terendah
yang dihasilkan dari penelitian tahap kedua diaplikasikan sebagai pengemas
bumbu mie instant rebus.
Tahapan percobaan ini adalah sebagai berikut : edibel film dibuat dalam
bentuk kantung dengan ukuran 3,5 x 6 cm
2
dengan menggunakan Hana
Impulse Sealer Model NI-450-10w skala 9 untuk edibel film karagenan
ekstraksi dan skala 7 untuk edibel film komersial. Kemudian 3,5 gr bumbu
mie instant rebus dimasukkan ke dalam edibel film yang telah berbentuk
kantung (kemasan primer) dan dikemas dengan kemasan mie instant (kemasan
sekunder). Selanjutnya disimpan dan dilakukan pengamatan pada hari ke 0, 2,
7 dan 14 hari. Ukuran kantung dan berat bumbu mie instant rebus yang
dimasukkan disesuaikan dengan ukuran kantung dan berat bumbu mie instant
rebus yang ada di pasaran.
Pengamatan dan pengukuran pada penelitian tahap ini meliputi
pengukuran kadar air, Aw, kadar lemak, protein, abu, total mikroba, total
kapang serta uji organoleptik terhadap tingkat kesukaan (penampakan, warna,
kelarutan dan bau) edibel film yang digunakan sebagai pengemas bumbu mie
instant rebus.

Pengamatan dan Pengukuran
Kadar air (Food Chemical Codex, 1981)
Sampel sebanyak 1 2 gram ditimbang dan dimasukkan ke dalam
cawan porselin yang telah dikeringkan pada suhu 105
0
C selama 20 menit atau
sampai beratnya konstan. Cawan porselin yang berisi contoh dikeringkan pada
suhu 105
0
C selama 4 jam. Jika I
1
adalah berat contoh dan I
2
adalah berat
contoh setelah dikeringkan, maka :

I
1
I
2

% kadar air = -------------- x 100 %
I
1




22


Kadar abu (Food Chemical Codex, 1981)
Sampel sebanyak kurang lebih 2 gram dimasukkan ke dalam cawan
porselin yang telah dipijarkan dan diketahui beratnya, kemudian dipanaskan
pada suhu 600
0
C sampai bebas dari arang. Cawan beserta abu didinginkan
dalam desikator kemudian ditimbang.
A B
% kadar abu = -------------- x 100 %
Berat sampel


Keterangan :
A : berat (cawan + karagenan) setelah dipanaskan
B : berat cawan

Kadar Abu tak larut asam (Food Chemical Codex, 1981)
Abu yang diperoleh (dalam pengukuran kadar abu) dipindahkan
kedalam erlenmeyer 250 ml dan ditambahkan 25 ml larutan HCl 10%,
kemudian dipanaskan sampai mendidih dan tunggu dalam keadaan mendidih
selama 5 menit. Larutan disaring dengan menggunakan kertas saring tidak
berabu (ashless filter paper) kemudian abu yang tertahan pada kertas saring
dibilas dengan aquades beberapa kali sampai cairan yang menetes keluar dari
corong tidak bereaksi asam. Kertas saring tidak berabu tersebut dipindahkan
kedalam cawan abu semula, masukkan ke dalam oven sampai kering
selanjutnya diabukan dalam tungku pengabuan
A - B C
Kadar abu tak larut asam = -------------- x 100 %
Berat sampel

Keterangan :
A : berat cawan + abu setelah dilarutkan dalam asam
B : berat cawan
C : berat abu kertas saring


23


Viskositas (Cottrel dan Kovack, 1980)
Sampel ditimbang sebanyak 3 gram dan dilarutkan dalam 250 ml air
destilata ke dalam beaker gelas telah diketahui bobotnya. Setelah sampel larut
sempurna ditambah air destilata lagi sampai bobot total larutan 300 gram.
Pengukuran viskositas dilakukan dengan menggunakan Brookfield
viscometer pada suhu kamar dengan menggunakan spindle nomor 2 dan
kecepatan 30 rpm. Angka yan dibaca dikalikan dengan 10. Viskositas larutan
dihitung dengan satuan centipoises (cPs).

Kekuatan Gel (Marrine Colloids, 1977)
Karagenan 0.8 gram, KCl 0.08 gram didispersikan ke dalam 39 ml air
destilata dan dipanaskan ke dalam bak air mendidih dengan pengadukan
secara teratur sampai suhu 80
0
C, kemudian volume larutan ditepatkan
menjadi 50 ml dengan air destilata. Larutan panas dimasukkan ke dalam
cetakan berdiameter kira-kira 4 cm dan dibiarkan pada suhu 10
0
C selama 2
jam.
Pengukuran dilakukan dengan menggunakan curd meter. Gel dalam
cetakan dimasukkan ke dalam alat ukur (curd tension meter). Kondisi
pengukurannya yaitu :
1. Batang penekan nomor 5,6 dengan luas permukaan (S) 0,25 cm
2
dan
keliling (l) 1,76 cm
2. Beban dan pegas masing-masing 100 gram
3. Laju penetrasi batang penekan sebesar 0,35 cm/detik
Setelah posisi batang penekan tepat di tengah permukaan gel, curd
meter diaktifkan sampai dengan batang penekan menembus permukaan gel.
Pembacaan dilakukan melalui grafik recorder.

Titik Gel (Marrine colloids, 1977)
Suhu pembentukan gel ditentukan dengan menggunakan termometer
digital yang ketelitiannya 0,1
0
C. Ke dalam Erlenmeyer dimasukkan 1,8 gr
sample dan 0,18 gr KCl dan air destilata 80 ml, sample kemudian dipanaskan
sampai larut dan berat akhir ditetapkan menjadi 90 gr sehingga diperoleh


24


larutan sample 2%. Larutan kemudian didinginkan sampai suhu 65
0
C. Suhu
pembentukan gel ditentukan dengan cara mengambil 15 ml larutan sample,
kemudian dimasukkan kedalam tabung percobaan yang berukuran 16x200
mm. Tabung percobaan kemudian dimasukkan kedalam water bath yang berisi
air panas. Pada saat larutan bersuhu 60
0
C sensor termometer dimasukkan ke
dalam. Suhu media dalam water bath kemudian diturunkan dengan kecepatan
pendinginan diatur hingga penurunan suhu 0,6
0
C /menit. Pada saat suhu
berkisar antara 40
0
C sensor termometer diangkat-angkat secara periodik.
Suhu pada saat terbentuk gel disebut suhu pembentukan gel dan suhu ini
ditentukan tepat pada saat sensor dapat mengangkat gel ke dalam tabung
percobaan.

Titik leleh (Dea, 1982)
Tabung reaksi yang berisi gel dengan konsentrasi 3% diletakkan dalam
thermostatic bath dan dipanaskan dari suhu 20
0
C dengan kecepatan
pemanasan 1
0
C setiap 15 menit. Ketika butir timah yang terendam di dalam
tabung reaksi tenggelam ke dasar berarti gel telah meleleh. Suhu pada saat ini
dicatat sebagai melting point.

Ketebalan
Ketebalan film diukur dengan Microcal Meshmer. Alat ini memiliki
ketelitian sampai 0.001 mm. Pengukuran dilakukan pada 5 tempat yang
berbeda kemudian hasilnya dirata-ratakan sehingga diperoleh nilai ketebalan
film rata-rata dalam satuan mm.

Kuat Tarik dan Persen Pemanjangan (ASTM, 1983)
Kuat tarik dan persen pemanjangan diukur dengan menggunakan alat
tensile Strength and Percen Elongation Tester Strograph-MI Toyoseiki.
Sebelum dilakukan pengukuran film dikondisikan dahulu dalam suhu ruangan
selama 24 jam. Alat diatur pada initial grip separation 10 cm, cross-head
speed 50 mm/menit dan load cell 5 kg.



25


Kuat tarik ditentukan berdasarkan beban maksimum dan persen
pemanjangan dihitung pada saat film pecah atau robek.
Kuat Tarik = F / A

Keterangan : F = gaya kuat tarik (kgf)
A = luas (cm
2
)
Laju Transmisi Uap Air, Metode Cawan (ASTM, 1983)
Laju transmisi uap air diukur dengan menggunakan water vapor
transmission rate tester Bergerlahr metode cawan. Film yang akan diukur
dikondisikan sebelumnya `pada ruangan yang bersuhu 25 + 2
0
C dan RH 45 +
5% selama 24 jam. Bahan penyerap uap air (desikan) diletakkan dalam cawan
sedemikian rupa sehingga permukaan berjarak 3 mm dari film yang akan
diuji. Tutup cawan diletakkan sedemikian rupa sehingga permukaan bagian
yang teralur menghadap keatas. Film diletakkan ke dalam tutup cawan, lalu
cincin karet diletakkan untuk sealing ke dalam, ditutup sehingga cincin
tersebut menekan film. Selanjutnya cawan ditimbang dengan ketelitian 0,0001
g, kemudian diletakkan dalam humidity chamber, ditutup lalu kipas angin
dijalankan. Cawan ditimbang tiap hari pada jam yang hampir sama dan
ditentukan pertambahan berat cawan. Selanjutnya dibuat grafik hubungan
antara pertambahan berat mg) dan waktu (jam).
Nilai laju transmisi uap air yang melewati film dihitung dengan rumus :

WVTR = 4.8 x m
2
/t (g/m
2
/24 jam)
Keterangan :
m
2
= pertambahan berat (mg per jam)
t = waktu antar 2 penimbangan terakhir



26


Kadar Protein (AOAC, 1995)
Sampel sebanyak 0,5 gram dimasukkan dalam labu Kjeldahl 100 ml,
lalu ditambahkan 2-3 gram katalis (1,2 gram Na
2
SO
4
dan 1 gram

CuSO
4
) dan
2-3 ml H
2
SO
4
pekat lalu dilakukan detruksi hingga larutan menjadi jernih..
Kemudian sample dibiarkan dingin, lalu ditambahkan 35 ml air destilata dan
10 ml NaOH 50%, lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam
Erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml H
3
BO
3
dan indikator lalu dititrasi dengan
HCl 0,02N. Kadar nitrogen dihitung berdasarkan rumus :
% N = (HCl blanko)ml x N HCl x 14,007 x 100%
mg sampel

Kadar Lemak (Apriyantono et al, 1989)
Dua gram sample dibungkus dalam kertas saring dan dimasukkan ke
dalam labu soxlet (Labu lemak sebelumnya dikeringkan dalam oven
kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang). Dimasukkan pelarut
petroleum eter kemudian dilakukan reflux selama 6 jam. Labu berisi hasil
reflux dipanaskan dalam oven dengan suhu 105
0
C. Setelah kering
didinginkan dalam desikator, labu beserta lemaknya ditimbang sehingga berat
lemak dapat diketahui. Kadar lemak dapat diketahui berdasarkan rumus :
% lemak = berat lemak x 100 %
berat sampel

Uji Organoleptik (Soekarto, 1985)
Uji organoleptik dilakukan dengan metode consumer preference test atau
uji kesukaan konsumen (Soekarto, 1985), yaitu menggunakan panelis agak
terlatih sebanyak 15 orang. Bahan disajikan secara acak dengan diberi nomor
kode, kemudian panelis diminta untuk memberikan penilaian pada salah satu
criteria skala hedonik. Hasil pengamatan dinyatakan dengan 7 skala hedonik
1 7 dengan urutan sebagai berikut : 1 (sangat tidak suka), 2 (tidak suka), 3
(agak tidak suka), 4(agak suka), 5 (suka), 6 (sangat suka), 7 (amat sangat
suka). . Parameter yang digunakan pada uji ini meliputi penampakan, warna,
kekentalan dan bau.



