Anda di halaman 1dari 85

TAHUN

2012

PROFIL KESEHATAN
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
DINAS KESEHATAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
TAHUN 2013
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga Profil Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2012 ini
dapat tersusun.

Sebagai salah satu produk Sistem Informasi Kesehatan DIY, maka Profil Kesehatan
Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2012 ini diharapkan dapat memberi gambaran
kepada para pembaca mengenai kondisi dan situasi kesehatan di wilayah Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2012.

Kondisi kesehatan yang digambarkan dalam Profil Kesehatan Provinsi Daerah
Istemewa Yogyakarta Tahun 2012 ini disusun berdasarkan data-data yang dihimpun
dari Profil Kesehatan Kabupaten/Kota, data dari Laporan Rumah Sakit Pemerintah
dan Swasta (RL) serta dari beberapa buku terbitan Badan Pusat Statistik (BPS)
Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, penyusunan Buku profil Kesehatan kali ini
mengacu pada Pedoman profil terbaru yang diterbitkan oleh Pusat Data
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2008.

Kami menyadari bahwa penyusunan profil kesehatan ini masih banyak kekurangan
baik kelengkapan maupun akurasi serta ketepatan waktu maupun penyajianya.
Untuk itu guna kesempurnaan penyusunan profil ini dimasa datang kami harapkan
kritik dan saran dari pembaca.

Demikian atas bantuan berbagai pihak yang terkait dalam penyusunan profil ini kami
ucapkan terimakasih.





DAFTAR ISI
HALAMAN
KATA PENGANTAR 3
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL 4

BAB I PENDAHULUAN 6

BAB II GAMBARAN UMUM 8
2.1. WILAYAH 8
2.2. GEOMORPOLOGI LINGKUNGAN HIDUP 9
2.3 KEPENDUDUKAN 11
2.4 EKONOMI & SUMBER DAYA ALAM 13
2.5 SOSIAL & BUDAYA 15
2.6 PEMERINTAHAN & POLITIK 20
2.7 PRASARANA WILAYAH 21
2.8 STRUKTUR & POLA TATA RUANG 23

BAB III SITUASI DERAJAT KESEHATAN 26
3.1. MORTALITAS 26
3.1.1. UMUR HARAPAN HIDUP 26
3.1.2 ANGKA KELAHIRAN 27
3.1.3 ANGKA KEMATIAN IBU 28
3.1.4 ANGKA KEMATIAN BAYI 29
3.1.5 ANGKA KEMATIAN BALITA 31
3.2. MORBIDITAS 32
3.2.1 POLA PENYAKIT 32
3.2.1.1 POLA PENYAKIT MENULAR 34
3.2.1.2 POLA PENYAKIT TIDAK MENULAR 43
3.2.2 POLA PENYEBAB KEMATIAN 46
3.3. STATUS GIZI 47

BAB IV SITUASI UPAYA KESEHATAN 50
4.1. VISI & MISI 50
4.2. PELAYANAN KESEHATAN DASAR & RUJUKAN 51
4.3. PERBAIKAN GIZI MASYARAKAT 52
4.4. PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN ANAK 55
4.5. PEMBINAAN KESEHATAN LINGKUNGAN 59
4.6. PERILAKU HIDUP BERSIH & SEHAT 60

BAB V SUMBERDAYA KESEHATAN 63
5.1. TENAGA KESEHATAN 63
5.1.1. TENAGA MEDIS 64
5.1.2. TENAGA KEPERAWATAN 67
5.1.3. TENAGA KEFARMASIAN 70
5.1.4. TENAGA KESMAS 72
5.1.5. TENAGA GIZI 74
5.1.6. TENAGA KETERAPIAN FISIK DAN KETEKNSIAN MEDIS 76
5.2. SARANA KESEHATAN 78
5.3 PEMBIAYAAN KESEHATAN 80
BAB VI KESIMPULAN 84
DAFTAR TABEL


Tabel 1. Kepadatan Penduduk per Kabupaten/Kota Hasil Sensus Penduduk

Tabel 2. Indeks Pembangunan manusia di DIY

Tabel 3 Jumlah Kematian Ibu & Anak di DIY

Tabel.4 Sarana Pelayanan Kesehatan di Provinsi DIY

Tabel 5 Angka Kematian Neonatal & Faktor Penyebabnya di DIY Tahun 2011

Tabel 6 Pemberi Pelayanan Kesehatan yang bekerjasama dengan Jamkesos

Tabel 7 Pemberi Pelayanan Kesehatan yang bekerjasama dengan Jamkesmas

Tabel 8 Anggaran Kesehatan Provinsi DIY Tahun 2011






















BAB I
PENDAHULUAN

Profil Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan gambaran situasi
dan keadaan kesehatan masyarakat di DIY dan diterbitkan setiap tahun. Maksud
dan tujuan diterbitkannya buku profil ini adalah untuk menampilkan berbagai data
dan informasi kesehatan serta data pendukung lainnya yang didiskripsikan dengan
analisis dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik. Selain itu juga ingin
disampaikan pencapaian pembangunan kesehatan di wilayah DIY pada tahun 2012.
Profil ini disusun secara sistematis dengan mengikuti pedoman penyusunan
profil kesehatan yang diterbitkan oleh Pusat Data dan Informasi Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI. Sistematika penyajian Profil Kesehatan DIY tahun 2012
adalah sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan
Bab ini berisi tentang maksud dan tujuan penyusunan profil dan sistematika
penyajiannya.

Bab II : Gambaran Umum
Bab ini menyajikan tentang gambaran umum DIY, yang mencakup tentang letak
geografis, administratif dan informasi umum lainnya. Pada bab ini juga mengulas
faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap kesehatan seperti kependudukan,
ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan lingkungan.

Bab III : Situasi Derajad Kesehatan
Bab ini menguraikan tentang visi dan misi dalam melaksanakan pembangunan
kesehatan, pelayanan kesehatan dasar & rujukan, perbaikan gizi masyarakat,
pelayanan kesehatan ibu dan anak, pembinaan kesehatan lingkungan, serta perilaku
hidup bersih dan sehat.

Bab V Situasi Sumber Daya Manusia
Bab ini menguraikan tentang tenaga kesehatan, sarana kesehatan, serta
pembiayaan kesehatan.

Bab VI Kesimpulan
Bab ini diisi dengan sajian tentang hal-hal penting yang perlu disimak dan ditelaah
lebih lanjut dari Profil Kesehatan DIY di tahun 2012.

Lampiran





























BAB II
GAMBARAN UMUM

2.1. WILAYAH
Daerah Istimewa Yogyakarta terletak di bagian tengah-selatan Pulau Jawa,
secara astronomis terletak pada 733-812 Lintang Selatan dan 11000-11050
Bujur Timur, dengan luas 3.185,80 km
2
atau 0,17 % dari luas Indonesia
(1.890.754 km
2
) (Sumber : RPJMD)
. Daerah Istimewa Yogyakarta bagian
selatan dibatasi Lautan Indonesia, sedangkan di bagian Timur Laut, Tenggara,
Barat dan Barat Laut dibatasi Provinsi Jawa Tengah. Batas-batas wilayah DIY
meliputi :
a. Sebelah Timur Laut berbatasan dengan Kabupaten Klaten
b. Sebelah Tenggara berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri
c. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Purworejo
d. Sebelah Barat Laut berbatasan dengan Kabupaten Magelang
Secara administratif terdiri dari 1 kota dan 4 kabupaten, 78 kecamatan dan 438
kelurahan/desa, yaitu:
a. Kota Yogyakarta (luas 32,50 km
2
, 14 kecamatan, 45 kelurahan);
b. Kabupaten Bantul (luas 506,85 km
2
, 17 kecamatan dan 75 desa);
c. Kabupaten Kulon Progo(luas 586,27 km
2
, 12 kecamatan dan 88 desa);
d. Kabupaten Gunungkidul (luas 1.485,36 km
2
, 18 kecamatan, 144 desa);
e. Kabupaten Sleman (luas 574,82 km
2
, 17 kecamatan dan 86 desa).

2.2.. Geomorfologi dan Lingkungan Hidup
Menurut altitude, DIY terbagi menjadi daerah dengan ketinggian < 100 m,
100-500 m dan 500 1.000 m (sebagian besar di Kabupaten Bantul), 1.000
2000 m diatas permukaan laut terletak di Kabupaten Sleman. Secara
fisiografi, DIY dapat dikelompokkan menjadi empat satuan wilayah :
(a) Satuan fisiografi Gunungapi Merapi, mulai dari kerucut gunung hingga
bentang lahan vulkanik, meliputi Sleman, Kota Yogyakarta dan sebagian
Bantul. Daerah kerucut dan lereng gunung api merupakan daerah hutan
lindung sebagai kawasan resapan air daerah bawahan. Wilayah ini
memiliki luas kurang lebih 582,81 km
2
dengan ketinggian 80 2.911 m.
(b) Satuan Pegunungan Seribu Gunungkidul, merupakan kawasan perbukitan
batu gamping dan bentang karst tandus dan kurang air permukaan, di
bagian tengah merupakan cekungan Wonosari yang terbentuk menjadi
Plato Wonosari. Wilayah pegunungngan ini memiliki luas kurang lebih
1.656,25 km2 dengan ketinggian 150-700 m.
(c) Satuan Pegunungan di Kulon Progo bagian utara, merupakan bentang
lahan struktural denudasional dengan topografi berbukit, kemiringan
lereng curam dan potensi air tanah kecil. Luas wilayah ini mencapai
kurang lebih 706,25 km
2
dengan ketinggian : 0 572 m
(d) Satuan Dataran Rendah, merupakan bentang lahan fluvial (hasil proses
pengendapan sungai) yang didominasi oleh dataran aluvial, membentang
mulai dari Kulon Progo sampai Bantul yang berbatasan dengan
Pegunungan Seribu. Wilayah ini memiliki luas 215,62 km
2
dengan
ketinggian 0 80 m.
Kondisi fisiografi tersebut membawa pengaruh terhadap persebaran
penduduk, ketersediaan sarana prasarana, sosial, ekonomi, serta
ketimpangan kemajuan pembangunan. Daerah-daerah yang relatif datar,
(dataran faluvial meliputi Sleman, Kota, dan Bantul) adalah wilayah padat
penduduk, memiliki intensitas sosial ekonomi tinggi, maju dan berkembang
namun juga banyak terjadi pencemaran lingkungan.
Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki iklim tropis dengan curah hujan
berkisar 0,00 mm 13,00 mm per hari. Suhu udara rata-rata berkisar antara
21-35
0
C. Kelembaban udara berkisar antara 30 - 97 persen dan tekanan
udara 1.005,3 mb 1.017,2 mb dengan arah angin antara 180 derajat 240
derajat dan kecepatan angin antara 0 knot sampai 29 knot
Pada tahun 2010, curah hujan tertinggi tercatat 512,3 mm dengan hari hujan
per bulan sebanyak 25 kali, jauh lebih tinggi dibanding Tahun 2009.
Kecepatan angin maksimum mencapai 47 knot, jauh lebih tinggi dibanding
tahun 2009 sebesar 43 knot.
Wilayah DIY mempunyai potensi bencana alam, terutama berkaitan dengan
bahaya geologi yang meliputi:
(a) Gunung Merapi, mengancam wilayah Kabupaten Sleman bagian utara
dan wilayah sekitar sungai yang berhulu di puncak Merapi;
(b) Gerakan tanah/batuan dan erosi, berpotensi terjadi pada lereng
Pegunungan Kulon Progo (bagian utara dan barat), lereng Pengunungan
Selatan (Gunungkidul) dan bagian timur (Bantul);
(c) Bahaya banjir, terutama berpotensi mengancam daerah pantai selatan
Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Bantul;
(d) Bahaya kekeringan berpotensi terjadi di wilayah Kabupaten Gunungkidul
bagian selatan, khususnya kawasan karst;
(e) Bahaya tsunami, berpotensi di pantai selatan Kulon Progo, Bantul, dan
Gunungkidul, khususnya pada elevasi kurang dari 30 m dpl;
(f) Bahaya gempa bumi (tektonik, vulkanik) berpotensi terjadi di seluruh
wilayah DIY. Gempa tektonik berpotensi di tumbukan lempeng dasar
Samudra Indonesia di sebelah selatan DIY.
(g) Bahaya angin puting beliung, berpotensi terjadi di seluruh wilayah DIY.
Pada tanggal 26 Oktober 2010 dan hari hari berikutnya, gunung Merapi
menglami euopsi sangat hebat yang telah menyebabkan kerugian harta
kekayaan masyarakat setempat, termasuk ternak dan lahan pertaniannya
akibat lahan panas yang meluluhlantakkan semua yang dilaluinya.
Pengelolaan sumberdaya alam yang tidak berkelanjutan dan mengabaikan
kelestarian fungsi lingkungan hidup menyebabkan daya dukung lingkungan
menurun dan ketersediaan sumberdaya alam menipis. Kawasan hutan
dengan luas 23,54% dari luas wilayah DIY kurang mencukupi sebagai standar
lingkungan hidup. Menurunnya daya dukung dan ketersediaan sumberdaya
alam juga terjadi karena kemampuan iptek yang rendah sehingga tidak
mampu mengimbangi laju pertumbuhan penduduk.
Pencemaran air, udara, dan tanah juga masih belum tertangani secara tepat
karena semakin pesatnya aktivitas pembangunan yang kurang
memperhatikan aspek kelestarian fungsi lingkungan. Untuk itu, kebijakan
pengelolaan lingkungan hidup secara tepat akan dapat mendorong perilaku
masyarakat untuk menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan
agar tidak terjadi krisis sumberdaya alam, khususnya krisis air, krisis pangan,
dan krisis energi.
Laju kerusakan lingkungan dan pencemaran lingkungan yang terjadi baik di
perkotaan maupun pedesaan terus terjadi. Kerusakan sumberdaya alam dan
penurunan mutu lingkungan secara drastis tersebut menyebabkan perubahan
tatanan dan fungsi lingkungan hidup. Hal ini menyebabkan munculnya
ancaman global seperti perubahan iklim global, rusaknya keanekaragaman
hayati, serta meningkatnya produksi gas rumah kaca.

2.3. Kependudukan
Hasil Sensus Penduduk 2010 mencatat jumlah peduduk DIY mencapai
3.457.497 jiwa. Jumlah penduduk DIY tahun 2012estimasi dari hasil Sensus
Penduduk tahun 2010 sesuai dengan Badan Pusat Satistik Istimewa
Yogyakarta sebanyak 3.514.762 jiwa, sedangkan dari Profil Kesehatan
Kabupaten/Kota se DIY yang dimana data kependudukan diperoleh dari BPS
tiap Kab/Kota, jumlah penduduk DIY sebesar 3.630.720.Jumlah penduduk
laki-laki sebanyak 1.735.514 jiwa sedangkan perempuan 1.777.557 jiwa.
Sumber : BPS Provinsi DIY Tahun 2011

Gambar 1. Priramida Penduduk Provinsi DIY Tahun 2011 (sumber: BPS)
Dalam periode 2000 2010, telah terjadi perubahan struktur dan komposisi
pnduduk DIY. Hal ini terlihat dari Grafik Piramida Penduduk Tahun 2000 dan
2010. Pada tahun 2010 terjadi pengurusan pada usia 15 -24 tahun,
sebaliknya terjadi penggemukan pada kelompok usia diatasnya. Hal ini
menunjukkan bahwaadanya peningkatan penduduk pada usia 25 tahun ke
atas, yang mencakup angkatan kerja dan lanjut usia. Peningkatan angkatan
kerja perlu diwaspadai terkait ketersediaan lapangan kerja yang terbatas
diharapkan tidak terjadi surplus tenaga kerja yang dapat berdampak pada
tingginya jumlah pengangguran. Sedangkan peningkatan penduduk usia
lanjut menunjukkan semakin membaiknya kesehatan masyarakat.
Pergeseran struktur penduduk menunjukkan adanya transisi demografi yang
diantaranya dipengaruhi oleh perbaikan kesehatan masyarakat. Pergeseran
juga merupakan indikasi tingginya umur harapan hidup penduduk. Usia
harapan hidup (UHH) DIY merupakan yang tertinggi di Indonesia. UHH
panjang merupakan representasi perbaikan dari banyak faktor, antara lain :
kondisi ekonomi, pelayanan kesehatan, kualitas lingkungan, sosio-kultural
masyarakat. UHH menjadi indikator keberhasilan pembangunan.
Tabel 1


Sumber: Badan Pusat Statistik DIYTahun 2011{belum tersedia data terbaru)
Jumlah penduduk perkotaan lebih besar dibandingkan perdesaan. Namun
hal ini tidak mencerminkan distribusi nyata antara kabupaten dan kota di
DIY. Dua wilayah kabupaten di DIY masih dicirikan oleh dominasi penduduk
perdesaan (Kulonprogo, Gunungkidul) dengan kesenjangan ciri urbanisasi
dengan 3 wilayah lain cukup besar.
Pertumbuhan penduduk hasil sensus tahun 2010 sebesar 1,02 persen relatif
lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan tahun sebelumnya.
Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman memiliki angka pertumbuhan
diatas angka provinsi, masing-masing sebesar 1,55% dan 1,92%. Rerata
kepadatan penduduk DIY pada tahun 2009 sekitar 1.078,08 jiwa per km
2
.
Sedangkan pada tahun 2010 meningkat menjadi 1.085 jiwa per km
2
dengan
kepadatan tertinggi di Kota Yogyakarta (11.958 jiwa/km
2)
terendah di
Kabupaten Gunungkidul (455 jiwa/km
2)
. DIY merupakan provinsi terpadat
ketiga setelah DKI Jakarta (14.469 jiwa/km2) dan Jawa Barat (1.217
jiwa/km
2)
.Permasalahan ketimpangan kepadatan tersebut diperkuat dengan
ketimpangan potensi sumber daya dimana Gunungkidul adalah salah satu
kabupaten di DIY yang memiliki kesuburan lahan kurang dan keterbatasan
suplai air.

