Anda di halaman 1dari 11

HYDROCEPHALUS

Hidrosefalus, (diucapkan / hadrsfls /), juga dikenal sebagai "air di otak," adalah kondisi
medis di mana ada akumulasi abnormal cairan cerebrospinal (CSF) dalam ventrikel, atau gigi
berlubang, dari otak. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial di dalam
tengkorak dan pembesaran progresif dari kejang, kepala, dan cacat mental. Hidrosefalus juga
dapat menyebabkan kematian. Nama ini berasal dari kata Yunani -(hudro-) "air", dan
(kephalos) "kepala".
Tanda dan gejala

Presentasi klinis hidrosefalus bervariasi dengan kronisitas. Akut dilatasi sistem ventrikel lebih
mungkin untuk mewujudkan dengan tanda-tanda nonspesifik dan gejala tekanan intrakranial
meningkat. Dengan dilatasi Sebaliknya kronis (terutama pada populasi lanjut usia) mungkin
memiliki onset lebih berbahaya penyajian, misalnya, dengan Hakim triad.

Gejala tekanan intrakranial meningkat mungkin termasuk sakit kepala, muntah, mual,
papilledema, mengantuk, atau koma. Peningkatan tekanan intrakranial dapat mengakibatkan
uncal dan / atau herniasi tonsill cerebellar, dengan menghasilkan mengancam kehidupan
kompresi batang otak. Untuk rincian tentang manifestasi lain tekanan intrakranial meningkat:
Artikel utama: tekanan intrakranial

The (triad Hakim) tiga serangkai ketidakstabilan kiprah, inkontinensia dan demensia adalah
manifestasi yang relatif khas hydrocephalus entitas yang berbeda tekanan normal (NPH). defisit
neurologis Focal juga dapat terjadi, seperti kelumpuhan saraf abducens dan vertikal pandangan
palsy (Parinaud sindrom karena kompresi lempeng quadrigeminal, dimana pusat saraf
koordinasi pergerakan mata terkonjugasi vertikal berada).


PROGERIA
Bagaimana, sih, ihwal munculnya penyakit itu? Dr. Eriyati Indrasanto, Sp.A, menjelaskan bahwa
progeria adalah kelainan genetik yang memang sangat jarang terjadi. Progeria berasal dari bahasa Yunani
yaitu geras yang berarti usia tua. Jadi si penderita mengalami penuaan dini dengan kecepatan yang
berkisar 4-7 kali lipat dari proses penuaan normal. Contoh konkretnya, bila si anak yang mengalami
progeria berumur 10 tahun, maka penampilannya akan tampak seperti orang berusia 40-70 tahun!
Artinya, semua organ tubuh si bocah, termasuk organ pernapasan, jantung, maupun sendi-sendinya sudah
mengalami kerentaan.

Menurut penjelasan ilmiahnya, lanjut Eriyati, telah terjadi mutasi gen tunggal yaitu pada gen LMNA yang
bertanggung jawab terhadap pembentukan protein lamin A dan lamin C. Protein ini bertugas
menstabilitasi selaput dalam dari inti sel (inner membrane). Diduga ketidakstabilan karena mutasi itulah
yang menyebabkan terjadinya penuaan dini pada anak-anak penderita progeria. Sayangnya, sampai
sejauh ini hasil penelitiannya masih sebatas itu.

Yang pasti, kata dokter spesialis anak yang mendalami bidang genetika klinik ini, mutasi gen bisa terjadi
pada siapa saja. Prosesnya berlangsung secara sporadik atau bisa tiba-tiba muncul dan dapat dialami siapa
pun. Tadinya ada yang menduga, penyakit ini bersifat resesif. Artinya, didapat dari ayah-ibu yang
mengandung gen yang mengalami mutasi tadi. Toh, nyatanya pada mereka progeria tak muncul. Jadi, apa
penyebab pastinya masih diteliti, papar dokter dari RSAB Harapan Kita, Jakarta ini.

Kasus progeria pertama kali dikemukakan oleh Dr. Jonathan Hutchinson pada tahun 1886 dan oleh Dr.
Hastings Gilford sebelas tahun kemudian. Makanya penyakit ini sering disebut sebagai Hutchinson-
Gilford Progeria Syndrome (HGPS).



KENALI GEJALA KLINIS

Progeria berbeda dengan penyakit-penyakit lain yang biasanya sudah bisa terdeteksi saat masih bayi,
bahkan selagi masih dalam kandungan. Penyakit ini justru muncul setelah anak berusia satu tahun. Tak
heran kalau di rentang usia 0-1 tahun ia kelihatannya normal-normal saja, baru selewat usia itu akan
terlihat jelas proses penuaannya. Eriyati sendiri tak mengetahui secara pasti kenapa penuaan tersebut
mulai terjadi di usia satu tahun dan bukannya kurang atau lebih dari angka tersebut.

