Anda di halaman 1dari 26

1

Tauhid

1. Takut Kepada Allah

Rasulullah SAW bersabda: ”Apabila tubuh hamba menggigil karena takut kepada
Allah SWT, dosa-dosanya berguguran seperti daun-daun yang berguguran dari
pohon”.

2. Taat Dan Cinta Kepada Allah Dan Rasul-Nya

Seorang hamba yang mengetahui bahwa kesempurnaan yang hakiki tiada lain
kecuali milik Allah dan setiap yang tampak sempurna dari dirinya atau orang lain
adalah dari dan karena Allah, maka hal itu akan menuntut keinginan menaati-Nya
dan mencintai segala yang mendekatkan diri kepada-Nya.

3. Allah SWT, Maha Tahu Atas Objek Yang Diketahui

Alam tidak bisa lepas dari dua alternatif, pertama alam ada penciptanya, dan alam
tidak ada penciptanya. Kalau alam ada penciptanya tentu Sang Pencipta tidak bisa
terlepas dari dua alternatif, salah satunya bahwa Dia mesti tahu tentang Apa yang
Dia ciptakan.

4. Allah SWT, Maha Berkehendak Atas Apa Yang Wujud

Pada bagian ini, kita akan membicarakan masalah Kehendak (Iradah). Dimana
masalah ini menjadi suatu polemik yang cukup serius. Karena masalah ini pula,
sehingga terjadi kevakuman. Oleh karena itu, insya Allah kami ingin menjelaskan
persoalan ini secara rinci.

5. Iman Kepada Allah (Tauhid dan Tanzih)


Iman kepada Allah SWT memiliki tingkatan dan cara yang berbeda-beda. Tauhid
muncul sebagai penetralisir dari penyimpangan yang mungkin terjadi.
2

1. Takut Kepada Allah

Rasulullah SAW bersabda: "Apabila tubuh hamba menggigil karena takut kepada
Allah SWT, dosa-dosanya berguguran seperti daun-daun yang berguguran dari
pohon".

Abû al-Layts r.a. berkata, "Allah memiliki para malaikat di langit ketujuh. Mereka
bersujud sejak Allah menciptakan mereka hingga hari kiamat. Mereka menggigil
ketakutan karena takut kepada Allah SWT Apabila hari kiamat tiba, mereka
mengangkat kepala dan berkata, Mahasuci Engkau, kami menyembah-Mu dengan
penyembahan yang sebenar-benarnya".

Itulah firman Allah SWT: Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka
dan melaksanakan apa yang diperintahkan (QS. an-Nahl [16]: 50). Yakni, mereka
tidak berbuat maksiat kepada Allah sekejap mata pun.

Rasulullah SAW bersabda, "Apabila tubuh hamba menggigil karena takut kepada
Allah SWT, dosa-dosanya berguguran seperti daun-daun yang berguguran dari
pohon." Dikisahkan bahwa seorang laki-laki tertambat hatinya kepada seorang
perempuan. Perempuan itu keluar untuk suatu keperluan. Laki-laki itu ikut pergi
bersamanya. Ketika mereka berduaan di padang sahara, sementara orang lain sudah
tertidur, laki-laki itu mengungkapkan isi hatinya kepada perempuan tersebut:
Perempuan itu berkata,"Lihatlah, semua orang sudah tertidur."

Laki-laki itu senang mendengar kata-kata itu. Dia mengira bahwa perempuan itu
telah memberikan jawaban kepadanya. Lalu, dia berdiri dan mengelilingi kafilah.
Dia mendapati orang-orang sudah tertidur. Lalu, dia kembali kepada perempuan itu
dan berkata, "Benar, mereka telah tidur." Namun, perempuan itu bertanya, "Apa
pendapatmu tentang Allah, apakah Dia tidur pada saat ini?" Laki-laki itu menjawab,
"Allah SWT tidak tidur. Dia tidak pernah terserang kantuk dan tidur". Perempuan
itu berkata, "Zat yang tidak tidur dan tidak akan tidur selalu melihat kita walaupun
orang lain tidak melihat kita. Karena itu, Allah lebih pantas untuk ditakuti."

Akhirnya, laki-laki itu pun meninggalkan perempuan tadi karena takut kepada
Sang Pencipta. Dia bertobat dan kembali ke kampung halamannya. Ketika dia
meninggal, orang-orang bemimpi melihatnya. Ditanyakan kepadanya, "Apa
tindakan Allah kepadamu?" Dia menjawab, "Dia mengampuniku karena
ketakutanku itu. Dengan demikian, terhapuslah dosa tersebut."

Dikisahkan bahwa di tengah Bani Israil ada seorang ahli ibadah yang memiliki
keluarga. Lalu, dia tertimpa kelaparan sehingga badannya menggigil. Istrinya pergi
untuk mencari makanan bagi keluarganya. Kemudian, dia sampai di rumah seorang
saudagar itu makanan untuk keluarganya. Saudagar itu berkata, "Ya, tapi
serahkanlah dirimu kepadaku."
3

Perempuan itu terdiam dan kembali ke rumahnya. Dia perhatikan keluarganya


yang sedang menjerit kelaparan dan berkata, "Ibu, kami akan mati karena kelaparan.
Berikanlah sesuatu yang dapat kami makan."

Perempuan itu pergi lagi ke rumah saudagar tadi dan mengabarkan keadaan
keluarganya. Saudagar itu bertanya, "Maukah engkau memenuhi keperluanku?"
Perempuan ltu menjawab, "Ya".

Ketika mereka sedang berduaan, persendian si perempuan itu mengigil sehingga


anggota-anggota tubuhnya hampir terlepas dari badannya. Melihat keadaan itu,
sang saudagar bertanya, "Ada apa denganmu?" Perempuan itu menjawab, "Aku
takut kepada Allah." Saudagar itu berkata, "Engkau saja takut kepada Allah SWT
dengan kemiskinanmu. Aku lebih pantas untuk takut kepada-Nya daripada
dirimu."

Karena itu, dia menjauhi perempuan itu dan memenuhi kebutuhanya. Lalu,
perempuan itu pulang menemui anak-anaknya dengan membawa kenikmatan yang
banyak. Anak-anaknya pun sangat bergembira. Allah mewahyukan kepada Musa
a.s., "Sampaikan kepada fulan bin fulan bahwa Aku telah mengampuni dosa-
dosanya."

Lalu, Musa a.s. menemui saudagar itu dan berkata, "Tampaknya engkau telah
mengerjakan kebajikan diantara dirimu dan Allah." Kemudian, saudagar itu
menceritakan kisahnya. Musa a.s. berkata, "Allah SWT Telah mengampuni dosa-
dosamu." Demikianlah disebutkan di dalam Majma' al-Lathâif.

Diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda, "Allah SWT, berfirman, Pada hamba-Ku
tidak berkumpul dua ketakutan dan dua rasa aman. Barangsiapa yang takut kepada-Ku di
dunia, Aku akan memberikan keamanan kepadanya di akhirat. Sebaliknya, barangsiapa yang
merasa aman kepada-Ku di dunia, Aku akan memberikan rasa takut kepadanya pada hari
kiamat."

Tentang hal itu, Allah SWT Berfirman; "Karena itu, janganlah kamu takut kepada
manusia, tetapi takutlah kepada-Ku". (QS al-Mâ'idah [5]: 44).
"Karena itu, janganlah kamu takut kepada mereka, melainkan takutlah kepada-Ku, jika kamu
benar-benar orang yang beriman". (QS. Ali 'Imrân [3]: 175).

'Umar r.a. pernah jatuh pingsan karena takut ketika mendengar bacaan suatu ayat
al-Qur'an. Pada suatu hari, dia mengambil sebatang jerami, lalu berkata, "Aduhai,
alangkah baiknya jika aku menjadi jerami dan tidak menjadi sesuatu yang disebut.
Aduhai, alangkah baiknya jika dulu ibuku tidak melahirkanku." Dia menangis
terisak-isak sehingga air mata membasahi pipinya. Oleh karena itu, pada wajahnya
ada garis bekas tetesan air mata.

Nabi SAW bersabda, "Tidak masuk neraka orang yang menangis karena takut
kepada Allah hingga air susu kembali pada tetek."
4

Dalam Raqâ'id al-Akhbâr disebutkan: Hari kiamat didatangkan kepada hamba maka
kejelekan-kejelekannya lebih banyak daripada kebaikan-kebaikannya. Lalu, dia
diperintahkan ke neraka. Bulu matanya berkata, "Wahai Tuhanku, Rasul-Mu
Muhammad SAW telah bersabda, Barangsiapa yang menangis karena takut kepada Allah,
Dia mengharamkannya pada api neraka. Lalu, aku menangis karena takut kepada-Mu."
Karena itu, Allah mengampuni dan mengeluarkannya dari neraka dengan berkah
sehelai bulu matanya yang ketika di dunia pernah menangis karena takut kepada
Allah SWT. Jibril a.s. berseru, "Fulan bin fulan selamat karena sehelai bulu mata".

Dalam Bidâyah al-Hidâyah disebutkan: Pada hari kiamat, didatangkan Neraka


Jahanam yang nyalanya bergemuruh, dan setiap umat berlutut karena takut
kepadanya. Sebagaimana hal itu difirmankan Allah SWT. Dan (pada hari itu) kamu
lihat tiap-tiap umat berlutut. Tiap-tiap umat dipanggil untuk (melihat) buku catatan
amalnya (QS. al-Jatsiyah [45]: 28).