2.4. Ekonomi
(a) Investasi, Industri, dan Perdagangan
Realisasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) tahun 2010 secara
komulatif mencapai Rp1,88 trilliun (72,59% dari target) yang dilaksanakan
oleh 118 perusahaan dan menyerap 22.941 tenaga kerja Indonesia dan
13 orang tenaga kerja asing. Investasi domestik terus mengalami
peningkatan baik investasi domestik maupun asing demikian pula untuk
bidang perdagangan. Investasi pemerintah banyak yang diarahkan pada
pelayanan publik sebaliknya untuk sektor swasta. Investasi sektor industri
mengalami pertumbuhan baik untuk industri kecil, menengah dan besar
(0,65%) dengan dominasi industri kerajinan serta industri tekstil dan kulit.
Industri kreatif di bidang pariwisata, mempunyai potensi berupa desa
wisata (60) yang tersebar di 4 Kabupaten yang diminati oleh wisatawan
dalam dan luar negeri. Selain itu terdapat industri kreatif di bidang
kebudayaan yang meliputi 25 Production House, seni tari 341 kelompok,
dan drama sebanyak 411 kelompok.
Industri Pariwisata memiliki sumbangan paling besar terhadap PDRB
melalui subsektor perdagangan, perhotelan, restoran, dan jasa-jasa
lainnya. Jasa perhotelan adalah yang paling dominan. Ketersediaan aset
pariwisata yang memadai berupa wisata alam, wisata budaya, wisata
pendidikan dan wisata minat khusus mudah dijangkau dan dilengkapi
fasilitas hotel, penginapan, MCK umum, warung makan, restoran.
Pada tahun 2010 tercatat rata rata pengeluaran per kapita penduduk DIY
sebesar Rp.553.966,- sebulan, yang terdiri dari Rp.244.003,- untuk
makanan dan Rp.309.963,- untuk konsumsi bukan makanan. Dibanding
tahun sebelumnya mengalami kenaikan sebesar 19,13%.
(b) Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB meskipun pertumbuhannya
relatif namun selama sepuluh tahun terakhir mencapai rerata 16,33%
(terbesar ketiga setelah jasa dan perdagangan). Jumlah rumah tangga
pertanian selama sepuluh tahun terakhir menurun 9,32% menjadi 47,17%
dimana 80,29% diantaranya merupakan petani gurem.
Komoditas tanaman pangan yang meningkat adalah padi, jagung, kacang
tanah, kacang hijau, dan ubi kayu. Komoditas sayuran yang meningkat
adalah kentang dan kacang merah, tomat dan buncis. Lahan sawah
mengalami laju penurunan sebesar 0,27% per tahun, sedangkan lahan
bukan sawah menyusut sebesar 1,62% per tahun.
Luas perkebunan mengalami peningkatan sebesar 14,25%, terutama
pada kelapa, jambu mete dan tembakau. Produksi perkebunan juga
mengalami peningkatan sebesar 3,78%, terutama komoditas kelapa,
jambu mete, kakao dan tembakau.
Produksi ikan konsumsi di DIY selama kurun waktu sepuluh tahun
terakhir meningkat rerata 9,9% pertahun. Produksi benih ikan dan udang
selama sepuluh tahun terakhir meningkat 27,81%. Konsumsi ikan
perkapita selama sepuluh tahun terakhir meningkat sebesar 5,71%
pertahun.
(c) Ketahanan Pangan
Ketersediaan energi di DIY saat ini sebesar 3.085 kkal/kapita/hari
(Nasional 2.500 kkal/kapita/hari). Keanekaragaman pangan menunjukkan
skor 86,5% (standar 100%). Ketersediaan energi sebesar 2.200
kkal/kap/hari; ketersediaan protein 57 g/kap/hari; norma kecukupan gizi
berdasarkan standar PPH >1.907,6/kkal/kap/hari, konsumsi energi
minimum 1500 kkal/kap/hari, dan konsumsi protein sebesar 62,4
g/kap/hari, dan kualitas konsumsi pangan mendekati skor PPH 85,7%.
Angka konsumsi energi di DIY sudah melampaui standar, yaitu sebesar
1.835,93 kkal/kap/hari sedangkan angka konsumsi protein, masih belum
memenuhi angka standar karena baru mencapai angka 51,04 g/kap/hari.
Luas hutan mencapai 23,54% dari luas DIY (74.992,96 Ha) yang terdiri
dari hutan negara dan hutan rakyat, hutan di DIY belum memenuhi fungsi
ekologis ideal (minimal 30%).
2.5. Sosial dan Budaya
(a) Sosial
Penyandang masalah kesejahteraan sosial cenderung meningkat yang
ditunjukkan oleh besarnya jumlah pengangguran dan kelompok marginal
seperti anak terlantar/ jalanan, tuna susila, pengemis, gelandangan,
korban bencana alam, korban tindak kekerasan dan lain sebagainya.
Khusus untuk korban bencana mengalami penurunan signifikan
sehubungan dengan telah selesainya permasalahan paska gempa bumi.
Fasilitas sosial yang dimiliki di DIY diantaranya adalah Panti Asuhan
sebanyak 76 unit, Panti Wreda 6 unit dan Kelompok Bermain 12 unit serta
Penitipan Anak 7 unit.Penyandang maalah sosial di DIY tercatat 131.437
penduduk yang dikategorikan memiliki masalah sosial.
Komitmen pertama dalam MDGs adalah penanggulangan kemiskinan dan
kelaparan. Hal ini menyiratkan bahwa kemiskinan merupakan masalah
yang mendesak untuk segera ditanggulangi. Penduduk miskin secara
makro dihitung dengan pendekatan kebutuhan minimum seseorang untuk
dapat hidup layak (basic needs approach). Kebutuhan minimum tersebut
mencakup kebutuhan makanan dan kebutuhan non makanan. Dari
pengukuran kebutuhan minimum komoditas makanan dan non makanan
tersebut diperoleh batas yang disebut sebagai garis kemiskinan. Garis
tersebut merupakan penjumlahan dari garis kemiskinan makanan dan
garis kemiskinan non makanan. Orang orang yang mempunyai
pendapatan dibawah garis kemiskinan dikatagorikan sebagai penduduk
miskin. Sebaliknya, dikategorikan sebagai penduduk tidak miskin.
Indikator kemiskinan di DIY secara berturut turut sejak tahun 2006 sampai
2011 mengalami penurunan, tahun 2006 prosentase penduduk miskin di
DIY sebesar 19,15%, tahun 2008 sebesar 18,02%, tahun 2009 sebesar
16,86%, tahun 2010 sebesar 16,83% sedangkan pada tahun 2011 data
terakhir menunjukkan angka 16%.

Peta Kemiskinan di Provinsi DIY

Sumber: : Bappeda Provinsi DIY Tahun 2011
Gambar 2. Peta kemiskinan Provinsi DIY
Menurut Badan Pusat Statistik DIY tahun 2011 tercatat garis kemiskinan di
DIY senilai Rp.249.629,- per kapita sebulan, atau meningkat 11,31 persen
dibanding tahun 2010. Peta kemiskinan di DIY seperti dalam gambar
diatas masih ditemui kantong-kantong kemiskinan di Kabupaten Gunung
Kidul dan Kulon Progo. Hal ini juga dapat dilihat dalam pencapaian Indeks
Pembangunan Manusia (IPM), yang meliputi pencapaian Angka Harapan
hidup, Angka Melek Hurup, Angka rata rata lama sekolah dan
pengeluaran perkapita yang disesuaikan. Pada tabel dibawah ini yang
menunjukkan bahwa meskipun DIY rangking 4 dalam capaian IPM namun
ada Kabupaten yang masih pada peringkat 283 yaitu Kabupaten Gunung
Kidul, data selengkapnya tentang IPM tahun 2011 sebagaiberikut :


Tabel 2. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di DIY

(b) Pendidikan
DIY mempunyai institusi pendidikan sebagai berikut, untuk jenjang TK
hingga Sekolah Menengah Atas tercatat 5.178 unit dengan perincian di
Kota Yogyakarta 533 unit, Sleman 1.297 unit, Gunung Kidul 1.409 dan
Bantul 1.094 unit serta 845 unit di Kulon Progo. Jenjang perguruan tinggi
pada tahun 2011 tercatat 10 perguruan tinggi negeri dan 112 swasta.
Angka melek huruf merupakan salah satu indikator dalam mencapai
Indeks Pembangunan Manusia (IPM), angka melek huruf di DIY yang
sebesar 90,84 % termasuk pada peringkat ke 23 dalam IPM secara
Nasional. Tetapi rata rata lama sekolah di DIY masih dirasa cukup tinggi
yaitu sebesar 9,07 tahun yang emerupakan peringkat ke 3 setelah Riau
dan DKI.
Indikator mutu pendidikan di DIY dapat dilihat dari tingginya angka
partisipasi, yang terdiri dari Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka
Partisipasi Murni (APM). Angka Partisipasi Kasar (APK) untuk jenjang
SD/MI DIY pada tahun 2010 sebesar 99,69 persen. APM tingkat SLTP
pada tahun 2010 sebesar 94,02 persen, sedangkan untuk SLTA sebesar
73,06 persen (tahun sebelumnya 72,26 persen). Dibanding dengan tahun
sebelumnya angka-angka tersebut mengalami kenaikan walaupun relatif
kecil.
Anak berkebutuhan khusus yang mengikuti pendidikan telah mencapai
63,24%. Angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas mencapai
85,8 % sebagian besar berusia >45 tahun. Angka melek huruf pada
penduduk pria dan wanita relatif sama yaitu sekitar 70,8%.
Tingkat partisipasi pendidikan anak usia dini (0-6 tahun) dalam mengikuti
pendidikan pra-sekolah sudah mencapai 70%. Angka Partisipasi Sekolah
(APS) penduduk usia 7-12 tahun sebesar 100%, APS penduduk usia 13-
15 tahun sebesar 100% dan APS penduduk usia 16-18 tahun sebesar
79,89 %. APS tersebut telah melampaui SPM sebesar 95%, 95% dan
60,00%.
Produksi tenaga kesehatan oleh sarana pendidikan cukup tinggi namun
daya serapnya masih rendah. Institusi pendidikan kesehatan di provinsi
DIY berkembang. Sejak tahun 2009 tercatat jumlah institusi
penyelenggara pendidikan mencapai 51 dengan perincian sebagai berikut
: D3 keperawatan sebanyak 11, D3 Gizi 3, D3 Analis 2, D3 Lingkungan 2,
D3 Kebidanan 7 dan D3 Farmasi 1. Sedangkan jenjang S1 adalah
Fakultas Kedokteran 3, Fakultas Kedokteran Gigi 1, Farmasi 4, Kesehatan
Masyarakat 4 Keperawatan 8 dan Gizi 1.
Pola manajemen pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan
menyesuaikan dengan Pemerintah Daerah, namun koordinasi
peningkatan kualitas tenaga dengan lembaga pendidikan masih kurang.
Peran swasta cenderung kurang terkendali dalam arti kegunaan dan mutu
belum sesuai kebutuhan dan kemampuan penyerapan yang diakibatkan
terbatasnya dana dalam rekruitmen dan pemeliharaan tenaga,
profesionalisme, kompetensi dan etika SDM kesehatan, serta berkaitan
dengan proses produksi (pendidikan, training).
(c) Kebudayaan
Nilai-nilai budaya tumbuh dan hidup dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat DIY. Pada sisi lain muncul gelombang modernisme yang
memunculkan gejala lunturnya budaya lokal dalam kehidupan sehari-hari.
Berbagai kesenian hidup dan berkembang.
Seni pertunjukan, seperti seni tari dan teater dikelola oleh 2.924 kelompok
yang tersebar di 78 kecamatan. Kesenian non pertunjukan, seperti seni
rupa, seni kerajinan, cukup banyak dan tersebar, dikelola perorangan
maupun kelompok dalam bentuk sanggar Budaya lokal Yogyakarta
memberi tempat tinggi pada tradisi yang menekankan hirarkhi sosial kuat
sehingga sulit menjalankan perubahan.
(d) Pemberdayaan Perempuan, Anak dan Remaja
Pemberdayaan perempuan, anak, remaja telah menunjukkan
peningkatan. Partisipasi remaja/pemuda dalam pembangunan semakin
membaik. Taraf kesejahteraan sosial masyarakat cukup memadai sejalan
berbagai upaya pemberdayaan, pelayanan, rehabilitasi, dan perlindungan
sosial bagi masyarakat rentan termasuk Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS), pecandu narkotik dan obat-obat terlarang.
Permasalahan kesetaraan gender di berbagai bidang seperti pendidikan,
kesehatan, ekonomi masih belum optimal.Sejalan dengan itu upaya
perlindungan terhadap perempuan dan anak dari tindak kekerasan
dengan peran serta penuh dari masyarakat juga menjadi tantangan dalam
menjamin terlaksananya pemberian hak secara layak.
(e) Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Informasi (IPTEK)
Nilai tambah yang diciptakan oleh sektor pertambangan dan penggalian di
DIY hanya menyumbang sekitar 0,67% PDRB karena tidak adanya
pertambangan migas atau non migas selain penggalian bahan galian
golongan C. Hasil pengembangan Iptek tercermin melalui berbagai
publikasi ilmiah yang mengindikasikan banyaknya kegiatan penelitian.
Pemanfaatan hasil penelitian dan pengembangan iptek relatif masih
rendah disebabkan antara lain belum efektifnya intermediasi, lemahnya
sinergi kebijakan antara pengembang dan pemakai iptek, belum
berkembangnya budaya iptek dan masih terbatasnya sumber daya iptek.
Pengembangan dan pemanfaatan teknologi informasi (TI) sangat pesat
dengan indikator melek TI sebesar 20% dari jumlah penduduk dan terus
akan meningkat di masa yang akan datang. Pemanfaatan TI akan
semakin berkembang baik untuk pihak swasta maupun pemerintah.
Pengembangan TI akan banyak dilakukan oleh pendidikan baik oleh
institusi pemerintah maupun swasta.
(f) Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Keterbatasan lapangan kerja menyebabkan tidak semua angkatan kerja
yang tersedia dapat terserap di pasar kerja. Pada tahun 2010 tercatat 5,69
persen angkatan kerja yang tidak terserap oleh pasar kerja, atau yang
biasa disebut sebagai pengangguran terbuka (TPT).
Berdasarkan data dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi tercatat
jumlah pencarikerja pada tahun 2010 sebanyak 129.793 orang, turun
sekitar 4% dibanding tahun sebelumnya (135.207 orang). Mereka terdiri
dari 53,8% laki-laki dan 46,13% perempuan. Dari jumlah tersebut 40,09%
berpendidikan SLTA, 13,89% DI-IV, sebanyak 42,44% DIV-S1 serta
0,19% S1-S2. Sedangkan SLTP sebanyak 2,32% dan SD sebesar 0,34%.
Persentase lowongan pekerjaan yang tersedia sebesar 18,06%
sedangkan persentase penempatan sebesar 13,82% dari total pencari
kerja yang ada di Provinsi DIY.
Berdasarkan data tahun 2003 2008 tingkat partisipasi angkatan kerja
(TPAK) DIY yang merupakan persentase antara jumlah penduduk
angkatan kerja dengan jumlah penduduk usia kerja menunjukkan angka
yang fluktuatif atau rata-rata setiap tahun sebesar 78,75%, sedangkan
Tingkat Pengangguran Terbuka (open unemployement) atau TPT yang
merupakan persentase perbandingan antara jumlah penduduk yang
ingin/sedang mencari pekerjaan dengan angkatan kerja juga menunjukkan
angka yang fluktuatif atau rata-rata setiap tahun sebesar 5,90%. Struktur
pencari kerja didominasi oleh kaum perempuan dan dasar pendidikan
sebagian besar SLTA.
Jumlah pengangguran terbuka pada penduduk dengan umur diatas 15
tahun sesuai tingkat pendidikannya adalah sebagai berikut : pendidikan
tertinggi dibawah SD 1.026 orang, SD 4.940, SLTP 10.708, SMTA
sebesar 42.038 orang dan tingkat Diploma sebesar 14.705 orang serta
perguruan tinggi yang paling banyak yaitu sebesar 74.317 orang.
Sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja adalah sektor pertanian
kemudian disusul sektor jasa-jasa lainnya. Realitas ini menunjukkan
bahwa untuk sektor pertanian dan sektor jasa relatif memberikan
kontribusi paling banyak dalam menyerap tenaga kerja. Demikian juga
peranan sektor pertanian cukup dominan dalam menciptakan lapangan
kerja. Sektor yang potensial dikembangkan yaitu sektor pariwisata, sektor
perdagangan dan industri terutama industri kecil menengah serta
kerajinan dapat dikembangkan sebagai penunjang keterserapan tenaga
kerja.
Sebagai upaya melakukan pemerataan penyebaran penduduk antar
wilayah di Indonesia, pemerintah melakukan transmigrasi penduduk.
Jumlah transmigrans di DIY tahun 2010 tercatat sebanyak 250 KK atau
824 jiwa. Jumlah KK transmigrans terbanyak berasal dari Kabupaten
Kulon Progo serta daerah penempatan terbanyak adalah Provinsi
Sulawesi Selatan.
(g) Agama
(1) Komposisi pemeluk agama di DIY tahun 2010 terdiri dari 92,03%
agama Islam, 4,94% agama Katholik, 2,7% agama Kristen, 0,17%
agama Hindu dan 0,15% agama Budha.
(2) Kerukunan antar umat beragama berkembang dengan baik,
ditunjukkan oleh tidak berkembangnya konflik agama antar pemeluk
agama.
(3) Jumlah jamaah haji DIY yang berangkat pada tahun 2010/1430 H
sebanyak 3.165 orang atau meningkat 2,86% dibanding tahun
sebelumnya. Berdasarkan asal jamaah, sebagian besar berasal dari
Kabupaten Sleman, Bantul dan Kota Yogyakarta masing-masing
sebesar 38,8%, 27,90% dan 15,89%.
2.6. Pemerintahan dan Politik
(a) Pemerintahan dan Politik
(1) Pemerintahan dan politik cukup stabil karena sebagian besar masih
memandang Kraton sebagai penguasa wilayah. Peran serta dan dialog
birokrasi, organisasi sosial-politik, dan kemasyarakatan berjalan baik.
(2) Tuntutan Good governance dilaksanakan dengan pembenahan dan
pengembangan aspek kapasitas pemerintahan dan perubahan
paradigma penyelenggaraan pemerintahan.
(3) Kondisi sosial politik cukup dinamis yang dipengaruhi hubungan
sinergis pihak-pihak terkait dan didorong oleh perubahan peran
pemerintah dari pembina menjadi regulator, fasilitator dan pelayanan.
(4) Perubahan mendasar terjadi dengan pengembalian asas kesatuan
daerah, pelaksanaan hubungan kewenangan antara Pemerintah,
Provinsi dan Kabupaten/Kota atau antar pemerintahan daerah.
(5) Dalam konteks desentralisasi, pemerintah daerah telah menjalankan
otonomi seluas-luasnya. Tuntutan masyarakat terhadap kuantititas
dan kualitas pelayanan publik akan terus semakin meningkat.
(b) Hukum
(1) Ditetapkannya UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, maka proses pembentukan hukum
dan peraturan perundang-undangan, termasuk peraturan daerah,
dapat diwujudkan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan
standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang.
(2) Penegakan hukum dan perundang-undangan masih perlu ditingkatkan.
Tindak kejahatan dan kriminalitas semakin tinggi dan bervariasi
(3) Pada era pasar bebas dan globalisasi, telah dilakukan kerjasama dan
fasilitasi dengan berbagai pihak baik dalam maupun luar negeri.
2.7. Prasarana Wilayah
(a) Transportasi
(1) Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor rata-rata 13% per tahun dan
kendaraan pribadi 28% per tahun yang didominasi oleh sepeda motor.
Angkutan umum sebesar 20% dan kendaraan barang sebesar 15%.
(2) Volume lalu-lintas melebihi kapasitas jalan, penyalahgunaan ruas jalan
dan tingginya penggunaan kendaraan pribadi menyebabkan
kemacetan lalu-lintas, terutama di jaringan jalan pusat kota. Dampak
peningkatan volume kendaraan dan perilaku pengendara juga terjadai
pada tingkat risiko kecelakaan yang semakin tinggi. Intra cranial injury
(kecelakaan) telah menempati urutan kedua terbanyak sebagai
penyebab kematian. Kecelakaan lalu lintas di DIY mengalami
peningkatan cukup besar.
(3) Telah dilakukan perubahan manajemen angkutan umum dengan
konsep buy the service sebagai upaya memperbaiki pelayanan serta
jalur kereta api ganda yang menghubungkan Stasiun Solo Balapan-
Stasiun Tugu Yogyakarta-Stasiun Kutoarjo.
(4) Bandara internasional baru direncanakan telah beroperasi di wilayah
Kabupaten Kulonprogo pada tahun 2019. Kegiatan operasional
penerbangan akan meningkat sangat tinggi demikian pula dengan
animo maskapai penerbangan untuk membuka jalur penerbangan.
Keberadaan bandara akan lebih maju lagi dengan adanya
pengembangan jalur angkutan terintegrasi antara darat, laut, dan
udara.
(b) Sumber Daya Air
(1) Sumber daya air utama di DIY adalah Wilayah Sungai Progo-Opak-
Oyo yang berasal dari daerah aliran sungai (DAS) Progo, Opak dan
Serang. Sumberdaya air dimanfaatkan untuk irigasi, kebutuhan rumah
tangga, industri, tenaga listrik dan penggelontoran kota.
(2) Kebutuhan air untuk rumah tangga dipenuhi melalui sistem air pipa
PDAM, sumur dan hidran umum. Pemanfaatan air untuk
penggelontoran dilakukan dalam sistem penggelontoran sanitasi
perkotaan dengan air permukaan.
(3) Terjadi penurunan kuantitas dan kualitas air sebagai akibat
terganggunya fungsi hidrologi sebagai dampak penggunaan
tanah/alih fungsi lahan dan pengelolaan tanah yang tidak
dikendalikan di daerah tangkapan air. Selain itu juga terjadi pemakaian
air yang tidak efisien, terutama untuk keperluan irigasi dan kolam ikan.

