Home Group 5 Jenita Magdalena (1106053256) Julyarni (1106053123) Paramudita Tri Hardani (1106000842) Rosanita Intan Pratiwi (1106089092) Yesi Gustiani (1106018133) Zenithesa Gifta Nadirini (1106001630)
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK Maret 2014 1
Universitas Indonesia KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Konsep Perawatan Gerontik dan Teori Menua ini. Makalah ini disusun dengan tujuan untuk membantu pembaca khususnya perawat dalam memahami konsep diri dan nilai keyakinan pada lansia. Kami menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sangatlah sulit bagi kami untuk menyelesaikan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada: (1) Ns. Widyatuti, S.Kp., M.Kes., Sp.Kom selaku fasilitator mata ajar Gerontik I yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan kami dalam penyusunan makalah ini; (2) Orang tua dan keluarga yang telah memberikan bantuan dukungan material dan moral; dan (3) Pihak-pihak lain yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu. Seperti kata peribahasa, tak ada gading yang tak retak. Oleh karena itu, kami membuka diri bagi siapa saja yang ingin memberikan saran dan kritik yang membangun, agar kami dapat melakukan perbaikan di masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Depok, 5 Maret 2014 Penyusun
ii 2
Universitas Indonesia DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......... KATA PENGANTAR ........ DAFTAR ISI ...................... 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...... 1.2 Rumusan Masalah . 1.3 Tujuan Penulisan ... 1.4 Metode Penulisan .. 1.5 Sistematika Penulisan ....
2. ISI 2.1 Perbedaan Gerontologi, Geriatri, dan Keperawatan Gerontik .. 2.2 Peran Perawat Gerontik secara Umum . 2.3 Peran Perawat Gerontik pada Setting Acute Care.. 2.4 Bentuk Pelayanan Keperawatan dan Kesehatan Lansia pada Acute Care Setting ....... 2.5 Peran Perawat pada Nursing Home Setting ............... 2.6 Bentuk Pelayanan Keperawatan dan Kesehatan Lansia pada Nursing Home Setting.. 2.7 Peran Perawat pada Newers Model of Nursing Home Care . 2.8 Bentuk Pelayanan Keperawatan dan Kesehatan Lansia pada Newers Model of Nursing Home Care.... 2.9 Peran Perawat pada Community-based Services pada Lansia .. 2.10 Bentuk Pelayanan Keperawatan dan Kesehatan Berbasis Komunitas bagi Lanjut Usia.............................. 2.11 Peran Perawat dalam Pelayanan Home Care . 2.12 Bentuk Pelayanan Keperawatan dan Kesehatan Lanjut Usia pada Setting Home Care Service ................................ 2.13 Demografi Lanjut Usia di Indonesia dan kota Depok 2.13.1 Demografi lanjut usia di Indonesia 2.13.2 Demografi lanjut usia di kota Depok . 2.14 Tugas Perkembangan Keluarga dengan Lansia . 2.15 Tugas Perkembangan Individu Lansia .. 2.16 Teori Biologis Menua 2.17 Teori Psikososial Menua 2.18 Teori Perubahan Fisik Menua 2.19 Teori Spiritual Menua
1.1 Latar Belakang Manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Proses ini terjadi mulai dari neonatus hingga kematian. Ketika individu memiliki waktu hidup cukup lama, maka individu tersebut akan mengalami fase penuaan atau lansia. Menurut data BPS (2009) provinsi Jawa Barat termasuk 11 provinsi di Indonesia dengan kategori wilayah berstruktur tua karena populasi lansia mencapai lebih dari 7% dari populasi penduduknya. Sedangkan jumlah penduduk lansia di kota Depok pada tahun 2010 mencapai 129 ribu jiwa atau 8,6% dari 1.610.000 jiwa (Depok.go.id). Seiring dengan terus meningkatanya usia harapan hidup di dunia, semakin banyak pula jumlah populasi lansia. Saat penuaan terjadi maka terjadi pula proses perubahan fisik yang semakin menurun. Lansia akan mengalami banyak proses kehilangan mulai dari kemampuan tubuhnya, orang yang dicintai, pekerjaan, dll. Akan tetapi, proses menua ini tidak boleh dijadikan alasan untuk menurunkan kualitas hidup lansia. Menurut data demografi lansia yang dilakukan oleh BPS 2010, penyebaran lansia tertinggi adalah di daerah pedesaan, hal ini menyebabkan banyak lansia yang masih kurang mendapatkan pelayanan dari pemerintah khususnya pelayanan kesehatan. Lansia harus dapat beradaptasi dan mengantisipasi dampak penuaannya sehingga kualitas hidup yang baik dapat tercapai. Studi ilmu keperawatan juga berkembang seiring berjalannya waktu. Menyikapi hal mengenai individu yang mengalami proses penuaan dan penurunan fungsi tubuh serta perubahan psikososialnya, maka muncul bidang keilmuan keperawatan yang khusus membahas mengenai keunikan lansia dan perubahannya yang terspesialisasi dalam keperawatan gerontik. Ilmu keperawatan yang holistik juga memperhatikan dan memberikan asuhan keperawatan pada lansia dalam lingkup biologis, psikologis, sosial, spiritual dan kultural. Lansia dalam tahapannya beradaptasi pada proses menua juga perlu didukung oleh orang sekitar dan keluarga. Oleh sebab itu, perawat harus 1 2
Universitas Indonesia dapat melakukan intervensi keperawatan melibatkan keluarga atau orang yang merawat lansia.
