Anda di halaman 1dari 10

PERTUMBUHAN LEKSIKOGRAFI BAHASA

ARAB (Sebuah Kajian Historis-Deskriptif)



PERTUMBUHAN LEKSIKOGRAFI BAHASA ARAB
(Sebuah Kajian Historis-Deskriptif)
Muhyiddin
Pengantar
Sebuah bahasa, termasuk bahasa Arab, pada awalnya bermula dari bahasa lisan
(lughah al-nutq) yang digunakan para pemakai bahasa untuk berkomunikasi dengan
sesamanya, sebelum pada tahap selanjutnya, bahasa itu dikodifikasi atau dibukukan dalam
bentuk bahasa tulis (lughah kitabah) yang kemudia banyak orang menyebutnya dengan
istilah kamus/mujam.
Kamus adalah sejenis buku rujukan yang menerangkan makna kata-kata. Ia berfungsi
untuk membantu seseorang mengenal perkataan baru. Selain menerangkan maksud kata,
kamus juga mungkin mempunyai pedoman sebutan, asal-usul (etimologi) sesuatu perkataan
dan juga contoh penggunaan bagi sesuatu perkataan. Untuk memperjelas kadang kala
terdapat juga ilustrasi di dalam kamus.[1]
Kata kamus diserap dari bahasa Arab qamus (), dengan bentuk
jamaknyaqawamis. Kata Arab itu sendiri berasal dari kata Yunani (okeanos) yang
berarti 'samudra'. Sejarah kata itu jelas memperlihatkan makna dasar yang terkandung dalam
kata kamus, yaitu wadah pengetahuan, khususnya pengetahuan bahasa, yang tidak terhingga
dalam dan luasnya. Dewasa ini kamus merupakan khazanah yang memuat perbendaharaan
kata suatu bahasa, yang secara ideal tidak terbatas jumlahnya.[2]
Dalam tulisan berikut, saya akan menjelaskan bagaimana eksistensi leksikologi (ilmu
perkamusan) dalam dunia Arab ditinjau dari segi sejarah, klasifikasi, dan metode yang
digunakan. Saya sangat meyakini bahwa tulisan ini jauh dari sempurna oleh karenanya saran
dan masukan sangat diperlukan demi kepentingan kelengkapan informasi, ketajaman analisis,
dan keluwesan tulisan.
A. Pengertian Istilah Ilmu Perkamusan dan Perkembangannya
Leksikologi dalam bahasa Inggris dinamakan lexicology yang berarti ilmu/studi
mengenai bentuk , sejarah dan arti kata-kata. Menurut istilah, leksikologi adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari seluk beluk makna/arti kosakata yang termuat atau akan
dimuat di dalam kamus.[3]
Dalam bahasa Arab, leksikologi disebut dengan ilm al-maajim, yaitu ilmu yang
mempelajari tentang seluk beluk kamus. Secara etomologi, kata mujam[4] berasal dari
kata al-ujm dan al-ajm lawan kata dari alarb dan al-urb. Kata al-ajam berarti orang yang
ucapannya tidak fasih dan pembicaraannya tidak jelas. Sedangkan kata ajami lebih identik
dengan sebuatan untuk orang non-Arab, baik ucapannya fasih maupun tidak. Orang asing
yang masih memiliki garis keturunan Arab, juga disebut orang ajam.
Kata ajam sinonim dengan kata abham yang berarti sesuatu yang tidak jelas.
Karena itu dalam bahasa Arab, binatang disebut ajma atau abham karena binatang tidak bisa
bicara. Bahkan segala sesuatu yang tidak bisa bicara dengan baik dan benar, biasa
disebut ajam danmustajam. Ibnu Jinni mengatakan, Aku mengetahui bahwa a-ja-
ma dalam perkataan orang-orang Arab digunakan untuk menyebut sesuatu yang belum jelas
atau masih samar. Jadi, katamujam adalah lawan kata (antonym) dari kata bayan, fasih yang
berarti jelas.
Bila dilihat dari aspek morfologis, kata mujam berakar pada kata kerja yang
berwazanaf-a-la. Wazan empat huruf dengan huruf tambahan berupa hamzah pada awal kata,
berarti memiliki fungsi ganda. Terkadang ia berfungsi menetapkan, tapi terkadang wazan af-
a-la juga berfungsi meniadakan. Demikian juga dengan istilah mujam yang digunakan
sebagai sign untuk kamus. Mujam yang berasal dari ajam ternyata berfungsi meniadakan
bukan menetapkan, sehingga kata mujam menjadi tepat bila dipakai untuk menyebut benda
bernama kamus, mengingat fungsi kamus adalah meniadakan ketidakjelasan arti kosakata,
menghilangkan ambigu atau menyingkirkan ketidaktahuan. Dengan mujam (kamus),
seseorang dapat memahami arti sebuah kata.