Ketika mendatangi neraka, mereka mendengar suara didih dan nyalanya. Gemuruh
nyalanya terdengar hingga jarak perjalanan lima ratus tahun. Setiap para nabi
berkata, "Diriku, diriku," kecuali Rasullullah SAW. Beliau berkata, "Umatku,
umatku." Dari Neraka Jahim itu keluar api sebesar gunung. Umat Muhammad SAW
berusaha mendorongnya. Mereka berkata, "Wahai api, demi hak orang-orang yang
menegakkan shalat, yang bersedekah, yang khusyu' dan yang puasa, kembalilah."
Namun, api itu tidak mati kembali maka dipanggillah Jibril a.s. Kemudian Jibril
datang dengan membawa segelas air, lalu diberikan kepada Rasulullah SAW. Jibril
berkata, "Wahai Rasulullah, ambillah ini, lalu siramkan pada api itu." Kemudian,
beliau menyiramkannya pada api sehingga ketika itu pula api itu padam.

Lalu Rasulullah SAW bertanya, "Ini air apa?" Jibril a.s. menjawab, "Ini adalah air
mata orang-orang yang durhaka diantara umatmu. Mereka menangis karena takut
kepada Allah SWT. Lalu, aku diperintahkan untuk memberikannya kepadamu agar
disiramkan pada api itu, sehingga api itu menjadi padam dengan izin Allah SWT"
Rasulullah SAW Berdoa, "Ya Allah, anugerahilah aku dengan dua mata itu tidak
menjadi seperti yang digambarkan penyair:

Mengapa mataku tak menangis


karena dosa-dosaku,
Umurku lepas dan tanganku
tetapi aku tak tahu."

Dikisahkan dari Muhammad bin al-Mundzir r.a. bahwa ketika dia menangis, wajah
dan janggutnya dibasahi air mata. Dia berkata, "Telah sampai kabar kepadaku
bahwa api neraka tidak akan membakar tempat-tempat yang pernah dibasahi air
mata."

Karena itu, hendaklah orang Mukmin takut akan azab Allah dan menjauhkan diri
dari hawa nafsu. Allah SWT berfirman: "Adapun orang yang melampaui batas dan
lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat
5

tinggalnya. Dan adapun orang-orang yang takut pada kebesaran Tuhannya dan
menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat
tinggalnya". (QS an-Nazi'at [79]: 37 dan 41).

Barangsiapa yang ingin selamat dari azab Allah dan memperoleh pahala dan
rahmat-Nya, hendaklah dia bersabar atas kesengsaraan dunia dan ketaatan kepada
Allah, serta menjauhi kemaksiatan.

Dalam Zahr al-Riyâdh terdapat hadits yang diriwayatkan dari Nabi SAW. Beliau
bersabda, "Apabila para penghuni surga masuk ke dalam surga, para malaikat
menemui mereka dengan segala kebaikan dan kenikmatan. Para malaikat itu
menempatkan mimbar-mimbar untuk mereka. Diberikan kepada mereka berbagai
macam makanan dan buah-buahan. Terhadap kenikmatan ini, mereka keheranan;
Allah bertanya, "Wahai hamba-hamba-Ku, mengapa kalian tampak keheranan? Ini
bukan tempat untuk merasa heran." Mereka menjawab, "Sesuatu yang dijanjikan
kepada kami telah tiba waktunya." Allah SWT berfirman kepada para malaikat,
"Angkatlah hijab dari wajah mereka." Namun, para malaikat bertanya, "Wahai
Tuhan kami, bagaimana mereka akan melihat-Mu, bukankah dulu mereka adalah
orang-orang yang durhaka?". Allah SWT menjawab, "Angkatlah hijab, karena
mereka adalah orang-orang yang selalu berzikir, bersujud, dan menangis di dunia
karena ingin sekali-bertemu dengan-Ku."

Lalu, hijab itu diangkat. Mereka memandang Allah, lalu menjatuhkan diri untuk
bersujud kepada Allah 'Azza wa Jalla. Allah berfirman kepada mereka, "Angkatlah
kepala kalian. Ini bukan tempat untuk beramal, melainkan tempat kemuliaan."

Allah menampakkan diri kepada mereka tanpa diketahui bagaimana penampakan


diri-Nya, dan dengan rasa bahagia berkata kepada mereka, "Salam sejahtera bagi
kamu sekalian, wahai hamba-hamba-Ku. Aku telah ridla kepada kalian. Apakah
kalian ridla kepada-Ku?" Mereka serentak menjawab, "Wahai Tuhan kami,
bagaimana kami tidak ridla, padahal Engkau telah memberikan kepada kami
sesuatu yang tidak terlihat mata, tidak terdengar telinga, dan tidak terpikirkan
kalbu manusia."

Inilah makna firman Allah SWT: "Allah ridla terhadap mereka dan mereka pun ridla
terhadap-Nya". (QS Ali 'Imrân [3]: 119). (Kepada mereka dikatakan), "Salam,"
sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang (QS Yâsîn [36]: 58).
6

2. Taat Dan Cinta Kepada Allah Dan Rasul-Nya

Seorang hamba yang mengetahui bahwa kesempurnaan yang hakiki tiada lain
kecuali milik Allah dan setiap yang tampak sempurna dari dirinya atau orang lain
adalah dari dan karena Allah, maka hal itu akan menuntut keinginan menaati-Nya
dan mencintai segala yang mendekatkan diri kepada-Nya.

Allah SWT berfirman, Katakanlah, "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah
aku, niscaya Allah mengasihimu" (QS Ali 'Imran [3]: 31).

Ketahuilah, wahai yang dikasihi Allah, bahwa kecintaan hamba kepada Allah dan
Rasul-Nya adalah ketaatan dan kepatuhan kepada perintah Allah dan Rasul-Nya.
Adapun kecintaan Allah kepada hamba-Nya adalah limpahan ampunan-Nya
kepadanya.

Ada yang mengatakan, apabila hamba mengetahui bahwa kesempurnaan yang


hakiki tiada lain kecuali milik Allah dan setiap yang tampak sempurna dari dirinya
atau orang lain adalah dari dan karena Allah, cintanya hanya milik dan kepada
Allah. Hal itu menuntut keinginan mentaati-Nya dan mencintai segala yang
mendekatkan diri kepada-Nya. Oleh karena itu, mahabbah ditafsirkan sebagai
keinginan untuk taat dan kelaziman mengikuti Rasulullah SAW dalam
peribadatannya. Hal itu merupakan dorongan menuju ketaatan kepada-Nya.

Al-Hasan r.a. berkata, "Beberapa kaum berjanji di hadapan Rasulullah SAW, 'Wahai
Rasulullah, sungguh kami mencintai Tuhan kami.' Maka turunlah ayat di atas."

Basyar al-Hâfî berkata, "Aku bermimpi bertemu dengan Nabi SAW. Beliau bertanya,
'Wahai Basyar, tahukah engkau, dengan apa Allah meninggikanmu diantara kawan-
kawanmu?' "Tidak, wahai Rasulullah," jawabku. Beliau bersabda, 'Dengan baktimu
kepada orang-orang saleh, nasihatmu kepada saudara-saudaramu, kecintaanmu
kepada sahabat-sahabatmu dan pengikut Sunnahku, dan kepatuhanmu kepada
Sunnahku.' Selanjutnya Nabi SAW bersabda, 'Barangsiapa yang menghidupkan
Sunnahku, dia telah mencintaiku. Dan, barangsiapa yang mencintaiku, pada hari
kiamat dia bersamaku di surga.'"

Di dalam hadits masyhur disebutkan bahwa orang yang berpegang pada Sunnah
Rasulullah SAW ketika orang lain berbuat kerusakan dan terjadi pertikaian diantara
para penganut mazhab, dia memperoleh pahala dengan seratus pahala syuhada.
Demikian disebutkan dalam Syir'ah al-Islam.

Nabi SAW bersabda, "Semua umatku masuk surga kecuali orang yang tidak
menginginkannya." "Para sahabat bertanya, "Siapa yang tidak menginginkannya?"
Beliau menjawab, "Orang yang mentaatiku masuk surga, sedangkan orang yang
durhaka kepada-ku tidak menginginkan masuk surga. Setiap amalan yang tidak
berdasarkan Sunnahku adalah kemaksiatan."
7

Seorang ulama sufi berkata, "Kalau Anda melihat seorang guru sufi terbang di
udara, berjalan di atas laut atau memakan api, dan sebagainya, sementara dia
meninggalkan perbuatan fardlu atau sunnah secara sengaja, ketahuilah bahwa dia
berdusta dalam pengakuannya. Perbuatannya bukanlah karamah. Kami berlindung
kepada Allah dari yang demikian."

Al-Junayd r.a. berkata, "Seseorang tidak akan sampai kepada Allah kecuali melalui
Allah. Jalan untuk sampai kepada Allah adalah mengikuti al-Mushthafa SAW".

Ahmad al-Hawari r.a. berkata, "Setiap perbuatan tanpa mengikuti Sunnah adalah
batil. Sebagaimana sabda Nabi SAW, "Barangsiapa yang mengabaikan Sunnahku,
haram baginya syafaatku." Demikian disebutkan dalam Syir'ah al-Islam.

Ada seorang gila yang tidak meremehkan dirinya. Kemudian, hal itu diberitahukan
kepada Ma'ruf al-Karkhi. Dia tersenyum, lalu berkata, "Wahai saudaraku, Allah
memiliki para pencinta dari anak-anak, orang dewasa, orang berakal, dan orang gila.
Yang ini adalah yang engkau lihat pada orang gila."

