Anda di halaman 1dari 22

1

PERLINDUNGAN BAGI ANAK SEBAGAI KORBAN PERKOSAAN


(Studi di Pengadilan Negeri Malang dan Pengadilan Negeri Kepanjen)
Novi Febriani Noor Erliati
1
, Koesno Adi
2
, Prija Djatmika
3
.
Magister Ilmu Hukum (S2) Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya Malang

ABSTRACT
This paper discussed about legal protection for children as rape victim in
Pengadilan Negeri Malang and Pengadilan Negeri Kepanjen. This event was
having background in phenomenon of sexual abuse (ravishment) toward
child, in which was an occuring cases in Malang and Kepanjen. Children as
rape victim, as the weak party and disadvantage in crime act should be
getting attention and legal protection. This was because this nation has the
obligation to maintain the safety and improving welfare of its citizen. Child
protection as rape victim in process of resolving criminal cases is highly
important for the victim, her family and crime deals for the criminal itself.
For the defendant, compensation determination toward victim (restitution)
would develop defendants responsibility and concretely removing shame of
what he was doing, and thus it would give easier access in conduct
management of defendant within imprisonment.
Keywords
Legal protection, Child Protection, Children as RapeVictim.










1
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum angkatan 2011, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
2
Dosen Hukum Pidana sebagai Pembimbing Utama
3
Dosen Hukum Pidana sebagai Pembimbing Kedua.
2

ABSTRAK
Penulisan ini membahas tentang perlindungan hukum bagi anak sebagai korban
perkosaan di Pengadilan Negeri Malang dan Pengadilan Negeri Kepanjen. Hal ini
dilatarbelakangi fenomena yang terjadi maraknya kasus kekerasan seksual (perkosaan)
terhadap anak, yang mana dalam hal ini ditemukan banyak kasus di wilayah Malang
dan Kepanjen. Anak sebagai korban perkosaan, sebagai pihak yang lemah dan
dirugikan dalam terjadinya tindak pidana seharusnya mendapat perhatian dan
perlindungan hukum. Hal ini karena negara berkewajiban memelihara keselamatan
dan meningkatkan kesejahteraan warga negaranya. Perlindungan anak sebagai korban
perkosaan dalam proses penyelesaian perkara pidana sangat penting bagi korban,
keluarganya dan penanggulangan kejahatan serta bagi pelaku kejahatan itu sendiri.
Bagi pelaku kejahatan, penjatuhan sanksi ganti rugi kepada korban (restitusi) akan
mengembangkan tanggung jawab pelaku dan secara konkrit telah menghilangkan
noda akibat perbuatannya, sehingga akan memudahkan pembinaan terhadap pelaku
dalam lembaga pemasyarakatan.
Kata Kunci:
Perlindungan Hukum, Perlindungan Anak, Anak sebagai Korban Perkosaan.
A. PENDAHULUAN
Anak sebagai bagian dari generasi penerus cita-cita bangsa, memiliki peran
strategis dalam menjamin eksistensi bangsa dan negara di masa mendatang. Agar
mereka kelak mampu memikul tanggung jawab itu, maka mereka perlu mendapat
kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik
fisik, mental, sosial, maupun spiritual.
4
Maka mereka perlu mendapatkan hak-haknya,
perlu dilindungi dan disejahterakan.
Untuk mewujudkan kesejahteraan anak, maka Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 November 1958 secara aklamasi mensahkan
Declaration of the Right of the Child. Preamble Declaration of the Right of the Child
(Mukadimah Deklarasi Hak Anak-Anak) dalam alinea ke 3 menetapkan: whereasthe
childby reason if his physical andmental immaturity, needsspecial safeguards and care, including
appropriatelegal protection, beforeas well as after birth. Dari alinea itu dipahami bahwa
karena alasan fisik dan mental yang belum matang dan dewasa, maka anak
membutuhkan perlindungan hukum sebelum maupun sesudah mereka dilahirkan.
Sedangkan Principle4 Declaration of theRight of theChildmenetapkan Thechildshall enjoy
thebenefits of social security. Dalam hal ini umat manusia berkewajiban memberikan
yang paling baik bagi anak-anak.
5


4
Abu Huraerah, KekerasanTerhadapAnak, (Bandung:Nuansa Cendekia,2012),hlm.11.
5
Ibid.
3

Adapun instrumen Internasional yang mengatur tentang hak-hak maupun
kepentingan anak yakni Konvensi Hak-Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa
(United Nations Convention on the Rights of the Child) adalah sebuah konvensi
internasional yang mengatur hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan kultural anak-
anak.
6
Ditinjau dari sisi yang berkewajiban melaksanakan Konvensi Hak Anak, yaitu
negara yang bertanggung jawab untuk memenuhi hak anak, yakni orang dewasa pada
umumnya. Mengingat bahwa, sebagaimana yang dinyatakan dalam Deklarasi Hak-
Hak Anak, anak karena ketidakmatangan jasmani dan mentalnya, maka memerlukan
pengamanan dan pemeliharaan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak,
sebelum dan sesudah dilahirkan.
7

Kemudian hak-hak anak juga diatur ke dalam peraturan BeijingRulesyakni
Peraturan minimum standar Amerika Serikat untuk Administrasi Keadilan Anak.
Pada prinsip umum dalam BeijingRules secara fundamental bahwa anggota negara
harus mencari, sesuai dengan kepentingan umum masing-masing, untuk
kesejahteraan anak-anak dan keluarganya. Negara anggota harus berusaha untuk
mengembangkan kondisi yang akan memastikan untuk anak-anak suatu kehidupan
berarti dalam komunitas, yang selama periode tersebut dalam kehidupan ketika dia
paling rentan terhadap perilaku menyimpang, akan membantu perkembangan proses
pengembangan personal dan pendidikan yaitu bebas dari kejahatan dan pelanggaran.
Di Indonesia undang-undang anak sangat dibutuhkan karena merupakan
perlindungan preventif dan represif bagi anak. UU anak telah tersebar di berbagai
bidang hukum atau aturan perundang-undangan, misalnya dalam Pasal 68 dan Pasal
69 UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, UU No.4 Tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 52
ayat (2) UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) hanya meliputi 3 pasal yaitu Pasal 45,46,dan 47, sedangkan Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) hanya sedikit sekali menyinggung tentang
Anak, yaitu Pasal 153 ayat (3), 153 (5), 171 sub a. Pasal 153 (3) KUHAP menetapkan
Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan
menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau

