Anda di halaman 1dari 39

1

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Tuberkulosis paru (TB paru) hampir dikenal di seluruh dunia, sebagai
penyakit kronis yang dapat menurunkan daya tahan tubuh penderitanya secara
serius. Hal ini disebabkan oleh karena adanya kerusakan jaringan paru yang
bersifat permanen. Di samping proses destruksi, terjadi pula secara simultan
proses restorasi atau penyembuhan jaringan paru sehingga terjadi perubahan
struktural yang bersifat menetap serta bervariasi yang menyebabkan berbagai
macam kelainan fungsi paru. Diperkirakan sepertiga populasi dunia terinfeksi
Mycobacterium tuberculosis, bakteri penyebab tuberkulosis (TB). Dan dari
populasi yang terinfeksi tersebut, setiap tahun lebih dari 8 juta orang menjadi
sakit, serta 2 juta orang meninggal karena TB. Indonesia berada pada tingkat
ketiga terbesar di dunia dalam jumlah penderita TB, setelah India dan China. Di
dunia diperkirakan penyakit ini dapat menyebabkan kematian kurang lebih 8.000
orang per hari atau 2 sampai 3 juta orang setiap tahunnya. Di Indonesia sendiri
terdaftar hampir 400 kematian yang berhubungan dengan TB setiap harinya, atau
sebesar 140.000 per tahun, dan kurang lebih juta penduduk diduga terinfeksi
TB setiap tahun (Werdhani, 2008).
Angka kejadian TB paru di wilayah kerja Puskesmas Sukowono pada
bulan April dan Mei 2013 ialah sebanyak 10 orang. Pasien tersebut harus
mendapatkan penatalaksanaan yang tepat dari pelayanan kesehatan di wilayah
tersebut, dalam hal ini Puskesmas Sukowono. Penyakit TB paru merupakan
penyakit infeksi yang penyebarannya sangat mudah sekali, yaitu melalui percikan
air liur (droplet) yang keluar saat batuk, bersin, maupun berbicara. Untuk
mengurangi bertambahnya jumlah penderita TB paru dan masalah yang
ditimbulkan, penanganan awal yang dapat dilakukan dimulai dari lingkungan
keluarga, di mana keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari
kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat
di bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Keluarga dalam hal ini

2

sangat berperan sebagai pengawas minum obat maupun pengingat untuk selalu
hidup sehat, sehingga pengobatan TB paru dapat berhasil dan penularan dapat
diminimalkan (Depkes RI, 2007 dan Werdhani, 2008).

1.2. Dasar Teori
1.2.1 Definisi Penyakit Tuberkulosis
Penyakit Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan
oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini dapat juga menyebar ke
bagian tubuh lain seperti meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe (Depkes RI,
2007).

1.2.2. Penyebab Tuberkulosis
Mycobacterium tuberculosis merupakan jenis kuman berbentuk batang
berukuran panjang 1-4 mm dengan tebal 0,3-0,6 mm. Sebagian besar komponen
kuman ini adalah berupa lemak/lipid sehingga kuman mampu tahan terhadap
asam serta sangat tahan terhadap zat kimia dan faktor fisik. Mikroorganisme ini
bersifat aerob yakni menyukai daerah yang banyak oksigen. Oleh karena itu,
Mycobacterium tuberculosis senang tinggal di daerah apeks paru-paru yang
kandungan oksigennya tinggi. Daerah tersebut menjadi tempat yang kondusif
untuk penyakit tuberculosis (Depkes RI, 2007).

1.2.3. Cara Penularan
Sumber penularan adalah pasien Tuberkulosis Basil Tahan Asam (TB
BTA) positif. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan
sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan di mana
percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi
jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman.
Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan
lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang

3

dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan
dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang
terpajan kuman tuberkulosis ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara
dan lamanya menghirup udara tersebut. Selain itu dapat masuk melalui saluran
cerna, luka di kulit, dan intrauterine (Wardhani, 2008)
.
1.2.4. Risiko Penularan
Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.
Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan resiko penularan
lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif. Risiko penularan setiap
tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu
proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar
1%, berarti 10 orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. Infeksi TB
dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif (Depkes
RI, 2007).