(c) Keciptakaryaan
(1) Pembangunan perumahan permukiman mengarah ke wilayah
Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta (APY). Perkembangan perumahan
dan permukiman meningkatkan konversi lahan pertanian menjadi
perumahan dan bangunan.
(2) Kebutuhan air minum mengalami peningkatan sejalan dengan
peningkatan penduduk dan kegiatan masyarakat.
(3) Saat ini masih banyak limbah cair industri yang dibuang langsung ke
sistem air limbah terpusat atau ke lingkungan sekitar tanpa ada
pengolahan. Cakupan pelayanan air limbah terpusat baru mencapai
4% (di Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta). Total cakupan pelayanan
limbah dan sanitasi berkisar 51.8%.
(4) Pelayanan pengangkutan sampah masih rendah. Pelayanan
pengangkutan sampah di Tempat Pembuangan akhir (TPA) baru
mencapai sekitar 35% dari total produksi sampah.
(5) Cakupan sistem drainase mencapai sekitar 53.42%. Sistem ini
mengandalkan keberadaan sungai-sungai yang melintas sebagai
drainase induk yang cenderung meningkatkan terjadinya pencemaran
air sungai.
(6) Permasalahan pembangunan sampah dan drainase, antara lain
pencemaran lingkungan dan jumlah sampah, terbatasnya lahan
tempat pembuangan akhir, tidak berfungsinya saluran drainase.

2.8. Struktur dan Pola Ruang
(a) Wilayah di luar DIY yang secara langsung maupun tidak mempengaruhi
pola pemanfaatan ruang dan perkembangan pembangunan, antara lain:
(a) Semarang Solo Cilacap; (b) Magelang-Klaten-Purworejo-Salatiga-
Wonogiri-Sukoharjo; (c) Wilayah terpadu Joglosemar, Pawonsari
Bakulrejo, Gelangmanten.
(b) Implikasi wilayah eksternal dalam penataan ruang wilayah adalah:
(1) Semakin meningkatnya kegiatan bersifat perkotaan dalam hal ini
aksesibilitas, kompatibilitas dan fleksibilitas;
(2) Stuktur tata ruang wilayah DIY secara internal dipengaruhi oleh kondisi
topografi dan geografis wilayah, yang meliputi kawasan tertentu
nasional (lindung dan cagar budaya), kawasan cepat tumbuh, kawasan
potensial untuk berkembang, kawasan yang kritis lingkungan Provinsi
DIY.
(c) Kawasan-kawasan di DIY yang secara langsung maupun tidak langsung
mempengaruhi pola pemanfaatan ruang dan perkembangan
pembangunan di DIY, antara lain:
(1) Kawasan Fungsional yang meliputi Hutan Lindung (Kabupaten Gunung
Kidul dan Kulon Progo), Hutan Konservasi (Suaka Margasatwa, Taman
Nasional, Cagar Alam/Taman Wisata Alam, Taman Hutan Raya);
(2) Wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS Progo, DAS Opak-Oyo dan DAS
Serang);
(3) Kawasan tertentu nasional (Taman Nasional Gunungapi Merapi,
Kawasan Cagar Budaya: Keraton, candi-candi, Kawasan Rawan
Bencana: jalur patahan Opak, wilayah Gunung Merapi, dan rawan
tsunami, banjir dan air pasang di pesisir pantai Kulon Progo dan
Bantul);
(4) Kawasan yang cepat tumbuh (Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta, yang
meliputi Kota Yogyakarta, sebagian Kabupaten Sleman, dan Bantul
yang berbatasan dengan Kota Yogyakarta);
(5) Kawasan yang potensial untuk berkembang (Kabupaten Bantul:
Sewon, Kasihan, Banguntapan, Sedayu, Srandakan, Imogiri dan
Piyungan; Kabupaten Sleman: Godean, Gamping, Pakem, Depok;
Kabupaten Kulonprogo: Wates, Temon, Pengasih, Sentolo, dan
Nanggulan; Kabupaten Gunungkidul: Wonosari, Bunder, Rongkop,
Sadeng);
(6) Kawasan yang kritis lingkungan (Kabupaten Gunungkidul: di
Purwosari, Panggang, Tepus, dan Rongkop; Kabupaten Bantul: di
Worotelo, Wukirsari, Muntuk, Jatimulyo, Sendangsari, dan Dlingo;
Kabupaten Kulonprogo: Kalibawang, Samigaluh, Girimulyo, dan
Kokap).
(d) Karakteristik tata ruang internal DIY ditandai tingginya kebutuhan ruang
untuk kegiatan budidaya namun dilain pihak menghadapi keterbatasan
daya dukung maupun daya tampung lingkungan. Wilayah DIY seluas
318.580 Ha, dengan 47,188% (150.332 Ha) merupakan kawasan lindung
(belum termasuk rawan gempa).



BAB III
SITUASI DERAJAT KESEHATAN

Situasi Derajat Kesehatn di suatu wilayah digambarkan dalam berbagai indikator
derajat kesehatan. Indikator yang dinilai paling peka dan telah disepakati secara
nasional sebagai ukuran derajad kesehatan suatu wilayah meliputi : (1) Umur
Harapan Hidup, (2) Angka Kematian Ibu, (3) Angka Kematian Bayi, (4) Angka
Kematian Balita, dan (5) Status Gizi Balita / bayi. Dalam mencapai Indikator Derajat
Kesehatan di Daerah Istimewa Yogyakarta telah mencapai target yang diharapkan,
hal ini terbukti dengan diterimanya penghargaan untuk DIY pada tahun 2008 yaitu
penghargaan Manggala Bhakti Husada Kartika dari Presiden yang merupakan
sebuah penghargaan atas prestasi sebagai provinsi dengan derajad kesehatan
terbaik di Indonesia. Situasi derajat kesehatan terkini di wilayah Daerah Istimewa
Yogyakarta adalah :
3.1. MORTALITAS
3.1.1 Umur Harapan Hidup (UHH)
Salah satu indikator derajat kesehatan adalah Umur Harapan Hidup, seperti
indikator derajat kesehatan lainnya, UHH diperoleh melalui survai yang
dilaksanakan oleh Badan Pusat Satatistik (BPS) yang pelaksanaannya tidak tentu
setiap tahunnya, sehingga angka tesebut tidak setiap tahun tersedia, tetapi dalam
menggambarkan indikator tersebut maka dapat diperoleh melalui laporan rutin
yang diperoleh melalui fasilitas kesehatan dengan mekanisme tertentu
disampainan kepada Dinas Kesehatan, sehingga dapat diperoleh angka absolut
atau indikator yang berbasis fasilitas (dilaporkan).
Peningkatan umur harapan hidup di DIY merupakan yang terbaik di Indonesia
bersama dengan DKI dan Bali, namun demikian bila dibandingkan dengan
negara-negara Asia Tenggara masih tetap lebih rendah (misal Singapura). Berikut
gambaran perkembangan UHH sesuai hasil Sensus Penduduk dari tahun 1971
sampai dengan Sensus Penduduk Tahun 2010 di Provinsi DIY bersumber dari
BPS.

Gambar 3 : Umur Harapan Hidup Penduduk DIY Hasil Sensus Penduduk
Jika dirunut sejak tahun 1971, telah terjadi peningkatan yang cukup signifikan
selama 30 tahun dari tahun tersebut yang baru mencapai 45,5 tahun. Gambaran
perkembangan tersebut memperlihatkan telah terjadinya transisi demografi di
DIY yang sebenarnya telah dimulai pada masa 90-an yang ditunjukkan dengan
semakin meningkatnya usia lanjut. Umur Harapan Hidup meningkat menjadi
sebesar 73,27 tahun untuk DIY sesuai hasil Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
pada tahun 2011 dari sumber data PBS DIY yang terakhir.
Peningkatan umur harapan hidup ini dipengaruhi oleh multifaktor yang dalam hal
ini kesehatan menjadi salah satu yang berperan penting didalamnya. Peran
pengaruh kesehatan ditunjukkan dari semakin menurunnya angka kematian,
perbaikan sistem pelayanan kesehatan dan perbaikan gizi di masyarakat.
Transisi demografi yang ditunjukkan dengan peningkatan jumlah kelompok usia
lanjut ini juga membawa konsekuensi meningkatnya penyakit-penyakit
degeneratif di DIY. Penyakit-penyakit degeneratif tersebut dicirikan dengan
adanya kebutuhan longterm care. Dengan demikian di DIY sudah saatnya untuk
memulai pengembangan pelayanan jangka panjang tersebut.

3.1.2. Angka Kelahiran
Beberapa metode perhitungan untuk menghitung angka kelahiran kasar di
D.I.Yogyakarta sejak tahun 1968 sampai tahun 2009 yang dilakukan oleh BPS
menunjukkan bahwa pada tahun 1968 mengalami penurunan dari 35,2 menjadi
tahun 2009 sebesar 13,4. Berdasarkan parameter Hasil Proyeksi Penduduk
SP2000 di Provinsi D.I.Yogyakarta Tahun 2000 2025 dari BPS 2006/2007,
taksiran jumlah total anak yang dilahirkan oleh 1000 wanita bila para wanita
tersebut secara terus manerus hamil pada saat mereka berada dalam tingkat
fertilitas menurut usia pada saat sekarang atau rata-rata jumlah anak yang dapat
dilahirkan seorang wanita selama masa hidupnya dari tahun 2000 2025 tidak
mengalami peningkatan yaitu 1,4 . Dapat diinterpretasikan bawa jumlah anak
yang dilahirkan oleh seorang ibu selama hidupnya adalah 1,4.


Sumber : BPS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 2011
Gambar 4. Perkiraan Angka Kelahiran Kasar Provinsi DIY
Jumlah kelahiran pada tahun 2011, jumlah kelahiran (hidup dan mati) adalah
sebanyak 45.081 dengan jumlah kasus lahir mati sebanyak 242. Dengan
demikian, jumlah lahir hidup pada tahun 2011 sebanyak 44.839. Pada tahun
2012 jumlah kelahiran sebesar46.104 dengan kasus lahir mati sebanyak 360
bayi. Jumlah kelahiran dan kematian yang dilaporkan meningkat dari tahun 2011.
3.1.3.Angka Kematian Ibu
Kematian ibu telah menunjukkan penurunan signifikan dalam kurun waktu 30
tahun terakhir. Secara Nasional angka kematian ibu di DIY juga tetap menempati
salah satu yang terbaik.Meskipun demikian angka yang dicapai tersebut masih
relatif tinggi jika dibandingkan dengan berbagai wilayah di Asia Tenggara.
Berdasarkan data dari BPS, angka kematian ibu dalam 4 tahun terakhir
menunjukkan penurunan yang cukup baik. Angka terakhir yang dikeluarkan oleh
BPS adalah tahun 2008, di mana angka kematian ibu di DIY berada pada angka
104/100rb kelahiran hidup, menurun dari 114/100rb kelahiran hidup pada tahun
2004. Sedangkan pada tahun 2011, jumlah kasus kematian ibu yang dilaporkan
kabupaten/kota pada tahun 2011 mencapai 56 kasus, meningkat dibandingkan
tahun 2010 sebanyak 43 kasus. Tahun 2012 jumlah kematian ibu menurun
menjadi sebanyak 40 kasus sesuai dengan pelaporan dari Dinas kesehatan
Kab/Kota, sehingga apabila dihitung menjadi Angka Kematian Ibu Dilaporkan
sebesar 87,3 per 100.000 kelahiran hidup.
Meskipun angka kematian ibu terlihat kecenderungan penurunan, namun terjadi
fluktuasi dalam 3 5 tahun terakhir. Target MDGs di tahun 2015 untuk angka
kematian Ibu nasional adalah 102/100rb kelahiran hidup, dan untuk DIY relatif
sudah mendekati target, namun masih memerlukan upaya yang keras dan
konsisten dari semua pihak yang terlibat.
Tabel 3. Jumlah Kematian Ibu & Anak di DIY Tahun 2010-2011

3.1.4.Angka Kematian Bayi
Angka Kematian Bayi (AKB) di D.I. Yogyakarta dari tahun 2010 sesuai hasil
sensus penduduk tahun 2010 yang telah dihitung oleh BPS Provinsi DIY adalah :
laki-laki sebesar 20 bayi per 1000 kelahiran hidup, sedangkan perempuan
sebesar 14 per 1000 kelahiran hidup. HasilSurvai Demografi dan Kesehatan
(SDKI) tahun 2012 menunjukkan bahwa Angka Kematian Bayi di DIY mempunyai
angka yang relatif lebih tinggi, yaitu sebesar 25 per 1.000 kelahiran hidup (taget
MDGs sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2015). Apabila melihat
angka hasil SDKI 2012 tersebut, maka masalah kematian bayi merupakan hal
yang serius yang harus diupayakan penurunannya agar target MDGs dapat
dicapai. Angka kematian bayi menurut SDKI 2012 seperti pada gambar berikut :

Gambar 5. Angka Kematian Bayi per 1000 kelahiran hidup
Hasil sensus penduduk sejak tahun 1971 sampai dengan sensus tahun 2010
menunjukkan bahwa terjadi penurunan yang sangat signifikans angka kematian
bayi dari 102 bayi per 1000 kelahiran hidup sampai 17 bayi per 1000 kelahiran
hidup pada tahun 2010 (sesuai hasil sensus penduduk). Sedangkan menurut
proyeksi BPS dari hasil sensus penduduk tahun 2000 pada kurun waktu 2000-
2005 (5 tahun) penurunan AKB rata-rata per tahun adalah 3,9%. Sedangkan
untuk periode tahun 2005 -2010 penurunan AKB rata-rata per tahun adalah 2,5%
dan periode 2010 - 2015 adalah 1,7%. Periode tahun 2020 - 2025 diperkirakan
tidak terjadi penurunan karena tingkat kematian yang sudah sangat kecil
(hardrock) yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang sangat sulit untuk
dikendalikan diantaranya faktor genetik.
Sebagaimana gambaran perkembangan angka kematian ibu, angka kematian
bayi di DIY juga mengalami penurunan yang sangat signifikan jika dibandingkan
dengan sebelum tahun 1990. Laporan kabupaten / kota menunjukkan bahwa
pada tahun 2011 terjadi sebanyak 419 bayi meninggal dengan berbagai sebab.
Angka kematian bayi tahun 2011 masih tetap / sama dengan tahun sebelumnya
yaitu 17 per 1000 kelahiran hidup.
Angka Kematian Bayi tahun 2011 jauh lebih baik dibandingkan 20 tahun
sebelumnya yang mencapai 62 / 1000 kelahiran hidup (tahun 1980). Dengan
pola penurunan tersebut maka diprediksikan pada tahun 2013 angka kematian
bayi di DIY diharapkan akan mencapai 16 / 1000 kelahiran hidup.Pola penurunan
dan kenaikan angka kematian bayi sensitif terhadap berbagai faktor lain. Seperti
yang terlihat pada periode tahun 1997 sampai dengan 1999 dimana terjadi krisis
multidimensi yang berdampak secara tidak langsung kepada peningkatan angka
kematian bayi di DIY. Secara Nasional, target MDGs untuk angka kematian bayi
pada tahun 2015 ditargetkan akan menurun menjadi dua pertiga dari kondisi
tahun 1999 (dari 25/1000 kelahiran hidup menjadi 16/1000 kelahiran hidup).
3.1.5. Angka Kematian Balita
Angka kematian balita memiliki kecenderungan penurunan yang cukup baik.
Tahun 1971 tercatat tingkat kematian balita yang sangat tinggi yaitu mencapai
152 / 1000 kelahiran hidup. Angka tersebut secara berangsur turun dan 20 tahun
kemudian menjadi 54/1000 kelahiran hidup,tahun 2002 sudah mencapai 30 /
1000 kelahiran hidup dan data tahun 2010 telah mencapai angka 19/1000
kelahiran hidup.