Al-Junayd berkata, "Guruku al-Sari r.a. jatuh sakit. Kami tidak tahu obat untuk
menyembuhkan penyakitnya dan juga tidak tahu sebab sakitnya. Dokter yang
berpengalaman memberikan resep kepada kami. Oleh karena itu, kami menampung
air seninya ke dalam sebuah botol. Lalu, dokter itu melihat dan mengamatinya
dengan saksama. Kemudian dia berkata, Aku melihat air seni ini seperti air seni
seorang pencinta ('âsyiq). 'Aku seperti disambar petir dan jatuh pingsan. Botol itu
pun jatuh dari tanganku. Kemudian, aku kembali kepada al-Sari dan mengabarkan
hal itu kepadanya. Dia tersenyum dan berkata, 'Allah mematikan apa yang dia
lihat.' Aku bertanya, 'Wahai guru, apakah mahabbah itu tampak jelas dalam air
seni?' Dia menjawab, 'Benar.'

Al-Fudhayl r.a. berkata, "Apabila ditanyakan kepadamu, apakah engkau mencintai


Allah, diamlah. Sebab, jika engkau menjawab 'tidak', engkau menjadi kafir.
Sebaliknya, jika engkau menjawab 'ya', berarti sifatmu bukan sifat para pencinta
Allah maka waspadalah dalam mencintai dan membenci (sesuatu)."

Sufyân berkata, "Barangsiapa mencintai orang yang mencintai Allah SWT, berarti
dia mencintai Allah. Barangsiapa memuliakan orang yang memuliakan Allah SWT,
berarti dia memuliakan Allah SWT." Sahl berkata, "Tanda kecintaan kepada Allah
adalah kecintaan kepada al-Qur'an. Tanda kecintaan kepada Allah dan al-Qur'an
adalah kecintaan kepada Nabi SAW. Tanda kecintaan kepada Nabi SAW. adalah
kecintaan kepada Sunnahnya. Tanda kecintaan kepada Sunnahnya adalah kecintaan
kepada akhirat. Tanda kecintaan kepada akhirat adalah membenci keduniaan.
Tanda kebencian kepada keduniaan adalah tidak mengambilnya kecuali sebagai
bekal dan perantara menuju akhirat."

Abu al-Hasan al-Zanjânî berkata, "Pokok ibadah itu adalah tiga anggota badan,
yaitu telinga, hati, dan lidah. Telinga untuk mengambil pelajaran, hati untuk
8

bertafakur, sedangkan lidah untuk berkata benar, bertasbih, dan berzikir.


Sebagaimana Allah SWT berfirman, "Berzikirlah kepada Allah dengan zikir yang
sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang". (QS. al-
Ahzab [33]: 41-42).

Abdullah dan Ahmad bin Harb berada di suatu tempat. Lalu, Ahmad bin Harb
memotong sehelai daun rumput. Kemudian, Abdullah berkata kepadanya, "Engkau
mengambil lima hal yang melalaikan kalbumu dari bertasbih kepada Maulamu.
Engkau membiasakan dirimu sibuk dengan selain zikir kepada Allah SWT. Engkau
jadikan hal itu sebagai jalan yang diikuti orang lain, dan engkau mencegahnya dari
bertasbih kepada Tuhannya. Engkau bebankan kepada dirimu hujjah Allah 'Azza wa
jalla pada hari kiamat." Demikian dikutip dari Rawnaq al-Majâlis.

Al-Sari r.a. berkata, "Aku bersama al-Jurjânî melihat tepung. Lalu, al-Jurjânî
menelannya. Aku tanyakan hal itu kepadanya, 'Mengapa engkau tidak memakan
makanan yang lain?' Dia menjawab, 'Aku hitung di antara mengunyah dan menelan
itu ada tujuh puluh kali tasbih. Karena itu, aku tidak pernah lagi memakan roti sejak
empat puluh tahun yang lalu.

Sahl bin Abdullah makan setiap lima belas hari sekali. Ketika memasuki bulan
Ramadlan, dia tidak makan kecuali sekali saja. Sekali-sekali dia menahan lapar
hingga tujuh puluh hari. Apabila makan, badannya menjadi lemah. Namun jika
lapar, badannya menjadi kuat. Dia beriktikaf di Masjidil Haram selama tiga puluh
tahun tanpa terlihat makan dan minum. Dia tidak melewatkan sesaat pun dari
berzikir kepada Allah.

'Umar bin 'Ubayd tidak pernah keluar dari rumahnya kecuali karena tiga hal, yaitu
shalat berjamaah, menjenguk orang sakit, dan melayat orang yang meninggal. Dia
berkata, "Aku melihat orang-orang mencuri dan merampok. Umur adalah mutiara
indah yang tidak ternilai maka hendaklah umur itu disimpan dalam lemari yang
abadi di akhirat.

Ketahuilah bahwa pencari akhirat harus melakukan kezuhudan dalam kehidupan


dunia agar cita-citanya hanya satu dan batinnya tidak terpisah dari lahirnya. Tidak
mungkin menjaga keadaan itu kecuali dengan penguasaan lahir dan batin."

Ibrahim bin al-Hakim berkata, "Apabila hendak tidur, bapakku sering menceburkan
diri ke laut, lalu bertasbih. Ikan-ikan hiu pun berkumpul dan ikut bertasbih
bersamanya."

Wahab bin Munabbih berdoa kepada Allah agar dihilangkan rasa kantuk pada
malam hari. Karena itu, dia tidak pernah tidur selama empat puluh tahun. Hasan al-
Hallaj mengikat kakinya dari mata kaki hingga lutut dengan tiga belas ikatan. Dia
menunaikan shalat dalam keadaan seperti itu sebanyak seribu rakaat dalam sehari
semalam.
9

AI-Junayd pernah pergi ke pasar dan membuka tokonya. Dia masuk, menurunkan
tirai, menunaikan shalat empat ratus rakaat, kemudian pulang. Selama empat puluh
tahun Habsyi' bin Dawud menunaikan shalat dluha dengan wudlu untuk shalat
'isya maka hendaklah orang-orang Mukmin selalu dalam keadaan suci. Setiap kali
berhadas, bersegeralah bersuci, shalat dua rakaat, dan berusaha menghadap kiblat
dalam setiap duduknya. Hendaklah dia membayangkan bahwa dirinya sedang
duduk di hadapan Nabi SAW, menurut kadar kehadiran dan pengawasan batinnya.
Dengan demikian, dia terbiasa tenang dalam segala perbuatan. Dia rela
menanggung penderitaan, tidak melakukan sesuatu yang menyakiti (orang lain),
dan memohon ampunan dari setiap hal yang menyakitkan. Dia tidak
membanggakan diri dan perbuatannya, karena bangga diri ('ujb) termasuk sifat-sifat
setan. Pandanglah diri dengan mata kehinaan dan pandanglah orang-orang saleh
dengan mata kemuliaan dan keagungan. Barangsiapa yang tidak mengenal
kemuliaan orang-orang saleh, Allah mengharamkannya bergaul dengan mereka.
Dan barangsiapa yang tidak mengenal mulianya ketaatan, dicabutlah manisnya
ketaatan itu dari kalbunya.

Al-Fudhayl bin 'Iyadh ditanya, "Wahai Abu' Al-Fudhayl, kapan seseorang bisa
dikatakan orang saleh?" Dia menjawab, "Apabila ada kesetiaan dalam niatnya, ada
ketakutan dalam kalbunya, ada kebenaran pada lidahnya, dan ada amal saleh pada
anggota tubuhnya."

Allah Swt. berfirman ketika Nabi Saw. melakukan mikraj, "Wahai Ahmad, jika
engkau ingin menjadi orang yang paling wara, berlaku zuhudlah di dunia dan
cintailah akhirat, "Nabi Saw. bertanya, "Wahai Tuhanku, bagaimana cara aku
berlaku zuhud di dunia?" Allah menjawab, " Ambillah dari keduniaan itu sekadar
memenuhi keperluan makan, minum, dan pakaian. Janganlah menyimpannya
untuk hari esok dan biasakanlah berzikir kepada-Ku." Nabi SAW bertanya lagi,
"Wahai Tuhanku, bagaimana cara aku membiasakan berzikir kepada-Mu?" Allah
menjawab, "Dengan mengasingkan diri dari manusia. Gantilah tidurmu dengan
shalat dan makanmu dengan lapar."

Nabi SAW bersabda, "Kezuhudan di dunia dapat menenangkan hati dan badan.
Kecintaan kepadanya dapat memperbanyak tekad kuat dan kesedihan. Kecintaan
kepada keduniaan merupakan induk setiap kesalahan, dan kezuhudan dari
keduniaan merupakan induk setiap kebaikan dan ketaatan."

Seorang saleh melewati sekelompok orang. Tiba-tiba dia mendengar seorang dokter
sedang menerangkan tentang penyakit dan obat-obatan. Dia bertanya, "Wahai
penyembuh penyakit tubuh, dapatkah engkau mengobati penyakit hati?" Dokter itu
menjawab, "Ya, sebutkan penyakitnya." Orang saleh itu berkata, "Dosa telah
menghitamkannya sehingga menjadi keras dan kering. Apakah engkau dapat
mengobatinya?" Dokter menjawab, "Obatnya adalah ketundukan, permohonan yang
sungguh-sungguh, istigfar di tengah malam dan siang hari, bersegera menuju
ketaatan kepada Zat Yang Mahamulia dan Maha Pemberi ampunan, dan
permohonan maaf kepada Raja Yang Mahakuasa. Inilah obat penyakit hati dan
10

penyembuhan dari Zat Yang Maha Mengetahui segala yang gaib." Lalu, orang saleh
itu menjerit dan berlalu sambil menangis. Dia berkata, "Dokter yang baik, engkau
telah mengobati penyakit hatiku." Dokter itu berkata, "Ini adalah penyembuhan
penyakit hati orang yang bertaubat dan mengembalikan kalbunya kepada Zat Yang
Mahabenar dan Maha Menerima taubat".

