Anda di halaman 1dari 35

2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Anatomi Hidung
Hidung terdiri atas nasus eksternus (hidung luar) dan cavum nasi. (Snell,
2006)
2.1.1 Nasus Eksternus
Nasus eksternus mempunyai ujung yang bebas, yang dilekatkan ke dahi
melalui radix nasi atau jembatan hidung. Lubang luar hidung adalah kedua
nares atau lubang hidung. Setiap nares dibatasi di lateral oleh ala nasi dan di
medial oleh septum nasi. (Snell,2006)
Rangka nasus eksternus dibentuk di atas oleh os nasale, processus frontalis
ossis maxillaries, dan pars nasalis ossis frontalis. Di bagian bawah, rangla ini
dibentuk oleh lempeng-lempeng tulang rawan yaitu cartilago nasi superior dan
inferior, dan cartilago septi nasi. (Snell,2006)
2.1.2 Cavum Nasi
Letak cavum nasi bagian depan adalah nares dan bagian belakang adalah
choana. Rongga ini dibagi oleh septum nasi atas belahan kiri dan kanan. Setiap
belahan mempunyai dasar, atap, dinding lateral dan dinding medial.
(Snell,2006)
Dasar dibentuk oleh processus palatinus maxillae dan lamina horizontalis
ossis palatini, yaitu permukaan atas palatum durum. (Snell,2006)
3

Bagian atas sempit dan dibentuk dari belakang ke dapan oleh corpus ossis
spenoidalis, lamina cribrosa ossis ethmoidalis, os frontale, os nasale, dan
cartilagines nasi. (Snell,2006)
Dinding lateral ditandai dengan tiga tonjolan yang disebut concha nasalis
superior, media dan inferior. Area dibawah setiap concha disebut meatus.
Recessus sphenoethmoidalis adalah daerah kecil yang terletak diatas concha
nasalis superior dan di depan corpus ossis sphenoidalis. Di daerah ini terdapat
muara sinus sphenoidalis. (Snell,2006)
Meatus nasi superior terletak dibawah dan lateral concha nasalis superior.
Disini terdapat muara sinus ethmoidalis posterior. Meatus nasi media terletak
dibawah dan lateral concha media. Pada dinding lateralnya terdapat
prominentia bulat, bulla ethmoidalis, yang disebabkan oleh penonjolan sinus
ethmoidales medii yang terletak dibawahnya. Sinus ini bermuara pada pinggir
atas meatus. Sebuah celah melengkung disebut hiatus semilunaris, terletak
tepat dibawah bulla. Ujung anterior hiatus masuk ke dalam saluran berbentuk
corong disebut infundibulum. Sinus maxillaris bermuara pada meatus nasi
media melalui hiatus semilunaris. Sinus frontalis bermuara dan dilanjutkan
oleh infundibulum. Sinus ethmoidales anterior juga bermuara pada
infundibulum. Meatus nasi media dilanjutkan ke depan oleh sebuah lekukan
yang disebut atrium. Atrium ini pada bagian atas dibatasi oleh sebuah rigi
(agger nasi). Di bawah dan depan atrium, dan sedikit dibagian dalam naris,
terdapat vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang telah bermodifikasi
dan mempunyai rambut-rambut melengkung dan pendek (vibrissae).
(Snell,2006)
4

Meatus nasi inferior terletak dibawah dan lateral concha inferior dan
padanya terdapat muara ductus nasolacrimalis. Sebuah lipatan membrana
mukosa membentuk katup yang tidak sempurna yang melindungi muara
duktus. (Snell,2006)
Dinding medial atau septum nasi adalah sekat osteocartilago yang ditutupi
membrana mukosa. Bagian atas dibentuk oleh lamina perpendicularis ossis
ethmoidalis dan bagian posteriornya dibentuk oleh os vomer. Bagian anterior
dibentuk oleh cartilago septi. Septum ini jarang sekali terletak pada bidang
median.(Snell,2006)









Gambar 2.1 Anatomi Tulang Hidung





5









Gambar 2.2 Dinding Hidung Lateral


2.2 Vaskularisasi Hidung
Hidung memiliki suplai vaskular yang banyak, dengan kontribusi terbesar
dan terpenting dari Arteri karotis interna dan eksterna. (Snell, 2006)
Sistem arteri karotis eksterna memperdarahi hidung melalui Arteri fasialis
dan maksilaris interna. Arteri-arteri tersebut memperdarahi dasar dan bagian
depan rongga hidung dan septum anterior melalui cabang septum. Arteri
fasialis bercabang menjadi Arteri labialis superior (cabang terminal). Arteri
maksilaris interna masuk melalui fosa pterigomaksilaris dan bercabang menjadi
6 cabang yaitu Arteri alveolaris posterior superior, palatina desenden,
infraorbitalis, sfenopalatina, kanal pterigoid, dan faringeal. Arteri palatina
desenden turun melalui kanal palatina mayor dan memperdarahi dinding lateral
hidung, lalu kembali ke dalam rongga hidung melalui cabang di foramen
insisivus untuk memperdari septum anterior. Arteri sfenopalatina masuk ke
dalam rongga hidung dekat dengan perlekatan posterior konka media untuk
6

