Anda di halaman 1dari 2

Nostalgia Bersama Sakura

Negara matahari terbit, begitulah Jepang dikenal. Matahari yang terbit melambangkan
semangat yang tak pernah pudar meskipun terkadang awan mendung ataupun kabut menutupinya.
Dan itulah salah satu alasan ketertaikanku pada negara matahari terbit itu.
Mey, aku mau ke madinah bulan ini. Ucap suara di seberang sana.
Namanya Ahmad. Laki-laki dengan perawakan tinggi, kulit sawo matang khas orang Indonesia,
sedikit jakung dan tentunya ada jenggot tipis yang menggantung di dagunya. Awalnya aku tidak
begitu mengenalnya dan bahkan aku tak menaruh ketertaikan khusus apalagi dengan kepribadianku
yang cenderung acuh terhadap orang disekitarku. Namun, lambat laun kami mulai akrab bahkan
sekarang ia seperti saudaraku sendiri.
Lulus SMP, Ahmad dan aku memilih sekolah yang berbeda. Aku lebih memilih sekolah di sekolah
negeri yang cukup favorit di kota yang sama dimana kami tinggal sedangkan ia memilih untuk
melanjutkan ke podok pesantren dengan latar belakang pengajaran bahasa yang cukup bagus di
kabupaten tetangga. Hampir selama tiga tahun aku tak pernah kontak.
Sejak SMP ia sudah bercita-cita ingin melanjutkan studi ke luar negeri teruatama makkah atau
madinah sedangkan aku ingin sekali ke jepang. Jepang adalah negara impianku. Aku ingin melihat
mekarnya bunga sakura, keindahannya benar-benar memesoanku.
Dan sekarang, setelah enam tahun penantiannya, ia berhasil meraihnya.
mey..!! panggilnya kembali..
Hmmm, selamat ya. Ucapku akhirnya.
Hatiku bercampur baur. Aku merasa senang sekaligus merasa sedih. Kenapa aku harus bersedih?
Aku tak tahu. Aku merasa ada bagian dari diriku yang merasa sakit. Seolah-olah aku berat
melepaskannya. Apa karena aku menganggap ia sebagai saudara sehingga merasa sedih melepaskan
saudara terlebih-lebih ia telah seperti kakak laki-lakiku.
Selamat doang? tanyanya lagi dengan nada menyindir.
Iya, gua kalah dah dari lho. Puas?!
bagus-bagus. Lho nyadar juga.
Aku tutup telephonenya ya, aku ada kuliah nih.
Saluran terputus. Namun berjam-jam kemudian, ucapnnya yang mengatakan akan ke madinah
benar-benar menancap di kepalaku. Kenapa aku begitu sedih mendengar ia akan pergi?
::::::::::::::::::::::
Enam bulan berlalu. Ahmad sudah jarang menghubungiku. Aku tahu ia pasti sangat sibuk dan
kesepianku pun perlahan-lahan terobati.
Malam hari ketika aku mau membuka email, aku menemukan pesannya telah terkirim ke inboxku.

Assalamualaikum wr wr..
Khaifa haluki ya ukhti?
Moga antum selalu sehat selalu. Alhamdulillah ana sekarang sudah bisa kuliah disini. Antum
ingatkan waktu ana bilang ingin melanjutkan kulaih kesini.
Ukh, mohon doanya ya, ana mau akad nikah di sini hari senin besok. Ada akhwat dari Lombok yang
kulaih di Mesir dan Alhamdulillah Allah mempertemukan kami di sini. Kalau antum ada di sini,
InsyaAllah ana bakalan udang antum.
Jazakillah atas semua bantuan antum, ukh.
Surat itu benar-benar membuatku syok. Ketika aku menyadari bahwa perasaanku untuknya
bukanlah perasaan sebatas kakak dan adik, melainkan perasaan cinta yang dianugerahkan Allah
untuk setiap insan. Aku benar-benar tak percaya terhadap apa yang aku baca. Tanpa disadari,
bendungan air di mataku telah bobol, mengalir hangat di pipi tanpa bisa aku tahan. Ada sebongkah
sesak yang tiba-tiba menderaku.
Hampir seminggu aku tak bisa memikirkan apapun. Buku-buku yang seharusnya telah selelsai aku
baca, kini tertumpuk berantakan di atas ranjang. Selama seminggu pula aku tak bisa menghentikan
air mata ini. Makan pun terasa sangat sulit. Yang kupikirkan hanyalah dia. Aku merasa bahwa Allah
benar-benar tidak adil padaku. Apa salah aku menaruh perasaan padanya?
Handphoneku berbunyi. Dengan malas aku membaca message yang ada di monitor.
Nyra, selamat ya. Lho keterima student exchange ke Jepang.
::::::::::::::::::::::::::
Empat tahun kemudian....
Ohayo gozaimasu..
Aku membungkuk. Laki-laki berbadan tegap dengan kulit putih khas Jepang menyapa.

Anda mungkin juga menyukai