Dikisahkan bahwa seseorang membeli seorang budak. Lalu budak itu berkata,
"Wahai tuanku, aku ingin mengajukan tiga syarat kepada Anda. Pertama, Anda
tidak menghalangiku untuk menunaikan shalat wajib apabila tiba waktunya. Kedua,
Anda boleh memerintahku sesuka Anda pada siang hari, namun tidak menyuruhku
pada malam hari. Ketiga, Anda memberikan kepadaku sebuah kamar di rumah
Anda yang tidak boleh dimasuki orang lain." Pembeli budak itu berkata, "Aku akan
memenuhi syarat-syarat itu."

Selanjutnya dia berkata, "Lihatlah kamar-kamar itu." Budak itu pun berkeliling dan
menemukan sebuah kamar yang sudah rusak, lalu berkata, "Aku mengambil kamar
ini." Pembeli budak itu bertanya, "Wahai budak, mengapa engkau memilih kamar
yang rusak?" Budak itu menjawab, "Wahai tuanku, tidakkah Anda tahu bahwa yang
rusak itu di sisi Allah merupakan taman."

Budak itu melayani tuannya pada siang dan malamnya dia beribadah kepada
Tuhannya. Hingga pada suatu malam, tuannya berkeliling di sekitar rumahnya, lalu
sampai dikamar budak itu. Tiba-tiba dia melihat kamar itu bercahaya, sementara
budak itu sedang bersujud dan di atas kepalanya ada pelita dari cahaya yang
tergantung di antara langit dan bumi. Budak itu bermunajat dan merendahkan diri
(kepada Allah): Dia berdoa, "Ya Allah, aku memenuhi hak tuanku dan melayaninya
pada siang hari. Kalau tidak begitu, niscaya aku tidak akan melewatkan siang dan
malamku selain untuk berkhidmat kepada-Mu maka ampunilah aku, wahai
Tuhanku."

Tuannya menyaksikan hal itu hingga tiba waktu subuh. Pelita itu menghilang dan
atap kamar itu pun menutup kembali. Lalu, dia kembali dan memberitahukan hal
itu kepada istrinya. Ketika malam kedua tiba, dia mengajak istrinya dan mendatangi
pintu kamar itu. Tiba-tiba mereka menemukan budak itu sedang bersujud dan ada
pelita di atas kepalanya. Mereka pun berdiri di depan pintu kamar sambil
memandangi budak itu dan menangis hingga tiba waktu subuh. Lalu, mereka
memanggil budak itu dan berkata, "Engkau aku merdekakan karena Allah SWT
sehingga engkau dapat mengisi siang dan malammu dengan beribadah kepada Zat
yang engkau mohonkan maaf-Nya."

Kemudian, budak itu menadahkan tangannya ke langit dan berkata,

Wahai Pemilik segala rahasia


kini rahasia itu telah tampak
hidup ini tak lagi kuinginkan
setelah rahasia itu tersebar.
11

Lalu dia berdoa, "Ya Allah, aku memohon kematian kepada-Mu." Budak itu pun
tersungkur dan lalu meninggal. Demikianlah keadaan orang-orang saleh, serta para
pencinta dan pendamba.

Dalam Zahr al-Riyadh disebutkan bahwa Musa a.s. punya seorang karib yang sangat
dekat. Pada suatu hari, karibnya berkata, "Wahai Musa, berdoalah kepada Allah
agar aku dapat mengenal-Nya dengan makrifat yang sebenar-benarnya."

Musa a.s. berdoa, dan doanya dikabulkan. Kemudian, karibnya pergi ke puncak
gunung bersama binatang-binatang buas. Musa pun kehilangan dia maka Musa
berdoa, "Wahai Tuhanku, aku kehilangan saudara dan karibku." Tiba-tiba ada
jawaban, "Wahai Musa, orang yang mengenal-Ku dengan makrifat yang sebenar-
benarnya tidak bergaul dengan makhluk untuk selama-lamanya."

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Yahya a.s. dan Isa a.s. sedang berjalan di
pasar. Tiba-tiba seorang perempuan menabrak mereka. Yahya a.s. berkata, "Demi
Allah, aku tidak merasakannya."

Lalu Isa a.s. bertanya, "Mahasuci Allah, badanmu ada bersamaku. tetapi kalbumu
ada di mana!" Yahya a.s. menjawab, "Wahai anak bibiku, kalau kalbu merasa
tenteram kepada selain Allah sekejap mata pun, niscaya engkau mengira aku tidak
mengenal Allah."

Seorang ulama berkata, "Makrifat yang benar adalah menceraikan dunia dan akhirat,
dan menyendiri untuk Maula. Dia mabuk karena tegukan mahabbah. Karena itu, dia
tidak sadar kecuali ketika melihat Allah. Dia berada di atas cahaya dari Tuhannya."
12

3. Allah SWT, Maha Tahu Atas Objek Yang Diketahui

Alam tidak bisa lepas dari dua alternatif, pertama alam ada penciptanya, dan alam
tidak ada penciptanya. Kalau alam ada penciptanya tentu Sang Pencipta tidak bisa
terlepas dari dua alternatif, salah satunya bahwa Dia mesti tahu tentang Apa yang
Dia ciptakan.

Orang-orang yang meyakini tentang Sang Pencipta telah bersepakat, bahwa Allah
SWT adalah Mahatahu . Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang apa yang
diketahui-Nya. Apakah Ilmu-Nya akan menambah-Nya ataukah tidak?
Kesepakatan untuk menetapkan tentang Ilmu Allah sudah cukup, lalu kami ingin
menambahkan keterangan, bahwa alam tidak bisa lepas dari dua alternatif: pertama,
alam ada Penciptanya atau alternatif kedua, bahwa alam tidak ada Penciptanya.
Kalau alam ini tidak ada Penciptanya, tentu apa yang telah kami sampaikan di
muka tidak benar. Sementara kalau ada Penciptanya, tentu Sang Pencipta tersebut
tidak bisa lepas dari dua altematif: Dia menciptakan, dan tahu atau tidak terhadap
apa yang Dia ciptakan. Kalau dikatakan, bahwa Dia menciptakannya dan tidak tahu
tentang apa yang Dia ciptakan, karena Dia terpaksa atau bodoh, tentu pernyataan
demikian adalah tidak benar, sebab hal itu mustahil, sebagaimana yang telah kami
jelaskan. Dengan demikian tinggal satu alternatif, yakni Dia mesti tahu tentang apa
yang Dia ciptakan. Kalau dikatakan Dia Mahatahu , hanya saja Dia tahu secara
global (totalitas) dan bukan secara parsial. Sebab kalau secara parsial akan
mengakibatkan Ilmu-Nya huduts, akibat Dia harus mengetahui apa yang baru
terjadi. Akan tetapi hal itu tidak benar, sebab huduts tidaklah berbeda-beda. Kalau
pernyataan itu benar, tentu kalau ada sesuatu yang sangat kecil terwujud tanpa
sepengetahuan-Nya tentu bisa saja terjadinya langit tanpa sepengetahuan-Nya juga.

Kalau dikatakan, "Kami bisa menerima, bahwa Sang Pencipta tidak akan
menciptakan sesuatu kalau Dia tidak tahu tentang apa yang Dia ciptakan tersebut.
Akan tetapi para malaikat yang diserahi tugas untuk mengurus hal tersebut
mengetahui obyek yang diketahui secara mandiri. Dan inilah tingkat kemiripan
sifat-sifat mereka dengan Sang Pencipta."

Kami jawab, bahwa hal itu sangat mustahil, sebab Sang Pencipta SWT menurut
Anda hanyalah akal murni. Sementara akal murni yang bersih dari materi
disyaratkan harus tidak bodoh terhadap obyek yang diketahui. Kebodohan yang
terjadi pada manusia itu, karena ia dalam materi, sehingga karena disibukkan oleh
suatu materi, ia pun tidak akan tahu terhadap yang lain.

Anda telah tahu, bahwa langit -menurut pendapat Anda - tahu tentang apa yang
dapat diketahui secara parsial, lalu mengapa Anda tidak mengharuskan hal itu
untuk Allah SWT sebagaimana menetapkannya untuk langit? Kalau mereka
menjawab, "Karena hal itu akan mengakibatkan terjadinya sesuatu yang baru
(huduts) pada Dzat Allah." Maka dari jawaban tersebut, kami dapat meluruskan,
"Tidak harus demikian, sebab IImu-Nya adalah Qadim (Mahadahulu tanpa
awal) .Dia mengetahui apa yang bakal terjadi dari berbagai formulasi dan
13

transformasi alam sampai titik terakhir. Dan atas dalil Anda, dari sisi mengetahui
berbagai sebab yang pertama tentu akan mengetahui sebab-sebab berikutnya dan
seterusnya, karena orang yang tahu, tentu ia tahu apa penyebabnya. Sedangkan
segala sesuatu yang terjadi tentu ada sebab musababnya, demikian seterusnya
hingga titik akhir dari suatu rangkaian. Lalu sifat baru (huduts) dan perubahan
(taghayyur) itu terjadi terhadap semua makhluk (hawadits). Sementara hal itu akan
berlangsung sesuai dengan IImu-Nya, sehingga IImu-Nya adalah satu dan tidak
berubah. Sedangkan perubahan yang terjadi itu hanya dari sisi, bahwa Dia tahu
tentang perubahan tersebut, dan itu terjadi secara sistematis."

Kalau ada pertanyaan, "Apakah IImu-Nya akan menambah pada Dzat-Nya, ataukah
IImu itu sendiri juga Dzat?"

