Anda di halaman 1dari 16

MATERNAL VOLUME 7 EDISI OKTOBER 2012 112

HUBUNGAN PARTUS LAMA DENGAN KEJADIAN ASFIKSIA


NEONATORUM PADA PRIMIGRAVIDA DAN
MULTIGRAVIDA DI RUMAH SAKIT
UMUM DAERAH SRAGEN

Rita Mardani, N. Kadek Sri Eka Putri
1
Mahasiswa AKBID Mitra Husada Karanganyar
2
Dosen AKBID Mitra Husada Karanganyar
J l Achmad Yani No.167. Papahan, Tasikmadu, Karanganyar
Email : akbid_mitra@yahoo.co.id

ABSTRAK
Asfiksia neonatorum merupakan suatu kondisi dimana bayi tidak dapat
bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Keadaan tersebut dapat
disertai dengan adanya hipoksia, hiperkapnea, sampai asidosis. Partus lama yaitu
persalinan yang berlangsung lebih lama dari 24 jam. Semakin lama persalinan ,
semakin tinggi morbiditas serta mortalitas janin dan semakin sering terjadi
keadaan asfiksia neonatorum akibat partus lama itu sendiri. Tujuan dari penelitian
yaitu mengetahui hubungan partus lama dengan kejadian asfiksia neonatorum
pada primigravida dan multigravida.
Metode penelitian yang digunakan adalah analitik observasional dengan
pendekatan retrospektif. Populasinya adalah semua ibu bersalin dengan partus
lama di Rumah Sakit Umum Daerah Sragen. Pengambilan sampelnya adalah
dengan teknik sampel random atau sampel acak sebanyak 112 sampel. Alat ukur
menggunakan dokumentasi rekam medis ibu bersalin partus lama dengan melihat
catatan apgar score bayi yang dilahirkan, sedangkan analisis data menggunakan
chi-kuadrat.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan kejadian partus lama paling
banyak terjadi pada primigravida yaitu 69 kasus (61,6%). Kejadian asfiksia
neonatorum paling banyak terjadi pada bayi yang dilahirkan oleh ibu primigravida
yaitu 16 kasus (80%). Hasil analisis statistik dengan pengujian chi-kuadrat
didapatkan nilai 163,55, sehingga dapat disimpulkan bahwa x
2
hitung
> x
2
tabel
:
(163,55 >3,84). Berdasarkan hasil analisis koefisien kontingensi di dapatkan nilai
KK =0,77.
Simpulan dari penelitian ini adalah terdapat hubungan yang signifikan
antara partus lama dengan kejadian asfiksia neonatorum pada primigravida dan
multigravida.



Kata Kunci : Hubungan Partus Lama, Asfiksia Neonatorum





MATERNAL VOLUME 7 EDISI OKTOBER 2012 113

PENDAHULUAN

Persalinan dan kelahiran
merupakan kejadian fisiologi yang
normal. Kelahiran seorang bayi juga
merupakan peristiwa sosial yang ibu
dan keluarga menantikannya selama 9
bulan. Ketika persalinan dimulai,
peranan ibu adalah untuk melahirkan
bayinya. Peran petugas kesehatan
adalah memantau persalinan untuk
mendeteksi dini adanya komplikasi, di
samping itu bersama keluarga
memberikan bantuan dan dukungan
pada ibu bersalin (Prawirohardjo,
2002).
Persalinan adalah proses dimana
bayi, plasenta dan selaput ketuban
keluar dari uterus ibu. Persalinan
dianggap normal jika prosesnya terjadi
pada usia kehamilan cukup bulan
(setelah 37 minggu) tanpa disertai
adanya penyulit (APN, 2008).
Persalinan lama (partus lama)
adalah persalinan yang berlangsung
lebih dari 24 jam (Manuaba, 2008).
Komplikasi yang timbul karena
perjalanan partus lama adalah
mengalami kelelahan karena tanpa
makan dan minum serta berpengaruh
pada kondisi janin dalam rahim. J anin
dapat mengalami asfiksia ringan
sampai terjadi kematian dalam rahim.
Air ketuban keruh dan bercampur
mekonium karena asfiksia dalam rahim
(Manuaba, 2008).
Menurut hasil Survei Demografi
dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007,
menunjukkan AKB sebesar 34 per
1000 kelahiran hidup dan AKI sebesar
228 per 100 ribu kelahiran hidup
(Depkes. RI, 2007), sedangkan
menurut Departemen Kesehatan
Provinsi J awa Tengah AKB di J awa
Tengah tahun 2007 sebesar 35 per
1000 kelahiran hidup dan AKI sebesar
124 per 100 ribu kelahiran hidup
(Profil Kesehatan Provinsi J awa
Tengah, 2007).
Penyebab langsung kematian ibu
terkait kehamilan dan persalinan
terutama adalah perdarahan (28%).
Sebab lain, yaitu eklamsi (24%),
infeksi (11%), partus lama (5%), dan
abortus (5%) (Depkes. RI, 2008).
Sedangkan penyebab kematian
neonatal karena BBLR 29%, asfiksia
27%, masalah pemberian minum 10%,
tetanus 10%, gangguan hematologi 6%,
infeksi 5% dan lain-lain 13%
(Rahmawati, 2011).
Untuk angka kematian ibu di
kabupaten Sragen sebanyak 113,56 per
100.000 kelahiran hidup dan angka
kematian bayi 8,68 per 1000 kelahiran
hidup selama tahun 2011 (Data
Sekunder Dinas Kesehatan Kabupaten
Sragen tahun 2011).
Berdasarkan data yang diperoleh
peneliti di Rumah Sakit Umum Daerah
Sragen, terdapat 202 (13,7%) kasus
asfiksia dan 155 (10,5 %) kasus partus
lama selama tahun 2011 (Data
Sekunder Rumah Sakit Umum Daerah
Sragen tahun 2011).
Berdasarkan keterangan tersebut,
peneliti tertarik untuk melaksanakan
penelitian dengan judul Hubungan
Partus Lama dengan Kejadian Asfiksia
Neonatorum pada Primigravida dan
Multigravida di Rumah Sakit Umum
Daerah Sragen.
Tujuan umum dari penelitian
ini adalah mengetahui hubungan partus
lama dengan kejadian asfiksia
neonatorum pada primigravida dan
multigravida. Tujuan khusus adalah
mengetahui kejadian partus lama di
Rumah Sakit Umum Daerah Sragen,
mengetahui kejadian asfiksia
neonatorum di Rumah Sakit Umum
Daerah Sragen.
MATERNAL VOLUME 7 EDISI OKTOBER 2012 114