27


Aktivitas Air (Aw) (AOAC, 1994)
Alat yang digunakan untuk mengukur aktivitas air adalah Aw sprint.
Swiss Made Novasiana TH 500. Sebelum digunakan alat ini dikalibrasi
dengan menggunakan larutan garam jenuh yang nilai Aw-nya sudah diketahui.
Sampel dipotong kecil-kecil dan dmasukkan ke dalam cawan sensor. Penutup
cawan sensor dikatupkan dan tombol start ditekan untuk memulai pengukuran.
Beberapa saat kemudian pada layar monitor tertera kadar Aw sampel.

Total Mikroba (Fardiaz, 1989)
Contoh sebanyak 1 gr ditimbang dan dihancurkan, kemudian secara
aseptis contoh dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi pengencer 9
ml. Setelah dikocok, diambil dengan pipet steril 1 ml untuk pengenceran
berikutnya.
Pemupukan dilakukan dengan metode agar tuang (pour plate), yaitu
sebanyak 1 ml contoh yang telah diencerkan sampai pada tingkat tertentu,
diambil dengan pipet steril secara aseptis, dan dipindahkan ke dalam cawan
petri. Media PCA cair dengan suhu kira-kira 45
0
C dituang ke dalam petri.
Setelah dingin diinkubasi selama 48 jam. Penetapan total mikroba berdasarkan
pada metode Standard Plate Count.

Kapang (Fardiaz, 1989)
Contoh sebanyak 1 gr ditimbang dan dihancurkan, kemudian secara
aseptis contoh dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi pengencer 9
ml. Setelah dikocok, diambil dengan pipet steril 1 ml untuk pengenceran
berikutnya.
Pemupukan dilakukan dengan metode agar tuang (pour plate), yaitu
sebanyak 1 ml contoh yang telah diencerkan sampai pada tingkat tertentu,
diambil dengan pipet steril secara aseptis, dan dipindahkan ke dalam cawan
petri. Media PDA cair dengan suhu kira-kira 45
0
C ditambahkan 2 tetes asam
tartrat kemudian dituang ke dalam petri. Setelah dingin diinkubasi selama 48
jam kemudian diamati ada/tidaknya kapang.


28


Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut Rancangan Acak Lengkap Pola Faktorial dengan 3 perlakuan
dan tiga kali ulangan. Faktor perlakuan dalam penelitian ini terdiri dari :
1 Konsentrasi Karagenan
A
1
= 1,5 %
A
2
= 2 %
A
3
= 2,5 %
2 Konsentrasi Tepung Tapioka
B
1
= 0,3 %
B
2
= 0,5 %
B
3
= 0,7 %
3 Konsentrasi Beeswax
C
1
= 0,3 %
C
2
= 0,5 %
rumus matematikanya adalah sebagai berikut :
Yijk = + Ai + Bj + Ck + ABij + ACik + BCjk + ABCijk + (ijk)
dimana :
Yijk = Nilai pengamatan dari perlakuan bersama taraf ke-I factor A, taraf
ke-j faktor B, taraf ke-k faktor C, pada ulangan ke-1
= Nilai tengah
Ai = Pengaruh taraf ke-1 faktor A
Bj = Pengaruh taraf ke-j faktor B
Ck = Pengaruh taraf ke-k faktor C
ABij = Pengaruh interaksi taraf ke-i faktor A dengan taraf ke-j faktor B
ACik = Pengaruh interaksi taraf ke-i faktor A dengan taraf ke-k faktor C
BCjk = Pengaruh interaksi taraf ke-j faktor B dengan taraf ke-k faktor C
ABCijk = Pengaruh interaksi taraf ke-i fakktor A, taraf ke-j faktor B dan
Taraf ke-k faktor C.
(ijk) = Pengaruh galat percobaan pada ulangan ke-1.


29


HASIL DAN PEMBAHASAN
Spesifikasi Mutu Karagenan
Dalam proses ekstraksi karagenan menggunakan alkali, karena alkali
mempunyai dua fungsi yaitu membantu ekstraksi polisakarida menjadi lebih
sempurna dan mempercepat eliminasi 6-sulfat dari unit monomer menjadi 3,6-
anhydro-D-galaktosa sehingga dapat meningkatkan kekuatan gel (Towle,
1973). Disamping itu alkali berfungsi untuk mencegah terjadinya hidrolisis
karagenan (Guiseley et a.l, 1980). KOH dipilih karena efek kation terhadap
kappa karagenan yang menghasilkan gel lebih kuat dibandingkan dengan
alkali lain seperti NaOH dan Ca(OH)
2
.
Pengendapan karagenan hasil ekstraksi yang telah mengalami filtrasi
dapat dilakukan dengan alkohol (Glicksman, 1983). Alkohol yang dapat
digunakan adalah methanol, etanol dan isopropil alkohol. Kebanyakan
karagenan yang dipakai dalam pangan diisolasi dengan pengendapan selektif
oleh isopropil alkohol karena hasilnya lebih murni dan pekat/kental (Anonim,
2000). Hanya satu kekurangan isopropil alkohol yaitu lebih mahal dibanding
methanol dan etanol.
Hasil analisis terhadap mutu karagenan yang diekstrak dari rumput
laut Eucheuma cottonii dan karagenan komersial dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Spesifikasi mutu karagenan
Parameter Karagenan
Ekstraksi
Karagenan
Komersial
Kadar Air (%)
Kadar Abu (%)
Kadar Abu tak larut asam (%)
Kekuatan Gel (gram/cm
2
)
Titik Pembentukan Gel (
0
C)
Titik Leleh (
0
C)
Viskositas (cPs)
8,14
27,17
0,128
475
37,6
63,4
25
18,9
18,92
0,0015
30
10,5
20
30



30


Karagenan komersial adalah karagenan yang telah distandardisasi oleh
masing-masing produsen. Standardisasi biasanya dilakukan dengan
mencampur berbagai jenis karagenan dan atau mencampur dengan sukrosa
atau garam serta dextrose untuk meningkatkan kemampuan pembentukan gel
dan pengental (Marcel, 1999).
Titik jendal dan titik leleh karagenan berkaitan dengan kekuatan gel.
Karagenan hasil ekstraksi mempunyai kekuatan gel yang tinggi, sehingga titik
jendal dan titik lelehnya tinggi pula. Sedangkan karagenan komersial
mempunyai kekuatan gel yang rendah, sehingga titik jendal dan titik lelehnya
rendah. Konsistensi gel dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis dan
tipe karagenan, konsentrasi dan adanya ion-ion. Kekuatan gel yang rendah
dari karagenan komersial diduga karena perbedaan tipe karagenan, adanya
bahan-bahan yang ditambahkan pada karagenan komersial sehingga
mengurangi kemurnian karagenan tersebut.
Kadar air karagenan hasil ekstraksi dalam penelitian memenuhi standar
yang ditetapkan oleh FAO, FCC maupun EEC yaitu maksimum 12 %.
Sedangkan kadar air karagenan komersial yang digunakan dalam penelitian
ini melebihi standar yang ditetapkan. Hal ini diduga, karagenan komersial
sudah mengalami penyimpanan yang lebih lama atau mungkin cara
penyimpanan yang kurang baik, sehingga terjadi penyerapan uap air. Kadar
abu karagenan hasil ekstraksi dalam penelitian maupun karagenan komersial
memenuhi kisaran yang ditetapkan yaitu 15 40 %. Demikian juga kadar abu
tak larut asam, standar yang ditetapkan maks 2. Viskositas pada larutan 1,5%
min 5 cps.
Dari Tabel 4 terlihat bahwa secara umum karagenan hasil ekstraksi
dalam penelitian ini lebih baik dari pada karagenan komersial diduga karena
karagenan komersial sudah mengalami penyimpanan yang lebih lama serta
adanya penambahan bahan-bahan tertentu pada karagenan komersial.



31


Pembuatan dan Penentuan Konsentrasi Bahan Penyusun
Edibel Film Komposit dari Karagenan
Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat larutan film edibel
komposit dari karagenan adalah karagenan, tapioka, beeswax, gliserol dan air
destilata. Penentuan karagenan 1, 2 dan 3 %, tapioka 0,5 %, beeswax 0,3 %
dilakukan berdasarkan uji coba pendahuluan dan berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Nurrochmawati (2003) dan Harris (1998). Pembuatan edibel
film komposit dari karagenan hasil ekstraksi dalam penelitian ini dengan
penggunaan karagenan 1, 2 dan 3 %, tapioka 0,5 % dan beeswax 0,3 %
menghasilkan larutan film edibel dengan kekentalan yang sesuai untuk
pembentukan film. Secara sensory larutan dengan penambahan karagenan
kurang dari 1 % menghasilkan larutan yang sangat encer dan membentuk film
yang sangat tipis sehingga sulit dilepas dari cetakan dan mudah robek.
Sedangkan penggunaan karagenan lebih dari 3 % menghasilkan larutan yang
kental dan membentuk film dengan ketebalan yang tidak merata.
Pada proses pembuatan edibel film, mula-mula air destilata dipanaskan
sampai suhu 40
0
C, ditambahkan karagenan dan dilakukan pengadukan
sampai larut. Pada suhu 60
0
C kemudian ditambahkan tepung tapioka yang
sudah dilarutkan dalam air destilata sambil diaduk selama 15 menit sampai
homogen. Penambahan tapioka secara langsung dalam air panas,
menyebabkan tapioka menggumpal sehingga larutan menjadi kurang
homogen. Penambahan tapioka pada suhu 60
0
C, hal ini disesuaikan dengan
suhu gelatinisasi pati dimana pada suhu 60 sampai 85
0
C ini air akan
menembus lapisan luar granula pati dan granula mulai menggelembung.
Granula dapat menggelembung hingga volumenya lima kali lipat volume
semula. Pada suhu kira-kira granula pati pecah dan isinya terdispersi merata
keseluruh air sekelilingnya. (Gaman, PM dan Sherrington, KB. 1994).
Penambahan tapioka pada suhu dibawah 60
0
C film yang dihasilkan sangat
tidak baik, lapisan permukaan tidak rata dan terbentuk garis-garis melingkar
yang sangat jelas.
Penambahan gliserol pada saat suhu larutan masih panas (+ 90
0
C) dan
selanjutnya suhu diturunkan sampai suhu 50
0
C sambil dilakukan pengadukan


32


dan dibiarkan selama 15 menit. Dipanaskan lagi dan pada suhu 64
0
C
kemudian ditambahkan beeswax, sambil terus dilakukan pengadukan. Setelah
beeswax larut, selanjutnya dilakukan penyaringan untuk menghilangkan
kotoran-kotoran. Pemanasan dilanjutkan sehingga suhu mencapai 90
0
C dan
dilakukan deggasing. Selanjutnya larutan dicetak dengan menggunakan TLC
Spreader, setelah itu dilakukan pengeringan dalam oven 50
0
C selama 1 jam
dan selanjutnya dibiarkan dalam suhu ruangan selama 24 jam. Kemudian
edibel film diangkat dari cetakan dan disimpan dalam kertas aluminium foil.
Pencetakan edibel film dapat dilakukan dengan metode pencetakan
dengan alat atau dengan penuangan. Pada pembuatan edibel film komposit ini,
pencetakan dilakukan dengan cara penyebaran larutan diatas cetakan kaca
dengan ketebalan terkontrol dengan menggunakan TLC spreader.
Sifat edibel film yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh jenis dan sifat
bahan-bahan pembentuknya. Dalam pembuatan larutan film edibel ini
digunakan air destilata sebagai pelarut. Penggunaan air destilata bertujuan
untuk menghindari kemungkinan adanya pengaruh kotoran, logam atau zat
terlarut lain yang dapat mengganggu pembentukan lapisan. Karagenan, tepung
tapioca, beeswax adalah bahan-bahan yang digunakan untuk membuat edibel
film komposit dengan penambahan pemlastis yaitu gliserol.
Menurut Krochta (1994), edibel film komposit diformulasikan untuk
menggabungkan kelebihan-kelebihan edibel film dari lemak dan hidrokoloid
dan mengurangi kelemahan-kelemahan dari masing-masing komponen
tersebut. Ketika fungsi sebagai penahan uap air dikehendaki diperlukan
komponen lemak, sementara komponen hidrokoloid memberikan daya tahan
yang baik.
Karagenan merupakan senyawa hidrokoloid komersial dari rumput laut
merah (Rhodophyceae) yang penting dalam produk pangan dan industri. Hal
ini karena kemampuannya dalam mengubah sifat fungsional produk yang
diinginkan. Beberapa sifat fungsional karagenan dalam produk pangan
diantarannya adalah sebagai pencegah kristalisasi, pengemulsi, penstabil,
pengental, pembentuk gel, koloid pelindung dan penggumpal (Glicksman,
1982). Karagenan mempunyai karakteristik khas yang tidak bisa digantikan