Kamus, menurut Ahmad Abdul Ghafur Atthar, adalah buku yang memuat sejumlah
besar kosakata bahasa yang disertai penjelasannya dan interpretasi atau penafsiran makna
dari kosakata tersebut yang semua isinya disusun dengan sistematika tertentu, baik
berdasarkan urutan huruf hijaiyah (lafal) atau tema (makna).[5]
Sedangkan menurut C.L. Barnhart, definisi kamus adalah sebuah buku yang memuat
kosakata pilihan yang umumnya disusun berdasarkan urutan alphabet dengan sisertai
penjelasan maknanya dan dilengkapi informasi lain yang berhubungan dengan kosakata, baik
penjelasan tersebut menggunakan bahasa yang kata sama dengan kosakata yang ada maupun
dengan bahasa yang lain.[6]
Menurut Dr.Ali Al-Qasimy, leksikologi (ilm al-maajim),[7] adalah: Leksikologi atau
ilmu kosakata adalah ilmu yang membahas tentang kosakata dan maknanya dalam sebuah
bahasa atau beberapa bahasa. Ilmu ini memprioritaskan kajiannya dalam hal derivasi kata,
struktur kata, makna kosakata, idiom-idiom, sinonim dan polisemi.
Ada beberapa istilah dalam bahasa Arab yang dipakai untuk menyebut kamus, yaitu
:mujam, qamus, fihris, mausuah (ensiklopedi) dan musrid (indeks, glosarium). Semua
istilah tersebut mengarah kepada satu pengertian bahwasanya kamus, ensiklopedia, indeks,
glosarium adalah kumpulan kosakata yang dilengkapi makna/artinya dan keterangan lain
yang bertujuan untuk menjelaskan informasi yang berhubungan dengan kata-kata yang
termuat di dalam daftar tersebut. Kesemua kosakata beserta maknanya disusun secara teratur,
berurutan berdasarkan sistematika tertentu yang dipilih oleh penyusun kamus untuk
mempermudah pengguna (user) atau pembaca dalam memahami makna daninformasi tentang
kata yang dicari.
Selain istilah leksikologi dan ilm al-maajim, ada juga beberapa istilah lain yang
digunakan untuk menyebut ilmu tentang kamus. Misalnya saja, Ilm al-Alfadz, al-
Laffadzah, IlmDalalah Mujamiyah dan sebagainya.
Terlepas dari perbedaab istilah dalam bahasa Arab dalam menyebut ilmu tentang
kamus ini, yang jelas, munculnya berbagai nama tersebut menunjukkan pesatnya
perkembangan ilmu bahasa. Linguistik Arab, terutama di bidang ilmu makna. Sebuah bahasa
yang terdiri dari kumpulan kata dan kalimat, pada awalnya hanya berupa suara-suara dan
belum dikodifikasi atau ditampung dalam bentuk bahasa tulis. Apalagi terhimpun didalam
sebuah kamus sebagai sebuah buku/pedoman yang berfungsi memuat umpulan kata dan
penjelasan maknanya.
Dengan berkembangnya berbagai ilmu dalam bidang perkamusan, pembuatan kamus
pun semakin pesat. Hal ini ditujukkan dengan munculnya kamus-kamus
kontemporer. Dankamus-kamus tersebut bukan hanya membantu manusia dalam memahami
makna suau kalimat yang belum dipahami, akan tetapi lebih dari itu, penyusunan kamus ini
adalah bagian dari upaya optimal manusia dalam menjaga eksistensi bahasa mereka.
Proses transfer dari bahasa lisan ke bahasa tulis menuntut para penutur bahasa
mengembangkan ilmu tentang makna (semantic) untuk memahami kosa kata lama maupun
baru yang ada di dalam bahasa mereka. Interpretasi dan studi kosakata itu lebih dikenal
dengan dengan ilmu kosakata (ilmu al-mufradat). Pada tahapan selanjutnya, hasil kajian dan
penelitian dari ilmu kosakata, terutama yang telah maupun yang akan dikodifikasi ke dalam
sebuah kamus, melahirkan ilmu leksikologi.