BAHAN DAN METODE
A. TINJAUAN TEORI
1. Persalinan
a. Pengertian Persalinan
Persalinan adalah proses
membuka dan menipisnya serviks
dan janin turun ke dalam jalan
lahir. Persalinan dan kelahiran
normal adalah proses pengeluaran
janin yang terjadi pada kehamilan
cukup bulan (37-42 minggu), lahir
spontan dengan presentasi belakang
kepala, tanpa komplikasi baik ibu
maupun janin (Hidayat, 2010).
Persalinan normal (spontan)
adalah proses lahirnya bayi pada
letak belakang kepala (LBK)
dengan tenaga ibu sendiri, tanpa
bantuan alat-alat serta tidak
melukai ibu dan bayi yang
umumnya berlangsung kurang dari
24 jam (Asrinah, 2010).
b. Tahapan Persalinan
1) Kala I (satu) Persalinan
Kala satu persalinan dimulai
sejak terjadinya kontraksi uterus
yang teratur dan meningkat
(frekuensi dan kekuatannya),
hingga serviks membuka lengkap
(10 cm). Kala I (satu) persalinan
terdiri atas dua fase, yaitu fase laten
dan fase aktif (Asrinah, 2010).
Fase laten dimulai sejak awal
kontraksi, yang menyebabkan
penipisan, dan pembukaan serviks
secara bertahap. Berlangsung
hingga serviks membuka 3 cm.
Pada umumnya, fase laten
berlangsung hampir atau hingga 8
jam (Asrinah, 2010).
Fase aktif dibagi dalam tiga
fase, fase akselerasi dalam waktu 2
jam pembukaan 3 cm menjadi 4
cm, fase dilatasi maksimal dalam
waktu 2 jam pembukaan serviks
berlangsung sangat cepat dari 4 cm
menjadi 9 cm, fase deselerasi
pembukaan serviks menjadi lambat,
dalam waktu 2 jam pembukaan dari
9 cm menjadi lengkap atau 10 cm
(Asrinah, 2010).
Pada primigravida
berlangsung selama 12 jam dan
pada multigravida, sekitar 8 jam.
Kecepatan pembukaan serviks 1 cm
per jam (nulipara atau
primigravida) atau lebih dari 1 cm
hingga 2 cm (multipara) (Asrinah,
2010).
2) Kala II (dua) Persalinan
Persalinan kala II (dua)
dimulai ketika pembukaan serviks
sudah lengkap (10 cm) dan berakhir
dengan lahirnya bayi (Asrinah,
2010).
Proses ini biasanya
berlangsung 2 jam pada
primigravida dan satu jam pada
multigravida (Hidayat, 2010).
3) Kala III (tiga) Persalinan
Persalinan kala III (tiga)
dimulai segera setelah bayi lahir
dan berakhir dengan lahirnya
plasenta serta selaput ketuban yang
berlangsung tidak lebih dari 30
menit (Asrinah, 2010).
4) Kala IV (empat) Persalinan
Kala IV (empat) persalinan
dimulai setelah lahirnya plasenta
sampai 2 jam post partum (Asrinah,
2010).
2. Partus Lama
a. Pengertian Partus Lama
Partus lama yaitu persalinan
yang berlangsung lebih lama dari
24 jam (Oxorn, 2010).
Persalinan lama, disebut juga
distosia, didefinisikan sebagai
persalinan yang abnormal/sulit
(Prawirohardjo, 2010).
b. Sebab-sebab Utama Partus Lama
1) Disproporsi sefalopelvik (CPD)
MATERNAL VOLUME 7 EDISI OKTOBER 2012 115

CPD terjadi karena bayi terlalu
besar atau pelvis kecil. Bila dalam
persalinan terjadi CPD akan kita
dapatkan persalinan yang macet.
Cara penilaian pelvis yang baik
adalah dengan melakukan partus
percobaan (trial of labor).
Kegunaan pelvimetri klinis terbatas
(Prawirohardjo, 2002).
2) Malpresentasi dan malposisi
Malpresentasi adalah bagian
terendah janin yang berada di
segmen bawah rahim, bukan
belakang kepala
(Prawirohardjo, 2010).
Malposisi adalah penunjuk
(presenting part) tidak berada di
anterior (Prawirohardjo, 2010).
Apabila janin dalam keadaan
malpresentasi atau malposisi, maka
dapat terjadi persalinan yang lama
atau bahkan macet (Prawirohardjo,
2010).
3) Kerja uterus yang tidak efisien,
termasuk serviks yang kaku
His yang tidak normal dalam
kekuatan atau sifatnya
menyebabkan kerintangan pada
jalan lahir yang lazim terdapat pada
setiap persalinan, tidak dapat
diatasi sehingga persalinan
mengalami hambatan atau
kemacetan (Prawirohardjo, 2010).
J enis-jenis kelainan his:
a) Inersia uteri
Di sini his bersifat biasa dalam
arti bahwa fundus berkontraksi
lebih kuat dan lebih dahulu
daripada bagian-bagian lain,
peranan fundus tetap menonjol.
Kelainannya terletak dalam hal
kontraksi uterus lebih aman,
singkat, dan jarang daripada biasa.
Keadaan umum penderita biasanya
baik dan rasa nyeri tidak seberapa.
Selama ketuban masih utuh
umumnya tidak berbahaya, baik
bagi ibu maupun janin, kecuali
persalinan berlangsung terlalu
lama; dalam hal terakhir ini
morbiditas ibu dan mortalitas janin
baik. Keadaan ini dinamakan
inersia uteri primer atau hypotonic
uterine contraction. Kalau timbul
setelah berlangsung his kuat untuk
waktu yang lama, dan hal itu
dinamakan inersia uteri sekunder.
Karena dewasa ini persalinan tidak
dibiarkan berlangsung demikian
lama sehingga dapat menimbulkan
kelelahan uterus, maka inersia uteri
sekunder seperti digambarkan di
bawah jarang ditemukan, kecuali
pada ibu yang tidak diberi
pengawasan yang baik waktu
persalinan. Dalam menghadapi
inersia uteri, harus diadakan
penilaian yang saksama untuk
menentukan sikap yang harus
diambil. J angan dilakukan tindakan
yang tergesa-gesa untuk
mempercepat lahirnya janin. Tidak
dapat diberikan waktu yang pasti
yang dapat dipakai sebagai
pegangan untuk membuat diagnosis
inersia uteri atau terapi aktif
(Prawirohardjo, 2010).
Diagnosis inersia uteri paling
sulit ditegakkan pada masa laten.
Kontraksi uterus yang disertai
dengan rasa nyeri, tidak cukup
untuk menjadi dasar utama
diagnosis bahwa persalinan sudah
dimulai. Untuk sampai pada
kesimpulan ini diperlukan
kenyataan bahwa sebagai akibat
kontraksi itu terjadi perubahan pada
serviks yakni pendataran dan/atau
pembukaan. Kesalahan yang sering
dibuat ialah mengobati seorang
penderita untuk inersia uteri
padahal persalinan belum mulai
MATERNAL VOLUME 7 EDISI OKTOBER 2012 116