1.2 Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam makalah ini meliputi: a. Bagaimana konsep gerontologi, gerontik dan geriatrik? b. Bagaimana teori biologis, psikologis dan sosial proses menua? c. Apa saja tugas perkembangan individu lansia dan keluarga dengan lansia? d. Apa saja peran perawat gerontik dalam pemenuhan kebutuhan biologis, psikososial dan spiritual? e. Bagaimana bentuk pelayanan keperawatan dan kesehatan bagi lansia? f. Bagaimana demografi lanjut usia di kota Depok dan Indonesia?
1.3 Tujuan Penulisan Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut: a. Mengetahui penjelasan mengenai konsep gerontologi, gerontik dan geriatrik. b. Mengetahui teori-teori menua (biologis, psikologis dan sosial). c. Mengetahui tugas perkembangan individu lansia dan keluarga dengan lansia. d. Mengkaji dan memahami peran perawat gerontik dalam pemenuhan kebutuhan biologis, psikososial dan spiritual dikaitkan dengan e. Mengetahui bentuk-bentuk pelayanan keperawatatan dan kesehatan bagi lansia. f. Mengetahui data demografi terbaru mengenai lansia di kota Depok dan Indonesia.
1.4 Metode Penulisan Metode penulisan dalam makalah ini yaitu menggunakan penelusuran pustaka. Penulis mencari referensi dari berbagai literatur baik dari buku maupun dari internet. Penulis kemudian mengintegrasikan semua sumber bacaan yang didapat. Penulis juga menyajikan hasil diskusi kelompok mengenai materi 3
Universitas Indonesia yang didapat dari literatur. Sedangkan untuk penulisan dalam makalah ini kami menggunakan metode penulisan Tugas Akhir UI.
1.5 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam makalah ini terdiri dari tiga bab. Bab pertama adalah pendahuluan, bab kedua adalah tinjauan pustaka dan bab ketiga yaitu penutup terdiri dari kesimpulan dan saran.
4
Universitas Indonesia BAB 2 ISI
2.1 Perbedaan Gerontologi, Geriatri, dan Keperawatan Gerontik Gerontologi berasal dari kata geros yang berarti lanjut usia dan logos berarti ilmu. Gerontologi adalah suatu pendekatan ilmiah dari berbagai aspek proses penuaan, yaitu biologis, psikologis, sosial, ekonomi, kesehatan, lingkungan, dan lain-lain (Depkes RI, 2001). Menurut Miller dalam buku Nursing for Welness, Gerontologi adalah ilmu yang mempelajari proses penuaan dan masalah yang akan terjadi pada lansia (Miller, 2012). Sedangkan, menurut Mauk dalam buku Gerontological Nursing Competencies for Care tahun 2006 mengatakan gerontologi adalah istilah yang luas yang digunakan untuk mendefinisikan suatu ilmu tentang orang lanjut usia. Geriatri sering digunakan sebagai istilah umum yang berkaitan dengan lanjut usia, tetapi secara khusus mengacu kepada urusan medis orang lanjut usia (Mauk, 2006). Geriatri merupakan cabang ilmu dari gerontologi dan kedokteran yang mempelajari kesehatan pada lansia dalam berbagai aspek, yaitu promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Pada prinsipnya geriatri mengusahakan masa tua yang bahagia dan berguna (Depkes RI, 2000). Geriatri dapat juga diartikan sebagai praktek medis yang membahas kebutuhan lansia secara kompleks dan fokus pada mempertahankan fungsional tubuh ketika mengalami penyakit kronis (AMSA, 2004). Menurut Maryam dalam buku Mengenal Usia lanjut dan Perawatannya tahun 2008 tujuan pelayanan geriatri itu sendiri yaitu mempertahankan derajat kesehatan setinggi-tingginya sehingga terhindar dari penyakit atau gangguan kesehatan, memelihara kondisi kesehatan dengan aktivitas fisik sesuai kemampuan dan aktivitas mental yang mendukung, melakukan diagnosis dini secara tepat dan memadai, melakukan pengobatan yang tepat, memelihara kemandirian secara maksimal serta tetap memberikan bantuan moril dan perhatian sampai akhir hayatnya agar kematiannya berlangsung dengan 4 5
Universitas Indonesia tenang. Prinsip-prinsip pelayanan geriatri adalah sebagai berikut (Maryam, 2008): a. Pendekatan yang menyeluruh (biopsikososialspiritual). b. Orientasi terhadap kebutuhan klien. c. Diagnosis secara terpadu. d. Team work (koordinasi). e. Melibatkan keluarga dalam pelaksanaanya. Menurut Maryam dalam buku Mengenal Usia lanjut dan Perawatannya tahun 2008 keperawatan gerontik adalah spesialis keperawatan usia lanjut yang dapat menjalankan perannya pada tiap tatanan pelayanan (dirumah sakit, rumah, dan panti) dengan menggunakan pengetahuan, keahlian, dan keterampilan merawat untuk meningkatkan fungsi optimal para lansia secara komprehensif. Cakupan dari ilmu keperawatan gerontik adalah tidak terpenuhinya kebutuhan dasar lansia akibat dari proses penuaan. Sedangkan, lingkup asuhan keperawatan gerontik adalah pencegahan ketidakmampuan akibat dari proses penuaan, perawatan untuk pemenuhan kebutuhan dasar lansia dan pemulihan untuk mengatasi keterbatasan lansia. Sifat asuhan keperawatan gerontik adalah independen (mandiri), interdependen (kolaborasi), humanistik, dan holistik (Eliopoulus, 2005; Lueckenotte, 2000). Dapat disimpulkan, ada perbedaan antara gerontologi, geriatrik, dan keperawatan gerontik. Gerontologi membahas ilmu yang mempelajari tentang lanjut usia dengan segala permasalahannya. Geriatri merupakan ilmu tentang merawat orang lanjut usia yang mempunyai penyakit. Sedangkan, keperawatan gerontik adalah suatu bentuk pelayanan yang profesional dengan menggunakan ilmu dan kiat keperawatan gerontik, mencakup biopsikososial dan spiritual, dimana klien adalah orang-orang yang telah berusia >60 tahun, baik yang kondisinya sehat maupun sakit. Di Indonesia, keperawatan gerontik masih dalam tahap pengembangan. Salah satu cara pengembangannya adalah dengan memasukkan keperawatan gerontik di dalam kurikulum pembelajran pada pendidikan keperawaan. Di beberapa rumah sakit pun, sudah mulai membuat ruang rawat khusus yang merawat pasien-pasien lanjut usia.