6
Wikipedia KHA, http:/ / www.wikipedia.org, diakses tgl 26 Maret 2013.
7
Dalam Mukadimah Konvensi Hak-Hak Anak.
4

terdakwa adalah anak-anak. Pasal 153 (5) KUHAP menetapkan Hakim ketua
sidang dapat menentukan bahwa anak yang belum mencapai umur tujuh belas tahun
tidak diperkenankan menghadiri sidang. Pasal 171 sub a KUHAP menetapkan
Yang telah diperiksa untuk memberikan keterangan tanpa sumpah ialah: a. Anak
yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin.
8

Pasal 2 UU No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak, menentukan
bahwa hak-hak anak berupa: kesejahteraan, perawatan, asuhan, bimbingan, pelayanan
untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, pemeliharaan dan
perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan,
perlindungan dari lingkungan hidup yang dapat membahayakan pertumbuhan dan
perkembangannya.
9
Hak anak adalah hak asasi manusia (HAM) dan untuk
kepentingannya hak anak diakui dan dilindungi oleh hukum sejak dalam kandungan
(Pasal 52 ayat (2) UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM.
Saat ini ada kecenderungan mengenai bagaimana anak diperlakukan dan
bagaimana terabaikannya mereka ketika menjadi korban kekerasan atau perlakuan
yang tidak semestinya.
10
Fenomena menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual
terhadap anak merupakan salah satu kasus yang mengalami peningkatan secara
signifikan belakangan ini khususnya di wilayah Malang dan Kepanjen. Adapun kasus
yang terjadi yakni, (1) Di Malang, telah terjadi perkosaan antara ayah dengan anak
kandung (berumur 14 tahun). Peristiwa perkosaan dilakukan di rumah ketika korban
sedang tidur, pelaku memeluk tubuh korban dan memaksa korban untuk melepas
pakaian korban. Namun korban menolak permintaan pelaku, dan pelaku tetap
memaksa korban dan mengancam ingin membunuh. Karena takut ancaman dari
pelaku, korban tidak berani melawan, dan kemudian pelaku sendiri yang membuka
pakaian dan celana korban dan kemudian menyetubuhi korban sekitar 15 menit
hingga mengeluarkan sperma. Dan pelaku dijerat dengan pidana 7 tahun 6 bulan
penjara.
11
(2) Kepanjen, telah terjadi perkosaan antara guru dengan murid SMP.
Anak (korban) berusia 14 tahun yang statusnya adalah pelajar SMP. Perkosaan terjadi
berawal dari ketika korban kehilangan uang sebesar Rp.50.000 (lima puluh ribu

8
Made Sadhi Astuti, PemidanaanTerhadapAnak Sebagai PelakuTindak Pidana, (Malang:IKIP,
1997),hlm.3.
9
Ibid, hlm.2.
10
Abu Huraerah, opcit, hlm.13.
11
Sumber: Putusan No.609/ Pid.Sus/ 2011/ PN Mlg.
5

rupiah) untuk membayar uang pembangunan sekolah. Kemudian pelaku menemui
korban dan berkata bahwa uang pembangunan sekolah sudah dibayar, dan terdakwa
menawarkan kegiatan ekstrakurikuler badminton kepada korban. Kemudian korban
menerima tawaran pelaku. Sore harinya korban dilatih oleh terdakwa di aula namun
hanya sebentar. Selesai latihan, pelaku memaksa korban untuk melakukan
persetubuhan dan mengancam korban bahwa akan menagih uang itu ke kakaek atau
ayah tiri korban, karena takut korban menuruti kemauan pelaku. Setelah melakukan
seks di aula, pelaku mengancam korban untuk tidak memberitahukan kejadian
tersebut ke orang lain, kalau hal itu terjadi maka rahasia korban terbongkar. Dan
korban harus datang dan melayani nafsu terdakwa ketika terdakwa panggil. Dan
setiap pulang sekolah terdakwa selalu memanggil korban untuk pergi ke aula dan di
sana korban dipaksa untuk melayani nafsu seks terdakwa lagi dengan cara yang sama
sampai lebih dari sepuluh kali sehingga korban merasa tersiksa secara fisik maupun
psikis. Pelaku dijerat pidana 7 tahun penjara dikurangi selama terdakwa berada dalam
tahanan dan denda sebesar Rp.60.000.000.
12

Dalam penjatuhan pidana yang diutamakan adalah pelaku sebagai bentuk
tanggungjawab dari perbuatan yang dilakukannya dengan dipenjara sekian tahun,
korban hanya dapat menerima tindakan pembalasan tersebut dengan penjatuhan
hukuman yang diberikan hakim kepada pelaku. Setelah mendapat putusan yang
bersifat incracht dari pengadilan, si anak sebagai korban dikembalikan pada
orangtuanya tanpa direhabilitasi. Kemudian dalam hal medis, seperti melakukan
perawatan (kalau terdapat luka fisik), dan visum anak sebagai korban dibebani biaya
sendiri. Dalam hal ini anak tidak memperoleh ganti kerugian seperti restitusi maupun
kompensasi dan bantuan hukum lainnya.
13

Oleh karena itu, perhatian dan perlindungan terhadap kepentingan korban
tindak pidana perkosaan baik melalui proses peradilan pidana maupun melalui sarana
kepedulian sosial tertentu merupakan bagian mutlak yang perlu dipertimbangkan
dalam kebijakan hukum pidana dan kebijakan-kebijakan sosial, baik oleh lembaga
eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun oleh lembaga-lembaga sosial yang ada.
Berdasarkan tujuan untuk mewujudkan pemerataan keadilan dan kesejahteraan

12
Sumber: Putusan No:404/ Pid.Sus/ 2012/ PN.Kpj.
13
Hasil wawancara dengan Agustinus Asgari Mandala Dewa, Hakin Pengadilan Negeri
Kepanjen,dilaksanakan pada tgl 4 Maret 2013, di PN Kepanjen.
6

umum, maka hak korban tindak pidana perkosaan untuk dilindungi pada dasarnya
merupakan bagian integral dari hak asasi di bidang jaminan sosial.
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut: (1) Bagaimana implementasi perlindungan hukum
terhadap anak sebagai korban perkosaan? (2) Bagaimana bentuk perlindungan hukum
yang ideal dalam memberikan perlindungan terhadap anak sebagai korban perkosaan
di masa depan?
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi
perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban perkosaan, dan untuk mengetahui
bentuk perlindungan hukum yang ideal dalam memberikan perlindungan terhadap
anak sebagai korban perkosaan di masa depan.

B. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah empiris, dan dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan yuridis, sosiologis, victimologis. Data yang akan digunakan
dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer berupa
wawancara dengan responden, yakni: 2 (dua) orang anak (korban) dari Pengadilan
Negeri (PN) Malang dan 2 (dua) orang anak (korban) dari PN Kepanjen, 2 (dua)
orang Hakim yang menangani kasus perkosaan terhadap anak di PN Malang, dan 2
(dua) orang Hakim yang menangani kasus perkosaan terhadap anak di PN Kepanjen.
Data sekunder berupa Putusan No. 404/ Pid.Sus/ 2012/ PN Kpj, Putusan
No. 408/ Pid.Sus/ 2012/ PN Kpj, Putusan No. 609/ Pid.Sus/ 2011/ PN Mlg, Putusan
No. 30/ Pid.Sus/ 2012/ PN Mlg, data yang terkait dengan gambaran kasus perkosaan
anak di PN Malang dan PN Kepanjen, UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, UU No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Konvensi Hak-Hak Anak,
UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU No. 39 tahun
1999 tentang HAM, UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), Buku-buku referensi yang terkait dengan perlindungan
hukum terhadap korban tindak pidana, serta artikel-artikel dalam majalah atau koran
maupun internet.
7

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, berupa wawancara yang
disertai dengan suatu daftar pertanyaan yang disusun sebelumnya.
14
Teknik
wawancara dalam penelitian ini dilakukan dengan dua cara yaitu wawancara Terarah
(directive interview), yakni wawancara proses tanya jawab dalam penelitian yang
berlangsung secara lisan dimana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan
langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan yang memperhatikan
pengaturan daftar pertanyaan, memperhatikan karakteristik narasumber dan
membatasi aspek-aspek masalah yang diperiksa.
15
Dan wawancara tidak terarah
adalah wawancara tanpa menyusun daftar pertanyaan terlebih dahulu. Fungsi dari
wawancara ini hanya untuk menambahkan pertanyaan tertentu atau pertanyaan
tambahan.
16
Kemudian studi kepustakaan , yang mana pengumpulan data dilakukan
dengan menyalin data-data dari penelitian dan di gali dengan melalui buku-buku
seperti perundang-undangan, literatur-literatur, artikel, maupun berita di koran, dan
internet, tulisan-tulisan yang dikumpulkan dengan metode studi pustaka, serta ada
hubungannya dengan pembahasan dan memiliki relevansi dengan pokok
permasalahan yang di kaji, guna mendapatkan landasan teori yang obyektif.
Teknik pengolahan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan
Deskriptif Analisis
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
C.1 Implementasi perlindungan hukum bagi anak sebagai korban perkosaan
ternyata belum maksimal sebagaimana yang diberikan oleh undang-undang.
Walaupun belum maksimal, namun ada beberapa bentuk perlindungan hukum yang
sudah diberikan kepada anak sebagai korban sesuai UU No. 23 Tahun 2002 pasal 64
ayat (3), bahwa anak sebagai korban mendapatkan (a) rehabilitasi baik dalam lembaga
maupun luar lembaga, (b) upaya perlindungan dan pemberitaan identitas melalui
media massa untuk menghindari labelisasi, (c) pemberian jaminan keselamatan bagi
saksi korban dan saksi ahli baik fisik, mental, maupun sosial, dan (d) pemberian
aksebilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara. Bentuk
perlindungan hukum yang diberikan pada anak sebagai korban di PN Malang yakni
Pertama, sebelum persidangan ketika korban menjalani proses penyidikan, anak

14
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:PT.Raja
Grafindo,2008), hlm.84.

15
Ibid, hlm.25.
16
Ibid, hlm.228.
8

korban dimintai keterangan oleh pihak kepolisian. Polisi yang melakukan penyidikan
terhadap mereka adalah polisi wanita unit PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak).
Dalam memberikan pertanyaan kepada korban, tidak bersifat memojokan korban.
Kedua, dalam persidangan, sidang tertutup untuk umum. Kemudian anak sebagai
korban dilindungi dari berbagai ancaman maupun tekanan dari pihak lain, misalkan
pada saat sidang ketika anak korban memberikan keterangan atau kesaksiannya dan
dia takut pada pelaku, maka hakim dengan bijaksana untuk meminta pelaku untuk
keluar dari ruang sidang. Anak korban mempunyai hak untuk didampingi oleh orang
tua/ wali/ psikolog selama persidangan. Dan korban tidak di beri kesempatan untuk
mengajukan gugatan ganti kerugian atas penderitaan yang dialami baik fisik dan
mental. Ketiga, setelah persidangan, setelah putusan korban dikembalikan pada
orangtua tanpa ditehabilitasi.
Dari beberapa bentuk perlindungan hukum bagi anak sebagai korban
perkosaan di atas, ternyata terdapat kelemahan, yang tidak sesuai diberikan oleh
undang-undang. Seperti Pertama, sebelum persidangan dalam hal pemenuhan hak korban
/ perlindungan dari pihak / lembaga kesehatan (Rumah sakit atau Puskesmas) terhadap
korban perkosaan di wilayah hukum PN Malang, belum maksimal, artinya dalam hal ini
korban belum mendapatkan pelayanan kesehatan misalkan apabila ada permintaan visum et
repertum terhadap korban tidak diberikan pelayanan secara gratis artinya korban dibebani
biaya dalam hal visum, bahkan untuk pengobatan lanjutanpun tetap dikenakan biaya
pengobatan sendiri pada korban. Kedua, pada saat setelah persidangan setelah putusan
berakhir anak sebagai korban akan dikembalikan kepada orangtuanya atau kepada
keluarganya. Ketika korban mengalami penderitaan fisik maupun psikis yang menanggung
derita korban adalah korban dan pihak keluarga korban sendiri, artinya korban tidak
mendapatkan ganti rugi maupun bantuan hukum secara optimal. Kemudian anak sebagai
korban tidak mendapatkan rehabilitasi, hal ini dikarenakan bukan tanggung jawab dari
pengadilan. Dan Ketiga dalam lembaga sosial pada rehabilitasi untuk korban-korban asusila
belum mendapatkan akses tersebut secara optimal, dikarenakan lembaga sosial Perlindungan
Perempuan dan Anak belum berfungsi di kota Malang.
Sedangkan implementasi perlindungan Hukum di PN Kepanjen, Pertama,
sebelum persidangan pada proses penyidikan, anak korban dimintai keterangan oleh
pihak kepolisian yang dilakukan oleh polisi wanita unit PPA. Dalam memberikan
pertanyaan kepada korban, tidak bersifat memojokan korban. Dalam permintaan
visum untuk menemukan bukti, anak tidak dibebani biaya. Karena pihak rumah sakit
9