Ahli neonatologi ini kemudian menyebut beberapa gejala klinis progeria yang cukup membuat bulu
kuduk bergidik. Umpamanya, rambut yang semula lebat kemudian rontok dan tak tumbuh lagi, pembuluh
darah di bagian kepala tampak jelas, jaringan lemak di bagian bawah kulit berkurang bahkan menghilang
sehingga kulit menjadi keriput, dan kuku tak tumbuh sempurna tapi tumbuh melengkung serta rapuh.
Selain itu, ada pengerasan di persendian, tulang patah atau retak yang tak kunjung sembuh maupun
pengeroposan tulang. Gigi geliginya terlambat tumbuh, bahkan ada juga yang tak tumbuh sama sekali
selain tak teratur susunannya.

Gejala yang bisa berakibat fatal adalah jika mengalami kekakuan pembuluh darah. Terlebih bila
kekakuannya terjadi di pembuluh darah jantung, maka kemungkinan besar si penderita akan mendapat
serangan jantung atau stroke. Pembuluh darah jantung mesti diperhatikan karena menjadi penyebab
utama kematian di kalangan penderita progeria. Salah satu jalan keluarnya adalah operasi by pass.

Akibat adanya mutasi gen itu pula, perkembangan tulang penderita progeria akan terganggu dan
mengalami degenerasi tulang. Dengan begitu, kalau dihitung-hitung pertumbuhan tulangnya cuma
setengah atau bahkan sepertiga dari pertumbuhan tulang anak normal seusianya. Makanya kalau
diperhatikan dengan saksama, yang bersangkutan akan terlihat seperti orang yang sudah tua. Meski
begitu, mata seorang penderita progreria tidak pernah mengalami katarak layaknya kaum lanjut usia.
Kenapa bisa demikian? Itu juga masih belum diketahui, tandas Eriyati.

Untungnya, faktor intelegensi atau perkembangan kemampuan berpikir anak penderita progreria tidak
terganggu. Hanya saja secara psikologis, mungkin ia relatif sensitif karena merasa dirinya berbeda dari
teman-temannya atau tak bisa selincah anak seusianya. Dia hanya bisa melakukan permainan-permainan
yang tak membutuhkan banyak tenaga karena mudah capek.





TAK BISA DIOBATI
Untungnya lagi, populasi penderita progeria masih sangat jarang, diperkirakan hanya satu dari delapan
juta orang. Bahkan di seluruh dunia diduga kasus progeria cuma dialami oleh 30-40 orang. Saking
sedikitnya kasus yang muncul, tak heran bila penelitian-penelitian mengenai penyakit ini masih belum
banyak.
Eriyati sendiri mengaku baru kali ini menemukan kasus progeria di Indonesia. Dulu, ia sempat mendengar
kabar dari pakar genetika kedokteran, Prof. Dr. dr. Wahyuning Ramelan, MD. Ph.D. yang pada tahun
1970-an pernah bertemu seorang dokter dari Solo yang mengkonsultasikan kasus serupa. Beliau hanya
melihatnya dari foto dan menduganya progeria. Tapi setelah itu kabar tentang si pasien tidak pernah ada
lagi.

Yang membuat hati miris, rata-rata penderita progeria hanya bisa bertahan hidup hingga umur 14 tahun.
Dapat dihitung dengan jari penderita progeria yang bisa mencapai usia 20 tahunan. Mungkin hanya satu
atau dua orang saja, karena organ tubuhnya seperti orang tua. Coba 14 dikalikan tujuh, di usia itu kondisi
tubuhnya sudah seperti orang yang berusia 98 tahun.

Sedihnya lagi, hingga saat ini tidak ada terapi atau pengobatan sama sekali bagi para penderita progeria.
Pengobatan yang bisa dilakukan baru sebatas simptomatik atau menangani gejala-gejala yang timbul dan
bukannya mengobati penyakit itu sendiri. Jadi bila anak progeria panas, ia akan diberi obat penurun
demam dan kalau diare akan diberi obat antidiare. Sementara kekakuan sendi-sendinya diminimalkan
dengan fisioterapi.