(false labour) (Prawirohardjo,
2010).
b) Incoordinate uterine action
Di sini sifat his berubah. Tonus
otot uterus meningkat, juga di luar
his, dan kontraksinya tidak
berlangsung seperti biasa karena
tidak ada sinkronisasi kontraksi
bagian-bagiannya. Tidak adanya
koordinasi antara kontraksi bagian
atas, tengah, dan bawah
menyebabkan his tidak efisien
dalam mengadakan pembukaan
(Prawirohardjo, 2010).
Di samping itu, tonus otot
uterus yang menaik menyebabkan
rasa nyeri yang lebih keras dan
lama bagi ibu dapat pula
menyebabkan hipoksia pada janin.
His jenis ini juga disebut
incoordinated hypertonic uterine
contraction. Kadang-kadang pada
persalinan lama dengan ketuban
yang sudah lama pecah, kelainan
his ini menyebabkan spasmus
sirkuler setempat, sehingga terjadi
penyempitan kavum uteri pada
tempat itu. Ini dinamakan lingkaran
kontraksi atau lingkaran kontriksi.
Secara teoritis lingkaran ini dapat
terjadi dimana-mana, tetapi
biasanya ditemukan pada batas
antara bagian atas dengan segmen
bawah uterus. Lingkaran kontriksi
tidak dapat diketahui dengan
pemeriksaan dalam, kecuali kalau
pembukaan sudah lengkap,
sehingga tangan dapat dimasukkan
ke dalam kavum uteri. Oleh sebab
itu, jika pembukaan belum lengkap,
biasanya tidak mungkin mengenal
kelainan ini dengan pasti. Ada
kalanya persalinan tidak maju
karena kelainan pada serviks yang
dinamakan distosia servikalis.
Kelainan ini bisa primer atau
sekunder. Distosia servikalis
dinamakan primer kalau serviks
tidak membuka karena tidak
mengadakan relaksasi berhubung
dengan incoordinate uterine action.
Penderita biasanya seorang
primigravida. Kala I menjadi lama,
dan dapat diraba jelas pinggir
serviks yang kaku. Kalau keadaan
ini dibiarkan, maka tekanan kepala
terus-menerus dapat menyebabkan
nekrosis jaringan serviks dan dapat
mengakibatkan lepasnya bagian
tengah serviks secara sirkuler.
Distosia servikalis sekunder
disebabkan oleh kelainan organik
pada serviks, misalnya karena
jaringan parut atau karena
karsinoma. Dengan his kuat serviks
bisa robek dan robekan ini dapat
menjalar ke bagian bawah uterus.
Oleh karena itu, setiap ibu yang
pernah operasi pada serviks, selalu
harus diawasi persalinannya di
rumah sakit
(Prawirohardjo, 2010).
c. Klasifikasi Partus Lama
1) Fase laten memanjang
Friedman mengembangkan
konsep tiga tahap fungsional pada
persalinan untuk menjelaskan
tujuan-tujuan fisiologis persalinan.
Walaupun pada tahap persiapan
(preparatory division) hanya terjadi
sedikit pembukaan serviks, cukup
banyak perubahan yang
berlangsung dikomponen jaringan
ikat serviks. Tahap persalinan ini
mungkin peka terhadap sedasi dan
anestesi regional. Tahap
pembukaan/dilatasi (dilatational
division), saat pembukaan
berlangsung paling cepat, tidak
dipengaruhi oleh sedasi atau
anestesia regional. Tahap panggul
(pelvic division) berawal dari fase
MATERNAL VOLUME 7 EDISI OKTOBER 2012 117

deselerasi pembukaan serviks.
Mekanisme klasik persalinan yang
melibatkan gerakan-gerakan pokok
janin pada presentasi kepala,
masuknya janin ke panggul
(engagement), fleksi, penurunan,
rotasi internal (putaran paksi
dalam), ekstensi, dan rotasi
eksternal (putaran paksi luar)
terutama berlangsung selama tahap
panggul. Namun, dalam praktik
sebenarnya mulainya tahap panggul
jarang diketahui dengan jelas
(Prawirohardjo, 2010).
Pola pembukaan serviks
selama tahap persiapan dan
pembukaan persalinan normal
adalah kurva sigmoid. Dua fase
pembukaan serviks adalah fase
laten yang sesuai dengan tahap
persiapan dan fase aktif yang sesuai
dengan tahap pembukaan.
Friedman membagi lagi fase aktif
menjadi fase akselerasi, fase lereng
(kecuraman) maksimum, dan fase
deselerasi
(Prawirohardjo, 2010).
Mulainya persalinan laten
didefinisikan menurut Friedman
sebagai saat ketika ibu mulai
merasakan kontraksi yang teratur.
Selama fase ini orientasi kontraksi
uterus berlangsung bersama
perlunakan dan pendataran serviks.
Kriteria minimum Friedman untuk
fase laten ke dalam fase aktif
adalah kecepatan pembukaan
serviks 1,2 cm/jam bagi nulipara
dan 1,5 cm/jam untuk multipara.
Kecepatan pembukaan serviks ini
tidak dimulai pada pembukaan
tertentu. Sebagai contoh, Peisner
dan Rosen mendapatkan bahwa 30
% ibu mencapai pembukaan serviks
5 cm sebelum kecepatan
pembukaan mereka setara dengan
persalinan fase aktif. Sebaliknya,
sebagian lain ibu mengalami
pembukaan lebih cepat dan telah
mencapai kecepatan fase aktif pada
pembukaan sebesar 3 cm. Dengan
demikian, fase laten terjadi
bersamaan dengan persepsi ibu
yang bersangkutan akan adanya his
teratur yang disertai oleh
pembukaan serviks yang progresif,
walaupun lambat, dan berakhir
pada pembukaan serviks 3 sampai 5
cm. Ambang ini secara klinis
mungkin bermanfaat, karena
mendefinisikan batas-batas
pembukaan serviks yang bila telah
terlewati dapat diharapkan terjadi
persalinan aktif. Rosen
menganjurkan agar semua ibu
diklasifikasikan berada dalam
persalinan aktif apabila dilatasi
mencapai 5 cm, sehingga apabila
tidak terjadi perubahan progresif,
perlu dipertimbangkan untuk
melakukan intervensi
(Prawirohardjo, 2010).
Friedman dan Sachtleben
mendefinisikan apabila lama fase
ini lebih dari 20 jam pada nulipara
dan 14 jam pada multipara
(Prawirohardjo, 2010).
Faktor-faktor yang
mempengaruhi durasi fase laten
antara lain adalah anestesia regional
atau sedasi yang berlebihan,
keadaan serviks yang buruk (misal
tebal, tidak mengalami pendataran,
atau tidak membuka), dan
persalinan palsu. Friedman
mengklaim bahwa istirahat atau
stimulasi oksitosin sama efektif dan
amannya dalam memperbaiki fase
laten yang berkepanjangan.
Istirahat lebih disarankan karena
persalinan palsu sering tidak
disadari. Dengan sedatif kuat, 85 %
MATERNAL VOLUME 7 EDISI OKTOBER 2012 118