telah bekerjasama dengan lembaga sosial P2TP2A. Kedua, dalam persidangan, sidang
tertutup untuk umum. Kemudian anak sebagai korban dilindungi dari berbagai
ancaman maupun tekanan dari pihak lain, misalkan ada pendampingan dan ketika
anak korban memberikan keterangan dia takut pada pelaku, maka hakim dengan
bijaksana untuk meminta pelaku untuk keluar dari ruang sidang. Dan korban tidak
diberi kesempatan untuk mengajukan gugatan ganti kerugian. Walaupun di wilayah
Kepanjen telah memiliki lembaga sosial yang bernama P2TP2A, lembaga ini hanya
bersifat menampung segala pengaduan dan memberi pendampingan lengkap dengan
psikiater dan pelayanan medisnya. Namun kendalanya karena organisasi tersebut
belum memiliki tempat atau wadah rehabilitasi untuk korban kekerasan.
Dari beberapa kelemahan tersebut di atas menunjukkan bahwa adanya
ketidaksesuaian antara norma dan penerapan di lapangan,hal ini ditunjukkan pada
proses peradilan pidana anak sebagai korban tidak mendapatkan hak sepenuhnya
sebagaimana yang diberikan oleh undang-undang.. Dalam penanganan kasus
perkosaan terhadap anak sebagai korban seharusnya bersifat holistik dan terintegrasi.
Semua sisi memerlukan pembenahan dan penanganan, baik dari sisi medis, sisi
internal penghayatan individu, aspek hukum yang masih banyak mengandung
kelemahan, dukungan sosial, dukungan ekonomis, maupun langkah-langkah politis
dan advokasi.
17
Tujuan dalam memberikan kebutuhan hukum secara holistik tersebut
adalah untuk memberikan keadilan.
Ketidakadilan yang menimpa golongan-golongan sosial yang lemah seperti
anak sebagai korban perkosaan, dalam hal ini negara dibebani tanggung jawab sosial,
artinya negara tidak boleh sekedar netral terhadap semua golongan, melainkan harus
berpihak pada mereka yang lemah dan memerlukan bantuan. Berpihak dalam arti
bahwa negara harus mengambil tindakan khusus untuk menjamin tuntutan keadilan.
Untuk itu, bagi golongan-golongan lemah harus dibuka kemungkinan berpartisipasi
aktif dalam menuntut hak-hak yang telah merugikan mereka.
18

Sebagaimana filosofi dari negara kita yang berlandaskan pancasila, hakikat
keadilan manusia sebagai makhluk yang beradab (sila II). Manusia pada hakikatnya
adalah adil dan beradab, yang berarti manusia harus adil terhadap diri sendiri, adil

17
Achie Sudiarti Luhulima (Penyunting), PemahamanBentuk-bentuk Tindak KekerasanTerhadap
PerempuandanAlternatif Pemecahannya, (Jakarta: PT. Alumni, 2000), hlm.43.
18
Ibid.
10

terhadap Tuhannya, adil terhadap orang lain dan masyarakat serta adil terhadap
lingkungan alaminya.
19
Dengan keadilan yang berlandaskan dalam sila kedua pancasila
tersebut berhak didapat bagi si pelaku maupun korban pada kasus perkosaan.
Keadilan dalam hal ini bukan hanya dimaksudkan untuk sama-sama mendapatkan
pada bagian sama, namun keadilan dalam kasus ini adalah untuk keadilan yang
merupakan struktur kekuasaan yang menguasai golongan-golongan yang menderita
ketidakadilan yakni pihak yang menderita atau dirugikan (korban).
20

Sila kedua dalam Pancasila menunjuk kepada nilai-nilai dasar manusia, yang
diterjemahkan dalam hak-hak asasi manusia, taraf kehidupan yang layak bagi manusia,
dan sistem pemerintahan yang demokratis serta adil. Nilai-nilai manusiawi merupakan
dasar dari apa yang sekarang disebut sebagai hak-hak asasi manusia.
21
Terlebih pada
hak yang dimiliki oleh pelaku dan korban, bila terkait dalam persoalan ini artinya hak
yang didapat masing-masing harus diwujudkan karena merupakan bagian dari hak
asasi manusia. Namun persoalan hak asasi dalam hal ini tidak terlepas pada kewajiban
yang di laksanakan oleh pelaku maupun korban. Karenanya tanpa adanya kewajiban
maka tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia.
22

Dalam kasus perkosaan terhadap anak merupakan pelanggaran hak asasi
manusia, dikarenakan berdasarkan UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (HAM) Pasal 58 (2), menyebutkan:
Dalamhal orangtua, wali, atau pengasuhanak melakukan segala bentuk penganiayaan
fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual termasuk
pemerkosaan dan pembunuhan terhadapanak yangseharusnya dilindungi, maka harus
dikenakan pemberatan hukuman.

Selain itu, hak anak sebagai korban perkosaan yang menderita secara fisik
perlu mendapatkan restitusi maupun kompensasi atas akibat penderitaan yang
dialaminya. Sebagaimana terkandung dalam Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan
Bagi Para Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan (Resolusi Majelis

19
Bur Rasuanto, KeadilanSosial, Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm.10.
20
Albert Y. Dien, Keadilan Sosial, Kuasa, Moral, dan Kemiskinan di Indonesia,
http:/ / www.google.com, 15 Juni 2013 (tgl Akses).
21
Yudi Latif, Negara Paripurna Historisitas, Rasionalitas, danAktualitas Pancasila, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2011), hlm 243.
22
Pasal 1 angka 1 UU No.39 tahun 1999 tentang HAM.
11

Umum PBB No. 40/ 34 tertanggal 29 November 1985). Deklarasi tersebut
mengandung ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
23

a. Para korban berhak untuk mendapatkan penggantian segera atas kerugian
yang mereka derita.
b. Mereka harus diberitahu tentang hak mereka untuk mendapat ganti rugi.
c. Para pelaku atau pihak ketiga harus memberi restitusi yang adil bagi para
korban, keluarga, dan tanggungjawab mereka. Penggantian demikian harus
mencakup pengembalian hak milik atau pembayaran atas derita atau
kerugian yang dialami, penggantian atas biaya yang dikeluarkan sebagai
akibat viktimisasi tersebut, dan penyediaan pelayanan serta pemulihan hak-
hak.
d. Bilamana kompensasi tidak sepenuhnya didapat dari pelaku atas sumber-
sumber lainnya, negara harus berusaha menyediakan kompensasi keuangan.
e. Para korban harus mendapat dukungan dan bantuan material, pengobatan,
psikologis dan sosial yang diperlukan.

