Anda di halaman 1dari 90

UNIVERSITAS INDONESIA

KONSEP PERAWATAN GERONTIK DAN TEORI MENUA












MAKALAH MATA KULIAH GERONTIK I






Home Group 5
Jenita Magdalena (1106053256)
Julyarni (1106053123)
Paramudita Tri Hardani (1106000842)
Rosanita Intan Pratiwi (1106089092)
Yesi Gustiani (1106018133)
Zenithesa Gifta Nadirini (1106001630)







FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
Maret 2014
1


Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
Konsep Perawatan Gerontik dan Teori Menua ini. Makalah ini disusun dengan
tujuan untuk membantu pembaca khususnya perawat dalam memahami konsep
diri dan nilai keyakinan pada lansia. Kami menyadari bahwa tanpa bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak sangatlah sulit bagi kami untuk menyelesaikan
makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada:
(1) Ns. Widyatuti, S.Kp., M.Kes., Sp.Kom selaku fasilitator mata ajar
Gerontik I yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk
mengarahkan kami dalam penyusunan makalah ini;
(2) Orang tua dan keluarga yang telah memberikan bantuan dukungan
material dan moral; dan
(3) Pihak-pihak lain yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu.
Seperti kata peribahasa, tak ada gading yang tak retak. Oleh karena itu, kami
membuka diri bagi siapa saja yang ingin memberikan saran dan kritik yang
membangun, agar kami dapat melakukan perbaikan di masa yang akan datang.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Depok, 5 Maret 2014
Penyusun












ii
2


Universitas Indonesia
DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL ..........
KATA PENGANTAR ........
DAFTAR ISI ......................
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ......
1.2 Rumusan Masalah .
1.3 Tujuan Penulisan ...
1.4 Metode Penulisan ..
1.5 Sistematika Penulisan ....

2. ISI
2.1 Perbedaan Gerontologi, Geriatri, dan Keperawatan Gerontik ..
2.2 Peran Perawat Gerontik secara Umum .
2.3 Peran Perawat Gerontik pada Setting Acute Care..
2.4 Bentuk Pelayanan Keperawatan dan Kesehatan Lansia pada Acute
Care Setting .......
2.5 Peran Perawat pada Nursing Home Setting ...............
2.6 Bentuk Pelayanan Keperawatan dan Kesehatan Lansia pada Nursing
Home Setting..
2.7 Peran Perawat pada Newers Model of Nursing Home Care .
2.8 Bentuk Pelayanan Keperawatan dan Kesehatan Lansia pada Newers
Model of Nursing Home Care....
2.9 Peran Perawat pada Community-based Services pada Lansia ..
2.10 Bentuk Pelayanan Keperawatan dan Kesehatan Berbasis Komunitas
bagi Lanjut Usia..............................
2.11 Peran Perawat dalam Pelayanan Home Care .
2.12 Bentuk Pelayanan Keperawatan dan Kesehatan Lanjut Usia pada
Setting Home Care Service ................................
2.13 Demografi Lanjut Usia di Indonesia dan kota Depok
2.13.1 Demografi lanjut usia di Indonesia
2.13.2 Demografi lanjut usia di kota Depok .
2.14 Tugas Perkembangan Keluarga dengan Lansia .
2.15 Tugas Perkembangan Individu Lansia ..
2.16 Teori Biologis Menua
2.17 Teori Psikososial Menua
2.18 Teori Perubahan Fisik Menua
2.19 Teori Spiritual Menua


3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan ...
3.2 Saran ......................


DAFTAR REFERENSI ...
i
ii
iii

1
2
2
2
3


4
6
8

9
11

12
14

16
17

18
21

24

26
33
38
48
60
66
70
80



82
83


84
iii
1


Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Proses ini terjadi
mulai dari neonatus hingga kematian. Ketika individu memiliki waktu hidup
cukup lama, maka individu tersebut akan mengalami fase penuaan atau lansia.
Menurut data BPS (2009) provinsi Jawa Barat termasuk 11 provinsi di
Indonesia dengan kategori wilayah berstruktur tua karena populasi lansia
mencapai lebih dari 7% dari populasi penduduknya. Sedangkan jumlah
penduduk lansia di kota Depok pada tahun 2010 mencapai 129 ribu jiwa atau
8,6% dari 1.610.000 jiwa (Depok.go.id). Seiring dengan terus meningkatanya
usia harapan hidup di dunia, semakin banyak pula jumlah populasi lansia.
Saat penuaan terjadi maka terjadi pula proses perubahan fisik yang
semakin menurun. Lansia akan mengalami banyak proses kehilangan mulai
dari kemampuan tubuhnya, orang yang dicintai, pekerjaan, dll. Akan tetapi,
proses menua ini tidak boleh dijadikan alasan untuk menurunkan kualitas
hidup lansia. Menurut data demografi lansia yang dilakukan oleh BPS 2010,
penyebaran lansia tertinggi adalah di daerah pedesaan, hal ini menyebabkan
banyak lansia yang masih kurang mendapatkan pelayanan dari pemerintah
khususnya pelayanan kesehatan. Lansia harus dapat beradaptasi dan
mengantisipasi dampak penuaannya sehingga kualitas hidup yang baik dapat
tercapai.
Studi ilmu keperawatan juga berkembang seiring berjalannya waktu.
Menyikapi hal mengenai individu yang mengalami proses penuaan dan
penurunan fungsi tubuh serta perubahan psikososialnya, maka muncul bidang
keilmuan keperawatan yang khusus membahas mengenai keunikan lansia dan
perubahannya yang terspesialisasi dalam keperawatan gerontik. Ilmu
keperawatan yang holistik juga memperhatikan dan memberikan asuhan
keperawatan pada lansia dalam lingkup biologis, psikologis, sosial, spiritual
dan kultural. Lansia dalam tahapannya beradaptasi pada proses menua juga
perlu didukung oleh orang sekitar dan keluarga. Oleh sebab itu, perawat harus
1
2


Universitas Indonesia
dapat melakukan intervensi keperawatan melibatkan keluarga atau orang yang
merawat lansia.

1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini meliputi:
a. Bagaimana konsep gerontologi, gerontik dan geriatrik?
b. Bagaimana teori biologis, psikologis dan sosial proses menua?
c. Apa saja tugas perkembangan individu lansia dan keluarga dengan lansia?
d. Apa saja peran perawat gerontik dalam pemenuhan kebutuhan biologis,
psikososial dan spiritual?
e. Bagaimana bentuk pelayanan keperawatan dan kesehatan bagi lansia?
f. Bagaimana demografi lanjut usia di kota Depok dan Indonesia?

1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui penjelasan mengenai konsep gerontologi, gerontik dan
geriatrik.
b. Mengetahui teori-teori menua (biologis, psikologis dan sosial).
c. Mengetahui tugas perkembangan individu lansia dan keluarga dengan
lansia.
d. Mengkaji dan memahami peran perawat gerontik dalam pemenuhan
kebutuhan biologis, psikososial dan spiritual dikaitkan dengan
e. Mengetahui bentuk-bentuk pelayanan keperawatatan dan kesehatan bagi
lansia.
f. Mengetahui data demografi terbaru mengenai lansia di kota Depok dan
Indonesia.

1.4 Metode Penulisan
Metode penulisan dalam makalah ini yaitu menggunakan penelusuran pustaka.
Penulis mencari referensi dari berbagai literatur baik dari buku maupun dari
internet. Penulis kemudian mengintegrasikan semua sumber bacaan yang
didapat. Penulis juga menyajikan hasil diskusi kelompok mengenai materi
3


Universitas Indonesia
yang didapat dari literatur. Sedangkan untuk penulisan dalam makalah ini
kami menggunakan metode penulisan Tugas Akhir UI.

1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam makalah ini terdiri dari tiga bab. Bab pertama
adalah pendahuluan, bab kedua adalah tinjauan pustaka dan bab ketiga yaitu
penutup terdiri dari kesimpulan dan saran.

























4


Universitas Indonesia
BAB 2
ISI

2.1 Perbedaan Gerontologi, Geriatri, dan Keperawatan Gerontik
Gerontologi berasal dari kata geros yang berarti lanjut usia dan logos
berarti ilmu. Gerontologi adalah suatu pendekatan ilmiah dari berbagai aspek
proses penuaan, yaitu biologis, psikologis, sosial, ekonomi, kesehatan,
lingkungan, dan lain-lain (Depkes RI, 2001). Menurut Miller dalam buku
Nursing for Welness, Gerontologi adalah ilmu yang mempelajari proses
penuaan dan masalah yang akan terjadi pada lansia (Miller, 2012).
Sedangkan, menurut Mauk dalam buku Gerontological Nursing
Competencies for Care tahun 2006 mengatakan gerontologi adalah istilah
yang luas yang digunakan untuk mendefinisikan suatu ilmu tentang orang
lanjut usia.
Geriatri sering digunakan sebagai istilah umum yang berkaitan dengan
lanjut usia, tetapi secara khusus mengacu kepada urusan medis orang lanjut
usia (Mauk, 2006). Geriatri merupakan cabang ilmu dari gerontologi dan
kedokteran yang mempelajari kesehatan pada lansia dalam berbagai aspek,
yaitu promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Pada prinsipnya geriatri
mengusahakan masa tua yang bahagia dan berguna (Depkes RI, 2000).
Geriatri dapat juga diartikan sebagai praktek medis yang membahas
kebutuhan lansia secara kompleks dan fokus pada mempertahankan
fungsional tubuh ketika mengalami penyakit kronis (AMSA, 2004).
Menurut Maryam dalam buku Mengenal Usia lanjut dan Perawatannya
tahun 2008 tujuan pelayanan geriatri itu sendiri yaitu mempertahankan derajat
kesehatan setinggi-tingginya sehingga terhindar dari penyakit atau gangguan
kesehatan, memelihara kondisi kesehatan dengan aktivitas fisik sesuai
kemampuan dan aktivitas mental yang mendukung, melakukan diagnosis dini
secara tepat dan memadai, melakukan pengobatan yang tepat, memelihara
kemandirian secara maksimal serta tetap memberikan bantuan moril dan
perhatian sampai akhir hayatnya agar kematiannya berlangsung dengan
4
5


Universitas Indonesia
tenang. Prinsip-prinsip pelayanan geriatri adalah sebagai berikut (Maryam,
2008):
a. Pendekatan yang menyeluruh (biopsikososialspiritual).
b. Orientasi terhadap kebutuhan klien.
c. Diagnosis secara terpadu.
d. Team work (koordinasi).
e. Melibatkan keluarga dalam pelaksanaanya.
Menurut Maryam dalam buku Mengenal Usia lanjut dan Perawatannya
tahun 2008 keperawatan gerontik adalah spesialis keperawatan usia lanjut
yang dapat menjalankan perannya pada tiap tatanan pelayanan (dirumah sakit,
rumah, dan panti) dengan menggunakan pengetahuan, keahlian, dan
keterampilan merawat untuk meningkatkan fungsi optimal para lansia secara
komprehensif. Cakupan dari ilmu keperawatan gerontik adalah tidak
terpenuhinya kebutuhan dasar lansia akibat dari proses penuaan. Sedangkan,
lingkup asuhan keperawatan gerontik adalah pencegahan ketidakmampuan
akibat dari proses penuaan, perawatan untuk pemenuhan kebutuhan dasar
lansia dan pemulihan untuk mengatasi keterbatasan lansia. Sifat asuhan
keperawatan gerontik adalah independen (mandiri), interdependen
(kolaborasi), humanistik, dan holistik (Eliopoulus, 2005; Lueckenotte, 2000).
Dapat disimpulkan, ada perbedaan antara gerontologi, geriatrik, dan
keperawatan gerontik. Gerontologi membahas ilmu yang mempelajari tentang
lanjut usia dengan segala permasalahannya. Geriatri merupakan ilmu tentang
merawat orang lanjut usia yang mempunyai penyakit. Sedangkan,
keperawatan gerontik adalah suatu bentuk pelayanan yang profesional dengan
menggunakan ilmu dan kiat keperawatan gerontik, mencakup biopsikososial
dan spiritual, dimana klien adalah orang-orang yang telah berusia >60 tahun,
baik yang kondisinya sehat maupun sakit. Di Indonesia, keperawatan gerontik
masih dalam tahap pengembangan. Salah satu cara pengembangannya adalah
dengan memasukkan keperawatan gerontik di dalam kurikulum pembelajran
pada pendidikan keperawaan. Di beberapa rumah sakit pun, sudah mulai
membuat ruang rawat khusus yang merawat pasien-pasien lanjut usia.

6


Universitas Indonesia
2.2 Peran Perawat Gerontik secara Umum
a. Pemberi pelayanan kesehatan
Sebagai pemberi pelayanan kesehatan kepada lansia, seorang perawat
harus mengetahui latar belakang dari masalah atau penyakit tersebut,
tanda dan gejalanya, faktor-faktor resiko, perawatan medis yang biasa
digunakan, asuhan keperawatan berdasarkan masing-masing masalah
keperawatan yang dialami klien karena penyakit tersebut, dan rehabilitasi
jika dibutuhkan.
b. Edukator
Perawat berperan memberikan informasi dan pengetahuan kepada klien
lansia tentang penyakit atau masalah yang dihadapinya seperti
menjelaskan faktor-faktor resiko penyakit yang dialami klien lansia
sehingga pola hidup lansia tersebut dapat berubah dan status
kesehatannya dapat bertambah. Mengajarkan dan membimbing klien
lansia juga dapat membuat mereka mandiri dan merasa mempunyai andil
dalam kesehatan tubuhnya (Miller, 2009).
c. Manajer
Perawat gerontik berperan sebagai manajer selama proses pemberian
asuhan keperawatan kepada klien lansia. Disini perawat manajer harus
dapat menyeimbangkan peran antara klien, keluarga, perawat-perawat
lain, dan tim-tim pelayanan kesehatan lain dalam proses asuhan
keperawatan klien (Potter & Perry, 2005). Perawat manajer harus mampu
mengembangkan kemampuan dalam koordinasi staf, manajemen waktu,
asertif, komunikasi, dan organisasi.
d. Advokat
Perawat gerontik disini berada di pihak klien lansia untuk
mempromosikan atau memberi tahu kepada pihak lain (keluarga dan
pemberi layanan kesehatan lain) tentang hal-hal yang disukai klien, juga
memperkuat otonomi klien dalam mengambil keputusan untuk dirinya
sendiri.


7


Universitas Indonesia
e. Peneliti
Perawat disini berperan sebagai pengembang keperawatan gerontik
berdasarkan masalah-masalah yang ada pada saat ini. Hal ini diharapkan
agar keperawatan gerontik akan selalu berkembang sesuai dengan
perkembangan zaman.
f. Komunikator
Komunikasi bersifat esensial bagi seluruh peran keperawatan dan
aktivitasnya. Perawat secara rutin berkomunikasi dengan lansia dan
keluarganya serta dengan tenaga kesehatan lainnya. Tanpa komunikasi
yang jelas, sangat sulit untuk memberikan kenyamanan dan dukungan
emosional kepada lansia.
g. Konsultan
Perawat sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan
keperawatan yang tepat untuk diberikan. Peran ini dilakukan atas
permintaan klien terhadap informasi tentang tujuan pelayanan
keperawatan yang diberikan.
h. Kolaborator
Peran ini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim kesehatan yang
terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi dan lain-lain. Perawat berupaya
mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan termasuk
diskusi atau tukar pendapat dalam penentuan bentuk pelayanan
selanjutnya.
i. Motivator
Memotivasi klien lansia yang kurang memiliki kemauan untuk memenuhi
kebutuhannya.
j. Pengamat kesehatan
Melaksanakan monitoring terhadap perubahan yang terjadi pada lansia,
keluarga, kelompok dan masyarakat yang menyangkut masalah kesehatan
melalui kunjungan rumah, pertemuan, observasi, dan pengumpulan data.
k. Role model
Perilaku yang ditampilkan perawat dapat dijadikan panutan oleh klien
lansia dalam upaya peningkatan kesehatannya
8


Universitas Indonesia
2.3 Peran Perawat Gerontik pada Setting Acute Care
Setting perawatan akut memaparkan bahwa perawat gerontik berfokus
pada treatment (terapi fisik, patologi berbicara bahasa dan terapi okupasi) dan
asuhan keperawatan untuk masalah-masalah akut seperti trauma, kecelakaan,
permasalahan ortopedi, penyakit respiratori yang ringan, atau masalah
sirkulasi yang cukup serius. Tujuan dari asuhan keperawatan ini adalah untuk
membantu meningkatkan kualitas hidup dan mencegah komplikasi. Seorang
perawat gerontik perawatan akut merupakan perawat praktik lanjutan dengan
sertifikasi khusus dalam perawatan akut.
Perawat gerontik perawatan akut memiliki keahlian untuk merawat pasien
lansia di lingkungan kesehatan akut seperti di ruang gawat darurat, unit
perawatan intensif, pusat trauma atau daerah diagnostik canggih seperti
kateterisasi jantung. Perawat dipersiapkan untuk berbagai kesempatan kerja di
Rawat Inap akut pengaturan (ICU, CCU, Departemen Darurat) atau daerah
khusus (kardiovaskular, pernapasan, neurologi). Perawat perawatan akut juga
merupakan pusat layanan perencanaan untuk lansia pada saat pulang. Selain
itu, perawat gerontik dapat membantu dalam penjadwalan mengunjungi
perawat atau penerimaan perawatan jangka panjang. Perawat juga membantu
lansia untuk menemukan program promosi kesehatan, seperti yang akan
membantu dalam berhenti merokok, manajemen stres, penurunan berat badan,
atau berolahraga akan memungkinkan mereka untuk memasuki program ini
segera setelah pulang, sementara mereka masih termotivasi untuk
melakukannya.
Perbedaan dengan perawatan sub-akut yaitu perawat sub-akut memberikan
perawatan berkelanjutan untuk pasien yang tidak lagi memerlukan rawat inap,
namun masih perlu perawatan medis terampil di fasilitas rehabilitasi.
Rehabilitasi sub-akut dianjurkan ketika pasien tidak fungsional dapat kembali
ke rumah. Selama penyembuhan, pasien menerima rehabilitasi di fasilitas
keperawatan terampil, di mana mereka menginap sampai tujuan terapi
terpenuhi. Perbedaan mendasar antara perawatan akut dan sub-akut adalah
durasi tinggal. Durasi tinggal seorang pasien dalam setting perawatan akut
9


Universitas Indonesia
mungkin singkat dan fokusnya adalah mungkin pada tindakan pencegahan
seperti peningkatan pengawasan kegiatan pasien dan lingkungan.