6
Universitas Indonesia 2.2 Peran Perawat Gerontik secara Umum a. Pemberi pelayanan kesehatan Sebagai pemberi pelayanan kesehatan kepada lansia, seorang perawat harus mengetahui latar belakang dari masalah atau penyakit tersebut, tanda dan gejalanya, faktor-faktor resiko, perawatan medis yang biasa digunakan, asuhan keperawatan berdasarkan masing-masing masalah keperawatan yang dialami klien karena penyakit tersebut, dan rehabilitasi jika dibutuhkan. b. Edukator Perawat berperan memberikan informasi dan pengetahuan kepada klien lansia tentang penyakit atau masalah yang dihadapinya seperti menjelaskan faktor-faktor resiko penyakit yang dialami klien lansia sehingga pola hidup lansia tersebut dapat berubah dan status kesehatannya dapat bertambah. Mengajarkan dan membimbing klien lansia juga dapat membuat mereka mandiri dan merasa mempunyai andil dalam kesehatan tubuhnya (Miller, 2009). c. Manajer Perawat gerontik berperan sebagai manajer selama proses pemberian asuhan keperawatan kepada klien lansia. Disini perawat manajer harus dapat menyeimbangkan peran antara klien, keluarga, perawat-perawat lain, dan tim-tim pelayanan kesehatan lain dalam proses asuhan keperawatan klien (Potter & Perry, 2005). Perawat manajer harus mampu mengembangkan kemampuan dalam koordinasi staf, manajemen waktu, asertif, komunikasi, dan organisasi. d. Advokat Perawat gerontik disini berada di pihak klien lansia untuk mempromosikan atau memberi tahu kepada pihak lain (keluarga dan pemberi layanan kesehatan lain) tentang hal-hal yang disukai klien, juga memperkuat otonomi klien dalam mengambil keputusan untuk dirinya sendiri.
7
Universitas Indonesia e. Peneliti Perawat disini berperan sebagai pengembang keperawatan gerontik berdasarkan masalah-masalah yang ada pada saat ini. Hal ini diharapkan agar keperawatan gerontik akan selalu berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. f. Komunikator Komunikasi bersifat esensial bagi seluruh peran keperawatan dan aktivitasnya. Perawat secara rutin berkomunikasi dengan lansia dan keluarganya serta dengan tenaga kesehatan lainnya. Tanpa komunikasi yang jelas, sangat sulit untuk memberikan kenyamanan dan dukungan emosional kepada lansia. g. Konsultan Perawat sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan. Peran ini dilakukan atas permintaan klien terhadap informasi tentang tujuan pelayanan keperawatan yang diberikan. h. Kolaborator Peran ini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi dan lain-lain. Perawat berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan termasuk diskusi atau tukar pendapat dalam penentuan bentuk pelayanan selanjutnya. i. Motivator Memotivasi klien lansia yang kurang memiliki kemauan untuk memenuhi kebutuhannya. j. Pengamat kesehatan Melaksanakan monitoring terhadap perubahan yang terjadi pada lansia, keluarga, kelompok dan masyarakat yang menyangkut masalah kesehatan melalui kunjungan rumah, pertemuan, observasi, dan pengumpulan data. k. Role model Perilaku yang ditampilkan perawat dapat dijadikan panutan oleh klien lansia dalam upaya peningkatan kesehatannya 8
Universitas Indonesia 2.3 Peran Perawat Gerontik pada Setting Acute Care Setting perawatan akut memaparkan bahwa perawat gerontik berfokus pada treatment (terapi fisik, patologi berbicara bahasa dan terapi okupasi) dan asuhan keperawatan untuk masalah-masalah akut seperti trauma, kecelakaan, permasalahan ortopedi, penyakit respiratori yang ringan, atau masalah sirkulasi yang cukup serius. Tujuan dari asuhan keperawatan ini adalah untuk membantu meningkatkan kualitas hidup dan mencegah komplikasi. Seorang perawat gerontik perawatan akut merupakan perawat praktik lanjutan dengan sertifikasi khusus dalam perawatan akut. Perawat gerontik perawatan akut memiliki keahlian untuk merawat pasien lansia di lingkungan kesehatan akut seperti di ruang gawat darurat, unit perawatan intensif, pusat trauma atau daerah diagnostik canggih seperti kateterisasi jantung. Perawat dipersiapkan untuk berbagai kesempatan kerja di Rawat Inap akut pengaturan (ICU, CCU, Departemen Darurat) atau daerah khusus (kardiovaskular, pernapasan, neurologi). Perawat perawatan akut juga merupakan pusat layanan perencanaan untuk lansia pada saat pulang. Selain itu, perawat gerontik dapat membantu dalam penjadwalan mengunjungi perawat atau penerimaan perawatan jangka panjang. Perawat juga membantu lansia untuk menemukan program promosi kesehatan, seperti yang akan membantu dalam berhenti merokok, manajemen stres, penurunan berat badan, atau berolahraga akan memungkinkan mereka untuk memasuki program ini segera setelah pulang, sementara mereka masih termotivasi untuk melakukannya. Perbedaan dengan perawatan sub-akut yaitu perawat sub-akut memberikan perawatan berkelanjutan untuk pasien yang tidak lagi memerlukan rawat inap, namun masih perlu perawatan medis terampil di fasilitas rehabilitasi. Rehabilitasi sub-akut dianjurkan ketika pasien tidak fungsional dapat kembali ke rumah. Selama penyembuhan, pasien menerima rehabilitasi di fasilitas keperawatan terampil, di mana mereka menginap sampai tujuan terapi terpenuhi. Perbedaan mendasar antara perawatan akut dan sub-akut adalah durasi tinggal. Durasi tinggal seorang pasien dalam setting perawatan akut 9
Universitas Indonesia mungkin singkat dan fokusnya adalah mungkin pada tindakan pencegahan seperti peningkatan pengawasan kegiatan pasien dan lingkungan.