dari para ibu ini akan memulai
persalinan aktif. Sekitar 10 %
lainnya berhenti berkontraksi, dan
karenanya mengalami persalinan
palsu. Akhirnya, 5 % mengalami
rekurensi fase laten abnormal dan
memerlukan stimulasi oksitosin.
Amniotomi tidak dianjurkan karena
adanya insiden persalinan palsu
yang 10 % tersebut (Prawirohardjo,
2010).
2) Fase aktif memanjang pada
primigravida
Pada primigravida, fase aktif
yang lebih panjang dari 12 jam
merupakan keadaan abnormal.
Yang lebih penting daripada
panjangnya fase ini adalah
kecepatan dilatasi serviks. Laju
yang kurang dari 1,2 cm/jam
membuktikan adanya abnormalitas
dan harus menimbulkan
kewaspadaan dokter yang akan
menolong persalinan tersebut
(Oxorn, 2010).
Pemanjangan fase aktif
menyertai malposisi janin,
disproporsi sefalopelvik,
penggunaan sedatif dan analgesik
tidak sesuai dengan kebutuhan, dan
ketuban pecah sebelum dimulainya
persalinan (Oxorn, 2010).
Periode aktif yang memanjang
dapat dibagi menjadi dua kelompok
klinis yang utama yaitu kelompok
yang masih menunjukkan kemajuan
persalinan sekalipun dilatasi serviks
berlangsung lambat, dan kelompok
yang benar-benar mengalami
penghentian dilatasi serviks
(Oxorn, 2010).
3) Fase aktif memanjang pada
multigravida
Fase aktif pada multipara yang
berlangsung lebih dari 6 jam dan
laju dilatasi serviks yang kurang
dari 1,5 cm/jam merupakan
keadaan abnormal. Meskipun
partus lama pada multipara lebih
jarang dijumpai dibandingkan
dengan primigravida, namun
karena ketidakacuhan dan perasaan
aman yang palsu, keadaan tersebut
bisa mengakibatkan malapetaka.
Kelahiran normal yang terjadi di
waktu lampau tidak berarti bahwa
kelahiran berikutnya pasti normal
kembali (Oxorn, 2010).
4) Partus lama dalam kala dua
Tahap ini berawal saat
pembukaan serviks telah lengkap
dan berakhir dengan keluarnya
janin. Median durasinya adalah 50
menit untuk nulipara dan 20 menit
untuk multipara, tetapi angka ini
juga sangat bervariasi. Pada ibu
dengan paritas tinggi yang vagina
dan perineumnya sudah melebar,
dua atau tiga kali usaha mengejan
setelah pembukaan lengkap
mungkin cukup untuk
mengeluarkan janin. Sebaliknya,
pada seorang ibu panggul sempit
atau janin besar, atau dengan
kelainan gaya ekspulsif akibat
anestesia regional atau sedasi yang
berat, maka kala dua dapat sangat
memanjang. Kilpatrick dan laros
melaporkan bahwa rata-rata
persalinan kala dua, sebelum
pengeluaran janin spontan,
memanjang sekitar 25 menit oleh
anestesia regional. Seperti telah
disebutkan, tahap panggul atau
penurunan janin dalam persalinan
umumnya berlangsung setelah
pembukaan lengkap. Selain itu,
kala dua melibatkan banyak
gerakan pokok yang penting agar
janin dapat melewati jalan lahir.
Selama ini terdapat aturan-aturan
yang membatasi durasi kala dua.
MATERNAL VOLUME 7 EDISI OKTOBER 2012 119