Menurut deklarasi tersebut di atas, merupakan bagian dari hak anak sebagai
korban perkosaan yang harus dipenuhi. Karenanya, dalam perlindungan hukum
terhadap anak sebagai korban perkosaan merupakan bagian dari perlindungan kepada
masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti pemberian restitusi
maupun kompensasi, pelayanan medis, bantuan hukum dan rehabilitasi.
Kemudian menurut peraturan Beijing Rules mengandung ketentuan khusus
yakni bahwa:
untuk memfasilitasi kebijakan mengenai kasus anak-anak, maka harus ada
upaya yang dilakukan untuk membekali para pelaksana program
kemasyarakatan dengan hal-hal seperti pengawasan dan bimbingan
sementara, restitusi dan kompensasi bagi para para korban.
24


Dalam ketentuan KUHAP Pasal 98 KUHAP memberi kesempatan kepada
korban untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian ke dalam proses
peradilan pidana, dimana ganti kerugian ini dipertanggungjawabkan kepada pelaku
tindak pidana. Penggabungan gugatan ganti kerugian dalam perkara pidana akan
memudahkan korban atau keluarganya karena tidak perlu mengajukan gugatan
tersendiri. Gugatan ganti rugi ini tetap bersifat keperdataan walaupun diberikan

23
Rena Yulia, Viktimologi PerlindunganHukumTerhadapKorbanKejahatan, Bandung: Graha
Ilmu, 2010, hlm.196.
24
Peraturan Minimum Standar Amerika Serikat Untuk Administrasi Keadilan Anak-Anak
(Peraturan Beijing Rule), Peraturan 11.4
12

melalui proses pidana.
25
Dilihat dari kepentingan korban, dalam konsep ganti
kerugian terkandung dua manfaat yaitu pertama, untuk memenuhi kerugian materiil
dan segala biaya yang telah dikeluarkan, dan kedua merupakan perumusan emosional
korban. Sedangkan dilihat dari sisi kepentingan pelaku, kewajiban mengganti kerugian
dipandang sebagai suatu bentuk pidana yang dijatuhkan dan dirasakan sebagai suatu
yang konkrit dan langsung berkaitan dengan kesalahan yang diperbuat pelaku.
26

Tujuan dari kewajiban mengganti kerugian menurut Gelaway, yaitu:
27
a)
meringankan penderitaan korban, b) sebagai unsur yang meringankan hukuman yang
akan dijatuhkan, c) sebagai salah satu cara merehabilitasi terpidana, dan d)
mempermudah proses peradilan.
Selaras dengan hak yang telah disebut menurut Van Boven yang dikutip
(Rena Yulia):
Hak-hak para korban adalah hak untuk tahu, hak atas keadilan, dan hak
atas reparasi (pemulihan), yaitu hak yang menunjuk kepada semua tipe
pemulihan baik material maupun non material bagi korban pelanggaran hak
asasi manusia. hak tersebut terdapat dalam berbagai instrumen hak asasi
manusia yang berlaku dan juga terdapat dalam yurisprudensi komite-komite
hak asasi manusia internasional maupun pengadilan regional hak asasi
manusia.
28


Selain hak-hak anak sebagai korban yang didapat berupa ganti kerugian,
terdapat beberapa hak anak sebagai korban untuk mendapatkan bantuan medis dan
bantuan rehabilitasi psiko-sosial. Bantuan rehabilitasi psikososial adalah bantuan yang
diberikan oleh psikolog kepada korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan
lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan korban.
29

Dan menurut ketentuan undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang
perlindungan Anak pasal 64 (3) dan UU No. 11 Tahun 2012 pasal 90 mengatur, anak
sebagai korban berhak mendapatkan rehabilitasi dari lembaga maupun di luar
lembaga. Kemudian di atur pula ke dalam UU No. 13 Tahun 2006 tentang

25
Harris, Rehabilitasi Serta Ganti Rugi SehubunganDenganPenahananYangKeliruAtauTidak
Sah, Dalam buku Rena Yulia, op.cit, hlm.178.
26
Chaerudin & Syarif Fadillah, KorbanKejahatandalamPerspektif Viktimologi & HukumPidana
Islam, (Jakarta: Grhadhika Press, 2004), hlm.65.
27
Ibid.
28
Rena Yulis, op.cit, hlm.43.
29
Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta:Sinar
Grafika,2011,hlm. 42.
13

Perlindungan Saksi dan Korban bahwa korban tindak pidana berhak mendapatkan
bantuan hukum baik medis, rehabilitasi psiko-sosial.
Anak sebagai korban perkosaan selain dia mendapatkan hak-haknya sebagai
korban maka dia memiliki kewajiban yang harus dilaksanakannya. Kewajiban tersebut
seperti anak tidak boleh main hakim sendiri, berpartisipasi dengan masyarakat untuk
mencegah perbuatan agar korban tidak lebih banyak lagi (dapat terminimalisir),
bersedia dibina atau membina dari sendiri untuk tidak menjadi korban lagi,
30
serta
mempergunakan uang restitusi maupun kompensasi sebaik mungkin untuk
kepentingan korban bukan untuk disalahgunakan.
Oleh karena itu, pemenuhan terhadap hak-hak korban merupakan hal yang
terpenting dalam perlindungan korban. Selain hak yang harus dipenuhi korban,
namun harus ada kewajiban yang harus dilaksanakan oleh korban. Dengan begitu
pentingnya hak asasi manusia bagi korban harus senantiasa diakui, dihargai, dan
dilindungi, diantaranyamelalui produk perundang-undangan.
31