2.4 Bentuk Pelayanan Keperawatan dan Kesehatan Lansia pada Acute Care Setting Continuum of care merujuk pada program atau institusi yang menyediakan pelayanan antar disiplin yang komprehensif dan terkoordinasi untuk lansia mencakup antara lain perawatan primer/preventif, akut, transisional, dan pelayanan rehabilitasi. Setting perawatan akut merupakan bagian yang penting dari continuum of care karena perawatan lansia dengan penyakit akut sangat kompleks. Brocklehurst dan Allen (1987) berpendapat bahwa lansia memerlukan perhatian khusus dikarenakan usia lanjut lebih sensitif terhadap penyakit akut. (Miller, 2012; Wallace, 2008). Beberapa model perawatan yang dikembangkan untuk lansia dalam setting perawatan akut yaitu (Miller, 2012): a. Unit perawatan akut geriatri terspesialisasi (spesialized geriatric acute care units) Program ini disebut juga dengan unit acute care for elders (ACE). Inti dari program ini adalah lansia memiliki kebutuhan unik dan kompleks yang dapat dipenuhi oleh tim multidisiplin untuk mencegah kemunduran fungsi selama hospitalisasi. Model keperawatan ini terbukti mengurangi kemunduran fungsi sebesar 18% dan mengurangi lamanya hospitalisasi (Baztan, Suarez-Garcia, Lopez-Arrieta, Rodrigues-Manas, & Rodrigues-Artalejo, 2009; Zelada, Salinas, & Baztan, 2009). Model ini berfokus pada manajemen tim interdisiplin, keperawatan yang berfokus pada klien, discharge planning lebih awal, lingkungan fisik yang sesuai, serta pengkajian dan intervensi pada gangguan yang umum terjadi pada lansia (mobilitas, risiko jatuh, self- care, integritas kulit, kontinensia, depresi, dan ansietas). Tim ACE biasanya terdiri dari perawat gerontologis, geriatris, farmasi, psikiater profesional, dan berbagai terapis rehabilitasi. Namun terdapat tiga gangguan pada lansia yang sering disebabkan oleh hospitalisasi, yaitu 10
Universitas Indonesia cedera jatuh, ulkus dekubitus, dan infeksi saluran kemih karena pemasangan kateter. Capetuzi dan Brush (2009) mengidentifikasi beberapa model untuk meningkatkan pelayanan lansia di rumah sakit (Miller, 2012): 1) Hospital elder life program (HELP): fokus pada identifikasi dan manajemen delirium pada lansia di rumah sakit 2) Unit yang menyediakan palliative care 3) Kolaborasi geriatri dan ortopedi pada klien dengan fraktur pinggul 4) Program yang mengurangi waktu operasi pada lansia 5) Tim yang khusus menangani trauma pada lansia 6) Unit konsultasi untuk lansia b. Unit pelayanan subakut Program ini merujuk pada kebutuhan medis yang kompleks pada lansia di rumah sakit. Program ini menyediakan pelayanan keperawatan dan kesehatan ahli bagi lansia yang membutuhkan rehabilitasi komprehensif setelah mengalami penyakit atau operasi yang berat, misalnya stroke atau operasi ortopedi. Pelayanan yang tersedia adalah kemoterapi, terapi intravena, perawatan luka kompleks, nutrisi enteral dan parenteral, dan manajemen respiratori kompleks (ventilator, trakeostomi) c. Model hospital-at-home Model ini merupakan model multidisiplin yang menyediakan perawatan dan pelayanan kesehatan dalam waktu tertentu. Tipe ini mencakup tipe layanan yang menyediakan layanan discharge planning awal. Tipe ini dapat diterapkan pada lansia dengan selulitis, pneumonia, terapi infusi, perawatan post-operasi, CHF, dan COPD. Penelitian menunjukkan setelah 6 bulan, persentase meninggal lebih rendah pada pasien yang menerima perawatan di rumah (Shepperd et al, 2009). Selain itu, tipe ini juga lebih murah, serta pasien mengalami peningkatan ADL (Leff, 2009).
11
Universitas Indonesia d. Model perawatan transisional Model ini diaplikasikan pada rentang layanan yang luas dan bertujuan untuk menyediakan koordinasi dan kontinuitas layanan kesehatan kesehatan melalui berbagai setting layanan. Model ini dikembangkan sebagai respon banyaknya klien yang masukkembali ke rumah sakit tidak lama setelah pulang. Model ini terbukti menurunkan rehospitalisasi pasien sebanyak 30%, dengan demikian juga menurunkan biaya (Jack et al., 2009). Komponen utama model ini adalah; (a) perawat mengadvokasi tanggung jawab utama untuk mengoordinasi rencana pulang dan komunikasi dengan klien/keluarga dan penyedia layanan kesehatan lain, (b) dokumen rencana perawatan setelah hospitalisasi yang berfokus pada pasien, dan (c) follow-up oleh farmasi 3 hari setelah pulang. Pada model ini, tersedia suatu instrumen untuk mengidentifikasi klien lansia yang berisiko mengalami transisi yang buruk yang dikembangkan oleh perawat, yaitu Transitional Care Model (TCM): Hospital Discharge Screening Criteria for High Risk Older Adults. Perawat memastikan klien/keluarga memahami informasi tentang diagnosa akhir dan masalah yang ada, medikasi (jadwal, tujuan dan efek, kesepakatan follow-up, masalah yang mungkin timbul, dan semua penyedia layanan (Podrazik & Whelan, 2008).