Lebih dari itu, perwajahan kamus dan sistematika penyusunan kosakata ke dalam
kamus-kamus berbahasa Arab juga terus berubah dan berkembang secara inovatif dari masa
ke masa. Munculnya kamus-kamus bahasa yang berasal dari hasil usaha penelitian para
penyusunnya, secara tidak langsung, maka makna-makna dari kosakata yang telah dimuat di
dalam kamus, telah mereka nilai sebagai kosakata baku dan maknanya shahih, sehingga pada
akhirnya, sebuah kamus tidak sekedar berfungsi sebagai buku yang memuat kumpulan
makna, tetapi ia dipandang sebagai buku pedoman bahasa fusha (resmi) yang baku. Disinilah
letak urgensitas kamus dalam menyebarkan kosakata dan maknanya, mempengaruhi
interpretasi pembaca kamus dalam memahami makna, menyeleksi mana kosakata yang fasih
dan yang tidak, dan sebagainya.
Kamus-kamus bahasa Arab yang terbit dengan varian dan karakteristik yang berbeda-
beda telah mendorong para pakar bahasa untuk lebih serius mendalami teknik-teknik
penyusunan yang inovatif dan informatif. Fenomena ini melahirkan ilmu leksikografi (Ilm
Shinaah Al-Mujamiyyah atau Dirasah Mujamiyyah) atau ilmu perkamusan yang bukan
hanya sebatas membahas tentang seluk beluk makna leksikal dari kosakata, tetapi juga
sebagai ilmu yang membahas teknik pemilihan sistematika dalam menyusun kamus,
memahami kelengkapan komponen kamus dan sebagainya.
B. Beberapa Faktor Disusunnya Kamus Arab
Sebelum era Dinasti Abbasiyah, bangsa Arab, terutama umat islam, belum banyak
yang mengenal pentingnya kodifikasi bahasa atau penyusunan kamus-kamus bahasa arab.
Paling tidak, menurut Imel badi Yaqub, ada 3 faktor yang menyebabkan kenapa bangsa
Arab belum atau terlambat dalam hal penyusunan kamus.[8]
Pertama, Mayoritas bangsa Arab masih ummy (buta huruf) sebelum Islam datang di
Jazirah Arab, bangsa Arab yang bisa membaca dan menulis dapat dikatakan sangat minim.
Nabi Muhammad SAW sendiri menyatakan, dan al-Quran menegaskan, apa yang telah
diketahui orang-orang pada zamannya, yaitu bahwa beliau buta huruf, dan tak mungkin dapat
menyusun Al-Quran. Memang, pada era wahyu al-Quran diturunkan, mayoritas sahabat
Nabi juga tidak banyak yang mampu membaca dan menulis. Kenyataan ini yang
menyebabkan masyarakat bangsa Arab kurang memperhatikan masalah kodifikasi bahasa
mereka. Apalagi untuk mengumpulkan makna kosakata dan menulisnya dalam bentuk kamus.
Kedua, Tradisi nomadisme dan perang. Di dalam Jazirah Arab, penduduknya tidak
pernah menetap. Perpindahan dari tanah pertanian ke padang rumput dan dari padang rumput
ke tanah pertanian terus terjadi dan menjadi ciri setiap fase sejarah jazirah. Selain tradisi
nomadisme, penduduk jazirah Arab kerap kali berperang antar suku dan golongan. Tradisi
nomadisme dan perang menjadi sebab utama bangsa Arab untuk kurang memperhatikan
tradisi baca tulis dikalangan mereka.
Ketiga, lebih senang dengan bahasa lisan. Tak dapat dipungkiri jika bangsa Arab
sangat fanatik dengan bahasa lisan. Mereka lebih mengagungkan
tradisi muhadatsah. khitabah dan syair. Barangkali, secara geografis, wilayah gurun yang
sepi dan kebiasaan migrasi juga berperan menciptakan tradisi sastra dikalangan mereka.