memperdarahi dinding lateral hidung dan bercabang lagi untuk memperdarahi
septum. (Snell,2006)
Arteri karotis interna berkontribusi terhadap vaskularitas hidung melalui
Arteri oftalmikus. Arteri ini memasuki tulang orbital melalui fisura orbital
superior dan bercabang menjadi beberapa cabang. Arteri etmoidalis posterior
keluar orbit melalui foramen etmoidalis posterior yang terletak 2-9mm di
depan kanal optikus. Arteri etmoidalis anterior yang lebih besar meninggalkan
orbit melalui foramen etmoidalis anterior. Arteri etmoidalis anterior dan
posterior menyebrangi atap etmoid untuk masuk fossa kranialis anterior lalu
turun ke dalam rongga hidung melalui lempengan kribiformis, di sini mereka
bercabang menjadi cabang lateral dan septal untuk memperdarahi dinding
lateral hidung dan septum. (Snell,2006)
Pleksus Kiesselbach atau area Little adalah jaringan anastomosis dari
pembuluh-pembuluh darah yang terletak di septum kartilago anterior, pleksus
ini menerima suplai darah dari arteri karotis interna dan eksterna. Banyak arteri
yang memperdarahi septum mempunyai hubungan anastomosis di daerah ini
yaitu Arteri etmoidalis anterior, labialis superior, sfenopalatina, dan palatina
mayor.(Snell, 2006)






Gambar 2.3 Vaskularisasi hidung
7








Gambar 2.4 Pleksus Kiesselbach


2.3 Definisi
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga
hidung atau nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu
kelainan yang hampir 90 % dapat berhenti sendiri. Perdarahan dari hidung dapat
merupakan gejala yang sangat mengganggu dan dapat mengancam nyawa.
Faktor etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis secara
efektif.(Adam, 1997)

2.4 Epidemiologi
Frekuensi epistaksis sulit ditentukan karena sebagian besar kejadiannya
sembuh dengan perawatan oleh diri sendiri sehingga tidak terlaporkan. Tetapi,
ketika beberapa sumber ditinjau, angka kejadian epistaksis dalam populasi
umum sekitar 60%, dengan kurang dari 10% yang mencari pertolongan medis.
8

Distribusi umur bersifat bimodal, dengan puncak pada anak kecil (2-10
tahun) dan individu usia lanjut (50-80 tahun). Epistaksis jarang pada bayi yang
tanpa penyakit koagulopati atau patologi nasal (atresia koanal, neoplasma).
Trauma lokal (mengorek hidung) tidak terjadi hingga nanti pada usia balita.
Anak yang lebih tua dan remaja juga memiliki angka kejadian yang rendah.
Harus dipikirkan penggunaan kokain pada anak remaja. (Schlosser, 2009)
Prevalensi epistaksis cenderung lebih tinggi pada laki-laki (58%) daripada
wanita (42%). (Schlosser, 2009)

2.5 Etiologi
Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam
selaput mukosa hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari
pembuluh darah Pleksus Kiesselbach (area Little). Pleksus Kiesselbach terletak
di septum nasi bagian anterior, di belakang persambungan mukokutaneus
tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis. Epistaksis dapat ditimbulkan
oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik. (Suryowati, 2009)
2.5.1 Lokal
a) Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung,
benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai
akibat trauma yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu
lintas. Trauma karena sering mengorek hidung dapat menyebabkan ulserasi dan
perdarahan di mukosa bagian septum anterior. Selain itu epistaksis juga bisa
terjadi akibat adanya benda asing tajam atau trauma pembedahan oleh karena
9

itu pasien yang akan menjalankan operasi nasal perlu diingatkan potensi
terjadinya epistaksis.(Adam 1997, Soepardi 2007)
Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam.
Perdarahan dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka
yang berhadapan bila konka itu sedang mengalami pembengkakan. Bagian
anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar
aliran udara pernafasan yang cenderung mengeringkan sekresi hidung.
Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskan dengan jari
menimbulkan trauma digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi
membrana mukosa septum dan kemudian perdarahan. (Adam 1997, Soepardi
2007)
Benda asing yang berada di hidung dapat menyebabkan trauma local,
misalnya pada pipa nasogastrik dan pipa nasotrakea yang menyebakan trauma
pada mukosa hidung. (Adam 1997, Soepardi 2007)
Trauma hidung dan wajah sering menyebabkan epistaksis. Jika perdarahan
disebabkan karena laserasi minimal dari mukosa biasanya perdarahan yang
terjadi sedikit tetapi trauma wajah yang berat dapat menyebabkan perdarahan
yang banyak yang memerlukan tampon nasal. Pada pasien tersebut, epistaksis
tertunda dapat menandakan adanya aneurisma traumatik. (Adam 1997,
Soepardi 2007)





10






Gambar 2.5 Epistaksis
b) Infeksi lokal
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti
rinosinusitis bakteri, virus, dan alergi.