Kala dua persalinan pada nulipara
dibatasi 2 jam dan diperpanjang
sampai 3 jam apabila digunakan
analgesia regional. Untuk multipara
1 jam adalah batasnya,
diperpanjang menjadi 2 jam pada
penggunaan analgesia regional
(Prawirohardjo, 2010).
Pemahaman kita tentang durasi
normal persalinan manusia
mungkin tersamar oleh banyaknya
variabel klinis yang mempengaruhi
pimpinan persalinan, Kilpatrick dan
laros melaporkan bahwa rata-rata
lama persalinan kala satu dan kala
dua adalah sekitar 9 jam pada
nulipara tanpa analgesia regional,
dan bahwa batas atas persentil 95
adalah 13,5 jam. Mereka
mendefinisikan mulainya
persalinan sebagai waktu saat ibu
mengalami kontraksi teratur yang
nyeri setiap 3 sampai 5 menit
menyebabkan pembukaan serviks
(Prawirohardjo, 2010).
3. Asfiksia Neonatorum
a. Pengertian Asfiksia Neonatorum
Asfiksia neonatorum
merupakan suatu kondisi dimana
bayi tidak dapat bernapas secara
spontan dan teratur segera setelah
lahir. Keadaan tersebut dapat
disertai dengan adanya hipoksia,
hiperkapnea, sampai asidosis
(Hidayat, 2009).
b. Patofisiologi Asfiksia Neonatorum.
BBL mempunyai karakteristik
yang unik. Transisi dari kehidupan
janin intrauterine ke kehidupan
bayi ekstrauterine, menunjukkan
perubahan sebagai berikut. Alveoli
paru janin dalam uterus berisi
cairan paru. Pada saat lahir dan
bayi mengambil napas pertama,
udara memasuki alveoli paru dan
cairan paru diabsorpsi oleh jaringan
paru. Pada napas kedua dan
berikutnya, udara yang masuk
alveoli bertambah banyak dan
cairan paru diabsorpsi sehingga
kemudian seluruh alveoli berisi
udara yang mengandung oksigen.
Aliran darah paru meningkat secara
dramatis. Hal ini disebabkan
ekspansi paru yang membutuhkan
tekanan puncak inspirasi dan
tekanan akhir ekspirasi yang lebih
tinggi.
Ekspansi paru dan peningkatan
tekanan oksigen alveoli, keduanya
menyebabkan penurunan resisitensi
vaskuler paru dan peningkatan
aliran darah paru setelah lahir.
Aliran intrakradial dan
ekstrakardial mulai beralih arah
yang kemudian diikuti penutupan
duktus arteriosus. Kegagalan
penurunan resisitensi vaskuler paru
menyebabkan hipertensi pulmonal
persisiten pada BBL (Persisten
Pulmonary Hypertension of the
Neonate), dengan aliran darah paru
yang inadekuat dan hipoksia relatif.
Ekspansi paru yang inadekuat
menyebabkan gagal nafas (Kosim,
2010).
c. Gambaran Klinis Asfiksia
Neobatorum
Virginia Apgar, mengusulkan
beberapa kriteria klinis untuk
menentukan keadaan bayi baru
lahir. Kriteria ini ternyata berguna
karena berhubungan erat dengan
perubahan asam-basa pada bayi. Di
samping itu dapat pula memberikan
gambaran beratnya perubahan
kadivaskular yang ditemukan.
Penilaian secara Apgar ini juga
mempunyai hubungan erat dengan
mortalitas dan morbiditas bayi baru
lahir. Cara ini dianggap yang paling
ideal dan telah banyak digunakan
MATERNAL VOLUME 7 EDISI OKTOBER 2012 120

dimana-mana. Patokan klinis yang
dinilai ialah:
1) Menghitung frekuensi jantung
2) Melihat usaha bernafas
3) Menilai tonus otot
4) Menilai refleks rangsangan
5) Memperhatikan warna kulit
(Hassan, 2005).
d. Klasifikasi Asfiksia Neonatorum
1) Vigorous baby.
Skor Apgar 7-10. Dalam hal ini
bayi dianggap sehat dan tidak
memerlukan tindakan istimewa.
2) Mild-moderate asphyxia (asfiksia
sedang).
Skor Apgar 4-6. Pada
pemeriksaan fisis akan terlihat
frekuensi jantung lebih dari
100x/menit, tonus otot kurang baik
atau baik, sianosis, reflek
iritabilitas tidak ada.
3) Asfiksia berat.
Skor Apgar 0-3. Pada
pemeriksaan fisis ditemukan
frekuensi jantung kurang dari
100x/menit, tonus otot buruk,
sianosis berat dan kadang-kadang
pucat, refleks iritablititas tidak ada
(Hassan, 2005).
e. Faktor resiko terjadinya Asfiksia
Neonatorum
a) Seksio sesaria darurat
b) Kelahiran dengan ekstraksi forsep
atau vacum
c) Letak sungsang atau presentasi
abnormal
d) Kelahiran kurang bulan
e) Partus presipitatus
f) Korioamnionitis
g) Ketuban pecah lama (>18 jam
sebelum persalinan)
h) Partus lama (>24 jam)
i) Kala dua lama (>2 jam)
j) Makrosomia
k) Bradikardia janin persisten
l) Frekuensi jantung janin yang tidak
beraturan
m) Penggunaan anestesi umum
n) Hiperstimulus uterus
o) Penggunaan obat narkotika pada ibu
dalam 4 jam sebelum persalinan
p) Air ketuban bercampur mekonium
q) Prolaps tali pusat
r) Solusio plasenta
s) Plasenta previa
t) Perdarahan intrapartum
(Kosim, 2010).
4. Primigravida dan Multigravida
Primigravida adalah seorang
wanita yang hamil untuk pertama
kali. (Prawirohardjo, 2002).
Multigravida adalah wanita yang
pernah hamil dan melahirkan bayi
genap bulan (Astalina, 2007).
5. Hubungan Partus Lama dengan
Kejadian Asfiksia Neonatorum
Partus lama menimbulkan efek
berbahaya baik terhadap ibu
maupun anak. Beratnya cedera
terus meningkat dengan semakin
lamanya proses persalinan; resiko
tersebut naik dengan cepat setelah
waktu 24 jam
(Oxorn, 2010).
Semakin lama persalinan,
semakin tinggi morbiditas serta
mortalitas janin dan semakin sering
terjadi asfiksia akibat partus lama
itu sendiri (Oxorn, 2010).

B. METODE
J enis penelitian yang
digunakan adalah penelitian
observasional analitik, Rancangan
penelitian yang digunakan yaitu
penelitian retrospektif. Tempat
dilaksanakannya penelitian
mengenai hubungan partus lama
dengan kejadian asfiksia yaitu di
Rumah Sakit Umum Daerah
Sragen. Waktu penelitian yaitu
MATERNAL VOLUME 7 EDISI OKTOBER 2012 121