2.4 Bentuk Pelayanan Keperawatan dan Kesehatan Lansia pada Acute Care
Setting
Continuum of care merujuk pada program atau institusi yang menyediakan
pelayanan antar disiplin yang komprehensif dan terkoordinasi untuk lansia
mencakup antara lain perawatan primer/preventif, akut, transisional, dan
pelayanan rehabilitasi. Setting perawatan akut merupakan bagian yang
penting dari continuum of care karena perawatan lansia dengan penyakit akut
sangat kompleks. Brocklehurst dan Allen (1987) berpendapat bahwa lansia
memerlukan perhatian khusus dikarenakan usia lanjut lebih sensitif terhadap
penyakit akut. (Miller, 2012; Wallace, 2008). Beberapa model perawatan
yang dikembangkan untuk lansia dalam setting perawatan akut yaitu (Miller,
2012):
a. Unit perawatan akut geriatri terspesialisasi (spesialized geriatric acute
care units)
Program ini disebut juga dengan unit acute care for elders (ACE). Inti
dari program ini adalah lansia memiliki kebutuhan unik dan kompleks
yang dapat dipenuhi oleh tim multidisiplin untuk mencegah
kemunduran fungsi selama hospitalisasi. Model keperawatan ini
terbukti mengurangi kemunduran fungsi sebesar 18% dan mengurangi
lamanya hospitalisasi (Baztan, Suarez-Garcia, Lopez-Arrieta,
Rodrigues-Manas, & Rodrigues-Artalejo, 2009; Zelada, Salinas, &
Baztan, 2009). Model ini berfokus pada manajemen tim interdisiplin,
keperawatan yang berfokus pada klien, discharge planning lebih awal,
lingkungan fisik yang sesuai, serta pengkajian dan intervensi pada
gangguan yang umum terjadi pada lansia (mobilitas, risiko jatuh, self-
care, integritas kulit, kontinensia, depresi, dan ansietas). Tim ACE
biasanya terdiri dari perawat gerontologis, geriatris, farmasi, psikiater
profesional, dan berbagai terapis rehabilitasi. Namun terdapat tiga
gangguan pada lansia yang sering disebabkan oleh hospitalisasi, yaitu
10


Universitas Indonesia
cedera jatuh, ulkus dekubitus, dan infeksi saluran kemih karena
pemasangan kateter. Capetuzi dan Brush (2009) mengidentifikasi
beberapa model untuk meningkatkan pelayanan lansia di rumah sakit
(Miller, 2012):
1) Hospital elder life program (HELP): fokus pada identifikasi dan
manajemen delirium pada lansia di rumah sakit
2) Unit yang menyediakan palliative care
3) Kolaborasi geriatri dan ortopedi pada klien dengan fraktur pinggul
4) Program yang mengurangi waktu operasi pada lansia
5) Tim yang khusus menangani trauma pada lansia
6) Unit konsultasi untuk lansia
b. Unit pelayanan subakut
Program ini merujuk pada kebutuhan medis yang kompleks pada
lansia di rumah sakit. Program ini menyediakan pelayanan
keperawatan dan kesehatan ahli bagi lansia yang membutuhkan
rehabilitasi komprehensif setelah mengalami penyakit atau operasi
yang berat, misalnya stroke atau operasi ortopedi. Pelayanan yang
tersedia adalah kemoterapi, terapi intravena, perawatan luka kompleks,
nutrisi enteral dan parenteral, dan manajemen respiratori kompleks
(ventilator, trakeostomi)
c. Model hospital-at-home
Model ini merupakan model multidisiplin yang menyediakan
perawatan dan pelayanan kesehatan dalam waktu tertentu. Tipe ini
mencakup tipe layanan yang menyediakan layanan discharge planning
awal. Tipe ini dapat diterapkan pada lansia dengan selulitis,
pneumonia, terapi infusi, perawatan post-operasi, CHF, dan COPD.
Penelitian menunjukkan setelah 6 bulan, persentase meninggal lebih
rendah pada pasien yang menerima perawatan di rumah (Shepperd et
al, 2009). Selain itu, tipe ini juga lebih murah, serta pasien mengalami
peningkatan ADL (Leff, 2009).


11


Universitas Indonesia
d. Model perawatan transisional
Model ini diaplikasikan pada rentang layanan yang luas dan bertujuan
untuk menyediakan koordinasi dan kontinuitas layanan kesehatan
kesehatan melalui berbagai setting layanan. Model ini dikembangkan
sebagai respon banyaknya klien yang masukkembali ke rumah sakit
tidak lama setelah pulang. Model ini terbukti menurunkan
rehospitalisasi pasien sebanyak 30%, dengan demikian juga
menurunkan biaya (Jack et al., 2009). Komponen utama model ini
adalah; (a) perawat mengadvokasi tanggung jawab utama untuk
mengoordinasi rencana pulang dan komunikasi dengan klien/keluarga
dan penyedia layanan kesehatan lain, (b) dokumen rencana perawatan
setelah hospitalisasi yang berfokus pada pasien, dan (c) follow-up oleh
farmasi 3 hari setelah pulang. Pada model ini, tersedia suatu instrumen
untuk mengidentifikasi klien lansia yang berisiko mengalami transisi
yang buruk yang dikembangkan oleh perawat, yaitu Transitional Care
Model (TCM): Hospital Discharge Screening Criteria for High Risk
Older Adults. Perawat memastikan klien/keluarga memahami
informasi tentang diagnosa akhir dan masalah yang ada, medikasi
(jadwal, tujuan dan efek, kesepakatan follow-up, masalah yang
mungkin timbul, dan semua penyedia layanan (Podrazik & Whelan,
2008).

2.5 Peran Perawat pada Nursing Home Setting
Nursing homes dikategorikan kedalam keterampilan keperawatan atau
rehabilitasi skil (jangka pendek) yang ditujukan untuk pasien pasca perawatan
di rumah sakit selama 6 bulan atau kurang, dan perawatan jangka panjang
untuk klien yang menderita penyakit kronis. Rata-rata perawat terdaftar
menyediakan 6 jam sehari perawatan langsung untuk setiap lansia nursing
home care, tetapi mereka bertanggung jawab untuk semua komponen
pelayanan perawatan (Burger et al., 2009).
Seorang pimpinan perawat dari seluruh negara bagian berinisiatif untuk
meningkatkan perawatan di fasilitas keperawatan agar menghasilkan
12


Universitas Indonesia
peningkatan dalam semua indikator kualitas berikut: jatuh, penurunan berat
badan, tekanan ulkus, dan status bed fast (Rantz et al, 2009.). Selain
perawatan langsung untuk para lansia, perawat praktek dapat memberikan
pendidikan staf, membantu pengembangan program, bertindak sebagai
konsultan dalam perencanaan dan pelaksanaan perawatan, membentuk
kelompok-kelompok pendukung untuk klien dan keluarga, dan bertindak
sebagai advokat bagi klien dan keluarga mereka. Peran perawat dalam
mempersiapkan lansia menghadapi kematian di nursing home care adalah
membantu dan memenuhi kebutuhan fisik, psikis, sosial dan spiritual. Pada
saat memenuhi kebutuhan fisik lansia, perawat membantu lansia dalam
memenuhi kebutuhan nutrisi, membantu perawatan diri lansia dan
lingkungan, membantu mobilisasi, dan membantu kebutuhan eliminasi.
Peran perawat dalam memenuhi kebutuhan psikis lansia adalah
memberikan dukungan emosional, peduli dan membantu menyelesaikan
masalah. Dalam pemenuhan kebutuhan sosial lansia, perawat mempunyai
peran untuk peduli, memberikan hiburan serta membina sosialisasi dan
komunikasi yang baik dengan orang lain. Memberi kesempatan berkumpul
bersama dengan sesama klien lanjut usia untuk menciptakan sosialisasi
mereka. Perawat harus bisa memberikan ketenangan dan kepuasan batin
dalam hubungannya dengan tuhan atau agama yang dianutnya, terutama jika
klien dalam keadaan sakit atau mendekati kematian.

2.6 Bentuk Pelayanan Keperawatan dan Kesehatan Lansia pada Nursing
Home Setting
Rumah perawatan atau fasilitas keprawatan merujuk kepada suatu institusi
yang dibuat untuk orang-orang yang butuh bantuan untuk melakukan
beberapa aktivitas sehari-hari. Rumah perawatan membutuhkan pengawasan
yang berkelanjutan oleh seorang perawat yang teregistrasi atau praktisi
perawat berlisensi. Selain perawatan medis dan pelayanan keperawatan,
rumah perawatan juga menyediakan pelayanan gigi, pelayanan kesehatan
kaki, pelayanan konsultasi pengobatan tertentu dan terapi rehabilitasi (terapi
fisik dan okupasi). Rumah perawatan menyediakan banyak pelayanan
13


Universitas Indonesia
kesehatan yang sama dengan yang disediakan di Rumah Perawatan Akut,
tetapi bagaimanapun penerima perawatan dipanggil penghuni daripada pasien
karena terdapatnya beberapa fasilitas hunian.
Rumah perawatan pada umumnya dikategorikan sebagai perawatan
singkat karena biasannya dilakukan dalam jangka waktu yang pendek. Untuk
bisa menjadi petugas di rumah perawatan, seseorang harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut: mempunyai orang yang dirawat minimal 3 hari
dengan 30 hari masa pengobatan yang berhubungan dengan ketrampilan
perawatan. Mempunyai sertifikat yang berlisensi dari profesioanal atau
pemerintah. Membutuhkan ketrampilan melakukan perawatan sehari-hari
yang tersertifikasi. Beberapa bentuk pelayanan keperawatan dan kesehatan di
rumah perawatan:
Perawatan Luka: balutan yang steril, debrimen dan irigrasi luka,
pembalutan, pengkajian terhadap drainase, pengkajian dan pengambilan
kultur luka dan memberi petunjuk kepada klien dan keluarga dalam
perawatan luka.
Perawatan Pernapasan: pengelolaan terapi oksigen, ventilasi mekanik
dan melakukan penghisapan dan perawatan trakeotomi.
Tanda Vital: memantau tekanan darah, status kardiopulmonal, dan
memberi instruksi kepada klien dan keluarga dalam pengukuran denyut
bila diperlukan..
Eliminasi: pengkajian dan pengajaran, pemasangan kateter urine,
irigrasi, observasi adanya infeksi, dan memberi petunjuk kepada
keluarga tentang katerisasi intermiten juga dilaksanakan.
Nutrisi: pengkajian status nutrisi dan hidrasi, petunjuk diet yang
dianjurkan, pemberian makanan melalui selang dan memberi petunjuk
kepada keluarga tentang pemberian makanan melalui selang.
Rehabilitasi: memberi petunjuk kepada klien dan keluarga tentang cara
menggunakan alat bantu, latihan rentang gerak, ambulasi, dan teknik-
teknik pemindahan klien.
14


Universitas Indonesia
Pengobatan: memberi petunjuk kepada klien dan keluarga tentang cara
kerja, pemebrian dan efek samping obat-obatan, memantau pelaksanaan
dan keefektifan obat-obatan yang diberikan.
Terapi Intravena: pengkajian dan penatalaksanaan dehidrasi, pemberian
antibiotik, nutrisi parenteral, transfuse darah, dan agen analgesik dan
kemoterapik.
Studi Hasil Laboratorium Tertentu: melakukan studi tentang gambaran
pemeriksaan darah dari hasil laboratorium yang berhubungan dengan
proses penyakit atau pengobatan.
Beberapa diagnosis yang terkait dengan rumah perawatan adalah stroke,
patah tulang rusuk, gagal jantung kongestif, dan pemulihan paska penyakit
akut seperti pneumonia, infark miokardium. Harapanya setelah seseorang
dirawat di rumah perawatan seseorang tersebut akan mencapai peningkatan
ke level yang lebih tinggi pada fungsi organ yang terkait penyakit dan
menunjukan pemulihan dari episode akut.

2.7 Peran Perawat pada Newers Model of Nursing Home Care
Peran perawat pada Newers Model of Nursing Home care (Eliopoulous,
2005) adalah:
a. Memenuhi kenyamanan lansia
b. Mempertahankan fungsi tubuh
c. Membantu lansia menghadapi kematian dengan tenang dan damai melalui
ilmu dan teknik keperawatan gerontik
d. Peran sebagai advokat, perawat harus dapat melindungi dan memfasilitasi
keluarga dalam pelayanan keperawatan.
e. Peran perawat juga sebagai konselor, fokus membantu perkembangan
sikap baru klien, perasaan klien, dan juga kebiasaan dimana tetap
mempromosikan pertumbuhan yang intelek
f. Peran perawat sebagai edukator, mengajarkan dan meningkatkan
perawatan mandiri dan kebebasan optimal.
g. Membimbing orang pada segala usia untuk mencapai masa tua yang sehat
h. menghilangkan perasaan takut tua
15


Universitas Indonesia
i. Memantau dan mendorong kualitas pelayanan
j. Memerhatikan serta mengurangi resiko terhadap kesehatan dan
kesejahteraan
k. Mendidik dan mendorong pemberi pelayanan kesehatan
l. Mendengarkan serta memberikan dukungan, semangat dan harapan
m. Menghasilkan, mendukung, menggunakan, dan berpartisipasi dalam
penelitian
n. Melakukan perawatan restoratif dan rehabilitative
o. Mengoordinasi dan mengatur perawatan
p. Mengkaji, merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi perawatan
individu dan perawatan secara menyeluruh
q. Memberikan pelayanan sesuai dengan kebutuhan
r. Membangun masa depan perawat gerontik untuk menjadi ahli di
bidangnya
s. Saling memahami keunikan aspek fisik, emosi, sosial, dan spiritual
t. Mengenal dan mendukung manajemen etika yang sesuai dengan tempat
u. Memberikan dukungan dan kenyamanan dalam menghadapi proses
kematian
Asuhan keperawatan gerontik yang berfokus pada peningkatan angka
harapan hidup dan kepuasan hidup lansia masih tergolong baru di Indonesia
dan tidak seoptimal penerapannya di negara-negara lain. Barier budaya, nilai
dan kepercayaan masih memegang peranan penting sebagai penghambat
berkembangnya aktivitas lansia dalam menikmati dan memperbaiki kualitas
hidup di hari tuanya. Selain itu, persentase lansia yang menderita penyakit
sedang hingga berat masih menjadi fokus utama pelayanan kesehatan di
Indonesia sehingga intervensi untuk meningkatkan self quality time sulit
untuk diterapkan. Karena itu, perawat Indonesia diharapkan mampu
membangun paradigma dimana fokus utama pelayanan kesehatan untuk
lansia tidak lagi pada pengobatan atau kuratif, tetapi pada kegiatan promotif
dan preventif untuk mencapai kepuasan hidup lansia selayaknya di negara-
negara maju dengan berbagai sumber dan akses pelayanan yang reliable dan
accessible.
16


Universitas Indonesia
2.8 Bentuk Pelayanan Keperawatan dan Kesehatan Lansia pada Newers
Model of Nursing Home Care
a. Pioneer Network jaringan pelopor
Pioneer network pada perawatan jangka panjang, dianggap sebagai
organisasi payung dari perubahan budaya gerakan telah berkembang
sejak tahun 1997 dari pertemuan tengara perintis di seluruh Amerika
Serikat dengan tujuan mengubah filosofi perawatan di panti wreda
(White-Chou et al., 2009). Dua model yang paling banyak diterapkan
perawatan yang merupakan bagian dari Pioneer Jaringan adalah Eden
Alternatif dan Green House Project.
1) Eden Alternatif
Eden Alternatif adalah model dikembangkan pada pertengahan-
1990 oleh William Thomas, MD, dengan maksud untuk
menciptakan lingkungan sekelompok kecil warga untuk
mencegah atau menangani kebosanan, kesepian, tidak berdaya,
dan kurangnya makna yang umum di panti werda tradisional.
Komponen penting adalah pengenalan sistematis hewan
peliharaan, tanaman, dan anak-anak untuk membuat pengaturan
seperti rumah dan meningkatkan kualitas hidup penduduk.
Selain itu, Eden Alternatif menggabungkan strategi untuk
terlibat dan memberdayakan staf dalam membawa tentang
perubahan lingkungan. Panti wreda yang mengadopsi model
komprehensif ini dan berjanji untuk mematuhi prinsip Eden
yang tercantum dalam Eden Registry. Hasil dari model ini yang
telah diidentifikasi dalam studi meliputi retensi peningkatkan
staf, meningkatkan kepuasan staf dan penduduk, dan
pengurangan jumlah obat-obatan dan infeksi.
2) The Green House Project
The Green House Project, digambarkan sebagai panti werda
sederhana, juga telah dipromosikan oleh William Thomas, MD,
yang merupakan pendiri Eden Alternatif dan pemimpin utama
dalam Pioneer Network. Proyek pertama kali dibuka pada
17


Universitas Indonesia
tahun 2003 dan terdiri dari empat Rumah Hijau yang
beroperasi secara mandiri di bawah lisensi dari sebuah panti
wreda mensponsori di Tupelo, Missouri. Biasanya dalam green
house terdapat 7 sampai 12 warga di sebuah rumah yang
menyatu dengan rumah-rumah tetangga. Rumah panti wreda ini
memberikan berbagai layanan berlisensi dan bersertifikat untuk
orang tua dengan tingkat kecacatan yang tinggi, termasuk yang
berhubungan dengan demensia, dalam pengaturan rumah
tangga biasa. Pendekatan Green House menekankan hubungan
dan makna keputusan dalam intervensi untuk gangguan
perilaku terkait demensia. Sebuah penelitian dalam 2 tahun
pertama dari model ini menemukan bahwa warga mengalami
hasil yang lebih baik pada dimensi kualitas hidup dan tidak ada
penurunan dalam hasil kesehatan karena pada model mencakup
seluruh aspek seperti; biologis, psikososial, sosial, spiritual
yang dibutuhkan oleh lansia (Kane & Cutler, 2008).

2.9 Peran Perawat pada Community-based Services pada Lansia
Secara umum, peran perawat gerontik terdiri dari healers, visionary,
clinician, pendidik, advokat, ahli anggaran dan spesialis hal yang berkenaan
dengan peraturan (Tyson, 1999). Perawat gerontik sebagai healers atau
penyembuh, menggunakan hands-on care, sentuhan terapeutik dan holistik
untuk memperbaiki keseimbangan fisik, emosi, sosial, kultural dan spiritual
dalam melakukan asuhan keperawatannya. Di komunitas, perawat juga
menjadi penyedia layanan kesehatan keperawatan untuk koleaga yang juga
bekerja di komunitas. Perawat gerontik sebagai visionaries membutuhkan
kemampuan untuk membuat pendekatan-pendekatan dan tren dalam bidang
kesehatan kekinian pada lansia.
Perawat gerontik sebagai clinician, harus mampu menjadi ahli dalam
pengetahuan klinis yang berkaitan dengan keterampilan yang dibutuhkan oleh
lansia. Sedangkan sebagai pendidik, peran perawat gerontik mengambil peran
pendidik informal dalam pengajaran kesehatan pasien dan keluarga. Perawat
18


Universitas Indonesia
juga merupakan sumber informasi terdepan yang selalu berkontak dengan
klien dan keluarga. Perawat juga mengedukasi lansia dalam mencapai
promosi kesehatan dan mencapai kehidupan yang lebih berkualitas di masa
akhir hidupnya. Harus diperhatikan oleh perawat ketika memberikan edukasi
bagi klien lansia adalah bahwa hal tersebut bersifat tidak sama dengan
edukasi kesehatan pada umumnya. Dengan kemungkinan lansia yang sudah
demensia, perawat edukator harus intensif dan memastikan bahwa lansia
memahami apa yang diajarkan oleh perawat.
Perawat sebagai pendidik pada seting komunitas memiliki peranan utama
dalam mengedukasi kolega dalam pendekatan kesehatan medis lansia, seperti
misalnya para pekerja sosial yang minim informasi mengenai keadaan dan
kesehatan klien lansia. Perawat gerontik sebagai advokator mempunyai peran
untuk membantu dan mendampingi lansia dalam proses pengambilan
keputusan berkaitan dengan perawatan kesehatan mereka.
Karakteristik yang terutama dalam peran perawat dalam seting komunitas
adalah perawat umumnya bekerja dengan tim kolega multidisiplin (Miller,
2012), termasuk di dalamnya tenaga pelayanan kesehatan utama, psikiatri,
pekerja sosial, penerapi fisik, dan berbagai macam pemberi pelayanan
kesehatan yang pada intinya adalah memenuhi kebutuhan dasar manusia pada
klien lansia. Dalam seting komunitas, perawat pun berperan sebagai
konsultan dalam memberikan pelayanan keperawatan. Konsultan berkaitan
erat dengan keluarga lansia dalam mengambil berbagai keputusan dalam
asuhan keperawatan.