Kelainan Kongenital
Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi yang timbul sejak kehidupan
hasiI konsepsi sel telur. Kelainan kongenital dapat merupakan sebab penting terjadinya abortus, lahir mati
atau kematian segera setelah lahir. Kematian bayi dalam bulan-bulan pertama kehidupannya sering
diakibatkan oleh kelainan kongenital yang cukup berat, hal ini seakan-akan merupakan suatu seleksi
alamu terhadap kelangsungan hidup bayi yang dilahirkan. Bayi yang dilahirkan dengan kelainan
kongenitaI besar, umumnya akan dilahirkan sebagai bayi berat lahir rendah bahkan sering pula sebagai
bayi kecil untuk masa kehamilannya. Bayi berat lahir rendah dengan kelainan kongenital berat, kira-kira
20% meninggal dalam minggu pertama kehidupannya. Disamping pemeriksaan fisik, radiologik dan
laboratorik untuk menegakkan diagnose kelainan kongenital setelah bayi lahir, dikenal pula adanya
diagnosisi pre/- ante natal kelainan kongenital dengan beberapa cara pemeriksaan tertentu misalnya
pemeriksaan ultrasonografi, pemeriksaan air ketuban dan darah janin
A. Angka Kejadian
Kelainan kongenital pada bayi baru lahir dapat berupa satu jenis kelainan saja atau dapat pula berupa
beberapa kelainan kongenital secara bersamaan sebagai kelainan kongenital multipel. Kadang-kadang
suatu kelainan kongenital belum ditemukan atau belum terlihat pada waktu bayi lahir, tetapi baru
ditemukan beberapa waktu setelah kelahiran bayi. Sebaliknya dengan kermajuan tehnologi
kedokteran,kadang- kadang suatu kelainan kongenital telah diketahui selama kehidupan fetus. Bila
ditemukan satu kelainan kongenital besar pada bayi baru lahir, perlu kewaspadaan kemungkian adanya
kelainan kongenital ditempat lain. Dikatakan bahwa bila ditemukan dua atau lebih kelainan kongenital
kecil, kemungkinan ditetemukannya kelainan kongenital besar di tempat lain sebesar 15% sedangkan bila
ditemukan tiga atau lebih kelainan kongenital kecil, kemungkinan ditemukan kelainan kongenital besar
sebesar 90%.
Angka kejadian kelainan kongenital yang besar berkisar 15 per i000 kelahiran angka kejadian ini akan
menjadi 4-5% biIa bayi diikuti terus sampai berumur 1 tahun. Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo
(I975-1979), secara klinis ditemukan angka kejadian kelainan kongenital sebanyak 225 bayi di antara
19.832 kelahiran hidup atau sebesar 11,6I per 1000 kelahiran hidup, sedangkan di Rumah Sakit Dr.
Pirngadi, Medan (1977-1980) sebesar 48 bayi (0,33%) di antara 14.504 kelahiran bayi dan di Rumah
Sakit Universitas Gadjah Mada (1974-1979) sebesar 1.64da tri 4625 kelahiran bayi. Angka kejadian dan
jenis kelainan kongenital dapat berbeda-beda untuk berbagai ras dan suku bangsa, begitu pula dapat
tergantung pada cara perhitungan besar keciInya kelainan kongenital.
B.Faktor Etiologi
Penyebab langsung kelainan kongenital sering kali sukar diketahui. Pertumbuhan embryonal dan fetaI
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor genetik, faktor lingkungan atau kedua faktor secara
bersamaan.
Beberapa faktor etiologi yang diduga dapat mempengaruhi terjadinya kelainan kongenital antara lain:
[1] Kelainan Genetik dan Khromosom.
Kelainan genetik pada ayah atau ibu kemungkinan besar akan berpengaruh atas kelainan kongenital pada
anaknya. Di antara kelainan-kelainan ini ada yang mengikuti hukum Mendel biasa, tetapi dapat pula
diwarisi oleh bayi yang bersangkutan sebagai unsur dominan ("dominant traits") atau kadang-kadang
sebagai unsur resesif. Penyelidikan daIam hal ini sering sukar, tetapi adanya kelainan kongenital yang
sama dalam satu keturunan dapat membantu langkah-langkah selanjutya.
Dengan adanya kemajuan dafam bidang teknologi kedokteran, maka telah dapat diperiksa kemungkinan
adanya kelainan kromosom selama kehidupan fetal serta telah dapat dipertimbangkan tindakan-tindakan
selanjutnya. Beberapa contoh kelainankhromosom autosomai trisomi 21 sebagai sindroma Down
(mongolism) kelainan pada kromosom kelamin sebagai sindroma Turner.
[2] Faktor mekanik
Tekanan mekanik pada janin selama kehidupan intrauterin dapat menyebabkan kelainan hentuk organ
tubuh hingga menimbulkan deformitas organ cersebut. Faktor predisposisi dalam pertumbuhan organ itu
sendiri akan mempermudah terjadinya deformitas suatu organ. Sebagai contoh deformitas organ tubuh
ialah kelainan talipes pada kaki sepcrti talipes varus, talipes valgus, talipes equinus dan talipes
equinovarus (clubfoot)