dari tanggal 5 Maret 2012 sampai
dengan 28 J uni 2012.
Populasi dalam penelitian ini
adalah 155 ibu bersalin dengan
partus lama di Rumah Sakit Umum
Daerah Sragen. Tehnik
pengambilan sampel yang
digunakan sampel random atau
sampel acak. Tehnik sampling ini
diberi nama demikian karena di
dalam pengambilan sampelnya,
peneliti mencampur subjek-
subjek di dalam populasi sehingga
semua subjek dianggap sama.
Sampel random di sini
menggunakan undian (untung-
untungan) yaitu pada kertas kecil-
kecil kita tuliskan nomor subjek,
satu nomor untuk setiap kertas.
Kemudian kertas ini kita gulung.
Dengan tanpa prasangka kita
mengambil gulungan kertas,
sehingga nomor-nomor yang
tertera pada gulungan kertas yang
terambil itulah yang merupakan
nomor subjek sampel penelitian
(Arikunto, 2006).
Untuk menentukan besar
sampel dengan populasi kecil atau
lebih kecil dari 10.000, dapat
menggunakan rumus:
n =
Dimana:
n : besar sampel
N : besar populasi
d : tingkat kepercayaan/ketepatan
yang diinginkan
(Notoatmodjo, 2005).
Berdasarkan perhitungan
didapatkan besar sampel 112 ibu
bersalin dengan partus lama di
Rumah Sakit Umum Daerah
Sragen.
Kriteria inklusi adalah
karakteristik umum subjek
penelitian dari suatu populasi
target yang terjangkau dan akan
diteliti (Nursalam, 2008). Kriteria
inklusi dalam penelitian ini yaitu:
Ibu bersalin partus lama
primigravida dan multigravida
yang melahirkan di Rumah Sakit
Umum Daerah Sragen. Kriteria
eksklusi adalah kondisi tertentu
yang menyebabkan subyek yang
telah memenuhi kriteria inklusi
tidak dapat diikutsertakan dalam
penelitian (Taufiquroman, 2004).
Ibu bersalin partus lama
primigravida dan multigravida
yang bayinya meninggal di Rumah
Sakit Umum Daerah Sragen.
Variabel bebas dalam
penelitian ini yaitu persalinan
lama, dimana persalinan yang
lebih dari 24 jam. Skala yang
digunakan adalah nominal
dikotomik. Penilaian yang
digunakan untuk mengetahui
kejadian persalinan lama adalah
dokumentasi rekam medis pasien
yang didukung dengan penilaian
partograf, dimana klasifikasinya
adalah: Partus lama pada
primigravida, Partus lama pada
multigravida.
Variabel terikat dalam
penelitian ini adalah asfiksia
neonatorum yaitu keadaan bayi
baru lahir yang mengalami
kegagalan bernapas secara spontan
dan teratur segera setelah lahir.
J enis skala yang digunakan adalah
skala nominal dikotomik.
Penilaian menggunakan
dokumentasi rekam medis bayi
baru lahir didukung dengan
penilaian apgar score, yang
klasifikasinya adalah: Bayi
asfiksia, Vigorous baby.
MATERNAL VOLUME 7 EDISI OKTOBER 2012 122

Instrumen untuk variabel
bebas menggunakan dokumentasi
rekam medis pasien dengan partus
lama di Rumah Sakit Umum
Daerah Sragen selama tahun 2011.
Variabel terikat menggunakan
dokumentasi rekam medis bayi
baru lahir di Rumah Sakit Umum
Daerah Sragen.
Tehnik pengumpulan data
yang digunakan yaitu dengan
metode dokumentary-historikal
yaitu mengumpulkan data dari
berbagai catatan kebidanan yang
telah lalu (Suyanto, 2008). J enis
data dalam penelitian ini yaitu data
kuantitatif. Data kuantitatif adalah
data yang berbentuk angka, atau
data kualitatif yang diangkakan
(skoring) (Sugiyono, 2007).
Sumber data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data
sekunder. Data sekunder yaitu data
yang dikumpulkan melalui pihak
kedua (biasanya diperoleh melalui
badan/instansi yang bergerak
dalam proses pengumpulan data,
baik oleh instansi pemerintah
maupun swasta, misalnya: Badan
Pusat Statistik, Survei Riset
Indonesia, dll) (Sedarmayanti,
2011). Variabel bebas dengan
melihat catatan rekam medis
pasien yang mengalami partus
lama baik primigravida maupun
multigravida di Rumah Sakit
Umum Daerah Sragen. Variabel
terikat dengan melihat catatan
rekam medis pasien yang
mengalami partus lama dengan
melihat catatan apgar score bayi
yang dilahirkan di Rumah Sakit
Umum Daerah Sragen.
Analisis data digunakan untuk
menjawab atau membuktikan
diterima atau ditolak hipotesa yang
telah ditegakkan. Analisa data
sering juga disebut uji hipotesis
yang terdiri dari beberapa uji
statistik tergantung dari desain
penelitian dan skala pengukuran
datanya (Suyanto, 2008).
Analisis univariate merupakan
analisis setiap variabel yang
dinyatakan dengan sebaran
frekuensi baik secara angka-angka
maupun secara presentasi disertai
dengan penjelasan kualitatif
(Notoatmodjo, 2005).
Analisis bivariate yang
dilakukan terhadap dua variabel
yang diduga berhubungan atau
berkorelasi (Notoatmodjo, 2005).
Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan tehnik analisa data
Chi Kuadrat (X
2
) atau disebut juga
chi square yaitu untuk menguji
hipotesis komparatif dua sampel
bila datanya berbentuk nominal
dan sampelnya besar (n>25)
(Suyanto, 2008).

-
=
fh
fh fo
X
2
2
) (

Keterangan:
x
2
=chi-kuadrat
fo =frekuensi yang diobservasi
fh =frekuensi yang diharapkan
(Arikunto, 2010).
Metode yang digunakan untuk
mengukur keeratan hubungan
(asosiasi dan korelasi) adalah
contingency coefficient. C
(singkatan dari contingency)
sangat erat hubungannya dengan
Chi-kuadrat dan dihitung dengan
tabel kontingensi. C ditulis juga
dengan KK, singkatan dari
Koefisien Kontingensi
(Arikunto, 2010).
KK =
2
2
X N
X
+