Infeksi ini akan menyebabkan inflamasi
yang akan merusak mukosa. Inflamasi akan menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah setempat sehingga memudahkan terjadinya
perdarahan di hidung. Pendarahan pada kasus ini biasanya ringan dan sering
muncul sebagai bercak darah pada sekret nasal.(Suryowati, 2009)
Penyakit granulomatosa seperti sarkoidosis, granulomatosis Wegener,
tuberkulosis, sifilis, dan rinoskleroma sering menyebabkan mukosa menjadi
kering dan rapuh sehingga menjadi penyebab epistaksis berulang. (Suryowati,
2009)
Bayi dengan gastroesophageal reflux (GERD) ke hidung dapat mengalami
epistaksis karena inflamasi. (Suryowati, 2009)
c) Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan
intermiten, kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah.
Hemangioma, angiofibroma dan karsinoma dapat menyebabkan epistaksis
berat. Karena pada tumor terjadi pertumbuhan sel yang abnormal dan
11

pembentukan pembuluh darah yang baru (neovaskularisasi) yang bersifat rapuh
sehingga memudahkan terjadinya perdarahan.(Schlosser, 2006)




Gambar 2.6 Epistaksis pada neoplasma
d) Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan
telangiektasis herediter (Hereditary hemorrhagic telangiectasia/Osler's
disease). Juga sering terjadi pada Von Willendbrand disease. Telengiectasis
hemorrhagic hereditary adalah kelainan bentuk pembuluh darah dimana terjadi
pelebaran kapiler yang bersifat rapuh sehingga memudah kan terjadinya
perdarahan. kondisi ini dapat berdampak pada pembuluh darah mulai dari
kapiler hingga arteri, menyebabkan pembentukan telangiektasia dan
malformasi arteri-vena. Pemeriksaan patologi dari lesi ini mengungkapkan
kurangnya elastisitas atau jaringan muskular pada dinding pembuluh darah,
sehingga pendarahan dapat terjadi dengan mudah dari trauma ringan dan
cenderung tidak berhenti spontan. Berbagai sistem organ seperti pernafasan,
gastrointestinal, dan alat kelamin-saluran kencing dapat terlibat. Derajat
keparahan epistaksis pada individual tersebut beragam tapi hampir semuanya
berulang.
12

Kelainan pembuluh darah lainnya yang memiliki faktor resiko epistaksis
adalah neoplasma pembuluh darah, aneurisma, nefritis kronis, sirosis hepatis,
diabetes mellitus, dan endometriosis.(Suryowati, 2009)






Gambar 2.7 Oslers Disease
Jika ada cedara jaringan, terjadi kerusakan pembuluh darah dan akan
menyebabkan kebocoran darah melalui lubang pada dinding pembuluh darah.
Pembuluh dapat rusak dekat permukaan seperti saat terpotong. Atau dapat
rusak di bagian dalam tubuh sehingga terjadi memar atau perdarahan dalam.
(Suryowati, 2009)
Jika pembuluh darah terluka, ada empat tahap untuk membentuk bekuan
darah yang normal. (Suryowati, 2009)
13


Gambar2.8a. Pembekuan darah
normal
Gambar 2.8b. Pembekuan darah tidak
normal

Tahap 1 Pembuluh darah terluka dan mulai mengalami perdarahan.
Tahap 2 Pembuluh darah menyempit untuk memperlambat aliran darah ke daerah
yang luka.
Tahap 3 Trombosit melekat dan menyebar pada dinding pembuluh darah yang
rusak. Ini disebut adesi trombosit. Trombosit yang menyebar
melepaskan zat yang mengaktifkan trombosit lain didekatnya sehingga
akan menggumpal membentuk sumbat trombosit pada tempat yang
terluka. Ini disebut agregasi trombosit.
Tahap 4 Permukaan trombosit yang teraktivasi menjadi permukaan tempat
terjadinya bekuan darah. Protein pembekuan darah yang beredar dalam
darah diaktifkan pada permukaan trombosit membentuk jaringan bekuan
fibrin.
14

Protein ini (Faktor I, II, V, VII, VIII, IX, X, XI, XII dan XIII dan Faktor
Von Willebrand) bekerja seperti kartu domino, dalam reaksi berantai. Ini
disebut cascade.


Gambar 2.9a. cascade koagulasi
normal
Gambar 2.9b. cascade koagulasi
hemophilia
VWD dapat terjadi pada dua tahap terakhir pada proses pembekuan darah.
Pada tahap ke 3, seseorang dapat berkemungkinan tidak memiliki cukup
Faktor Von Willebrand (VWF) di dalam darahnya atau faktor tersebut tidak
berfungsi secara normal. Akibatnya VWF tidak dapat bertindak sebagai perekat
untuk menyangga trombosit di sekitar daerah pembuluh darah yang mengalami
kerusakan. Trombosit tidak dapat melapisi dinding pembuluh darah.
(Suryowati, 2009)
Pada tahap ke 4, VWF membawa Faktor VIII. Faktor VIII adalah salah
satu protein yang dibutuhkan untuk membentuk jaringan yang kuat. Tanpa
adanya faktor VIII dalam dalam jumlah yang normal maka proses pembekuan
darah akan memakan waktu yang lebih lama. Akibatnya VWF tidak dapat
bertindak sebagai perekat untuk menyangga trombosit di sekitar daerah
pembuluh darah yang mengalami kerusakan. (Suryowati, 2009)