Kami jawab, "Kelompok Mu'tazilah memang berpendapat, bahwa Dzat-Nya adalah


IImu itu sendiri. Sementara kelompok Asy'ariyyah dan sebagian besar kelompok-
kelompok yang lain berpendapat, bahwa IImu-Nya bukanlah Dzat-Nya. Sementara
yang saya yakini adalah, bahwa Allah SWT Mahatahu, sedangkan dalil yang
membuktikan Kemahatahuan-Nya sudah kami kemukakan sebelumnya Ini
merupakan mukadimah dari mukadimah kedua Kalau sudah ditetapkan, bahwa
Ilmu-Nya akan mengubah Dzat-Nya adalah mustahil, maka dengan demikian kita
akan mengatakan, bahwa Ilmu itu tidak bisa lepas dari dua kemungkinan Ilmu-Nya
adalah Dzat itu sendiri -sementara saya tidak berkeyakinan- seperti ini. Atau
kemungkinan kedua, bahwa ilmu itu tambahan dari Dzat Dan inilah aliran
(madzhab) yang Anda ikuti.

Kalau Ilmu-Nya itu tambahan dari Dzat, tentu tidak dapat lepas, dari tiga alternatif
Ilmu itu lepas dan berdiri sendiri tanpa Dzat, atau Ilmu itu adalah sesuatu yang
harus wujud (wajibul-wujud), atau Dzat itu menjadi syarat Ilmu. Kalau sekarang
Ilmu itu lepas dari Dzat dan berdiri sendiri, dan itu merupakan sesuatu yang qadim,
maka akan ada dua Tuhan, Yaitu Dzat dan Ilmu, sedangkan hal tersebut adalah
mustahil.

Kalau ada pertanyaan, "Apakah Dzat merupakan persyaratan Ilmu?"

Maka kami jawab, "Kalau demikian, maka ia tidak bisa lepas dari dua kemungkinan.
Ia sesuatu yang qadim atau ia sesuatu yang baru (huduts), Kalau ia qadim tentu tidak
dapat dibenarkan bila sesuatu yang qadim menjadi syarat qadim yang lain. Kalau
Ilmu itu sesuatu yang huduts, maka tidak bisa lepas dari dua altematif, ia berada
pada Dzat Sang Pencipta atau pada yang lain Kalau Ilmu yang huduts berada pada
Dzat Sang Pencipta, tentu pada Dzat-Nya terdapat sesuatu yang baru, dan ini tidak
benar. Kalau Ilmu berada pada selain Dzat Sang Pencipta, berarti Ilmu itu bukan
termasuk Sifat-sifat-Nya."

Kalau ditanya, "Ini berarti sama dengan aqidah kelompok Mu'tazilah?"


14

Saya jawab, "Kami dapat membedakan antara aqidah mereka dengan aqidah yang
kami yakini. Dimana kami berkeyakinan, bahwa Allah SWT Maha Mengetahui, baik
secara global maupun parsial, dan tidak boleh dikatakan, bahwa Ilmu-Nya adalah
Dzat-Nya itu sendiri dan lain sebagainya. Sebab ketentuan untuk memberikan
Nama kepada Sang Pencipta secara mutlak adalah cara yang ditempuh oleh syari'at,
dan tidak ada ketentuan syari'at yang menunjukkan, bahwa Ilmu-Nya adalah
tambahan dan merupakan sesuatu yang berdiri sendiri. Akan tetapi hal itu
disebutkan secara mutlak. Sementara banyak alasan rasional yang menunjukkan,
bahwa Allah SWT itu Maha Mengetahui. Dan tidak dapat dibenarkan bila Ilmu-Nya
wujud secara qadim dan berdiri sendiri, tidak butuh kepada Sang Pencipta SWT.
Demikian pula tidak dapat dibenarkan, bila Ilmu itu qadim tapi butuh syarat."
15

4. Allah SWT, Maha Berkehendak Atas Apa Yang Wujud

Kehendak Tuhan (al-Iradah al-Ilahiyah) adalah suatu ungkapan tentang ketetapan


Allah terhadap suatu perbuatan dengan tidak akan melupakannya, maka tujuan dan
maksud untuk mewujudkan itu disebut.

Pada bagian ini, kita akan membicarakan masalah Kehendak (Iradah). Dimana
masalah ini menjadi suatu polemik yang cukup serius. Karena masalah ini pula,
sehingga terjadi kevakuman. Oleh karena itu, insya Allah kami ingin menjelaskan
persoalan ini secara rinci.

Kehendak secara hakiki dan makna yang dapat dipahami adalah kesepakatan jiwa
untuk melakukan perbuatan ketika terwujudnya kekuatan emosional. Lalu di dalam
kekuatan imajinasi terdapat sesuatu yang menggerakkan untuk melakukan
pekerjaan tersebut karena adanya sesuatu yang disenangi atau ditakuti. Akan tetapi
definisi seperti ini mustahil bagi Dzat Sang Pencipta, Allah SWT Dengan demikian,
Kehendak Tuhan (al-Iradah al-Ilahiyyah) adalah suatu ungkapan tentang ketetapan
Allah terhadap suatu perbuatan dengan tidak akan melupakannya. Maka tujuan
dan maksud untuk mewujudkan sesuatu itu disebut Kehendak. Dan pada
hakikatnya hal itu bisa diartikan sebagai munculnya suatu perbuatan dari kekuatan,
sehingga menjadi suatu perbuatan.

Sementara telah dibuktikan dengan dalil, bahwa Allah SWT Maha Mengetahui, Dia
Yang menciptakan alam semesta, dan sudah kita kukuhkan, bahwa alam ini akan
selalu butuh kepada-Nya. Hal itu juga telah kita sepakati, sekalipun mereka
menyebutnya sebagai sebab (illat), tapi mereka telah menetapkan, bahwa alam tidak
akan eksis tanpa Sang Pencipta. Dia juga Maha Mengetahui alam ini. Sedangkan
Ilmu-Nya tentang hal-hal yang Dia ketahui, baik yang telah terjadi, sedang dan
bakal terjadi adalah satu cara dan bentuk yang tidak akan berubah. Dia tidak akan
bodoh dan juga tidak akan lupa.

Ilmu, bila dikaitkan dengan-Nya maka Ilmu itu sebelum pekerjaan dan juga
setelahnya untuk selama-lamanya. Kemudian Ilmu bila dikaitkan dengan apa yang
bakal terjadi dari sisi apa yang diketahui, maka obyek yang diketahui dibedakan
menjadi apa yang telah dan bakal terjadi. Sementara yang bakal terjadi tetap berada
dalam kekuatan, sedangkan yang sudah terjadi telah keluar menjadi suatu
pekerjaan. Akhirnya yang berubah adalah kondisi obyek yang diketahui, dan bukan
Ilmu-Nya.

Ini adalah kaidah yang cukup sempurna bila Anda memahami tingkatan ini.
Apabila ditetapkan demikian, maka segala yang ada dalam "Kekuatan" Iradah-Nya
adalah yang bakal terjadi. Maka Allah SWT adalah Maha Berkehendak untuk
mewujudkan sesuatu, dari sisi, bahwa Dia-lah Yang mensistematisasi seluruh sebab
yang berlaku sesuai dengan Ilmu-Nya. Oleh karena itu, segala sebab akan sesuai
dengan apa yang telah Dia ketahui, sehingga kehendak secara mutlak dalam
bahasan ini dapat diartikan, bahwa apa yang dikehendaki itu telah diketahui.
16

Sementara sistem analogi akan menyatakan, bahwa segala yang dikehendaki itu
sudah diketahui. Lalu segala yang diketahui akan berjalan sesuai dengan apa yang
Dia kehendaki, dan segala yang Dia kehendaki akan berjalan sesuai dengan Ilmu
Allah SWT.

Apabila dibenarkan, bahwa Ilmu merupakan sebab dari yang Dia kehendaki di
dalam "Kekuatan" Iradah-Nya, maka apa yang dilakukan akan mengikuti apa yang
ada di dalam "Kekuatan", sedangkan masalahnya sudah jelas. Sehingga apa yang
keluar telah menjadi perbuatan, maka kejadian (perbuatan) itu menunjukkan
adanya ketetapan Allah terhadap kejadian tersebut. Sedangkan ketetapan tersebut
adalah yang dituntut dengan Kehendak yang mengikut pada Ilmu.

Kalau ada pertanyaan, "Lalu apakah yang diketahui itu terbatas atau tidak?".

Kami jawab, "Pertanyaan ini butuh rincian terlebih dahulu. Maka si penanya harus
menambahkan, bahwa yang terbatas adalah obyek yang diketahui. Maka suatu
keharusan secara rasional, bahwa obyek yang diketahui itu dalam lingkup,
sedangkan apa yang ada dalam suatu lingkup tentu terbatas, sementara yang
terbatas tentu ada batas akhir. Dengan demikian obyek yang diketahui adalah
berada dalam batas, baik obyek pengetahuan tersebut berada dalam Kekuatan Iradah
atau sudah keluar menjadi pekerjaan. Dengan demikian, seluruh alam dalam
lingkup lingkaran yang kesembilan dan seluruh yang ada di dalamnya, dari
berbagai jenis, macam dan individu adalah terbatas dalam Ilmu Allah SWT".

Kalau masih terus ditanya, "Ini dapat kita terima, akan tetapi sekarang
pertanyaannya, apakah Sang Pencipta Maha Mengetahui tentang sesuatu yang tidak
terbatas atau tidak?".

Maka kita jawab, "Ini adalah pertanyaan yang mustahil, dilihat dari sisi tersebut,
sebab seluruh obyek yang diketahui adalah terbatas, maka pertanyaan seperti ini
sangat melenceng dari kebenaran".

Kalau misalnya ditanya, "Apakah bisa dikatakan, ilmu layak membatasi terhadap
apa yang tidak terbatas ataukah tidak?".