Gambar6 : Angka Kematian Balita Propinsi DIY Tahun 1971 - 2010
(Sumber Sensus, SDKI, Supas, Profil Depkes, Profil Dinkes DIY)
Pola penurunan sedikit mengalami pola yang berbeda pada kisaran tahun 1997
sampai dengan 2002 yang kemungkinan disebabkan oleh adanya krisis multi
dimensi di Indonesia. Laporan kabupaten / kota tahun 2011 menunjukkan jumlah
kematian anak balita sebanyak 50 kasus. Sedangkan pada tahun 2012 kematian
anak balita dilaporkan sebanyak 50 kasus.
Dengan pola penurunan sejak tahun 1971 tersebut maka diprediksikan di tahun
2013 angka kematian balita akan mencapai 16/1000. Secara Nasional target
MDGs untuk angka kematian balita pada tahun 2015 ditargetkan akan menurun
menjadi dua pertiga dari kondisi tahun 1999. Tetapi apabila dilihat dari hasil
SDKI tahn 2012 di DIY angka kematian Balita mencapai 30 per 1.000 kelahiran
hidup (terendah kedua secara Nasional, setelah Riau) dengan target MDGs
pada tahun 2015 sebesar 32 per 1.000 kelahiran hidup. Hal yang bebeda dapat
dilihat pada hasil pelaporan bahwa jumlah kematian balita di DIY tahun 2012
sebesar 450 balita (sehingga angka kematian balita dilaporkan sebesar 9,8 per
1.000 kelahiran hidup).
3.2. MORBIDITAS
3.2.1. Pola penyakit
Pola penyakit di DIY dapat dipantau melalui Sistem Survailans Terpadu Penyakit
di Puskesmas selin dari hasil pemantauan kunjungan pasien di Puskesmas. Hasil
pemantauan melalui STP di tingkat Puskesmas diamati setiap bulan berdasarkan
laporan dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang selanjutnya
disampaikan kepada Dinas Kesehatan DIY untuk dilakukan pengolahan dan
pengamatan secara terus menerus terhadap penyakit yang berpotensi
menyebabkan terjadinya wabah. Penyakit menular yang selalu masuk dalam
sepuluh besar penyakit di Puskesmas selama beberapa tahun terakhir adalah
ISPA, penyakit saluran nafas (Bronchitis, Asma, Pneumonia), dan diare.
Sementara untuk Balita, pola penyakit masih didominasi oleh penyakit-penyakit
infeksi.
Hasil pengolahan untuk laporan Survailans Terpadu Penyakit di tingkat
Puskesmas adalah sebagai berikut :

Gambar 7 : Distribusi 10 besar penyakit pada Puskesmas di DIY Januari sampai
dengan Desember 2012
Laporan STP Rumah Sakit rawat jalan juga dilakukan pengolahan dengan hasil
yang tidak jauh berbeda dari laporan di tingkat Puskesmas yaitu pola penyakit
masih didominasi oleh penyakit infeksi, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
gambar berikut :

Gambar 8. Pola Penyakit Rawat Jalan di Rumah Sakit (Sistem Survailans Terpadu)
Tahun 2012
Berdasarkan laporan SIRS tahun 2012 dapat diketahui bahwa kunjungan rawat
jalan di Rumah Sakit juga masih didominasi oleh penyakit infeksi saluran
pernafasan dan diikuti oleh demam.Pola penyakit rawat jalan di puskesmas
maupun rumah sakit tidak jauh berbeda pada tahun-tahun sebelumnya, dimana
penyakit-penyakit infeksi masih merupakan sepuluh besar penyakit yang
dominan di DIY.

Gambar 9. Pola Penyakit rawat Jalan di RS th 2012 (Laporan SIRS 2012)
Penyakit-penyakit infeksi diantaranya diare masih mendominasi sepuluh besar
penyakit pada rawat inap di Rumah Sakit tahun 2012.Menarik bahwa pada
banyak kasus kunjungan, penyakit Hipertensi telah menjadi penyakit paling
dominankedua bagi kelompok keluarga di DIY. Tidak seperti ISPA, besaran
persentase penyakit hipertensi menurut kabupaten kota cukup bervariasi.
3.2.1.1. Pola Penyakit Menular
Penyakitpenyakit yang sudah menurun seperti tuberkulosa paru dan malaria,
masih memiliki potensi untuk meningkat kembali (re-emerging) mengingat kondisi
perilaku dan lingkungan (fisik, ekonomi, sosial, budaya) masyarakat yang kurang
mendukung. Kondisi tergambar dari masih belum tereliminasinya berbagai
penyakit tersebut dan masih tingginya faktor risiko baik perilaku maupun
lingkungn di masyarakat. Di sisi lain penyakit endemis seperti DBD sampai saat
ini masih tetap menjadi ancaman.
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
35000
40000
45000
Infeksi saluran napas bagian atas akut
Lainnya
Demam yang sebabnya tidak diketahui
Dermatosis akibat kerja
Faringitis akut
Penyakit sistem napas lainnya
Dispepsia
Penyakit pulpa dan periapikal
Penyakit telinga dan proseus mastoid
Cedera YDT lainnya.YTT dan daerah badan
mutipel
Hipertensi esensial (primer)
a. DBD
Tingkat kematian penyakit DBD (case fatality rate) pada tahun 2011 lebih
rendah dari rata-rata nasional. Data program P2M tahun 2011 menunjukkan
bahwa CFR (case fatality rate / angka kematian) DBD DIY sebesar0,5
(nasional <1) denganincident rate/angka insidensi tahun 2011 sebesar 28,8
/100.000 penduduk. Sedangkan untuk tahun 2012 menglami penurunan CFR
yaitu sebesar 0,21. Tren CFR DBD di DIY dapat dilihat pada gambar 11.

Gambar. 10. Peta kasus DBD Provinsi DIY Tahun 2012
Pada tahun 2011 angka insidensi mengalami penurunan menjadi 28,8 /
100.000 penduduk sementara untuk angka kematian / CFR mengalami
penurunan menjadi 0,5 dari keseluruhan kasus. Meskipun mengalami
penurunan namun kasus dan kematian akibat penyakit DBD masih masuk
dalam kategori tinggi. Jumlah kasus DBD pada tahun 2011 dilaporkan
sebanyak 985 kasus, dengan jumlah kematian sebanyak 5 kasus. Tahun 2012
dilaporkan sebanyak 971 kasus dengan CFR sebesar 0,21.



Gambar. 11Gambaran CFR DBD DIY (sumber Seksi P2 Dinkes DIY Tahun 2013)

Meskipun angka kejadian DBD mengalami penurunan dibanding tahun
sebelumnya, namun tingginya prevalensi penyakit DBD tidak terlepas dari
masih tingginya faktor risiko penularan di masyarakat seperti angka bebas
jentik yang masih di bawah 95% yaitu pada tahun 2011 angka bebas jentik
sebesar 86,62 rumah yang bebas dari jentik Aedes aegypti. Angka bebas
jentik untuk tahun 2012 telah mengalami peningkatan, yaitu sebesar 91,81%
sehingga diharapkan penularan dapat dikurangi yang akan berdampak pada
penurunan kasus DBD di DIY.


b. TBC
Kualitas pengobatan TBC di DIY berdasarkan laporan program P2M,
meskipun dari tahun ke tahun terus meningkat namun tetap masih rendah
yaitu angka kesembuhan baru mencapai 84,07% (target 85%). Sedangkan
untuk angka prevalensi TB pada tahun 2012 sebesar 76,88 meningkat
dibandingkan tahun 2011 sebesar 69,65. Tren prevalensi TB di DIY
berfluktuatif setiap tahunnya antara 50 sampai 76, seperti pada gambar
dibawah ini.

Grafik 12Prevalensi TB di DIY (sumber Seksi P2)


Permasalahan lain adalah penemuan penderita yang masih rendah dimana
pada tahun 2009 baru mencapai 52,6% (target 70%). Angka tersebut masih
belum beranjak membaik dengan capaian di tahun 2010 yang baru mencapai
53,3%. Sedangkan pada tahun 2011 menurun menjadi sebesar 50,8 %
dengan target yang tetap yaitu sebesar 70%.
Kontribusi penemuan Suspek UPK TB di DIY pada tahun 2012 dengan jumlah
18.457 suspek adalah : Pukesmas sebanyak 10.305 (56%), Rumah Sakit
sebanyak 4.466 (24%), dan BP4 sebanyak 3.686 (20%).
Lokasi pengobatan TB baru untuk BTA positif (sebanyak 1.220 pasien)
terbanyak di Puskesmas 55%, BP4 23% dan di Rumah Sakit sekitar 22%. Hal
ini menunjukkan bahwa pelayanan di Puskesmas masih merupakan pilihan
masyarakat untuk mencari pengobatan.


Grafik 13 Tren Jumlah Penderita TB di DIY

Penderita TBC yang tidak sembuh atau penderita yang tidak memperoleh
pengobatan karena belum ditemukan, merupakan sumber penular yang
mengancam pencapaian derajad kesehatan mengingat penyakit TBC
disamping bisa menimbulkan kematian yang tinggi juga menjadi prekursor
berbagai penyakit dengan fatal lain seperti HIV/AIDS, penyakit paru obstruksi,
dan lain sebagainya.

Sementara itu kematian dan kesakitan akibat penyakit infeksi saluran
pernafasan, menjadi penyebab kematian terbesar dan memiliki
kecenderungan peningkatan. Penyakit TBC memegang peran penting kasus
kesakitan dan kematian penyakit saluran pernafasan tersebut dan
bertanggungjawab terhadap kecenderungan peningkatannya mengingat sifat
penularan dan perilaku masyarakat

c. Malaria
Penyakit malaria telah menurun dengan sangat signifikan dalam lima tahun
terakhir. Namun demikian masih ditemukan adanya kasus penularan
indigenous malaria Kabupaten Kulonprogo. Total kasus (indigenous dan non
indigenous) tahun 2012 terlaporkan sejumlah 241 kasus terbanyak berasal
dari Kabupaten Kulonprogo.

Gambar 14. Peta Kasus Malaria DIY (sumber Seksi P2 Dinkes DIY tahun 2013)

Angka API / AMI per 100 penduduk tahun 2011 di Provinsi DIY kurang dari
0.01. Hasil pengamatan program P2M memperlihatkan bahwa episentrum
KLB malaria masih dijumpai di wilayah Kulonprogo. Sementara belum baiknya
kondisi lingkungan dan peningkatan pemanasan global dikhawatirkan akan
tetap memberikan peluang yang tinggi bagi perkembangan penyakit ini.Pada
tahun 2011 dan 2012 tidak ada kematian akibat penyakit malaria di DIY.
d. HIV/AIDS
DIY saat ini telah menempati urutan ke 17 provinsi dengan penderita penyakit
HIV/AIDS terbesar. Penularan telah berubah dengan dominasi dari jarum
suntik pengguna narkoba. Penderita HIV/AIDS terbanyak adalah kelompok
usia 20-26 tahun. Laporan program P2M tahun 2012 menunjukkan bahwa
penemuan kasus HIV/AIDS dicapai 1.940 kasus.
Dari kasus yang ditemukan sejumlah 831 kasus diantaranya telah memasuki
fase AIDS sedangkan sisanya masih dalam fase HIV positif (1.110 kasus).
Proporsi kasus berdasarkan jenis kelamin adalah : untuk kasus HIV (562
kasus laki-laki dan 399 kasus perempuan) dan untuk kasus AIDS (579 laki-laki
dan 246 perempuan).Sementara itu pada tahun 2011 terdapat 41 kematian
akibat AIDS yang meliputi 19 penderita laki-laki dan 22 penderita perempuan.
Kondisi kasus AIDS hingga Desember tahun 2012 adalah : 1.685 hidup, 205
meninggal dan tanpa diketahui sebesar 51 kasus.

Gambar 15. Distribusi ODHA berdasar Faktor Resiko

Proporsi Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di DIY berdasarkan pada Faktor
Resiko yang menyebabkan HIV/AIDS didominasi oleh perilaku Heteroseksual
sebanyak 51%, Tidak diketahui sebanyak 25%, IDUs 13% dan yang lainnya
adalah Homoseksual, Biseksual, Perinatal dan Transfusi.

e. Filariasis dan Leptospirosis
Kasus filariasis pada tahun 2011 ditemukan hanya ditemukan di Kabupaten
Gunungkidul di DIY sebanyak 6 kasus yang meliputi laki-laki 1 kasus dan
perempuan 5 kasus. Dibandingkan dengan tahun 2008, kasus leptospirosis
pada tahun 2009 mengalami peningkatan yaitu sebesar 92 kasus dengan
jumlah kematian 6 kasus. Kasus Leptospirosis tahun 2012 terlaporkan 63
kasus dengan kematian 2 kasus. Kasus menurun tajam dari tahun 2011
sebanyak 626 kasus dengan jumlah kematian sebesar 43 kasus.

f. Kusta
Penderita penyakit kusta di DIY jumlahnya kecil. Berdasarkan laporan
Kabupaten / kota Tahun 2011 jumlah penderita penyakit kusta yang berhasil
diidentifikasi mencapai 44 orang (4 PB dan 40 MB). Angka yang dilaporkan
tersebut hampir sama dibandingkan laporan tahun 2009 yang mencapai
jumlah 45 orang dan tahun 2010 sejumlah 31 orang. Sedangkan angka
penemuan kasus baru penyakit kusta (NCDR) sebesar 1 per 100.000
penduduk. Salah satu yang menjadi catatan penting dikaitkan dengan
penderita kusta adalah tingkat pencapaian pengobatan yang berhasil
mencapai 100% di tahun 2011. Kasus Kusta mengalami penurunan, tahun
2012 dilaporkan hanya 36 kasus kusta dengan perincian 23 kasus PB dan 13
kasus MB.
g. Pneumonia Balita
Pada tahun 2011 dilaporkan terdapat 1.739 kasus pneumonia pada balita
yang ditangani dari perkiraan 34.575 kasus pneumonia. Laporan dari berbagai
sarana pelayanan kesehatan pemerintah menunjukkan bahwa pada tahun
2010 dilaporkan sebanyak 1.813, sedangkan pada tahun 2012 ditemukan
2.936 kasus Pneumonia Balita, meningkat dibandingkan dengan tahun
sebelumnya.

h. Diare
Penderita diare di puskesmas di kabupaten / kota setiap tahun jumlahnya
cukup tinggi. Namun demikian hal ini belum dapat menggambarkan prevalensi
keseluruhan dari penyakit diare karena banyak dari kasus tersebut yang tidak
terdata oleh sarana pelayanan kesehatan (pengobatan sendiri atau
pengobatan di praktek swasta). Laporan profil kabupaten / kota menunjukkan
bahwa selama kurun tahun 2011 jumlah penderita diare danmemeriksakan ke
sarana pelayanan kesehatan mencapai64.857 dari perkiraan kasus sebanyak
150.362 penderita diare, sementara tahun 2012 mencapai 74.689 kasus
dilaporkan menderita diare.
g. Penyakit bisa dicegah dengan Imunisasi
Program imunisasi telah dijalankan sejak lama di seluruh wilayah Indonesia
dan telah mencapai hasil yang cukup baik.Provinsi DIY merupakan wilayah
yang memiliki tingkat pencapaian kinerja dalam program imunisasi yang
terbaik di Indonesia. Seluruh desa (100%) di tahun 2012 yang ada di DIY
telah masuk dalam kategori desa UCI (Universal Coverage Immunization)
yaitu suatu indikasi yang menggambarkan bahwa desa tersebut penduduknya
telah menjalankan imunisasi. Hasil pencapaian program imunisasi juga terlihat
dari berbagai kasus penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi yang relatif
kecil dibandingkan dengan wilayah lain.


Gambar 18. Cakupan Imunisasi DIY Tahun 2012

Laporan kabupaten / kota memperlihatkan bahwa pada tahun 2012 ditemukan
kasus penyakit campak 379 kasus (terbanyak di Kota Yogyakarta). Sementara
kasus polio dan tetanus neonatorum pada tahun 2012 tidak ditemukan
sedangkanuntuk kasus Postusis ditemukan 23 kasus di Kota Yogyakarta.
Cakupan program Immunisasi di DIY secara umum sudah mencapai target
yang dietapkan, seluruhnya sudah diatas 95% (seperti pada Gambar diatas).
h. New Emerging Disease
Hasil laporan kabupaten / kota menunjukkan bahwa di 5 kabupaten/kota telah
terdeteksi unggas (>1 jenis) positif Avian Influenza. Potensi penyakit Avian
Influenza masih terbuka lebar dengan masih buruknya pemahaman dan
perilaku masyarakat untuk melakukan pencegahan.Beberapa penyakit baru
lain seperti Influanza H1N1, SARS dan lain sebagainya akan tetap
mengancam dengan semakin tingginya tingkat mobilitas penduduk antar
wilayah dan belum baiknya pola perilaku sehat masyarakat.
3.2.1.2. Penyakit Tidak Menular
Datapada saat ini memperlihatkan bahwa pola penyakit pada semua golongan
umur telah mulai didominasi oleh penyakit-penyakit degeneratif, terutama
penyakit yang disebabkan oleh kecelakaan, neoplasma, kardiovaskuler dan
Diabetes Mellitus (DM). Laporan Survailans Terpadu Penyakit (STP) Puskesmas
di DIY pada tahun 2012 penyakit Hipetensi (29.546 kasus) dan Diabetes Militus
(7.434 kasus) masuk dalam urutan ketiga dan kelima dari distribusi 10 besar
penyakit berbasis STP Puskesmas.
Seiring dengan peningkatan status ekonomi, perubahan gaya hidup dan efek
samping modernisasi, maka problem penyakit tidak menular pun cenderung
meningkat. Beberapa penyakit tersebut diantaranya adalah Penyakit Jantung
dan Pembuluh Darah (kardiovaskuler), Diabetes Mellitus, Kanker, Gangguan
Jiwa.
Sejak tahun 1997 data menunjukkan bahwa, pola kematian yang tercatat di
rumah sakit rumah sakit di DIY telah mulai menunjukkan pergeseran. Jenis
penyakit penyebab kematian terbanyak dari semula penyakit-penyakit menular
menjadi kematian akibat penyakit yang masuk dalam kategori penyakit tidak
menular. Perkembangan lebih lanjut semakin menunjukkan dominasi penyakit
tersebut sebagai penyebab kematian di DIY.
Pada beberapa tahun yang akan datang, jumlah penderita penyakit tidak menular
akan semakin meningkat. Hal ini disebabkan jumlah penduduk usia tua semakin
bertambah. Keadaan ini mengakibatkan bertambahnya kebutuhan akan
longterm care.
Penyakit yang berhubungan dengan organ paru juga menjadi penyakit yang perlu
diwaspadai di DIY. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan
bahwa penyakit paru termasuk asma selalu masuk 10 penyebab langsung dan
tidak langsung kesakitan dan kematian utama di Indonesia termasuk DIY. Hasil
Riset kesehatan daerah (Riskesdas 2007) menunjukkan bahwa propinsi DIY
masuk dalam lima besar provinsi dengan kasus hipertensi terbanyak.