1.2.5. Tanda dan Gejala
Gejala dari penderita TB terdiri dari gejala umum dan gejala khusus.
Gejala sistemik/umum:
Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah)
Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasaka
malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam
seperti influenza dan bersifat hilang timbul
Penurunan nafsu makan dan berat badan
Perasaan tidak enak (malaise), lemah
Gejala khusus:
Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan
sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan
kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara mengi,
suara nafas melemah yang disertai sesak.

4

Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai
dengan keluhan sakit dada.
Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang
pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di
atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan
disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam
tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.
(Werdhani, 2008).

1.2.6. Patofisiologi
Paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang
terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi
oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit
kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB.
Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan
kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam
makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di
tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus
Primer GOHN (Werdhani, 2008).
Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi focus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran
limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika focus
primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika focus primer terletak di apeks
paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan
gabungan antara focus primer, kelenjar limfe regional yang membesar
(limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis). Waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer

5

secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan
pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan
sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB
biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12
minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah
103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler
(Werdhani, 2008).
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan
logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi
terhadap tuberculin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat
terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi.
Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberculin. Selama
masa inkubasi, uji tuberculin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk,
imunitas seluluer tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu
dengan system imun yang berfungsi baik, begitu system imun seluler
berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB
dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman
TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan (Werdhani,
2008).
Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini. Kompleks primer dapat juga
mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh focus paru
atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan
menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan
yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau

6

paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar
karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi
parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis.
Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan
menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial
atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada
bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang
sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi. Selama masa inkubasi,
sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen dan
hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe
regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen,
kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh
(Werdhani, 2008).
Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut
sebagai penyakit sistemik. Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi
adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic
spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadic dan sedikit demi
sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan
mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah
organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru
sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut,
kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk
imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya (Werdhani, 2008).
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi
pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dormant.
Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi
untuk menjadi focus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai
Fokus SIMON. Bertahuntahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun,
focus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ
terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain. Bentuk penyebaran
hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut (acute

7

generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB
masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat
menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut
TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi
infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB
yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata
terjadi karena tidak adekuatnya system imun pejamu (host) dalam mengatasi
infeksi TB, misalnya pada balita (Werdhani, 2008).
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic
spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui
cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal
dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butur padi-padian/jewawut (millet
seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm,
yang secara histologi merupakan granuloma. Bentuk penyebaran hematogen yang
jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini
terjadi bila suatu focus perkijuan menyebar ke saluran vascular di dekatnya,
sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara
klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute
generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang. Pada anak,
5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya sering terjadi
komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu
penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik (Werdhani,
2008).
Sebanyak 0.5-3% penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier
atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer.
Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran
kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan).
Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya
infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam
lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada
anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda. Tuberkulosis ekstrapulmonal

8

dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi
pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi
dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah
infeksi primer (Werdhani, 2008).

Gambar 1. Patogenesis Tuberkulosis (Werdhani, 2008).







9

1.2.7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tuberkulosis
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian tuberkulosis di
antaranya:
a. Faktor ekonomi
Keadaan sosial yang rendah pada umumnya berkaitan erat dengan
berbagai masalah kesehatan karena ketidakmampuan dalam mengatasi masalah
kesehatan. Masalah kemiskinan akan sangat mengurangi kemampuan masyarakat
untuk memenuhi kebutuhan gizi, pemukiman, dan lingkungan sehat, jelas semua
ini akan mudah menumbuhkan penyakit tuberkulosis.
b. Status gizi
Ini merupakan faktor yang penting dalam timbulnya penyakit tuberkulosis.
Berdasarkan hasil penelitian, penderita tuberkulosis dengan gizi normal
ditemukan jumlah kasus yang lebih sedikit daripada status gizi kurang dan buruk.
c. Status pendidikan
Latar belakang pendidikan mempengaruhi penyebaran penyakit menular
khususnya tuberkulosis. Berdasarkan hasil penelitian mengatakan semakin rendah
latar belakang pendidikan, lebih cenderung terjadi kasus tuberculosis. Hal ini
merupakan faktor terpenting dari kejadian TB.
Sedangkan menurut Departemen Kesehatan, TB dapat dipengaruhi oleh:
a. Status sosial ekonomi
b. Kepadatan penduduk
c. Status gizi
d. Pendidikan
e. Pengetahuan
f. Jarak tempuh dengan pusat pelayanan kesehatan
g. Keteraturan berobat
(Adanani, 2007 dan Bachtiar, 2012)