Kami jawab, "Ilmu itu sendiri tidak dapat diterangkan dengan sifat seperti itu,
kecuali bila dikaitkan dengan obyek yang diketahui. Kalau tidak, maka ciri khusus
yang dimiliki oleh Ilmu itu tidak benar, tapi kalau dikaitkan dengan obyek yang
diketahui, maka obyek tersebut akan terbatas. Dengan demikian, hanya dapat
dikatakan satu cara, bahwa Ilmu itu qadim yang berkaitan, bahwa alam-alam saling
berurutan, sehingga kalau dikaitkan dengan alam itu sendiri akan terbatas. Akan
tetapi apabila keterbatasan itu dikaitkan dengan Ilmu Allah yang Qadim tentu tidak
benar, sebab Ilmu-Nya itu tidak dapat dikatakan terbatas atau tidak terbatas. Ini
merupakan sumber kesalahan. Dan barangkali bagi orang yang tidak memahami
hakikat masalah akan mengira, kalau obyek yang diketahui itu terbatas, tentu Ilmu
Allah juga terbatas. Jauh sekali mereka mampu memahami hakikat sebenarnya.
17

Sementara yang dapat dikatakan terbatas adalah obyek yang diketahui, dilihat dari
sisi ia dapat dibatasi, sehingga sebagian besar para ahli ilmu kalam berpendapat,
bahwa cara itu tidak dapat dikatakan terbatas atau tidak. Lalu bagaimana dengan
Ilmu Sang Maha Pencipta SWT?.

Sebab Ilmu Allah bukan dari sisi sifat baru ('aradl) atau jauhar. Maka bagaimanapun
persoalannya, istilah terbatas atau tidak adalah bila dikaitkan dengan obyek yang
diketahui dan tidak dikaitkan dengan Ilmu. Hal itu tidak mengurangi Kekuasaan
Allah, dan juga tidak dapat dikatakan bahwa Dia tidak kuasa".
18

5. Iman Kepada Allah (Tauhid dan Tanzih)

1. Dalil-Dalil Tentang Iman Kepada Allah

Firman Allah SWT, QS. an-Nisaa' (4): 136:

Wahai orang yang beriman; berimanlah kamu kepada Allah, Rasul-Nya (Muhammad SAW),
kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya dan kitab yang telah diturunkan sebelumnya.
Barangsiapa kafir (tidak beriman) kepada Allah, malaikat-Nya. kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-
Nya dan Hari Akhirat, maka sesungguhnya orang itu sangat jauh tersesat.

QS. al-Baqarah (2): 163,

Dan Tuhan itu, Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan selain Dia. Yang Maha Pemurah
dan Maha Penyayang.

Allah itu tunggal, tidak ada Tuhan selain Dia, yang hidup tidak berkehendak kepada selain-
Nya, tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya lah segala sesuatu yang ada di langit
dan di bumi. Bukankah tidak ada orang yang memberikan syafaat di hadapan-Nya jika tidak
dengan seizin-Nya? Ia mengetahui apa yang di hadapan manusia dan apa yang di belakang
mereka, sedang mereka tidak mengetahui sedikit jua pun tentang ilmu-Nya, kecuali apa yang
dikehendaki-Nya. Pengetahuannya meliputi langit dan bumi. Memelihara kedua makhluk itu
tidak berat bagi-Nya. Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. QS. al-Baqarah (2): 255.

Dialah Allah, Tuhan Yang Tunggal, yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui perkara
yang tersembunyi (gaib) dan yang terang Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Dialah Allah, tidak tidak ada Tuhan selain Dia, Raja Yang Maha Suci, yang sejahtera yang
memelihara, yang Maha Kuasa. Yang Maha Mulia, Yang Jabbar,lagi yang Maha besar, maha
Suci Allah dari segala sesuatu yang mereka perserikatkan dengannya. Dialah Allah yang
menjadikan, yang menciptakan, yang memberi rupa, yang mempunyai nama-nama yang
indah dan baik. Semua isi langit mengaku kesucian-Nya. Dialah Allah Yang Maha keras
tuntutan-Nya, lagi Maha Bijaksana. QS. al-Hasyr (59): 22-24

Dalam Surat Al-Ikhlash, yang mempunyai arti:

"Katakanlah olehmu (hai Muhammad): Allah itu Maha Esa. Dialah tempat bergantung
segala makhluk dan tempat memohon segala hajat. Dialah Allah, yang tiada beranak dan
tidak diperanakkan dan tidak seorang pun atau sesuatu yang sebanding dengan Dia." QS. al-
Ikhlash (112): 1-4.

Sabda RasululIah SAW:

Katakanlah olehmu (wahai Sufyan, jika kamu benar-benar hendak memeluk Islam): Saya
telah beriman akan Allah; kemudian berlaku luruslah kamu. (HR. Taisirul Wushul, 1: 18).

Manusia yang paling bahagia memperoleh syafaat-Ku di hari kiamat, ialah: orang yang
mengucapkan kalimat La ilaha illallah. (HR. Muslim, Taisirul Wushul, 1: 12).
19

Barangsiapa mati tidak memperserikatkan Allah dengan sesuatu, pasti masuk surga. Dan
barangsiapa mati tengah memperserikatkan Allah dengan sesuatu, pasti masuk neraka. (HR.
Muslim, Taisirul Wushul, 1: 12.

2. Pengertian Iman Kepada Allah

Iman kepada Allah ialah:

1. Membenarkan dengan yakin akan adanya Allah;


2. Membenarkan dengan yakin akan keesaan-Nya, baik dalam perbuatan-Nya
menciptakan alam makhluk seluruhnya, maupun dalam menerima ibadat segenap
makhluk-Nya;
3. Membenarkan dengan yakin, bahwa Allah bersifat dengan segala sifat sempurna,
suci dari segala sifat kekurangan dan suci pula dari menyerupai segala yang baharu
(makhluk).

Demikianlah pengertian iman akan Allah, yang masing-masing diuraikan dalam


pasal-pasal yang akan datang.

Makrifat

Perlu dijelaskan lebih dahulu, bahwa membenarkan dalam pengertian iman seperti
yang tersebut di atas, ialah suatu pengakuan yang didasarkan kepada makrifat.
Karena itu perlulah kiranya diketahui dahulu akan arti dan kedudukan makrifat itu.

Makrifat ialah: "Mengenal Allah Tuhan seru sekalian alam" untuk mengenal Allah,
ialah dengan memperhatikan segala makhluk-Nya dan memperhatikan segala jenis
kejadian dalam alam ini. Sesungguhnya segala yang diciptakan Allah, semuanya
menunjukkan akan "adanya Allah". memakrifati Allah, maka Dia telah
menganugerahkan akal dan pikiran. Akal dan pikiran itu adalah alat yang penting
untuk memakrifati Allah, Zat yang Maha Suci, Zat yang tiada bersekutu dan tiada
yang serupa. Dengan memakrifati-Nya tumbuhlah keimanan dan keislaman.
Makrifat itulah menumbuhkan cinta, takut dan harap. Menumbuhkan khudu' dan
khusyuk didalam jiwa manusia. Karena itulah makrifat dijadikan sebagai pangkal
kewajiban seperti yang ditetapkan oleh para ahli ilmu Agama. Semuanya
menetapkan: "Awwaluddini, ma'rifatullah permulaan agama, ialah mengenal Allah".
Dari kesimpulan inilah pengarang az-Zubad merangkumkan syairnya yang
berbunyi:

Permulaan kewajiban manusia, ialah mengenal akan Allah dengan keyakinan yang
teguh.

Dalam pada itu, harus pula diketahui, bahwa makrifat yang diwajibkan itu, ialah
mengenali sifat-sifat-Nya dan nama-nama-Nya yang dikenal dengan al-Asmaul
Husna (nama-nama yang indah lagi baik). Adapun mengetahui hakikat Zat-Nya,
tidak dibenarkan, sebab akal pikiran tidak mampu mengetahui Zat Tuhan. Abul
Baqa al-'Ukbary dalam Kulliyiat-nya menulis: "ada dua martabat Islam: (l) di bawah
20

iman, yaitu mengaku (mengikrarkan) dengan lisan, walaupun hati tidak


mengakuinya; dan (2) di atas iman, yaitu mengaku dengan lidah mempercayai
dengan hati, dan mengerjakan dengan anggota".

Sebagian besar ulama Hanafiyah dan ahli hadits menetapkan bahwa iman dan Islam
hanya satu. Akan tetapi Abul Hasan al-Asy'ari mengatakan: Iman dan Islam itu
berlainan".

Abu Manshur al-Maturidi berpendapat, bahwa: "Islam itu mengetahui dengan yakin
akan adanya Allah, dengan tidak meng-kaifiyat-kan-Nya dengan sesuatu kaifiyat,
dengan tidak menyerupakan-Nya dengan sesuatu pun dari makhluk-Nya.
Tempatnya yang tersebut ini, ialah dalam hati. Iman ialah mempercayai
(mengetahui) akan ketuhanan-Nya dan tempatnya ialah di dalam dada (hati).
Makrifat ialah mengetahui Allah dan akan segala sifat-Nya. Tempatnya ialah di
dalam lubuk hati (fuad). Tauhid ialah mengetahui (meyakini) Allah dengan keesaan-
Nya. Tempatnya ialah di dalam lubuk hati dan itulah yang dinamakan rahasia (sir).

Inilah empat ikatan, yakni: lslam, iman, makrifat, dan tauhid yang bukan satu dan
bukan pula berlainan. Apabila keempat-empatnya bersatu, maka tegaklah Agama.

3. Cara Mengakui Ada-Nya Allah

Mengakui ada-Nya Allah, ialah: "Mengakui bahwa alam ini mempunyai Tuhan
yang wajib wujud (ada-Nya), yang qadim azali, yang baqi (kekal), yang tidak serupa
dengan segala yang baharu. Dialah yang menjadikan alam semesta dan tidaklah
sekali-kali alam ini terjadi dengan sendirinya tanpa diciptakan oleh yang wajib
wujud-Nya itu".