Gambar 19. Kasus Hipertensi di Indonesia (Sumber : Riskesdas 2007)

Suhu udara yang panas dan meningkatnya asap kendaraan bermotor di
Yogyakarta mengakibatkan beberapa parameter pencemaran udara sudah
memasuki taraf waspada. Hasil pantauan kualitas udara oleh Kantor
Penanggulangan Dampak Lingkungan Kota Yogyakarta menunjukkan beberapa
kadar zat berbahaya di udara melebihi batas baku mutu udara. Selain itu juga
jumlah perokok di Yogyakarta pada hasil berbagai survey termasuk Susenas,
telah mencapai lebih dari 30%.Hasil survey Dinas Kesehatan DIY tahun 2006
Kasus Hipertensi per Provinsi
(Riskesdas 2007)
37.437.237.036.6
35.8
34.033.933.6
32.4
31.631.531.531.331.231.2
30.330.229.929.829.429.329.129.028.828.428.1
27.6
26.3
25.1
24.1
22.0
20.1
0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
35.0
40.0
J
a
w
a

T
i
m
u
r
B
a
n
g
k
a

B
e
l
i
t
u
n
g
J
a
w
a

T
e
n
g
a
h
S
u
l
a
w
e
s
i

T
e
n
g
a
h
D
I

Y
o
g
y
a
k
a
r
t
a
R
i
a
u
S
u
l
a
w
e
s
i

B
a
r
a
t
K
a
l
i
m
a
n
t
a
n

T
e
n
g
a
h
N
u
s
a

T
e
n
g
g
a
r
a

B
a
r
a
t
S
u
l
a
w
e
s
i

T
e
n
g
g
a
r
a
S
u
m
a
t
e
r
a

S
e
l
a
t
a
n
G
o
r
o
n
t
a
l
o
K
a
l
i
m
a
n
t
a
n

T
i
m
u
r
S
u
m
a
t
e
r
a

B
a
r
a
t
S
u
l
a
w
e
s
i

U
t
a
r
a
K
e
p
u
l
a
u
a
n

R
i
a
u
N
A
D
J
a
m
b
i
K
a
l
i
m
a
n
t
a
n

B
a
r
a
t
J
a
w
a

B
a
r
a
t
M
a
l
u
k
u
B
a
l
i
S
u
l
a
w
e
s
i

S
e
l
a
t
a
n
D
K
I

J
a
k
a
r
t
a
M
a
l
u
k
u

U
t
a
r
a
N
u
s
a

T
e
n
g
g
a
r
a

T
i
m
u
r
B
a
n
t
e
n
S
u
m
a
t
e
r
a

U
t
a
r
a
B
e
n
g
k
u
l
u
L
a
m
p
u
n
g
P
a
p
u
a
P
a
p
u
a

B
a
r
a
t
31,7%
dan 2008 memperlihatkan bahwa antara 56% rumah tangga di DIY tidak bebas
asap rokok. Sedngkan pada hasil Riskesdas tahun 2010 kasus hipertensi di
Provinsi DIY mencapai 35,8 % diatas rata-rata seluruh Indonesia yang mencapai
31,7%.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, intra cranial injury (kecelakaan) telah
menempati urutan kedua terbanyak sebagai penyebab kematian dan
menunjukkan kecenderungan peningkatan. Kecelakaan lalu lintas di DIY mulai
mengalami peningkatan yang cukup besar. Data dari Polda DIY menunjukkan
jumlah kecelakaan lalu lintas di wilayah DIY tahun 2012 adalah sebagai berikut :
kejadian kecelakaan lalu lintas di wilayah Kabupaten Sleman tertinggi yaitu
sebanyak 1.548 kejadian, Bantul 1.420 kejadian, Yogyakarta 678 kejadian,
Gunung Kidul sebanyak 453 kejadian dan Kulon Progo berjumlah 323 kejadian.
Mencegah kematian dini akibat kecelakaan bagaimanapun tidak lagi hanya
menjadi tugas Kepolisian tetapi menjadi tugas semua pihak seperti kesehatan.
Meskipun sampai saat ini data mengenai tingkat risiko kematian yang ditimbulkan
dari kecelakaan dari sektor kesehatan belum dimiliki, namun peran sistem
rujukan dan penanganan pra rujukan diyakini akan memiliki peran besar
menurunkan angka risiko kematian dini tersebut. Beberapa upaya di bidang
kesehatan telah dilakukan untuk memperingan penderitaan dan mempercepat
penanganan korban melalui Unit Reaksi Cepat di beberapa Kabupaten/Kota
yang melibatkan instansi terkait seperti PMI, diantaranya adalah Yes 118 di
Kota Yogyakarta dan Kabupaten lain serta peningkatan kapasitas petugas medis
melalui bernagai pelatihan kegawat daruratan.
3.2.2. Pola Kematian Akibat Penyakit
Data penyebab kematian di masyarakat secara akurat belum dapat diperoleh,
akan tetapi melalui pencatatan dan pelaporan rutin dari Rumah Sakit di DIY
melalui mekanisme SIRS dapat diperoleh gambaran pola penyebab kematian di
Rumah Sakit, meskipun belum seluruh Rumah Sakit menyampaikan laporannya.
Penyakit jantung dan stroke dalam sepuluh tahun terakhir selalu masuk dalam 10
penyakit penyebab kematian tertinggi. Analisis tiga tahun terakhir dari data di
seluruh rumah sakit di DIY menunjukkan, penyakit-penyakit kardiovaskuler
seperti jantung, stroke, hipertensi atau dikenal sebagai penyakit CVD
(cardiovasculer disease) menempati urutan paling tinggi penyebab kematian.
Tahun 2009 menunjukkan bahwa dominasi kematian akibat penyakit tidak
menular sudah mencapai lebih dari 80% kematian akibat penyakit yang ada di
DIY (hospital based). CVD tidak hanya menempati urutan tertinggi penyebab
kematian tetapi jumlah kematiannya dari tahun ke tahun juga semakin meningkat
seiring semakin meningkatnya jumlah penderita penyakit-penyakit CVD
sebagaimana laporan RS di DIY.



Gambar 20. Penyebab kematian di RS akibat penyakit tahun 2011 (Sumber : Laporan SIRS
Dinkes DIY Tahun 2011, data terbaru belum tersedia)
Kematian akibat cedera intracranial (kecelakaan) yang selama ini kurang
mendapat perhatian ternyata telah menempati urutan kedua terbanyak sebagai
penyebab kematian bahkan menunjukkan kecenderungan peningkatan tajam
dalam tiga tahun terakhir.
Dalam enam tahun terakhir, peristiwa kecelakaan lalu lintas di provinsi DI
Yogyakarta terbilang cukup tinggi. Data Kepolisian menunjukkan, kasus
kecelakaan di DIY, meningkat tiga kali lipat dan setiap tahun sedikitnya 130
meninggal (12%) akibat kecelakaan lalu lintas di DIY. Laporan Kepolisian
menunjukkan bahwa 88% kematian diakibatkan oleh cedera kepala.
Faktor perilaku pengendara memang menjadi faktor dominan bagi tinggi
rendahnya tingkat kematian akibat kecelakaan. Meskipun demikian disamping
faktor perilaku tersebut, dukungan pelayanan kesehatan dalam bentuk pelayanan
pertolongan pertama / prarujukan, rujukan gawat darurat dan kualitas pelayanan
di sarana pelayanan kesehatan sedikit banyak juga bisa ikut berperan untuk
menurunkan kematian akibat kecelakaan. Oleh karena itu perbaikan sistem
pelayanan termasuk pertolongan prarujukan dan rujukan diharapkan akan
mampu menurunkan tingkat kematian.
Penyakit infeksi saluran nafas merupakan satu dari dua penyakit infeksi yang
masuk sebagai penyebab kematian terbanyak di Yogyakarta. Dalam catatan
medis jenis penyebab terbanyak adalah Bronchitis dan Pneumonia, namun
dengan melihat kondisi prevalensi dan penemuan kasus TBC di DIY pada
khususnya, maka sangat dimungkinkan bahwa penyakit TBC ikut pula menjadi
salah satu kontributor kematian penyakit tersebut.
Pola kematian akibat gagal jantung masuk pada urutan keempat sebagai
penyebab kematian di DIY seperti hasil pengolahan dari Laporan Rumah Sakit,
gejala tersebut dapat menunjukkan bahwa penyakit degeneratif menjadi
ancaman yang harus diwaspadai, terutama dalam melaksanakan program
promotif tehadap perilaku hidup sehat agar masyarakat dapat mengurangi faktor
resiko untuk penyakit degeneratif. Beberapa upaya telah dilakukan dalam
pemantauan dan pengendalian faktor resiko penyakit tidak menular, diantaranya
dengan melaksanakan skrining di pelayanan dasar dan peningkatan penyuluhan
dan cakupan PHBS di masyarakat.

3.3. STATUS GIZI
Status Gizi merupakan salah satu indikator derajat kesehatan masyarakat.
Gambaran keadaan gizi masyarakat DIY pada tahun 2012 adalah masih
tingginya prevalensi balita kurang gizi yaitu sebesar 8,45 %, walau sudah
menurun dibanding tahun 2011 sebesar 10%. Sedangkan prevalensi balita
dengan status gizi buruk sebesar pada tahun 2012 sebesar 0,56% dan tahun
2011 sebesar 0,68% (menurun dibanding tahun 2010 sebesar 0,7%).
Meskipun angka gizi kurang di DIY telah jauh melampaui target nasional
(persentase gizi kurang sebesar 15% di tahun 2015) namun penderita gizi buruk
masih juga dijumpai di wilayah DIY. Tahun 2008 sampai 2012 terdapat
penurunan prevalensi balita dengan status gizi buruk, namun demikian perlu
dilihat disparitas angka prevalensi gizi buruk di setiap wilayah Kabupaten/kota
dan kecamatan. Prevalensi balita gizi buruk di 4 kabupaten sudah sesuai
harapan yaitu <1%, sedangkan di Kota Yogyakarta masih 1,35%, sehingga
meskipun sudah melampaui target secara nasional tetapi diharapkan seluruh
Kabupaten/Kota di DIY sudah berada di bawah 1%.

Gambar 21. Situasi Status Gizi di DIY (Laporan Program Gizi)
Berdasarkan laporan hasil pemantauan status gizi di kabupaten / kota tahun
2012, peta Balita BGM (Bawah Garis Merah) yaitu standar yang menggambarkan
status gizi balita, memperlihatkan bahwa balita BGM/D di DIY belum mencapai
target. Di kabupaten Bantul dan Gunungkidul masing masing 1,6% dan 2%,
sedangkan 3 kab/kota yang lain <1,5%.
Dari segi pelayanan, cakupan balita gizi buruk yang mendapat perawatan
mencapai 100%, artinya seluruh balita yang mengalami gizi buruk (dengan
indikator BB/TB), semuanya mendapatkan perawatan.Sedangkan untuk situasi
gizi ibu hamil, prevalensi Ibu hamil anemia masih pada kisaran 15 sampai 39% di
4 Kabupaten/Kota, kecuali di Kabupaten Sleman anamia bumil sudah dibawah
15 %. Cakupan amemia ibu hamil yang semakin rendah diharapkan akan
meningkatkan angka status gizi baik, karena dari ibu yang sehat dan bebas
anemia selama kehamilan maka akan melahirkan bayi yang sehat dan dapat
melaksanakan program ASI eksklusif selama 6 bulan serta merawat balita
dengan gizi yang baik dan seimbang. Berikut adalah peta prevalensi ibu hamil
yang anemia di wilyah DIY pada tahun 2012.

Gambar 22. Situasi Prevalensi Bumil Anemi di DIY (Laporan Program Gizi)

ooOOoo
BAB IV
SITUASI UPAYA KESEHATAN

4.1.VISI & MISI
Pelaksanaan upaya kesehatan di provinsi DIY tidak terlepas dari Visi dan Misi
provinsi DIY dalam melaksanakan pembangunan kesehatan.
VISI DINAS KESEHATAN PROPINSI DIY sebagai berikut :
Dinas Kesehatan yang katalistik mendukung terciptanya
status kesehatan DIY yang tinggi, serta sebagai pusat
pelayanan dan pendidikan kesehatan yang bermutu dan
beretika

Dan misi sebagai berikut :
1. Mencegah meningkatnya risiko penyakit & masalah kesehatan
2. Menyediakan pelayanan kesehatan secara merata, bermutu baik pemerintah
maupun swasta
3. Meningkatnya pembiayaan kesehatan yg cukup untuk peningkatan status
kesehatan masyarakat
4. Meningkatkan mutu pendidikan, pelatihan tenaga kesehatan serta penelitian
kesehatan

Target dan pencapaian indikator pembangunan mengacu pada Visi indonesia
Sehat 2010 dan standar pelayanan yang mengacu pada kepmenkes RI No.
281/menkes/SK/IX/2008 tentang standar Palayanan Minimal bidang Kesehatan
yang dierbarui menjadi Kepmenkes 147 tahun 2003 dengan 18 indikator, Target
MDGs serta berdasarkan Rencana Strategik Dinas Kesehatan DIY.


4.2. Pelayanan Kesehatan Dasar dan Rujukan
Pelayanan kesehatan masyarakat dilaksanakan di wilayah DIY meliputi
pelayanan kesehatan dasar dan rujukan. Sarana pelayanan kesehatan di
Daerah Istimewa Yogyakarta dilaksanakan oleh Puskesmas dan jajarannya serta
Rumah Sakit baik pemerintah maupun swasta. Sarana pelayanan kesehatan
dasar dilaksanakan oleh Puskesmas dan jajarannya, berikut adalah peta sarana
pelayanan kesehatan dasar di tiap Kabupaten/kota di DIY :
Tabel 4. Sarana Pelayanan Kesehatan Dasar di DIY Tahun 2012

Akses masyarakat Yogyakarta terhadap sarana pelayanan kesehatan telah
cukup baik. Salah satunya diperlihatkan dari aksesibilitas jarak jangkauan. Hasil
survey Dinas Kesehatan, menunjukkan bahwa lebih dari 80% penduduk DIY
hanya berjarak 1-5 km terhadap puskesmas dan lebih dari 70% penduduk hanya
berjarak 1-5 km terhadap rumah sakit dan dokter praktek swasta. Tidak
ditemukan penduduk yang memiliki jarak tempuh lebih dari 10 km terhadap
sarana pelayanan puskesmas, dokter praktek swasta dan bidan, yang
menunjukkan mudahnya akses jarak jangkauan penduduk terhadap sarana
pelayanan. Aksesibilitas jarak jangkauan terhadap sarana pelayanan kesehatan
cukup merata antar kabupaten kota. Penduduk DIY di setiap Kabupaten / Kota
pada umumnya berada pada kisaran 1-5 km terhadap Puskesmas.
Pelayanan kesehatan rujukan diampu oleh Rumah Sakit, di DIY jumlah Rumah
Sakit Umum dan Khusus adalah sebagai berikut :
Jumlah Rumah Sakit Umum : 45 RS (RS Pemerintah 7, TNI/Polri 3 dan RS
Swasta sebanyak 35 RS). Jumlah Rumah Sakit Jiwa sebanyak 2 RS, Rumah
Sakit Ibu & Anak sebanyak 8 RS dan jumlah Rumah Sakit Khusus lainnya
sebanyak 10 RS.
Sarana pendukung pelayanan kesehatan diantaranya adalah sarana kefarmasian
pada tahun 2012 tercatat jumlah Apotik sebanyak 464 buah, jumlah toko obat 51
buah dan jumlah industri kecil obat tradisionil sebanyak 64 buah. Pelayanan
kesehatan masyarakat terhadap masyarakat miskin di DIY juga mendapatkan
prioritas, hal ini dapat dilihat dalam indikator cakupan pelayanan kesehatan
masyatakat miskin tahun 2012 sebagai berikut : jmlah masyarakat miskin (hampi
miskin) yang mendapatkan pelayanan kesehatan rawat jalan sebesar 1.080.462
jiwa untuk pelayanan kesehatan dasar dan 163.753 jiwa untuk pelayanan
kesehatan rujukan. Untuk pelayanan kesehatan rawat inap di Puskesmas
sebanyak 7.015 jiwa sedangkan di rumah sakit sebanyak 24.857 jiwa.
4.3. Perbaikan Gizi Masyarakat
Upaya perbaikan gizi masyarakat ditujukan untuk meningkatkan mutu gizi
perseorangan dan masyarakat, dalam rangka mencapai tujuan program gizi yaitu
meningkatkan kesadaran gizi keluarga yang selanjutnya akan meningkatkan
status gizi masyarakat.
Pemantauan pertumbuhan balita merupakan alat untuk mengetahui status gizi
anak balita. Salah satu kegiatan berbasis masyarakat yang melaksanakan
pemantauan pertumbuhan terhadap balita adalah posyandu. Karena itu, peran
serta masyarakat dengan mengikutsertakan balitanya untuk ditimbang di posyandu
memberikan andil yang sangat besar terhadap pencapaian indikator ini. Pada
tahun 2012, di DIY tingkat partisipasi masyarakat dalam penimbangan di
Posyandu (D/S) rata rata sebesar 84% (meningkat dibanding tahun 2011 sekitar
70 79 %) di semua kab/kota. Dengan demikian terlihat bahwa masih ada
masyarakat yang belum membawa anak balitanya untuk ditimbang di posyandu.
Sedangkan dari segi pencapaian hasil penimbangan yang dilihat dari balita yang
naik berat badan saat ditimbang (N/D), terlihat bahwa capaian di Kota
Yogyakarta masih < 50%, Kabupaten Kulonprogo 50 59% sedangkan
Kabupaten Gunungkidul, Bantul dan Sleman 60 69%.
Capaian pemberian kapsul vitamin A untuk bayi mencapai 100% sedangkan
untuk balita mencapai 99,13% (meningkat dibandingkan tahun lalu 98,10%).
Distribusi vitamin A kepada bayi dan balita merupakan salah satu upaya untuk
meningkatkan status gizi bayi dan balita. Dari hasil tersebut terlihat telah
mencapai tingkat cakupan yang cukup baik.
Prevalensi Balita kurang energi protein (KEP) selama tiga tahun terakhir
mengalami penurunan, tahun 2012 menjadi 8,95 (turun dibanding tahun 2011
sebesar 10,28). Persentase balita KEP tertinggi di tahun 2012 di wilayah
Kabupaten Kulon Progo sebesar 10,75% sedangkan yang terendah di
Kabupaten Sleman 7,54%.