2.10 Bentuk Pelayanan Keperawatan dan Kesehatan Berbasis Komunitas
bagi Lanjut Usia
Keperawatan berbasis komunitas berbeda dengan keperawatan
kesehatan komunitas. Keperawatan kesehatan komunitas secara langsung
memberikan pelayanan keperawatan kepada individu, keluarga, dan
kesehatan. Keperawatan berbasis komunitas merupakan pelayanan yang
tidak hanya sekedar dimana tempat pemberian pelayanan yang diberikan,
tetapi bagaimana perawat mampu berkolaborasi dengan masyarakat dalam
19


Universitas Indonesia
meningkatkan status kesehatan. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pemberian pelayanan keperawatan komunitas adalah genetik, jenis
kelamin, hubungan sosial, keadaan ekonomi, lingkungan tempat tinggal,
lingkungan pekerjaan, budaya, akses ke pelayanan atau fasilitias
kesehatan, dan gaya hidup (Chilton, et al, 2004).
a. Senior Centers
Senior Centers dikembangkan pada tahun 1940 untuk menyediakan
aktivitas sosial dan rekreasi. Pelayanan yang diberikan berupa
rekreasi, edukasi, konseling, terapi, nutrisi, dan skrining kesehatan.
Perawat mendapatkan kesempatan untuk memberikan pelayanan
kepada lansia yang ingin hidup mandiri (Stanhope & Lancaster,
2014).
b. Adult Day Centers
Adult day centers pertama kali dikembangkan pada tahun 1970.
Adult day centers menyediakan pelayanan yang berupa aktivitas
sosial dan rekreasi pada lansia mengalami gangguan fungsional
dalam setting kelompok. Pelayanan ini diberikan kepada klien yang
fisik dan mentalnya membutuhkan perawatan. Adult day centers juga
memberikan makanan, pelayanan transportasi, terapi pengobatan,
perawatan asistif, dan pelayanan atau terapi lainnya. Pelayanan ini
berlangsung pada week days selama 8 jam dalam sehari, 5 jam untuk
program formal dan 5 jam untuk interaksi sosial. Tujuan dari
pelayanan ini untuk meningkatkan kemampuan fungsional lansia,
mencegah terjadinya penyakit yang akan membawa klien untuk
menjalani pengobatan di rumah sakit, memberikan pelayanan
keperawatan kepada lansia yang memiliki tingkat ketergantungan
tinggi, dan meningkatkan kualitas hidup lansia yang memiliki
gangguan pada kondisi kesehatannya (Miller, 2012).
c. Respite care
Respite care merupakan pelayanan yang tujuan utamanya yaitu
untuk membantu para tenaga kesehatan secara bertahap dari stres
yang dirasakan selama menjalankan tanggung jawab sebagai petugas
20


Universitas Indonesia
kesehatan. Istilah pelayanan ini pada akhir tahun 1970 digunakan
karena ditemukan bahwa para tenaga kesehatan atau pemberi
pelayanan kesehatan memiliki risiko isolasi sosial, depresi, distress
psikologis, dan masalah lain yang terkait dengan beban dalam
pemberian pelayanan kesehatan dan keperawatan. Pelayanan yang
diberikan berupa adults day centers dan perawatan di rumah jangka
pendek (Miller, 2012).
d. Promosi Kesehatan
Lansia membutuhkan skrining kesehatan untuk pencegahan primer,
sekunder, dan tersier sama seperti klien pada usia lainnya.
Pencegahan primer untuk mencegah munculnya penyakit pada klien
lansia seperti mengidentifikasi keamaan rumah untuk mengetahui
risiko jatuh dengan falls morse scale. Contoh pencegahan sekunder
yaitu skrining hipertensi Pencegahan tersier seperti memberikan
terapi atau latihan pada klien yang memiliki penyakit jantung atau
mengecek keamanan rumah klien untuk menghindari bahaya yang
menyebabkan klien lansia jatuh (Hunt, 2009).
e. Pusat Pelayanan Terpadu (Posyandu)
Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) atau Pos Pembinaan Terpadu
(Posbindu) Lanjut Usia adalah suatu wadah pelayanan kepada lanjut
usia di masyarakat yang proses pembentukan dan pelaksanaannya
dilakukan oleh masyarakat bersama lembaga swadaya masyarakat
(LSM), lintas sektor pemerintah dan non-pemerintah, swasta,
organisasi sosial dan lain-lain dengan fokus utama pelayanan
kesehatan pada upaya promotif dan preventif. Latar belakang
terbentuknya Posyandu terkait dengan perkiraan peningkatan jumlah
lansia pada tahun 2020 yaitu sebanyak 28,8 juta jiwa. Posyandu
Lansia juga dapat menyediakan pelayanan sosial, agama,
pendidikan, ketrampilan, olah raga dan seni budaya serta pelayanan
lain yang dibutuhkan para lanjut usia dalam rangka meningkatkan
kualitas hidup melalui peningkatan kesehatan dan kesejahteraan
mereka. Selain itu, para lansia dapat beraktifitas dan
21


Universitas Indonesia
mengembangkan potensi diri (Komnas Lansia, 2010). Kegiatan-
kegiatan yang dilakukan pada posyandu lansia:
Pengukuran IMT, tinggi badan dan berat badan yang
dilaksanakans setiap sebulan sekali.
Pemeriksaan tekanan darah minimal sebulan sekali. Bagi
penderita hipertensi dianjurkan setiap minggu.
Pemeriksaan kadar Hb, gula darah, dan kolesterol pada lansia
yang sehat dilakukan setiap 6 bulan dan bagi lansia yang
mempunyai faktor risiko DM, obesitas pemeriksaan dilakukan
3 bulan sekali.
Kegiatan konseling dan penyuluhan gizi setiap bulan.
Konseling usaha ekonomi produktif dilakukan sesuai
kebutuhan.
Kegiatan aktivitas fisik minimal seminggu.

2.11 Peran Perawat dalam Pelayanan Home Care
Keinginan masyarakat untuk dirawat di lingkungan familiar
dengan keluarga mereka, versus institusi, memicu kebutuhan lebih akan
adanya agen atau lembaga home care. Menurut Rice (2006) peran perawat
yang dibutuhkan terutama dalam penyelenggaraan pelayanan keperawatan
di rumah adalah peran sebagai edukator, advokat, manajer kasus, dan
spiritual-aesthetic communer:
a. Edukator
Komunikasi antara perawat dengan klien sangat terbatas,
terutama apabila jenis home care yang diberikan tidak
membutuhkan kehadiran perawat secara terus-menerus
(kunjungan terjadwal). Maka dari itu sangat penting bagi
perawat mengajarkan klien untuk menjaga kesehatannya di
rumah. Proses ini termasuk membuat pasien mendapatkan
informasi dan membantu pasien melakukan kegiatan yang
cocok untuk mereka. Contohnya mengajar orang tua dan
pengasuh tentang aktivitas perawatan diri.
22


Universitas Indonesia
b. Advokat
Pada perawatan di rumah khususnya, advokasi dalam praktik
keperawatan membutuhkan rasa menghargai terhadap budaya
sosial yang dianut keluarga dan lingkungan rumah sehingga
tercerminlah standar profesional dan etika praktik keperawatan.
Fungsi advokasi perawat adalah sebagai penghubung antar
klien dengan tim kesehatan lain dalam upaya pemenuhan
kebutuhan klien, membela kepentingan klien dan membantu
klien memahami semua informasi dan upaya kesehatan yang
diberikan oleh tim kesehatan dengan pendekatan tradisional
maupun professional.
c. Manajer Kasus
Manajemen kasus adalah suatu proses yang sistematis di mana
perawat mengkaji kebutuhan, merencanakan dan
mengkoordinasikan pelayanan pada penyedia kesehatan lain,
dan memantau dan mengevaluasi kemajuan pelayanan untuk
memastikan bahwa berbagai kebutuhan klien terpenuhi dengan
cara yang efektif (Allender, Rector, & Warner, 2014). Pada
proses pelaksanaan manajemen kasus, langkah yang dilakukan:
1) Seleksi kasus dan kontrak terkait masalah kesehatan
lansia. Kasus prioritas antara lain lansia dengan masalah
(penyakit degeneratif, penyakit kronis, gangguan fungsi
atau perkembangan organ), lansia risiko tinggi, lansia
terlantar, dan lansia pasca perawatan di rumah sakit.
2) Melakukan pengkajian kebutuhan pelayanan & potensi
lansia/keluarga mencakup kondisi fisik, kondisi
psikologis dan kognitif lansia, status sosial ekonomi
keluarga, pola perilaku dan ADL lansia, kemampuan
keluarga, sistem pendukung, keselamatan dan
keamanan rumah/lingkungan, serta sumber-sumber
yang tersedia di keluarga maupun di masyarakat.
23


Universitas Indonesia
3) Perawat membuat perencanaan penyediaan pelayanan
bersama lansia, keluarga, dan anggota tim home care
lainnya terkait dengan pembiayaan, sumber daya sesuai
dengan kebutuhan lansia, dan rencana kunjungan.
4) Perawat berkoordinasi dengan tim kesehatan yang akan
terlibat dalam pelayanan perawatan di rumah.
5) Perawat melakukan pemantauan terhadap tindakan yang
dilakukan oleh tim, hasil dan perubahan status medis,
kemampuan fungsional, kebutuhan pendidikan
kesehatan lansia dan keluarga serta mengevaluasi
seluruh proses manajemen kasus.
d. Spiritual-aesthetic communer
Keyakinan, harapan, dan cinta memberikan perawatan spiritual
akan sangat memelihara kesejahteraan pasien dan keluarga
(caregiver). Kedekatan secara spiritual ini membuat perawat
dan pasien memiliki pemahaman dan kesadaran diri yang lebih
baik (Rice, 2006). Hal memberikan pasien wawasan baru
tentang bagaimana mereka akan merawat diri sendiri (bahkan
dalam hal bagaimana mereka akan mengalami kematian
mereka). Peran ini sangat dibutuhkan oleh pasien terutama
lansia karena mereka lebih berorientasi pada hal yang
berhubungan dengan rohani/ spiritual dibandingkan tahapan
perkembangan lainnya. Intervensi asuhan keperawatan spiritual
pada pasien lansia yaitu memberi motivasi, memberi semangat,
mengarahkan, menganjurkan berdoa dan mendoakan,
pendampingan, menerima keluhan, menghibur dan lain-lain.
e. Pelaksana /Pemberi Asuhan
Memberikan pelayanan langsung dan melakukan supervisi
pelayanan yang diberikan oleh anggota keluarga atau pelaku
rawat (care giver). Contoh layanan yang dapat diberikan di
bawah arahan dari perawat berlisensi atau terapis mencakup
24


Universitas Indonesia
bantuan dengan mandi, perubahan linen, gerakan latihan, dan
bantuan dengan transfer dan ambulasi (Depkes, 2006).
f. Kolaborator
Mengkoordinir pelayanan yang diterima oleh keluarga dan
mengkolaborasikan dengan keluarga dalam merencanakan
pelayanan (Depkes, 2006).
g. Konselor
Membantu pasien dan keluarga dalam menyelesaikan masalah
dan mengembangkan koping yang konstruktif (Depkes, 2006).
h. Penata lingkungan rumah
Melakukan modifikasi lingkungan bersama pasien dan keluarga
dan tim kesehatan lain untuk menunjang lingkungan sehat
(Depkes, 2006).
i. Peneliti
Mengidentifikasi masalah praktik dan mencari jawaban melalui
pendekatan ilmiah (Depkes, 2006).
Peran-peran perawat diatas memastikan lansia yang dirawat di
rumah mendapatkan pelayanan yang menyeluruh. Hal tersebut tentu saja
disesuaikan dengan kondisi kesehatan, kebutuhan dan jenis home care
yang direncanakan untuk pasien lansia. Sebab inti dari home care service
adalah agar pasien bisa mendapatkan pelayanan kesehatan di lingkungan
yang familia. Jika perawat menjalankan perannya dengan baik, status
kesehatan pasien diharapkan dapat meningkat.

2.12 Bentuk Pelayanan Keperawatan dan Kesehatan Lanjut Usia pada
Setting HomeCare Service
Pelayanan yang dapat diberikan dengan metode home care, yaitu:
edukasi, pencegahan penyakit, diagnosis dan perawatan, penyembuhan,
dan rehabilitasi. Selain dalam bidang keperawatan, home care juga
mencakup bidang lainnya, seperti physical therapy, occupational therapy,
speech-language pathology, dan bantuan untuk pelayanan personal. Klien
yang dikategorikan menerima perawatan home care, yaitu: klien yang
25


Universitas Indonesia
tidak bisa meninggalkan rumah tetapi mampu merawat diri sendiri di
beberapa tingkat kemandirian atau klien yang tidak bisa meninggalkan
rumah dan juga bergantung pada banyak area fungsional. Terdapat dua
tipe home care yang dapat dipilih oleh para lansia sesuai dengan
kebutuhan masing-masing (Miller, 2012):
a. Skilled Home Care
Tipe ini menekankan setelah diberikan perawatan pada
penyakit atau lukanya, pasien diharapkan cukup mandiri untuk
merawat dirinya sendiri. Dalam penerapannya, skilled home
care berfokus pada edukasi pasien beserta pemberi
perawatannya untuk bersama-sama melakukan aktivitas
perawatan mandiri. Layanan ini hanya diberikan oleh klien
yang membutuhkan perawatan karena ketidakmampuannya
untuk meninggalkan rumah untuk menjalani perawatan namun
hanya membutuhkannya dalam jangka waktu pendek. Biasanya
layanan ini dapat dipesan melalui jasa Medicare atau asuransi.
Perawatan yang biasanya diberikan oleh Ners berupa
manajemen medikasi, infus, dan perawatan jiwa. Sedangkan
bantuan yang dapat diberikan oleh perawat D3 atau terapis
seperti bantuan untuk mandi, penggantian linen, latihan
pergerakan sendi, dan bantuan untuk transfer dan ambulasi.
b. Long-Term Home Care
Pencapaian yang ditekankan pada tipe ini adalah untuk
mempertahankan fungsi tubuh dan kesehatan secara maksimal,
serta dapat mengatasi penyakit atau ketidakmampuan klien.
Sedangkan penggunanya biasanya adalah mereka yang tidak
memenuhi kategori Mediacare. Perawatan dapat berlangsung
dalam 24 jam per hari dan dapat dilakukan oleh perawat Ners
dan perawat D3. Perawat Ners berperan sebagai perawat yang
melakukan pengkajian dan mengawasi pemberian perawatan,
sedangkan perawat D3 biasanya membantu Ners dalam
memberikan perawatan.
26


Universitas Indonesia
Wallace (2008) memaparkan gambaran secara umum bagaimana
proses pelayanan home care, dimulai dari pengkajian hingga pembuatan
rencana perawatan sesuai dengan kebutuhan klien. Home care dimulai
dengan pengkajian yang dilakukan pada kunjungan awal dan akan terus
dilakukan pada setiap kunjungan. Pengkajian awal dilakukan dengan
mengkaji aset, dukungan sosial, lingkungan, dan sumber daya komunitas
yang tersedia. Pengkajian formal lansia yang diterima oleh Medicare
disebut Outcome and Assessment Information Set (OASIS), sedangkan
hasil dari pengkajiannya disebut Outcome-based Quality Improvement
(OBQI). OASIS meliputi sosiodemografi, lingkungan, sistem pendukung,
status kesehatan, dan status fungsional.
Setelah pengkajian, rencana perawatan dikembangkan untuk
membantu klien untuk mencapai tujuan dari perawatan. Perawat
diharapkan dapat menggunakan berbagai sumber yang ditemukan untuk
merawat klien. Komunitas di sekeliling klien dapat sangat berguna bagi
peningkatan status kesehatan klien. Oleh karena itu, perawat sebaiknya
mengidentifikasi komunitas yang dapat mendukung perawatan klien.
Pelayanan komunitas yang umumnya membantu diantaranya senior center
programs, senior housing, adult day care services, dan alternative
community-based living facilities.

2.13 Demografi Lanjut Usia di Indonesia dan Kota Depok
2.13.1 Demografi lanjut usia di Indonesia
Demografi dan tingkah laku sosial dipengaruhi oleh
karakteristik penduduk. Karakteristik penduduk yang paling
penting adalah struktur umur dan jenis kelamin. Struktur umur
dilihat dalam umur satu tahunan atau disebut umur tunggal (single
age) dan yang dikelompokkan dalam lima tahunan (Statistik
indonesia, 2013). Menurut UU nomor 13 tahun 1998 dalam Bab 1
Pasal 1 Ayat 2, lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60
tahun keatas. Sedangkan menurut WHO lanjut usia adalah
seseorang yang mencapai usia 60-74 tahun, lanjut usia tua 75-95
27


Universitas Indonesia
tahun, usia sangat tua diatas 90 tahun (Efendi dan Makhfudli,
2009).
Pengelompokan penduduk menurut umur digunakan untuk
mengetahui struktur penduduk di suatu wilayah termasuk
berstruktur umur muda atau tua. Suatu wilayah dikatakan
berstruktur tua apabila usia 65 tahun keatas diatas 10 persen dari
total penduduk. Sebaliknya dikatakan penduduk muda jika usia
dibawah 15 tahun mencapai sebesar 40 persen atau lebih dari
jumlah penduduk (Statistics Indonesia, 2013).
Perkembangan penduduk lanjut usia di Indonesia
mengalami kenaikan dari tahun 1980-2010 (lihat table 1.1), artinya
karakteristik wilayah Indonesia diproyeksikan akan berstruktur tua.
Kenaikan ini dapat disebabkan oleh peningkatan mutu pelayanan
kesehatan, penurunan angka kematian bayi, dan peningkatan
pengendalian penyakit infeksi. Data statistik penduduk lansia dapat
dikelompoknya berdasarkan banyak hal, berikut ini data demografi
lansia menurut Badan Pusat Statistik, 2010:
Tabel 2.1 Data demografi lansia

Sumber: BPS, 2010

Jika dilihat dari jenis kelamin, tipe daerah dan kelompok umur,
perkembangannya seperti pada tabel berikut ini:





28


Universitas Indonesia
Tabel 2.2 Persentase penduduk menurut tipe daerah, jenis kelamin,
dan kelompok umur
Sumber: BPS, 2009

Penyebaran lansia tertinggi adalah di daerah perdesaan, hal ini
menyebabkan banyak lansia yang masih kurang mendapatkan
pelayanan dari pemerintah khususnya pelayanan kesehatan. Gangguan
kesehatan yang banyak dialami adalah sebagai berikut:
Tabel 2.3 Gangguan kesehatan lansia
Sumber: Riskesdas, 2007
Data diatas menunjukan banyak lansia yang mengalami penyakit-
penyakit yang memerlukan perhatian khusus dan perawatan yang rutin.
Hal tersebut seharusnya diperhatikan oleh pemerintah dengan
29


Universitas Indonesia
meningkatkan pelayanan kesehatan bagi lansia di desa (dengan
peningkatan layananan posbindu).
Jika dilihat dari ketergantungan lansia, proporsi lansia yang bekerja
sebagian pada kelompok lansia muda (60-69 tahun) yaitu 53,36 persen
pada kelompok usia tersebut. Proporsinya semakin rendah pada
kelompok umur yang lebih tinggi, yaitu pada lansia tengah (70-79
tahun) sebesar 36,32 persen dan pada lansia tua (80 tahun keatas)
sebesar 19,72 persen. Sebagian lansia yang sudah tidak bekerja
biasanya karena telah memasuki masa pensiun atau karena tidak
mampu lagi bekerja. Hal tersebut dapat menimbulkan masalah
ketergantungan.
Dari data cenderung menunjukkan bahwa semakin lansia
memasuki lansia tua lansia tersebut tidak lagi mampu mendapatkan
penghasilan sendiri sehingga lansia tersebut menjadi tanggungjawab
usia yang masih produktif. Jadi jika meningkatnya jumlah usia lansia
maka meningkat juga tanggungan yang harus ditanggung penduduk
usia produktif maupun yang ditanggung oleh negara.
Tabel 2.4 Persentase penduduk lansia yang bekerja

Sumber: BPS, 2009
Berdasarkan data statistik BPS tahun 2009, lapangan pekerjaan
dibagi menjadi beberapa. Pada sektor perdagangan, perhotelan, rumah
makan, dan industri pengolahan lebih banyak menyerap tenaga lansia
perempuan. Sedangkan pada sektor pertanian dan jasa lebih banyak
menyerap tenaga laki-laki.
30


Universitas Indonesia
Jika dilihat dari status perkawinan lansia dan perananya dalam
keluarga, jumlah penduduk lansia terinterpretasi dalam diagram
berikut:
Diagram 2.1 Persentase penduduk lansia menurut status
perkawinan

Sumber: BPS, 2007
Dari diagram diatas dapat diperoleh data penduduk lansia
perempuan yang berstatus cerai kawin lebih banyak dari lansia laki-
laki. Hal ini dapat disebabkan oleh harapan hidup perempuan yang
lebih tinggi dari laki-laki. Sehingga kebanyakan lansia perempuan
hidup sendiri karena suaminya sudah meninggal lebih dulu. Jika kita
melihat data mengenai status perkawinan lansia yang masih dalam
status pernikahan, dapat kita lihat dimana grafik menunjukkan bahwa
lansia laki-laki yang berstatus menikah lebih banyak dibandingkan
dengan lansia perempuan, hal ini dapat disebabkan oleh kebiasaan
masyarakat pada umumnya, dimana kaum perempuan terbiasa
melakukan hal-hal sendiri seperti merawat rumah maupun merawat
diri sendiri sedangkan kaum laki-laki terbiasa dengan dilayani dalam
hal merawat diri. Sehingga laki-laki cenderung akan menikah lagi
setelah ditinggal istrinya meninggal.
31


Universitas Indonesia
Lansia di Indonesia masih banyak yang berperan sebagai kepala
rumah tangga yang memimpin rumah tangganya dan bertanggung
jawab baik dari segi ekonomis maupun psikologis. Pada tahun 2010,
lebih dari separuh (57,70 persen) penduduk lansia di Indonesia
berperan sebagai kepala rumah tangga. Sisanya adalah mereka yang
berperan sebagai anggota rumah tangga (42,30 persen).
Jumlah penduduk lansia berdasarkan pendidikan dapat dilihat pada
tabel berikut :
Tabel 2.5 Persentase penduduk lansia menurut pendidikan tertinggi








Sumber: BPS, 2009
Tabel di atas menunjukkan presentase pendidikan lansia dari tahun
2005 hingga tahun 2009. ditahun 2009 terjadi peningkatan lansia yang
mengenyam pendidikan. Hal ini terjadi dengan adanya program
pendidikan lansia yang dilakukan oleh pemeritah yang telah diatur
dalam peraturan pemerintah republic Indonesia nomor 43 tahun 2004
tentang pelaksanaan upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut
usia). Dengan adanya program pendidikan ini membuat penurunan
angka lansia yang mengalami buta huruf dan dapat menaikan angka
lansia produktif.
Presentase angka buta huruf penduduk lansia di Indonesia
menunjukan dari keseluruhan penduduk lansia sebesar 32,58 persen
diantaranya masih buta huruf. Keterbatasan berbagai fasilitas dalam
bidang pendidikan di masa lalu menjadi salah satu faktor penyebab
masih adanya lansia yang buta huruf. Hal ini lebih banyak dirasakan
32


Universitas Indonesia
oleh penduduk lansia yang berada di daerah pedesaan yaitu 40,84
persen. Lansia yang masih buta huruf di daerah perkotaan yaitu 21,45
persen. Sementara itu, penduduk lansia yang dapat membaca dan
menulis huruf latin sebesar 64,61 persen dan huruf lainnya sebesar
2,81 persen. Bila dilihat dari jenis kelamin presentase penduduk lansia
perempuan yang buta huruf (41,73 persen) dua kali lipat lebih tinggi
dibandingkan dengan penduduk lansia laki-laki (21,82 persen).
Penduduk lansia di Indonesia juga mengalami beberapa kesulitan
dalam melakukan kegiatan dasar kehidupuan. Jumlah penduduk lansia
berdasarkan jenis kesulitan yang dialami dijelaskan dalam tabel berikut
ini.
Tabel 2.6 Jumlah penduduk lansia menurut jenis kesulitan








Data-data statistik diatas menunjukan populasi lansia di Indonesia
pada tahun 2010 sebanyak 7,58 persen diproyeksikan akan terus
bertambah seiring berjalannya waktu. Hal ini merupakan tantangan
bagi kita semua untuk mulai memprioritaskan lansia. Perawat gerontik
akan semakin dibutuhkan hingga bertahun-tahun kedepan. Oleh karena
itu peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan yang
holistik pada lansia harus terealisasi dalam lingkup pelayanan
kesehatan yang ada sehingga sistem pelayanan dan keperawatan
gerontik di Indonesia harus ditingkatkan ke arah yang lebih baik.