33


oleh gum lain, food grade, aman untuk dikonsumsi dan non toxic materials.
Karagenan termasuk dalam 12 golongan bahan tambahan pangan yang
diizinkan, karena sampai saat ini karagenan merupakan bahan tambahan
pangan pengental yang penting dalam produk makanan olahan (Direktorat
Jenderal Industri dan Pedagang Kecil Menengah, 2002). Pemilihan tepung
tapioka sebagai bahan campuran adalah berdasarkan penelitian Harris (1999)
yang menunjukkan bahwa edibel film dari tapioka mempunyai penampakan
lebih baik dari pada edibel film dari pati aren dan sagu. Edibel film dari
tapioka mempunyai karakteristik lebih baik terhadap Aw, ketebalan, derajat
kejernihan, kuat tarik, persen pemanjangan, laju transmisi gas O dan CO ,
tetapi mempunyai laju transmisi uap air lebih tinggi.
Gliserol merupakan bahan tambahan pangan yang bersifat humektan
artinya bahan pangan yang dapat menyerap lembab sehingga dapat
mempertahankan kadar air dalam makanan. Gliserol berfungsi sebagai
pemlastis akan mengurangi kerapatan dan gaya antar molekul pati-gliserol,
sehingga film yang terbentuk lebih fleksibel dan halus. Tetapi gliserol yang
berlebihan menyebabkan film lunak dan lengket sehingga sukar diangkat dari
cetakan. Hal ini disebabkan gliserol bersifat mengikat air dan melunakkan
permukaan. Penambahan gliserol pada edible film komposit dari karagenan
lebih dari 2 ml membuat larutan cepat menjendal sehingga edibel film yang
terbentuk kurang merata. Hal ini disebabkan penambahan gliserol akan
meningkatkan viskositas larutan. Selain itu juga karena sifat karagenan yang
mempunyai kekuatan gel yang tinggi. Untuk itu pada penelitian ini digunakan
penambahan gliserol 1 ml dimaksudkan untuk mendapatkan edibel film yang
tipis dan merata serta diharapkan akan menghasilkan edibel film dengan nilai
laju tranmisi uap air dan Aw yang rendah.
Beeswax fungsinya adalah untuk menahan laju transmisi uap air. Hal
ini disebabkan karena pada waktu pengeringan, beeswax membentuk jaringan
kristal sehingga dapat berfungsi sebagai penahan uap air. Menurut
Deberaufort et al. (1993), laju transmisi uap air akan menurun dengan
meningkatnya sifat hidrofobik. Kamper dan Fennema (1984), juga
menyatakan bahwa lemak merupakan komponen yang paling efektif sebagai


34


penahan uap air. Penambahan beeswax dapat menurunkan aw karena
beeswax bersifat hidrofobik sehingga mampu menurunkan konsentrasi uap air
dalam film (Gontard et al. 1996).
Secara sensory/organoleptik, mutu edibel film komposit dari karagenan
dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Deskripsi edibel film komposit dari karagenan ekstraksi

Konsentrasi karagenan,
tapioka, beeswax
Deskripsi
1% ; 0,5% ; 0,3 % bening, rapi, sangat tipis,
mudah robek, tidak elastis
2% ; 0,5% ; 0,3 % bening, rapi, ketebalan cukup,
elastis
2,5% ; 0,5% ; 0,3 % buram, kurang rapi, tebal, kaku


Dengan demikian komponen penyusun utama yang digunakan untuk
pembuatan larutan film pada penelitian selanjutnya dicoba dengan
penggunaan karagenan 1,5 ; 2 dan 2,5 % ; tapioka 0,3 ; 0,5 dan 0,7 %
beeswax 0,3 dan 0,5 %

Karakterisasi dan pemilihan Kombinasi Formula Edibel Film
Pada tahap ini dilakukan pembuatan edibel film sebelum diaplikasikan
pada produk dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik edibel film
komposit terpilih. Adapun komponen penyusun utama yang digunakan adalah
karagenan 1,5 ; 2 dan 2,5 %, tapioka 0,3 ; 0,5 dan 0,7 % ; beeswax 0,3 dan 0,5
% dan gliserol 1 %. Teknik formulasi pembuatan edibel film komposit
memiliki beberapa tahap diantaranya pembentukan suspensi pati (karagenan
dan tapioka), pencampuran larutan pembentuk film yaitu suspensi pati,
gliserol dan beeswax, pemanasan, penghilangan gas terlarut, penyaringan,
pencetakan, pengeringan, pendinginan, pelepasan film dari cetakan dan
penyimpanan film.


35


Pemilihan kombinasi formula edibel film komposit yang akan
diaplikasikan pada produk didasarkan pada hasil analisis statistik.

Persen Pemanjangan
Persen Pemanjangan adalah perubahan panjang maksimum yang dialami
edibel film pada saat mulai sobek (Krochta, 1992). Hasil pengukuran persen
pemanjangan edibel film komposit dari karagenan berkisar antara 0,9%
sampai dengan 4,8%. Rekapitulasi data persen pemanjangan dapat dilihat
pada Lampiran 1a.
0
1
2
3
4
5
6
1
,
5
%
;
0
,
3
%

1
,
5
%
;
0
,
5
%

1
,
5
%
;
0
,
7
%

2
,
0
%
;
0
,
3
%

2
,
0
%
;
0
,
5
%

2
,
0
%
;
0
,
7
%

2
,
5
%
;
0
,
3
%

2
,
5
%
;
0
,
5
%

2
,
5
%
;
0
,
7
%

Kombinasi Karagenan; Tapioka
P
e
r
s
e
n

P
e
r
p
a
n
j
a
n
g
a
n

(
%
)
Beeswax 0,3 %
Beeswax 0,5 %
Gambar 4 Persen pemanjangan edibel film komposit dari
beberapa kombinasi karagenan, tapioka dan beeswax.

Dari gambar 4 terlihat bahwa persen pemanjangan tertinggi diperoleh
dari perlakuan komposit karagenan 2,5 % tapioka 0,3 % dan beeswax 0,5 %.
Penggunaan karagenan dalam jumlah yang lebih besar menyebabkan
kemampuan mengikat air yang lebih baik sehingga memberikan matrik gel
yang dapat meningkatkan sifat mekanik (persen pemanjangan) dari edibel
film. Menurut Carriedo (1994), gel yang dihasilkan dari karagenan dapat
digunakan dalam pelapisan (coating) makanan. Untuk dapat menghasilkan
edibel film yang baik dapat digunakan kombinasi karagenan dan locust bean
gum karena mampu membentuk struktur double heliks yang mampu


36


meningkatkan elastisitas gel yang dihasilkan. Persentase pemanjangan edibel
film dikatakan baik jika nilainya lebih dari 50% dan dikatakan jelek jika
nilainya kurang dari 10% (Krochta dan Johnston, 1997 dalam Suryaningrum,
2005). Pada konsentrasi karagenan 2,5% dengan penambahan tapioka 0,5 dan
0,7% dapat menurunkan persen pemanjangan. Hal ini diduga karena
meningkatnya prosentase padatan terhadap volume air. Hasil penelitian
Poeloengasih dan Marseno (2003) mengenai edibel film dari protein biji
kecipir menunjukkan bahwa penambahan tepung tapioka berpengaruh
terhadap penurunan persen pemanjangan. Sedangkan menurut Suryaningrum,
2005 pembuatan edibel film dari karagenan dengan perlakuan tanpa
penambahan tapioka dan penambahan volume larutan pengencer
menghasilkan persen pemanjangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
penambahan tapioka.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi
tapioka, beeswax, interaksi antara karagenan tapioka ; karagenan beeswax;
tapioka beeswax ; karagenan, tapioka dan beeswax tidak berpengaruh
terhadap persen pemanjangan film. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan
tapioka 0,3 ; 0,5 ; 0,7 % dan beeswax 0,3 ; 0,5 % belum memberikan
pengaruh terhadap persen pemanjangan film yang dihasilkan, karena
konsentrasi tapioka dan beeswax yang ditambahkan dalam jumlah yang relatif
kecil. Dari masing-masing perlakuan, hanya penambahan konsentrasi
karagenan yang berpengaruh terhadap persen pemanjangan. Selanjutnya hasil
uji berganda Duncan memperlihatkan bahwa penggunaan karagenan 1,5 %
berbeda dengan 2,0 dan 2,5 %. Hal ini berkaitan dengan jumlah karagenan
yang digunakan, dimana penggunaan karagenan dalam jumlah yang lebih
besar menyebabkan kemampuan mengikat air yang lebih baik sehingga
memberikan matrik gel yang dapat meningkatkan persen pemanjangan.







37


Kekuatan Tarik
Kekuatan tarik adalah tekanan regangan maksimum yang dapat diterima
film sampai film putus. Hasil pengukuran kekuatan tarik edibel film komposit
dari karagenan berkisar antara 352,37 sampai dengan 990,48 kgf/cm
2
.
Rekapitulasi data kekuatan tarik dapat dilihat pada Lampiran 2a.
0
200
400
600
800
1000
1200
1
,
5
%
;
0
,
3
%

1
,
5
%
;
0
,
5
%

1
,
5
%
;
0
,
7
%

2
,
0
%
;
0
,
3
%

2
,
0
%
;
0
,
5
%

2
,
0
%
;
0
,
7
%

2
,
5
%
;
0
,
3
%

2
,
5
%
;
0
,
5
%

2
,
5
%
;
0
,
7
%

Kombinasi Karagenan; Tapioka
K
e
k
u
a
t
a
n

T
a
r
i
k

(
k
g
f
/
c
m
2
)
Beeswax 0,3 %
Beeswax 0,5 %
Gambar 5 Kekuatan tarik edibel film komposit dari beberapa kombinasi
karagenan, tapioka dan beeswax.

Dari Gambar 5 terlihat bahwa kekuatan tarik tertinggi diperoleh dari
perlakuan komposit karagenan 2,5 % tapioka 0,3 % dan beeswax 0,3 %.
Pada konsentrasi karagenan 1,5 dan 2% penambahan tapioka belum
berpengaruh pada penurunan kekuatan tarik. Hal ini diduga pada kombinasi
konsentrasi tersebut molekul karagenan dan tapioka mampu berikatan dengan
baik, sehingga membentuk gel yang kuat sehingga kekuatan tarik meningkat.
Hasil penelitian Nurrochmawati (2003) menunjukkan bahwa penambahan
tepung tapioka berpengaruh terhadap penurunan kekuatan tarik, pada
penelitian ini terjadi pada konsentrasi karagenan 2,5%. Pada konsentrasi
karagenan 2,5% dengan penambahan tapioka 0,5 dan 0,7% dapat menurunkan
kekuatan tarik. Hal ini diduga karena meningkatnya prosentase padatan
terhadap volume air.