2.5 Peran Perawat pada Nursing Home Setting Nursing homes dikategorikan kedalam keterampilan keperawatan atau rehabilitasi skil (jangka pendek) yang ditujukan untuk pasien pasca perawatan di rumah sakit selama 6 bulan atau kurang, dan perawatan jangka panjang untuk klien yang menderita penyakit kronis. Rata-rata perawat terdaftar menyediakan 6 jam sehari perawatan langsung untuk setiap lansia nursing home care, tetapi mereka bertanggung jawab untuk semua komponen pelayanan perawatan (Burger et al., 2009). Seorang pimpinan perawat dari seluruh negara bagian berinisiatif untuk meningkatkan perawatan di fasilitas keperawatan agar menghasilkan 12
Universitas Indonesia peningkatan dalam semua indikator kualitas berikut: jatuh, penurunan berat badan, tekanan ulkus, dan status bed fast (Rantz et al, 2009.). Selain perawatan langsung untuk para lansia, perawat praktek dapat memberikan pendidikan staf, membantu pengembangan program, bertindak sebagai konsultan dalam perencanaan dan pelaksanaan perawatan, membentuk kelompok-kelompok pendukung untuk klien dan keluarga, dan bertindak sebagai advokat bagi klien dan keluarga mereka. Peran perawat dalam mempersiapkan lansia menghadapi kematian di nursing home care adalah membantu dan memenuhi kebutuhan fisik, psikis, sosial dan spiritual. Pada saat memenuhi kebutuhan fisik lansia, perawat membantu lansia dalam memenuhi kebutuhan nutrisi, membantu perawatan diri lansia dan lingkungan, membantu mobilisasi, dan membantu kebutuhan eliminasi. Peran perawat dalam memenuhi kebutuhan psikis lansia adalah memberikan dukungan emosional, peduli dan membantu menyelesaikan masalah. Dalam pemenuhan kebutuhan sosial lansia, perawat mempunyai peran untuk peduli, memberikan hiburan serta membina sosialisasi dan komunikasi yang baik dengan orang lain. Memberi kesempatan berkumpul bersama dengan sesama klien lanjut usia untuk menciptakan sosialisasi mereka. Perawat harus bisa memberikan ketenangan dan kepuasan batin dalam hubungannya dengan tuhan atau agama yang dianutnya, terutama jika klien dalam keadaan sakit atau mendekati kematian.
2.6 Bentuk Pelayanan Keperawatan dan Kesehatan Lansia pada Nursing Home Setting Rumah perawatan atau fasilitas keprawatan merujuk kepada suatu institusi yang dibuat untuk orang-orang yang butuh bantuan untuk melakukan beberapa aktivitas sehari-hari. Rumah perawatan membutuhkan pengawasan yang berkelanjutan oleh seorang perawat yang teregistrasi atau praktisi perawat berlisensi. Selain perawatan medis dan pelayanan keperawatan, rumah perawatan juga menyediakan pelayanan gigi, pelayanan kesehatan kaki, pelayanan konsultasi pengobatan tertentu dan terapi rehabilitasi (terapi fisik dan okupasi). Rumah perawatan menyediakan banyak pelayanan 13
Universitas Indonesia kesehatan yang sama dengan yang disediakan di Rumah Perawatan Akut, tetapi bagaimanapun penerima perawatan dipanggil penghuni daripada pasien karena terdapatnya beberapa fasilitas hunian. Rumah perawatan pada umumnya dikategorikan sebagai perawatan singkat karena biasannya dilakukan dalam jangka waktu yang pendek. Untuk bisa menjadi petugas di rumah perawatan, seseorang harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: mempunyai orang yang dirawat minimal 3 hari dengan 30 hari masa pengobatan yang berhubungan dengan ketrampilan perawatan. Mempunyai sertifikat yang berlisensi dari profesioanal atau pemerintah. Membutuhkan ketrampilan melakukan perawatan sehari-hari yang tersertifikasi. Beberapa bentuk pelayanan keperawatan dan kesehatan di rumah perawatan: Perawatan Luka: balutan yang steril, debrimen dan irigrasi luka, pembalutan, pengkajian terhadap drainase, pengkajian dan pengambilan kultur luka dan memberi petunjuk kepada klien dan keluarga dalam perawatan luka. Perawatan Pernapasan: pengelolaan terapi oksigen, ventilasi mekanik dan melakukan penghisapan dan perawatan trakeotomi. Tanda Vital: memantau tekanan darah, status kardiopulmonal, dan memberi instruksi kepada klien dan keluarga dalam pengukuran denyut bila diperlukan.. Eliminasi: pengkajian dan pengajaran, pemasangan kateter urine, irigrasi, observasi adanya infeksi, dan memberi petunjuk kepada keluarga tentang katerisasi intermiten juga dilaksanakan. Nutrisi: pengkajian status nutrisi dan hidrasi, petunjuk diet yang dianjurkan, pemberian makanan melalui selang dan memberi petunjuk kepada keluarga tentang pemberian makanan melalui selang. Rehabilitasi: memberi petunjuk kepada klien dan keluarga tentang cara menggunakan alat bantu, latihan rentang gerak, ambulasi, dan teknik- teknik pemindahan klien. 14
Universitas Indonesia Pengobatan: memberi petunjuk kepada klien dan keluarga tentang cara kerja, pemebrian dan efek samping obat-obatan, memantau pelaksanaan dan keefektifan obat-obatan yang diberikan. Terapi Intravena: pengkajian dan penatalaksanaan dehidrasi, pemberian antibiotik, nutrisi parenteral, transfuse darah, dan agen analgesik dan kemoterapik. Studi Hasil Laboratorium Tertentu: melakukan studi tentang gambaran pemeriksaan darah dari hasil laboratorium yang berhubungan dengan proses penyakit atau pengobatan. Beberapa diagnosis yang terkait dengan rumah perawatan adalah stroke, patah tulang rusuk, gagal jantung kongestif, dan pemulihan paska penyakit akut seperti pneumonia, infark miokardium. Harapanya setelah seseorang dirawat di rumah perawatan seseorang tersebut akan mencapai peningkatan ke level yang lebih tinggi pada fungsi organ yang terkait penyakit dan menunjukan pemulihan dari episode akut.