Ketiga faktor diatas mengakibatkan bangsa Arab sangat tertinggal dengan bangsa lain
dalam hal kodifikasi bahasa atau penyusunan kamus-kamus berbahasa Arab. Sekalipun
demikian, bukan berarti sebelum era dinasti Abbasiyah, bangsa Arab sama sekali tidak
mengenal kamus, sebab leksikologi dalam arti ilmu yang berusaha mengungkap makna-telah
menjadi perbincangan di jazirah Arab. Ide-ide leksikon itu semakin berkembang pesat
dikalangan bangsa Arab, terutama umat Islam, seiring dengan aktifitas mereka dalam usaha
memahami dan menginterpretasikan ayat-ayat suci al-Quran. Salah satu buktinya adalah
riwayat Abu Ubaidah dalam al-Fadhail dari Anas bahwa ketika Khalifah Umar bin Khaatab
ra. (584-644 M) berkhutbah diatas mimbar, beliau membaca ayat : Dan buah-
buahan serta rumpu-rumputan Lalu,Umar berkata:Arti kata fakihah (buah) telah kita
ketahui, tetapi apakah makna kata abb pada ayat tersebut?. Ibnu Abbas ra. Juga pernah
mempertanyakan makna dari kata Fatir dalam firman Allah SWT surat Fatir ayat 1.Untuk
mencari tahu makna kata tersebut,Ibnu Abbas ra. rela masuk ke daerah-daerah pelosok desa
di wilayah Arab Badui yang dikenal masih memiliki kebahasaan yang asli. Kala
itu, Ibnu Abbas melihat 2 orang di dusun yang sedang bertengkar tentang masalah sumur,
salah seorang berkata: Ana Fathartuha (maksudnya, sayalah yang pertama kali
membuatnya). Dengan peristiwa ini, akhirnya Ibnu Abbas bisa memahami bahwa tafsir dari
kata fathir berarti pencipta.
Adapun Faktor-faktor yang mendorong bangsa Arab untuk mengkodifikasi bahasa
mereka dan menyusun kamus-kamus berbahasa Arab,[9] antara lain:
Pertama, kebutuhan bangsa Arab untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Quran.
Kedatangan Islam mengubah makna beberapa kata, dan memasukkan kata-kata baru
yang maknanya juga baru. Pemakaian al-Quran menentukan perubahan ini. Sejumlah kata
juga mendapat konotasi yuristik baru, konotasi keagamaan, etika, politik, ekonomi, atau
sosial, menyusul definisi syariat atau prasyarat etika pribadi dan/atau sosial Islam. Semua ini
perlu diketahui oleh kaum muslim yang berbahasa Arab maupun tidak. Peralihan dari makna
lama ke makna yang baru lebih mudah ditangkap oleh masyarakat berbahasa Arab jazirah.
Peralihan ini semakin sulit ditangkap oleh orang yang tanggung penguasaannya akan bahasa
ini di provinsi-provinsi yang bersebelahan dengan jazirah Arab. Padahal, mereka amat
bersemangat untuk mempelajari kandungan ayat-ayat suci al-Quran.
Kedua, Keinginan mereka untuk menjaga eksistensi bahasa mereka dalam bentuk
bahasa tulis.
Penyebaran agama Islam ke berbagai wilayah dan asimilasi antara orang Arab dan
non-Arab, ikut mempengaruhi tersebarnya lahn atau dialek-dialek yang menyimpang. Ulama
tafsir dan pakar bahasa berusaha keras memerangi lahn dengan berbagai upaya untuk
menjaga al-Quran. Bahkan, pada pertengahan abad ke-2 H., tatkala era tabiin semakin
berkurang kualitasnya, maka bahasa Arab telah atau hampir-hampir berubah menjadi non-
Arab (ajam) karena derasnya penyebaran lahn dan penggunaan bahasa amiyah. Maka, tidak
ada cara yang bisa melindungi bahasa Arab kecuali dengan mengkodifikasikannya.
Ketiga, Banyaknya buku-buku tafsir yang terbit pada masa awal kodifikasi al-Quran
dan Hadits tentang gharaib atau kata-kata asing.
Misalnya saja, Gharib al-Hadis Karya Abu Muhammad Abdullah Bin Muslim Bin
Qutaibah (w. 276 H), Gharib al-Hadis karya Abu Ubaid Al-Qasim Bin Salam Al-Harawy (w.
224 H), Maani al-Quran karya Abu Jafar al-Nuhhas (w. 338 H), dan lainnya.
Keempat, munculnya ilmu-ilmu metodologis pertama dalam Islam.
Perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam, terutama pada masa pemerintahan
bani Abbas melahirkan berbagai disiplin ilmu dan karya-karya ilmiah. Semua ini tidak lepas
dari perkembangan bahasa Arab. Asimilasi antara Arab dan non-Arab berlangsung efektif
dan bernilai guna. Bangsa-bangsa di luar Arab memberi saham tertentu dalam perkembangan
dalam ilmu pengetahuan dalam Islam, sehingga muncul ilmu-ilmu metodologis semisal ilmu
tata bahasa, ilmu tafsir, ilmu nahwu, ilmu balaghah, ilmu fiqih dan ushul al-fiqih, dan
sebagainya, yang kesemuanya bertujuan untuk memelihara dan menjaga al-Quran, sekaligus
menggali kandungannya. Selain itu, gerakan menerjemahkan ilmu-ilmu dari kebudayaan lain
juga mendorong perkembangan kamus-kamus terjemah di kalangan Arab.
C. Tahapan Penulisan Kamus Bahasa Arab
Ahmad Amin (1878-1954) menyebutkan ada 3 tahap kodifikasi bahasa Arab hingga
lahir kamus-kamus bahasa Arab.[10]
Pertama, tahap kodifikasi non-sistemik, pada tahap ini seorang ahli bahasa biasa
melakukan perjalanan menuju ke desa-desa. Lalu, ia mulai mencari data
dengan cara mendengar secara langsung perkataan warga badui yang kemudian ia catat
dilembaran-lembaran tanpa menggunakan sistematika penulisan kamus. Intinya, mereka
mengumpulkan data melalui istima.
Kedua, tahap kodifikasi tematik, pada tahap kedua ini, para ulama yang telah
mengumpulkan data mulai berpikir untuk menggunakan tehnik penulisan secara tematis. Data
yang terkumpul mereka klasifikasikan menjadi buku atau kamus tematik.
Ketiga, tahap kodifikasi sistematik, pada tahap ketiga, penyusunan kamus mulai
menggunakan sistematika penulisan yang lebih baik dan memudahkan para pemakai kamus
dalam mencari makna kata yang ingin diketahui.
D. Garis Besar Sistematika Kamus Arab
Ada 2 model penyusunan mujam arabiyah yang digunakan para leksikolog, yaitu:
(a).Sistem Makna (Kamus Maani) dan (b). Sistem Lafal (Kamus Alfadz).[11]
Sistem makna (Kamus Maani) adalah model penyusunan kosakata (item) di dalam
kamus yang digunakan seorang leksikolog dengan cara menata kata (entri) kamus secara
berurutan berdasarkan makna atau kelompok kosa kata yang maknanya sebidang (tematik).
Dengan kata lain, pengelompokan entri pada kamus-kamus maani lebih mengedepankan
aspek makna yang terkait dengan topik/tema yang telah ditetapkan oleh leksikolog. Dengan
sistematika ini, maka kamus maani lebih tepat disebut dengan kamus tematik. Kamus-kamus
tematik berbahasa Arab, antara lain: al-Gharib al-Mushannaf karya Abu Ubaid Al-Qasi bin
Salam (150-244 H), al-Alfadz al-Kitabiyyah karya Abdurrahman al-Hamdzani (w.320
H),Mutakhayyir al-Alfadz karya Ibnu Faris (w.395 H), Fiqh al-Lughah wa Sir al-
Arabiyyahkarya Abu Mamsyur Al-Tsalabi (w.429 H), al-Mukhashshah fi al-Lughah karya
Ibnu Sydah (398-458 H) dan Kifayah al-Mutahaffidz wa Nihayah al-Muthalaffidz karya Ibnu
Al-Ajdani (w 600 H).