33


Universitas Indonesia
2.13.2 Demografi lanjut usia di kota Depok
Menurut data BPS (2009) provinsi Jawa Barat termasuk 11
provinsi di Indonesia dengan kategori wilayah berstruktur tua
karena populasi lansia mencapai lebih dari 7% dari populasi
penduduknya. Sedangkan jumlah penduduk lansia di kota Depok
pada tahun 2010 mencapai 129 ribu jiwa atau 8,6% dari 1.610.000
jiwa (Depok.go.id).
Tabel 2.7 Jumlah penduduk kota Depok

Sumber: Kota Depok Dalam Angka Tahun, 2008
Tingkat pendidikan lanjut usia berdasarkan hasil penelitian Balah
Peneliti Kesehatan 1998/1999, jumlah responden di depok terdapat
105 orang. Limapuluh sembilan responden dipilih dari Kecamatan
Sukmajaya, 22 dari Kecamatan Pancoran Mas dan 24 dari Kecamatan
Beji.
Berdasarkan status pekerjaan, dari keseluruhan lansia yang bekerja,
sebagian besar lansia bekerja dengan status berusaha dibantu buruh
(33,86%). Lansia yang berusaha sendiri presentasenya sebesar 30,41%,
lansia yang bekerja dengan tidak dibayar sebesar 14,62%, dan sebagai
pekerja bebas sebesar 13,04%.


34


Universitas Indonesia
Tabel 2.9 Penduduk lansia menurut pendidikan








Sumber: Kota Depok Dalam Angka Tahun, 2008
Berdasarkan sumber penghasilan, tampak sangat sedikit lanjut usia
di Depok yang mempunyai sumber penghasilan utama atau tambahan
dari gaji atau dana pensiun. Mereka masih harus bekerja untuk
memenuhi kebutuhannya. Keadaan demikian dapat diartikan bahwa
lanjut usia di Depok bekerja bukan karena keharusan untuk memenuhi
kebutuhannya.
Gejala Psikologis menurut hasil penelitian Balai Peneliti Kesehatan
1998/1999, tampak lanjut usia di Depok mempunyai gejala malu dan
terharu yang merupakan tanda dari kecemasan lebih tinggi. Secara
umum tidak terdapat perbedaan bermakna pada lanjut usia di Depok.
Tabel 2.11 Gejala pada lansia

Sumber: Kota Depok Dalam Angka Tahun, 2008
35


Universitas Indonesia
Berdasarkan status kesehatan, faktor yang juga mempengaruhi
kondisi fisik dan daya tahan tubuh lansia adalah pola hidup yang
dijalaninya sejak usia balita. Pola hidup yang kurang sehat berdampak
pada penurunan daya tahan tubuh, masalah umum yang dialami adalah
rentannya terhadap berbagai penyakit. Jenis keluhan kesehatan yang
paling banyak dialami lansia adalah keluhan lainnya (32,30 persen).
Jenis keluhan lainnya diantaranya keluhan yang merupakan efek dari
penyakit kronis seperti asam urat, darah tinggi, rematik, darah rendah,
dan diabetes. Pola yang sama terjadi pada penduduk lansia baik yang
tinggal di daerah perkotaan maupun perdesaan.
Tabel 2.12 Proporsi penduduk lansia yang mengeluh kesehatan

Sumber: BPS, 2009
Berikut ini merupakan jumlah penduduk di kota depok berdasarkan
cakupan pelayanan kesehatan pra usia lanjut dan usia lanjut.










36


Universitas Indonesia
Tabel 2.13 Cakupan pelayanan kesehatan

Sumber: Kota Depok Dalam Angka Tahun, 2008
Tabel 2.14 Pola penyakit penderita rawat jalan lansia di puskesmas

Sumber: Kota Depok Dalam Angka Tahun, 2008


37


Universitas Indonesia
Tabel 2.15 Pola penyakit penderita rawat jalan lansia di rumah sakit

Sumber: Kota Depok Dalam Angka Tahun, 2008
Tabel 2.16 Pola penyakit penderita rawat inap lansia di rumah sakit


38


Universitas Indonesia
Tabel 2.17 Pola penyakit penyebab kematian penderita rawat inap lansia


2.14 Tugas Perkembangan Keluarga dengan Lansia
a. Pengkajian lansia
Pengkajian pada lansia yang ada di keluarga dilakukan
dengan melibatkan keluarga sebagai orang terdekat yang
mengetahui tentang masalah kesehatan lansia. Untuk itu format
pengkajian yang digunakan adalah format pengkajian pada lansia
yang dikembangkan sesuai dengan keberadaan lansia. Format
pengkajian yang dikembangkan minimal terdiri atas data dasar
(identitas, alamat, usia, pendidikan, pekerjaan, agama dan suku
bangsa).
Berikut ini adalah tugas perkembangan pada lansia: (1)
Beradaptasi terhadap penurunan kesehatan dan kekuatan fisik, (2)
beradaptasi terhadap masa pensiun dan penurunan pendapatan, (3)
beradaptasi terhadap kematian pasangan, (4) menerima diri sebagai
individu yang menua, (5) mempertahankan kehidupan yang
memuaskan, (6) menetapkan kembali hubungan dengan anak yang
39


Universitas Indonesia
telah dewasa, (7) menemukan cara mempertahankan kualitas hidup
(Potter&Perry, 2009). Keluarga sangat berperan penting dalam
membantu individu lansia untuk membantu tugas
perkembangannya. Dalam hal ini konsep keperawatan keluarga
sangat penting diperhatikan, bagaimana tipe dan karakteristik
keluarga, status ekonomi, social dan budaya keluarga, riwayat
kesehatan keluarga, struktur dan fungsi keluarga itu sendiri
terhadap lansia.
Dalam melakukan pengkajian terhadap lansia dapat
dilakukan dengan tiga pendekatan; keluarga sebagai konteks,
keluarga sebagai klien dan keluarga sebagai system, yang
mencakup konsep hubungan dan transaksi. Jika pelayanan
keperawatan hanya diterima oleh satu orang anggota, maka
keluarga dapat ditinjau sebagai konteks. Jika seluruh anggota
keluarga terlibat dalam pelayanan harian masing-masing,
intervensi keperawatan dengan seorang anggota keluarga akan
mengubah aktivitas dari anggota lainnya sehingga pendekatan
keluarga sebagai klien merupakan yang terbaik. Ketiga pendekatan
ini penting dalam menyediakan pelayanan yang efektif.
1) Data Demografi dan sosiokultural
Kepala keluarga (KK)
Alamat dan nomor telepon
Pekerjaan KK
Komposisi keluarga (genogram)
Tipe keluarga
Suku bangsa
Agama
Aktvitas rekreasi keluarga
Status sosial ekonomi kelurga
2) Riwayat dan tahap perkembangan keluarga
Tahap perkembangan keluarga. Ini ditentukan dengan
usia anak tertua di keluarga inti.
40


Universitas Indonesia
Tugas perkembangan keluarga yang belum terpenuhi.
Hal ini menjelaskan kendala yang dimiliki keluarga
untuk memenuhi tugasnya dan apa saja upaya yang
telah dilakukan oleh keluarga.
Riwayat kesehatan keluarga inti. Merupakan penjelasan
riwayat kesehatan anggota keluarga, perhatian, upaya
pencegahan penyakit, serta pengalaman keluarga
terhadap pelayanan kesehatan.
Riwayat kesehatan keluarga sebelumnya. Menjelaskan
riwayat penyakit keturunan serta upaya dari generasi
tersebut untuk mencegah pengulangan penyakit yang
muncul.
3) Data Lingkungan
Karakteristik rumah. Identifikasi lingkungan fisik
rumah, seperti luas rumah, tipe rumah, jumlah
perabotan, fasilitas, ventilasi, kebutuhan MCK,
sanitasi, sumber air bersih untuk minum. Data ini
dapat dilengkapi dengan denah rumah.
Karakteristik tetangga dan komunitas. Meliputi
tempat keluarga tinggal, kebiasaan fisik atau nilai
serta norma lingkungan, budaya yang memengaruhi
kesehatan.
Mobilitas geografis keluarga. Meliputi perpindahan
tempat tinggal keluarga, kunjungan anggota
keluarga yang jauh.
Perkumpulan keluarga dan interaksi masyarakat.
Penjelasan waktu yang digunakan keluarga untuk
berkumpul dan mengidentifikasi sejauh mana
keluarga berinteraksi dengan masyarakat sekitar.
Sistem pendukung keluarga: fasilitas yang
menunjang kesehatan seperti askes, fasilitas fisik
41


Universitas Indonesia
seperti peralatan, dukungan psikologis anggota
keluarga atau masyarakat.
4) Struktur Keluarga
Strukutur peran. Peran masing-masing anggota
keluarga secara formal maupun informal baik di
keluarga atau masyarakat.
Nilai atau norma keluarga. Penjelasan nilai atau
norma yang dianut keluarga berhubungan dengan
kesehatan.
Pola komunikasi keluarga. Ini mengenai siapa
pengambil keputusan utama, bagaimana peran
anggota keluarga menciptakan komunikasi, hal-hal
yang memengaruhi komunikasi keluarga.
Struktur kekuatan keluarga. Kemampuan keluarga
untuk mempengaruhi dan mengendalikan anggota
keluarga untuk mengubah perilaku kesehatan.
5) Fungsi keluarga
Fungsi ekonomi. Upaya keluarga memenuhi
kebiutuhan sandang, pangan, papan.
Fungsi status sosial. Upaya untuk memperolth status
sosial di lingkungan tempat tinggal.
Fungsi pendidikan. Upaya keluarga untuk
memperoleh pendidikan.
Fungsi sosialisasi. Hubungan anggota keluarga,
sejauh mana keluarga belajar tentang disiplin,
mandiri, nilai, norma, budaya perilaku yang berlaku.
Fungsi pemenuhan kesehatan. Mengenal masalah,
mengambil keputusan, merawat anggota keluarga,
memodifikasi masalah, memanfaatkan pelayanan
kesehatan.
Fungsi religius. Kegiatan agama yang dijalankan
oleh keluarga yang berhubungan dengan kesehatan.
42


Universitas Indonesia
Fungsi rekreasi. Kemampuan keluarga untuk
rekreasi.
Fungsi reproduksi. Rencana keluarga dan upaya
pengendalian keluarga dalam memiliki jumlah
anggota keluarga.
Fungsi afeksi. Gambaran mengenai perasaan
anggota keluarga, dukungan anggota keluarga,
hubungan psikososial dalam keluarga, bagaimana
keluarga mengembangkan sikap saling menghargai.
6) Stress dan koping keluarga
Stresor jangka pendek dan panjang. Stresor jangka
pendek merupakan stresor yang dialami keluarga
dan dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari 6
bulan. Stresor jangka panjang adalah masalah yang
dapat diselesaikan dalam waktu lebih dari 6 bulan.
Strategi koping yang biasa digunakan oleh keluarga.
Pemeriksaan fisik: pemeriksaan fisik secara umum
(head to toe), TTV (tekanan darah, nadi, pernafasan,
suhu) pemeriksaan fisik khusus (system
kardiovaskuler, respirasi, GI Tract, persarafan dan
muskuloskeletal)
Harapan keluarga terhadap perawat.
Tipologi masalah kesehatan : ancaman, keluarga
yang kurang/ tidak sehat, dan deficit yang dirasakan
Pengkajian khusus berdasarkan 5 tugas keluarga yaitu
bagaimana keluarga mengenal masalah, mengambil keputusan
yang tepat, memodifikasi lingkungan, merawat anggota keluarga
yang sakit atau punya masalah, dan bagaimana keluatga tersebut
memanfaatkan sarana kesehatan.
Pengkajian lansia dalam tugas perkembangan keluarga juga
harus di fokuskan support system lansia itu hidup seperti sumber
43


Universitas Indonesia
pendapatan, jenis kegiatan yang biasa dilakukan serta bantuan
oranglain dalam melaksanakan tugas perkembangannya.
Setelah melakukan pengkajian di atas dapat di teruskan
dengan analisa data, dilihat dari data subjektif dan data objektif
yang ada serta buat skala prioritas masalah dalam keluarga dengan
lansia tersebut yang berisi sifat masalah, kemungkinan masalah
dapat diubah, bagaimana potensial masalah untuk dicegah,
menonjolnya masalah, kemudian dapat ditentukan diagnosanya.
b. Riwayat dan tahap perkembangan keluarga pada lansia
Lansia merupakan bagian dari keluarga besar yang
merupakan keluarga inti ditambah anggota keluarga lain yang
masih mempunyai hubungan darah. Cara terbaik untuk memahami
fungsi keluarga pada lansia adalah dengan mendapatkan
pengetahuan tentang fungsi keluarga di masa lalu melalui riwayat
keluarga. Riwayat atau tinjauan keluarga memberikan pemahaman
tentang cara keluarga memberikan arti terhadap kejadian-kejadian
tertentu. Tinjauan tersebut memberikan perspektif historis tentang
interaksi keluarga, pengaruh budaya, informasi kelas sosial,
perasaan kewajiban anak, dan pilihan agama (Brubaker, 1990
dalam Juniarti & Kurnianingsih, 2006).
Riwayat keluarga juga dapat memberikan informasi yang
berkaitan dengan status kesehatan dan pandangan keluarga tentang
kesehatan. Banyak peneliti keluarga melaporkan bahwa riwayat
keluarga selalu berulang. Genogram juga dapat memberikan latar
belakang intervensi guna menginterupsi riwayat keluarga dan
mengubah jalannya peristiwa (Brubaker, 1990 dalam Juniarti &
Kurnianingsih, 2006).
Bukan hanya individu saja yang memiliki tahap
perkembangan, keluarga pun memiliki tahap perkembangan
dengan berbagai tugas perkembangan yang harus diselesaikan pada
tahapnya. Ada perbedaan pembagian tahap perkembangan menurut
Carter dan McGoldrick (1989) dan Duvall (1985).
44


Universitas Indonesia
Tabel 2.18 Tahapan perkembangan
Charter dan McGoldrick
(Family therapy perspective)
Duvall
(Sociological perspective)
1. Keluarga antara: masa bebas
(pacaran) dewasa muda

2. Terbentuknya keluarga baru
melalui suatu perkawinan

3. Keluarga yang memiliki anak usia
muda (anak usia bayi samapai
usia sekolah)



4. Keluarga yang memiliki anak
dewasa
5. Keluarga yang mulai melepas
anaknya untuk keluar





6. Keluarga lansia
Tidak diidentifikasi karena periode
waktu antara dewasa dan menikah tak
dapat ditentukan
1. Keluarga baru menikah


2. Keluarga dengan anak baru lahir
(usia anak tertua sampai 30
bulan)
3. Keluarga dengan anak prasekolah
(usia anak tertua 2,5-5tahun)
4. Keluarga dengan anak usia
sekolah (usia anak tertua 6-12
tahun)
5. Keluarga dengan anak remaja
(usia anak tertua 13-20tahun)
6. Keluarga mulai melepas anak
sebagai dewasa (anak-anaknya
mulai meninggalkan rumah)
7. Keluarga yang hanya terdiri dari
orangtua saja/keluarga usia
pertengahan (semua anak
meninggalkan rumah)
8. Keluarga lansia
Sumber: McGoldrick (1989) dan Duvall (1985)
Lansia termasuk pada tahap yang terakhir dimana
perubahannya diikuti dengan perubahan tugas perkembangan
keluarga dengan berpedoman pada fungsi yang dimiliki keluarga.
Gambaran tugas perkembangan keluarga dapat dilihat sesuai tahap
45


Universitas Indonesia
perkembangannya. Pada lansia tugas perkembangannya
diantaranya yaitu sebagai berikut:
Mempertahankan suasana kehidupan rumah tangga
yang saling menyenangkan pasangannya
Adaptasi dengan perubahan yang akan terjadi:
kehilangan pasangan, kekuatan fisik, dan penghasilan
keluarga
Mempertahankan keakraban pasangan dan saling
merawat
Melakukan life review masa lalu
c. Peran Keluarga terhadap Perkembangan Lansia
Teori perkembangan berbicara mengenai tahapan-tahapan
perkembangan psikologis sepanjang usia dan tugas sebagai
penyesuaian terhadap perubahan, kehilangan, memelihara harga
diri, dan menyiapkan kematian harus dicapai. Teori keluarga
memperlihatkan keluarga sebagai unit dasar terhadap
perkembangan emosional. Keterkaitan antara tugas, permasalahan,
dan hubungan lebih ditekankan hingga tiga generasi keluarga.
Permasalahan fisik, emosional, dan gangguan sosial dipercayai
merupakan hasil refleksi dari permasalahan negosiasi dan masa
peralihan antara siklus kehidupan keluarga (Struart, 2009). Dapat
disimpulkan bahwa interaksi lansia dengan keluarga memengaruhi
proses perkembangan lansia.
Tugas perkembangan pada lansia menurut teori Erikson
(1963) dalam Psychiatric Health Nursing ; 175 adalah meninjau
kehidupan dan mengambil arti dari kejadian-kejadian positif
maupun negatif yang dialami. Lansia sering mengevaluasi
pengalaman-pengalaman hidupnya dan mendefinisikan kembali
tentang peran dan nilai hidup. Apabila tugas perkembangan ini
tercapai maka perasaan menghargai dan menerima diri sebagai
tujuan meninjau hidup walaupun ada beberapa keinginan yang
tidak tercapai. Sebaliknya, perasaan rendah diri dan membenci diri
46


Universitas Indonesia
adalah hasil jika tugas perkembangan ini tidak tercpai. Lansia yang
gagal mencapai tugas perkembangannya menginginkan untuk
kembali pada masa muda dan ingin memiliki kesempatan kedua
mengakibatkan ia merasa tidak nyaman, membandingkan diri
dengan orang lain, dan fokus terhadap hal tertentu yang tidak ia
capai pada masa lalu.
Sebagian besar lansia masih dipandang sebagai bagian
terkemuka dalam sistem keluarga dan mampu untuk memberikan
dukungan kepada pertumbuhan anak-anak dalam pertengahan
generasinya. Tugas-tugas ini dihubungkan dengan perannya untuk
memeriksa keadaan sosial/masyarakat baru terkait
memberhentikan dan kemungkinan mengubah status
sosialekonomi, menerima beberapa kemunduran fungsi psikologis,
berhadapan dengan kematian pasangan, saudara, dan teman-teman,
menghadapi dan menyiakan kematian dirinya sendiri.
Permasalahan akan muncul jika lansia gagal untuk memenuhi tugas
perkembangan ini sehingga mereka tidak dapat menemukan
kebahagiaan didalam kepuasan emosional dengan anak-anak dan
cucu-cucunya (Townsend, 2009).
Permasalahan yang muncul akibat tidak terpenuhinya tugas
perkembangan dapat dicegah jika keluarga mendukung lansia
memenuhi tugas perkembangannya. Boyer dan Jeffrey (1994)
dalam Psychiatric Health Nursing ; 176-180 menjelaskan enam
elemen pada keluarga yang dapat melihat peran keluarga dan
penyelewengan peran yang dijelaskan melalui tabel berikut:
Tabel 2.19 Peran Keluarga: elemen yang dapat dikaji
Elemen yang
dikaji
Continuum
Peran Gangguan fungsi
Komunikasi
Jelas, langsung, terbuka dan jujur dengan
kesesuaian antara verbal dan non verbal
tidak langsung, tidak jelas,terkontrol,
dengan makna yang tidak sesuai
(dapat diartikan lebih dari 1 makna
Penguatan mendukung, mengasihi, mendoakan, tidak mendukung, menyalahkan,
47


Universitas Indonesia
konsep diri mengakui dengan perilaku yang nyaman menolak untuk mengijinkan tanggung
jawab
Harapan
anggota
keluarga Fleksibel, realistis, individual
menghakimi, kaku, mengontrol,
menolak individu
Mengatasi
perbedaan toleransi, dinamis, negosiasi menyerang, menghindari, menyerah
Pola interaksi
keluarga
dapat dikerjakan, membangun, fleksibel,
dan mengungkapkan apa yang
dibutuhkan anggota keluarga
bertentangan, kaku, mengalahkan, dan
bersifat merusak
Suasana
Keluarga
Memercayai, memajukan pertumbuhan,
perhatian, secara umum perasaam baik
tidak percaya, sakit hati, dengan tidak
adanya pengjarapan untuk
memperbaikinya.