[3] Faktor infeksi.
Infeksi yang dapat menimbulkan kelainan kongenital ialah infeksi yang terjadi pada periode
organogenesis yakni dalam trimester pertama kehamilan. Adanya infeksi tertentu dalam periode
organogenesis ini dapat menimbulkan gangguan dalam pertumbuhan suatu organ rubuh. Infeksi pada
trimesrer pertama di samping dapat menimbulkan kelainan kongenital dapat pula meningkatkan
kemungkinan terjadinya abortus. Sebagai contoh infeksi virus pada trimester pertama ialah infeksi oleb
virus Rubella. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang menderita infeksi Rubella pada trimester pertama dapat
menderita kelainan kongenital pada mata sebagai katarak, kelainan pada sistem pendengaran sebagai tuli
dan ditemukannya kelainan jantung bawaan. Beberapa infeksi lain pada trimester pertama yang dapat
menimbulkan kelainan kongenital antara lain ialah infeksi virus sitomegalovirus, infeksi toksoplasmosis,
kelainan-kelainan kongenital yang mungkin dijumpai ialah adanya gangguan pertumbuhan pada system
saraf pusat seperti hidrosefalus, mikrosefalus, atau mikroftalmia.
[4]Faktor Obat
Beberapa jenis obat tertentu yang diminum wanita hamil pada trimester pertama kehamilan diduga sangat
erat hubungannya dengan terjadinya kelainan kongenital pada bayinya. Salah satu jenis obat yang telah
diketahui dagat menimbulkan kelainan kongenital ialah thalidomide yang dapat mengakibatkan terjadinya
fokomelia atau mikromelia. Beberapa jenis jamu-jamuan yang diminum wanita hamil muda dengan
tujuan yang kurang baik diduga erat pula hubungannya dengan terjadinya kelainan kongenital, walaupun
hal ini secara laboratorik belum banyak diketahui secara pasti. Sebaiknya selama kehamilan, khususnya
trimester pertama, dihindari pemakaian obat-obatan yang tidak perlu sama sekali; walaupun hal ini
kadang-kadang sukar dihindari karena calon ibu memang terpaksa harus minum obat. Hal ini misalnya
pada pemakaian trankuilaiser untuk penyakit tertentu, pemakaian sitostatik atau prepaat hormon yang
tidak dapat dihindarkan; keadaan ini perlu dipertimbangkan sebaik-baiknya sebelum kehamilan dan
akibatnya terhadap bayi.
Faktor umur ibu
Telah diketahui bahwa mongoIisme lebih sering ditemukan pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang
mendekati masa menopause. Di bangsal bayi baru lahir Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo pada
tahun 1975-1979, secara klinis ditemukan angka kejadian mongolisme 1,08 per 100 kelahiran hidup dan
ditemukan resiko relatif sebesar 26,93 untuk kelompok ibu berumur 35 tahun atau lebih; angka keadaan
yang ditemukan ialah 1: 5500 untuk kelompok ibu berumur < 35 tahun, 1: 600 untuk kelompok ibu
berumur 35-39 tahun, 1 : 75 untuk kelompok ibu berumur 40 - 44 tahun dan 1 : 15 untuk kelompok ibu
berumur 45 tahun atau lebih.
Faktor hormonal
Faktor hormonal diduga mempunyai hubungan pula dengan kejadian kelainan kongenital. Bayi yang
dilahirkan oleh ibu hipotiroidisme atau ibu penderita diabetes mellitus kemungkinan untuk mengalami
gangguan pertumbuhan lebih besar bila dibandingkan dengan bayi yang normal.
Faktor radiasi
Radiasi ada permulaan kehamiIan mungkin sekali akan dapat menimbulkan kelainan kongenital pada
janin. Adanya riwayat radiasi yang cukup besar pada orang tua dikhawatirkan akan dapat mengakibatkan
mutasi pada gene yang mungkin sekali dapat menyebabkan kelainan kongenital pada bayi yang
dilahirkannya. Radiasi untuk keperluan diagnostik atau terapeutis sebaiknya dihindarkan dalam masa
kehamilan, khususnya pada hamil muda.
Faktor gizi
Pada binatang percobaan, kekurangan gizi berat dalam masa kehamilan dapat menimbulkan kelainan
kongenital. Pada manusia, pada penyelidikan-penyelidikan menunjukkan bahwa frekuensi kelainan
kongenital pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kekurangan makanan lebih tinggi bila
dibandingkan dengan bayi-bayi yang lahir dari ibu yang baik gizinya. Pada binatang percobaan, adanya
defisiensi protein, vitamin A ribofIavin, folic acid, thiamin dan lain-Iain dapat menaikkan kejadian
&elainan kongenital.
Faktor-faktor lain
Banyak kelainan kongenital yang tidak diketahui penyebabnya. Faktor janinnya sendiri dan faktor
lingkungan hidup janin diduga dapat menjadi faktor penyebabnya. Masalah sosial, hipoksia, hipotermia,
atau hipertermia diduga dapat menjadi faktor penyebabnya. Seringkali penyebab kelainan kongenitai
tidak diketahui.
C.Diagnosa