MATERNAL VOLUME 7 EDISI OKTOBER 2012 123

Keterangan:
c =Koefisien kontingensi
N =total banyaknya observasi
x
2
= harga chi-kuadrat yang
diperoleh
(Arikunto, 2010).
Tingkat hubungan variabel
penelitian menurut besarnya
koefisien korelasi:
Interval Koefisien
Tingkat Hubungan Variabel
Antara 0,800 sampai dengan 1,00
Sangat Kuat
Antara 0,600 sampai dengan 0,800
Kuat
Antara 0,400 sampai dengan 0,600
Sedang
Antara 0,200 sampai dengan 0,
400 Rendah
Antara 0,000 sampai dengan 0,
200 Sangat Rendah
(Arikunto, 2010).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian dilakukan di Rumah
Sakit Umum Daerah Sragen pada bulan
J uni 2012. Berdasarkan data yang
terkumpul dari hasil penelitian tentang
Hubungan Partus Lama dengan
Kejadian Asfiksia Neonatorum pada
primigravida dan multigravida , maka
dapat disajikan dalam bentuk tabel
distribusi sebagai berikut:
A. Distribusi Frekuensi Partus
Lama
Untuk kejadian partus lama di
RSUD Sragen dapat ditampilkan
dalam tabel distribusi frekuensi
sebagai berikut:
Tabel 1 Kejadian Partus Lama
Berdasarkan J enis Paritas
J enis paritas Frekuensi Persentase
(%)
Primigravida
Multigravida
J umlah
69
43
112
61,6
38,4
100
Sumber: Data Sekunder Rumah
Sakit Umum Daerah Sragen 2012
Berdasarkan tabel 1 kejadian
partus lama pada primigravida
sebanyak 69 kejadian (61,6%) dan
kejadian partus lama pada
multigravida sebanyak 43 kejadian
(38,4%). J adi dapat disimpulkan
bahwa kejadian partus lama yang
paling banyak terjadi di Rumah
Sakit Umum Daerah Sragen adalah
pada primigravida.
Distribusi Frekuensi Asfiksia
Neonatorum
Sedangkan untuk kasus
asfiksia neonatorum
diklasifikasikan menjadi 2,
adaptasi baik dan bayi asfiksia.
Berikut kejadian asfiksia
neonatorum di Rumah Sakit
Umum Daerah Sragen.
Tabel 2 Klasifikasi Asfiksia
Neonatorum
Klasifikasi Frekuensi Persentas
e (%)
Bayi asfiksia
Vigorous baby
J umlah
20
92
112
17,8
82,2
100
Sumber: Data Sekunder Rumah
Sakit Umum Daerah Sragen 2012
Berdasarkan tabel 2
menunjukkan kejadian asfiksia
sebanyak 20 kejadian (17,8%) dan
vigorous baby sebanyak 92
kejadian (82,2%).
Berdasarkan uraian diatas
dapat disimpulkan bahwa kejadian
yang paling banyak terjadi adalah
vigorous baby yaitu sebanyak 92
kejadian (82,2%).
B. Analisis Hubungan Partus Lama
dengan Kejadian Asfiksia
Neonatorum
Setelah data dari hasil
penelitian terkumpul, selanjutnya
dilakukan pengujian data untuk
menguji Hubungan Partus Lama
MATERNAL VOLUME 7 EDISI OKTOBER 2012 124

dengan Kejadian Asfiksia
Neonatorum pada Primigravida
dan Multigravida.
Tabel 3 Tabulasi Silang Partus Lama Dengan Kejadian Asfiksia Neonatorum
pada Primigravida dan Multigravida
Partus Lama Bayi Asfiksia (%) Vigorous baby (%)
Primigravida 16 (23,2%) 80 53 (76,8%) 58 69
Multigravida 4 (9,3%) 20 39 (90,7%) 42 43
J umlah 20 100 92 100 112
Sumber: Data Sekunder Rumah Sakit Umum Daerah Sragen 2012

Tabel diatas menunjukkan
dari 112 kasus partus lama
tersebut didapatkan 16 (80%) bayi
asfiksia dari ibu primigravida, 4
(20%) bayi asfiksia dari ibu
multigravida. Sedangkan bayi
yang tidak mengalami asfiksia dari
ibu primigravida adalah 53 (58%)
dan bayi yang tidak mengalami
asfiksia dari ibu multigravida
adalah 39 (42%).
Selanjutnya untuk menguji
signifikansi hubungan partus lama
dengan kejadian asfiksia
neonatorum, dilakukan pengujian
hipotesis dengan rumus chi-
kuadrat dengan taraf signifikansi
5% dan db 1.
Hasil pengujian chi-kuadrat
didapatkan nilai x
2
hitung
=163,55
sehingga dapat disimpulkan bahwa
x
2
hitung
lebih besar x
2
tabel
=
(163,55>3,84). Artinya Ha
diterima dan Ho ditolak, dengan
demikian dapat dikatakan bahwa
ada hubungan yang signifikan
antara hubungan partus lama
dengan kejadian asfiksia
neonatorum. Dikarenakan x
2
hitung
lebih besar dari x
2
tabel
=
(163,55>3,84). Sedangkan untuk
mengetahui keeratan hubungan
maka dilakukan uji koefisien
kontingensi.
Berdasarkan hasil analisis
koefisien kontingensi di dapatkan
nilai KK =0,77. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat
hubungan antara partus lama
dengan kejadian asfiksia
neonatorum. Adapun ukuran
keeratan hubungan (asosiasi atau
korelasi) adalah sebesar 0,77.
Dengan ditemukannya koefisien
kontingensi tersebut maka dapat
dinyatakan bahwa tingkat
hubungan antar variabel adalah
kuat.

PEMBAHASAN
A. Partus Lama
Berdasarkan hasil penelitian
yang telah disajikan dalam bentuk
tabel dan narasi pada bab IV,
menunjukkan bahwa partus lama
mayoritas terjadi pada ibu
primigravida yaitu sebanyak 69
kasus (61,6%). Penyebab partus
lama di Rumah Sakit Umum
Daerah Sragen yaitu ketuban pecah
dini, inersia uteri dan CPD.
Menurut Llewllyn (2002),
pada primigravida insiden partus
lama dua kali lebih besar daripada
multigravida. Faktor-faktor
tambahan terjadinya partus lama
yaitu primigravida, ketuban pecah
dini, analgesi dan anesthesi serta
wanita yang cemas dan ketakutan.
MATERNAL VOLUME 7 EDISI OKTOBER 2012 125

Partus lama menimbulkan efek
berbahaya baik bagi ibu maupun
anak. Beratnya cedera terus
meningkat dengan semakin
lamanya proses persalinan; resiko
itu naik dengan cepat setelah
waktu 24 jam. Terdapat kenaikan
pada insidensi atonia uteri,
laserasi, perdarahan, infeksi,
kelelahan ibu dan shock. Angka
kelahiran dengan tindakan yang
tinggi semakin memperburuk
bahaya bagi ibu (Oxorn, 2010).
B. Asfiksia Neonatorum
Berdasarkan data yang
diperoleh peneliti menunjukkan
bahwa asfiksia neonatorum
mayoritas terjadi dari ibu
primigravida yaitu sebanyak 16
kejadian (80%).
Menurut Kosim (2010),
faktor resiko terjadinya asfiksia
neonatorum yaitu partus lama (>24
jam).
Akibat-akibat asfiksia
neonatorum akan bertambah buruk
apabila penanganan tidak
dilakukan secara sempurna.
Tindakan yang akan dikerjakan
pada bayi bertujuan
mempertahankan kelangsungan
hidupnya dan membatasi gejala-
gejala lanjut yang mungkin timbul
(Prawirohardjo, 2005).
C. Hubungan Partus Lama dengan
Kejadian Asfiksia Neonatorum
pada Primigravida dan
Multigravida.
Berdasarkan hasil penelitian
diperoleh harga X
2
hitung
= 163,55
untuk jumlah sampel sebanyak
112, sedangkan untuk X
2
tabel
=
3,84 untuk taraf kesalahan 5% dan
db = 1. Setelah dibandingkan
X
2
hitung
lebih besar dari X
2
tabel