38


Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi
tapioka, beeswax, interaksi antara karagenan tapioka; karagenan beeswax;
tapioka beeswax ; karagenan tapioka dan beeswax tidak berpengaruh terhadap
kekuatan tarik film. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tapioka 0,3 ;
0,5 ; 0,7 % dan beeswax 0,3 ; 0,5 % dari volume air destilata belum
memberikan pengaruh terhadap kekuatan tarik film yang dihasilkan, karena
jumlah tapioka dan beeswax yang ditambahkan relatif kecil. Dari masing-
masing perlakuan, hanya penggunaan karagenan yang berpengaruh terhadap
kekuatan tarik. Selanjutnya hasil uji berganda Duncan memperlihatkan bahwa
penggunaan karagenan 1,5 % berbeda dengan 2,0 dan 2,5 %. Hal ini
berkaitan dengan jumlah karagenan yang digunakan, dimana penggunaan
karagenan dalam jumlah yang lebih besar menyebabkan kemampuan
mengikat air yang lebih baik sehingga memberikan matrik gel yang dapat
meningkatkan kekuatan tarik.

Laju Transmisi Uap Air
Hasil pengukuran laju transmisi uap air edibel film komposit dari
karagenan berkisar antara 746,2 sampai dengan 1117,4 g/m
2
/hari. Rekapitulasi
data laju transmisi uap air dapat dilihat pada Lampiran 3a.
0
200
400
600
800
1000
1200
1
,
5
%
;
0
,
3
%

1
,
5
%
;
0
,
5
%

1
,
5
%
;
0
,
7
%

2
,
0
%
;
0
,
3
%

2
,
0
%
;
0
,
5
%

2
,
0
%
;
0
,
7
%

2
,
5
%
;
0
,
3
%

2
,
5
%
;
0
,
5
%

2
,
5
%
;
0
,
7
%

Kombinasi Karagenan; Tapioka
L
a
j
u

T
r
a
n
s
m
i
s
i

U
a
p

A
i
r

(

g
/
m
2
/
h
a
r
i
)
Beeswax 0,3 %
Beeswax 0,5 %
Gambar 6 Laju transmisi uap air edibel film komposit dari beberapa
kombinasi karagenan, tapioka dan beeswax.


39



Lemak dalam hal ini beeswax merupakan komponen yang ditambahkan
untuk memperbaiki sifat edibel film sebagai penahan uap air. Menurut
Guilbert dan Biquet (1996) didalam Permanasari (1998) komponen lemak
seperti wax, emulsifier dan asam lemak dalam edibel film komposit
berpengaruh dalam menurunkan laju transmisi uap air karena sifat lemak yang
memiliki polaritas rendah dan struktur kristal yang padat. Namun dari
Gambar 6 terlihat bahwa penambahan beeswax kadang-kadang dapat
meningkatkan laju transmisi uap. Hal ini diduga disebabkan oleh homogenitas
larutan dan distribusi sustansi hidrofobik yang kurang merata. Laju transmisi
uap air terendah dihasilkan dari kombinasi perlakuan komposit karagenan 2,0
% ; tapioka 0,7 % dan beeswax 0,3 %. Penggunaan karagenan 2 %, tapioka
0,7 % dan beeswax 0,3 % diduga pada kombinasi konsentrasi ini, molekul
karagenan, tapioka, dan beeswax mampu berikatan secara baik yang
menyebabkan laju transmisi uap air menjadi rendah.
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi
beeswax, interaksi antara karagenan tapioka, karagenan beeswax tidak
berpengaruh terhadap laju transmisi uap air film. Sedangkan konsentrasi
karagenan, tapioka, interaksi antara tapioka beeswax; interaksi antara
karagenan tapioka beeswax berpengaruh terhadap laju transmisi uap air film.
Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tapioka 0,3 ; 0,5 ; 0,7 % dan
karagenan 1,5 ; 2,0 dan 2,5 % memberikan pengaruh terhadap laju transmisi
uap air film yang dihasilkan. Selanjutnya hasil uji berganda Duncan
memperlihatkan bahwa penambahan karagenan 1,5 % berbeda dengan 2,0
dan 2,5 %. Penambahan tapioka 0,3 dan 0,5 % berbeda dengan 0,7 %.
Perbedaan pengaruh interaksi antara tapioka beeswax terhadap laju transmisi
uap air dapat dilihat pada Lampiran 4b sedangkan pengaruh interaksi
karagenan tapioka dan beeswax terhadap laju transmisi uap air dapat dilihat
pada Lampiran 5a. Penambahan konsentrasi karagenan dan tapioka yang
digunakan menyebabkan bertambahnya ketebalan sehingga laju transmisi uap
air menjadi lebih rendah.



40


Ketebalan
Ketebalan merupakan parameter penting yang berpengaruh terhadap
penggunaan film dalam pembentukan produk yang akan dikemas. Hasil
pengukuran ketebalan edibel film komposit dari karagenan berkisar antara
0,05 sampai dengan 0,079 mm. Rekapitulasi data ketebalan dapat dilihat pada
Lampiran 5b.
0
200
400
600
800
1000
1200
1
,
5
%
;
0
,
3
%

1
,
5
%
;
0
,
5
%

1
,
5
%
;
0
,
7
%

2
,
0
%
;
0
,
3
%

2
,
0
%
;
0
,
5
%

2
,
0
%
;
0
,
7
%

2
,
5
%
;
0
,
3
%

2
,
5
%
;
0
,
5
%

2
,
5
%
;
0
,
7
%

Kombinasi Karagenan; Tapioka
K
e
t
e
b
a
l
a
n

(
m
m
)
Beeswax 0,3%
Beeswax 0,5%

Gambar 7 Ketebalan edibel film komposit dari beberapa kombinasi
karagenan, tapioka dan beeswax.

Dari Gambar 7 terlihat bahwa ketebalan tertinggi diperoleh dari perlakuan
komposit karagenan 2,5 % tapioka 0,3 % dan beeswax 0,3%. Hal ini diduga
pada penambahan tapioka 0,5 dan 0,7 % beeswax 0,5 %, prosentase total
padatan meningkat terhadap volume air yang menyebabkan proses gelatinisasi
berlangsung kurang baik. Hal ini diduga berpengaruh terhadap penurunan
ketebalan film yang dihasilkan.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi
tapioka, interaksi antara karagenan tapioka; karagenan beeswax; tapioka
beeswax ; karagenan tapioka dan beeswax tidak berpengaruh terhadap
ketebalan film. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi tapioka
0,3%, 0,5%, 0,7% dari volume larutan belum memberikan pengaruh terhadap


41


ketebalan film yang dihasilkan, karena jumlah konsentrasi tapioka relatif
kecil. Penambahan konsentrasi karagenan berpengaruh terhadap ketebalan
film. Selanjutnya hasil uji berganda Duncan memperlihatkan bahwa
penambahan konsentrasi karagenan 1,5% berbeda dengan konsentrasi 2,0 dan
2,5 %. Hal ini berkaitan dengan jumlah karagenan yang digunakan, dimana
penggunaan karagenan dalam jumlah yang lebih besar menyebabkan jumlah
total padatan terlarut bertambah sehingga ketebalan film meningkat.
Penambahan konsentrasi beeswax berpengaruh terhadap ketebalan film,
namun berdasarkan hasil uji homogenitas memperlihatkan bahwa
penambahan beeswax 0,3% tidak berbeda dengan 0,5%.
Secara umum edibel film komposit yang dihasilkan memiliki sifat-sifat
mekanis yang baik, terutama kekuatan tarik film dan lemah sebagai penahan
uap air. Polisakarida (karagenan dan pati) merupakan komponen hidrokoloid
yang dapat membentuk film dengan sifat-sifat mekanis yang baik tetapi lemah
sebagai penahan uap air. Pembentukan edibel film komposit dengan
penambahan lemak dimaksudkan untuk memperbaiki sifat film sebagai
penahan uap air. Guilbert dan Biquet (1989) dalam Alberto, J et al (2000)
mengemukakan bahwa permeabilitas uap air menurun dengan meningkatnya
komponen hydrofobisitas dan lilin merupakan komponen hidrofobisitas yang
paling efektif. Dalam penelitian ini, komponen hidrofobisitas (lemak) yang
ditambahkan relatif kecil dan ketebalan film yang dihasilkan juga sangat tipis,
sehingga kurang berpengaruh terhadap perbaikan sifat film sebagai penahan
uap air. Selain itu juga disebabkan oleh homogenitas larutan dan penyebaran
komponen hidrofobik yang kurang merata.
Perbaikan penampakan film diperoleh dengan system multikomponen
dimana hydrokoloid (polisakarida) membentuk jaringan yang kontinyu dan
kohesif sementara substansi hidrofobik (lemak) memberikan sifat sebagai
penahan uap air. Pada pembuatan edibel film komposit dari karagenan, lemak
ditambahkan dengan cara didispersikan sehingga dapat dikategorikan sebagai
film emulsi. Menurut Alberto, J et al (2000) film emulsi mempunyai beberapa
kelebihan, diantaranya hanya memerlukan satu tahap pengeringan dan dapat
diaplikasikan pada makanan pada suhu ruang.


42


Perbandingan Edibel Film yang Dihasilkan dengan Edibel Film
Hasil Penelitian Sebelumnya
Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian sebelumnya
mengenai edibel film. Beberapa penelitian tentang edibel film yang telah
dilakukan dan hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Perbandingan edibel film yang dihasilkan dengan edibel film
penelitian sebelumnya

Bahan Pembentuk
Edibel Film
P Ktbl
(mm)
PP
(%)
KT
(kgf/cm2)
LTUA
gr/m2/hari
Peneliti

Protein Bungkil
Kedelai, CMC dan
MC, Beeswax

Karagenan , Tapioka


Karagenan, Tapioka,
Beeswax


PEG



S



G

0,46
s/d
0,48

0,84
s/d
0,92

0,05
s/d
0,079


14,36
s/d
29,1

0
s/d
15

0,9
s/d
4,8

117,24
s/d
194,91

0
s/d
14,5

352,37
s/d
990,48

282,05
s/d
324,36


-


746,2
s/d
1117,4


Tirtawijaya
(1998)


Nurochmawati
(2003)



Penelitian
P : Pemlastis; Ktbl : ketebalan ; PP: Persen Pemanjangan; KT : Kekuatan Tarik;
LTUA : Laju Transmisi Uap Air; PEG : Polietilen Glikol; S : Sorbitol; G : Gliserol

Berpedoman pada JIS (Japanesse Industrial Standard) 2 1707 1975
dalam Utami (1998), plastik film untuk kemasan makanan yang dikategorikan
film adalah yang mempunyai ketebalan maksimal 0,25 mm, persen
pemanjangan minimal 70%, kekuatan tarik minimal 4 kgf/cm
2
dan nilai laju
transmisi uap air maksimal 7 gr/m
2
/hari. Jika dikonversikan dengan ketebalan
yang disebutkan dalam JIS tersebut (0,25 mm) dengan nilai persen
pemanjangan dan laju transmisi uap air dianggap linier dengan ketebalan.
Dibandingkan dengan edibel film dari protein bungkil kedelai, CMC dan MC,
beeswax ; karagenan dan tapioka, film yang dihasilkan dalam penelitian ini
mempunyai persen pemanjangan yang hampir sama dengan film dari protein
kedelai tetapi lebih baik dari pada film dari karagenan dan tapioka. Kekuatan
tarik film penelitian merupakan yang terbaik bila dibandingkan dengan
penelitian terdahulu, hal ini diduga oleh pengaruh kekuatan gel dari karagenan
dan penambahan gliserol yang hanya berjumlah 1 %. Dimana penambahan
gliserol dalam jumlah 1 % dalam penelitian ini menyebabkan kekuatan
intermolekuler masih tinggi. Demikian juga dengan laju transmini uap air,


43


film penelitian merupakan yang terbaik. Hal ini diduga molekul karagenan
mampu berinteraksi dengan tapioka dan lemak dengan baik yang dapat
meningkatkan kerapatan molekul sehingga menurunkan laju transmisi uap air.
Film yang dihasilkan dalam penelitian ini memiliki kelebihan dalam hal
kekuatan tarik dan transparansi. Dimana kekuatan tarik dan transparansi
adalah merupakan kriteria plastik dari beberapa kriteria lain yang dikehendaki
produsen untuk dapat digunakan sebagai pengemas. Sedangkan persen
pemanjangan dan laju transmisi uap air belum memenuhi kriteria yang
dikehendaki. Sehingga perlu dicari upaya untuk memperbaiki karakteristik
film dalam hal ketebalan, persen pemanjangan dan laju transmisi uap air
dengan tidak mengurangi kelebihan-kelebihan yang sudah diperoleh.
Misalnya dengan mencoba menambahkan protein atau CMC pada larutan
pembentuk film.