C.2 Bentuk perlindungan hukum yang ideal dalam memberikan perlindungan
terhadap anak sebagai korban perkosaan di masa depan dilakukan secara preventif
dan represif. Adapun upaya yang dilakukan dalam mencegah terjadinya tindak pidana
perkosaan (preventif) terhadap anak, berupa: (1) Pengaturan dalam perspektif
normatif yakni Peraturan Perundang-Undangan, ada beberapa hal yang harus
diperhatikan seperti (a) sanksi pidana, dalam pemberian sanksi pidana terhadap
pelaku sebaiknya diberikan hukuman seberat-beratnya. Pemberian sanksi berat
tersebut harus diperhatikan pada motif pelaku, tujuan pelaku melakukan tindak
pidana, cara pelaku melakukan tindak pidana dan motif korban. Artinya, kalau
perkosaan tersebut dilakukan atas kesalahan murni dari pelaku dengan adanya
ancaman kekerasan ,maupun kekerasan terhadap korban maka penjatuhan sanksi
tersebut dapat diperberat. Dan tipologi korban dalam hal ini adalah korban murni
yang artinya mereka menjadi korban yang sama sekali tidak bersalah, melainkan
karena perbuatan pelaku yang mengancam ataupun melakukan kekerasan untuk
melakukan persetubuhan dan itu dilakukan di luar perkawinan.
32


30
Bambang Waluyo, op.cit, hlm. 44.
31
Ibid, hlm158.
32
Arif Gosita, MasalahKorbanKejahatan, (Jakarta:Akademia Pressindo,1993), hlm.12.
14

Pasal 81 (1) UU No.23 Tahun 2002 mengatur ketentuan pidana bagi pelaku
yang melakukan persetubuhan di luar perkawinan dengan pidana minimum 3 tahun
dan maksimum 15 tahun. Dalam penjelasan ketentuan pasal tersebut terbagi 2 (dua)
unsur pidana perkosaan yakni dilakukan dengan ancaman kekerasan atau kekerasan
(Pasal 81 (1)) dan dilakukan dengan bujuk rayu, tipu muslihat atau serangkaian
kebohongan (Pasaal 81 (2)). Namun kalau perkosaan dilakukan karena kesalahan dari
pelaku maupun korban yang dilakukan atas dasar suka sama suka, bahkan kesalahan
dari korban yang mana korban yang sebenarnya menjadi pelaku dengan berlagak
diperkosa dengan tujuan hanya mendapatkan sesuatu dari pihak pelaku maka pelaku
tidak dapat diberi pemberatan hukuman.
Secara normatif dapat dilihat pada ketentuan pasal 51 Rancangan UU
KUHP yang mengatur mengenai kewajiban hakim dalam pemidanaan yang harus
mempertimbangkan (a) kesalahan pembuat tindak pidana; (b) motif dan tujuan
melakukan tindak pidana; (c) cara melakukan tindak pidana; (d) sikap batin pembuat
tindak pidana; (e) riwayat hidup dan keadan sosial ekonomi pembuat tindak pidana;
(f) sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana; (g) pengaruh
pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana; (h) pandangan masyarakat
terhadap tindak pidana yang dilakukan; (i) pengaruh tindak pidana terhadap korban
atau keluarga korban; (j) apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana.
Adapun tujuan pemidanaan tersebut adalah:
33
(a) mencegah dilakukannya
tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat,
dengan terjadinya tindak pidana berarti norma hukum yang berlaku dalam masyarakat
telah dilanggar sehingga perlu ditegakkan kembali dengan memberi atau menjatuhkan
sanksi kepada si pelanggar. (b) memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan
pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; Hal ini berarti penjatuhan
sanksi atau hukuman pada pelaku tindak pidana disamping bertujuan membuatnya
jera juga bermaksud membina agar pelaku menjadi anggota masyarakat yang baik dan
berguna. (c) menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; Hal ini berarti,
dengan penjatuhan sanksi atau hukuman pada pelaku tindak pidana, diharapkan
konflik yang terjadi akibat tindak pidana dapat hilang dan masyarakat kembali damai.
(d) membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Dengan penjatuhan sanksi atau

33
Pasal 50 RUU KUHP
15

hukuman pada pelaku tindak pidana diharapkan dapat membebaskan pelaku dari rasa
bersalah atas tindak pidana yang telah dia lakukan.
Kemudian (b) Adanya pidana tambahan berupa ganti kerugian
(restitusi/ kompensasi), Menuntut ganti rugi akibat suatu tindak pidana/ kejahatan
yang menimpa diri korban melalui cara penggabungan perkara perdata dengan
perkara pidana (Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP). Hak ini diberikan guna
memudahkan korban untuk menuntut ganti rugi pada tersangka/ terdakwa.
Permintaan penggabungan perkara gugatan ganti rugi hanya dapat diajukan selambat-
lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana, atau jika penuntut
umum tidak hadir permintaan tersebut diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim
menjatuhkan putusan. Penggabungan gugatan ganti rugi dapat diajukan apabila pihak
yang dirugikan mengajukan penggabungan ganti rugi terhadap terdakwa dalam kasus
yang didakwakan kepadanya.
Berkaitan dengan hak korban untuk mengajukan tuntutan ganti rugi melalui
cara penggabungan perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 98-101 KUHAP, pihak-
pihak yang berkepentingan perlu memperhatikan beberapa hal yaitu : (a) Kerugian
yang terjadi haus ditimbulkan oleh tindak pidana itu sendiri. (b) Kerugian yang
ditimbulkan oleh tindak pidana atau orang lain yang menderita kerugian (korban)
sebagai akibat langsung dari tindak pidana tersebut. (c) Gugatan ganti kerugian yang
diakibatkan tindak pidana tersebut ditujukan kepada pelaku tindak pidana
(terdakwa). (d) Tuntutan ganti rugi yang diajukan kepada terdakwa tersebut
digabungkan atau diperiksa dan diputus sekaligus bersamaan pada pemeriksaan dan
putusan perkara pidana yang didakwakan kepada terdakwa dan dalam bentuk satu
putusan.
Kemudian upaya preventif perlu juga dibentuknya lembaga yang berskala
nasional untuk menampung anak yang menjadi korban tindak kekerasan seperti
perkosaan. Lembaga penyantun korban semacam ini sudah sangat mendesak,
mengingat viktimisasi yang terjadi di Indonesia pada beberapa tahun terakhir ini
sangat memprihatinkan. Koordinasi dengan pihak kepolisian harus dilakukan, agar
kepolisian segera meminta bantuan lembaga ini ketika mendapat laporan terjadinya
tindak kekerasan terhadap perempuan. Lembaga ini perlu didukung setidaknya oleh
pekerja sosial, psikolog, ahli hukum dan dokter. Dalam kondisi daerah yang tidak
memungkinkan, harus diupayakan untuk menempatkan orang-orang dengan
16

kualifikasi yang paling mendekati para profesional di atas, dengan maksud agar
lembaga ini dapat mencapai tujuan yang diinginkan dengan baik. Pendanaan untuk
lembaga ini harus dimulai dari pemerintah sendiri, baik pusat maupun daerah, dan
tentunya dapat melibatkan masyarakat setempat baik secara individu maupun
kelompok.
34

Secara Represif diperlukan perlindungan hukum berupa: (a) pemberian
restitusi dan kompensasi bertujuan mengembalikan kerugian yang dialami oleh
korban baik fisik maupun psikis, serta penggantian atas biaya yang dikeluarkan
sebagai akibat viktimisasi tersebut. Mengenai hak ini diatur dalam Pasal 98 ayat (1)
KUHAP, yaitu:
jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu
pemeriksaan perkara pidana oleh Pengadilan Negeri menimbulkan kerugian
bagi orang lain, maka Hakim Ketua Sidang atas permintaan orang itu dapat
menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada
perkara pidana itu.