10

1.2.8. Diagnosis
a. Diagnosis TB paru
1) Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
sewaktupagisewaktu (SPS).
2) Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya
kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui
pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan
lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai
penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
3) Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada
TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
4) Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktifitas
penyakit.
(Depkes RI, 2007).

b. Diagnosis TB ekstra paru
1) Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk
pada meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (pleuritis), pembesaran
kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang
belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lainlainnya.
2) Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat
ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan
menyingkirkan kemungkinan penyakit lain.
3) Ketepatan diagnosis tergantung pada metode pengambilan bahan
pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji
mikrobiologi, patologi, anatomi, serologi, foto toraks dan lain-lain.
(Depkes RI, 2007).

11


Gambar 2. Alur Diagnosis TB Paru (Depkes RI, 2007)

1.2.9.. Penatalaksanaan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.


12


Tabel 1. Jenis, sifat dan dosis OAT (Depkes RI, 2007)

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi) . Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis
Tetap (OAT KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap awal (intensif)
- Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
- Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
- Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.




13

Tahap Lanjutan
- Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama
- Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis di Indonesia:
- Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
- Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
- Kategori Anak: 2HRZ/4HR

Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket
berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak
sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini
terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan
dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu
pasien.
Paket Kombipak terdiri dari obat lepas yang dikemas dalam satu paket,
yaitu Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol. Paduan OAT ini
disediakan program untuk mengatasi pasien yang mengalami efek samping OAT
KDT. Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk
memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1)
masa pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin
efektifitas obat dan mengurangi efek samping.

14

2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya
resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien

Paduan OAT dan Peruntukannya
1. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru
- Pasien baru TB paru BTA positif.
- Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
- Pasien TB ekstra paru

Tabel 2. Dosis untuk Paduan OAT KDT untuk Kategori 1(Depkes RI, 2007)



Tabel 3. Dosis Paduan OAT Kombipak untuk Kategori 1 (Depkes RI, 2007)





15

2. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
- Pasien kambuh
- Pasien gagal
- Pasien dengan pengobatan setelah default (terputus)

Tabel 4. . Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 2 (Depkes RI, 2007)


Tabel 5. Dosis Paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2 (Depkes RI, 2007)




16

3. OAT Sisipan (HRZE)
Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori
1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).

Tabel 6 . Dosis KDT untuk Sisipan (Depkes RI, 2007)


Tabel 7. Dosis Paduan OAT Kombipak untuk Sisipan (Depkes RI, 2007)



1.2.10. Pemantauan dan Hasil Pengobatan Tuberkulosis
Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan
dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara
mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam
memantau kemajuan pengobatan. Untuk memantau kemajuan pengobatan
dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil
pemeriksaan dinyatakan negatif bila kedua spesimen tersebut negatif. Bila salah

17

satu spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak
tersebut dinyatakan positif (Depkes RI.2007).

Tabel 8. Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak

18


Tabel 9. Tatalaksana Pasien yang Berobat Tidak Teratur (Depkes RI, 2007)


19


(Depkes RI, 2007)

1.2.11. Efek Samping OAT dan Penatalaksanaannya

Tabel 10. Efek Samping Ringan OAT (Depkes RI, 2007)

20


Tabel 11. Efek Samping Berat OAT (Depkes RI, 2007)

1.2.12. Pencegahan
Pencegahan untuk pasien TB antara lain : minum obat secara teratur
sampai selesai, menutup mulut waktu bersin atau batuk, tidak meludah di
sembarang tempat (meludah di tempat yang terkena sinar matahari/dalam wadah
tertutup yang telah diisi dengan cairan sabun/lisol), jemur kasur bekas penderita
secara teratur setiap minggu, buka jendela lebar-lebar agar udara segar dan sinar
matahari dapat masuk, keluarga yang mempunyai gejala TB paru sebaiknya
memeriksakan diri ke puskesmas (Depkes RI, 2007).