Berdasarkan tabel di atas, peran keluarga untuk memenuhi
tugas perkembangan lansia dapat terlihat dari proses komunikasi,
interaksi, dan kepedulian satu sama lain dalam keluarga. Setiap
anggota keluarga yang terdiri dari hingga sampai tiga generasi
memainkan peran sesuai dengan posisi dan statusnya dalam
keluarga.
Komunikasi yang efektif dapat menjaga fungsi keluarga baik
secara verbal maupun nonverbal. Keluarga yang fungsional
mengungkapkan emosi dan perasaannya secara terbuka, saling
menghormati dan berespon satu sama lain. Komunikasi efektif
membawa keluarga menjadi terbuka sehingga meminimalkan
konflik yang berlarut-larut. Keluarga berperan untuk membangun
pola komunikasi yang efektif untuk mengatasi jonflik dan
ketidaksesuaiana sehingga anggota klaurga dapat saling
mengetahui dan memahami satu dengan yang lain.
Interaksi dalam keluarga juga merupakan aspek yang perlu
mendapat perhatian dalam dukungan kelurga terhadap tugas
perkembangan lansia. Fungsi afektif merupakan fungsi internal
48


Universitas Indonesia
keluarga, pemenuhan kebutuhan psikologis anggota kelaurga oleh
anggota keluarga lain. Bagian dari dukungan sosial adalah cinta
dan kasih sayang. Beberapa fungsi afektif dalam keluarga
cenderung menurun sejalan dengan bertambahnya usia keluarga.
Ketika pasangan meninggal dunia dna anak-anak pergi, saudara
kandung memiliki peranana yang lebih besar dalam menjaga
hubungan afektif.
Fungsi sosialisasi merupakan pengalamam belajar yang
diberikan dalam keluarga untuk mengajarkan anggota keluarga
mengenai cara bagaimana berfungsi dan melakukan peran di
lingkungan orang deasa. Saai ini banyak proses sosialisasi keluarga
terjadi di sekolah atau institusi lain. Anak-anak yang sudah dewasa
menempatkan orang tua mereka di panti werdha, seperti halnya
orang tua mereka menempatkan mereka di tempat penitipan anak
ketika merek amsih kecil. Orang Tua sering menjadi sumber
keluarga dalam fungsi sosialisasi keluarga. Orang tua dianggap
sebagai model peran yang penting untuk membantu anak-anaknya
yang sudah dewasa menghadapi stress kehidupan (Keneddy, 1990
dalam buku ajar keperawatan gerontik; 343). Apabila tugas
perkembangan keluarga dapat dijalani dengan baik maka lansia
juga mengalami makna hidup yang lebih baik karena pemenuhan
tugas-tugas perkembangannya terpenuhi.

2.15 Tugas Perkembangan Individu Lansia
a. Fisik-Kognitif
Masa usia lanjut terjadi proses penuaan, dimana banyak
sekali terjadi perubahan baik secara fisiologis dan morfologis
tubuh seseorang. Seiring dengan hal itu, lansia perlu menyadari
tugas perkembangannya dalam berbagai aspek baik terhadap
perubahan fisik, kognitif dan psikologis. Tugas perkembangan
pada lansia menurut Havighurst adalah beradaptasi terhadap
penurunan kesehatan dan kekuatan fisik; dan beradaptasi terhadap
49


Universitas Indonesia
masa pensiun dan penurunan pendapatan, (Roach, 2006). Menurut
Erik Erickson, tugas perkembangan utama lansia adalah integritas
ego vs putus asa. Kemampuan lansia untuk beradaptasi akan
menentukan kualitas hidup lansia tersebut. Lansia harus
beradaptasi terhadap perubahan fisik dan kognitif. Perubahan fisik
pada individu lansia merupakan proses yang normal, bukan
patologis. Berikut ini adalah beberapa perubahan fisik yang terjadi
pada tahap perkembangan lansia (Potter dan Perry, 2005).
Tabel 2.20 Perubahan fisik lansia
Sistem Temuan Normal
Integumen:
Warna kulit

Tekstur kulit
Kelembapan kulit
Suhu kulit
Rambut
Kuku

Pigmen berbintik diarea yang terpajan sinar
matahari, pucat meski tidak anemis.
Penurunan elastisitas (kerutan dan kondisi
berlipat).
Kering, kulit bersisik,.
Ekstremitas lebih dingin.
Penipisan dan beruban pada kulit kepala.
Penurunan laju pertumbuhan kuku.
Kepala dan leher:
Kepala
Mata
Telinga
Hidung
Mulut
Leher

Tulang nasal dan wajah menajam dan angular.
Penurunan ketajaman penglihatan.
Penurunan membedakan nada.
Peningkatan rambut hidung, penurunan indra
pembau.
Penggunaan gigi palsu, penurunan indra pengecap
Kelenjar tiroid nodular.
Sistem pernapasan
dan Kardiovaskular
Peningkatan frekuensi pernapasan dengan
penurunan ekspansi paru, peningkatan resistensi
jalan napas, terjadi peningkatan tekanan darah.
Sistem reproduksi: Pria: penurunan kadar progesteron, penurunan
jumlah sperma dan ukuran testis.
50


Universitas Indonesia
Wanita: penuruan kadar estrogen dan penurunan
ukuran uterus.
Sistem
muskuloskeletal
Penurunan massa dan kekuatan otot,
demineralisasi tulang, penurunan rentang gerak
sendi.
Sistem neurologis Penurunan kemampuan kognitif, insomnia,
penurunan respon stimulus.
Sumber: Potter & Perry, 2005
Selain perubahan pada fisik, perubahan yang juga terjadi pada
kognitif lansia, dimana sering kita kenal dengan penyakit demensia
ataupun Alzheimer. Lansia menjadi lansia adalah perubahan
psikologis yang terjadi dapat dihubungkan dengan keakuratan
mental dan keadaan fungsional yang efektif. Adanya penurunan
intelektualitas yang meliputi persepsi, kemampuan kognitif,
memori, dan belajar pada usia lanjut menyebabkan lansia sulit
untuk dipahami dan berinteraksi. Adanya penurunan fungsi sistem
sensorik, maka terjadilah pula penurunan kemampuan untuk
menerima, memproses, dan merespon stimulus sehingga terkadang
akan muncul reaksi yang berbeda dari stimulus yang ada.
Oleh karena adanya perubahan fisik, kognitif maupun
psikologis, lansia harus menyesuaikan diri terhadap perubahan-
perubahan tersebut. Lansia harus melakukan tugas
perkembangannya, yaitu dengan beradaptasi terhadap penurunan
kesehatan dan kekuatan fisik, beradaptasi terhadap masa pensiun
dan penurunan pendapatan, beradaptasi terhadap kematian
pasangan, menerima diri sebagai individu yang menua,
mempertahankan kehidupan yang memuaskan menetapkan kembali
hubungan dengan anak yang telah dewasa dan menemukan cara
mempertahankan kualitas hidup (Potter & Perry, 2005).
b. Perkembangan Konsep Diri
Konsep diri merupakan gambaran mental seseorang
terhadap dirinya sendiri (Craven R.F dan Hirnle, C.J., 2007).
51


Universitas Indonesia
Menurut Stuart & Laraia (1998), konsep diri adalah semua ide,
pikiran, kepercayaan, dan pendidikan yang diketahui individu
tentang dirinya dan mempengaruhinya dalam berhubungan dengan
orang lain. Konsep diri dapat dipelajari dari kontak sosial dan
pengalaman berhubungan dengan orang lain. Konsep diri dalam
ilmu keperawatan memiliki lima komponen dasar, yaitu harga diri,
identitas diri, citra tubuh, ideal diri dan juga penampilan peran
(Stuart, 2006):
1) Citra tubuh
Citra tubuh adalah persepsi internal yang dimiliki
seseorang tentang penampilan fisiknya (Fortinash &
Holoday-Worret, 1999). Stuart & Sundeen, 2001
menjelaskan bahwa citra tubuh merupakan kumpulan
sikap individu yang disadari dan tidak disadari terhadap
tubuhnya termasuk persepsi serta perasaan masa lalu
dan sekarang tentang ukuran, fungsi, penampilan, dan
potensi. Perubahan dalam penampilan, struktur atau
fungsi bagian tubuh pada lansia akan mempengaruhi
perubahan terhadap gambaran diri (citra tubuh). Studi
menunjukkan bahwa orang yang menerima tubuh
mereka memiliki harga diri yang lebih tinggi.
2) Ideal Diri
Ideal diri adalah persepsi individual dalam bagaimana
individu tersebut dalam berperilaku berdasarkan
standarnya (Stuart & Sundeen, 1995). faktor yang
mendukung terjadinya gangguan ideal diri pada lansia
adalah adanya keinginan yang besar dengan hi-
expectancy dan tidak realistik namun tidak diimbangi
oleh kapasitas individu tersebut. Apabila faktor tersebut
terus dibiarkan maka akan mengakibatkan gangguan
harga diri kepada individu tersebut. Ideal diri berlaku di
setiap rentang kehidupan termasuk lansia. Apabila ideal
52


Universitas Indonesia
diri ini tidak seimbang maka akan terjadinya gangguan
ideal diri yang kemungkinan mengakibatkan low self-
esteem.
3) Harga Diri
Harga diri adalah penilaian individu tentang penilaian
personal tertentu. Lansia dengan harga diri yang rendah
akan merasa tidak berguna dengan keadaan fisiknya
yang mulai menurun, tidak percaya pada kemampuan
diri sendiri, mengkritik diri sendiri, serta memiliki
pandangan hidup yang pesimis terhadap hari tua nya
(Miller, 2004). Mereka memerlukan dukungan keluarga
dan lingkungan untuk meningkatkan harga dirinya agar
lansia tersebut dapat meningkatkan kualitas hidupnya
menghadapi hari tua serta merasa diterima di keluarga
dan lingkungannya.
4) Identitas Diri
Identitas diri merupakan kesadaran internal akan diri
seseorang secara menyeluruh dan konsistensinya pada
waktu dan situasi yang berbeda. (Potter & Perry, 2010).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan
psikososial seorang lansia, termasuk identitas diri.
Menurut Potter & Perry, 2010, beberapa faktor yang
mempengaruhi lansia adalah usia, seksualitas, dan
budaya. Dalam referensi lain (Miller, 2012)
menyebutkan faktor yang mempengaruhi identitas diri
lansia adalah masa pensiun, keadaan menjadi janda atau
duda, religi dan spiritualitas, dan kegiatan sosial.
5) Penampilan Peran
Peran dapat didefinisikan sebagai seperangkat perilaku
yang diharapkan secara sosial yang berhubungan
dengan fungsi individu pada berbagai kelompok
(Craven & Hirnle, 2007). Dalam hal ini berkaitan
53


Universitas Indonesia
dengan teori kontinuitas menurut Havighurst, et al
(1963), lansia merupakan masa lanjutan dari kehidupan
sebelumnya dan merupakan komponen yang
terintegrasi dalam siklus kehidupan (Lueckenotte,
1996). Penampilan peran pada lansia dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain, stres dan koping,
pengalaman di masa lalu, dan transisi peran (Craven &
Hirnle, 2007). Rentang respon konsep diri pada lansia
merupakan suatu rentang respon saat menghadapi suatu
stressor atau masalah.
Adapun perkembangan pada lansia berdasarkan teori Erikson
berada pada tahap Integritas ego versus putus asa. Individu yang
sukses dalam melampaui tahap ini akan dapat mencapai integritas
diri (integrity), sebaliknya mereka yang gagal maka akan melewati
tahap ini dengan keputusasaan (despair) Lansia mengalami
kondisi penuh stress, rasa penolakan, marah. dan putus asa terhadap
kenyataan yang dihadapinya. Pengalaman yang dialami lansia di
masa lalu dimana kurang terpenuhinya tugas perkembangan
sebelumnya akan berdampak negatif dikemudian hari khusus saat
usia tua.
c. Tugas Perkembangan Lansia pada Sosioekonomi
Tugas perkembangan pada lansia merupakan tugas
perkembangan yang berhubungan dengan penuaan yang
dialaminya. Setiap lansia memiliki beberapa tugas perkembangan
yang perlu diketahui untuk kesejahteraan hidupnya. Tugas ini
mencangkup beberapa aspek yaitu tugas perkembangan dari
perubahan fisik, psikososial dansosioekonomi. Secara umum tugas
perkembangan lansia yaitu (Havighurst, 1979 dalam Rosdahl &
Kowalski, 2008):
Menyesuaikan diri dengan kemampuan fisik yang menurun
(seperti kekuatan dan kesehatan)
54


Universitas Indonesia
Menyesuaikan diri ketika pengunduran diri (pensiun) dari
pekerjaan dan memperbaiki pemasukan (income)
Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan atau teman
Menciptakan hubungan sosial dengan sesama lansia dan
orang yang lebih muda darinya
Menyusun rencana hidup
Membuat rencana perawatan terhadap diri lansia (jika
diperlukan)
Menerima kematian diri
Menemukan kepuasan hati atau kebahagiaan di keluarga
Menerima diri sebagai seseorang yang akan menua
Sedangkan menurut Maryam, R. Siti dkk (2008), tugas-tugas
perkembangan lansia sebagai berikut:
Mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun
Mempersiapkan diri untuk pensiun
Membentuk hubungan baik dengan orang seusianya
Mempersiapkan kehidupan baru
Melakukan penyesuaian terhadap kehisupan
sosial/masyarakat secara santai
Mempersiapkan diri untuk kematiannnya dan kematian
pasangan
Beberapa tugas perkembangan yang telah dijelaskan
merupakan tugas-tugas yang perlu dipenuhi dan didukung oleh
keluarga dari lansia itu sendiri untuk kesejahteraan hidup pada
masa lansia.Inti dari tugas perkembangan tersebut berhubungan
dengan kemampuannya untuk melawan kesahatan yang semakin
menurun, pengetahuan dan penerimaan terhadap kematian diri,
dan menggabungkan atau menyatukan perasaan tentang diri
sendiri dan kehidupan. Kesuksesan dari tugas perkembangan ini
bergantung pada bagaimana keberhasilan terhadap tugas-tugas
sebelumnnya pada awal kehidupan. Sehingga untuk mencapai
tugas perkembangan pada lansia dengan sempurna, seorang lansia
55


Universitas Indonesia
harus mempersiapkan diri terlebih dahulu pada masa pralansia
yaitu usia 45-59 tahun. Hal-hal yang perlu dipersiapkan
menjelang masa lansia (Maryam, 2008) :
1) Kesehatan
Latihan fisik/olahraga secara teratur sesuai
kemampuan
Pengaturan gizi/diet seimbang
Tetap bergairah dan memelihara kehidupan seks
yang sehat
Melakukan pemeriksaan kesehatan secara teratur
(minimal 6 bulan sekali)
Memelihara penampilan yang rapi dan bersih
Menghindari kebiasaan buruk yang berdampak
tidak baik bagi kesehatan (merokok, minuman
keras, malas olahraga, makan berlebihan, tidur
tidak teratur, minum obat tidak sesuai anjuran, dan
hubungan tidak harmonis)
Sosial
- Meningkatkan iman dan takwa
- Tetap setia dengan pasangan yang sah
- Mengikuti kegiatan sosial
- Meningkatkan keharmonisan dalam rumah
tangga
- Menyediakan waktu untuk rekreasi
- Tetap mengembangkan hobi/bakat
Ekonomi
- Mempersiapkan tabungan hari tua
- Berwiraswasta
- Mengikuti asuransi
Sosioekonomi biasanya sangat mempengaruhi kesehatan pada
lansia, meliputi pemasukan, pendidikan, pekerjaan, dan kombinasi
dari hal-hal tersebut (Matthews, Jagger, Miller, Brayne, & MRC
56


Universitas Indonesia
CFAS, 2009). Sehingga, tugas perkembangan sosioekonomi pada
lansia merupakan bagian dari tugas perkembangan lansia yang
dilihat dari segi sosioekonomi, meliputi pemasukan, pendidikan,
pekerjaan, dan kombinasi dari hal-hal tersebut.
Penelitian menunjukkan bahwa kemiskinan dan level
pendidikan yang rendah dapat berpengaruh terhadap kesehatan
dalam masa penuaan karena faktor ini berhubungan dengan
serangan awal dari penyakit dan kematian yang akan dialami
(Crimmins, Kim, & Seeman, 2009 dalam Miller,2011). Dari
penelitian tersebut diketahui bahwa seorang lansia yang memiliki
pemasukan yang lebih baik dan tingkat pendidikan yang tinggi
memiliki kesehatan yang baik dibandingkan dengan lansia yang
miskin. Oleh karena itu, keberhasilan terhadap tugas perkembangan
secara sosioekonomi perlu dimengerti dan dilaksanakan oleh
seorang lansia agar tidak terjadi stres atau menimbulkan masalah
kesehatan.
Pengunduran diri terhadap pekerjaan merupakan bagian dari
kehidupan yang akan dialami oleh setiap lansia. Beberapa orang
lansia mendapatkan tujuan dan pemenuhan kebutuhan pada masa
ini, sebaliknya perasaan terhadap kebebasan dan waktu untuk
beraktivitas ditunda selama sibuk bekerja (Mauk, 2006). Selama
masa usia pengunduran diri ini, ada beberapa lansia yang
memilih untuk tetap bekerja demi kebutuhan finansial atau tidak
bekerja kembali karena kemampuan fisik yang mulai menurun.
Perencanaan anggaran yang dilakukan oleh lansia sebaiknya
dilakukan sebelum terjadi pengunduran diri atau pensiun untuk
mempermudah pengaturan dana. Namun, beberapa orang lansia
memiliki penghasilan yang rendah atau tidak ada penghasilan. Hal
ini dapat diakibatkan terpisah dari keluarga (seperti kematian atau
perceraian) sehingga tidak ada dukungan secara
finansial.Kekurangan finansial ini dapat mengakibatkan stres pada
57