Sistem Lafal (Kamus Alfadz) adalah kamus yang kata-kata (item) didalamnya
tersusun secara berurutan berdasarkan urutan lafal (indeks) dari kosakata yang terhimpun,
bukan melihat pada makna kata. Sejak munculnya kamus bahasa Arab pertama, sistematika
penyusunan kamus-kamus alfadz terus berkembang pesat seiring dengan kebutuhan para
pengguna kamus. Pencarian makna kata dengan cara melihat lafal menjadi Trademark
kamus-kamus bahasa Arab. Bahkan, kamus-kamus tematik hanya dipandang sebagai kitab-
kitab yang membahas tafsir makna sebagaimana kitab-kitab tafsir al-Quran dan bukan lagi
sebagai kamus bahasa. [12]
Dalam sejarah perkembangan Leksikon bahasa Arab, Paling tidak terdapat 5 model
sistematika (nidzam tartib) yang pernah digunakan leksikolog arab dalam menyusun kamus-
kamus lafal,yaitu: Nidzam al-Shauty (Sistem Fonetik), Nidzam Al-Alfabai al-Khas (Sistem
Alfabetis Khusus), Nidzam al-Qafiyah (Sistem Sajak), Nidzam al-Alfabai al-Aam (Sistem
Alfabetis Umum) dan Nidzam al-Nutqi (Sistem Artikulasi).[13]
a. Nidzam al-Shauti (sistem fonetik)
Sistem fonetik merupakan model penyusunan kamus pertama yang diperkenalkan oleh Khalil
Bin Ahmad al-Farahidi. Khalil menyusun kata-kata yang berhasil ia kumpulkan
dengan cara mengatur urutan kata-kata secara tertib berdasarkan urutan huruf yang muncul
dalam makharij al-huruf atau tempat keluarnya huruf hijaiyahmenurut sistem fonetik dalam
ilmu fonologi yang kemudian lebih dikenal dengan istilah nidham al-shauty.
Faktor yang melatar belakangi Khalil Bin Ahmad menyusun kamus dengan model ini
diantaranya: pertama, menghindari pengulangan kata dalam kamus, kedua, mencakup semua
materi/kata, ketiga, memudahkan pembaca dalam mencari makna kata, keempat, tidak ingin
meniru system urutan huruf hijai (alfabetis) dan obsesinya melahirkan kamus bahasa arab
yang beda dengan kamus-kamus bahasa lainnya.
b. Nidzam al-Alfabai al-Khas (sistem alfabetis khusus)
Sistem alfabetis khusus adalah sistem penyusunan kamus lafadz yang diperkenalkan oleh
Abu Bakar Bib Duraid (233-321 H.) memulai kamusnya yang berjudulJamharah al-
Lughah atau yang lebih dikenal dengan kamus al-Jamharah. Yang dimaksud dengan sistem
alfabetis khusus adalah sistem penyusunan urutan kata-kata dalam kamus berdasarkan urutan
huruf hijaiyah yang telah disusun oleh Nashr Bin Ashim, yaitu urutan huruf sejak alif, ba, ta,
tsa, dan seterusnya hingga huruf yaseperti yang kita kenal saat ini. Urutan alfabetis ini
dianggap lebih mudah dan lebih popular di kalangan masyarakat, berbeda dengan urutan
huruf yang berdasarkanmakharij al-huruf yang hanya dikenal oleh orang-orang tertentu yang
mengerti tentang ilmu qiraat (ilmu tajwid).
Ada dua faktor yang melatarbelakangi Ibnu Duraid menyusun kamus sistem alfabai khas ini,
yaitu: pertama, kesulitan dalam mencari makna kata dalam kamus yang menggunakan system
fonetik seperti kamus al-Ain karya Khalil dan kamus-kamus lain yang beredar saat itu.
Kesulitan tersebut banyak dialami masyarakat yang tidak mengenal urutan huruf yang
berdasarkan makhraj. Selain itu, beberapa kamus bersistem fonetik dianggap tidak konsisten
dengan urutan huruf yang bersistem fonetik. Kedua, susunan huruf hijaiyah yang berhasil
disusun oleh Nashr Bin Ashim, telah popular dikalangan masyarakat. Apalagi urutan
huruf hijaiyah itu didukung oleh pemerintah dan diakui oleh ulama dan masyarakat sebagai
system baku dalam penyusunan buku-buku islami selain kamus bahasa.
c. Nidzam al-Qafiyah (Sistem Sajak)
Munculnya kamus-kamus bahasa Arab yang menggunakan system qafiyahmerupakan
perubahan besar-besaran dalam hal sistem. Dinamakan sistem qafiyahsebab penyusunan
urutan kata dalam kamus didasarkan pada urutan huruf terakhir dari sebuah kata seperti
sajak-sajak dalam syair. Pencarian makna kata dalam kamus tidak lagi berdasarkan urutan
huruf dalam makharij al-huruf atau sistem alfabetis khusus, tetapi didasarkan pada huruf
yang terakhir.
Orang yang pertama memperkenalkan sistem qafiyah adalah Ismail Bin Ahmad al-Jawhari
(w. 1003 M.) dari Basrah dengan kamusnya yang berjudul al-Shihhah Fial-Lughah atau yang
dikenal dengan kamus al-shihhah.