2.7 Peran Perawat pada Newers Model of Nursing Home Care Peran perawat pada Newers Model of Nursing Home care (Eliopoulous, 2005) adalah: a. Memenuhi kenyamanan lansia b. Mempertahankan fungsi tubuh c. Membantu lansia menghadapi kematian dengan tenang dan damai melalui ilmu dan teknik keperawatan gerontik d. Peran sebagai advokat, perawat harus dapat melindungi dan memfasilitasi keluarga dalam pelayanan keperawatan. e. Peran perawat juga sebagai konselor, fokus membantu perkembangan sikap baru klien, perasaan klien, dan juga kebiasaan dimana tetap mempromosikan pertumbuhan yang intelek f. Peran perawat sebagai edukator, mengajarkan dan meningkatkan perawatan mandiri dan kebebasan optimal. g. Membimbing orang pada segala usia untuk mencapai masa tua yang sehat h. menghilangkan perasaan takut tua 15
Universitas Indonesia i. Memantau dan mendorong kualitas pelayanan j. Memerhatikan serta mengurangi resiko terhadap kesehatan dan kesejahteraan k. Mendidik dan mendorong pemberi pelayanan kesehatan l. Mendengarkan serta memberikan dukungan, semangat dan harapan m. Menghasilkan, mendukung, menggunakan, dan berpartisipasi dalam penelitian n. Melakukan perawatan restoratif dan rehabilitative o. Mengoordinasi dan mengatur perawatan p. Mengkaji, merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi perawatan individu dan perawatan secara menyeluruh q. Memberikan pelayanan sesuai dengan kebutuhan r. Membangun masa depan perawat gerontik untuk menjadi ahli di bidangnya s. Saling memahami keunikan aspek fisik, emosi, sosial, dan spiritual t. Mengenal dan mendukung manajemen etika yang sesuai dengan tempat u. Memberikan dukungan dan kenyamanan dalam menghadapi proses kematian Asuhan keperawatan gerontik yang berfokus pada peningkatan angka harapan hidup dan kepuasan hidup lansia masih tergolong baru di Indonesia dan tidak seoptimal penerapannya di negara-negara lain. Barier budaya, nilai dan kepercayaan masih memegang peranan penting sebagai penghambat berkembangnya aktivitas lansia dalam menikmati dan memperbaiki kualitas hidup di hari tuanya. Selain itu, persentase lansia yang menderita penyakit sedang hingga berat masih menjadi fokus utama pelayanan kesehatan di Indonesia sehingga intervensi untuk meningkatkan self quality time sulit untuk diterapkan. Karena itu, perawat Indonesia diharapkan mampu membangun paradigma dimana fokus utama pelayanan kesehatan untuk lansia tidak lagi pada pengobatan atau kuratif, tetapi pada kegiatan promotif dan preventif untuk mencapai kepuasan hidup lansia selayaknya di negara- negara maju dengan berbagai sumber dan akses pelayanan yang reliable dan accessible. 16
Universitas Indonesia 2.8 Bentuk Pelayanan Keperawatan dan Kesehatan Lansia pada Newers Model of Nursing Home Care a. Pioneer Network jaringan pelopor Pioneer network pada perawatan jangka panjang, dianggap sebagai organisasi payung dari perubahan budaya gerakan telah berkembang sejak tahun 1997 dari pertemuan tengara perintis di seluruh Amerika Serikat dengan tujuan mengubah filosofi perawatan di panti wreda (White-Chou et al., 2009). Dua model yang paling banyak diterapkan perawatan yang merupakan bagian dari Pioneer Jaringan adalah Eden Alternatif dan Green House Project. 1) Eden Alternatif Eden Alternatif adalah model dikembangkan pada pertengahan- 1990 oleh William Thomas, MD, dengan maksud untuk menciptakan lingkungan sekelompok kecil warga untuk mencegah atau menangani kebosanan, kesepian, tidak berdaya, dan kurangnya makna yang umum di panti werda tradisional. Komponen penting adalah pengenalan sistematis hewan peliharaan, tanaman, dan anak-anak untuk membuat pengaturan seperti rumah dan meningkatkan kualitas hidup penduduk. Selain itu, Eden Alternatif menggabungkan strategi untuk terlibat dan memberdayakan staf dalam membawa tentang perubahan lingkungan. Panti wreda yang mengadopsi model komprehensif ini dan berjanji untuk mematuhi prinsip Eden yang tercantum dalam Eden Registry. Hasil dari model ini yang telah diidentifikasi dalam studi meliputi retensi peningkatkan staf, meningkatkan kepuasan staf dan penduduk, dan pengurangan jumlah obat-obatan dan infeksi. 2) The Green House Project The Green House Project, digambarkan sebagai panti werda sederhana, juga telah dipromosikan oleh William Thomas, MD, yang merupakan pendiri Eden Alternatif dan pemimpin utama dalam Pioneer Network. Proyek pertama kali dibuka pada 17
Universitas Indonesia tahun 2003 dan terdiri dari empat Rumah Hijau yang beroperasi secara mandiri di bawah lisensi dari sebuah panti wreda mensponsori di Tupelo, Missouri. Biasanya dalam green house terdapat 7 sampai 12 warga di sebuah rumah yang menyatu dengan rumah-rumah tetangga. Rumah panti wreda ini memberikan berbagai layanan berlisensi dan bersertifikat untuk orang tua dengan tingkat kecacatan yang tinggi, termasuk yang berhubungan dengan demensia, dalam pengaturan rumah tangga biasa. Pendekatan Green House menekankan hubungan dan makna keputusan dalam intervensi untuk gangguan perilaku terkait demensia. Sebuah penelitian dalam 2 tahun pertama dari model ini menemukan bahwa warga mengalami hasil yang lebih baik pada dimensi kualitas hidup dan tidak ada penurunan dalam hasil kesehatan karena pada model mencakup seluruh aspek seperti; biologis, psikososial, sosial, spiritual yang dibutuhkan oleh lansia (Kane & Cutler, 2008).
