Anda di halaman 1dari 2

Bells palsy adalah kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non-supuratif, non-

neoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada bagian
nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang
mulanya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.
1,2


2.2 EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia, insiden Bells palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang
dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bells palsy
sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 30 tahun.
(Bells Palsy) sekitar 20-30 kasus per 100.000 penduduk pertahun, sekitar 60-75% dari
semua kasus merupakan paralysis nervus fasialis unilateral Lebih sering terjadi pada
wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin,
tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau
angin berlebihan.
1


2.3 ETIOLOGI
Banyak kontroversi mengenai etiologi dari Bells palsy, tetapi ada 4 teori yang
dihubungkan dengan etiologi Bells palsy yaitu :
1,3

Teori Iskemik vaskuler
Nervus fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena gangguan regulasi
sirkulasi darah di kanalis fasialis.
Teori infeksi virus
Virus yang dianggap paling banyak bertanggungjawab adalah Herpes Simplex Virus
(HSV), yang terjadi karena proses reaktivasi dari HSV (khususnya tipe 1).
Teori herediter
Bells palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada keturunan atau
keluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis fasialis.


Teori imunologi
Dikatakan bahwa Bells palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus yang
timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi.

2.4 PATOFISIOLOGI
Apapun sebagai etiologi Bells palsy, proses akhir yang dianggap bertanggungjawab
atas gejala klinik Bells palsy adalah proses edema yang selanjutnya menyebabkan kompresi
nervus fasialis. Gangguan atau kerusakan pertama adalah endotelium dari kapiler menjadi
edema dan permeabilitas kapiler meningkat, sehingga dapat terjadi kebocoran kapiler
kemudian terjadi edema pada jaringan sekitarnya dan akan terjadi gangguan aliran darah
sehingga terjadi hipoksia dan asidosis yang mengakibatkan kematian sel. Kerusakan sel ini
mengakibatkan hadirnya enzim proteolitik, terbentuknya peptida-peptida toksik dan
pengaktifan kinin dan kallikrein sebagai hancurnya nukleus dan lisosom. Jika dibiarkan dapat
terjadi kerusakan jaringan yang permanen.

Anda mungkin juga menyukai