Demikianlah ringkasan cara mengetahui akan ada-Nya Allah, Sang Maha Pencipta
dan Maha Pengendali alam yang sangat luas dan beraneka ragam ini.

4. Cara Menetapkan Ada-Nya Allah

Agama Islam menetapkan ada-Nya Tuhan (Wujudullah) dengan alasan yang jitu dan
tepat, yang tidak dapat dibantah dan disanggah; karena alasan yang dikemukakan
oleh Agama Islam (al-Qur'an) adalah nyata, logis (manthiqy) dan ilmiah.

Dalailul Wujud atau Dalailut Tauhid ini dibahas dalam kitab-kitab ilmu kalam,
karenanya baiklah kita tinjau lebih dahulu keadaan perkembangan ilmu kalam itu.

4.1. Aliran Kitab Tauhid

Untuk menjelaskan dalil-dalil yang diperlukan dalam menetapkan dasar-dasar


aqidah, para ulama tauhid (ulama kalam), dari abad ke abad terus-menerus
menyusun berbagai rupa kitab tauhid dan kitab kalam.

Dalam garis besarnya kitab-kitab tersebut terbagi atas tiga aliran:


21

(1) Aliran Salafi atau Ahlun Nash. Di antara pemukanya ialah Imam Ahmad Ibn
Hanbal.
(2) Aliran Ahlul I'tizal (Mu'tazilah) yang dipelopori oleh Washil ibn 'Atha'.
(3) Aliran Asy'ari, yang dipelopori oleh Abul Hasan al-Asy'ari. jejaknya berturut-
turut diikuti oleh Abu Bakar al-Baqillani, al-Juani, al-Ghazali, Ibnul Kathib, al-
Baidawi dan ulama-ulama lain seperti ath- Thusi, at-Taftazani dan al-Ijzi.

Di samping itu ada pula aliran Maturidi, yang dipelopori oleh Abu Manshur al-
Maturidi.
Cuma yang disayangkan ialah kebanyakan kitab-kitab yang disusun belakangan,
tidak berdasarkan Salafi dan tidak pula berdasarkan nadhar yang benar.
Setengahnya ada yang mendasarkan kepercayaan kepada dalil-dalil yang dapat
dibantah oleh para filosof dan tidak dapat dipertahankan.2

1. Dari 1 sampai 10, baik dilewati, jika ingin langsung mempelajari dalil-dalil ada-
Nya Allah atau dalailul wujud atau dalailut tauhid.
2. Lihat. 'Abdurrahman al-Jazairi Taudihul 'Aqa'id.

4.2. Pengertian Ilmu Tauhid

Ada beberapa ta'rif ilmu tauhid yang diberikan oleh para ulama. Di bawah ini
disebutkan beberapa diantaranya yang dipandang tepat dengan yang dimaksud.

Pertama: Ilmu tauhid, ialah "ilmu yang membahas dan melengkapkan segala hujjah,
terhadap keimanan, berdasarkan dalil-dalil akal serta menolak dan menangkis
segala paham ahli bid'ah yang keliru, yang menyimpang dari jalan yang lurus".

Kedua: Ilmu tauhid, ialah ilmu yang di dalamnya dibahas:

[1] Tentang wujud Allah, sifat-sifat-Nya yang wajib di-itsbat-kan bagi-Nya, sifat-
sifat yang harus (mumkin) bagi-Nya dan sifat-sifat yang wajib ditolak daripada-Nya.
[2] Tentang kerasulan rasul-rasul untuk membuktikan dan menetapkan
kerasulannya; tentang sifat-sifat yang wajib baginya; sifat-sifat yang mumkin dan
tentang sifat-sifat yang mustahil baginya.

Ta'rif pertama, memasukkan segala soal keimanan, baik mengenai ketuhanan,


kerasulan, maupun mengenai soal-soal gaib yang lain, seperti soal malaikat dan
akhirat. Tegasnya, melengkapi Ilahiyat, (soal-soal ketuhanan), nubuwwat (kenabian,
kitab, malaikat) dan Sam'iyat (soal-soal keakhiratan, alam gaib). Ta'rif yang kedua
mengkhususkan ilmu tauhid dengan soal yang mengenai ketuhanan dan kerasulan
saja.

Dengan berpegang pada ta'rif yang pertama, maka sebahagian ulama tauhid
membahas soal-soal malaikat, soal-soal kitab, soal-soal kadar, soal-soal akhirat, dan
lain-lain yang berhubungan dengan soal beriman di bagian akhir dari kitab-kitab
mereka.
22

Ulama yang berpegang pada ta'rif yang kedua, hanya membahas soal-soal yang
mengenai ketuhanan dan kerasulan saja. Risalah Tauhid Muhammad Abduh yang
sangat terkenal dalam dunia ilmu pengetahuan adalah salah satu dari kitab yang
berpegang pada takrif kedua.3

3. Risalah Tauhid.

4.3. Perkembangan Ilmu Tauhid Dalam Sejarah Dan Cara Al-Qur'an


Membicarakannya

Ilmu yang membahas dasar-dasar iman kepada Allah dan Rasul, telah sangat tua
umumnya. Di setiap umat sejak zaman purba, ada ulamanya yang membahas ilmu
ini. Cuma, mereka dahulu tidak mendasarkan penerangan-penerangan yang mereka
ajarkan, kepada alasan-alasan akal; bahkan mereka kurang sekali mendasarkan
kepercayaan kepada hukum dan karakter alam.

Al-Qur'an yang didatangkan untuk menyempurnakan segala yang masih kurang,


segala yang belum sempurna, memakai cara dan sistem berpadanan dengan
perkembangan akal dan kemajuan ilmu. Al-Qur'an menerangkan iman dengan
mengemukakan dalil serta membantah kepercayaan yang salah dengan
memberikan alasan-alasan yang membuktikan kesalahannya. Al-Qur'an
menghadapkan pembicaraannya kepada akal serta membangkitkan dari tidurnya
dan membangunkan pikiran dengan meminta pula supaya ahli-ahli akal itu
memperhatikan keadaan alam. Maka al-Qur'an-lah akal bersaudara kembar dengan
iman.

Memang diakui oleh ulama-ulama Islam, bahwa diantara "ketetapan agama", ada
yang tidak dapat diitikadkan (diterima kebenarannya) kalau bukan karena akal
menetapkannya, seperti: mengetahui (meyakini) ada-Nya Allah, qudrat-Nya, ilmu-
Nya dan seperti membenarkan kerasulan seseorang rasul. Demikian juga mereka
bermufakat menetapkan, bahwa mungkin agama mendatangkan sesuatu yang
belum dapat dipahami akal. Akan tetapi, mungkin agama mendatangkan yang
mustahil pada akal.

Al-Qur'an mensifatkan Tuhan dengan berbagai sifat yang terdapat namanya pada
manusia, seperti: qudrat, ikhtiyar, sama', dan bashar. karena al-Qur'an menghargai
akal dan membenarkan hukum akal, maka terbukalah pintu nadhar (penyelidikan)
yang lebar bagi ahli-ahli akal (ahli-ahli nadhar) itu dalam menetapkan apa yang
dimaksud oleh al-Qur'an dengan sifat-sifat itu. Pintu nadhar ini membawa kepada
berwujud berbagai rupa paham diantara para ahli akal atau nadhar. Perselisihan
yang terjadi karena berlainan nadhar ini, dibenarkan al-Qur'an asal saja tidak
sampai kepada meniadakan sifat-sifat Tuhan, seperti yang diperbuat oleh golongan
Mu'aththilah dan tidak sampai kepada menserupakan sifat-sifat Tuhan dengan sifat-
sifat makhluk, sebagai yang dilakukan oleh golongan Musyabbihah.
23

Para ulama salah mensifatkan tuhan dengan sifat-sifat yang tuhan sifatkan diri-Nya
dengan tidak meniadakan-Nya, tidak menyerupakan-Nya dengan makhluk dan
tidak menakwilkannya. Para mutakalimin khalaf mensifatkan Tuhan dengan cara
menakwilkan beberapa sifat yang menurut pendapat mereka perlu ditakwilkan.
Golongan mutakalimin khalaf membantah ta'thil (meniadakan sifat Tuhan) dan
membantah tamsil (menyerupakan sifat Tuhan dengan sifat rnakhluk).

Ringkasnya, para salaf beritikad sepanjang yang dikehendaki oleh lafadh. tetapi
dengan mensucikan Allah dari serupa dengan makhluk. 4

4. Perhatikan uraian Dr. Muhammad al-Bahy dalam al-Janibul llahi.

4.4. Kedudukan Nadhar Dalam Islam

Dalam kitab Hawasyil Isyarat disebutkan, bahwa nadhar itu ialah menggunakan akal
di sekitar masalah yang dapat dijangkau oleh akal (ma'qulat).

Para filosof bermufakat, bahwa nadhar itu hukum yang digunakan dalam
mengetahui dalil. Alasan yang menegaskan bahwa nadhar ini sah dan
menghasilkan keyakinan, ialah bahwa dalam alam ini terdapat kebenaran dan
kebatalan. Manusia juga terbagi atas dua macam: Ahli hak dan ahli batal. Tidak dapat
diketahui mana yang hak dan mana yang batal. kalau bukan dengan nadhar.
Dengan demikian maka fungsi nadhar (penelitian) ialah untuk menjelaskan hal-hal
yang gaib agar dapat dicerna oleh akal disamping menentukan mana yang benar
diantara dua pendapat yang berbeda. Melalui nadhar, manusia bisa sampai pada
pengetahuan yang meyakinkan. Untuk mengetahui mana yang hak dan mana yang
batal. mana yang kufur dan mana yang iman, demikian pula untuk mengenal Allah
dan Rasul-Nya lebih jelas haruslah melalui nadhar. Karena itu, bertaklid buta. Tidak
mau lagi melakukan nadhar adalah keliru sesat dan menyesatkan. Dalam al-Qur'an
cukup banyak dijumpai ayat-ayat yang memerintahkan untuk melakukan nadhar.