Universitas Indonesia
lansia. Hal ini berkaitan dengan tugas perkembangan lansia yaitu
mengatur pemasukan pada masa pengunduran diri.
Tugas perkembangan lansia sosioekonomi lainnya adalah
menciptakan hubungan sosial dengan sesama lansia dan orang yang
lebih muda. Hal ini sangat penting agar mereka bahagia terhadap
lingkungan selama sisa hidupnya. Meskipun kebebasan pada lansia
terhambat akibat penurunan kemampuan tubuh secara kognitif
maupun fisik, seorang lansia masih dapat bersosialisasi dan
menjadi bagian dari support system terhadap lingkungan sekitarnya
untuk menunjang kesejahteraan hidup.
d. Perkembangan Spriritual dan Sosial pada Lansia
Usia lanjut merupakan usia yang mendekati akhir siklus
kehidupan manusia di dunia. Usia tahap ini dimulai dari 60
tahunan sampai akhir kehidupan (Nugroho, 2009). Semua orang
akan mengalami proses menjadi tua, dan masa tua merupakan masa
hidup manusia yang terakhir. Pada masa itu seseorang akan
mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial sedikit demi
sedikit sehingga terjadi perubahan tugas individu dalam
kehidupannya (Kinasih & Wahyuningsih, 2012).
Perubahan fisik yang semakin menurun dan tuntutan
psikologis lansia sering mengarahkan lansia untuk lebih fokus
dalam memenuhi kebutuhan spiritualnya. Spiritualitas mencakup
kepercayaan dan sistem nilai seseorang (Potter & Perry, 2005).
Spiritualitas menujukkan bagaimana pikiran, perasaan, keyakinan
pada seseorang. Selain itu, spiritualitas juga menunujukkan
gambaran pencarian makna dan tujuan hidup yang sangat penting
terutama pada lansia yang mendekati akhir kehidupan (Maryam,
2008). Perkembangan spiritual yang matang akan membantu
lansia untuk menghadapi kenyataan, berperan aktif dalam
kehidupan, maupun merumuskan arti dan tujuan keberadaannya
dalam kehidupan. Menurut Maryam (2008) pada kelompok lansia
saat menghadapi sakit dan kematian, lansia akan lebih cenderung:
58


Universitas Indonesia
1) Mempunyai lebih banyak waktu untuk kegiatan agama.
2) Berusaha untuk mengerti agama dan berusaha untuk mengerti
nilai-nilai agama yang diyakini.
3) Perasaan kehilangan karena pensiun dan tidak aktif serta
menghadapi kematian orang lain menimbulkan rasa kesepian
dan mawas diri.
4) Perkembangan filosofis agama yang lebih matang sering dapat
membantu lansia untuk menghadapi kenyataan, berperan aktif
dalam kehidupan, lebih merasa berharga dan dapat menerima
kematian sebagai sesuatu yang tidak dapat ditolak atau
dihindarkan.
Banyak isu psikososial yang menjadi perhatian untuk para
pasien lansia berkaitan dengan spiritualitas. Permasalahan tersebut
mencakup disabilitas fisik berkaitan dengan proses penuaan,
kemungkinan kematian, kesibukan anggota keluarga lain, pensiun
serta perasaan sendiri karena ditinggalkan orang yang dicintai dan
tidak diperhatikan. Hal tersebut dapat menjadi ancaman bagi
perasaan lansia terhadap nilai dan identitasnya di masyarakat.
Konflik antara kepercayaan atau keyakinan lansia dengan realita
keadaannya dapat menyebabkan distress spiritual. Ketika lansia
merasakan distress spiritual, lansia mungkin mempertanyakan
mengenai tujuan dan makna hidup mereka. Selain itu, gangguan
spiritual pada lansia akan menyebabkan lansia tidak bisa
menjalani masa lansia dengan bahagia dan sejahtera serta tidak
tercapainya healthy aging (Santoso, 2009).
Peningkatkan spiritualitas pada lansia seiring bertambahnya
usia merupakan hal yang penting dalam tahapan akhir
kehidupannya. Peningkatan spiritual ini tidak terlepas dari peran
perawat. Salah satu contoh peran perawat dalam memfasilitasi
pemenuhan kebutuhan spiritual adalah dengan menjadi atau
mencarikan pendampingan spiritual untuk pasen geriatric
(Kinarsih, 2012). Hasil penelitian dari (Kinasih & Wahyuningsih,
59


Universitas Indonesia
2012) menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
pendamping spiritual dengan motivasi kesembuhan pada pasien
lansia. Miller (2004) menyatakan bahwa dengan mendukung
kepercayaan dan nilai-nilai lansia membantu individu untuk
mengatasi tantangan yang dihadapi lansia. Fungsi lainnya,
partisipasi religius dapat menurunkan laju depresi pada lansia,
memberikan rasa penguatan pada tujuan hidup dan ketabahan
secara keseluruhan. Fungsi pemenuhan spiritual bagi lansia juga
dapat membantu lansia untuk menemukan jawaban mengapa
mereka kehilangan identitas, peran sebelumnya dan kapasitas
fisik.
Dari aspek sosial, kesiapan lansia untuk beradaptasi atau
menyesuaikan diri terhadap tugas perkembangan usia lanjut
dipengaruhi oleh proses tumbuh kembang pada tahap sebelumnya
(Santoso, 2009). Apabila seseorang pada tahap tumbuh kembang
sebelumnya melakukan kegiatan sehari-hari dengan baik dan
membina hubungan yang serasi dengan orang-orang di sekitarnya,
maka pada usia lanjut lansia akan tetap melakukan kegiatan yang
biasa lansia lakukan pada tahap perkembangan sebelumnya seperti
olahraga, mengembangkan hobi, dan lain-lain. Kepribadian yang
terintegrasi merupakan hal yang ingin dicapai oleh setiap lansia.
Lansia pada fase ini justru sudah mengalami banyak kemunduran
fisik dan merasa bahwa hidupnya sudah dekat dengan akhir hayat.
Oleh karena itu pada masa ini kasih sayang dari lingkungan
keluarga terdekat, kerabat, bahkan lingkungan terdekat merupakan
sumber kebahagiaan tersendiri. Perasaan diterima dan dihargai
oleh sekelilingnya merupakan anugerah yang tidak ternilai oleh
materi. Pencapaian masa ini (lansia) dipengaruhi oleh proses
panjang di masa-masa sebelumnya. Ketidakberhasilan di masa
lalu dapat menyebabkan individu menjadi putus asa dan takut
menghadapi kehidupan lansia dan juga kematian. Apabila
60


Universitas Indonesia
seseorang berhasil melewati masa sebelumnya dengan baik, maka
akan terbentuk kepribadian yang terintegrasi dalam dirinya.
Menurut Ismail (2009) faktor sosial terkait tugas
perkembangan pada lansia mencakup perubahan-perubahan
psikososial yang dialami lansia dalam proses mencapai tugas
perkembangan itu, antara lain:
1) Pensiun, nilai seseorang sering diukur oleh produktivitasnya
dan identitas dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Bila
seseorang pensiun, individu tersebut akan mengalami
kehilangan-kehilangan, seperti kehilangan finansial (income
berkurang), status, teman atau relasi, dan pekerjaan atau
kegiatan.
2) Merasakan atau sadar akan kematian (sense of awareness of
mortality)
3) Perubahan dalam cara hidup, yaitu memasuki rumah
perawatan bergerak lebih sempit
4) Ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan (economic
deprivation).
5) Meningkatnya biaya hidup pada penghasilan yang sulit,
bertambahnya biaya pengobatan.
6) Penyakit kronis dan ketidakmampuan.
7) Gangguan saraf pancaindra, timbul kebutaan dan ketulian.
8) Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan.
9) Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan
dengan teman-teman dan famili.
10) Hilangnya kekuatan dan ketegapan.

2.16 Teori Biologis Menua
Berikut teori biologis menua pada lansia:
a. Teori Wear and Tear
Teori ini menjelaskan proses penuaan terjadi karena adanya
akumulasi sampah metabolik atau sampah nutrisi yang dapat merusak
61


Universitas Indonesia
DNA yang mendorong terjadinya malfungsi molekular sampai organ
tubuh. Menurut August Weismann, sel somatik normal memiliki
keterbatasan dalam bereplikasi dan menjalankan fungsinya (Miller,
2004). Hal ini karena jaringan yang telah rusak tidak dapat lagi
beregenerasi. Merokok, mengkonsumsi alkohol, diet yang tidak
adekuat, dan stressor fisik lainnya dapat memperburuk proses
pemakaian energi dalam tubuh yang membuat sel sel menjadi lelah.
Contoh produk sampah metabolisme yang dapat merusak ketika
terjadi akumulasinya adalah radikal bebas. Radikal bebas adalah
molekul atau atom dengan suatu elektron yang tidak bepasangan yang
sangat reaktif yang dihasilkan selama metabolisme. Pada kondisi
normal, radikal bebas dengan cepat dihancurkan oleh sistem enzim
pelindung. Namun, ada beberapa yang berhasil lolos dan berakumulasi
di dalam sistem biologis yang penting, dan saat itu kerusakanpun
terjadi.
b. Teori Cross-linkage
Teori ini mengatakan bahwa stuktur molekular yang normalnya
adalah terpisah menjadi berikatan akibat reaksi kimia Teori ini
berdasarkan fakta bahwa dengan bertambah tua, protein manusia dan
molekul lainnya akan saling melekat atau saling memilin (cross link).
Proses ini paling banyak terjadi antara usia 30-50 tahun.
Menurut teori ini, agen cross-link mengikatkan diri pada molekul
dasar DNA dan merusaknya. Mekanisme pertahanan natural umumnya
memperbaiki kerusakan yang terjadi, tetapi peningkatan usia
memperlemah mekanisme pertahanan tersebut. Proses ini pun terjadi
terus menerus hingga kerusakan yang sudah tidak dapat diperbaiki
kembali. Dampaknya, akumulasi cross-linking menyebabkan mutasi
pada sel dan sel tidak dapat mengeliminasi sisa produk dan transpor
ion (Miller, 2004). Kerusakan yang irreversible terjadi mulai dari
tingkat sel, jaringan sampai ke organ. Hal ini disebabkan oleh
peningkatan densitas molekul kolagen akibat proses cross-linking.
Dalam proses non-enzimatik, glikosilasi, molekul glukosa menempel
62


Universitas Indonesia
pada protein tanpa menggunakan bantuan enzim menghasilkan rantai
reaksi kimia.
c. Teori Radikal Bebas
Teori radikal bebas mengasumsikan bahwa proses menua terjadi
akibat kekurangan keefektifan fungsi kerja tubuh dan hal itu
dipengaruhi oleh adanya berbagai radikal bebas dalam tubuh. Radikal
bebas merupakan akar banayak penyakit akut maupun kronis. Pada
tingkat sel, radikal bebas bertanggung jawab atas kerusakan yang
sangat besar. ( Perricone, 2002).
Teori radikal bebas pertama kali diperkenalkan oleh Denham
Harman, M.D., Ph.D pada tahun 1950. Ketika molekul atau atom
kehilangan satu elektronnya, ia menjadi tidak stabil dan akan mencoba
untuk mengambil electron dari molekul lainnya di dalam lingkungan
terdekatnya. Jika radikal bebas mendapatkan sebuah electron dari
molekul di sampingnya, molekul atau atom tersebut juga akan menjadi
radikal bebas. Sebagai akibatnya, radikal bebas baru menyarang
molekul lain di sampingnya. Setiap kali pasangan electron berpisah,
kerusakan terjadi pada molekul yang menjadi korban. D. Harman
beranggapan bahwa kerusakan pada molekul inilah yang menyebabkan
terjadi penuaan. (Harman, 1998).
Radikal bebas yang reaktif mampu merusak sel, termasuk
mitokondria, yang akhirnya mampu meyebabkan cepatnya kematian
(apoptosis) sel, menghambat proses reproduksi sel dan kemudian
menyebabkan kesehatan kulit berangsur-angsur menurun akibat suplai
oksigen dan nutrisi yang makin sedikit yang akhirnya dapat
mengakibatkan kematian jaringan kulit itu sendiri. Antioksida dalam
Vitamin C , E, dll merupakan substansi yang dipercaya dapat
menghambat kerja radikal bebas yang memungkinkan menyebabkan
kerusakan jaringan kulit. (Perricone, 2002).
d. Teori Imunitas
Teori imunitas menggambarkan suatu kemunduran dalam system
imun yang berhubungan dengan penuaan. Ketika orang bertambah tua,
63


Universitas Indonesia
pertahanan mereka terhadap organisme asing mengalami penurunan
sehingga mereka rentan nuntuk menderita penyakit seperti kanker dan
infeksi. ( Stanley & Beare, 2002). Perubahan system imun lebih
tampak secara nyata pada Limposit-T, disamping perubahan itu juga
terjadi pada Limposit-B. Perubahan yang terjadi meliputi penurunan
system imun hormonal, yang dapat menjadi faktor predisposisi pada
orang tua untuk:
Menurunkan resistansi melawan pertumbuhan tumor dan
perkembangan kanker.
Menurunkan kemampuan untuk mengadakan inisiasi proses
dan secara agresif memobilisasi pertahanan tubuh terhadap
pathogen.
Meningkatkan produksi autoantigen, yang berdampak pada
semakin meningkatnya resiko terjadinya penyakit yang
berhubungan dengan auroimun.
e. Teori Neuroendokrin
Salah satu teori proses aging yang diterima secara luas adalah teori
Neuroendokrin yang menguraikan tentang jaringan biokimia yang
kompleks yang mengatur pelepasan hormon oleh tubuh manusia.
Hipotalamus melepaskan hormon yang mempunyai bermacam reaksi
berantai yang akan menstimulasikan organ-organ untuk melepaskan
hormon yang akan menstimulasikan pelepasan hormon lain, dan
selanjutnya menstimulasikan fungsi-fungsi tubuh. Proses menua
menyebabkan penurunan dalam produksi hormon, sehingga
menyebabkan berkurangnya kemampuan tubuh untuk mengatur dan
memperbaiki bagian yang rusak. Penuaan terjadi karena adanya
keterlambatan dalam sekresi hormon tertentu sehingga berakibat pada
sistem saraf. Hormon dalam tubuh berperan dalam mengorganisasi
organ-organ tubuh melaksanakan tugasnya dan menyeimbangkan
fungsi tubuh apabila terjadi gangguan dalam tubuh. Pada lansia,
hipotalamus kehilangan kemampuan dalam pengaturan dan sebagai
reseptor yang mendeteksi hormon individu menjadi kurang sensitif.
64


Universitas Indonesia
Oleh karena itu, pada lansia banyak hormon yang tidak dapat dapat
disekresi dan mengalami penurunan keefektifan, sehingga
menyebabkan berkurangnya kemampuan tubuh untuk mengatur dan
memperbaiki bagian yang rusak.
f. Teori Genetik
Teori genetik menekankan pada peran gen dalam proses
perkembangan berkaitan dengan perubahan usia. Hayflick (1974)
memperkirakan sel manusia normal akan membelah 50 kali dan sel
secara genetik berhenti membelah setelah mencapai 50 pembelahan,
dimana sel ini akan mulai memburuk hingga berakhir pada kematian.
Jumlah pembelahan sel berbeda pada setiap spesies. Slagboom,
Bastian, Beekman, Wendendorf, & Meulenbelt (2000) merupakan
peneliti-peneliti yang mendukung teori genetik ini. Dalam
Gerontological nursing : compentencies for care (2006) mereka
menjelaskan bahwa setiap sel, atau bahkan mungkin seluruh
organisme, memiliki kode penuaan genetik yang sudah terprogram dan
disimpan dalam DNA organisme. Teori ini berisi pengaruh genetik
yang dapat memprediksi kondisi fisik, terjadinya penyakit, penyebab
dan usia kematian, serta faktor lainnya.
Teori genetika terdiri dari teori asam deoksiribonukleat (DNA),
teori ketepatan dan kesalahan, mutasi somatik, dan teori glikogen.
Teori-teori ini menyatakan bahwa proses replikasi pada tingkatan
seluler menjadi tidak teratur karena adanya informasi yang tidak sesuai
diberikan dari inti sel. Terdapat molekul DNA yang saling bersilangan
(crosslink) dengan unsur lain sehingga mengubah informasi genetik.
Terjadilah kesalahan pada tingkat seluler yang menyebabkan sistem
orang tubuh gagal untuk berfungsi.
g. Teori Apoptosis
Teori biologis juga mengaitkan hubungan antara apoptosis dengan
penuaan yang diajukan pada tahun 1970-an. Apoptosis ialah proses
perkembangan normal tanpa peradangan yang didorong oleh gen yang
terjadi terus menerus sepanjang hidup. Proses ini ditandai dengan
65


Universitas Indonesia
penyusutan sel dan pemeliharaan integritas membran, berbeda dengan
proses peradangan sebagai respon pada trauma yang ditandai dengan
pembengkakan sel dan kehilangan integritas membran. Salah satu
teori yang fokus pada apoptosis ialah teori fitur (feature theory) yang
dikemukakan dalam Essentials of gerontological nursing (2008).
Teori fitur ini menyatakan bahwa proses penuaan terkandung dalam
desain manusia dimana secara genetik usia manusia telah ditentukan.
Menurut teori ini, untuk mengubah proses penuaan hanya sedikit hal
yang bisa dilakukan meskipun berbagai intervensi diambil untuk
meningkatkan kesehatan dan mencegah penyakit. Teori fitur
menyatakan tujuan utama dari penuaan ialah untuk meningkatkan atau
menyempurnakan manusia. Pendukung teori ini melihat variasi luas
dari segi usia pada orang-orang yang hidup di lingkungan yang mirip.
Ada sebuah teori yang bertentangan dengan teori fitur. Teori ini
adalah teori kecacatan (defect theory). Teori kecacatan Wallace (2008)
dalam Essentials of gerontological nursingmenyatakan bahwa
kerusakan yang terjadi dalam proses penuaan terjadi sebagai bentuk
kecelakaan atau kesalahan cara untuk memperpanjang kehidupan.
h. Teori Pembatasan Kalori
Teori pembatasan kalori dalam Nursing for wellness in older adults
(2012) berdasarkan pada berbagai penelitian pada hewan dimana telah
ditemukan bahwa mengurangi asupan kalori antara 30%-40% sebagai
bentuk intervensi secara dramatis dapat meningkatkan harapan hidup
(Pearl, 1928). Ada banyak bukti ilmiah yang menyatakan bahwa
pembatasan kalori tapi bergizi ini memiliki banyak efek
menguntungkan pada hewan, termasuk meningkatkan kemampuan
untuk melindungi sel, meningkatkan resistensi sel terhadap stress, dan
meningkatkan harapan hidup yang lebih lama serta sehat (Barzilai &
Bartke, 2009).