Ada empat faktor yang melatarnelakangi munculnya kamus bersistem qafiyah, yaitu:pertama,
obsesi al-Jawhari untuk mewujudkan kamus inovatif dengan sistem baru, mengingat sistem-
sistem penyusunan kamus yang telah ada sebelumnya tidak konsisten, kedua, kebutuhan
masyarakat sastra terhadap kamus-kamus yang bisa menghimpun kumpulan kata yang
memiliki sajak yang sama, ketiga, kata dalam bahasa Arab tidak bisa lepas dari proses
derivasi (isytiqaq), keempat, munculnya banyak karya-karya sastra seperti puisi, prosa,
qasidah, lagu, peribahasa dan sebagainya yang memakai sajak-sajak atau berakhiran huruf
yang sama.
d. Nidzam al-Alfabai al-Aam (Sistem Alfabetis Umum)
Sistem alfabetis umum adalah penyusunan kata dalam kamus berdasarkan urutan
huruf hijaiyah yang kita kenal hingga sekarang, sejak huruf alif hingga ya. Hanya saja,
perbedaan sistem alfabetis umum dengan system alfabetis khusus terletak pada aspek akar
kata (ushul al-kalimah).
Nidzam al-Alfabai al-Aam disebut juga nidzam awail al-ushul atau sistem yang merujuk
pada asal kata (akar kata). Cikal bakal sistem ini, sebenarnya telah lama dirintis oleh ulama
hadis seperti Imam Bukhari dalam shahih-nya, Ibnu Qutaibah dalam kitabnya gharib al-
hadits, atau al-Syaibani dalam kamusnya al-jiim. Akan tetapi, sistem penyusunan kata
tersebut belum diakui oleh kalangan ahli bahasa sebab karya-karya tersebut tidak sepenuhnya
disebut dengan kamus bahasa.
Para peneliti berpendapat, bahwa sistem alfabetis umum yang dikenal dalam ilmu leksikologi
ini, telah lama diperkenalkan oleh al-Zamakhsyari (1074-1143 M). dalam karyanya, asas al-
balaghah. Namun sebagian peneliti berpendapat, bahwa orang pertama yang menyusun
kamus dengan sistem alfabetis umum adalah Abu Al-Mualy Muhammad Bin Tamim Al-
Barmaki (w. 1008). Akhirnya, ditemukan benang merahnya dari silang pendapat ini, bahwa
penemu sistem alfabetis umum tetap al-Barmaki, tetapi orang yang menyempurnakan sistem
itu menjadi sebuah kamus adalah al-Zamakhsyari.
e. Nidzam al-Nutqi (Sistem Artikulasi)
Sistem kamus artikulasi adalah pencarian makna kata berdasarkan huruf pertama yang
terucap dan kata yang dicari langsung bisa diketahui dalam materi kamus, tanpa harus
menuntut seseorang untuk mencari akar kata.
Kelebihan kamus sistem artikulasi terletak pada aspek kemudahan dalam mencari letak
kosakata sehingga pengguna yang awam bisa cepat mencari makna kata dalam kamus
walaupun kurang memahami kaidah ilmu sharf.
Secara historis, sistem artikulasi yang dipakai untuk menyusun kamus-kamus bahasa Arab,
sebenarnya telah lama muncul. Tepatnya, sejak al-Kaafuri menyusun kamus berjudul al-
kulliyat dan al-Jurjani (1340-1413) dengan kamusnya al-tarifat. Hanya saja, bangsa Arab
selalu mengabaikan sistem artikulasi dikarenakan kurang efisien. Sebenarnya system kamus
artikulasi pernah dikembangkan oleh SyekhMuhammad al-Bukhari (w. 1914)
dengan cara menggabungkan materi kosakata yang terdapat di dalam dua kamus besar,
yaitu: lisan al-arab (Ibnu Manzdur) danal-qamus al-mukhith (al-Fairuzabadi). Ia berusaha
keras mengkonfersi seluruh materi dari dua kamus yang urutan hurufnya sistematis sesuai
dengan urutan hurufhijaiyah dan akar kata (ushul al-kalimah). Ia tidak lagi memakai derivasi
kata (isytiqaq) dan tehnik tajrid. Akan tetapi, usahanya ini belum berhasil, sebab ia
meninggal dunia sebelum kamus yang disusunnya selesai.
Pada dekade tahun 60-an, ide al-Bukhari tersebut mulai dikembangkan oleh para
leksikolog di Libanon. Salah satunya adalah Syekh Abdullah al-Ulayali yang berhasil
menyusun sebuah kamus bersistem artikulasi berjudul kamus al-marja di tahun 1963.