Pemeriksaan untuk menemukan adanya kelainan kongenital dapat dilakukan pada -pemeriksaan janin
intrauterine, dapat pula ditemukan pada saat bayi sudah lahir. Pemeriksaan pada saat bayi dalam
kandungan berdasarkan atas indikasi oleh karena ibu mempunyai faktor resiko:
misalnya: riwayat pernah melahirkan bayi dengan kelainan kongenital, riwayat adanya kelainan-
kongenital dalam keluarga, umur ibu hamil yang mendekati menopause.
Pencarian dilakukan pada saat umur kehamilan 16 minggu. Dengan bantuan alat ultrasonografi dapat
dilakukan tindakan amniosentesis untuk mengambil contoh cairan amnion Beberapa kelainan kongenital
yang dapat didiagnose dengan cara ini misalnya: kelainan kromosome, phenylketonuria, galaktosemia,
defek tuba neralis terbuka seperti anensefali serta meningocele.
Pemeriksaan darah janin pada kasus thallasemia.
Untuk kasus2 hidrosefalus pemeriksaan dapat diketemukan pada saat periksa hamil
D.Penanganan

Kelainan kongenital berat dapat berupa kelainan kongenital yang memerlukan tindakan bedah, kelainan
kongenital bersifat medik, dan kelainan kongenital yang memerlukan koreksi kosmetik.
Setiap ditemukannya kelainan kongenital pada bayi baru lahir, hal ini harus dibicarakan dengan orang
tuanya tentang jenis kemungkinan faktor penyebab, langkah-langkah penanganan dan prognosisnya.
Sindrom Down (bahasa Inggris: Down syndrome) merupakan kelainan genetik yang terjadi
pada kromosom21 pada berkas q22 gen SLC5A3,
[1]
yang dapat dikenal dengan melihat
manifestasi klinis yang cukup khas. Kelainan yang berdampak pada keterbelakangan
pertumbuhan fisik dan mental ini pertama kali dikenal pada tahun 1866 oleh Dr.John Longdon
Down. Karena ciri-ciri yang tampak aneh seperti tinggi badan yang relative
pendek, kepala mengecil, hidung yang datar menyerupai orang Mongoloid maka sering juga
dikenal denganmongolisme. Pada tahun 1970an para ahli dari Amerika dan Eropa merevisi
nama dari kelainan yang terjadi pada anak tersebut dengan merujuk penemu pertama kali
sindrom ini dengan istilah sindrom Down dan hingga kini penyakit ini dikenal dengan istilah
yang sama.
Gejala atau tanda-tanda
Gejala yang muncul akibat sindrom down dapat bervariasi mulai dari yang tidak tampak sama
sekali, tampak minimal sampai muncul tanda yang khas.
Penderita dengan tanda khas sangat mudah dikenali dengan adanya penampilan fisik yang
menonjol berupa bentuk kepala yang relatif kecil dari normal (microchephaly) dengan bagian
anteroposterior kepala mendatar. Pada bagian wajah biasanya tampak sela hidung yang datar,
mulut yang mengecil dan lidah yang menonjol keluar (macroglossia). Seringkali mata menjadi
sipit dengan sudut bagian tengah membentuk lipatan (epicanthal folds). Tanda klinis pada
bagian tubuh lainnya berupa tangan yang pendek termasuk ruas jari-jarinya serta jarak antara
jari pertama dan kedua baik pada tangan maupun kaki melebar.
Sementara itu lapisan kulit biasanya tampak keriput (dermatoglyphics). Kelainan kromosom ini
juga bisa menyebabkan gangguan atau bahkan kerusakan pada sistim organ yang lain.
Pada bayi baru lahir kelainan dapat berupa congenital heart disease. kelainan ini yang biasanya
berakibat fatal karena bayi dapat meninggal dengan cepat. Pada sistim pencernaan dapat
ditemui kelainan berupa sumbatan pada esofagus (esophageal atresia)
atau duodenum (duodenal atresia).
Apabila anak sudah mengalami sumbatan pada organ-organ tersebut biasanya akan diikuti
muntah-muntah. Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kromosom
melalui amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal kehamilan. Terlebih
lagi ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan sindrom down atau mereka yang hamil di
atas usia 40 tahun harus dengan hati-hati memantau perkembangan janinnya karena mereka
memiliki risiko melahirkan anak dengan sindrom down lebih tinggi.
Pada otak penderita sindrom Down, ditemukan peningkatan rasio APP (bahasa Inggris: amyloid
precursor protein)
[2]
seperti pada penderita Alzheimer.