66


Universitas Indonesia
2.17 Teori Psikososial Menua
Berikut teori psikososial menua:
a. Teori Putus Hubungan (Disengagement Theory)
Masyarakat (society) dan orang tua saling mempunyai hubungan
timbal balik dan penarikan diri lansia dilakukan untuk menjaga
keseimbangan sosial. Teori ini menggambarkan proses penarikan diri
oleh lansia dari peran bermasyarakat dan tanggung jawabnya. Menurut
ahli teori ini, proses penarikan diri ini dapat diprediksi, sistematis,
tidak dapat dihindari, dan penting untuk fungsi yang tepat dari
masyarakat yang sedang tumbuh. Lansia dikatakan bahagia apabila
kontak sosial telah berkurang dan tanggung jawab telah diambil oleh
generasi yang lebih muda. Manfaat pengurangan kontak sosial bagi
lansia adalah agar ia dapat menyediakan waktu untuk merefleksikan
pencapaian hidupnya dan untuk menghadapi harapan yang tidak
terpenuhi, sedangkan manfaatnya bagi masyarakat adalah dalam
rangka memindahkan kekuasaan generasi tua kepada generasi muda.
(Miller, 2012).
b. Teori Aktivitas (Activity Theory)
Lansia secara psikososial akan sehat apabila mereka dapat aktif di
dalam aktifitas sosial dan fisik yang mereka senangi (Stanley,
2007 Teori aktivitas didasarkan pada anggapan bahwa orang tua tetap
bertahan pada lingkungan fisik dan sosialnya jika mereka tetap terlibat
secara aktif dalam hidupnya (Miller, 2009). Berdasarkan teori ini,
lansia tidak berupaya melepaskan diri dari lingkungan tetapi
sebaliknya memilih tetap aktif dan dilibatkan. Aktivitas informal lebih
berpengaruh daripada aktivitas formal. Kerja yang menyibukkan
tidaklah meningkatkan harga diri seseorang, tetapi interaksi yang
bermakna dengan orang lainlah yang lebih meningkatkan harga diri.
Dari satu sisi aktivitas lansia menurun, namun dapat dikembangkan
dengan melakukan aktivitas yang sesuai dengan usianya. Goerge
(2006) dalam Miller (2012) menyatakan bahwa ada hubungan yang
67


Universitas Indonesia
positif antara keberhasilan proses penuaan dan tingkat aktivitas yang
bermakna, termasuk diri sendiri, sosial dan fisik.
c. Teori Human Needs
Teori ini diusung berdasarkan teori kebutuhan manusia Abraham
Maslow yang memberikan pandangan holistik bahwa perkembangan
individu dapat dipengaruhi oleh pengalaman yang berbeda dari
individu itu sendiri. Selain itu juga didapat dari pengaruh Carl Roger
yang percaya bahwa proses menjadi dewasa yang berfungsi penuh
dibantu oleh hubungan penting yang memberikan hal positif sepanjang
hidup (Berger, 1994 dalam Stanhope & Lancaster, 2000). Teori human
needs memandang seseorang sebagai individu yang unik, menentukan
dirinya sendiri, patut dihormati, dan diarahkan oleh bermacam
kebutuhan dasar manusia (Stanhope & Lancaster, 2000). Menurut
pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa perilaku seseorang
dimotivasi oleh kebutuhan manusia yang menyeluruh dari mulai
kebutuhan yang paling dasar seperti makan, tidur hingga kebutuhan
yang paling tinggi yaitu aktualisasi diri.
d. Teori Life Course and Personality Development
Teori life course menyebutkan usia lanjut merupakan bagian dalam
konteks siklus kehidupan, sedangkan teori personality development
mengidentifikasi tipe-tipe kepribadian sebagai kekuatan yang
mendorong pada penuaan yang sukses atau gagal. Pada teori life
course, bagaimana seseorang menguasai satu tahap dengan sukses
maka akan menjadi dasar bagaimana orang tersebut akan menguasai
dengan berhasil atau tidaknya pada tahap selanjutnya.
e. Teori Gerotransenden
Di teori gerotransendennya, Tornstam (1999) menemukan pemahaman
baru tentang perkembangan proses penuaan. Tornstam
mengungkapkan bahwa penuaan manusia merupakan proses kehidupan
menjadi tua, dikarakteristikkan dengan potensi umum menuju
gerotransenden. Menurut Tornstam, gerotransenden adalah tahap akhir
dari perkembangan alami yang mengarah pematangan dan
68


Universitas Indonesia
kebijaksanaan, mencapai gerotransenden bearti mencapai
kebijaksanaan. Pada toeri Jung tentang teori proses individu (1930),
teori gerotransenden termasuk predisposisi kemajuan pada kematangan
dan kebijaksanaan.
Tabel 2.21 Tanda gerotransenden
Tingkat Tanda-tanda
Tingkat Kosmik - Waktu dan tempat. Perubahan pada
perkembangan waktu dan tempat. Contoh,
membatasi kejadian di masa lalu dan sekarang.
- Hubungan dengan generasi penerus.
Pencapaian kasih sayang.
- Hidup dan mati. Menghilangkan rasa takut mati
dan pemahaman baru terhadap hidup dan mati.
- Misteri kehidupan. Dimensi misteri kehidupan
dapat diterima.
- Kegembiraan diri. Dari kejadian besar ke kecil,
pengalaman bahagia yang besar melalui
kejadian/perwujudan yang kecil.
Diri Sendiri - Konfrontasi diri. Penemuan aspek diri yang
tersembunyi baik kejadian yang baik atau
buruk.
- Penurunan pusat diri. Mengesampingkan diri
dari kejadian yang terjadi.
- Perkembangan transenden tubuh. Perawatan
tubuh kontinu, tetapi tidak obsesi diri.
- Transenden diri. Perubahan dari egois menjadi
peduli pada orang lain.
- Penemuan dengan anak. Kembali dan berubah
ke masa anak-anak.
- Integritas diri. Individu menyadari teka-teki
hidupnya.
Hubungan Sosial dan - Perubahan hubungan yang berarti dan penting.
69


Universitas Indonesia
Individu Lebih selektif dan kurang tertarik dengan
hubungan dangkal, kebutuhan untuk tenang
meningkat.
- Bermain peran. Mengerti perbedaan diri
dengan peran yang diambil, terkadang ada
keinginan menolak peran.
- Emansipasi perasaan bersalah. Untuk menjadi
lebih dewasa/matang.
- Pertapaan modern. Mengerti kekayaan dan
bebas mengembangkannya.
- Bijaksana setiap hari. Enggan melihat
perbedaan salah benar, lebih memilih memberi
putusan dan masukan.

f. Teori Psikodinamik Erikson
Teori ini dikenal pada tahun 1950 dan 1982. Teori ini merupakan teori
pertumbuhan dan perkembangan manusia dari lahir sampai usia tua,
termasuk proses menua. Berdasarkan teori ini perkembangan manusia
melalui tujuh tahap, setiap tahapnya berbeda ciri masalah dan
solusinya. Mencapai akhir di tahap delapan, diharapkan individu
mempunyai tingkatan dewasa yang lebih tinggi. Ditahap ini, individu
akan melihat kembali bagaimana hidup. Jika bisa menerima dengan
puas, maka dia akan mencapai integritas diri. Jika individu tidak
mencapai integritas dirinya, dia akan putus asa dan takut mati. Sintesis
pada tahap delapan disebut kebijaksanaan, tetapi tidak menyatakan
secara langsung kebijaksanaan yang sebenarnya. (Erikson et.al., 1986).
Contoh, lansia yang bisa merasa puas selama hidupnya akan
mempunyai rasa percaya diri dan integritas diri yang tinggi.
g. Teori Gender and Aging
Pada teori psikologikal, menua dan gender menjadi kesatuan. Studi
mengenai perbedaan gender, seperti penggabungan variabel sosial dan
psikologis yang membuat pekerjaan sulit untuk dilaksanakan.
70


Universitas Indonesia
Perbedaan dasar pada gender terletak pada awal kehidupan pendidikan,
perbedaan peran, gaya hidup tidak hanya menggabungkan analisis
tetapi mengalami perubahan yang besar selama kehidupan. Perbedaan
pada perilaku kognitif antara lansia laki-laki dan perempuan sulit
ditentukan. Perbedaan gender pada masa tua terjadi pada bagian
kognitif, emosi dan penglihatan. Contoh, lansia laki-laki dan
perempuan berbeda dalam menghadapi masalah atau kematiannya;
perempuan lebih banyak memberi masukan kepada orang yang usianya
lebih muda darinya.

2.18 Teori Perubahan Fisik Menua
a. Perubahan sistem neurologis
Penurunan aliran darah serebral dan penggunaan oksigen juga terjadi.
Penyusutan neuron terjadi sebanyak 10% pada usia 80 tahunan.
Distribusi neuron kolinergik, norepinefrin, dan dopamin tidak
seimbang, dan dikompensasi dengan hilangnya sel sel sehingga
mengakibatkan penurunan intelektual (Miller, 2009; Stanley, 2006;
Wallace, 2007). Konduksi saraf perifer yang melambat
mengakibatkan refleks tendon yang lambat dan meningkatkan waktu
untuk bereaksi. Peningkatan lipofusin sepanjang neuron-neuron juga
terjadi secara normal. Hal ini mengakibatkan vasokontriksi dan
vasodilatasi yang tidak sempurna. Lansia juga mengalami penurunan
keefektifan termoregulasi oleh hipotalamus sehingga meningkatkan
resiko kehilangan panas tubuh (Miller, 2009; Stanley, 2006; Wallace,
2007).
b. Perubahan Sensori
Perubahan pada fungsi pendengaran terjadi pada setiap bagian
telinga. Perubahan pada telinga bagian luar adalah pertumbuhan
rambut di telinga, penipisan dan pengeringan kulit telinga, dan
peningkatan keratin. Hal ini menyebabkan adanya gangguan pada
konduksi suara. Perubahan pada telinga bagian tengah adalah
berkurangnya gaya pegas di membran timpani, pengerasan tulang
71


Universitas Indonesia
kecil, dan kelemahan tulang serta otot telinga. Hal ini menyebabkan
adanya gangguan konduksi udara. Pada telinga bagian dalam adalah
berkurangnya neurons, suplai darah, degenerasi spiral ganglia
menyebabkan presbikusis. Presbikusis adalah berkurangnya
kemampuan untuk mendengar suara dengan frekuensi tinggi dan
mendeteksi volume suara (Arenson, 2009; Miller, 2009; Stanley,
2006; Wallace, 2007).
Pupil menurun menyebabkan lapang pandang sempit dan
mempengaruhi penglihatan perifer. Kornea mata menguning karena
akumulasi lemak. Hal ini menyebabkan penglihatan lebih kabur.
Lensa tidak bergantung pada suplai darah, tetapi bergantung pada air
yang berasal dari metabolisme, generasi layer ini tidak menggantikan
layer yang baru, sehingga etika bertambah usia layer menjadi keras,
tebal, dan buram. Perubahan ini menyebabkan gangguan pada
pengirimian sinar cahaya. Perubahan pada iris yang mengeras
menyebabkan mata tidak dapat mengatur respon terhadap cahaya yang
redup. Perubahan ini menyebabkan gangguan penglihatan pada lansia
dan tidak dapat diperbaiki dengan kacamata (Arenson, 2009; Miller,
2009; Stanley, 2006; Wallace, 2007).
Perubahan juga terjadi pada indra peraba dan pengecapan.
Kebutuhan lansia akan sentuhan semakin meningkat jika oragan yang
lain sudah mulai terganggu. Lansi lebih memilik mendapat sentuhan
taktil. Pada lansia, sentuhan harus dilakukan sesering mungkin
sehingga indra peraba merek a masih terus terasa. Perubahan pada
indra pengecapan lebih dimaknai pada perubahan pdaa menikmati
makanan yang dirasakan. Pada lansia, perubahan ini merupakan
kehilangan terbesar dalam kehidupan. Jumlah kuncup-kuncup perasa
pada lidah mengalami penurunan sensitifitas terhadap rasa (Stanley,
2006)
c. Perubahan pada respirasi
Perubahan pada organ respirasi bagian atas adalah perubahan
turbin nasal mengecil, penurunan sekresi mukus karena perubahan
72


Universitas Indonesia
kelenjar submukosa. Karena hal ini, mukus di nasofaring menjadi
lebih tebal dan susah dikeluarkan. Efek penuaan juga terdapat pada
kartilago yang membantu epiglotis untuk menutup dan mencegah
benda asing masuk ke pernapasan bagian bawah menjadi keras. Laring
juga mengalami penurunan fungsi sehingga menurunkan gag refleks.
Paru-paru menjadi lebih kecil dan lunak, beratnya berkurang
mencapai 20% (Miller, 2009). Parenkim paru mengalami perubahan
signifikan, dimana ujung bronkiolus, duktus alveolus, alveolus, dan
kapiler mengalami penipisan dinding. Hal ini menyebabkan
penurunan dinding alveolus selama 4% perdekade, arteri pulmonal
menjadi lebih besar, panjang, dan luas. Jumlah kapiler berkurang, dan
tekanan kapiler pulmonal menjadi berkurang . pada akhirnya, dinding
mukosa tempat difusi menjadi lebih tebal dan sulit melakukan difusi.
Hal ini juga berdampak pada elastic recoil. Dalam keadaan ini, jalan
napas menjadi menutup sebelum waktunya, sehingga udara
terperangkap di dalam jalan napas, sehingga tidak dapat melakukan
ekspirasi maksimal. Hal ini menyebabkan kapasitas vital paru dan
aliran udara menjadi menurun. Keadaan ini juga berdampak pada
pertukaran gas di alveolus. Karena jalan napas menutup lebih cepat,
pertukaran gas lebih banyak terjadi di alveolus bagian bawah. Hal ini
menyebabkan inspirasi udara terjadi di bagian atas. Sehingga ventilai
dan perfusi menjadi tidak sebanding (Miller, 2009; Stanley, 2006;
Wallace, 2007).
d. Perubahan pada kardiovaskuler
Penurunan fungsi akibat penuaan terjadi selama lama dan
berangsur angsur. Secara struktur, perubahan terjadi pada ketebalan
dinding ventrikel karena adanya peningkatan densitas kolagen dan
hilangnya fungsi serat elaastis. Ukuran ruang-ruang jantung tidak
mengalami perubahan. Karena itu jantung menjadi kurang mampu
berdistensi dan kekuatan kontraktil kurang efektif. Katup aorta dan
katup mitral mengalami penebalan dan tonjolan. Kekakuan pada
bagian dasar pangkal aorta mengahalangi pembukaan katup secara
73


Universitas Indonesia
lengkap sehingga terjadi obstruksi parsial selama sistole.hal ini juga
menyebabkan jantung sulit untuk melakukan kontraksi. Kondisi ini
mempengaruhi jaringan ikat dan fibrosa sehingga ditemukan sedikit
sel pacemaker yang idtemukan.
Sistem aorta dan arteri perifer juga mengalami perubahan, yaitu
kekakuan dan tidak lurus. Lapisan tunika media mnegalami
peningkatan serta elastin dan kolagen sehingga pembuluh darah
menjadi membesar sehingga menyebabkan hipertensi. Lapisan tunika
intima mengalami penebalan akibat fibrosis, selular proliferasi, dan
peningkatan lemak dan kalsium sehingga menyebabkan
arteriosklerosis, jika terjadi perubahan atau gangguan pada tunika
media maka menyebabkan hipertensi. Kompensasi tubuh dengan
melakukan dilatasi pembuluh darah, tetapi hal ini menyebabkan
penumpukan darah di vena dan edema, katup katup vena tidak dapat
menutup secara sempurna (Arenson, 2009; Miller, 2009; Stanley,
2006; Wallace, 2007).
Secara fungsional, perubahan yang utama adalah penurunan
kemampuan untuk meningkatkan stroke volume sebagai kompensasi
peningkatan kebutuhan tubuh. Curah jantung pada saat istirahat tetap
stabil dan sedikit menurun. Curah jantung lama lama menurun.
Peningkatan pengisian diastolik diperlukan untuk mempertahankan
preload yang adekuat sehingga tekanan diastole menjadi rendah.
Jantung lansia mengalami penurunan respon terhadap katekolamin,
sehingga tidak dapat meningkatkan denyut jantung. Prinsip
mekanisme jantung pada lansia adalah dengan meningkatkan volume
sekuncup (hukum starling). Prinsip yang dilakukan oleh pembuluh
darah adalah dengan meningkatkan tekanan sistolik secara progresif,
sehingga batas normal tinggi pada lansia dalah 160 mmHG. Adanya
penebalan katup menyebabkan terdengarnya suara s4 (Arenson, 2009;
Miller, 2009; Stanley, 2006; Wallace, 2007).


74


Universitas Indonesia
e. Perubahan pada muskuloskeletal
Penurunan tinggi badan progresif yang disebabkan oleh
penyempitan diskus intervetebra yang menyebabkan postur tubuh
bngkuk dengan penampilan barrel-chest. Lansia mengalami
peningkatan risiko jatuh karena kekuan rangka tulang dada pada
keasaan mengembang. Penurunan produksi tulang kortikal dan
trabekular sehingga meningkatkan risiko fraktur. Pada tulang juga
mengalami penurunan absorbsi kalsium yang bisa mengakibatkan
resiko osteoporosis (Miller, 2009; Wallace, 2007).
Penurunan massa otot dengan kehilangan lemak subkutan
mempengaruhi kontur tubuh yang tajam serta pengkajian status hidrasi
sullit serta penurunan kekuatan otot. Lansia juga mengalami eaktu
kontraksi dan relaksasi muskular menjadi lebih panjang. Hal ini
menyebabkan perlambatan waktu untuk bereaksi. Ligamen dan sendi
juga mengalami kekakuan yang menyebabkan peningkatan risiko
cedera (Wallace, 2007).
f. Perubahan Sistem Eliminasi
Perubahan sistem elimnasi terjadi pada dua fungsi, eliminasi urin
dan fekal. Perubahan system eliminasi urin diataranya kapasitas
kandung kemih yang lebih kecil, peningkatan volume residu dan
kontraksi kandung kemih yang tidak disadari. Atrofi otot-otot akibat
penuaan secara umum memengaruhi otot-ototo kandung kemih,
sehingga tidak sekuat pada saat usia muda.
Perubahan sistem elimnasi fekal terjadi pada gerakan peristaltik
menurun seiring dengan peningkatan usia dan melambatnya
pengosongan esophagus yang melambat dapat menimbulkan rasa
tidak nyaman di bagian epigaster abdomen. Materi pengabsorpsian
pada mukosa usus berubah, menyebabkan protein, vitamin, dan
mineral berkurang. Lansia juga kehilangan tonus otot pada otot dasar
perineum dan sfingter anus. Walaupun integritas sfingter eksterna
tetap utuh, lansia mungkin mengalami kesulitan dalam mengontrol
pengeluaran feses. Beberapa lansia kurang menyadari kebutuhannya
75


Universitas Indonesia
untuk berdefekasi akibat melambatnya impuls saraf sehingga mereka
cenderung mengalami konstipasi
g. Perubahan Sistem Integumen pada Lansia
Tabel 2.22 Perubahan sistem integument lansia
Penyebab Perubahan Perubahan yang Terjasi
pelembab di stratum korneum
berkurang
penampilan kulit lebih kasar
Jumlah sel basal menjadi lebih sedikit
, perlambatan dalam proses perbaikan
sel, dan penurunan jumlah kedalaman
rete ridge
pengurangan kontak antara
epidermis dan dermis sehingga
mudah terjadi infeksi
Penurunan jumlah melanosit. perlindungan terhadap sinar
ultraviolet berkurang dan terjadinya
pigmentasi yang tidak merata pada
kulit
Kerusakan struktur nukleus
keratinosit.
perubahan kecepatan poliferasi sel
yang menyebabkan pertumbuhan
yang abnormal seperti keratosis
seboroik dan lesi kulit
papilomatosa
Volume dermal mengalami penurunan
yang menyebabkan penipisan dermal
dan jumlah sel berkurang
Rentan terhadap penurunan
termoregulasi, penutupan dan
penyembuhan luka lambat,
penurunan respon inflamasi, dan
penurunan absorbsi kulit terhadap
zat-zat topikal.
Penghancuran serabut elastis dan
jaringan kolagen oleh enzim-enzim
perubahan dalam penglihatan
karena adanya kantung dan
pengeriputan disekitar mata, turgor
kulit menghilang
jaringan subkutan mengalami
penipisan.
kulit yang kendur/ menggantung di
atas tulang rangka.
76


Universitas Indonesia
penurunan lemak tubuh gangguan fungsi perlindungan dari
kulit
Pertumbuhan kuku melambat

kuku menjadi lunak, rapuh, kurang
berkilsu, dan cepet
mengalami kerusakan

h. Perubahan Mobilisasi
Mobilisasi adalah kebutuhan manusia yang harus dipenuhi agar
kebutuhan dasar lain dapat tercapai dengan maksimal. Penyebab
gangguan mobiltas pada lansia tidak terjadi tiba-tiba, tetapi secara
perlahan dan tanpa disadari. Penyebab imoblitas diataranya penurunan
fungsi musculoskeletal, perubahan fungsi neurologis, jatuh dan nyeri.
Antara usia 20-60 tahun, kekuatan otot menurun hingga 30%, pada
usia 80 tahun, 50% kekeuatan otot menghilang. Gangguan mobilitas
yang biasa terjadi pada lansia adalah berkurangnya kekuatan otot,
keterbatasan rentang gerak persendian, menurunnya sistem pendukung
lain yang menambah resiko jatuh dan, fraktur pada lansia, seperti
penurunan penglihatan dan sistem syaraf (Miller, 2004). Selain
perubahan-perubahan tersebut, terdapat beberapa gangguan mobilisasi
yang sering terjadi pada lansia yaitu osteoporosis, jatuh dan fraktur,
serta arthritis. Mobilisasi adalah kebutuhan manusia yang harus
dipenuhi agar Lansia sangat rentan terhadap gangguan pergerakan
diataranya imobilitas, intoleransi aktivitas dan sindrom disuse.
i. Perubahan Istirahat
Orang lanjut usia juga akan mengalami perubahan pola tidur. Banyak
lansia yang mengeluhkan gangguan pola tidur. Kebutuhan tidur lansia
adalah sekitar 6 jam setiap malam. Para lansia mengalami penurunan
fungsi neurontransmiter yang ditandai dengan menurunnya distribusi
norepinefrin. Hal itu menyebabkan perubahan irama sirkadian,
dimana terjadi perubahan tidur lansia pada fase NREM 3 dan 4.
Sehingga lansia hampir tidak memiliki fase 4 atau tidur dalam
(Stanley, 2006).
77