21

1.3. Prinsip Intervensi Keluarga dengan Tuberkulosis
Langkah-langkah dalam pengembangan rencana kedokteran keluarga,
yaitu:
1. Bantu keluarga mengenal tentang TB dengan cara : jelaskan pengertian TB,
jelaskan penyebab TB, jelaskan tanda dan gejala TB.
2. Bantu keluarga mengambil keputusan untuk merawat anggota keluarga dengan
TB, dengan cara : jelaskan komplikasi dari TB, motivasi keluarga dalam
mengambil keputusan untuk merawat anggota keluarga dengan TB.
3. Bantu keluarga agar mampu merawat anggota keluarga dengan TB, dengan cara
: jelaskan cara mencegah TB, jelaskan cara perawatan anggota keluarga di
rumah dengan TB, ajarkan cara membuang sputum dengan sputum pot, ajarkan
klien tentang diet tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP).
4. Bantu keluarga memodifikasi lingkungan dengan cara : ajarkan klien untuk
jemur kasur bekas penderita secara teratur 1 minggu 1x, Buka jendela lebar-
lebar agar udara segar dan sinar matahari dapat masuk, ajarkan klien tentang
perilaku hidup bersih dan sehat.
5. Bantu klien untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan dengan cara : jelaskan
manfaat dari pelayanan kesehatan, motivasi keluarga untuk memanfaatkan
pelayanan kesehatan terdekat.
(Werdhani, 2008)












22

BAB 2. ANALISIS KASUS

BERKAS PASIEN
2.1. Identitas Pasien
Nama : Tn. M. A.
Umur : 47 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Suku Bangsa : Madura
Status Pernikahan : Menikah
Pekerjaan : Pedagang
Pendidikan : SD
Alamat : Jalan Untung Suropati No.13 RT 02 RW 02, Sukowono
No. RM : -- -- --

2.2. Anamnesis
Dilakukan secara autoanamnesa pada tanggal 23 Mei 2013 pukul 12.30 WIB
1. Keluhan Utama : Batuk lama
2. Keluhan Tambahan : Pasien merasa lemas
3. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien laki-laki berusia 47 tahun datang ke Puskesmas Sukowono untuk
kontrol TB Paru yang sudah diderita kira-kira dua bulan yang lalu. Saat ini pasien
mengeluh terasa lemas. Pasien mengatakan, awalnya berobat ke Puskesmas
dikarenakan batuk berdahak selama satu bulan. Dahak berwarna kuning dan
kental disertai darah. Bersamaan dengan batuk, pasien sering merasakan badannya
demam dan selalu berkeringat dingin pada malam hari. Hal ini menyebabkan
pasien sulit untuk tidur. Sejak pasien mengalami keluhan tersebut, nafsu makan
pasien pun berkurang sehingga pasien mengalami penurunan berat badan yaitu
dari 65 kg menjadi 52 kg selama satu bulan. Pasien sering merasa dadanya sakit
apabila pasien sedang batuk. Di keluarga tidak ada yang memili sakit yang sama
dengan pasien. Sebelum berobat ke Puskesmas Sukowono, pasien sebelumnya

23

sudah berobat ke bidan dan setelah meminum obat yang diberikan oleh bidan
pasien merasa tidak ada perbaikan. Karena merasa tidak ada perbaikan, pasien
berobat ke Puskesmas Sukowono.
Setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik di Puskesmas
Sukowono, pasien dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan dahak dan foto
Rontgen di RSD dr. Soebandi Jember untuk mendapatkan diagnosis pasti. Setelah
pemeriksaan dahak sewaktu, pagi, dan sewaktu, reaksi dari pemeriksaan dahak
tersebut hasilnya (+,-,+), dan foto rontgen thorax dinyatakan (+) oleh dokter di
RSD dr. Soebandi. Dokter menjelaskan dan menganjurkan pasien untuk mendapat
pengobatan selama 6 bulan dan harus kontrol setiap bulan untuk melihat
perkembangan pengobatannya. Oleh karena itu, pasien seminggu sekali selalu
kontrol dan untuk mengambil obat di Puskesmas Sukowono.