2.9 Peran Perawat pada Community-based Services pada Lansia Secara umum, peran perawat gerontik terdiri dari healers, visionary, clinician, pendidik, advokat, ahli anggaran dan spesialis hal yang berkenaan dengan peraturan (Tyson, 1999). Perawat gerontik sebagai healers atau penyembuh, menggunakan hands-on care, sentuhan terapeutik dan holistik untuk memperbaiki keseimbangan fisik, emosi, sosial, kultural dan spiritual dalam melakukan asuhan keperawatannya. Di komunitas, perawat juga menjadi penyedia layanan kesehatan keperawatan untuk koleaga yang juga bekerja di komunitas. Perawat gerontik sebagai visionaries membutuhkan kemampuan untuk membuat pendekatan-pendekatan dan tren dalam bidang kesehatan kekinian pada lansia. Perawat gerontik sebagai clinician, harus mampu menjadi ahli dalam pengetahuan klinis yang berkaitan dengan keterampilan yang dibutuhkan oleh lansia. Sedangkan sebagai pendidik, peran perawat gerontik mengambil peran pendidik informal dalam pengajaran kesehatan pasien dan keluarga. Perawat 18
Universitas Indonesia juga merupakan sumber informasi terdepan yang selalu berkontak dengan klien dan keluarga. Perawat juga mengedukasi lansia dalam mencapai promosi kesehatan dan mencapai kehidupan yang lebih berkualitas di masa akhir hidupnya. Harus diperhatikan oleh perawat ketika memberikan edukasi bagi klien lansia adalah bahwa hal tersebut bersifat tidak sama dengan edukasi kesehatan pada umumnya. Dengan kemungkinan lansia yang sudah demensia, perawat edukator harus intensif dan memastikan bahwa lansia memahami apa yang diajarkan oleh perawat. Perawat sebagai pendidik pada seting komunitas memiliki peranan utama dalam mengedukasi kolega dalam pendekatan kesehatan medis lansia, seperti misalnya para pekerja sosial yang minim informasi mengenai keadaan dan kesehatan klien lansia. Perawat gerontik sebagai advokator mempunyai peran untuk membantu dan mendampingi lansia dalam proses pengambilan keputusan berkaitan dengan perawatan kesehatan mereka. Karakteristik yang terutama dalam peran perawat dalam seting komunitas adalah perawat umumnya bekerja dengan tim kolega multidisiplin (Miller, 2012), termasuk di dalamnya tenaga pelayanan kesehatan utama, psikiatri, pekerja sosial, penerapi fisik, dan berbagai macam pemberi pelayanan kesehatan yang pada intinya adalah memenuhi kebutuhan dasar manusia pada klien lansia. Dalam seting komunitas, perawat pun berperan sebagai konsultan dalam memberikan pelayanan keperawatan. Konsultan berkaitan erat dengan keluarga lansia dalam mengambil berbagai keputusan dalam asuhan keperawatan.