Aplikasi Edibel Film Komposit Sebagai Pengemas
Bumbu Mie Instant Rebus

Berdasarkan hasil penelitian tahap kedua, formula yang dapat
menghasilkan edible film yang mempunyai nilai laju tranmisi uap air terendah
(752,64) yaitu kombinasi perlakuan karagenan 2%, tapioka 0,7% dan beeswax
0,3%). Sebagai pembanding dibuat edibel film dari karagenan komersial
dengan perlakuan karagenan komersial 2,5%, tapioka 0,7% dan beeswax
0,3%. Konsentrasi karagenan komersial yang digunakan lebih tinggi (2,5%)
dari karagenan penelitian (2,0%), karena dengan konsentrasi karagenan
komersial 2 % menghasilkan edibel film yang sangat tipis dan sangat sulit
dilepaskan dari cetakan.


44


Tabel 7 Karakteristik edibel film komposit dari karagenan ekstraksi dalam
penelitian dibandingkan dengan edibel film dari karagenan
komersial

Parameter Edibel Film
Karagenan
Ekstraksi
Karagenan
Komersial
Kuat Tarik (kgf/cm
2
) 967,02 274,72
Ketebalan (mm) 0,059 0,045
Persen Pemanjangan (%) 3,7 1,115
Laju Transmisi Uap Air (gr/m
2
/hari) 752,6 731

Edibel film dibuat dalam bentuk kantong dengan cara di-seal kemudian
bumbu mie instant rebus dimasukkan. Selanjutnya dikemas dengan kemasan
sekunder dan disimpan pada suhu ruang dengan lama penyimpanan 0, 2, 7 dan
14 hari. Kemudian dilakukan pengamatan dan pengukuran : kadar air, Aw,
kadar abu. Analisa kadar abu, lemak, dan protein dilakukan pada awal dan
akhir penyimpanan.
Kadar air
0
5
10
15
20
25
30
0 2 7 14
Lama Penyimpanan (hari)
K
a
d
a
r

A
i
r

(
%
)
Edibel film krg ekst.
Edibel film krg kms
Bumbu (EF. krg ekst)
Bumbu (EF krg kms)
Gambar 8 Grafik hubungan lama penyimpanan dengan kadar air edibel
film (EF) komposit dari karagenan (krg) hasil ekstraksi (ekst)
dan komersial (kms) yang digunakan sebagai pengemas bumbu
mie instant rebus.





45


Rekapitulasi data kadar air edibel film komposit dapat dilihat pada
Lampiran 7a. Kadar air edibel film komposit dari karagenan ekstraksi adalah
sebesar 21,23% dan karagenan komersial 25,07%. Kadar air edibel film dari
karagenan komersial lebih tinggi dari pada edibel film dari karagenan
ekstraksi dalam penelitian, hal ini diduga karena pengaruh kadar air bahan
penyusunnnya yaitu kadar air karagenan komersial lebih tinggi dari pada
karagenan komersial. Dari gambar 8 terlihat bahwa pada awal penyimpanan
terjadi penurunan kadar air edibel film. Penurunan kadar air ini terjadi karena
kandungan air yang terdapat dalam film lebih tinggi dari pada kadar air
bumbu mie instant yang dikemas sehingga terjadi transfer air dari film ke
dalam bumbu mie dan setelah keseimbangan tercapai kadar air akan stabil.
Kadar air edibel film ini sangat berpengaruh terhadap daya simpan bumbu mie
instant yang dikemas, karena erat kaitannya dengan aktivitas metabolisme
yang terjadi selama penyimpanan. Syarief dan Halid (1993) menyatakan
bahwa peranan air dalam bahan pangan merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi aktivitas metabolisme seperti aktivitas enzim, aktivitas
mikroba dan aktivitas kimiawi yaitu terjadinya ketengikan dan reaksi-reaksi
non enzimatis sehingga menimbulkan perubahan sifat-sifat organoleptik dan
nilai gizinya.

Aw (Water Activity)
Nilai Aw merupakan salah satu parameter pertumbuhan
mikroorganisme, sehingga perlu membuat kondisi lingkungan yang tidak
cocok untuk pertumbuhannya. Setiap mikroorganisme mempunyai Aw
minimal untuk pertumbuhan seperti pada Tabel 8









46


Tabel 8 Batas Aw minimal untuk pertumbuhan jasad renik
penyebab kebusukan makanan

Mikroorganisme Aw minimal
Bakteri
Kamir
Kapang
Bakteri Halofilik
Kapang Xerofilik
Khamir Osmofilik
0.90
0.88
0.80
0.75
0.65
0.60
Syarief dan Halid, 1993
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0 2 7 14
Lama Penyimpanan (hari)
a
k
t
i
v
i
t
a
s

a
i
r
Edibel film krg ekst.
Edibel film krg kms.
Bumbu (EF. krg ekst)
Bumbu (EF. krg kms)
Gambar 9 Grafik hubungan lama penyimpanan dengan Aw edibel
film komposit karagenan hasil ekstraksi dan komersial yang
digunakan sebagai pengemas bumbu mie instant rebus.

Nilai Aw edibel film komposit dapat dilihat pada Lampiran 7b. Kisaran
nilai aw edibel film komposit dari karagenan ekstraksi adalah 0,487 s/d 0,584
dan edibel film dari karagenan komersial adalah 0,487 s/d 0,576. Kisaran
tersebut merupakan nilai yang aman dari pertumbuhan mikroorganisme.
Selama penyimpanan 0, 2, 7 dan 14 hari, nilai Aw mengalami fluktuasi. Pada
awal penyimpanan Aw edibel film komposit baik dari karagenan hasil
ekstraksi maupun karagenan komersial mengalami penurunan. Hal ini diduga


47


karena aw erat kaitannya dengan kadar air. Sehingga perubahan kadar air
edibel film pada awal penyimpanan akan diikuti juga dengan perubahan nilai
aw.
Nilai Aw suatu bahan pangan akan mencapai keseimbangan dengan
kelembaban udara relatif (RH) dari ruangan sekitar bahan pangan tersebut.
Apabila RH disekitar ruangan lebih rendah dari pada Aw-nya, bahan pangan
akan mengalami penguapan air. Sebalilknya jika RH ruangan lebih tinggi
daripada Aw bahan pangan maka akan terjadi penyerapan air oleh bahan
pangan tersebut sampai pada suatu saat dimana tercapai keadaan yang
seimbang (Fardiaz, 1989).

Kadar Abu, Lemak dan Protein
Tabel 9 Kadar abu, lemak dan protein edibel film komposit dari
karagenan hasil ekstraksi dan karagenan komersial yang
digunakan sebagai pengemas bumbu mie instant rebus sebelum dan
sesudah penyimpanan

Parameter Edibel Film
Karagenan Ekstraksi
Edibel Film
Karagenan Komersial
Sebelum
Penyimpanan
Sesudah
Penyimpanan
Sebelum
Penyimpanan
Sesudah
Penyimpanan
Kadar Abu

K. Lemak

K. Protein
15,46

2,98

1,32

23,81

0,88

2,97
7,89

4,80

1,65
23,07

3,29

2,97


Analisa kadar abu dilakukan untuk mengetahui secara umum
kandungan mineral yang terdapat dalam edibel film. Menurut Apriyantono et
al. (1989) bahwa nilai kadar abu suatu bahan pangan menunjukkan besarnya
jumlah mineral yang terkandung dalam bahan pangan tersebut. Sudarmadji et
al. (1996) menyatakan bahwa mineral yang terdapat dalam suatu bahan
merupakan dua macam garam yaitu garam organik dan anorganik. Selain


48


kedua garam tersebut, kadang-kadang mineral berbentuk sebagai senyawa
komplek yang bersifat organik.
Data kadar abu, lemak dan protein edibel film komposit dapat dilihat
pada Tabel 9. Hasil analisa kadar abu edibel film komposit dari karagenan
adalah 15,46% dan karagenan komersial 7,89%. Selama penyimpanan 14 hari,
kadar abu edibel film dari karagenan adalah 23,81% dan karagenan komersial
23,07%.
Tujuan analisa kadar lemak dan kadar protein adalah untuk mengetahui
kemungkinan daya simpan produk, karena lemak dan protein berpengaruh
pada perubahan mutu selama penyimpanan. Edibel film komposit yang dalam
hal ini berfungsi sebagai pengemas, adanya kandungan gizi seperti lemak dan
protein merupakan nilai lebih. Akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah
kemungkinan-kemungkinan kerusakan edibel film tersebut yang diakibatkan
oleh zat-zat gizi yang terkandung didalamnya. Menurut Winarno (1997),
kerusakan lemak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik yang
disebut dengan proses ketengikan. Hal ini disebabkan oleh otooksidasi radikal
asam lemak tidak jenuh dalam lemak yang dimulai dengan pembentukan
radikal-radikal bebas karena faktor-faktor pemercepat reaksi seperti cahaya,
panas, peroksida lemak atau hidroperoksida, logam berat dan logam porfirin.
Protein dapat mengalami kerusakan oleh pengaruh-pengaruh panas, reaksi
kimia dengan asam atau basa, goncangan dan sebab-sebab lainnya.
Hasil analisa menunjukkan bahwa kadar lemak edibel film komposit
dari karagenan ekstraksi sebesar 2,98% dan karagenan komersial 3,8%.
Selama penyimpanan 14 hari, kadar lemak edibel film dari karagenan
ekstraksi adalah 0,88 % dan karagenan komersial 3,29%. Sedangkan kadar
protein edibel film komposit dari karagenan ekstraksi sebesar 1,32% dan
karagenan komersial 1,65%. Selama penyimpanan 14 hari, kadar protein
edibel film dari karagenan ekstraksi adalah 2,97% dan karagenan komersial
2,97%.


49


Total Mikroba
Bahan makanan merupakan substrat yang rata-rata sangat sesuai untuk
pertumbuhan dan kehidupan mikroorganisme, baik yang datang dari
lingkungan sebagai jasad kontaminasi, datang bersama bahan baku, peralatan,
anggota badan pengolah ataupun yang lainnya. Total Mikroba merupakan
salah satu parameter penting untuk mengetahui kualitas mutu produk pangan.
Dari hasil pengamatan, jumlah total mikroba pada edibel film komposit dari
karagenan mengalami kenaikan selama masa simpan sampai hari ke-14
(Gambar 10). Rekapitulasi total mikroba edibel film komposit dapat dilihat
pada Lampiran 8a.
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0 2 7 14
Lama Penyimpanan (hari)
T
o
t
a
l

M
i
k
r
o
b
a

(
l
o
g
)
Edibel film krg. ekst.
Edibel film krg. kms.
Gambar 10 Perubahan jumlah total mikroba edibel film
komposit selama penyimpanan.