4. Riwayat Imunisasi
Pasien tidak mengetahui mengenai status imunisasinya baik Hepatitis B, BCG,
Polio, DPT, maupun Campak . Pasien lahir di dukun.

5. Riwayat Penyakit Dahulu
- Pasien mengaku belum pernah mengalami penyakit seperti ini sebelumnya
- Riwayat DM sejak 13 tahun yang lalu
- Riwayat Hipertensi disangkal
- Riwayat Asma Bronkial disangkal

6. Riwayat Pengobatan
Pasien minum OAT tahap awal 3 tablet/hari sejak 10 April 2013 dan obat DM
Glibenklamid sejak 13 tahun

7. Riwayat Penyakit Keluarga :
- Tidak ada keluarga yang mempunyai keluhan seperti pasien
- Tidak ada kelurga yang mempunyai Asma Bronkial dan atau DM


24

8. Riwayat Sosial Ekonomi :
Pasien berada di tingkatan sosial ekonomi menengah. Pasien memilik toko
didepan yang terpisah dengan rumahnya dengan penghasilan yang tidak pasti
setiap harinya. Sehingga pasien merasa biaya hidup cukup untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Pasien tinggal bersama istri dan seorang anak
perempuannya.

9 Riwayat Kebiasaan :
Pasien memiliki kebiasaan buruk yaitu merokok di dalam rumah. Pasien
mengaku merokok satu bungkus untuk satu sampai dua hari. Berat badan pasien
saat ini 52 kg dengan berat badan sebelumnya 65 kg. Namun sejak terdiagnosis
TB Paru, paien berhenti merokok.

2.3. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : Baik
2. Vital sign
Kesadaran : Kompos Mentis
GCS : 15
Tek. Darah : 110/70 mmHg
Frek. Nadi : 80 x/menit
Frek Pernapasan : 20 x/menit
Suhu
BB : 52 kg
Tinggi Badan : 172 cm
3. Status Generalis :
- Kepala : Normocephal
- Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-), pupil bulat, isokor
- THT : Dalam Batas Normal
- Leher : Pembesaran KGB dan tiroid (-), trakea berada di tengah
- Paru-paru

25

Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri
Palpasi : fremitus raba simetris kanan dan kiri
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : vesikuler kanan dan kiri, rhonki halus (+/-), wheezing (-/-)
- Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V linea midklavikula sinistra
Perkusi : batas jantung kanan ICS IV linea sternalis dextra
batas jantung kiri ICS V linea midklavikula sinistra
batas pinggang jantung ICS III linea parasternalis sinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen
Inspeksi : simetris, datar, kelainan kulit (-), pelebaran vena (-)
Auskultasi : bising usus normal
Perkusi : timpani di semua lapang abdomen, nyeri ketuk (-)
Palpasi : nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), hepatomegali (-), spleenomegali (-)
- 4 Ekstremitas : akral hangat, edema (-)
4. Status Lokalis : -

2.4. Diagnosis: TB Paru BTA +
2.5. Pemeriksaan Penunjang :
Pada tanggal 8 April 2013 pasien melakukan pemeriksaan dahak sewaktu - pagi-
sewaktu dengan masing- masing hasilnya +,-,+ serta foto Thorax hasil + TB Paru.


26

BERKAS KELUARGA

2.6 Profil Keluarga
2.6.1 Karakteristik Keluarga
Tabel 1

Anggota
keluarga
yang
tinggal
serumah
No


Nama


Kedudukan
dalam
keluarga


Gender


Umur


Pendidikan


Pekerjaan
1. Tn. M.A Kepala Kel. L 47 th SD Pedagang
2. Ny. N Istri P 42 th SD Pedagang
3. Nn. H.S Anak P 20 th SD Mahasiswa

Gambar 3. Genogram

27



2.7. Bentuk dan Siklus Keluarga
Bentuk keluarga ini ialah keluarga inti, yaitu keluarga yang terdiri dari
ayah, ibu, dan anak. Keluarga ini berada dalam 2 siklus keluarga, yaitu tahap
keluarga dengan anak usia sekolah (family with children in school) dan tahap
orang tua usia menengah. Dengan adanya tahapan anak usia sekolah dalam
keluarga tersebut, memungkinan terjadinya penularan TB ke anak.

