Membuka Harta Karun Pulau Komodo Komodo (Varanus komodoensis) sangat terkenal di kaca dunia sebagai binatang melata berdarah dingin yang berukuran besar. Populasi komodo semakin sedikit menarik perhatian segala masyarakat dari belahan dunia manapun untuk lebih peduli terhadap keselamatan komodo. Komodo hanya hidup pada suatu tempat khusus yang disebut Pulau Komodo di Indonesia. Pulau Komodo ini resmi menjadi taman nasional pada tahun 1980. Peneliti memperkirakan jumlah komodo di pulau ini mencapai 3.000-6.000, beberapa mampu berenang ke pulau-pulau sekitar (Glaser 2006). Pulau Komodo dan Komodo yang tinggal di sana merupakan suatu keunikan dari negara kita, oleh sebab itu penulisan karya tulis ini bertujuan untuk mengenalkan kepada masyarakat awam. Metode yang digunakan adalah studi literatur. Taman nasional komodo terdiri dari tiga buah pulau besar yaitu Pulau Komodo, Pulau Rinca, dan Pulau Padar, serta 26 buah pulau lainnya. Taman ini telah menjadi aset negara dan mendapat dukungan internasional. UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) menetapkan taman nasional komodo sebagai warisan alam dunia dan cagar biosfer. Saat ini taman nasional tersebut juga bertujuan untuk melestarikan semua keanekaragaman hayati baik di laut maupun darat (Supriatna 2008). Taman Nasional Pulau Komodo memiliki luas 1.817 km 2 yang terdiri atas kepulauan dalam taman nasional seluas 603 km 2 dan taman laut seluas 1.214 km 2 . Pulau komodo terletak pada jantung segitiga terumbu karang atau disebut juga coral triangle. Coral triangle merupakan tempat dimana terdapat biodiversitas laut yang terbesar. Coral triangle sendiri terbentuk karena terjadinya pergeseran benua yang terjadi jutaan tahun yang lalu. Coral triangle yang terletak pada pulau komodo memiliki 1.000 spesies ikan, 260 spesies terumbu karang, dan 70 spesies sponge, tetapi keindahan yang terdapat pada perairan pulau komodo sangatlah terancam. Perairan yang sangat kaya menjadi target bagi beberapa oknum tertentu yang menggunakan cara-cara keji untuk mengambil kekayaan laut yang ada dan menyebabkan penurunan biodiversitas setiap tahun. Metode yang dilakukan oleh oknum tersebut adalah blast fishing, memancing menggunakan racun, dan penebangan hutan yang menyebabkan sedimentasi (Glover & Earle 2004). Kepulauan di Taman Nasional Komodo merupakan pulau-pulau vulkanik yang dikelilingi lautan yang secara terus-menerus berubah. Daratan kepulauan ini umumnya terdiri dari sejumlah batuan vulkanik yang diapit oleh batuan berpasir, dan kesatuan batuan kapur. Tanah yang terdapat pada pulau komodo merupakan tanah yang kompleks berwarna cokelat keabu-abuan. Tanah ini tersusun atas beberapa tipe tanah yang mudah tererosi. Sungai dan anak sungai timbul saat musim hujan dan menghilang saat musim kemarau. Curah hujan di pulau komodo adalah kurang dari 800 mm/tahun. Hujan turun terutama dari bulan Desember hingga Maret. Saat ini, sumber air mulai sulit untuk diperoleh di pulau ini. Hal ini diduga disebabkan oleh karena meningkatnya penggunaan air, pengalihan sumber air oleh masyarakat, memburuknya hutan dalam daerah resapan, dan perubahan iklim (Erdmann 2004). Daratan pulau komodo yang sangat kering dipengaruhi oleh angin muson serta sejumlah uap air yang dibawanya. Suhu tahunan tertinggi di pulau komodo dapat mencapai 43C, sedangkan suhu minimum mencapai 17C. Suhu terpanas tiap harinya adalah pada saat siang hari. Pada saat seperti ini, komodo akan mencari tempat berteduh dan beristirahat. Tingkat kelembaban rata-rata adalah 36%. Kelembaban udara tertinggi dicapai pada bulan Februari yaitu sekitar 86% (Erdmann 2004). Terdapat tiga ekosistem daratan yang terdapat di Taman Nasional Pulau Komodo. Tiga ekosistem tersebut antara lain savana, hutan hujan, dan hutan daratan tinggi. Tumbuhan yang terdapat di Taman Nasional Pulau Komodo mencapai 254 spesies tanaman asli yang berasal dari Asia dan