Kapang
Kapang merupakan salah satu parameter penting untuk mengetahui
kualitas mutu produk pangan. Menurut Syarief dan Halid (1993)
aw minimal untuk pertumbuhan kapang adalah 0,65. Dari hasil
pengamatan, sampai dengan hari ke-14 tidak ditemukan adanya
pertumbuhan kapang pada edibel film komposit. Hal ini disebabkan
karena aw edibel film komposit 0,487 s/d 0,584 merupakan kisaran aw yang
aman dari pertumbuhan kapang.

\


50


Uji organoleptik
Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis
terhadap edibel film komposit yang digunakan sebagai pengemas bumbu mie
instant rebus. Penilaian dilakukan secara subyektif dengan menggunakan 15
panelis agak terlatih. Penggunaan panelis agak terlatih dimaksudkan agar
tidak terlalu banyak terjadi penyimpangan data dan hasilnya dapat diterima
(Soekarto, 1985).
Hasil uji organoleptik edibel film komposit dapat dilihat pada
Lampiran 8b. Hasil pengamatan terhadap penerimaan panelis melalui uji
organoleptik dapat dilihat pada Gambar 11 s/d 14, dimana terlihat bahwa
semakin lama penyimpanan nilai skor kesukaan panelis semakin turun. Berarti
semakin lama penyimpanan panelis kurang menyukai bumbu mie instant
rebus yang dikemas edibel film komposit dari karagenan seperti misalnya
terjadi perubahan warna yang kurang menarik dan bumbu terlihat
menggumpal.
Penampakan
0
1
2
3
4
5
6
0 2 7 14
Lama Penyimpanan (hari)
S
k
o
r

U
j
i

K
e
s
u
k
a
a
n
Edibel film krg. ekst.
Edibel film krg. kms.

Gambar 11 Grafik penerimaan panelis terhadap penampakan edibel film
komposit yang digunakan sebagai pengemas bumbu mie
instant rebus.

Dari hasil uji organoleptik terhadap parameter penampakan edibel film
komposit dari karagenan yang digunakan sebagai pengemas bumbu mie


51


instant diketahui bahwa penilaian panelis berkisar antara 4,27 s/d 5,53 (agak
suka mengarah ke-suka s/d suka mengarah ke- sangat suka) untuk edibel film
komposit dari karagenan ekstraksi dan 4,1 s/d 5,6 (agak suka mengarah ke-
suka s/d suka mengarah ke-sangat suka) untuk edibel film komposit dari
karagenan komersial.

Warna
0
1
2
3
4
5
6
0 2 7 14
Lama Penyimpanan (hari)
S
k
o
r

U
j
i

K
e
s
u
k
a
a
n
Edibel film krg. ekst.
Edibel film krg. kms.
Gambar 12 Grafik penerimaan panelis terhadap warna edibel film
komposit yang digunakan sebagai pengemas bumbu mie
instant rebus.

Dari hasil uji organoleptik terhadap parameter warna edibel film
komposit dari karagenan yang digunakan sebagai pengemas bumbu mie
instant diketahui bahwa penilaian panelis berkisar antara 4,27 s/d 5,67 (agak
suka mengarah ke-suka s/d suka mengarah ke-sangat suka) untuk edibel film
komposit dari karagenan ekstraksi dan 4,43 s/d 5,7 (agak suka mengarah ke-
suka s/d suka mengarah ke-sangat suka) untuk edibel film komposit dari
karagenan komersial.



52


Kelarutan
4,4
4,6
4,8
5
5,2
5,4
5,6
5,8
0 2 7 14
Lama Penyimpanan (hari)
S
k
o
r

U
j
i

K
e
s
u
k
a
a
n
Edibel film krg. ekst.
Edibel film krg. kms.

Gambar 13 Grafik penerimaan panelis terhadap kelarutan edibel film
komposit dari karagenan dalam mie instant rebus.

Dari hasil uji organoleptik terhadap parameter kelarutan edibel film
komposit dari karagenan dalam mie instant rebus diketahui bahwa penilaian
panelis berkisar antara 5,07 s/d 5,57 (suka mengarah ke-sangat suka) untuk
edibel film komposit dari karagenan ekstraksi dan 4,9 s/d 5,73 (agak suka
mengarah ke-suka s/d suka mengarah ke-sangat suka) untuk edibel film
komposit dari karagenan komersial.
Bau
4,4
4,6
4,8
5
5,2
5,4
5,6
5,8
0 2 7 14
Lama Penyimpanan (hari)
S
k
o
r

U
j
i

K
e
s
u
k
a
a
n
Edibel film krg.ekst.
Edibel film krg. kms.

Gambar 14 Grafik penerimaan panelis terhadap bau edibel film komposit
dari karagenan dalam mie instant rebus.



53


Dari hasil uji organoleptik terhadap parameter bau mie instant rebus
dengan penambahan edibel film komposit dari karagenan yang digunakan
sebagai pengemas bumbu mie instant diketahui bahwa penilaian panelis
berkisar antara 4,93 s/d 5,4 (agak suka mengarah ke-suka s/d suka mengarah
ke-sangat suka) untuk edibel film komposit dari karagenan ekstraksi dan 5,27
s/d 5,6 ( suka mengarah ke-sangat suka ) untuk edibel film komposit dari
karagenan komersial.


54


KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan dapat diambil beberapa
kesimpulan yaitu sebagai berikut :
1 Secara umum karagenan hasil ekstraksi lebih baik dari pada karagenan
komersial diduga karena karagenan komersial sudah mengalami
penyimpanan yang lebih lama serta adanya penambahan bahan-bahan
tertentu pada karagenan komersial.
2 Tahapan teknik formulasi pembuatan edibel film komposit dari karagenan
adalah sebagai berikut : pembuatan larutan pembentuk film, pencampuran
larutan film dengan gliserol dan beeswax, pemanasan dan pengadukan,
penyaringan, penghilangan gas terlarut, pencetakan, pengeringan,
pendinginan, pelepasan film, penyimpanan.
3 Penambahan konsentrasi karagenan dapat meningkatkan ketebalan, kuat
tarik, persen pemanjangan dan menurunkan laju transmisi uap air edibel
film komposit. Ketebalan film yang dipersyaratkan maksimal adalah 0,25
mm.
4 Edibel film komposit dari karagenan mempunyai ketebalan 0,05 s/d 0,079
mm, persen pemanjangan 0,9 s/d 4,8% ; kekuatan tarik 352,37 s/d 990,48
kgf/cm
2
; laju transmisi uap air 752,6 s/d 1117,4 g/m
2
/hari.
5 Kombinasi perlakuan karagenan 2%, tapioka 0,7%, beeswax 0,3%
menghasilkan edibel film yang mempunyai nilai laju transmisi uap air
terendah (752,6 g/m
2
/hari) yang diaplikasikan sebagai pengemas bumbu
mie instant rebus.
6 Edibel film yang dihasilkan memiliki kelebihan dalam hal kekuatan tarik
dan transparansi yang merupakan kriteria plastik dari beberapa kriteria lain
yang dikehendaki produsen untuk dapat digunakan sebagai pengemas.
7 Edibel film komposit dari karagenan ekstraksi mapun karagenan komersial
yang digunakan sebagai pengemas bumbu mie instant rebus mempunyai
kadar air, Aw, kadar abu, lemak, protein, total kapang, total mikroba dan
nilai uji organoleptik yang hampir sama.


55


8 Semakin lama penyimpanan nilai skor kesukaan panelis terhadap
penampakan, warna, bau dan kelarutan edibel film komposit dari karagenan
(hasil ekstraksi maupun komersial) semakin menurun, namun sampai
dengan hari ke-14 panelis masih menerima edibel film komposit yang
digunakan sebagai pengemas bumbu mie instant rebus.
9 Edibel Film komposit dari karagenan (hasil ekstraksi maupun komersial)
dalam penelitian ini belum mampu memberikan perlindungan yang optimal
terhadap bumbu mie instant rebus.

Saran
Perlu dikembangkan penelitian lanjut tentang :
1 Perbaikan edibel film komposit dari karagenan dengan pencampuran
bahan (misalnya dengan protein atau CMC) yang dapat meningkatkan
nilai-nilai karakteristiknya. Terutama persen pemanjangan dan laju
transmisi uap air tanpa mengurangi penampakan film secara sensory.
2 Penelitian lanjutan tentang cara penyimpanan dan masa simpan edibel film
komposit serta produk yang dikemasnya.


56



DAFTAR PUSTAKA

Alberto, J. Debeaufort, F. Callegarin, F. Voilley, A. 2000. Lipid
Hydrophobicity, Physical State and Distribution Effects on The
Properties of Emulsion-Based Edible Films. Journal of membrane
Science 180 (2000) 37 46.

Anggadiredja, J. 1993. Ekstraksi Sodium Alginat dengan Metode CaCl2 dari
Sargassum sp dan Turbinaria sp. Laporan Penelitian.

Anonim, 1977. Carragenan. Marine Colloids Division, FMC. Corporation.
USA. 1- 35 p.

Anonim, 2000. Genus Carrageenan. Http://www.philexport.org 28 Februari
2003

AOAC, 1994. Official Methods of Analysis of The Association of Official
Analytical Chemists. AOAC Inc., Benjamin Franklin Station.
Washington. DC

AOAC, 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Official
Analytical Chemists. AOAC Inc., Washington.

Apriyantono, A., Fardiaz, D., Puspitasari, N.L., Sedarnawati, dan S.
Budiyanto. 1989. Analisis Pangan. Institut Pertanian Bogor, IPB Press.
Bogor.

Arifin, M. 1994. Penggunaan Kappa Karagenan sebagai Penstabil (Stabilizer)
pada Pembuatan Fish Meat Loaf dari Ikan Tongkol (Euthynnus sp).
Skripsi. Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

A/S Kobenhavvsn Pektifabrik, 1978. Carrageenan. Lilleskensved. Denmark

ASTM. 1983. Annual Book of ASTM Standards. American Society for
Testing and Material. Philadelpia.

Atmadja, W.S., A. Kadi, Sulistijo dan Rachmaniar. 1996. Pengenalan Jenis-
jenis Rumput Laut Indonesia. Puslitbang Oseanologi LIPI. Jakarta.

Badan Agribisnis, 1996. Peta Pasar Ekspor Tuna, Udang, Rumput Laut
Indonesia. Dok : 026/APE/AB300/XI/96. Pusat Pengembangan dan
Informasi Pasar . Badan Agribisnis. Departemen Pertanian. Jakarta.

Banks, W. dan C.T. Greenwood. 1975. Starch Its Component. Halsted Press,
John Willey and Sons., New York.



57


Brandenburg, A.H., Waller, C.L. dan R.F. Testin. 1993. Edible Film dan
Coatings from soy protein. J. of Food Sci. 58 (5) : 1086 1088.

Budiantoro, Y. 1997. Aplikasi Edibel Film dari Tapioka sebagai Bahan
Pengemas dengan Menentukan Umur Simpan Bumbu Mie Instant
Menggunakan Metode Akselerasi. Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian. IPB.

Cottrell, I.W. dan Kovack, P. 1980. Alginates dalam Davidson, R.L. (Ed.).
hand Book of Water Soluble Gums and esin. Mc-Graw-Hill Book Co.,
New York.

Dea, I.C.M. 1982. Polysacharide Comformation in Solutions and Gels dalam
food Corbohydrates. The AVI Publishing co., Inc. Westport,
Connecticut.