Sindrom down adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang
diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Kromosom ini terbentuk akibat
kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan.
Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kromosom melalui
amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal kehamilan. Terlebih lagi ibu
hamil yang pernah mempunyai anak dengan sindrom down atau mereka yang hamil di atas usia
40 tahun harus dengan hati-hati memantau perkembangan janinnya karena mereka memiliki
risiko melahirkan anak dengan sindrom down lebih tinggi. Sindrom down tidak bisa dicegah,
karena DS merupakan kelainan yang disebabkan oleh kelainan jumlah kromosom. Jumlsh
kromosm 21 yang harusnya cuma 2 menjadi 3. Penyebabnya masih tidak diketahui pasti, yang
dapat disimpulkan sampai saat ini adalah makin tua usia ibu makin tinggi risiko untuk terjadinya
DS.Diagnosis dalam kandungan bisa dilakukan, diagnosis pasti dengan analisis kromosom
dengan cara pengambilan CVS (mengambil sedikit bagian janin pada plasenta) pada kehamilan
10-12 minggu) atau amniosentesis (pengambilan air ketuban) pada kehamilan 14-16 minggu.
KETIDAKNORMALAN GEN DAN KROMOSOM
Para pakar genetika dan ahli perkembangan telah mengidentifikasi sejumlah masalah yang
disebabkan oleh kelainan gen atau kromosom utama.
Beberapa kelainan gen atau kromosom utama:
1. Phenylketonuria (PKU), adalah suatu kelainan genetic yang menyebabkan individu tidak
dapat secara sempurna memetabolismekan protein.
PKU dewasa ini mudah dideteksi, tetapi kalau tetap tidak tersembuhkan, dapat menyebabkan
keterbelakangan mental dan hiperaktif. Bila terdeteksi, kelainan disembuhkan dengan diet untuk
menjaga zat racun yang masuk ke dalam system saraf. PKU melibatkan suatu gen resesif dan
terjadi kira-kira sekali pada setiap 10.000 hingga 20.000 kelahiran hidup.
2. Down Syndrome, suatu bentuk keterbelakangan mental yang secara genetic paling umum
diturunkan, disebabkan oleh munculnya suatu syndrome tambahan (ke-47). Kenapa kromosom
tambahan itu ada? Kemungkinan kesehatan sperma dan sel telur ikut terlibat. Penderita Down
Syndrome memiliki wajah yang bundar, tengkorak yang rata, lipatan kulit tambahan sepanjang
kelopak mata, lidah yang menonjol keluar, tungkai dan lengan pendek, dan keterbelakangan
kemampuan motorik dan mental.
Penyembuhan : pembedahan, intervensi awal, perangsangan bayi, dan program belajar
khusus.
3. Anemia Sel Sabit (Sickle-cell anemia), kelainan darah yang menghambat pasokan oksigen
tubuh. Dapat menyebabkan pembengkakan tulang persendian, krisis sel sabit, kegagalan
jantung dan ginjal. Sel darah merah biasanya berbentuk seperti cakram atau piringan hitam.
Sel-sel ini mati dengan cepat sehingga terjadi anemia dan kematian individu secara dini.
Penyembuhan : penisilin, pengobatan menghilangkan rasa sakit, antibiotic, transfuse darah.
4. Klinefelter Syndrome, suatu kelainan genetic di mana laki-laki memiliki kromosom X
tambahan. Menyebabkan susunan kromosomnya menjadi XXY sebagai ganti XY. Pertambahan
kromosom ini menyebabkan abnormalitas fisik. Buah pelir laki-laki yang mengidap kelainan ini
tidak berkembang dan biasanya mereka memiliki buah dada yang besar dan menjadi tinggi.
Penyembuhan : terapi hormon
5. Turner Syndrome, perempuan kehilangan satu kromosom X, menyebabkan susunan
kromosomnya menjadi XO sebagai ganti XX. Syndrome ini menyebabkan abnormalitas fisik,
keterbelakangan mental, dan tidak berkembang secara seksual.
Penyembuhan : terapi hormone
6. Anencephaly, kelainan pembuluh saraf yang menyebabkan otak dan tengkorak cacat;
kebanyakan anak-anak meninggal pada saat kelahiran.
Penyembuhan : pembedahan
7. Cystic fibrosis, disfungsi kelenjar yang mempengaruhi produksi getah; pernapasan dan
pencernaan terhambat, mengakibatkan pendeknya masa hidup.
Penyembuhan : terapi fisik dan oksigen, synthetic enzymes, dan antibiotic
8. Spina Bifida, kelainan saluran saraf yang menyebabkan abnormalitas tulang belakang dan
otak.
Penyembuhan : pembedahan korektil pada saat kelahiran, alat ortopedi, dan terapi fisik/medik
9. Thalassemia, kelompok kelainan darah bawaan yang menyebabkan gejala kuran darah
yang mulai lesu dan lemah hingga kegagalan hati.
Penyembuhan : tranfusi darah dan antibiotic
TES PENENTU KETIDAKNORMALAN
Para ilmuwan telah mengembangkan sejumlah tes untuk menentukan apakah janin
berkembang secara normal.
1. Amniocentesis, suatu prosedur medis prakelahiran dengan cara menyedot dan menguji
suatu sample cairan amnion (ketuban) untuk menemukan apakah janin mengalami kelainan
kromosomal atau mentabolis. Amniocentesis dilaksanakan antara kehamilan minggu ke-12 dan
ke-16. Semakin awal dilaksanakan semakin berguna dalam memutuskan apakah kehamilan
harus diakhiri.
2. Ultrasound sonography, suatu prosedur medis prakelahiran yang mengarahkan gelombang
suatu frekuensi tinggi ke perut perempuan yang hamil. Gema dipindahkan ke dalam tayangan
visual struktur bagian dalam janin.
3. Chorionic villus test (CVT), suatu prosedur medis prakelahiran yang mengangkat suatu
sample kecil ari-ari (plasenta) antara kehamilan minggu ke-8 dan ke-11.
4. Tes darah ibu (maternal blood test), suatu bentuk teknik diagnostic prakelahiran yang
digunakan untuk mengukur tingkat protein alfa darah dan diasosiasikan dengan kelainan
saluran saraf.