Australia. Iklim yang kering membuat jumlah spesies yang tumbuh relatif rendah. Tanaman yang ditemukan tersebut umumnya merupakan tanaman yang dapat menyimpan air dalam waktu yang lama. (Erdmann 2004). Komodo membutuhkan keadaan alam yang kering, dan gersang. Mereka kurang aktif pada kelembaban udara yang tinggi dan pada saat hujan. Daerah savana yang luas dengan sumber air yang terbatas, serta suhu permukaan yang cukup panas merupakan habitat yang paling tepat bagi komodo untuk tinggal dan berkembang biak. Komodo berkerabat dekat dengan reptil purba seperti mossaur yang tinggal di laut lepas. Mossaur merupakan predator besar juga buas yang biasa mengonsumsi burung, ikan, dan cumi-cumi. Reptil ini mengalami kepunahan sekitar 65 miliar tahun yang lalu dan memiliki panjang mencapai 9 meter (Kalman 2005). Pada daerah perairan seperti laut lepas, komodo merupakan reptil perenang yang kuat. Apabila komodo merasa terancam atau terdapat peristiwa alam yang membahayakan keselamatan populasinya, maka komodo akan berenang menuju pulau lain di sekitar habitat aslinya. Pesisir pantai menjadi tempat bagi komodo untuk mencari burung dan ikan untuk dikonsumsi setiap harinya (Supriatna 2008) Tubuh komodo kuat, dilapisi oleh lapisan kulit bersisik berwarna abu kadang kecokelatan yang keras dan tebal. Saat berburu mangsa, komodo mampu membuka rahangnya dengan sangat lebar memungkinkan komodo mampu menelan mangsa yang berukuran besar seperti rusa atau kambing. Rongga perut komodo dapat membesar dan elastis menyebabkan komodo mampu menelan mangsa yang berukuran 80% dari total berat tubuhnya. Pada umumnya, seekor komodo memiliki 60 gigi yang sangat tajam dan tertanam kuat pada gusinya. Gigi yang sudah tua dan rusak akan lepas dan digantikan oleh gigi kuat baru. Komodo juga terkenal akan bakteri mematikan yang berada di dalam rongga mulut komodo, bakteri ini bersifat toksik bagi hewan lain kecuali komodo (Kalman 2005). Komodo memiliki kemampuan mendengar yang sangat baik dan memanfaatkan penciuman tajamnya untuk mendeteksi keberadaan mangsa, saat lidah bercabang menyentuh ujung atas mulut, kontak dengan organ Jacobson terjadi memungkinkan komodo mengetahui saat mangsa mendekat. Komodo betina bertelur pada sekitar bulan September, musim yang panas dan kering berkepanjangan dapat menyebabkan keterlambatan proses bertelur. Komodo betina selanjutnya akan mengerami telurnya di sarang dan melindunginya dari serangan eksternal atau cuaca yang buruk sampai telur siap menetas. Individu hasil penetasan telur memiliki berat sekitar 100 gram dan memiliki panjang sekitar 40 cm (Ciofi 1999). Perilaku dan adaptasi dari komodo dan korelasinya terhadap berbagai faktor ekosistem yang mempengaruhi kelangsungan hidup populasi komodo banyak dipelajari dan juga diteliti. Salah satu contoh adaptasi komodo dalam memperoleh makanan adalah dengan menunjukkan perilaku gigit dan tarik. Kekuatan seekor komodo dalam melakukan proses ini disebut bite force, kekuatan maksimum dalam menggigit dipengaruhi oleh total massa tubuh, panjang tubuh, ukuran mangsa, dimorfisme seksual, dan ekologi trofik (DAmore et al. 2011). DAFTAR PUSTAKA Ciofi C. 1999. The Komodo Dragon. Canterbury: Scientific American. Cribb RB, Ford M. 2009. Indonesia Beyond the Water's Edge: Managing an Archipelagic State. Singapur: Utopia. D Amore DC, Moreno K, McHenry CR, Wroe S. 2011. The effects of biting and pulling on the forces generated during feeding in the komodo dragon. PloS 6(10):1-8. Erdmann AM. 2004. Panduan Sejarah Ekologi Taman Nasional Komodo. Denpasar: Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Glaser J. 2006. Komodo Dragons. Mankato: Capstone. Glover L, Earle S. Defying Ocean's End: An Agenda For Action. Washington: Island. Kalman B. 2005. Earths Endangered Animals Series. New York: Crabtree. Supriatna J. 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Ed ke-1. Jakarta: Yayasan Obor.