Ketentuan yang ada dalam Pasal 98 KUHAP tersebut, tentang kemungkinan
korban mendapat ganti kerugian sangatlah kurang, terutama karena ganti kerugian
yang diperkenankan adalah yang berkenaan dengan penggantian biaya yang telah
dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan (korban), (b) Konseling diberikan kepada anak
sebagai korban perkosaan yang mengalami trauma berupa rehabilitasi yang bertujuan
untuk mengembalikan kondisi psikis korban semula. Sebagaimana yang dijelaskan
dalam Pasal 64 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa
salah satu bentuk perlindungan khusus bagi anak menjadi korban adalah upaya
rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga. (c) Pelayanan / bantuan
medis, diberikan kepada korban yang menderita secara medis akibat suatu tindak
pidana seperti perkosaan, yang mengakibatkan penderitaan fisik. Sebagaimana di atur
dalam Pasal 90 ayat (1) UU No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak, menjelaskan bahwa Anak korban dan Anak saksi berhak atasupaya rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial, baik di dalamlembaga maupun di luar lembaga. Yang dimaksud
dengan rehabilitasi medis tersebut adalah proses kegiatan pengobatan secara terpadu
dengan memulihkan kondisi fisik anak, anak korban dan atau anak saksi. Kemudian
yang dimaksud dengan rehabilitasi sosial adalah proses kegiatan pemulihan secara

34
Harkristuti Harkrisnowo, Hukum Pidana dan Perspektif Kekerasan Terhadap Perempuan
Indonesia, psi.ut.oc.id/ Jurnal/ 102harkristuti htm. 15 Juni 2013 (tgl Akses).
17

terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar anak korban, dan atau anak saksi
dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan di masyarakat.
35
Oleh
karena itu, perlu dibentuknya lembaga sosial untuk menampung kaum perempuan
maupun anak yang menjadi korban tindak kekerasan maupun kekerasan seksual.
Lembaga penyantun korban semacam ini sudah sangat mendesak, mengingat
viktimisasi yang terjadi di Indonesia pada beberapa tahun terakhir ini sangat
memprihatinkan.
Sebagaimana di dalam ketentuan Pasal 18 UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menyatakan bahwa, setiap anak yang menjadi korban atau
pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.
Penjelasan pasal 18 tersebut, mendapatkan bantuan lainnya dalam ketentuan ini
termasuk bantuan medik, sosial, rehabilitasi, vokasional dan pendidikan.
36

Selanjutnya (d) Pemberian informasi, Hak korban untuk mendapat
informasi mengenai perkembangan kasus dan juga keputusan hakim. Hak korban
untuk mendapat informasi mengenai perkembangan kasus dan juga keputusan hakim,
termasuk pula hak untuk diberitahu apabila si pelaku telah dikeluarkan atau
dibebaskan dari penjara (kalau ia dihukum). Apabila tidak dihukum, misalnya karena
bukti yang kurang kuat, seyogyanya korban diberi akses untuk mendapatkan
perlindungan agar tidak terjadi pembalasan dendam oleh pelaku dalam segala
bentuknya.
Yang terakhir (e) perlindungan yang diberikan oleh keluarga maupun
masyarakat. Keluarga merupakan orang-orang terdekat korban (anak) yang
mempunyai andil besar dalam membantu memberikan perlindungan kepada korban.
Hal ini dengan dapat ditunjukkan dengan selalu menghibur korban (anak), tidak
mengungkit-ungkit dengan menanyakan peristiwa perkosaan yang telah dialaminya,
memberi dorongan dan motivasi bahwa korban tidak boleh terlalu larut dengan
masalah yang dihadapinya, memberi keyakinan bahwa perkosaan yang dialaminya
tidak boleh merusak masa depannya, melindungi dia dari cibiran masyarakat yang
menilai buruk dirinya, dan lain-lain. Sedangkan berkaitan dengan peran masyarakat
oleh media massa harus dilakukan dengan bijaksana demi perlindungan anak karena

35
Penjelasan pasal 91 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak
36
Penjelasan pasal 18 UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
18

dalam Pasal 64 UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ditegaskan
perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk
menghindari labelisasi. Artinya dalam hal ini seharusnya masyarakat ikut membantu
memulihkan kondisi kejiwaan korban. Masyarakat diharapkan ikut mengayomi dan
melindungi korban dengan tidak mengucilkan korban, tidak memberi penilaian buruk
kepada korban. Perlakuan semacam ini juga dirasa sebagai salah satu perwujudan
perlindungan kepada korban, karena dengan sikap masyarakat yang baik, korban
tidak merasa minder dan takut dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.
Sekalipun hak-hak korban kejahatan telah tersedia secara memadai, bukan
berarti kewajiban dari korban kejahatan diabaikan eksistensinya karena melalui peran
korban dan keluarganya diharapkan penanggulangan kejahatan dapat dicapai secara
signifikan. Untuk itu, ada beberapa kewajiban umum dari korban kejahatan, antara
lain:
37
(a) Kewajiban untuk tidak melakukan upaya main hakim sendiri/ balas dendam
terhadap pelaku (tindakan pembalasan); (b) Kewajiban untuk mengupayakan
pencegahan dari kemungkinan terulangnya tindak pidana; (c) Kewajiban untuk
memberikan informasi yang memadai mengenai terjadinya kejahatan kepada pihak
yang berwenang; (d) Kewajiban untuk tidak mengajukan tuntutan yang terlalu
berlebihan kepada pelaku; (e) Kewajiban untuk menjadi saksi atas suatu kejahatan
yang menimpa dirinya, sepanjang tidak membahayakan bagi korban dan keluarganya;
(f) Kewajiban untuk membantu berbagai pihak yang berkepentingan dalam upaya
penanggulangan kejahatan; (g) Kewajiban untuk bersedia dibina atau membina diri
sendiri untuk tidak menjadi korban lagi.
Perlu diperjuangkan perlindungan anak sebagai korban perkosaan, baik
dalam pertimbangan penjatuhan pidana, ganti rugi, bahkan perlu suatu perlindungan
khusus, misalnya perpindahan sekolah, tempat tinggal untuk proses penyembuhan
kehidupannya. Meskipun tampaknya untuk situasi Indonesia memang masih agak
berat untuk merealisirnya, tetapi hal itu menjadi kewajiban pemerintah dalam
melindungi warganya khususnya korban perkosaan. Oleh karena itu, apabila
perlindungan hukum secara represif dapat terwujud maka pemerataan keadilan,
kesejahteraan umum, dan hak-hak korban tindak pidana perkosaanpun dapat