Universitas Indonesia
j. Perubahan Termoregulasi
Pada Lansia, pengaturan fisiologis tubuh manusia yang sudah
mengalami penurunan usia untuk keseimbangan produksi panas dan
kehilangan panas sehingga tubuh dapat dipertahankan dengan stabil.
Pada seorang lansia, umumnya memliki suhu kurang dari 35 derajat
celcius, sedangkan suhu normal pada lansia seharusnya 36,5 37,2
derajat celcius. Rendahnya suhu pada lansia dapat dikatakan dengan
hipotermia. Bahaya hipotermia pada lansia dapat menyebabkan
meningkatnya risiko terkena berbagai penyakit dan kematian,
khususnya pada lansia yang berumur 75 tahun ke atas.
Pengaturan suhu tubuh
Hipotalamus dalam otak berfungsi untuk mengatur suhu
tertentu dari tubuh. Untuk mengatasi pada saat suhu tubuh
rendah, ada suatu mekanisme yaitu berupa tegaknya rambut
rambut pada kulit, mengecilnya pembuluh darah pada kulit, dan
menggigil sebagai kompensasi agar suhu tidak menjadi
semakin rendah. Sedangkan pada suhu tubuh yang tinggi,
pembuluh darah kulit akan melebar dan berkeringat sehingga
tubuh dapat mengeluarkan sebagian panas.
Penyebab gangguan pengaturan suhu
Pada umumnya lansia mengalami gangguan pengaturan suhu
tubuh, hal ini dikarenakan pengaturan suhu dari hipotalamus
yang menurun akibat proses menua. Proses menua inilah yang
mengakibatkan lansia kurang mampu untuk beradaptasi
terhadap perubahan suhu lingkunganya. Secara umum,
beberapa faktor yang dapat menyebabkan hipotermia pada
lansia adalah gangguan hipotalamus yang menua, obat-obatan,
dan penyakit yang menyebabkan berkurangnya pembentukan
panas atau meningkatnya pembuangan panas. Beberapa
penyakit dan obat-obatan dapat mengganggu mekanisme
pengaturan suhu tubuh pada lansia, contohnya adalah pada
lansia yang menderita hipoglikemia, parkinson, kelumpuhan,
78


Universitas Indonesia
dan demensia dapat menyebabkan berkurangnya aktivitas fisik
lansia sehingga pembentukan panas pun berkurang dan risiko
k. Sistem Gastrointestinal
Dalam memahami perubahan sistem gastrointestinal pada lansia,
beberapa hal yang harus diketahui adalah rongga mulut, esofagus,
lambung, usus, saluran empedu, hati, dan pankreas.
Rongga Mulut
Lansia sering mengalami gigi yang tanggal sebagai akibat dari
hilangnya tulang penyokong pada permukaan periosteal dan
peridontal. Hilangnya sokongan tulang ini juga mengakibatkan
kesulitan penyediaan sokongan gigi yang adekuat dan stabil.
Penyusutan fibrosis pada akar halus bersama- sama dengan
retraksi gusi yang mengakibatkan penanggalan gigi pada
penyakit periodontal. Mukosa mulut tampak merah dan
berkilat pada lansia karena adanya atrofi. Bibir dan gusi
tampak tipis karena epitelium telah menyusut dan menjadi
lebih mengandung keratin. Vaskularitas mukosa mulut
menurun dan gusi yang tampak pucat adalah akibat dari
menurunnya suplai darah.
Esofagus, lambung, dan usus
Motilitas esofagus pada usia lansia masih dapat dikatakan
normal walaupun esofagus sedikit berdilatasi seiring penuaan.
Sfingter esofagus bagian bawah kehilangan tonus, sehingga
refleks muntah pada lansia akan berkurang. Kombinasi dari
faktor ini dapat meningkatkan terjadinya risiko aspirasi pada
lansia. Terjadinya atrofi mukosa lambung dan penurunan
motilitas lambung mengakibatkan kesulitan dalam mencerna
makanan di mana atrofi ini disebabkan oleh penurunan sekresi
asam hidroklorik, dengan pengurangan absorpsi zat besi,
kalsium, dan vitamin B
12
.


79


Universitas Indonesia
Saluran Empedu, Hati, dan Pankreas
Pada saat Lansia memasuki usis 70 tahun, ukuran hati dan
pankreas akan mengecil, terjadi penurunan kapasitas
menyimpan dan kemampuan menyintesis protein dan enzim
enzim pencernaan. Sekresi insulin normal dengan kadar gula
darah yang tinggi (250 300 mg/dL), tetapi respons insulin
akan menurun seriring dengan peningkatan kadar gula darah
secara moderat. Proses penuaan telah mengubah proporsi
lemak empedu tanpa perubahan metabolisme asam empedu
yang signifikan. Faktor ini memengaruhi peningkatan sekresi
kolesterol.
l. Sistem Reproduksi
Lansia mengalami perubahan dalam produksi hormon seks yang
merupakan tanda fisiologis utama dari menopause. Berkurangnya
jumlah estrogen yang bersikulasi dan peningkatan jumlah androgen
pada wanita pascamenopause umunya dihubungkan dengan atrofi
saluran genital dan payudara, pengurangan massa tulang, dan
peningkatan kecepatan aterosklerosis.
Perubahan pada Saluran Genital
Vulva yang terdiri dari labia mayora, minora, klitrois, dan
vestibula vagina mengalami atrofi dan labia cenderung
menyatu dengan kulit di sekitarnya. Kehilangan rambut dan
lemak subkutan menampakkan permukaan kulit yang tipis dan
kendur. Vagina mengalami beberapa perubahan yang secara
langsung berhubungan dengan pengurangan estrogen. Epitel
vagina menjadi tipis dan kehilangan vaskularisasi dan
elastisitas, sehingga tampak pucat dan kering. Sekresi vagina
yang berkurang mengakibatkan penurunan lubrikasi. Serviks
mengecil dan mengalami retraksi, sering menjadi satu dengan
dinding vagina. Uterus juga mengalami penurunan ukuran dan
menjadi lebih kecil daripada tahun reproduktif. Ovarium
80


Universitas Indonesia
mengalami atrofi dan menjadi tidak teraba pada saat
pemeriksaan.
Perubahan pada Payudara
Menopause menyebabkan jaringan payudara yang selama
reproduktif terdiri dari jaringan ikat fibrosa dan jaringan
kelenjar mamae mengalami atrofi dan digantikan oleh lemak.
Ketika jaringan adiposa timbul berlebihan pada payudara yang
mengalami penuaan, benjolan lemak mungkin akan teraba
pada saat dipalpasi dengan komplikasi diagnosis diferensial
berupa kanker payudara. Puting susu juga mengalami atrofi
dan kehilangan kemampuan arektilnya. Oleh karena itu, atrofi
pada jaringan payudara dan penurunan elastisitas legamen
penyangga dapat menyebabkan payudara berubah ukuran dan
bentuknya.
Sedangkan pada lansia yang berjenis kelamin pria,
perubahan yang terjadi tidak begitu signifikan, hanya saja
testis masih dapat memproduksi meskipun adanya penurunan
secara berangsur berangsur. Sexualitas pada lansia sebenarnya
tergantung dari caranya, yaitu dengan cara yang lain dari
sebelumnya, membuat pihak lain mengetahui bahwa ia sangat
berarti untuk dirinya. Juga sebagai seseorang yang lebih tua
tanpa harus berhubungan badan, masih banyak cara lain unutk
dapat bermesraan dengan pasangan sesama lansia. Pernyataan
pernyataan lain yang menyatakan rasa tertarik dan cinta akan
lebih banyak mengambil alih fungsi hubungan sexualitas
dalam pengalaman seks.

2.19 Teori Spiritual Menua
Spiritual adalah keyakinan dalam hubungannya dengan Yang
Maha Kuasa dan Maha Pencipta (Hamid, 2000). Spiritual juga disebut
sebagai sesuatu yang dirasakan tentang diri sendiri dan hubungan dengan
orang lain, yang dapat diwujudkan dengan sikap mengasihi orang lain,
81


Universitas Indonesia
baik dan ramah terhadap orang lain, menghormati setiap orang untuk
membuat perasaan senang seseorang. Menurut Mickley et al (1992)
menguraikan spiritual sebagai suatu yang multidimensi yaitu dimensi
eksitensial dan dimensi agama. Dimensi eksistensial berfokus pada tujuan
dan arti kehidupan, sedangkan dimensi agama lebih berfokus pada
hubungan seseorang dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Spiritual sebagai
konsep dua dimensi, dimensi vertikal sebagai hubungan dengan Tuhan
atau Yang Maha Tinggi yang menuntun kehidupan seseorang, sedangkan
dimensi horizontal adalah hubungan dengan diri sendiri, dengan orang.
Menurut Hamid, 2000 seseorang dinyatakan terpebuhi kebutuhan
spiritualnya apabila mampu:
1) Merumuskan arti personal yang positif tentang tujuan
keberadaannya di dunia/kehidupan.
2) Mengembangkan arti penderitaan dan meyakini hikmah dari
suatu kejadian atau penderitaan.
3) Menjalin hubungan positif dan dinamis melalui keyakinan, rasa
percaya dan cinta.
4) Membina integritas personal dan merasa diri berharga.
5) Merasakan kehidupan yang terarah terlihat melalui harapan.
6) Mengembangkan hubungan antar manusia yang positif.












82


Universitas Indonesia
BAB 3
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Suatu wilayah dikatakan berstruktur tua apabila usia 65 tahun keatas
diatas 10 persen dari total penduduk. Sebaliknya dikatakan penduduk muda
jika usia dibawah 15 tahun mencapai sebesar 40 persen atau lebih dari
jumlah penduduk (Statistics Indonesia, 2013). Menurut data badan statistik
Indonesia tahun 2010, jumlah lansia di Indonesia mencapai 7,58 persen dari
keseluruhan penduduk. Untuk itu perkembangan Ilmu gerontologi dan
geriarti saat ini sangat dibutuhkan karena Indonesia di masa yang akan
datang diproyeksikan menjadi negara dengan penduduk berstruktur tua.
Pengertian gerontologi menurut miller adalah pembelajaran mengenai
penuaan dan lansia, sedangkan geriatri merupakan cabang ilmu dari
gerontologi dan kedokteran yang mempelajari kesehatan pada lansia dalam
berbagai aspek, yaitu promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Pada
prinsipnya geriatri mengusahakan masa tua yang bahagia dan berguna
(Depkes RI, 2000). Bentuk pelayanan keperawatan yang profesional dengan
menggunakan ilmu ini dalam keperawatan gerontik mencakup
biopsikososial dan spiritual lansia sehat maupun sakit tujuannya adalah
memenuhi kenyamanan lansia, mempertahankan fungsi tubuh melalui ilmu
dan teknik keperawatan gerontik.
Peran perawat gerontik dalam hal ini disesuaikan dengan tahap
perkembangan lansia, dalam artian di sesuaikan dengan kebutuhan lansia
tersebut. Secara umum, peran perawat gerontik terdiri dari healers,
visionary, clinician, pendidik, advokat, ahli anggaran dan spesialis hal yang
berkenaan dengan peraturan. Dalam melaksanakan keperawatan gerontik
ini, perawat mengikutsertakan keluarga, agar memahami perkembangan
lansia dan tercipta hubungan yang harmonis di dalam keluarga tersebut.
Setiap manusia akan melewati proses perkembangan, begitu pula
dengan lansia. Terdapat teori teori menua dan perubahan bio-psiko-sosial
dan spiritual pada proses menua, diantaranya adalah teori biologis, teori
82
83


Universitas Indonesia
psikologis, dan teori psikososial. Ketika telah mencapai usia lanjut, terdapat
karakteristik dari lansia seperti keterbatasan fungsional tubuh
(melihat,mendengar, mengingat, dan lain lain), ketenagakerjaan, tingkat
pendidikan lansia, kehidupan sosial dan ekonomi, yang mana ini dijadikan
komponen penunjang data demografi lansia di Indonesia.
3.2 Saran
Perawat gerontik harus mengerti bagaimana tahap perkembangan dan
tugas perkembangan dari lansia. Pemahaman akan tahap perkembangan
lansia akan membantu perawat dalam memberikan asuhan keperawatan
gerontik yang sesuai dengan kebutuhan klien. Dalam melaksanakan
keperawatan gerontik ini, tidak lepas juga dari campur tangan keluarga.
Perawat juga harus tetap melibatkan keluarga sesuai dengan peran anggota
keluarga tersebut, demi terciptanya keharmonisan hubungan antara
keluarga, lansia, dan perawat itu sendiri.


















84


Universitas Indonesia
DAFTAR REFERENSI

Acute Care Therapy.http://tulanehealthcare.comour-
services/rehabilitation/servicedetail.dot? id=e5481613-42a1-47af-9857-
265599611a7c. United States : Tulane Medical Center diakses pada 20
Februari 2014
Adult-Gerontology Acute Care NP FAQs.
http://www.miami.edu/sonhs/index.php/sonhs
/academics/master_programs/adultgerontology_acute_care_nurse_practition
er_program/adult-gerontology_acute_care_nurse_practitioner_faqs/. Miami :
School of Nursing & Health Studies University of Miami diakses pada 16
Februari 2014
Allender, J.A. Warner, K. D., & Rector, C. (2014). Community and public health
nursing: promoting the public's health. (8
th
ed.). Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.
Ali, Zaidin. (2006). Pengantar keperawatan keluarga. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Annette, G. L. (2000). Gerontological nursing. St. Louis: Mosby.
Badan Pusat Statistik Indonesia. 2013. Demografi.
http://www.datastatistikindonesia.com/portal/index.php?option=com_tabel
&task=&Itemid=165, diakses 15 februari pukul 20.05
Badan Pusat Statistik RI. (2010). Statistik Penduduk Lanjut Usia Indonesia
2010. http://www.bps.go.id/hasil_publikasi/stat_lansia_2010/ diakses 15
februari 2013 pukul. 20.50.
Bailon, Salvacion G. 1978. Family Health Nursing. University of The Philipines :
Diliman.
Bonder, Bette R. & Bello-Haas, Vanina D. (2009). Functional performance in
older adults. (3
rd
ed.). Philadelphia: F. A. Davis Company.
Chilton, S., et al. (Eds.). (2004). Nursing in the community: An essential guide to
practice. London: Arnold.
84
85


Universitas Indonesia
Cox, H.C., et al. (2002). Clinical application of nursing diagnosis: Adult, child,
womens, psychiatric, gerontic & home health considerations. (4
th
ed.).
Philadelphia: F.A. Davis Company.
Craven, R. F., Hirnle, C. J. (2007). Fundamental of nursing: human health and
function. 5
th
ed. Philadelphia: Lippincott, Williams & Willkins.
Departemen Kesehatan RI. (2001). Pedoman pembinaan usia lanjut usia bagi
petugas kesehatan. Jakata: Direktorat Bina Kesehatan Keluarga.
Departemen Kesehatan RI. (2002). Pedoman perawatan kesehatan di rumah.
Direktorat Keperawatan, Ditjend. Yanmed: Jakarta
Ebersole, P. Hess, et al. (2005). Gerontological nursing & health aging. (2
nd
ed.).
St. Louis Missouri: Mosby Inc.
Efendi, F. & Makhfudli. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan
Praktek dalam keperawatan. Penerbit: salemba Medika.
Egusti, C. S., Guire, L., Stone, C. S. (2002). Comprehensive community health
nursing family, aggregate, & community practice. St. Louis : Mosby.
For Sub Acute Settings.
http://www.health.vic.gov.au/qualitycouncil/fallsprevention/module
3/301.htm. Australia : Victorian Government Health Information ,
Department of Health diakses pada 20 Februari 2014
Friedman. 1998. Keperawatan keluarga. Jakarta : penerbit buku kedokteran EGC.
Fortinash, K M & Holoday-Worret P A. 1999. Psychiatric nursing care plans 3
th

edition. California: Mosby.
Guttmacher, S., & Kelly, P. J., & Janecko, Y. R. (2010). Communnity-based
health interventions: principles & applications. San Francisco: John Wiley
& Sons.
Harimurti, K. (2010). Perawatan usia lanjut di rumah (home care). Available at:
http://www.komnaslansia.go.id/modules.php?name=News&file=article&si
d=57&mode=thread&order=0&thold=0
Hunt, Roberta. (2009). Introduction to community-based nursing. (4
th
ed.).
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Juniarti, Neti, & Kurnianingsih, Sari. (2006). Buku ajar keperawatan gerontik
edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
86


Universitas Indonesia
Kinasih, K.D & Wahyuningsih,A. (2002). Peran Pendampingan Spiritual
Terhadap Motivasi Kesembuhan pada Pasien Lanjut Usia.Jurnal Stikes
Volume 5 No. 1 Juli.
Komisi Nasional Lanjut Usia. (2009). Profil Penduduk Lanjut Usia 2009.
(http://www.komnaslansia.go.id/d0wnloads/profil/Profil_Penduduk_Lanjut_
Usia_2009.pdf) Diakses pada tanggal 15 febuari 2014 pukul 20.03
Komisi Nasional Lanjut Usia. (2010). Pedoman pelaksanaan posyandu lanjut
usia.
Kozier, et al. (2010). Buku ajar fundamental keperawatan: Konsep, proses, dan
praktik. (7
th
ed.). (Vols. 2). Jakarta: EGC.
Lubis, M. (2011). Lansia. Diambil dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26951/4/Chapter%20II.pdf
diakses pada hari kamis, 20 Februari 2014 pukul 11.00 WIB.
Lueckenotte, A.G. (1996). Gerontologic nursing. 2
nd
ed. St. Louis, Missouri:
Mosby, Inc.
Maryam, R. S., et al. (2008). Mengenal usia lanjut & perawatannya. Jakarta:
Salemba Medika.
Mauk L, Kristen. (2006). Gerontological nursing competencies for care. Sudbury:
Jones and Bartlett Publishers.
Maryam, Siti. (2008). Mengenal usia lanjut dan perawatannya. Jakarta: Penerbit
Salemba Medika
Miller, C.A. (2012). Nursing for wellness in older adults. 6
th
Edition.
Philadelphia: Wolters Kluwer, Lipincott William & Wilkins.
Nugroho, Wahjudi. (2006). Komunikasi dalam keperawatan gerontik. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran: EGC.
Perriscone, Nicholas. (2002). The Perricone Precription. New York: Harper
Collins Publishers.
Potter, P.A., dan Perry A.G. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan: konsep,
proses, dan praktik. (4
th
ed.). (Vols. 1). Jakarta: EGC.
Rice, R. (2006). Home care nursing practice: concepts and applications. (4
th
ed.).
St. Louis: Elsevier Mosby.
87


Universitas Indonesia
Rosdahl, C. B. & Kowalski M. T. (2008). Textbook of basic nursing. 9th Edition.
USA: Lippicontt Williams & Wilkins.
Roach, S. (2006). Introductory gerontological nursing. Philadelphia: Lippincot.
Santoso, Hanna dan Ismail, Andar. (2009). Memahami Krisis Lanjut Usia.
Jakarta: Gunung Mulia.
Suprajitno. (2004). Asuhan keperawatan keluarga: Aplikasi dalam praktik.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Stanley, Mickey, and Patricia. (2006). Buku ajar keperawatan gerontik. (2
nd
ed.).
Jakarta: EGC.
Stanhope, Marcia & Lancaster, Jeanette. (2014). Foundation of nursing in the
community: Community-oriented practice. (4
th
ed.). St. Louis, Missouri:
Elsevier.
Stuart, G.W., dan Laraia, M..T., (2005). Principles and practice of psychiatric
nursing, 8
th
ed. St. Louis, Missouri: Mosby, Inc
Stuart, Gail W.(2009). Principles and practice of psychiatric nursing. Mosby
Elsevier
Sub-Acute Care Rehabilitation Program.
http://www.med.umich.edu/geriatrics/patient/ subacute.htm. Michigan:
University of Michigan Health System diakses pada 20 Februari 2014
Suhartin, Prastiwi. (2010). Penelitian Tugas Akhir: Teori Penuaan, Perubahan
Pada Sistem Tubuh Dan Implikasinya Pada Lansia. Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Dipenogoro.
Tamher, S. & Noorkasiani. (2009). Kesehatan usia lanjut dengan pendekatan
asuhan keperawatan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika
Townsend, Mary C.(2009). Psychiatricmental health nursing: conceps of care in
evidence-based practice. 6nd ed. Philadelphia: F.A davis Company
Tyson, R.T. (1999). Gerontologial nursing care. W.B Saunders Company: USA.
Wallace, M. (2008). Essentials of gerontological nursing. New York: Springer
Publishing Company, LLC.

Anda mungkin juga menyukai