15

e) Pengaruh lingkungan
Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa.
Epistaksis sering terjadi pada udara yang kering dan saat musim dingin yang
disebabkan oleh dehumidifikasi mukosa nasal selain itu bisa di sebabkan oleh
zat-zat kimia yang bersifat korosif yang dapat menyebabkan kekeringan
mukosa sehingga pembuluh darah gampang pecah.(Soepardi, 2007)
f) Deviasi septum
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari
septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Selain itu dapat
menyebabkan turbulensi udara yang dapat menyebabkan terbentuknya krusta.
Pembuluh darah mengalami ruptur bahkan oleh trauma yang sangat ringan
seperti mengosok-gosok hidung. (Soepardi, 2007)
2.5.2 Sistemik
a) Kelainan darah
Beberapa kelainan darah yang dapat menyebabkan epistaksis adalah
trombositopenia, hemofilia dan leukemia. (Suryowati, 2009)
Trombosit adalah fragmen sitoplasma megakariosit yang tidak berinti dan
dibentuk di sumsum tulang. Trombosit berfungsi untuk pembekuan darah bila
terjadi trauma. Trombosit pada pembuluh darah yang rusak akan melepaskan
serotonin dan tromboksan A (prostaglandin), hal ini menyebabkan otot polos
dinding pembuluh darah berkonstriksi. Pada awalnya akan mengurangi darah
yang hilang. Kemudian trombosit membengkak, menjadi lengket, dan
menempel pada serabut kolagen dinding pembuluh darah yang rusak dan
membentuk plug trombosit. Trombosit juga akan melepas ADP untuk
16

mengaktivasi trombosit lain, sehingga mengakibatkan agregasi trombosit untuk
memperkuat plug. Trombositopenia adalah keadaan dimana jumlah trombosit
kurang dari 150.000/ l. Trombositopenia akan memperlama waktu koagulasi
dan memperbesar resiko terjadinya perdarahan dalam pembuluh darah kecil di
seluruh tubuh sehingga dapat terjadi epistaksis pada keadaan trombositopenia.
(Suryowati, 2009)
Hemofilia adalah penyakit gangguan koagulasi herediter yang diturunkan
secara X-linked resesif. Gangguan terjadi pada jalur intrinsik mekanisme
hemostasis herediter, dimana terjadi defisiensi atau defek dari faktor
pembekuan VIII (hemofilia A) atau IX (hemofilia B). Darah pada penderita
hemofilia tidak dapat membeku dengan sendirinya secara normal. Proses
pembekuan darah berjalan amat lambat. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya
epistaksis. (Suryowati, 2009)
Leukemia adalah jenis penyakit kanker yang menyerang sel-sel darah
putih yang diproduksi oleh .sumsum tulang (bone marrow). Sumsum tulang
atau bone marrow ini dalam tubuh manusia memproduksi tiga tipe sel darah
diantaranya sel darah putih (berfungsi sebagai daya tahan tubuh melawan
infeksi), sel darah merah (berfungsi membawa oksigen kedalam tubuh) dan
trombosit (bagian kecil sel darah yang membantu proses pembekuan darah).
Pada Leukemia terjadi peningkatan pembentukan sel leukosit sehingga
menyebabkan penekanan atau gangguan pembentukan sel-sel darah yang lain
di sumsum tulang termasuk trombosit. Sehingga terjadi keadaan
trombositpenia yang menyebabkan perdarahan mudah terjadi. (Suryowati,
2009)
17

Obat-obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin dan fenilbutazon dapat
pula mempredisposisi epistaksis berulang. Aspirin mempunyai efek
antiplatelet yaitu dengan menginhibisi produksi tromboksan, yang pada
keadaan normal akan mengikat molekul-molekul trombosit untuk membuat
suatu sumbatan pada dinding pembuluh darah yang rusak. Aspirin dapat
menyebabkan peoses pembekuan darah menjadi lebih lama sehingga dapat
terjadi perdarahan. Oleh karena itu,aspirin dapat menyebabkan epistaksis.
(Soepardi, 2007)
b) Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis,
sirosis hepatis, diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis
akibat hipertensi biasanya hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik.
(Soepardi, 2007)
1. Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140
mmHg dan tekanan darah diastolic lebih dari 90 mmHg. Epistaksis sering
terjadi pada tekanan darah tinggi karena kerapuhan pembuluh darah yang di
sebabkan oleh penyakit hipertensi yang kronis terjadilah kontraksi
pembuluh darah terus menerus yang mengakibatkan mudah pecahnya
pembuluh darah yang tipis. (Soepardi, 2007)
2. Arteriosklerosis
Pada arteriosklerosis terjadi kekakuan pembuluh darah. Jika terjadi
keadaan tekanan darah meningkat, pembuluh darah tidak bisa
18

mengompensasi dengan vasodilatasi, menyebabkan rupture dari pembuluh
darah. (Soepardi, 2007)
3. Sirosis hepatis
Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang
berkaitan dengan koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen,
protrombin, faktor V, VII, IX, X dan vitamin K. Pada sirosis hepatis fungsi
sintesis protein-protein dan vitamin yang dibutuhkan untuk pembekuan
darah terganggu sehingga mudah terjadinya perdarahan. Sehingga epistaksis
bisa terjadi pada penderita sirosis hepatis. (Soepardi, 2007)
4. Diabetes mellitus
Terjadi peningkatan gula darah yang meyebabkan kerusakan
mikroangiopati dan makroangiopati. Kadar gula darah yang tinggi dapat
menyebabkan sel endotelial pada pembuluh darah mengambil glukosa lebih
dari normal sehingga terbentuklah lebih banyak glikoprotein pada
permukaannya dan hal ini juga menyebabkan basal membran semakin
menebal dan lemah. Dinding pembuluh darah menjadi lebih tebal tapi lemah
sehingga mudah terjadi perdarahan. Sehingga epistaksis dapat terjadi pada
pasien diabetes mellitus. (Soepardi, 2007)
c) Infeksi akut
1. Demam berdarah
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-
antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan
agregasi trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan
sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan
19

perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari
perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit
mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga
trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit
dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi
trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran
platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID =
koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP
(fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor
pembekuan. Oleh karena itu epistaksis sering terjadi pada kasus demam
berdarah. (Soepardi, 2007)
2.5.3 Gangguan hormonal
Pada saat hamil terjadi peningkatan estrogen dan progestron yang tinggi di
pembuluh darah yang menuju ke semua membran mukosa di tubuh termasuk di
hidung yang menyebabkan mukosa bengkak dan rapuh dan akhirnya terjadinya
epistaksis. (Soepardi, 2007)
2.5.4 Alkoholisme
Alkohol dapat menyebabkan sel darah merah menggumpal sehingga
menyebabkan terjadinya sumbatan pada pembuluh darah. Hal ini menyebabkan
terjadinya hipoksia dan kematian sel. Selain itu hal ini menyebabkan
peningkatan tekanan intravascular yang dapat mengakibatkan pecahnya
pembuluh darah sehingga dapat terjadi epistaksis. (Soepardi, 2007)


20

2.6 Patofisiologi
Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang-kadang
sukar ditanggulangi. Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia
menengah dan lanjut, terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika
media menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial
sampai perubahan yang komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut
memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika
media sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama. Pada orang yang
lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya epistaksis
memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah ini
disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma. (Suryowati, 2009)
Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan, yaitu dari bagian anterior
dan posterior. (Suryowati, 2009)
2.6.1 Epistaksis anterior
Berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan sumber perdarahan paling
sering dijumpai anak-anak. Dapat juga berasal dari arteri ethmoid anterior/
pleksus Kiesselbach (little area), yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh darah di
septum bagian anterior tepat di ujung postero superior vestibulum nasi. Perdarahan
dapat berhenti sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan dengan tindakan
sederhana.(Suryowati, 2009)
Perdarahan juga dapat berasal dari bagian depan konkha inferior.1 Mukosa pada
daerah ini sangat rapuh dan melekat erat terbuka terhadap efek pengeringan udara
inspirasi dan trauma. Akibatnya terjadi ulkus, ruptur atau kondisi patologik lainnya
dan selanjutnya akan menimbulkan perdarahan. (Suryowati, 2009)

21








Gambar 2.10 Epistaksis anterior
2.6.2 Epistaksis posterior
Berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior. Perdarahan
cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat menyebabkan
anemia, hipovolemi dan syok. Sering ditemukan pada pasien dengan penyakit
kardiovaskular. Thornton (2005) melaporkan 81% epistaksis posterior berasal dari
dinding nasal lateral. (Suryowati, 2009)





Gambar 2.11 Epistaksis posterior



22

2.7 Gambaran Klinis
Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan
belakang hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal
terjadinya perdarahan atau pada bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan
darah. (Suryowati, 2009)
Pada anamnesis harus ditanyakan secara spesifik mengenai beratnya
pendarahan, frekuensi, lamanya pendarahan, dan riwayat pendarahan hidung
sebelumnya. (Suryowati, 2009)
Kebanyakan kasus epistaksis timbul sekunder trauma yang disebabkan
oleh mengorek hidung menahun atau mengorek krusta yang telah terbentuk
akibat pengeringan mukosa hidung berlebihan. Penting mendapatkan riwayat
trauma terperinci. Riwayat pengobatan atau penyalahgunaan alkohol terperinci
harus dicari. Banyak pasien minum aspirin secara teratur untuk banyak alasan.
Aspirin merupakan penghambat fungsi trombosit dan dapat menyebabkan
pemanjangan atau perdarahan. Penting mengenal bahwa efek ini berlangsung
beberapa waktu dan bahwa aspirin ditemukan sebagai komponen dalam sangat
banyak produk. Alkohol merupakan senyawa lain yang banyak digunakan,
yang mengubah fungsi pembekuan secara bermakna. (Suryowati, 2009)
Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah
kesehatan yang mendasari epistaksis. (Suryowati, 2009)





23

2.8 Pemeriksaan
Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala,
speculum hidung dan alat penghisap (bila ada)

dan pinset bayonet, kapas, kain
kassa. (Suryowati, 2009)
Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi
dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai
untuk mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam hidung. (Suryowati,
2009)
Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan
semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah
membeku; sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi
untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan. Setelah hidung
dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal
yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan
adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan
membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti
untuk sementara. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan
dan dilakukan evaluasi. (Suryowati, 2009)
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari
hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda
dengan pasien dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya adalah
menghentikan perdarahan. (Soepardi, 2007)