Diantara-nya ialah:

Katakanlah ya Muhammad: "Lihatlah apa yang di langit dan di bumi; dan tidak berguna
tanda-tanda dan peringatan-peringatan kepada kaum yang tidak beriman". (QS. Yunus (l0):
10l).

Mengapakah mereka tidak melihat kepada alam (malakut) langit dan bumi dan kepada apa
yang Allah jadikan?. (QS. al-A'raf (7): 185).

Maka ambil ibaratlah wahai ahli akal. (QS. al-Hasyr (59): 2).

Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim bumi malakut (langit) dan bumi. (QS.
al-An'am (6): 75).

Ayat-ayat tersebut diatas adalah nash yang tegas yang mendorong untuk
melakukan nadhar terhadap segala maujud, dan menjadi nash yang tegas pula yang
24

mewajibkan kita memakai qiyas 'aqli atau qiyas manthiqi dan sya'i. Ayat yang terakhir
menerangkan, bahwa Allah telah nadhar kepada Ibrahim as.

4.5. Kedudukan Akal Dalam Pandangan Islam

Dalam kitab Hawasyil-Isyarat diterangkan bahwa akal itu, ialah tenaga jiwa untuk
memahami mujarradat (sesuatu yang tidak dapat diraba atau dirasa dengan
pancaindera). Kekuatan jiwa yang mempersiapkan untuk memikir (berusaha),
dinamai dzihin. Gerakan jiwa untuk memikir sesuatu agar diperoleh apa yang
dimaksudkan, dinamai fikir.

Tersebut dalam suatu kitab falsafah: "Akal itu suatu kekuatan untuk mengetahui
makna mujarradat, makna yang diperoleh dari menyelidiki dan rupa-rupa benda".
memperhatikan rupa-rupa benda". Al-Mawardi dalam A'lamun-Nubuwwah menulis:
"Akal itu suatu tenaga yang memberi faedah bagi kita mengetahui segala yang
menjadi kepastiannya". Ada pula yang mengatakan: "Akal itu kekuatan yang
membedakan yang hak dengan yang batal".

Al-Mawardi membagi akal kepada: gharizi dan kasbi. Gharizi adalah pokok akal,
sedang kasbi adalah cabang yang tumbuh daripadanya: itulah akal yang dengannya
berpaut dan bergantung taklif dan beribadat. Adapun akal kasbi (akal muktasab),
ialah akal yang digunakan untuk berijtihad dan menjalankan nadhar. Akal ini tidak
dapat terlepas dari akal gharizi, sedang akal gharizi mungkin terlepas dari akal ini.

4.6. Martabat Akal Dalam Memahami Hakikat

Para hukama berpendapat bahwa manusia memahami hakikat dengan jalan: [1]
dengan pancaindera, dalam hal ini manusia sama dengan hewan; dan [2] dengan
akal (rasio).

Mengetahui sesuatu dengan akal hanya tertentu bagi manusia. Dengan akallah
manusia berbeda dari binatang.

Orang yang telah biasa memperhatikan soal-soal yang ma'qulat (yang diperoleh
melalui akal) nyata kepadanya kemuliaan dan keutamaan yang diketahuinya itu.
Baginya terang pula bahwa yang diketahui melalui indera pemandangan akal sama
dengan sesuatu yang masib kabur, dibanding sesuatu yang telah dapat dipastikan
baiknya melalui akal. Inilah sebabnya Al-Qur'an dalam seruannya kepada mengakui
ada-Nya Allah dari keesaan-Nya, membangkitkan akal dari tidurnya. Seruan yang
begini, tidak dilakukan oleh umat-umat yang dahulu. sebagai yang sudah
dibayangkan sebelum ini.

4.7. Bukti Kelebihan Dan Keutamaan Akal Atas Pancaindera

Para hukama telah membuktikan, bahwa akal lebih mulia dari pancaindera. Apa
yang diperoleh akal lebih kuat dari yang didapati pancaindera.
25

Alasannya:

[1] Pancaindera hanya dapat merasa, melihat dan membaui.


[2] Akal dapat menjelaskan tentang adanya Zat Tuhan. sifat-sifat-Nya dan berbagai
soal yang hanya bisa diperoleh melalui akal, dan berbagai macam pengetahuan hasil
nadhar.
[3] Akal dapat sampai pada hakikat, sedang pancaindera hanya memperoleh yang
lahir saja, yaitu yang terasa saja.
[4] Akal tidak berkesudahan, sedang pancaindera adalah berkesudaban (hiss).

4.8. Akal Pokok Pengetahuan

Al-Mawardi berpendapat, bahwa dalil itu, ialah sesuatu yang menyampaikan


kepada meyakini mad-lul-nya. Dalil-dalil diyakini dengan jalan akal dan mad-lul-nya
diyakini dengan jalan dalil. Tegasnya, akal itu menyampaikan kepada dalil; dia
sendiri bukan dalil. Karena akal itu pokok segala yang diyakini, baik dalil maupun
madlul. Mengingat hal ini dapatlah dikatakan, akal adalah pokok pengetahuan (al-
'aqlu ummul 'ulum). Ilmu yang diperoleh daripadanya ialah pembeda kebenaran dari
kebatalan; yang shahih yang fasid; yang mumkin dari yang mustahil.

Ilmu-ilmu yang diperoleh melalui akal, ada dua macam: Idthirari dan Iktisabi.

1. Ilmu Idthirari, ialah ilmu yang diperoleh dengan mudah, tidak perlu melakukan
nadhar yang mendalam. Ilmu ini terbagi dua: [1] yang terang dirasakan; dan [2]
berita-berita mutawatir.

Ilmu yang dirasakan atau yang diperoleh dengan hiss, datang sesudah akal, dan
ilmu khabar mendahului akal.

Ilmu Idthirari ini, tidak memerlukan nadhar dan istidal; karena mudah diketahui.
Khawwash dan 'awwam dapat mengetahuinya, ilmu yang diperoleh dengan jalan
ini, tidak ada yang mengingkarinya.

2. Ilmu Iktisabi, ialah ilmu yang diperoleh dengan jalan nadhar dan istidal. Dia tidak
mudah diperoleh. Ilmu inilah yang memerlukan dalil atau dimintakan dalilnya.

Ilmu Iktisabi ini terbagi dua juga:

- yang ditetapkan oleh akal (berdasarkan ketetapan-ketetapan akal).


- yang ditetapkan oleh hukum-hukum pendengaran (yang diterima dari syara').

Hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan akal terbagi dua pertama, yang


diketahui karena mengambil dalil dengan tidak berhajat kepada dalil akal (nadhar);
kedua, yang diketahui karena mengambil dalil dengan dalil-dalil akal.

Yang diketahui dengan tidak perlu kepada dalil akal (nadhar) ialah yang tidak boleh
ada lawannya, seperti keesaan Allah. Dengan sendirinya akal dengan mudah
26

mengetahui keesaan Tuhan itu. Yang diketahui dengan memerlukan dalil akal,
ialah: yang boleh ada lawannya, seperti seseorang nabi mendakwakan kenabiannya.
Ringkasnya mengetahui atau meyakini keesaan Allah tidak memerlukan akan akal;
sebab dengan mudah akal dapat mengetahuinya. Adapun meyakini kerasulan
seseorang rasul, memerlukan dalil akal.

Ketetapan-ketetapan yang berdasarkan hukum pendengaran, diterima dari Shahibisy


Syari'ah, sedang akal disyaratkan dalam melazimi ketetapan-ketetapan itu,
walaupun pendengaran tidak disyaratkan dalam soal-soal yang ditetapkan akal
semata-mata.

Hukum-hukum yang ditetapkan oleh pendengaran ada dua macam: yakni: Ta'abbud
dan Indzar. Ta'abbud mencakup larangan dan suruhan. Indzar, mencakup wa'ad dan
wa'id.

4.9. Jalan Mengetahui ada-Nya Allah

Abu Haiyan mengatakan: Mengetahui ada-Nya Allah adalah daruri, jika ditinjau
dari sudut akal, dan nadari dari sudut hiss pancaindera.

Ilmu adakala dituntut melalui akal, dalam soal-soal yang dapat dipikirkan (ma'qulat),
adakala dituntut dengan hiss (pancaindera) dalam soal-soal yang dirasakan.
Seseorang manusia bisa memikir, bahwa mengetahui ada-Nya Allah adalah suatu
iktisab (hal yang diperoleh dengan jalan istidlal): karena hiss itu mencari-cari dan
membolak-balikkan masalah dengan pertolongan akal. Dia dapat pula memikiri,
bahwa mengetahui ada-Nya Allah, daruri; karena akal yang sejahtera menggerakkan
manusia kepada mengakui ada-Nya Allah dan menyalahkan akal mengingkari-Nya.

Al-Farabi dalam al-Fushush (fash yang empat belas, menulis: "Anda dapat
memperhatikan alam makhluk, kalau anda lihat tanda-tanda pembuatan. Tetapi
juga anda dapat meninjau alam mahad (alam yang terlepas dari kebendaan), lalu
anda yakini, bahwa tidak boleh tidak ada-Nya Zat. Dan dapat pula anda
mengetahui betapa seharusnya sifat-sifat yang ada pada Zat itu. Kalau anda
memandang alam maddah, berarti anda naik dan kalau anda memperhatikan alam
mahad, berarti anda turun".

Anda mungkin juga menyukai