Debeaufort, F., Martin Polo, M. dan A. Volley. 1993. Polarity Homogenity
and Structure Affect Water Vapour Permeability of Model Edible Film.
J. Food Sci. 58 : 426 434.

Direktorat Jenderal Industri dan Pedagang Kecil Menengah. 2002. Panduan
Penerapan Bahan Tambahan Pangan. Proyek Pemberdayaan Industri
Kecil dan Menengah, Direktorat Jenderal Industri dan Pedagang Kecil
Menengah. Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Jakarta

Donhowe , G. dan O. Fennema, 1994. Edible Film and Coating :
Characteristic, Formation, Definitions and Testing Methods. Di dalam
Krochta et al., (Ed). Edible Coating and Film to improve Food Quality.
Technomic Publ. Co. Inc. Lancaster.

Doty, M.S., 1985. Eucheuma alvarezii sp (Gigartinales, Rhodophyta) from
Malaysia. In : I.A. Abbot and J.N. Noris. Eds. Taxonomy of Economic
Seaweeds. California Sea Grant College Program : 37 45.

Doty, M.S., 1987. The Production and Uses of Eucheuma In : Studies of
Seven Commercial Seaweeds Resources. Ed. By : MS. Doty, J.F.
Caddy and B. Santelices. FAO Fish. Tech. Paper No. 281 Rome. Pp 123
- 161

Elvers,B. dan Hawkins, S. 1996. Ulmanns Encyclopedia of Industrial
Chemistry Vol A 28. VCH Verlagsggesellshaft. Weinheim.

Fama, L. Rojas, AM. Goyanes, S. Gerschenson, L. 2005. Mechanical
Properties of Tapioca-Starch Edible Films Containing Sorbates. LWT
38 (2005) 631-639.

Fardiaz, D. 1989. Hidrokoloid. Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan,
Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor.


58



Food Chemical Codex. 1981. Carrageenan. National Academy Press
Washington. P.574.

Gaman, P.M. dan Sherrington, K.B. 1994. Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan
Mikrobiologi. Edisi Kedua. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Glicksman, M. 1982. Food Hydrocoloid. Vol. I. Crc Press. Boca Raton.
Florida

Glicksman, M. 1983. Gum Technology in the Food Industry. Academic Press.
New York.

Gennadios, A. dan L.W. Curtis. 1990. Edible Film and Coating for Wheat and
Corn Proteins. J. of Food Tech. 44 (10) : 63.

Gontard, N., Guilbert, S., Cuq, J. 1993. Water and Glycerol as Plasticizers
affect mechanical and water vapor barrier properties of an edible wheat
gluten film. J. Food Sci. 58, 206 211.

Gontard, N., Duchez, C. Cuq, J., dan S. Guilbert. 1996. Edible Composite
Films of Wheat Gluten and Lipids, Water Vapour Permeability and
Other Physical roperties. International Journal of Food Science and
Technology 30:39-50

Harris, H. 1999. Kajian Teknik Formulasi terhadap Karakteristik Edible Film
dari Pati Ubi Kayu, Aren dan Sagu untuk Pengemas Produk Pangan
Semibasah. Desertasi, Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.

Istini, S., dan A. Zatnika. 1991. Optimasi Semirefine Carrageenan dari
Rumput Laut Eucheuma cottonii. Prosiding Temu Karya Ilmiah
Teknologi Pasca Panen Rumput Laut. Jakarta.

Jenkins, WA. 1991. Packaging Foods with Plastics. Technomic Publishing
Co., Inc. Lancaster Basel.

Kamper S.L. dan fennema, O. 1984. Water Vapor Permeability of Edible
Bilayer Films. J. Food Science. 49 : 1478 1481.

Karbowiak T, Debeaufort F, Champion D dan Voilley A. 2006. Weetingn
Properties at The Surface of Iota-carrageenan-based edible films.
Journal of Colloid and Interface Science 294 (2006) 400 410

Kittur, F.S., K.R. Kumar dan R.N. Tharanathan. 1998. Functional Packaging
Properties of Chitosan Films. Z. Lebesm Unters A. 206 : 44-47.





59


Krochta, J.M. 1992. Control of Mass Transfer in Food with Edible Coating
and Film dalam Singh, R.P dan M.A. Wirakartakusumah (Eds,).
Advances in Food Engineering. CRC Press: Boca Raton, F.L : 517
538.

Krochta, J.M, Baldwin, E.A. dan M.O. Nisperos-Carriedo. 1994. Edible
Coating and Film to Improve Food Quality. Technomic, Publi. Co. Inc.
USA.

Krochta, J.M. and C. De Mulder-Johnston. 1997. Edible and Biodegradable
polymer Films : Challenges and Opportunities. J. Food Technol. 5 (12) :
61 74.

Lindsay, R.C. 1985. Food Additives. Di dalam Fennema, O.R. (Ed). Food
Chemistry. Marcel Dekker Inc. New York.

Marine Colloids FMC Corp. 1977. Carrageenan. Marine Colloid Monograph
Number One. Marine olloid Division FMC Coorporation. Springfield,
New Jersey. USA.

Nisperos-Carriedo, Mo. 1994. Edible Coating and Film Based On
Polysasaccahrides dalam Krochta, J.M. (Ed.). Edible Coating and Film
to Improve Food Quality. Technomic Publ. Co. Inc. Lancaster-Bosel.

Nurochmawati. 2004. Studi Pembuatan Edible Film dan Karagenan serta Uji
Aplikasi. Skripsi. Fakultas Perikanan. IPB. Bogor.

Park, H.J. dan M.S. Chinan. 1995. Gas and Water Vapor Barrier Properties of
Edible Films from Protein and Cellulose Materials. J. of Food Eng. 25 :
497.

Park, J.W., R.F. Testin, D.J. Vergano, H.J. Park, dan C.L. Weller. 1996.
Application of laminated edible film to potato chip packaging. J. of
Food. Sci. 61 (4) : 766.

Parris, N. Coffin, D. R. Joubran, R.F. dan Pessen H. 1995. Composition
Factors Affecting The Water Vapour Permeability and Tensile
Properties of Hydrophilic Films, J. Agri. Food. Chem. 43. 1432 1435.

Permanasari, E D. 1998. Aplikasi Edible Coating dalam Upaya
Mempertahankan Mutu dan Masa simpan Paprika. Program asca
Sarjana. IPB. Bogor.

Poeloengasih, C.D. dan Marseno, D.G. 2003. Karakterisai Edibel Film
Komposit Protein Biji Kecipir dan tapioca. J. teknologi dan Industri
Pangan. 14 (3) : 8.



60


Radley, J.A. 1976. Starch and Production Technology, Applied Science Publ.
Ltd., London.

Reen, D.W. 1986. Seas of Marine Algae in Biotechnology and Industry.
Workshop on Marine Algae Biotechnology. Summary Report. National
Academic Press, Washington D.C.

Satari, R. 1996. Pengenalan jenis-jenis Rumput Laut Indonesia. Puslitbang
Oceanologi, LIPI. Jakarta.

Soekarto. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil
Pertanian. Bhratara Karya Aksara. Jakarta.

Suryaningrum, T.D. 1988. Kajian Sifat-sifat Mutu Komoditi Rumput Laut
Budidaya Jenis Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum. Tesis.
Fakultas Pasca Sarjana, IPB. Bogor.

Suryaningrum, Th. D., Murdina., dan Erlina, M.D. 2003. Pengaruh Perlakuan
Alkali dan Volume Larutan Pengekstrak terhadap Mutu aragenan dari
Rumput Laut Eucheuma cottonii. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia.
Edisi Pasca Panen. Badan Riset Perikanan dan Kelautan Departemen
Kelautan dan Perikanan 9(5) : 65 - 76

Suryaningrum, Th. D., J. Basmal, dan Nurrochmawati 2005. Studi pembuatan
Edibel Film dari Karagenan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia.
Edisi Pasca Panen. Badan Riset Perikanan dan Kelautan Departemen
Kelautan dan Perikanan 2(4) : 1 - 13

Syarief, R. dan Y. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Penerbit
Arcan. Jakarta.

Towle, A. G. 1973. Carrageenan. dalam Industrial Gums. Editor Whistler, R.
L. Academic Press. New York.

Utami, B. 1998. Peningkatan Mutu Bahan kemasan Mampu Urai Hayati dari
Tepung Tapioka. Laporan Penelitian. Balai Besar Industri Kimia.
Jakarta.

Winarno, F. G. 1990. Pengantar Teknologi Pangan. PT. Gramedia. Jakarta

Winarno, F. G. 1996. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar
Harapan. Jakarta.

Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Umum.
Jakarta.


61


Lampiran 1a Rekapitulasi data persen pemanjangan edibel film komposit
(%)

Kons.
Beeswax
Kons.
Tapioka
Karagenan 1,5 % Karagenan 2% Karagenan 2,5 %
U1 U2 Rt U1 U2 Rt U1 U2 Rt
0,3 0,3 1,1 1,7 1,4 3,4 3,5 3,45 3,2 4,8 4
0,5 2,03 1,8 1,9 4 2,55 3,28 2,2 3,2 2,7
0,7 2,5 1,7 2,1 3,7 3,7 3,7 3,5 2,03 2,75
0,5 0,3 0,83 1 0,9 2,3 3,8 3,05 3,8 5,8 4,8
0,5 2 2,3 2,15 3,2 3,7 3,45 4,6 3,9 4,25
0,7 2,4 1,6 2 3,16 3,2 3,19 2,7 3,4 3,05

Lampiran 1b Analisa ragam pengaruh konsentrasi karagenan, tapioka dan
beeswax terhadap persen perpanjangan edibel film komposit

Source Type III
Sum of
Squares
df Mean
Square
F Sig.
Corrected Model 35,09 17 2,06 3,85 ,00
Intercept 303,22 1 303,22 565,52 ,00
RG 24,43 2 12,21 22,78 ,00
TPK ,20 2 ,10 ,19 ,82
BW ,44 1 ,44 ,82 ,37
RG * TPK 6,45 4 1,61 3,01 ,04
RG * BW 1,98 2 ,99 1,85 ,18
TPK * BW 1,25 2 ,62 1,16 ,33
RG * TPK * BW ,31 4 7,958E-02 ,14 ,96
Error 9,65 18 ,53
Total 347,96 36
Corrected Total 44,74 35
a R Squared = ,784 (Adjusted R Squared = ,581)
RG : karagenan; Tpk : tapioka; Bw : Beeswax

Lampiran 1c Hasil uji duncan pengaruh peningkatan konsentrasi karagenan
terhadap persen perpanjangan edibel film komposit

N Subset
Karagenan 1 2
1,50 12 1,74
2,00 12 3,37
2,50 12 3,59
Sig. 1,00 ,49


62


Lampiran 2a Rekapitulasi data kekuatan tarik edibel film komposit (kgf/cm
2
)

Kons.
Bw
Kons
Tpk

Karagenan 1,5 % Karagenan 2% Karagenan 2,5 %
U1 U2 Rt U1 U2 Rt U1 U2 Rt
0,3 0,3 463,77 603,77 533,77 935,67 935,67 935,67 795,77 1185,19 990,48
0,5 664,15 477,6 570,87 1122,8 592,59 857,69 789,33 945,91 867,62
0,7 748,5 507,94 628,22 942,22 991,81 967,02 843,78 457,14 650,46
0,5 0,3 302,22 402,52 352,37 955,22 692,39 823,81 698,85 1264,76 981,81
0,5 477,62 589,05 533,34 888,89 698,85 793,87 698,85 861,04 779,95
0,7 558,73 480 519,37 879,53 796,02 837,78 595,67 897,35 746,51