24

Pemeriksaan yang diperlukan berupa:
2.8.1 Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior.
Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan
konkha inferior harus diperiksa dengan cermat. (Soepardi 2007)







Gambar 2.12 Rhinoskopi Anterior
2.8.2 Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien
dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan
neoplasma. (Soepardi 2007)
2.8.3 Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi,
karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering
berulang. (Soepardi 2007)
2.8.4 Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI
Pemeriksaan CT scan (Computed Tomography Scanning) atau MRI
(Magnetic Resonance Imaging) diindikasikan untuk menilai anatomi dan
25

menentukan kehadiran dan perluasan dari rinosinusitis, benda asing, dan
neoplasma. (Soepardi 2007)
2.8.5 Nasofaringoskopi
Pemeriksaan ini dapat dilakukan bila tumor dicurigai sebagai penyebab
pendarahan. (Soepardi 2007)








Gambar 2.13 Tampilan endoskopi epistaksis posterior
2.8.6 Pemeriksaan Laboratorium (Skrining terhadap koagulopati)
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menilai kondisi pasien dan
masalah medis penyebab epistaksis, biasanya tidak dilakukan bila pendarahan
bersifat minor dan tidak berulang. Bila terdapat riwayat pendarahan berat yang
berulang, kelainan platelet, atau neoplasia, dilakukan pemeriksaan darah
lengkap. Bleeding time adalah pemeriksaan skrining yang baik untuk
kecurigaan terdapatnya kelainan pendarahan. Pemeriksaan International
Normalized Ratio (INR) atau prothrombin time (PT) dilakukan bila pasien
dicurigai mengkonsumsi warfarin atau menderita penyakit liver. (Soepardi
2007)
26

2.9 Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan epistaksis adalah untuk menghentikan perdarahan. Hal-
hal yang penting dicari tahu adalah: (Soepardi 2007, Adam 1997)
1. Riwayat perdarahan sebelumnya.
2. Lokasi perdarahan.
3. Apakah darah terutama mengalir ke tenggorokan (ke posterior) atau
keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak.
4. Lamanya perdarahan dan frekuensinya
5. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
6. Hipertensi
7. Diabetes melitus
8. Penyakit hati
9. Gangguan koagulasi
10. Trauma hidung yang belum lama
11. Obat-obatan, misalnya aspirin, fenil butazon.
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu :
1. Menghentikan perdarahan,
2. Mencegah komplikasi dan
3. Mencegah berulangnya epistaksis.
Kalau ada syok, perbaiki dulu kedaan umum pasien. (Soepardi 2007)
Tindakan yang dapat dilakukan antara lain:
1. Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi
duduk kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok.
(Soepardi 2007, Adam 1997)
27

2. Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat
dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian
cuping hidung ditekan ke arah septum selama beberapa menit (metode
Trotter). (Soepardi 2007, Adam 1997)





Gambar 2.14 Metode Trotter
3. Tentukan sumber perdarahan dengan memasang tampon anterior yang
telah dibasahi dengan adrenalin 1/5000-1/10000 dan pantokain/
lidokain 2%, serta bantuan alat penghisap untuk membersihkan bekuan
darah. (Soepardi 2007, Adam 1997)
4. Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan
jelas, dilakukan kaustik dengan larutan nitras argenti 20%-30%, asam
trikloroasetat 10% atau dengan elektrokauter. Sebelum kaustik
diberikan analgesia topikal terlebih dahulu. (Soepardi 2007, Adam
1997)
5. Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung,
diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa 2-
4 buah yang diberi vaselin yang dicampur betadin atau zat antibiotika.
Pemakaian pelumas diperlukan agar tampon mudah dimasukkan dan
tidak menimbulkan pendarahan baru saat dimasukkan atau dicabut.
28

Dapat juga dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga
menyerupai pita dengan lebar kurang cm, diletakkan berlapis-lapis
mulai dari dasar sampai ke puncak rongga hidung. Tampon yang
dipasang harus menekan tempat asal perdarahan dan dapat
dipertahankan selama 1-2 hari, setelah 1-2 hari, harus diambil untuk
mencegah infeksi hidung. Bila pendarahan masih belum berhenti,
dipasang tampon baru.

(Soepardi 2007, Adam 1997)









Gambar 2.15 Tampon anterior
6. Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau
tampon Bellocq, dibuat dari kasa dengan ukuran lebih kurang 3x2x2 cm
dan mempunyai 3 buah benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah lagi
pada sisi yang lainnya. Tampon harus menutup koana (nares posterior).
Setiap pasien dengan tampon Bellocq harus dirawat. (Soepardi 2007,
Adam 1997)

29





Gambar 2.16 Tampon Bellocque

Untuk memasang tampon Bellocq, dimasukkan kateter karet
melalui nares anterior sampai tampak di orofaring dan kemudian ditarik
ke luar melalui mulut. Ujung kateter kemudian diikat pada dua buah
benang yang terdapat pada satu sisi tampon Bellocq dan kemudian
kateter ditarik keluar dari hidung. Benang yang telah keluar melalui
hidung kemudian ditarik, sedang jari telunjuk tangan yang lain
membantu mendorong tampon ini ke arah nasofaring. Jika masih terjadi
pendarahan dapat dibantu dengan pemasangan tampon anterior,
kemudian diikat pada sebuah kain kasa yang diletakkan di tempat
lubang hidung sehingga tampon posterior terfiksasi. Sehelai benang lagi
pada sisi lain tampon Bellocq dikeluarkan melalui mulut (tidak boleh
terlalu kencang ditarik) dan diletakkan pada pipi. Benang ini berguna
untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. (Soepardi
2007, Adam 1997)