Gambar 23. Prevalensi Balita KEP di DIY (Laporan Program Gizi)

Distribusi kapsul Fe kepada ibu hamil ditujukan untuk memenuhi kebutuhan ibu
hamil dan mencegah terjadinya anemia pada ibu hamil. Hasil pantauan terhadap
pelaksanaan distribusi kapsul Fe kepada ibu hamil belum menunjukkan hasil
yang optimal. Laporan Kabupaten / kota tahun 2011 menunjukkan distribusi
kapsul Fe1 mengalami kenaikan dari 92,81% di tahun 2010 menjadi 95,72% di
tahun 2012. Sedangkan Fe3 meningkat dari 86,57% di tahun 2010 menjadi
86,59% di tahun 2011dan tahun 2012 menjadi 89,55%. Diharapkan dengan
meningkatnya cakupan pemberian Fe pada ibu hamil dapat mengurangi kasus
anemia bumil.

Gambar 24. Persentase F3 Bumil di DIY (Laporan Program Gizi)
ASI eksklusif merupakan salah satu program yang cukup sulit dikembangkan
karena berkaitan dengan berbagai permasalahan sosial di masyarakat. Sampai
dengan tahun 2008 cakupan ASI ekslusif di provinsi DIY baru mencapai 39,9%,
menurun pada tahun 2009 yaitu sebesar 34,56% dan meningkat menjadi 40,03%
pada tahun 2010. Sedangkan pada tahun 2011, cakupan ASI eksklusif kembali
menunjukkan peningkatan menjadi 49,5%. Lebih rinci, cakupan ASI Eksklusif di
Kabupaten Sleman sudah mencapai 60%, di Gunungkidul masih 20 - 39%,
sedangkan di kabupaten/kota yang lain masih berkisar 40 - 39%. Capaian ASI
eksklusif tahun 2012 menunjukan kondisi yang sedikit menurun yaitu sebesar
48%.

Gambar 25. Cakupan ASI Ekslusif di Provinsi DIY (Laporan Program Gizi)
Upaya yang telah dilakukan di DIY dalam meningkatkan perbaikan gizi
masyarakat mencakup pendidikan gizi bagi masyarakat berupa penyuluhan gizi
di Posyandu, pengembangan media KIE serta konseling menyusui dan MP-ASI,
peningkatan surveilans gizi berupa pemantauan pertumbuhan balita,
pemantauan dan penanganan kasus gizi buruk, pemantauan konsumsi garam
beryodium, pemberian suplemen gizi (melalui pemberian Vitamin A dosis tinggi
dan tablet Fe+asam folat), pemberian makanan tambahan untuk balita gizi buruk
dan gizi kurang, serta pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil yang
mengalami kekurangan energi kronis. Upaya yang lain adalah peningkatan
kapasitas petugas kesehatan berupa pelatihan tatalaksana gizi buruk, pelatihan
penggunaan standar pertumbuhan balita, pelatihan konselor ASI bagi petugas
kesehatan dan pelatihan motivator ASI, serta pemberdayaan masyarakat.
4.4. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
Kualitas pelayanan kesehatan di DIY terutamanya untuk pelayanan kesehatan ibu
dan anak telah cukup baik, salah satunya tergambar dari
proporsipersalinanyangditangani oleh tenagakesehatan. Cakupan persalinan
yang ditolong tenaga kesehatan pada tahun 2011 di DIY berdasarkan laporan
kabupaten/kota telah mencapai 99,73%, Angka tersebut meningkat dibandingkan
tahun 2010 sebesar 97,69%. Tahun 2012 mengalami sedikit peningkatan yaitu
sebesar 99,85%.
Salah satu upaya dalam menurunkan kematian ibu adalah dengan meningkatkan
cakupan pemeriksaan kehamilan (ANC: antenatal care) oleh tenaga kesehatan.
Indikator yang digunakan untuk memantau cakupan pemeriksaan kehamilan
tersebut adalah cakupan ibu hamil yang pertama kali mendapat pelayanan
antenatal (K1) yang merupakan indikator akses, dan cakupan ibuhamil yang telah
memperoleh pelayanan antenatal minimal empat kali sesuai distribusi waktu
dan sesuai standar (K4) yang menggambarkan tingkat perlindungan ibu hamil di
suatu wilayah.
Capaian K1 dan K4 di Provinsi DIY pada tahun 2011 masing-masing sebesar
99,98 % dan 89,31% sedangkan tahun 2012 mecapai 100% dan 93,31%. Dengan
cakupan K1 dan K4 yang sudah cukup tinggi tersebut, upaya peningkatan
pelayanan kesehatan utamanya untuk ibu hamil di DIY pada masa yang akan
datang adalah meningkatkan kualitas pelayanan, yaitu pelayanan antenatal yang
lengkap dan sesuai standar. Diharapkan dengan kualitas ANC yang baik akan
dapat mendeteksi secara dini adanya kelainan yang terjadi pada masa kehamilan,
dan mencegah kejadian komplikasi. Meskipun demikian dari hasil capaian
tersebut, terlihat masih ada kesenjangan antara K1 dan K4 yang cukup jauh.
Cakupan penanganan ibu hamil yang mengalami komplikasi (PKO) pada tahun
2011 di Provinsi DIY, berdasar data yang diperoleh dari kabupaten/kota yaitu
sebesar 70,44% dan meningkat menjadi sebesar 78,75% pada tahun 2012.
Namun, cakupan tersebut tidak bisa menggambarkan kondisi yang sebenarnya di
masyarakat karena denominator yang digunakan adalah perkiraan jumlah bumil
risiko tinggi, yaitu 20% dari jumlah bumil. Dari hasil diskusi dan pertemuan yang
dilakukan dengan kab/kota, disimpulkan bahwa semua kasus komplikasi yang
terjadi pada ibu hamil sudah ditangani.
Kunjungan nifas menggambarkan jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan
terhadap ibu, mulai 6 jam sampai 42 hari setelah melahirkan. Pada tahun 2011,
ibunifas yang telah memperoleh pelayanan minimal tiga kali sesuai distribusi
waktu dan sesuai standar (KF3) mencapai 88,96%, meningkat dari tahun
2010 sebesar 86,18% dan mencapai 92% pada tahun 2012. Dari hasil
capaian tersebut, terlihat kesenjangan yang cukup jauh antara capaian
persalinan oleh tenaga kesehatan (Pn) dengan kunjungan nifas lengkap
(KF3). Dengan demikian terlihat bahwa masih ada ibu hamil yang tidak
mendapatkan pelayanan kesehatan pada masa nifas, walaupun sudah
melahirkan dengan bantuan tenaga kesehatan.
Diharapkan, kesenjangan antara K1 dan K4 dapat diturunkan dan capaian K4 dan
KF3 dapat lebih meningkat di masa yang akan datang sehingga dapat
memberikan andil dalam penurunan AKI. Gambaran K1, K4, persalinan nakes dan
KF3 dapat dilihat pada gambar di bawah.

Gambar 26. Cakupan Program Kesga Provinsi DIY (Laporan Program Kesga)
Upaya yang dilakukan untuk menurunkan angka kematian neonatal (usia 0 28
hari), adalah dengan meningkatkan cakupan pelayanan neonatal sesuai standar
pada 6 48 jam pertama setelah lahir (KN-1) serta pelayanan neonatal minimal
tiga kali sesuai distribusi waktu dan sesuai standar (KN-L). Berdasarkan laporan
dari kabupaten/kota, cakupan KN-1 di Provinsi DIY pada tahun 2011 sebesar
98,99%, meningkat dari tahun 2010 sebesar 96,7%. Sedangkan cakupan KN-L
sebesar 88,26%, justru mengalami penurunan dibanding tahun 2010 sebesar
91,3%.Cakupan KN1 tahun 2012 sebesar 99,33% sedangkan Kunjungan
neonatus lanjutan mencapai 88,28% (mengalami kenaikan yang sangat tipis
dibanding tahun lalu).

Gambar 27. Cakupan Kunjungan Neonatal
Sementara untuk kasus kematian neonatal, di DIY pada tahun 2012 terjadi 400
kasus, tahun 2011 terjadi sebanyak 311 kasus, meningkat dibanding tahun 2010
sebanyak 241 kasus, dengan penyebab kematian terbanyak disebabkan karena
BBLR dan asfiksia.
Tabel 5. Jumlah Kematian Neonatal & Faktor Penyebabnya DIY Tahun 2011

No

Kabupate/Kota
Kematian
Neonatal
Faktor Penyebab
BBLR Asfiksia Sepsis Kelainan
Kongenital
Lain-
lain
1 Yogyakarta 34 13 14 2 5 0
2 Bantul 88 34 20 2 15 17
3 Kulonprogo 54 17 23 4 4 6
4 Gunungkidul 94 45 33 0 7 9
5 Sleman 41 9 18 2 5 7
Provinsi DIY 311 118 108 10 36 39

Kesehatan remaja masuk dalam ranah kesehatan anak.Program kesehatan
remaja dilaksanakan dengan melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap siswa
SD/MI dan SMP/SMU. Program ini belum mampu menjangkau seluruh target
sasaran. Pada tahun 2012, jumlah siswa kelas 1 yang diperiksa melalui
penjaringan kesehatan sebesar 98,88% mengalami peningkatan dibanding tahun
2011 sebesar 98,53%.
Dalam meningkatkan kualitas kesehatan anak, perlu dilakukan upaya yang
berkesinambungan pada setiap sikus kehidupan manusia (continuum of care),
yang meliputi masa reproduksi, masa hamil, neonatal, bayi, balita, anak
prasekolah, masa sekolah dan remaja. Intervensi kesehatan perlu dilakukan pada
setiap tahapan kehidupan tersebut, dan hal tersebut tergambar pada peningkatan
cakupan indikator kesehatan ibu dan anak, di antaranya K1, K4, Pn, KN-1, KN-L,
penanganan komplikasi obstetri maupun neonatal, pelayanan kesehatan bayi dan
balita, serta KB aktif, maupun pelayanan kesehatan terhadap anak usia sekolah
dan remaja. Upaya yang lain adalah dengan meningkatkan kualitas SDM dengan
mengadakan berbagai pelatihan untuk petugas kesehatan seperti pelatihan
manajemen asfiksia, BBLR, dll, serta yang tidak kalah penting adalah
meningkatkan kualitas sarana pelayanan kesehatan (dalam hal ini puskesmas)
dengan meningkatkan kemampuan puskesmas menjadi puskesmas yang mampu
PONED, PKPR, PKRE, mampu tatalaksana KtPA, melaksanakan MTBS, SDIDTK,
dan dapat memberikan pelayanan KB sesuai standar.


4.5. Pembinaan Kesehatan Lingkungan
Pada tahun 2012 kondisi perumahan di wilayah DIY dari hasil pemantauan yang
dilakukan oleh kabupaten/kota menunjukkan bahwa dua Kabupaten yaitu
Kabupaten Kulon Progo dan Gunung Kidul masih dibawah 59%, Kota Yogyakarta
dan Bantul atara 59 sampai 68,99% dan di kabupaten Sleman sudah lebih dari
79%.

Gambar 28 Peta Cakupan Air Minum
Dari peta cakupan kualitas air minum yang memenuhi syarat kesehatan menurut
Kabupaten/Kota di DIY masih rendah, cakupan kualitas air minum yang terendah
ada di 3 Kabupaten, yang masih kurang dari 60%, yaitu di Kabupaten Sleman,
Gunungkidul dan Kulonprogo. Sedangkan Kota Yogyakarta telah mencapai lebih
dari 95%. Masih perlu upaya untuk peningkatan cakupan kualitas sir minum yang
memenuhi syarat kesehatan, terutama di tiga kabupaten yang masih rendah
dengan meningkatkan kerjasama dan kemitraan dengan lintas sektor, peningkatan
penyuluhan dan pemeriksaan kualitas air serta peningkatan upaya penyehatan
lingkungan lainnya.
Prosentase penduduk yang menggunakan jamban terendah di Kabupaten Gunung
Kidul, masih dibawah 69%, sedangkan Kabupaten/Kota yang lain sudah mencapai
lebih dari 70%.Sehingga perlu adanya upaya penyehatan lingkungan yang
komprehensif dengan meningkatkan kualitas kemitraan dan koordinasi dengan
lintas sektor serta promosi PHBS yang lebih intensif terutama di Kabupaten
Gunung Kidul.
Prosentase tempat-tempat umum (TTU) yang telah memenuhi syarat kesehatan
menurut pemantauan di masing-masing Kabupaten/Kota adalah cakupan antara
40 59,99% adalah di Kabupaten Gunung Kidul dan Kulon Progo, cakupan 60
79,99% adalah di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul, sedangkan di
Kabupaten Sleman telah mencapai lebih dari 80%. Masih rendahnya cakupan
tempat tempat umum yang memenuhi syarat kesehatan akan berdampak pada
peingkatan kasus-kasus penyakit menular serta kejadian luar biasa keracunan
makanan, Hepatitis serta penurunan kualitas kesehatan masyarakat pada
umumnya. Sehingga upaya program penyehatan lingkungan dirasakan masih
harus bekerja keras.

Gambar 29. Peta Tempat tempat Umum memenuhi syarat kesehatan
4.6. Perilaku Hidup Sehat Masyarakat DIY
Pada kenyataannya kesehatan merupakan aset masa depan dan merupakan
modal terciptanya hidup yang sejahtera. Agar status kesehatan dapat diraih,
perlu dilakukan upaya pencegahan penyakit dengan mengurang atau
menghilangkan faktor resiko penyakit, di antaranya pada tingkat pertama adalah
melakukan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Pola PHBS ini hendaknya
dilaksanakan oleh seluruh masyarakat yang ada di berbagai tempat / tataran
yaitu di tempat umum, di tempat kerja, di sekolah, di institusi kesehatan, dan di
rumah tangga.
PHBS di rumah tangga adalah upaya memberdayakan anggota rumah tangga
agar tahu, mau dan mampu melaksanakan PHBS serta berperan aktif dalam
gerakan kesehatan di masyarakat. Berdasarkan evaluasi, maka pada
perkembangannya indikator PHBS tatanan rumah tangga mulai ditingkatkan
kualitasnya. Dari 10 indikator yang semula masih menggunakan stratifikasi sehat
I IV, maka secara nasional sudah ditingkatkan kualitas indikatornya menjadi 10
indikator yang sifatnya komposit/gabungan, sehingga 10 indikator PHBS tatanan
rumah tangga semua harus terpenuhi. Sepuluh indikator PHBS rumah tangga
tersebut adalah persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan, pemberian ASI
eksklusif, balita ditimbang, penggunaan air bersih, cuci tangan, penggunaan
jamban, pemberantasan jentik, konsumsi buah dan sayur, aktivitas fisik dan tidak
merokok di dalam rumah.
DIY telah menerapkan indikator tersebut sebagai evaluasi pada tatanan PHBS
rumah tangga mulai tahun 2010. Hasil pencapaian tahun 2011, dari 341.362
rumah tangga yang dipantau menunjukkan sebanyak 31,40% rumah tangga telah
menerapkan PHBS. Dari capaian tersebut, yang memberikan kontribusi terendah
dan masih menjadi masalah kesehatan pada umumnya adalah tidak merokok di
dalam rumah yang baru mencapai 46,67%, bayi diberi ASI eksklusif sebesar
77,70%, konsumsi buah dan sayur sebesar 83,35% dan aktifitas fisik sebesar
87,48%. Gambaran capaian Rumaha Tangga berPHBS di DIY pada tahun 2012
adalah sebesar 33,07% hal ini menunjukkan adanya kenaikan dari tahun
sebelumnya meskipun kenaikan yang terjadi tidak siknifikan. Cakupan PHBS
tahun 2012 dapat dilihat pada gambar seperti berikut :

Gambar 30. Capaian Rumah Tangga ber-PHBS di DIY Tahun 2012

Merokok merupakan salah satu perilaku yang menjadi faktor risiko penyakit
kardiovaskuler. Hasil Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa prevalensi perokok di
DIY sebesar 31,6%, dan sebanyak 66,1% masih merokok di dalam rumah. Hal
tersebut terlihat pada grafik di bawah.
Dalam Rumah: Provinsi(3)
D
I

Y
o
g
y
a
B
a
l
i
K
a
l
t
i
m
J
a
t
i
m
N
T
B
I
n
d
o
n
e
s
i
a
M
a
l
u
k
u
M
a
l
u
t
K
a
l
t
e
n
g
66.1
68.1
73.9
75.7 76.1 76.6
78.6
84.1
85.3

Sumber: Riskesdas 2010
Gambar 31. Prosentase Merokok di dalam rumah menurut Provinsi
Persentase rumah tangga bebas asap rokok di DIY baru mencapai 44,6%,
tertinggi di Kota Yogyakarta (52,1%) dan terendah di Gunungkidul (40,2%). Dari
hasil tersebut, tidak mengherankan jika persentase perokok pasif cukup tinggi
karena perokok biasa merokok di dalam rumah.Sedangkan jika dilihat dari
statusnya, perokok rumah tangga didominasi suami / kepala rumah tangga.
Untuk mendukung peningkatan capaian 10 indikator PHBS, dilakukan berbagai
upaya, diantaranya meningkatkan pembinaan UKBM secara terintegrasi
(posyandu, desa siaga, kadarsi), penyebarluasan informasi baik secara langsung
maupun tidak langsung melalui media, serta meningkatkan peran serta swasta,
ormas, dan LSM.
Pengembangan desa siaga yang dilakukan adalah meningkatkan desa siaga
yang sudah terbentuk menjadi desa siaga aktif. Capaian desa siaga di DIY sudah
mencapai 100 %, sedangkan desa siaga aktif mencapai 89,25%. Sedangkan
capaian posyandu aktif di DIY pada tahun 2012 sebesar 75,52%. Jika dilihat dari
srata perkembangannya, posyandu pratama sebesar 4%, posyandu madya
sebesar 21%, posyandu purnama sebesar 47% dan posyandu mandiri sebesar
28%. Masih rendahnya cakupan posyandu mandiri perlu mendapatkan perhatian,
terutama untuk penggerakan peran serta masyarakat dan promosi kesehatan
yang lebih intensif dengan memanfaatkan berbagai media promosi.

Gambar 32. Tingkatan Posyandu di DIY
Upaya pemanfaatan promosi kesehatan dengan berbagai media telah
dilakukan oleh Dinas Kesehatan DIY maupun Kabupaten/Kota, diantaranya
pengembangan pesan dan media rumah tangga ber-PHBS melalui media
cetak dan audio visual dengan spot TV, pembuatan dan pemasangan
branding sticker pada mobil, pembuatan media cetak, obrolan Angkring,
penggandaan VCD dan pemasangan Baliho PHBS. Sedangkan untuk
penguatan peran serta organisasi/kelompok masyarakat dalam PHBS
diantaranya dilaksanakan melalui Forum Komunikasi penguatan peran PKK,
Forkom SBH, Orientasi di sekolah bagi guru pembina UKS dan pertemuan
penguatan mitra kerja Promkes.