BRONKOPNEUMONIA
Pneumonia merupakan penyakit yang sering terjadi dan setiap tahunnya menyerang sekitar 1% dari
seluruh penduduk Amerika. Meskipun telah ada kemajuan dalam bidang antibiotik, pneumonia tetap
merupakan penyebab kematian terbanyak keenam di Amerika Serikat. Munculnya organisme nosokomial
(didapat dari rumah sakit) yang resisten terhadap antibiotik, ditemukannya organisme-oeganisme yang
baru (seperti Legionella), bertambahnya jumlah pejamu yang lemah daya tahan tubuhnya dan adanya
penyakit seperti AIDS semakin memperluas spektrum dan derajat kemungkinan penyebab-penyebab
pneumonia, dan ini juga menjelaskan mengapa pneumonia masih merupakan masalah kesehatan yang
mencolok. Bayi dan anak kecil lebih rentan terhadap penyakit ini karena respon imunitas mereka masih
belum berkembang dengan baik. Pneumonia seringkali merupakan hal yang terakhir terjadi pada orang
tua dan orang yang lemah akibat penyakit kronik tertentu. Pasien peminum alkohol, pasca bedah, dan
penderita penyakit pernafasan kronik atau infeksi virus juga mudah terserang penyakit ini.
1

Pneumonia adalah radang parenkim paru. Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh
mikroorganisme, tetapi ada sejumlah penyebab noninfeksi yang kadang-kadang perlu dipertimbangkan.
Pneumonia digolongkan atas dasar anatomi seperti pneumonia lobaris, pneumonia lobularis
(bronkopneumonia) dan pneumonia interstitialis (bronkiolitis). Tetapi, klasifikasi pneumonia infeksius
atas dasar etiologi dugaan atau yang terbukti secara diagnostik atau terapeutik lebih relevan.
2,3,7

Pnemonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli). Terjadinya pnemonia
pada anak seringkali bersamaan dengan proses infeksi akut pada bronkus (biasa disebut
bronchopneumonia).
4

Bronkopneumonia adalah peradangan paru, biasanya dimulai di bronkioli terminalis. Bronkopneumonia
adalah nama yang diberikan untuk sebuah inflamasi paru-paru yang biasanya dimulai di bronkiolus
terminalis. Bronkiolus terminalis menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-
bercak konsolidasi di lobulus yang bersebelahan. Penyakit ini seringnya bersifat sekunder, mengikuti
infeksi dari saluran nafas atas, demam pada infeksi spesifik dan penyakit yang melemahkan sistem
pertahanan tubuh. Pada bayi dan orang-orang yang lemah, Pneumonia dapat muncul sebagai infeksi
primer.
5,6

DEFINISI
Pneumonia bronkopneumonia, pneumonia yang ditandai bercak-bercak infeksi pada berbagai tempat di
paru. Bisa kanan maupun kiri yang disebabkan virus atau bakteri dan sering terjadi pada bayi atau orang
tua.
8

EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) sejak 1986 sampai era 2000 an hampir 80 sampai
90 persen kematian balita akibat serangan ISPA dan pnemonia.
4

Angka kejadian tertinggi ditemukan pada usia kurang dari 4 tahun dan mengurang dengan meningkatnya
umur. Pneumonia lobaris hampir selalu disebabkan oleh Pneumococcus, ditemukan pada orang dewasa
dan anak besar, sedangkan Bronkopneumonia lebih sering dijumpai pada anak kecil dan bayi.
3

Pneumonia merupakan penyakit yang sering terjadi dan setiap tahunnya menyerang sekitar 1% penduduk
amerika. Meskipun telah ada kemajuan dalam bidang antibiotik, pneumonia tetap sebagai penyebab
terbanyak dari kematian di Amerika.
1

ETIOLOGI
Penyebab bronkopneumonia yang biasa dijumpai adalah faktor infeksi (tersering) :
- Bakteri : Pneumokokus, Streptokokus, Stafilokokus, Hemofilus influenza, Mycobacterium
tuberculosa.
- Virus : Respiratory Synctitial Virus, Adenovirus, Cytomegalo virus, Virus infuenza B.
- Jamur : Histoplasmosis, Candida albicans, Aspergillus species dll.
4

KLASIFIKASI
Menurut buku Pneumonia Komuniti, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia yang
dikeluarkan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003 menyebutkan tiga klasifikasi pneumonia.
1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis:
1. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia).
2. Pneumonia nosokomial, (hospital-acquired pneumonia/nosocomial pneumonia).
3. Pneumonia aspirasi.
4. Pneumonia pada penderita immunocompromised.
2. Berdasarkan bakteri penyebab:
1. Pneumonia bakteri/tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri
mempunyai tendensi menyerang seseorang yang peka, misalnya klebsiella pada penderita
alkoholik, staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza. Pneumonia Atipikal
disebabkan mycoplasma, legionella, dan chalamydia.
2. Pneumonia virus.
3. Pneumonia jamur, sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada
penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised).
3. Berdasarkan predileksi infeksi:
1. Pneumonia lobaris, pneumonia yang terjadi pada satu lobus (percabangan besar
dari pohon bronkus) baik kanan maupun kiri.
2. Pneumonia bronkopneumonia, pneumonia yang ditandai bercak-bercak infeksi
pada berbagai tempat di paru. Bisa kanan maupun kiri yang disebabkan virus atau bakteri
dan sering terjadi pada bayi atau orang tua.
3. Pneumonia interstisial.
PATOGENESIS
Pneumococcus masuk ke dalam paru melalui jalan pernafasan secara percikan (droplet). Pneumokokus
umumnya mencapai alveoli lewat percikan mukus atau saliva. Lobus bagian bawah paru paling sering
terkena efek gravitasi.
1,3