30









Gambar 2.17 Teknik pemasangan tampon Bellocq
7. Sebagai pengganti tampon Bellocq dapat dipakai kateter Foley dengan
balon. Balon diletakkan di nasofaring dan dikembangkan dengan air.
8. Di samping pemasangan tampon, dapat juga diberi obat-obat
hemostatik. Akan tetapi ada yang berpendapat obat-obat ini sedikit
sekali manfaatnya. Terapi farmakologi hanya berperan sebagai
pengobatan suportif dalam menangani pasien dengan epistaksis.
(Soepardi 2007, Adam 1997)
o Vasokonstriktor topikal
Obat tersebut bekerja pada reseptor alfa adrenergik pada mukosa
nasal yang menyebabkan vasokonstriksi. (Soepardi 2007, Adam 1997)
Oxymetazoline 0.05% (Afrin) dioleskan langsung pada membran
mukosa nasal, dimana akan menstimulasi reseptor alfa adrenergik dan
31

menyebabkan vasokonstriksi. Dekongesi terjadi tanpa perubahan
drastis pada tekanan darah, distribusi vaskular, atau stimulasi jantung.
Oxymetazoline dapat dikombinasi dengan lidokain 4% untuk
memberikan efek anestesi dan vasokonstriksi nasal yang efektif. Dosis
2 tetes atau semprotan per kavum nasi sebanyak 2 kali sehari, dosis
maksimum adalah 2 kali dosis anjuran per 24 jam dan durasi
maksimum adalah 3-5 hari. (Soepardi 2007, Adam 1997)
o Anestesi topikal
Ketika obat anestesi diberikan bersamaan dengan obat
vasokonstriktor, maka efek anestesinya akan diperpanjang dan
ambang nyeri meningkat. (Soepardi 2007, Adam 1997)
Lidokain 4% (xylocaine) mengurangi permeabilitas ion natrium
di membran neuronal, sehingga menghambat depolarisasi dan
menghambat transmisi impuls saraf. Dosis 1-3 mL setiap pemberian,
dosis maksimum 3 mg/kg, tidak boleh diberikan dengan interval
kurang dari 2 jam. (Soepardi 2007, Adam 1997)
o Salep antibiotik
Salep antibiotik digunakan untuk mencegah infeksi lokal dan
memberikan kelembapan lokal.
Salep mupirocin 2% (bactroban nasal) menghambat pertumbuhan
bakteri dengan mengambat RNA dan sintesis protein. dioleskan pada
area yang terkena tiga kali sehari. (Soepardi 2007, Adam 1997)


32

o Agen kauterisasi
Agen kauterisasi menggumpalkan protein sehingga mengurangi
pendarahan. Silver nitrat menggumpalkan protein dan membuang
jaringan granulasi juga mempunyai efek anti-bakteri. Kapas yang
telah dililitkan pada aplikator dicelupkan ke dalam larutan lalu
dioleskan pada area yang terkena 2-3 kali per minggu selama 2-3
minggu. (Soepardi 2007, Adam 1997)
9. Ligasi arteri dilakukan pada epistaksis berat dan berulang yang tidak
dapat diatasi dengan pemasangan tampon posterior. Untuk itu pasien
harus dirujuk ke rumah sakit. Pemilihan pembuluh darah yang diligasi
tergantung dari lokasi epistaksis. Secara umum, semakin dekat ligasi
terhadap lokasi pendarahan, semakin efektif prosedur yang dilakukan.
Ligasi biasanya dilakukan pada arteri karotis eksternal, atau maksilaris
interna, atau etmoidalis. Ligasi arteri karotiks eksternal dilakukan
melalui insisi horizontal yang dilakukan di antara tulang hyoid dan
batas superior kartilago tiroid. Ligasi arteri maksilaris interna memiliki
angka kesuksesan yang lebih tinggi daripada ligasi arteri karotis
eksterna karena letak intervensinya yang lebih jauh, biasanya diakses
secara transantral melalui pendekatan Caldwell-Luc. Bila pendarahan
terjadi di lokasi yang lebih tinggi/atap nasal, lebih baik dilakukan ligasi
arteri etmoidalis anterior dan atau posterior melalui insisi etmoidektomi
eksternal. (Soepardi 2007, Adam 1997)
Pendarahan dari sistem arteri karotis eksterna dapat juga dikontrol
dengan embolisasi, sebagai modalitas utama pada kandidat yang kurang
33

baik untuk dibedah ataupun pengobatan sekunder pada mereka dengan
operasi yang gagal. Sebelum embolisasi, dilakukan dulu angiografi
untuk memeriksa kehadiran hubungan yang tidak aman antara sistem
arteri karotis interna dan eksterna. Embolisasi selektif pada arteri
maksilaris interna dan kadang-kadang pada arteri fasialis. Angiografi
pasca embolisasi dilakukan untuk menilai derajat oklusi.