Kamus ini memuat urutan kata benda tanpa sedikitpun menggunakan tashrif (derivasi kata).
Ia langsung menempatkan sebuah kata yang bermakna ke bab-bab huruf sesuai huruf awal
kata yang terucap (artikulatif).
E. Penutup
Leksikologi adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari kata, sifat dan makna,
unsur, hubungan antarkata (semantis), kelompok kata, serta keseluruhan leksikon. Ilmu ini
terkait erat dengan leksikografi yang juga mempelajari kata, terutama dalam kaitannya
dengan penyusunan kamus. Secara sederhana, leksikografi disebut sebagai penerapan praktis
dari leksikologi.
Dalam sejarah dunia Arab, pada awalnya kamus/mujam berkembang setelah Islam
yang dibawah oleh Muhammad dengan kitab sucinya yang berbahasa Arab. Bangsa Arab
merasa perlu mempelajari dan memahami Islam (al-Quran). Selain itu, bangsa Arab juga
bersentuhan langsung dengan budaya lain sebagai akibat dari ekspansi Islam. Sehingga dalam
perkembangannya banyak model kamus yang dikembangkan oleh ahli bahasa untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat penggunanya (baca: bangsa Arab) terutama fungsinya
sebagai penjelas dari yang absurd (mubham). Dengan adanya bermacam-
macam mujam yang sampai sekarang bisa kita akses, hal itu menandakan bahwa dunia Arab
(ilmu perkamusan) mempunyai kontribusi yang tidak bisa dianggap sedikit dalam percaturan
perkamusan dunia. Wallahu alam





Daftar Pustaka
Taufiqurrachman, Leksikologi Bahasa Arab, Malang: UIN Malang Press, 2008.
http://id.wikipedia.org/wiki/Kamus
Dazirah Saqqal, Nasyah al-Maajim al-Arabiyah Wa Tathawwuruha, Bairut: Dar Al-
Shadaqah Al-Arabiyah, 1995.
Ahmad Amin, Dhuha Al-Islam, Kairo: Maktabah Al-Nahdhah, 1956.




[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Kamus (diakses 28/12/12).
[2] Ibid.
[3] Ada dua istilah yang dibedakan dalam kajian leksikon, leksikologi dan leksikografi,
penjelasan leksikologi sudah dijelaskan seperti penjelasan di atas, adapun leksikografi adalah
cabang ilmu bahasa yang mempelajari tentang teknik penyusunan kamus. Kegiatan yang terlibat
dalam ilmu leksikografi di antaranya adalah perancangan, kompilasi, penggunaan, serta evaluasi
suatu kamus. Taufiqurrachman, Leksikologi Bahasa Arab, Malang: UIN Malang Press, 2008), 7
[4] Menurut sebagian kalangan, istilah mujam diperkenalkan pertama kalinya oleh
seorang ahli hadis bernama Abdul Qasim Abdullah bin Muhammad Al-Baghawi melalui kedua
kitabnya yang berjudul almujam al-Kabir dan al-Mujam al-Shaghir.
Taufiqurrachman, Leksikologi Bahasa Arab, ..137, bandingkan juga dalam Dazirah
Saqqal, Nasyah al-Maajim al-Arabiyah Wa Tathawwuruha, (Bairut: Dar Al-Shadaqah Al-
Arabiyah, 1995.
[5] Taufiqurrachman, Leksikologi Bahasa Arab131.
[6] Ibid, 132.
[7] Ibid, 6.
[8] Taufiqurrachman, Leksikologi Bahasa Arab,193-198.
[9] Ibid, 201-203.
[10] Ahmad Amin, Dhuha Al-Islam (Kairo: Maktabah Al-Nahdhah, 1956), 263-266.
Taufiqurrachman,Leksikologi Bahasa Arab,. 203-204.
[11] Dazirah Saqqal menyebut kamus yang menggunakan sistem makna dengan al-
maajim al-mubawwabah, sedangkan kamus yang menggunakan sistem lafal dengan al-maajim
al-mujannasah. Dazirah Saqqal, Nasyah al-Maajim al-Arabiyah Wa Tathawwuruha,.10
[12] Taufiqurrachman, Leksikologi Bahasa Arab,213-214.
[13] Ibid., 217-280.

Anda mungkin juga menyukai