(163,55>3,84). Dengan demikian
Ha diterima dan Ho ditolak.
Sehingga dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara partus lama
dengan kejadian asfiksia
neonatorum pada primigravida dan
multigravida. Berdasarkan hasil
analisis koefisien kontingensi
didapatkan nilai KK = 0,77,
sehingga dapat disimpulkan bahwa
terdapat hubungan yang erat antara
partus lama dengan kejadian
asfiksia neonatorum pada
primigravida dan multigravida.
Adapun ukuran keeratan hubungan
(asosiasi atau korelasi) adalah
sebesar 0,77, dengan
ditemukannya koefisien tersebut
maka dapat dinyatakan bahwa
tingkat hubungan antar variabel
adalah kuat.
Menurut Oxorn (2010),
semakin lama persalinan, semakin
tinggi morbiditas serta mortalitas
janin dan semakin sering terjadi
keadaan asfiksia neonatorum
akibat partus lama itu sendiri.

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian
yang telah dilakukan di Rumah
Sakit Umum Daerah Sragen
tentang keterkaitan Hubungan
Partus Lama dengan Kejadian
Asfiksia Neonatorum dapat
diambil kesimpulan sebagai
berikut :
1. Partus lama mayoritas terjadi
pada ibu primigravida yaitu
sebanyak 69 kasus (61,6%).
2. Asfiksia neonatorum
mayoritas terjadi pada ibu
primigravida yaitu sebanyak
16 kasus (80%).
MATERNAL VOLUME 7 EDISI OKTOBER 2012 126

3. Terdapat hubungan yang
signifikan antara partus lama
dengan kejadian asfiksia
neonatorum pada primigravida
dan multigravida sebesar
163,55. Berdasarkan hasil
analisis koefisien kontingensi
didapatkan nilai KK = 0,77,
yang berarti memiliki keeratan
hubungan yang kuat.
B. Saran
1. Bagi Tenaga Kesehatan
Bagi tenaga kesehatan
diharapkan dapat memberikan
asuhan persalinan yang
bermutu sehingga mampu
mencegah terjadinya partus
lama yang dapat menyebabkan
asfiksia neonatorum.
2. Bagi Peneliti Selanjutnya
Diharapkan dapat
melanjutkan penelitian dengan
sampel yang lebih banyak dan
variabel penelitian yang luas
serta dapat menggali faktor-
faktor lain yang
mempengaruhi terjadinya
asfiksia neonatorum.

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, 2010. Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan
Praktik. J akarta: Rineka Cipta.
Hal 134, 136, 276, 290, 292.
Asrinah, dkk. 2010. Asuhan Kebidanan
Masa Persalinan. Yogyakarta:
Graha Ilmu. Hal 2, 4.
Astalina, Ria. R, 2007. Asuhan
Kebidanan.
http://www.scribd.com/doc/140
77783/Asuhan-Kebidanan-. di
akses tanggal 25 J anuari 2012.
Hidayat, A. Aziz Alimul, 2007. Metode
Penelitian Kebidanan & Tehnik
Analisa Data. J akarta: Salemba
Medika. Hal 86.
, 2009.
Pengantar Ilmu Kesehatan
Anak untuk Pendidikan
Kebidanan. J akarta: Salemba
Medika. Hal 128.
, 2010. Asuhan
Kebidanan Persalinan.
Yogyakarta: Nuhamedika. Hal
1.
J NPK-KR, 2008. Asuhan Persalinan
Normal. J akarta: Depkes RI.
Hal 37.
Kosim, M. Sholeh, dkk. 2010. Buku
Ajar Neonatologi. J akarta:
Penerbit IDAI. Hal 104, 108.
Llewellyn, dkk. 2002. Dasar-dasar
Obstetri dan Ginekologi.
J akarta: Penerbit Hipokrates.
Hal 168.
Manuaba, Ida Ayu Chandranita, dkk.
2008. Gawat-Darurat Obstetri-
Ginekologi & Obstetri-
Ginekologi Sosial untuk Profesi
Bidan. J akarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Hal 127.
Notoatmodjo, Soekidjo, 2005.
Metodologi Penelitian
Kesehatan. J akarta: PT Rineka
Cipta.
Nursalam, 2011. Konsep dan
Penerapan Metodologi
Penelitian Ilmu Keperawatan.
J akarata: Salemba Medika.
Oxorn, dkk. 2010. Ilmu Kebidanan:
Patologi dan Fisiologi
MATERNAL VOLUME 7 EDISI OKTOBER 2012 127

Persalinan. Yogyakarta: C.V
Andi Offset. Hal 603.
Prawirohardjo, Sarwono, 2002. Buku
Acuan Nasional Pelayanan
Kesehatan Maternal dan
Neonatal. J akarta: Yayasan
Bina Pusataka. Hal 101, 187.
, 2002. Ilmu
Kebidanan.
J akarta: Yayasan
Bina Pustaka.
Hal 180.
, 2010. Ilmu
Kebidanan.
J akarta: Yayasan
Bina Pustaka.
Hal 564.
Rahmawati, 2011. Survey AKI dan
AKB di Indonesia.
http://dokternews.wordpress.co
hm/2011/05/19/survey-aki-dan-
akb-di-indonesia/. Di akses
tanggal 06 Februari 2012.
Sedarmayanti, dkk, 2011. Metodologi
Penelitian. Bandung: Mandar
Maju. Hal 73.
Suyanto, dkk. 2008. Riset Kebidanan
Metodologi & Aplikasi.
Yogyakarta: Mitra Cendekia
Press.
Taufiqurohman, Mochammad Arief,
2004. Pengantar Metodologi
Penelitian untuk Ilmu
Kesehatan. Klaten: CSGF. Hal
8-9, 87, 126.
Wahyuningsih, Mila Damayanti, 2010.
Survey AKI dan AKB di
Indonesia.
http://etd.eprints.ums.ac.id/1487
3/2/BAB_I.pdf. Diakses
tanggal 15 Maret 2012.

Anda mungkin juga menyukai