37
Dikdik M. Arief Mansur-Elisatris Gultom, Urgensi PerlindunganKorbanKejahatan, Jakarta:
Raja Grafindo Persada,2007, hlm. 54.

19

terlindungi, karena pada dasarnya merupakan bagian integral dari hak asasi di bidang
jaminan sosial. Sehingga masyarakat, bangsa, dan negara dianggap telah melaksanakan
kewajibannya untuk melindungi warga negaranya dengan baik. Hal ini merupakan
salah satu tujuan negara yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Tahun 1945, yaitu Pemerintahan Negara Indonesia yangmelindungi segenapbangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darahIndonesia.

D. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Implementasi perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban perkosaan
di PN Malang dan PN Kepanjen yaitu dalam persidangan, korban telah
didampingi oleh keluarga korban atau psikiater tergantung keadaan mental
korban, hakim dalam memberikan pertanyaan tidak bersifat memojokan
korban, korban tidak ditawarkan untuk mengajukan gugatan ganti kerugian
berupa penderitaan yang diderita korban baik fisik dan mental, dan sidang
tertutup untuk umum. Setelah sidang, setelah putusan yang bersifat incracht
korban dikembalikan kepada orangtua tanpa di rehabilitasi. Di Malang
apabila korban mengalami luka fisik, korban tidak mendapatkan pelayanan
medis secara gratis, sedangkan di Kepanjen korban diberikan pelayan medis
secara gratis. Hal ini dikarenakan di Kepanjen sudah memiliki lembaga
sosial Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak
(P2TP2A). Sedangkan di Malang belum memiliki lembaga sosial tersebut.
Lembaga P2TP2A merupakan pelayanan terpadu dan lembaga mediasi yang
siap menampung segala pengaduan dan memberi pendampingan lengkap
dengan psikiater dan pelayanan medisnya. Namun kendalanya karena
organisasi tersebut belum memiliki tempat atau wadah rehabilitasi untuk
korban kekerasan.
20

2. Bentuk perlindungan hukum yang ideal terhadap anak sebagai korban
perkosaan, dilakukan secara preventif dan represif. Secara preventif
dilakukan dengan pemberian sanksi pidana terhadap pelaku sebaiknya
diberikan hukuman seberat-beratnya. Pemberian sanksi berat tersebut harus
diperhatikan pada motif pelaku, tujuan pelaku melakukan tindak pidana,
cara pelaku melakukan tindak pidana dan motif korban. Pasal 81 (1) UU
No.23 Tahun 2002 mengatur ketentuan pidana bagi pelaku yang melakukan
persetubuhan di luar perkawinan dengan pidana minimum 3 tahun dan
maksimum 15 tahun. Adanya pidana tambahan berupa ganti kerugian,
Menuntut ganti rugi akibat suatu tindak pidana/ kejahatan yang menimpa
diri korban melalui cara penggabungan perkara perdata dengan perkara
pidana (Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP). Hak ini diberikan guna
memudahkan korban untuk menuntut ganti rugi pada tersangka/ terdakwa.
Kemudian dibentuknya lembaga yang berskala nasional untuk menampung
anak yang menjadi korban tindak kekerasan seperti perkosaan yang didirikan
pada masing-masing daerah. Sedangkan secara Represif diperlukan
perlindungan hukum berupa pemberian restitusi dan kompensasi bertujuan
mengembalikan kerugian yang dialami oleh korban baik fisik maupun psikis,
sebagaimana diatur dalam pasal 98-101 KUHAP. Konseling diberikan
kepada anak sebagai korban perkosaan yang mengalami trauma berupa
rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 64 (3) UU Perlindungan Anak,
dan Pasal 90 UU SPPA.
21

DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Hasil Penelitian
Abu Huraerah, Kekerasan TerhadapAnak, Bandung:Nuansa Cendekia, 2012.


Achie Sudiarti Luhulima (Penyunting), Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan
TerhadapPerempuan dan Alternatif Pemecahannya, Jakarta: PT. Alumni, 2000.


Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar MetodePenelitian Hukum, Jakarta:PT.Raja
Grafindo,2008.


Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta:Akademia Pressindo,1993.


Bur Rasuanto, KeadilanSosial, Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005.


Bambang Waluyo, Viktimologi PerlindunganSaksi danKorban, Jakarta: Sinar Grafika,
2011.


Chaerudin & Syarif Fadillah, Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi &
Hukum Pidana Islam, Jakarta: Grhadhika Press, 2004


Didik M.Arief Mansur & Elisatris Gultom,Urgensi PerlindunganKorban Kejahatan,
Jakarta: Raja Grafindo Persada,2007.


Made Sadhi Astuti, Pemidanaan TerhadapAnak Sebagai Pelaku Tindak Pidana,
Malang:IKIP, 1997.


Rena Yulia, Viktimologi PerlindunganHukumTerhadapKorban Kejahatan, Bandung:
Graha Ilmu, 2010.


Yudi Latif, Negara Paripurna Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011


Internet
Albert Y. Dien, Keadilan Sosial, Kuasa, Moral, dan Kemiskinan di Indonesia,
http:/ / www.google.com, 15 Juni 2013 (tgl Akses).
22


Harkristuti Harkrisnowo, HukumPidana dan Perspektif Kekerasan TerhadapPerempuan
Indonesia, psi.ut.oc.id/ Jurnal/ 102harkristuti htm. 15 Juni 2013.

Wikipedia KHA, http:/ / www.wikipedia.org, diakses tgl 26 Maret 2013.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM)
UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Konvensi Hak Anak.
Peraturan Minimum Standar Amerika Serikat Untuk Administrasi Keadilan Anak-
Anak (Peraturan BeijingRule).
.

Anda mungkin juga menyukai