BAB V
SUMBERDAYA KESEHATAN

5.1. Tenaga Kesehatan
Undang undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mendefinisikan
bahwa yang dimaksud dengan tenaga kesehatan adalah setiap orang yang
mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau
keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu
memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Sedangkan
sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan, maka tenaga kesehatan terbagi atas 7 (tujuh) jenis tenaga yaitu
tenaga medis, tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga gizi,
tenaga keterapian fisik dan tenaga keteknisian medis
Ketersediaan tenaga di sarana kesehatan baik di puskesmas maupun rumah
sakit pada umumnya sudah baik. Jumlah tenaga kesehatan yang ada di seluruh
D.I. Yogyakarta yang terdiri dari RSU Pemerintah dan Swasta, Puskesmas,
Dinas Kesehatan Kab/Kota, Dinas Kesehatan DIY tahun 2013 adalah sebagai
berikut :
Grafik 33. Distribusi Tenaga Kesehatan di
Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2012

Sumber : Dokumen Deskripsi SDMK DIY Tahun 2012


3213
9094
980
2373
399
189
1318
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
9000
10000
Jenis Tenaga Kesehatan
Medis
Keperawatan
Kesehatan Masyarakat
Kefarmasian
Gizi
Keterapian Fisik
Keteknisian Medis
5.1.1Tenaga Medis
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun
1996 tentang Tenaga Kesehatan, yang dimaksud dengan tenaga medis
meliputi Dokter dan Dokter gigi, termasuk didalamnya tenaga dokter spesialis
Tenaga medis merupakan salah satu unsur pelaksana pelayanan kesehatan
yang utama di fasilitas pelayanan kesehatan, baik di puskesmas, rumah sakit,
klinik, maupun fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.Adapun jumlah tenaga
medis di fasilitas pelayanan kesehatan berdasarkan wilayah kerjanya dapat
digambarkan sebagai berikut :
Grafik 34. Distribusi Tenaga Medis di
Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2012


Sumber : Dokumen Deskripsi SDMK DIY Tahun 2012
Berdasarkan data yang tertera diatas Jumlah tenaga dokter umum yaitu
sejumlah 1354 orang, terbanyak berada di Kabupaten Sleman dengan jumlah
dokter umum sebanyak 398 orang dan disusul dengan Kota Yogyakarta
sebanyak 370 orang, sedangkan dokter umum paling sedikit terdapat di Dinas
Kesehatan DIY dan UPT-nya dan Institusi Pendidikan Kesehatan ( yang
selanjutnya disebut dengan Daerah DIY) sebanyak 81 orang.
Untuk dokter spesialis di Daerah Istimewa Yogyakarta sejumlah 1262
orang, terbanyak berada di Kota Yogyakarta dengan jumlah dokter spesialis
sebanyak 508 orang, disusul dengan Kabupaten Sleman dengan jumlah dokter
spesialis sebanyak 398 orang, sedangkan dokter spesialis paling sedikit berada
di Kabupaten Gunungkidul hanya sebanyak 10 orang.
370
508
155
272
131
77
133
45
30
94
10
33
398 398
138
87
128
164
0
100
200
300
400
500
600
Dokter Umum Dokter Spesialis Dokter Gigi
Kota Yogyakarta
Bantul
Kulonprogo
Gunungkidul
Sleman
Daerah DIY

Sedangkan untuk dokter gigi dari sejumlah 597 orang terbanyak terdapat
di Daerah DIY dengan jumlah dokter gigi sebanyak 164 orang dan diikuti oleh
Kota Yogyakarta sejumlah 155 orang, sedangkan yang paling sedikit terdapat
di Kabupaten Kulonprogo yaitu sejumlah 30 dan di Kabupaten Gunungkidul
sejumlah 33 orang.
Dari gambaran data perkembangan jumlah tenaga medis di
Kabupaten/Kota menunjukkan bahwa persebaran tenaga medis masih belum
merata terlihat masih terpusat di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman,
sementara di kabupaten yang lain tenaga medis masih jauh lebih kecil
jumlahnya. Prosentase tenaga medis yang bekerja sesuai dengan wilayah
kerjanya dapat digambarkan sebagai berikut :
Grafik 35. Proporsi Dokter Umum, Dokter Spesialis dan Dokter Gigi di
Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan Wilayah Kerjanya Tahun 2012



Sumber : Dokumen Deskripsi SDMK DIY Tahun 2012

27.33
20.09
9.82
6.94
29.33
6.43
Dokter Umum
Kota Yogyakarta
Bantul
Kulonprogo
Gunungkidul
Sleman
Daerah DIY
40.25
10.38
3.57
0.79
34.87
10.14
Dokter Spesialis
25.96
12.90
5.03
5.53
23.12
27.47
Dokter Gigi
Adapun sesuai dengan tempat kerjanya ada beberapa variasi, untuk dokter
spesialisgigi sebagian besar di instansi pemerintah yaitu puskesmas,
sedangkan untuk dokter spesialis sebagian besar bekerja di rumah sakit. Hal ini
sudah sesuai dengan peruntukkannya, bahwa tenaga dokter spesialis
utamanya bekerja pada pelayanan kesehatan rujukan. Adapun sebarannya
dapat ditunjukkan oleh grafik beriku ini :
Grafik 36. Distribusi Tenaga Medis Per Jenis Sarana Pelayanan Kesehatan
di DIY Tahun 2012

Sumber : Dokumen Deskripsi SDMK DIY Tahun 2012
Berdasarkan data yang tertera diatas distribus itenaga dokter umum yang
bekerja di masing masing jenis sarana pelayanan kesehatan tersebar secara
merata yaitu di rumah sakit sebanyak 576 orang, di puskesmas sebanyak 347
orang, serta sarana kesehatan lainnya sejumlah 331 orang yang tersebar di
Balai Pengobatan, Rumah Bersalin, Klinik, praktik dokter berkelompok, maupun
praktik mandiri dan fasyankes lainnya. Sedangkan sebagian kecil yaitu
sejumlah 38 orang tenaga dokter umum bekerja di Dinas Kesehatan serta UPT-
nya serta sebanyak 62 orang bekerja di Institusi pendidikan tenaga kesehatan.
Untuk dokter spesialis di Daerah Istimewa Yogyakarta sejumlah 1262
orang, sebagian besar bekerja di rumah sakit, baik rumah sakit pemerintah,
rumah sakit TNI/Polri, maupun rumah sakit swasta, tersebar di 63 rumah sakit
yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sedangkan untuk dokter gigi dari sejumlah 597 orang yang bekerja
secara merata di berbagai fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.
347
4
171
576
982
148
331
148
109
62
126
160
38
2
9
0
200
400
600
800
1000
1200
Dokter Umum Dokter Spesialis Dokter Gigi
Puskemas
Rumah Sakit
Fasyankes Lainnya
Institusi Diknakes
Dinkes dan UPT
5.1. 2 Tenaga Keperawatan
Tenaga Keperawatan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32
Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan terdiri atas tenaga perawat dan
bidan. Tenaga Perawat terdiri atas tenaga perawat dan tenaga perawat gigi,
namun dalam profil ini hanya perawat saja yang sudah dilakukan pendataan.
Perawat sesuai dengan Permenkes Nomor 148 Tahun 2010 adalah
seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar
negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Adapun definisi bidan sesuai dengan Permenkes Nomor 1464 Tahun
2010 adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang telah
teregistrasi sesuai ketentuan perundang undangan. Adapun gambaran
distribusi tenaga keperawatan sesuai dengan wilayah kerjanya di DIY pada
tahun 2013 dapat digambarkan sebagai berikut :
Grafik 37. Distribusi Tenaga Keperawatan Per Wilayah Kerja
di DIY Tahun 2012

Sumber : Dokumen Deskripsi SDMK DIY Tahun 2012
Berdasarkan data yang tertera diatas jumlah tenaga perawat yaitu
sejumlah 6560 orang, terbanyak berada di Kabupaten Sleman dengan jumlah
perawat sebanyak 2364 orang dan disusul dengan tenaga perawat di Kota
Yogyakarta sebanyak 2198 orang. Hal tersebut disebabkan karena sebagian
besar fasilitas pelayanan kesehatan termasuk didalamnya rumah sakit
sebagian besar berada di kedua wilayah tersebut. Sedangkan di kabupaten
lainnya jumlah perawat yang ada hampir sama.
Untuk tenaga bidan di Daerah Istimewa Yogyakarta sejumlah 1927
orang, terbanyak berada di Kabupaten Sleman dengan jumlah bidan sebanyak
459
235
660
427
532
309
2364
443
2198
364 347
149
0
500
1000
1500
2000
2500
Perawat Bidan
Kulonprogo
Bantul
Gunungkidul
Sleman
Kota Yogyakarta
Daerah DIY

443 orang, kemudian Kabupaten Bantul sebanyak 427 orang, sedangkan
tenaga bidan paling sedikit berada di Daerah DIY sebanyak 149 orang yang
bekerja di Dinas Kesehatan dan institusi pendidikan tenaga kesehatan yang
ada di wilayah DIY.
Dari gambaran data yang ada menunjukkan bahwa persebaran tenaga
perawat masih belum merata, hal ini juga berkaitan dengan jumlah sarana yang
ada di masing masing wilayah yang ikut mempengaruhi komposisi distribusi
tenaga perawat, terutama berkaitan dengan banyaknya rumah sakit di wilayah
Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Adapun untuk tenaga bidan
sebarannya du masing masing wilayah terdistribusi secara merata. Hal ini
dikarenakan sebagian besar tenaga bidan bekerja di fasilitas pelayanan
kesehatan milik pemerintah terutama puskesmas. Gambaran prosentase
distribusi tenaga keperawatan yang bekerja sesuai dengan wilayah kerjanya
dapat digambarkan oleh grafik berikut ini :
Grafik 38. Persentase Tenaga Keperawatan Per Kabupaten/Kota
di DIY Tahun 2012

Sumber : Dokumen Deskripsi SDMK DIY Tahun 2012

Adapun sesuai dengan tempat kerjanya ada beberapa variasi, untuk tenaga
perawat sebagian besar bekerja di rumah sakit, sedangkan untuk tenaga bidan
sebagian besar bekerja di puskesmas. Adapun sebarannya dapat ditunjukkan
oleh grafik beriku ini :




7.00
10.06
8.11
36.04
33.51
5.29
Perawat
Kulonprogo
Bantul
Gunungkidul
Sleman
Kota Yogyakarta
Daerah DIY
12.20
22.16
16.04
22.99
18.89
7.73
Bidan
Kulonprogo
Bantul
Gunungkidul
Sleman
Kota Yogyakarta
Daerah DIY
Grafik 39. Distribusi Tenaga Keperawatan Per Jenis Sarana Pelayanan Kesehatan di
DIY Tahun 2012


Sumber : Dokumen Deskripsi SDMK DIY Tahun 2012
Berdasarkan data yang tertera diatas dapat kita lihat bahwa tenaga
perawat sebagian besar bekerja di rumah sakit, baik rumah sakit pemerintah
maupun swasta, yang jumlahnya mencapai 4865 orang atau mencapai 74,16
%, adapun sisanya tersebar di puskesmas, Dinas Kesehatan dan fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya. adapun untuk tenaga bidan sejumlah 899 orang
bekerja di puskesmas, di rumah sakit sejumlah 624 orang, dan sisanya bekerja
di Dinas Kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.
Adapun dari pendidikan yang dimiliki oleh tenaga perawat yang
berpendidikan Sarjana Strata Satu keatas baru mencapai 11,28 %, sedangkan
sisanya atau mencapai 88,72% masih berpendidikan Diploma III kebawah.
Sedangkan untuk tenaga bidan yang berpendidikan minimal Diploma III
Kebidanan baru mencapai 81,53 % dan masih terdapat 18,47% tenaga bidan
yang berpendidikan Diploma Satu. Hal ini memerlukan peran serta pemerintah
dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan tenaga keperawatan terutama
untuk tenaga kebidanan yang masih belum sesuai dengan persyaratan minimal
berpendidikan DIII.

5.1.3Tenaga Kefarmasian
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian, tenaga Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan
pekerjaan kefarmasin. Tenaga kefarmasian terdiri atas apoteker dan tenaga
838
899
4865
624
487
229
287
140
87
35
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
Perawat Bidan
Puskesmas
Rumah Sakit
Fasyankes Lainnya
Institusi Diknakes
Dinkes dan UPT
teknis kefarmasian. Tenaga teknis kefarmasian terdiri atas Sarjana Farmasi,
Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten
Apoteker. Adapun gambaran distribusi tenaga kefarmasian di masing
masing wilayah di DIY dapat digambarkan oleh grafik berikut ini :
Grafik 40. Grafik Distribusi Tenaga Kefarmasian per Kabupaten/Kota
di DIY Tahun 2012

Sumber : Dokumen Deskripsi SDMK DIY Tahun 2012

Berdasarkan data yang tertera diatas jumlah tenaga apoteker yaitu
sejumlah 1316 orang, terbanyak berada di Kabupaten Sleman dengan jumlah
apoteker sebanyak 464 orang dan disusul dengan tenaga Apoteker di Kota
Yogyakarta yaitu sebanyak 359 orang, sedangkan tenaga apoteker paling
sedikit terdapat di Kabupaten Gunungkidul sebanyak 25 orang.
Untuk tenaga teknis kefarmasian di Daerah Istimewa Yogyakarta
sejumlah 1057 orang, terbanyak berada di Kabupaten Sleman dengan jumlah
tenaga teknis kefarmasian sebanyak 454 orang, kemudian Kota Yogyakarta
sebanyak 408 orang, sedangkan tenaga teknis kefarmasian paling sedikit
bekerja di Daerah Istimewa Yogyakarta sebanyak 11 orang.
Dari gambaran data yang ada untuk tenaga apoteker persebarannya
masih belum merata, hal ini juga berkaitan dengan jumlah sarana yang ada di
masing masing wilayah yang ikut mempengaruhi komposisi distribusi tenaga
apoteker, terutama berkaitan dengan banyaknya rumah sakit dan apotek di
wilayah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Begitupun dengan tenaga
teknis kefarmasian juga tidak merata sesuai dengan banyaknya sarana rumah
sakit dan apotek yang ada di wilayah masing masing. Gambaran prosentase
50
76
200
61
25
47
464
454
359
408
218
11
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
Apoteker Tenaga Teknis Kefarmasian
Kulonprogo
Bantul
Gunungkidul
Sleman
Kota Yogyakarta
Daerah DIY

distribusi tenaga kefarmasian yang bekerja sesuai dengan wilayah kerjanya
dapat digambarkan oleh grafik berikut ini :
Grafik 41. Persentase Distribusi Tenaga Kefarmasian per Kabupaten/Kota
di DIY Tahun 2012



Sumber : Dokumen Deskripsi SDMK DIY Tahun 2012
Adapun sesuai dengan sarana kesehatan tempat tenaga kefarmasian
bekerja ada ketimpangan terutama untuk di puskesmas, karena sebagian
besar tenaga kefarmasian yang ada di puskesmas masih merupakan tenaga
teknis kefarmasian, padahal sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian menyatakan bahwa
setiap pelaanan di fasilitas pelayanan kefarmasian harus dilaksanakan oleh
seorang apoteker. Gambaran distribusi tenaga kefarmasian sesuai dengan
sarana kesehatan tempat mereka bekerja dapat digambarkan sebagaimana
grafik dibawah ini :








10.59
42.37
5.30
98.31
76.06
46.19
Apoteker
Kulonprogo
Bantul
Gunungkidul
Sleman
Kota Yogyakarta
Daerah DIY
7.19
5.77
4.45
42.95
38.60
1.04
Tenaga Teknis Kefarmasian
Kulonprogo
Bantul
Gunungkidul
Sleman
Kota Yogyakarta
Daerah DIY
Grafik 42. Distribusi Tenaga Kefarmasian Sesuai dengan Tempat Kerjanya
di DIY

Sumber : Dokumen Deskripsi SDMK DIY Tahun 2012
Berdasarkan data yang tertera diatas dapat kita lihat bahwa tenaga
apoteker sebagian besar bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan lainnya yaitu
terutama di apotek yang jumlahnya mencapai 897 orang atau mencapai 68,16
%, adapun sisanya tersebar di puskesmas, rumah sakit, Dinas Kesehatan dan
Institusi Diknakes. Adapun untuk tenaga teknis kefarmasian sejumlah 487
orang bekerja di rumah sakit, di fasilitas pelayanan kesehatan lainnya sejumlah
380 orang, dan sisanya bekerja di Dinas Kesehatan puskesmas dan Dinas
Kesehatan dan institusi pendidikan tenaga kesehatan.

5.1.4Tenaga Kesehatan Masyarakat
Tenaga kesehatan masyarakat terdiri atas epidemiolog kesehatan,
entomolog kesehatan, mikrobiolog kesehatan, penyuluh kesehatan,
administrator kesehatan dan sanitarian. Grafik berikut ini memperlihatkan
kepada kita gambaran distribusi tenaga kesehatan masyarakat sesuai
dengan wilayah kerjanya di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2012.





18
164
171
487
897
380
207
5
23 21
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
1000
Puskesmas
Rumah Sakit
Fasyankes Lainnya
Institusi Diknakes
Dinkes dan UPT
Gambar 43. Distribusi Tenaga Kesehatan Masyarakat Per Kabupaten/Kota
di DIY Tahun 2012

Sumber : Dokumen Deskripsi SDMK DIY Tahun 2012
Berdasarkan data yang tertera diatas jumlah tenaga kesehatan
masyarakat yaitu sejumlah 684 orang, terbanyak berada di DIY (Dinas
Kesehatan dan UPT serta institusi pendidikan tenaga kesehatan) dengan
jumlah tenaga kesehatan masyarakat sebanyak 422 orang, sedangkan tenaga
kesehatan di kabupaten/kota lainnya jumlahnya hampir sama, dengan tenaga
kesehatan masyarakat paling sedikit terdapat di Kabupaten Gunungkidul
sebanyak 29 orang.
Untuk tenaga sanitarian di Daerah Istimewa Yogyakarta sejumlah 296
orang, terbanyak berada di Kabupaten Sleman dengan jumlah tenaga
sanitarian sebanyak 73 orang, kemudian Kabupaten Bantul sebanyak 63 orang,
sedangkan tenaga sanitarian paling sedikit berada di Kabupaten Gunungkidul
sebanyak 45 orang.
Dari gambaran data yang ada untuk tenaga kesehatan masyarakat
sebarannya sudah merata, namun demikian hal itu didominasi oleh tenaga
kesehatan masyarakat dengan status tenaga pemerintah.
Adapun distribusi tenaga kesehatan masyarakat sesuai dengan sarana
pelayanan kesehatan tempat mereka bekerja dapat digambarkan dalam grafik
berikut ini :



79
47
69
63
29 31
38
73
47
50
422
32
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
Kesehatan Masyarakat Sanitarian
Kulonprogo
Bantul
Gunungkidul
Sleman
Kota Yogyakarta
Daerah DIY
Gambar 44. Distribusi Tenaga Kesehatan Per Jenis Sarana Pelayanan Kesehatan di
DIY Tahun 2012

Sumber : Dokumen Deskripsi SDMK DIY Tahun 2012
Berdasarkan data yang tertera diatas dapat kita lihat bahwa tenaga
kesehatan masyarakat sebagian besar bekerja pada institusi pendidikan tenaga
kesehatan yang jumlahnya mencapai 365 orang, adapun pada fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya jumlahnya sangat sedikit, hanya mencapai 6
orang. Adapun untuk tenaga sanitarian sejumlah 152 orang bekerja di
puskesmas, sedangkan lainnya secara merata bekerja di sarana kesehatan
lainnya, baik di Dinas Kesehatan, rumah sakit maupun institusi diknakes dan
fasiltas pelayanan kesehatan lainnya.