Agen-agen mikroba yang menyebabkan Pneumonia memiliki 3 bentuk transisi primer :
1. Aspirasi sekret yang berisi mikroorganisme patogen yang telah berkolonisasi pada
orofaring
2. Inhalasi aerosol yang infeksius
3. Penyebaran hematogen dari bagian ekstrapulmonal
Aspirasi dan inhalasi agen-agen infeksius adalah dua cara tersering yang menyebabkan pneumonia,
sementara penyebaran cara hematogen lebih jarang terjadi. Akibatnya, faktor-faktor predisposisi termasuk
juga berbagai defisiensi mekanisme pertahanan sistem pernafasan. Kolonisasi basilus gram negatif telah
menjadi subjek penelitian akhir-akhir ini.
1

Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien untuk mencegah infeksi yang
terdiri dari :
1. Susunan anatomis rongga hidung
2. Jaringan limfoid di nasofaring
3. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret lain yang
dikeluarkan oleh sel epitel tersebut
4. Refleks batuk
5. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi
6. Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional
7. Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama Ig A
8. Sekresi enzim-enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang bekerja sebagai anti
mikroba yang non spesifik.
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang
menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya.
3

Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli mementuk suatu proses peradangan yang meliputi empat
stadium, yaitu:
1,3,7

A. Stadium I (4 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang
terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan
sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin.
Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin
dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler
paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi
pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus
meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini
dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
B. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang
dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat
oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan
pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak
akan bertambah sesak. Stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
C. Stadium III (3 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang
terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis
sisa-sisa sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan
leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
D. Stadium IV (7 12 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel
fibrin dan eksudat lisis dan diabsorbsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
GAMBARAN KLINIS
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu
dapat naik secara mendadak sampai 3940C dan mungkin disertai kejang karena demam yag tinggi.
Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis
di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai di awal penyakit, anak akan mendapat batuk
setelah beberapa hari, dimana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif.
Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya daerah yang terkena. Pada
perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya kelainan. Pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronki
basah gelembung halus sampai sedang.
Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu (konfluens) mungkin pada perkusi terdengar suara yang
meredup dan suara pernafasan pada auskultasi terdengar mengeras. Pada stadium resolusi ronki dapat
terdengar lagi. Tanpa pengobatan biasanya proses penyembuhan dapat terjadi antara 2-3 minggu.
3

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1. Gambaran darah menunjukkan leukositosis, biasanya 15.000 40.000 / mm
3
dengan
pergeseran ke kiri. Jumlah leukosit yang tidak meningkat berhubungan dengan infeksi virus atau
mycoplasma.
2. Nilai Hb biasanya tetap normal atau sedikit menurun.
3. Peningkatan LED.
4. Kultur dahak dapat positif pada 20 50 % penderita yang tidak diobati. Selain kultur
dahak, biakan juga dapat diambil dengan cara hapusan tenggorok (throat swab).
5. Analisa gas darah (AGDA) menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia. Pada stadium
lanjut dapat terjadi asidosis meyabolik.
3,7

DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik yang sesuai dengan gejala dan
tanda yang diuraikan sebelumnya disertai pemeriksaan penunjang. Pada bronkopneumonia, bercak-bercak
infiltrat didapati pada satu atau beberapa lobus. Foto rontgen dapat juga menunjukkan adanya komplikasi
seperti pleuritis, atelektasis, abses paru, pneumotoraks atau perikarditis. Gambaran ke arah sel
polimorfonuklear juga dapat dijumpai.
Diagnosis etiologi dibuat berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi serologi, karena pemeriksaan
mikrobiologi tidak mudah dilakukan dan bila dapat dilakukan kuman penyebab tidak selalu dapat
ditemukan. Oleh karena itu WHO mengajukan pedoman diagnosa dan tata laksana yang lebih sederhana.
Berdasarkan pedoman tersebut pneumonia dibedakan berdasarkan :
Pneumonia sangat berat :
bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak sanggup minum, maka anak harus dirawat di rumah sakit
dan diberi antibiotika.
Pneumonia berat :
bila dijumpai adanya retraksi, tanpa sianosis dan masih sanggup minum, maka anak harus dirawat di
rumah sakit dan diberi antibiotika.
Pneumonia :
bila tidak ada retraksi tetapi dijumpai pernafasan yang cepat :
- > 60 x/menit pada anak usia < 2 bulan
- > 50 x/menit pada anak usia 2 bulan 1 tahun
- > 40 x/menit pada anak usia 1 5 tahun
Bukan Pneumonia :
hanya batuk tanpa adanya tanda dan gejala seperti diatas, tidak perlu dirawat dan tidak perlu diberi
antibiotika.
3,4

DIAGNOSA BANDING
1. Bronkiolitis
2. TB Paru

Anda mungkin juga menyukai