Lampiran 2b Analisa ragam pengaruh konsentrasi karagenan, tapioka dan
beeswax terhadap kekuatan tarik edibel film komposit


Source Type III Sum
of Squares
df Mean Square F Sig.
Corrected Model 1190881,185 17 70051,83 1,94 ,086
Intercept 19863541,635 1 19863541,63 550,10 ,000
RG 876373,947 2 438186,97 12,13 ,000
TPK 13452,044 2 6726,02 ,18 ,832
BW 44523,813 1 44523,81 1,23 ,281
RG * TPK 204612,814 4 51153,20 1,41 ,269
RG * BW 22288,869 2 11144,43 ,30 ,738
TPK * BW 4503,198 2 2251,59 ,06 ,940
RG * TPK * BW 25126,500 4 6281,62 ,17 ,949
Error 649960,429 18 36108,91
Total 21704383,250 36
Corrected Total 1840841,615 35
a R Squared = ,647 (Adjusted R Squared = ,313)

Lampiran 2c Hasil uji duncan pengaruh peningkatan konsentrasi
karagenan terhadap kekuatan tarik edibel film komposit

N Subset
karagenan 1 2
1,50 12 522,98
2,50 12 836,13
2,00 12 869,30
Sig. 1,00 ,67



63


Lampiran 3a Rekapitulasi data laju transmisi uap ir (WVTR) edibel film
komposit (g/m
2
/hari)

Kons.
Bw
Kons
Tpk
Karagenan 1,5 % Karagenan 2% Karagenan 2,5 %
U1 U2 Rt U1 U2 Rt U1 U2 Rt
0,3 0,3 1176.5 1020,9 1098,7 997,9 928,1 963,02 1084,1 1024,9 1054,5
0,5 1124,0 1087,4 1105,7 1155,6 1079,2 1117,4 1016,1 964,8 990,5
0,7 1034,9 860,7 947,8 759,0 746,2 752,6 848,1 900,7 874,4
0,5 0,3 945,18 1055,7 1000,4 857,1 889,8 873,4 1094,4 1021,2 1057,8
0,5 1083,5 1028,8 1056,2 795,6 911 853,3 1034,7 973,2 1003,9
0,7 1108,3 1100,5 1104,4 1116,0 1028,3 1072,2 754,7 881,3 818,0

Lampiran 3b Analisa ragam pengaruh konsentrasi karagenan, tapioka dan
beeswax terhadap laju transmisi uap air edibel film komposit

Source Type III Sum of
Squares
df Mean Square F Sig.
Corrected Model 416930,90 17 24525,34 6,38 ,000
Intercept 34986534,92 1 34986534,92 9114,90 ,000
RG 84046,97 2 42023,48 10,94 ,001
TPK 60678,40 2 30339,20 7,90 ,003
BW 468,07 1 468,07 ,12 ,731
RG * TPK 52318,59 4 13079,65 3,40 ,031
RG * BW 468,11 2 234,05 ,06 ,941
TPK * BW 99653,12 2 49826,56 12,98 ,000
RG * TPK * BW 119297,61 4 29824,40 7,77 ,001
Error 69090,97 18 3838,38
Total 35472556,79 36
Corrected Total 486021,87 35
a R Squared = ,858 (Adjusted R Squared = ,724)

Lampiran 3c Hasil uji duncan pengaruh peningkatan konsentrasi
karagenan terhadap laju transmisi uap air edibel film
komposit

N Subset
karagenan 1 2
2,00 12 938,68
2,50 12 966,55
1,50 12 1052,23
Sig. ,285 1,00




64


Lampiran 4a Hasil uji duncan pengaruh peningkatan konsentrasi tapioka
terhadap laju transmisi uap air edibel film komposit

N Subset
Tapioka 1 2
,70 12 928,26
,30 12 1008,01
,50 12 1021,20
Sig. 1,00 ,61

Lampiran 4b Hasil uji duncan pengaruh interaksi tapioka dan beeswax
terhadap laju transmisi uap air edibel film komposit

N Subset
Interaksi tapioka
beeswax
1 2
t3b1 2 858,3
t2b2 2 971,18
t1b2
t3b2
t1b1
t2b1

2
2
2
2
977,25
998,23
1038,77

998,23
1038,77
1071,22
Sig. 1,000 ,115 0,090
t1 : tapioka 0,3% ; t2 : tapioka 0,5% ; t3 : tapioka 0,7 %
b1 : beeswax 0,3% ; b2 : beeswax 0,5%


65


Lampiran 5a Hasil uji duncan pengaruh interaksi karagenan, tapioka dan
beeswax terhadap laju transmisi uap air edibel film komposit

N Subset
interaksi
krgn
tapioka
beeswax
1 2 3 4 5 6 7
k2t3b1 2 752,64
k3t3b2 2 818,04 818,04
k2t2b2 2 853,35 853,35 853,35
k2t1b2 2 873,49 873,49 873,49 873,49
k3t3b1 2 874,44 874,44 874,44 874,44
k1t3b1 2 947,82 947,82 947,82 947,82
k2t1b1 2 963,02 963,02 963,02 963,02 963,02
k3t2b1 2 990,51 990,51 990,51 990,51 990,51
k1t1b2 2 1000,44 1000,44 1000,44 1000,44
k3t2b2 2 1003,98 1003,98 1003,98 1003,98
k3t1b1 2 1054,53 1054,53 1054,53
k1t2b2 2 1056,21 1056,21 1056,21
k3t1b2 2 1057,80 1057,80 1057,80
k2t3b2 2 1072,20 1072,20 1072,20
k1t1b1 2 1098,75 1098,75
k1t3b2 2 1104,45 1104,45
k1t2b1 2 1105,74 1105,74
k2t2b1 2 1117,41
Sig. ,092 ,051 ,063 ,079 ,097 ,062 ,093
k1 : karagenan 1,5% ; k2 : karagenan 2% ; k3 : karagenan 2,5 %
t1 : tapioka 0,3% ; t2 : tapioka 0,5% ; t3 : tapioka 0,7 %
b1 : beeswax 0,3% ; b2 : beeswax 0,5%


Lampiran 5b Rekapitulasi data ketebalan edibel film komposit (mm)

Kons
Bw
Kons
Tpk
Karagenan 1,5 % Karagenan 2% Karagenan 2,5 %
U1 U2 Rt U1 U2 Rt U1 U2 Rt
0,3 0,046 0,053 0,05 0,057 0,057 0,057 0,063 0,063 0,063
0,3 0,5 0,053 0,067 0,06 0,057 0,063 0,06 0,05 0,053 0,052
0,7 0,057 0,063 0,06 0,06 0,057 0,059 0,067 0.077 0,072
0,3 0,06 0,053 0,057 0,067 0,057 0,062 0,087 0,07 0,079
0,5 0,5 0,067 0,067 0,067 0,06 0,087 0,074 0,083 0,087 0,057
0,7 0,063 0,06 0,062 0,057 0,067 0,062 0,077 0,063 0,07



66


Lampiran 6a Analisa ragam pengaruh konsentrasi karagenan, tapioka dan
beeswax terhadap ketebalan edibel film komposit

Source Type III Sum
of Squares
df Mean
Square
F Sig.
Corrected Model 2,829E-03 17 1,664E-04 3,116 ,011
Intercept ,146 1 ,146 2738,963 ,000
RG 7,602E-04 2 3,801E-04 7,115 ,005
TPK 1,562E-04 2 7,808E-05 1,462 ,258
BW 7,934E-04 1 7,934E-04 14,852 ,001
RG * TPK 2,267E-04 4 5,667E-05 1,061 ,404
RG * BW 1,844E-04 2 9,219E-05 1,726 ,206
TPK * BW 4,337E-04 2 2,169E-04 4,060 ,035
RG * TPK * BW 2,748E-04 4 6,869E-05 1,286 ,312
Error 9,615E-04 18 5,342E-05
Total ,150 36
Corrected Total 3,791E-03 35
a R Squared = ,746 (Adjusted R Squared = ,507)

Lampiran 6b Hasil uji duncan pengaruh peningkatan konsentrasi
karagenan terhadap ketebalan edibel film komposit

N Subset
karagenan 1 2
1,50 12 5,9083E-02
2,00 12 6,2167E-02
2,50 12 7,0000E-02
Sig. ,315 1,000

Lampiran 6c Hasil uji homogenitas pengaruh peningkatan konsentrasi
beeswax terhadap ketebalan edibel film komposit

Sum of
Squares
df Mean
Square
F Sig.
Between Groups 7,934E-04 1 7,934E-04 8,999 ,005
Within Groups 2,997E-03 34 8,816E-05
Total 3,791E-03 35



67


Lampiran 7a Rekapitulasi data kadar air edibel film komposit dari
karagenan hasil ekstraksi dibandingkan dengan karagenan
komersial yang digunakan sebagai pengemas bumbu mie
instant rebus

Penyimpanan
(hari)
Edibel Film Komposit Bumbu
Karagenan
Ekstraksi
Karagenan
Komersial
EF. Krg.
Ekstraksi
EF. Krg.
Komersial
0 21,23 25,07 4,10 4,10
2 19,695 18,575 6,30 5,70
7 17,63 20,045 7,32 5,69
14 18,40 21,18 5,91 7,695

Lampiran 7b Rekapitulasi Aw edibel film komposit dari karagenan hasil
ekstraksi dibandingkan dengan karagenan komersial yang
digunakan sebagai pengemas bumbu mie instant rebus

Penyimpanan
(hari)
Edibel Film Komposit Bumbu
Karagenan
Ekstraksi
Karagenan
Komersial
EF. Krg.
Ekstraksi
EF. Krg.
Komersial
0 0.584 0.576 0.278 0.278
2 0.487 0.487 0.494 0.460
7 0.509 0.505 0.487 0.491
14 0.512 0.501 0.486 0.477



68



Lampiran 8a Rekapitulasi total mikroba edibel film komposit dari karagenan
hasil ekstraksi dibandingkan dengan karagenan komersial
yang digunakan sebagai pengemas bumbu mie instant rebus

Penyimpanan
(hari)
Edibel Film
Karagenan
Ekstraksi
Karagenan
Komersial
0 2,5 x 10
4
4,5 x 10
4

2 1 x 10
5
7,5 x 10
4

7 2,3 x 10
6
0,15 x 10
6

14 6,5 x 10
6
0,7 x 10
6


Lampiran 8b Hasil uji organoleptik edibel film komposit dari karagenan
hasil ekstraksi dibandingkan dengan karagenan komersial yang
digunakan sebagai pengemas bumbu mie instant rebus


EFKE : Edibel Film Karagenan Ekstraksi ; EFKK : Edibel Film Karagenan
Komersial
Penyimpanan
(hari)
0 2 7 14
Parameter
EFKE EFKK EFKE EFKK EFKE EFKK EFKE EFKK
Kenampakan 5,53 5,60 4,70 4,93 4,60 4,40 4,27 4,10
Warna 5,67 5,70 5,13 5,53 4,80 4,53 4,27 4,43
Kelarutan 5,57 5,73 5,37 5,06 5,13 5,00 5,07 4,90
Bau 5,40 5,60 5,03 5,60 5,00 5,27 4,93 5,27


69


Lampiran 9a Edibel film komposit dari karagenan hasil ekstraksi dalam
penelitian dibandingkan dengan edibel film komposit dari
karagenan komersial.



Edibel Film Krgn Ekstraksi Edibel Film Krgn Komersial



Lampiran 9b Edibel film komposit dari karagenan hasil ekstraksi dalam
penelitian dibandingkan dengan edibel film komposit dari
karagenan komersial yang digunakan sebagai pengemas
bumbu mie instant rebus.

Anda mungkin juga menyukai