(Soepardi
2007, Adam 1997)

10. Pengobatan untuk Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia (HHT)
bersifat paliatif karena kelainannya tidak dapat disembuhkan. Pilihan
pengobatannya adalah koagulasi dengan laser titanyl-phosphate (KTP)
atau neodymium:yttrium-aluminum-garnet (Nd:YAG),
septodermoplasti, embolisasi, dan terapi estrogen. (Soepardi 2007,
Adam 1997)

2.10 Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari epistaksis atau
sebagai akibat dari penanganan yang kita lakukan. (Schlosser, 2009)
Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul rinosinusitis (karena
ostium sinus tersumbat), air mata yang berdarah (bloody tears) karena darah
mengalir secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis, septikemia, toxic
shock syndrome, sinekia, dan gangguan fungsi tuba eustachius. Akibat
pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media, hematotimpanum,
disfagia, sinekia, toxic shock syndrome, gangguan fungsi tuba, disfagia,
hipoventilasi, mati mendadak, serta laserasi palatum mole dan sudut bibit bila
34

benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang ditarik. (Schlosser,
2009)
Akibat kauterisasi adalah sinekia dan perforasi septum. Akibat ligasi arteri
maksilaris interna transantral adalah resiko anestesi, rinosinusitis, fistula
oroantral, anestesia infraorbital, dan trauma dental. Sedangkan komplikasi
akibat ligasi arteri maksilaris internal transoral adalah resiko anestesia,
anestesia pipi, trismus, dan pareestesia lidah. (Schlosser, 2009)
Akibat ligasi arteri etmoidalis anterior atau posterior adalah resiko
anestesi, rinosinusitis, trauma duktus lakrimalis, dan kebutaan. Akibat
embolisasi adalah nyeri pada wajah, trismus, paralisis wajah, nekrosis kulit,
kebutaan, dan stroke.

(Schlosser, 2009)

2.11 Diagnosis Banding
Termasuk perdarahan yang bukan berasal dari hidung tetapi darah
mengalir keluar dari hidung seperti hemoptisis, varises oesofagus yang
berdarah, perdarahan di basis cranii yang kemudian darah mengalir melalui
sinus sphenoid ataupun tuba eustachius. (Soepardi 2007, Adam 1997)

2.12 Pencegahan
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya
epistaksis antara lain:
a. Gunakan semprotan hidung atau tetes larutan garam, yang keduanya dapat
dibeli, pada kedua lubang hidung dua sampai tiga kali sehari. Untuk
35

membuat tetes larutan ini dapat mencampur 1 sendok teh garam ke dalam
secangkir gelas, didihkan selama 20 menit lalu biarkan sampai hangat kuku.
b. Gunakan alat untuk melembabkan udara di rumah.
c. Gunakan gel hidung larut air di hidung, oleskan dengan cotton bud. Jangan
masukkan cotton bud melebihi 0,5 0,6cm ke dalam hidung.
d. Hindari meniup melalui hidung terlalu keras.
e. Bersin melalui mulut.
f. Hindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari.
g. Batasi penggunaan obat obatan yang dapat meningkatkan perdarahan
seperti aspirin atau ibuprofen.
h. Konsultasi ke dokter bila alergi tidak lagi bisa ditangani dengan obat alergi
biasa.
i. Berhentilah merokok. Merokok menyebabkan hidung menjadi kering dan
menyebabkan iritasi. (Soepardi 2007, Adam 1997)

2.13 Prognosis
Untuk sebagian besar populasi, epistaksis dianggap hanyalah gangguan
ringan. Tetapi, masalah ini kadang-kadang dapat mengancam nyawa, terutama
pada pasien usia lanjut dan pasien dengan masalah kesehatan. Untungnya,
kematian jarang dan biasanya karena komplikasi dari hipovolemia, dengan
pendarahan berat atau keadaan penyakit penyebabnya. (Schlosser, 2009)
Secara keseluruhan, prognosisnya baik tapi beragam; dengan perawatan
yang benar, sangatlah baik. Ketika penanganan suportif mencukupi dan
penyakit penyebabnya terkontrol, sebagian besar pasien jarang mengalami
36

pendarahan berulang. Beberapa dapat mengalami rekurensi minor yang dapat
berhenti secara spontan atau dengan perawatan minimal oleh diri sendiri.
Sebagian kecil pasien mungkin memerlukan tampon atau perawatan yang lebih
agresif. (Soepardi 2007, Adam 1997)
Pasien dengan epistaksis yang terjadi karena membran kering atau trauma
ringan biasanya baik-baik saja, tanpa dampak jangka panjang. Pasien dengan
HHT cenderung mengalami rekurensi yang banyak walaupun telah dilakukan
pengobatan. Pada pasien hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya
perdarahan hebat, sering kambuh dan prognosisnya buruk
.
Pasien dengan
pendarahan karena masalah hematologi atau kanker memiliki prognosis yang
beragam. Pasien yang telah menjalankan tampon nasal adalah subjek dalam
peningkatan morbiditas. Tampon posterior dapat menyebabkan sumbatan jalan
nafas dan depresi pernafasan. Tampon di manapun dapat menyebabkan infeksi.
(Soepardi 2007, Adam 1997)

Anda mungkin juga menyukai