2.8. Identifikasi Fungsi-Fungsi Keluarga
Fungsi Biologis dan Reproduksi
Dari hasil anamnesis didapatkan informasi bahwa saat ini semua anggota
keluarga kecuali pasien dalam keadaan sehat. Istri dan anaknya dalam keadaan
sehat, tidak memiliki riwayat DM, tidak memiliki riwayat asma dan penyakit
jantung. Penderita dan istri mempunyai 1 orang anak perempuan. Istri penderita
tidak pernah keguguran dan anak lahir cukup bulan dalam keadaan sehat.
Perencanaan kelahiran anak didiskusikan oleh penderita dan istrinya. Istri
penderita menggunakan IUD sejak tahun 1994.

Fungsi Psikologis
Saat ini penderita tinggal dengan istri dan anaknya. Hubungan dengan
keluarga baik. Waktu luang digunakan untuk mengobrol dengan keluarga dan

28

menonton TV. Masalah yang berhubungan dengan keluarga diselesaikan dengan
musyawarah. Jika ada masalah pribadi dibicarakan dengan istri.

Fungsi Pendidikan
Pendidikan terakhir penderita tamat SD, istri penderita tamat SD. Anak
saat ini sedang kuliah di Akbid Swasta di Jember. Tidak terdapat perencanaan dan
dana khusus untuk pendidikan anak.

Fungsi Sosial
Penderita tinggal di kawasan perkampungan yang padat penduduk.
Hubungan dengan tetangga terjalin baik dan pergaulan umumnya berasal dari
kalangan menengah ke bawah.

Fungsi Ekonomi dan Pemenuhan Kebutuhan
Sumber penghasilan dalam keluarga, yang bekerja sebagai pedagang di
Sukowono dengan rata-rata penghasilan perbulannya Rp 3.000.000,00. Dengan
penghasilan tersebut, pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder dapat terpenuhi.
Aktivitas perekonomian dalam hal pembayaran lisrik, telepon, dan belanja harian
dilakukan oleh istri.

Fungsi Religius
Seluruh anggota keluarga melakukan ibadah di rumah, ada ruangan khusus
untuk ibadah di rumah. Penderita suka ikut pengajian, tapi sejak penderita sakit,
sudah tidak datang lagi.

Pola Konsumsi Makan Penderita dan Keluarga
Frekuensi makan penderita dan keluarga teratur, setiap hari 3 kali.
Makanan diolah sendiri oleh istri dengan makanan yang bervariasi setiap hari.
Variasi makanan yang dikonsumsi keluarga antara lain: nasi, lauk (tahu, tempe,
ayam, daging, telur), sayur (sup, lodeh, bayam, sayur kangkung, sayur asem, dll),
serta buah. Penderita rutin mengkonsumsi susu 2 kali sehari.

29

2.9. Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan
Faktor Perilaku Keluarga
Penderita jarang berolahraga, menjadi perokok dengan jumlah 1 bungkus
per harinya. Penderita dan keluarga yang tinggal serumah dan jarang membuka
jendela dan pintu rumah, selain itu tidak ada jendela kamar penderita. Jika ada
anggota keluarga yang sakit, penderita dan keluarga langsung berobat ke dokter
praktik maupun puskesmas. Pendanaan kesehatan melalui dana pribadi. Penderita
dan keluarga tidak pernah ikut serta pada program kesehatan (posyandu dan
perkumpulan kesehatan lainnya) di lingkungan rumah. Saat waktu luang sebelum
sakit, penderita suka menjaga toko, tetapi setelah sakit, tidak dilakukan lagi.

Faktor Non-Perilaku
Sarana kesehatan di sekitar rumah cukup dekat. Puskesmas maupun
tempat praktik dapat ditempuh dengan angkutan desa, tetapi juga dapat
menggunakan sepeda motor. Pembiayaan pengobatan penderita maupun keluarga
dengan menggunakan dana pribadi.