5.1.5Tenaga Gizi
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996
menyebutkan bahwa tenaga gizi terdiri atas nutrisionis dan dietisien. Tenaga
gizi yang bekerja di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta berjumlah 399
orang dengan yang berpendidiikan DIII dan DI sejumlah 282 orang dan yang
berpendidikan DIV dan S1 sejumlah 117 orang. Adapun distribusinya dapat
kita gambarkan pada grafik berikut ini :



97
152
71
76
6
3
365
21
145
44
0
50
100
150
200
250
300
350
400
Kesehatan Masyarakat Sanitarian
Puskesmas
Rumah Sakit
Fasyankes Lainnya
Institusi Diknakes
Dinkes dan UPT

Gambar 45. Distribusi Tenaga Gizi Per Kabupaten/Kota di DIY Tahun 2012

Sumber : Dokumen Deskripsi SDMK DIY Tahun 2012
Berdasarkan data yang tertera diatas jumlah tenaga gizi yaitu sejumlah
399 orang, terbanyak berada di Kabupaten Sleman dengan jumlah tenaga gizi
sebanyak 142 orang, di Kabupaten Bantul sebanyak 70 orang, dengan tenaga
gizi paling sedikit terdapat di Kabupaten Gunungkidul sebanyak 34 orang.
Adapun distribusi tenaga gizi sesuai dengan sarana pelayanan kesehatan
tempat mereka bekerja dapat digambarkan dalam grafik berikut ini :

Gambar 46. Distribusi Tenaga Kesehatan Per Jenis Sarana Pelayanan Kesehatan
di DIY Tahun 2012


Sumber : Dokumen Deskripsi SDMK DIY Tahun 2012
43
70
34
142
62
48
0
20
40
60
80
100
120
140
160
Gizi
Kulonprogo
Bantul
Gunungkidul
Sleman
Kota Yogyakarta
Daerah DIY
159
172
4
36
28
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
Gizi
Puskesmas
Rumah Sakit
Fasyankes Lainnya
Institusi Diknakes
Dinkes dan UPT
Berdasarkan data yang tertera diatas dapat kita lihat bahwa tenaga gizi
sebagian besar bekerja pada rumah sakit yang jumlahnya mencapai 172 orang,
disusul di puskesmas berjumlah 159 orang, adapun pada fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya jumlahnya sangat sedikit.

5.1.6Tenaga Keterapian Fisik dan Tenaga Keteknisian Medis
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996
menyebutkan bahwa tenaga keterapian fisik terdiri atas fisioterapis, okupasi
terapis dan terapi wicara. Adapun untuk tenaga keteknisian medis terdiri atas
radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedis, analis kesehatan,
refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi transfusi dan perekam medis.
Namun demikian, profil kesehatan ini tidak menjelaskan seluruh data tentang
tenaga keterapian fisik dan keteknisian medis yang ada, namun hanya 3 jenis
tenaga kesehatan dalam kelompok ini, yaitu tenaga fisioterapis, tenaga analis
kesehatan dan tenaga teknis elektromedis & radiografer.
Adapun gambaran jumlah tenaga keterapian fisik dan keteknisian medis
di DIY sesuai dengan wilayah kerjanya dapat kita gambarkan sebagai berikut :
Gambar 47. Distribusi Tenaga Keterapian Fisik dan Keteknisian Medis Per
Kabupaten/Kota di DIY Tahun 2012



Sumber : Dokumen Deskripsi SDMK DIY Tahun 2012

Berdasarkan data yang tertera diatas jumlah fisioterapis yaitu sejumlah
169 orang, terbanyak berada di Kabupaten Sleman dengan jumlah tenaga
9
14
62
23
17
70
2 3
53
65
83
239
57
88
271
13
9
23
0
50
100
150
200
250
300
Fisioterapis Teknik Elektromedik &
Radiografer
Analis Kesehatan
Kulonprogo
Bantul
Gunungkidul
Sleman
Kota Yogyakarta
Daerah DIY
fisioterapis sebanyak 65 orang dengan tenaga fisioterapis paling sedikit
terdapat di Kabupaten Gunungkidul sebanyak 2 orang.
Adapun untuk tenaga teknik elektromedik dan radiografer dari sejumlah
214 orang yang terbanyak bekerja di Kota Yogyakarta dengan jumlah 88 orang
disusul di Kabupaten Sleman dengan jumlah 83 orang, adapun yang paling
sedikit jumlah fisioterapis yang bekerja di wilayah Kabupaten Gunungkidul
sebanyak 3 orang.
Untuk tenaga analis kesehatan yang bekerja di wilayah DIY sejumlah 718
orang dengan yang terbanyak bekerja di Kota Yogyakarta yaitu sejumlah 271
orang, disusul Kabupaten Sleman dengan jumlah 239 orang serta di
kabupaten/kota lainnya terdistribusi merata dengan tenaga analis kesehatan
yang berjumlah paling sedikit bekerja di Daerah DIY sejumlah 23 orang.
Apabila dikaitkan dengan tempat kerjanya, maka tenaga fisioterapis,
tenaga teknik elektromedik & radiografer, dan tenaga analis kesehatan yang
bekerja di wilayah DIY sebagian besar bekerja di sarana kesehatan utamanya
di rumah sakit, sedangkan di tempat lain tidak terlalu banyak. Gambaran dari
distribusi tenaga fisioterapis, tenaga teknik elektromedik & radiografer, dan
tenaga analis kesehatan sesuai dengan tempat kerjanya dapat digambarkan
pada grafik berikut ini :
Gambar 48. Distribusi Tenaga Keterapian Fisik dan Keteknisian Medis menurut
Tempat Kerjanya di DIY Tahun 2012


Sumber : Dokumen Deskripsi SDMK DIY Tahun 2012
Dari data di atas dapat kita lihat bahwa dari seluruh tenaga
fisioterapis yang ada sebagian besar bekerja di rumah sakit dengan jumlah 123
18
10
170
123
162
362
15
33
148
10
5
14
3 4
24
0
50
100
150
200
250
300
350
400
Fisioterapis Teknik Elektromedik &
Radiografer
Analis Kesehatan
Puskesmas
Rumah Sakit
Fasyankes Lainnya
Institusi Diknakes
Dinkes dan UPT
orang, disusul dengan yang bekerja di puskesmas sejumlah 18 orang dan
disusul oleh fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Adapun untuk tenaga teknik
elektromedi dan radiografer sejumlah 162 orang bekerja di rumah sakit dan
sisanya tersebar di fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Analis kesehatan
yang paling banyak bekerja di rumah sakit dengan jumlah analis kesehatan
sebanyak 362 orang, disusul yang bekerja di puskesmas sejumlah 170 orang.
5.2. Sarana Kesehatan
Sarana pelayanan kesehatan di DIY relatif cukup banyak baik dari segi
jumlah maupun jenisnya. Sarana pelayanan kesehatan dasar milik pemerintah
(Puskesmas) telah menjangkau keseluruhan Kecamatan yang ada di
Kabupaten / kota bahkan jika digabungkan dengan puskesmas pembantu
sebagai jaringan pelayannya, telah mampu menjangkau seluruh desa yang
ada. Jumlah puskesmas terbanyak adalah di Kabupaten Gunungkidul dengan
30 puskesmas disusul oleh Kabupaten Bantul dan Sleman masing-masing 27
dan 25 puskesmas. Sementara untuk Kota Yogyakarta memiliki 18 puskesmas.
Dari sejumlah total 121 puskesmas tersebut, sebanyak 42 diantaranya telah
dikembangkan menjadi puskesmas rawat inap. Seluruh Puskesmas telah
dilengkapi dengan jaringan Puskesmas Pembantu, Puskesmas Keliling dan
memiliki jaringan kemitraan dengan Desa Siaga di seluruh wilayah.
Perkembangan pelayanan kesehatan dasar di sektor swasta juga
berkembang dengan pesat dengan munculnya berbagai sarana pelayanan
seperti dokter praktek swasta, bidan praktek swasta, poliklinik, praktek
bersama dan lain sebagainya.





Tabe 6. Jumlah Rumah Sakit dan Jenis Sarana Lainnya Tahun 2012

Sarana pelayanan kesehatan rujukan di DIY juga relatif telah memadai
dengan berbagai jenis pelayannya. Rumah sakit pemerintah tersedia di kelima
kabupaten / kota. Secara kumulatif Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta
adalah dua wilayah yang memiliki jumlah sarana pelayanan kesehatan rujukan
terbanyak dibandingkan dengan tiga wilayah lain. Perkembangan pelayanan
rujuakan di sektor swasta sangat pesat dalam 10 tahun terakhir. Sarana
pelayanan rujukan khusus juga telah berkembang diantaranya untuk jenis
pelayanan kesehatan mata, jiwa, dan paru.
Sarana pelayanan kesehatan pendukung seperti laboratorium kesehatan
juga berkembang baik dengan semakin besarnya peran swasta. Dalam 3 tahun
terakhir telah tumbuh berbagai sarana pelayanan pendukung laboratorium dan
apotik. Pemerintah DIY sendiri telah memiliki sarana Balai Laboratorium
Kesehatan (UPT) dan instalasi farmasi.
Unit Pelayanan Teknis juga berkembang baik di tingkat provinsi dan
Kabupaten / Kota. UPT laboratorium tersedia di setiap wilayah. Sementara
untuk UPT jaminan kesehatan baru berkembang di tingkat provinsi, Kabupaten
Sleman dan Kota Yogyakarta. UPT balai paru merupakan unit pelayanan
pemeriksaan paru yang dimiliki oleh Pemerintah DIY yang menjadi pusat
rujukan untuk pemeriksaan paru dan di masa mendatang akan dikembangkan
lebih lanjut menjadi rumah sakit khusus. UPT Bapelkes (balai pelatihan
kesehatan) dikelola oleh Dinas Kesehatan DIY untuk memberikan dukungan
dalam pengembangan sumberdaya manusia kesehatan di Provinsi DIY.
Pelayanan pengobatan tradisional yang berbasis bukti juga telah mulai
dikembangkan bekerjasama dengan berbagai institusi pendidikan kesehatan
yang ada di DIY yang melahirkan gagasan untuk pengembangan
pembinaannya di tahun-tahun mendatang.
5.3. Pembiayaan Kesehatan
Program Pembiayaan Kesehatan telah dilaksanakan sesuai dengan
pedoman di tingkat Pusat, diantaranya untuk Program Jaminan Kesehatan
untuk masyarakat miskin. Selain program Jamkesmas, pembiayaan kesehatan
masyarakat miskin juga dilaksanakan melalui program Askes, Jamsostek,
Jamkesos dan Jamkesda. Program Jamkesmas di DIY per Desember 2012
telah diikuti oleh 942.129 jiwa, dengan perincian Kota Yogyakarta 68.456 jiwa,
Bantul 222.987 jiwa, Kulon Progo 141.893 jiwa, Gunungkidul 340.635 jiwa dan
Sleman 168.158 jiwa. Gambaran kepesertaan jaminan kesehatan di DIY
secara keseluruhan sebagai berikut :

Gambar 50. Peserta Jaminan Kesehatan di DIY Tahun 2012
DIY mempunyai unit teknis sebagai pengelolaan Jaminan Kesehatan
berupa unit pelayanan teknis dari Dinas Kesehatan yang mempunyai tugas
untuk pengelolaan program Jamkessos. Pelayanan kesehatan bagi keluarga
miskin di unit pelayanan kesehatan baik puskesmas dan rumah sakit yang
bekerjasama dengan Jamkessos adalah sebagai berikut :

Tabel 6 . Pemberi Pelayanan Kesehatan yang bekerjasama dengan
Jamkessos Tahun 2012
No KAB./KOTA PPK I PPK II DAN III
PUSKESM
AS DOKEL BPS BP4
RS.
PEMERINTAH
RS.
SWASTA
1. Kota Yogyakarta 18 3 5 1 1 12
2. Bantul 27 9 32 1 13
3. Kulonprogo 21 2 36 1 5
4. Gunungkidul 30 7 46 1 1
5. Sleman 25 2 7 4 9
JUMLAH 121 23 126 1 8 40
Sumber data : Seksi Pembiayaan Kesehatan Tahun 2012

Sesuai dengan pedoman pengelolaan jaminan kesehatan keluarga
miskin DIY memlaksanakan program Jamkesmas, pada tahun 2011
pelayanan kesehatan bagi keluraga miskin di unit pelayanan kesehatan baik
dokter keluarga, bidan swasta, puskesmas dan rumah sakit yang
bekerjasama dengan Jamkesmas adalah sebagai berikut :
Tabel 7. Pemberi Pelayanan Kesehatan yang bekerjasama dengan
Jamkesmas Tahun 2011

No KAB./KOTA PPK 1 PPK II DAN III
PUSKE
SMAS BPS BP4
RS.PEME
RINTAH RS. SWASTA
1. Kota Yogyakarta 18 13 1 1 13
2. Bantul 27 34 1 7
3. Kulonprogo 21 54 1 2
4. Gunungkidul 30 45 1 1
5. Sleman 25 63 4 9
JUMLAH 121 209 1 8 32
Sumber data : Seksi Pembiayaan Kesehatan Tahun 2012

Pembiayaan Program Kesehatan di DIY bersumber pada Anggaran
Pendapatan & Belanja Negara dan Daerah (APBN/APBD), serta sebagian
kecil dari Bantuan Luar Negeri (BLN). Besaran anggaran kesehatan di DIY
pada tahun 2012 adalah sebagai berikut Rp.664.354.423.833,-

Gambar 49. Persentase Anggaran Kesehatan DIY Tahun 2012
Proporsi anggaran kesehatan di DIY terbesar adalah anggaran yang
bersumber pada APBD dari 5 Kabupaten/Kota (44,6%), APBN sebesar 38,9%
sedangkan untuk Dana Luar negri sangat kecil hanya 0,6%. Total anggaran
kesehatan di DIY pada tahun 2012 adalah sebesar Rp.874.088.182.650,-
dengan anggaran kesehatan perkapita sebesar Rp.240.604,- (rincian lebih
lanjut dapat dilihat pada lampiran). Anggaran APBD di Kabupaten/Kota untuk
kesehatan secara keseluruhan sebesar Rp.543.001.581.419,- sedangkan
prosentase anggaran APBD kesehatan terhadap APBD Kabupaten/Kota
masih sekitar 8,86% (prosentase tertinggi di Kabupaten Bantul sebesar 13%
dan terendah di Kabupaten Kulon Progo sebesar 5,1%).








BAB V KESIMPULAN
Pembangunan Kesehatan di wilayah DIY telah berjalan sesuai dengan
pedoman dan kewenangan yang telah ditetapkan melalui dasar hukum yang
berlaku. Dinas Kesehatan DIY sebagai institusi yang ditunjuk dalam melaksanakan
tugas pokok dan fungsinya sebagai penggerak pembangunan kesehatan telah
melaksanakan program-program pembangunan kesehatan sesuai dengan Rencana
Strategik Dinas Kesehatan tahun 2009-2013. Capaian pembangunan kesehatan
dapat dilihat melalui beberapa indikator Program Pelayanan Kesehatan, yaitu
diantaranya sebagai berikut :
A. Indikator keberhasilan dari aspek sumberdaya kesehatan :
Total anggaran kesehatan di DIY tahun 2012 sebesar :
Rp.874.088.182.650,-, Anggaran kesehatan perkapita Rp.240.604,- dan
rata-rata prosentase APBD kesehatan terhadap APBD Kab/Kota sebesar
8,86%.
Jumlah Sarana Kesehatan Dasar di DIY : Puskesmas 121, Puskesmas
dengan tempat tidur 42, Puskesmas Pembantu 318 dan Poskesdes 198
buah.
Jumlah sarana kesehatan rujukan (Rumah Sakit) mengalami peningkatan
dari 63 RS pada tahun 2011 menjadi 65 RS pada tahun 2012.
Jumlah tenaga medis : Jumlah dokter umum sebanyak 1.375 orang,
jumlah dokter spesialis 1.214 dan dokter gigi 611 orang.
B. Hasil indikator pencapaian (cakupan program), diantaranya :
Status gizi balita di DIY pada tahun 2012 telah mencapai 0,59%.
Jumlah kematian ibu pada tahun 2012 mengalami penurunan yaitu
sebesar 40 kasus dibanding pada tahun 2011 (56 kasus) dengan
penyebab utama adalah perdarahan, eklamsi dan sepsis.
Jumlah kematian bayi (0-12 hari) tahun 2012 sebesar 400 kasus. Jumlah
kematian neonatus (0-28 hari) sebesar 281 kasus.
Cakupan K1 sebesar 100%, K4 sebesar 93,31% dan cakupan persalinan
nakes 99,85%. Cakupan pelayanan kesehatan bayi dan balita pada tahun
2012 adalah : cakupan yankes bayi sebesar 89,1% sedangkan yankes
anak balita 82,59%.
Gambaran penyakit TB Paru di DIY : prevalensi TB paru 76,88 per
100.000 penduduk, jumlah kasus TB tahun 2012 di DIY 2.858 kasus.
Jumlah kasus HIV/AIDS di DIY sebanyak 1.941 kasus dengan perincian
HIV 1.110 dan AIDS 831 kasus pada tahun 2012.
Sepuluh besar penyakit yang didiagnosa pada pasien rawat jalan di
Puskesmas sesuai laporan sistem survailans terpadu adalah : influensa,
diare, hipertensi, DM, pneumonia, tiphus, diare berdarah, tersangka TB
paru, campak dan TB BTA positif. Sedangkan di Rumah Sakit adalah :
infeksi saluran nafas atas, demam, diare, dispepsia, hipertensi,
dermatosis, cedera, penyakit pulpa, faringitis dan gangguan mental.
Prosentase tempat-tempat umum yang memenuhi syarat kesehatan pada
tahun 2012 sebesar 75,79% sedangkan rumah sehat yang memenuhi
syarat sebesar 69,05%.

Anda mungkin juga menyukai