2.10. Identifikasi Lingkungan Rumah
2.10.1. Gambaran Lingkungan
Rumah penderita terletak di pemukiman penduduk yang padat, dengan
ukuran 9x6 m2. Secara umum rumah terdiri atas 1 ruang tamu (ukuran 3x3 m2), 2
ruang tidur (ukuran 3x3 m2), dan 1 ruang keluarga (ukuran 3x3,5 m2). Atap
rumah dari genteng, dinding dari tembok, lantai dari keramik. Perbandingan luas
lantai dan jendela di ruang tamu >25%, di ruang keluarga dan ruang tidur <25%.
Lubang ventilasi di ruang tamu berukuran 2x1m2, di ruang keluarga 1x1 m2
dengan letak di satu sisi, sedangkan di ruang tidur penderita dan ruang tidur
anaknya tidak terdapat lubang ventilasi. Penerangan di dalam rumah tidak terlalu
terang. Ruangan terasa lembab karena kesan ventilasi di dalam rumah kurang,
kebersihan di dalam rumah sudah terjaga, tata letak barang-barang di dalam
rumah cukup rapi.

30

Sumber air minum, cuci, dan masak dari sumur pompa listrik. Jumlah
kamar mandi ada 1, dengan ukuran 2x2 m2, dengan bentuk jamban leher angsa.
Jarak septik tank dengan sumber air minum + 3 meter. Limbah rumah tangga
dialirkan ke saluran limbah (got) dan mengalir ke sungai tepat di belakang rumah,
serta tempat sampah di luar rumah tidak tertutup.

2.10.2. Denah Rumah

Gambar 4. Denah Rumah







31

2.10.3. Peta Rumah dari Layanan Kesehatan






Gambar 5. Peta Rumah dari Pelayanan Kesehatan








MTS
Rumah Tn. M.A
Puskesmas
Sukowono



Jln
Untung
Suropati

Jln. A.Yani

32

2.11. Diagram Realita yang Ada pada Keluarga


Gambar 6 . Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan dalam Keluarga











33

2.12. Rencana Penatalaksanaan


Pyridoxin
100 mg/hari


34




2.13 Prognosis
1. Ad vitam : ad bonam
2. Ad sanationam : dubia ad bonam
3. Ad fungsionam : dubia ad bonam







35

BAB 3. KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan Tn.M.A terdiri dari
empat hal yaitu faktor genetik, perilaku, lingkungan, dan pelayanan
kesehatan. Adapun faktor yang paling berpengaruh adalah perilaku yaitu
Tn.M.A dan keluarganya jarang membuka pintu dan jendela.
2. Keluarga memiliki peranan dalam proses kesembuhan pasien TB paru,
terutama dalam hal pengawasan minum obat dan memberikan dukungan
moral kepada pasien.
3.2. Saran
1. Kepada keluarga untuk selalu melakukan pengawasan minum obat dan
memberikan dukungan moral kepada penderita.
2. Untuk pembinaan selanjutnya agar dilakukan pemantauan dan pembinaan
yang berkesinambungan terhadap masalah-masalah kesehatan pasien.
3. Kepada tenaga kesehatan untuk juga melakukan pendekatan kedokteran
keluarga dalam menangani kasus TB paru.















36

DAFTAR PUSTAKA

Adnani dan Mahastuti. 2007. Hubungan Kondisi Rumah dengan Penyakit TB
Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Karangmojo II Kabupaten Gunung Kidul
tahun 2003~2007. Yogyakarta: Jurnal Kesehatan Surya Medika Yogyakarta.

Bachtiar, Ibrahim, dan Ruslan. 2012. Hubungan Perilaku dan Kondisi
Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian TB Paru di Kota Bima Provinsi
NTB. Makasar: Bagian Kesehatan Lingkungan FKM Unhas.

Depkes RI. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta:
Gerdunas TB.

Werdhani Retno Asti. 2008. Patofisiologi, Diagnosis, dan Klasifikasi
Tuberkulosis. Jakarta: Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan
Keluarga FKUI.




















37

LAMPIRAN FOTO



38




39

Anda mungkin juga menyukai