2.10 Bentuk Pelayanan Keperawatan dan Kesehatan Berbasis Komunitas bagi Lanjut Usia Keperawatan berbasis komunitas berbeda dengan keperawatan kesehatan komunitas. Keperawatan kesehatan komunitas secara langsung memberikan pelayanan keperawatan kepada individu, keluarga, dan kesehatan. Keperawatan berbasis komunitas merupakan pelayanan yang tidak hanya sekedar dimana tempat pemberian pelayanan yang diberikan, tetapi bagaimana perawat mampu berkolaborasi dengan masyarakat dalam 19
Universitas Indonesia meningkatkan status kesehatan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian pelayanan keperawatan komunitas adalah genetik, jenis kelamin, hubungan sosial, keadaan ekonomi, lingkungan tempat tinggal, lingkungan pekerjaan, budaya, akses ke pelayanan atau fasilitias kesehatan, dan gaya hidup (Chilton, et al, 2004). a. Senior Centers Senior Centers dikembangkan pada tahun 1940 untuk menyediakan aktivitas sosial dan rekreasi. Pelayanan yang diberikan berupa rekreasi, edukasi, konseling, terapi, nutrisi, dan skrining kesehatan. Perawat mendapatkan kesempatan untuk memberikan pelayanan kepada lansia yang ingin hidup mandiri (Stanhope & Lancaster, 2014). b. Adult Day Centers Adult day centers pertama kali dikembangkan pada tahun 1970. Adult day centers menyediakan pelayanan yang berupa aktivitas sosial dan rekreasi pada lansia mengalami gangguan fungsional dalam setting kelompok. Pelayanan ini diberikan kepada klien yang fisik dan mentalnya membutuhkan perawatan. Adult day centers juga memberikan makanan, pelayanan transportasi, terapi pengobatan, perawatan asistif, dan pelayanan atau terapi lainnya. Pelayanan ini berlangsung pada week days selama 8 jam dalam sehari, 5 jam untuk program formal dan 5 jam untuk interaksi sosial. Tujuan dari pelayanan ini untuk meningkatkan kemampuan fungsional lansia, mencegah terjadinya penyakit yang akan membawa klien untuk menjalani pengobatan di rumah sakit, memberikan pelayanan keperawatan kepada lansia yang memiliki tingkat ketergantungan tinggi, dan meningkatkan kualitas hidup lansia yang memiliki gangguan pada kondisi kesehatannya (Miller, 2012). c. Respite care Respite care merupakan pelayanan yang tujuan utamanya yaitu untuk membantu para tenaga kesehatan secara bertahap dari stres yang dirasakan selama menjalankan tanggung jawab sebagai petugas 20
Universitas Indonesia kesehatan. Istilah pelayanan ini pada akhir tahun 1970 digunakan karena ditemukan bahwa para tenaga kesehatan atau pemberi pelayanan kesehatan memiliki risiko isolasi sosial, depresi, distress psikologis, dan masalah lain yang terkait dengan beban dalam pemberian pelayanan kesehatan dan keperawatan. Pelayanan yang diberikan berupa adults day centers dan perawatan di rumah jangka pendek (Miller, 2012). d. Promosi Kesehatan Lansia membutuhkan skrining kesehatan untuk pencegahan primer, sekunder, dan tersier sama seperti klien pada usia lainnya. Pencegahan primer untuk mencegah munculnya penyakit pada klien lansia seperti mengidentifikasi keamaan rumah untuk mengetahui risiko jatuh dengan falls morse scale. Contoh pencegahan sekunder yaitu skrining hipertensi Pencegahan tersier seperti memberikan terapi atau latihan pada klien yang memiliki penyakit jantung atau mengecek keamanan rumah klien untuk menghindari bahaya yang menyebabkan klien lansia jatuh (Hunt, 2009). e. Pusat Pelayanan Terpadu (Posyandu) Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) atau Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu) Lanjut Usia adalah suatu wadah pelayanan kepada lanjut usia di masyarakat yang proses pembentukan dan pelaksanaannya dilakukan oleh masyarakat bersama lembaga swadaya masyarakat (LSM), lintas sektor pemerintah dan non-pemerintah, swasta, organisasi sosial dan lain-lain dengan fokus utama pelayanan kesehatan pada upaya promotif dan preventif. Latar belakang terbentuknya Posyandu terkait dengan perkiraan peningkatan jumlah lansia pada tahun 2020 yaitu sebanyak 28,8 juta jiwa. Posyandu Lansia juga dapat menyediakan pelayanan sosial, agama, pendidikan, ketrampilan, olah raga dan seni budaya serta pelayanan lain yang dibutuhkan para lanjut usia dalam rangka meningkatkan kualitas hidup melalui peningkatan kesehatan dan kesejahteraan mereka. Selain itu, para lansia dapat beraktifitas dan 21
Universitas Indonesia mengembangkan potensi diri (Komnas Lansia, 2010). Kegiatan- kegiatan yang dilakukan pada posyandu lansia: Pengukuran IMT, tinggi badan dan berat badan yang dilaksanakans setiap sebulan sekali. Pemeriksaan tekanan darah minimal sebulan sekali. Bagi penderita hipertensi dianjurkan setiap minggu. Pemeriksaan kadar Hb, gula darah, dan kolesterol pada lansia yang sehat dilakukan setiap 6 bulan dan bagi lansia yang mempunyai faktor risiko DM, obesitas pemeriksaan dilakukan 3 bulan sekali. Kegiatan konseling dan penyuluhan gizi setiap bulan. Konseling usaha ekonomi produktif dilakukan sesuai kebutuhan. Kegiatan aktivitas fisik minimal seminggu.
2.11 Peran Perawat dalam Pelayanan Home Care Keinginan masyarakat untuk dirawat di lingkungan familiar dengan keluarga mereka, versus institusi, memicu kebutuhan lebih akan adanya agen atau lembaga home care. Menurut Rice (2006) peran perawat yang dibutuhkan terutama dalam penyelenggaraan pelayanan keperawatan di rumah adalah peran sebagai edukator, advokat, manajer kasus, dan spiritual-aesthetic communer: a. Edukator Komunikasi antara perawat dengan klien sangat terbatas, terutama apabila jenis home care yang diberikan tidak membutuhkan kehadiran perawat secara terus-menerus (kunjungan terjadwal). Maka dari itu sangat penting bagi perawat mengajarkan klien untuk menjaga kesehatannya di rumah. Proses ini termasuk membuat pasien mendapatkan informasi dan membantu pasien melakukan kegiatan yang cocok untuk mereka. Contohnya mengajar orang tua dan pengasuh tentang aktivitas perawatan diri. 22
Universitas Indonesia b. Advokat Pada perawatan di rumah khususnya, advokasi dalam praktik keperawatan membutuhkan rasa menghargai terhadap budaya sosial yang dianut keluarga dan lingkungan rumah sehingga tercerminlah standar profesional dan etika praktik keperawatan. Fungsi advokasi perawat adalah sebagai penghubung antar klien dengan tim kesehatan lain dalam upaya pemenuhan kebutuhan klien, membela kepentingan klien dan membantu klien memahami semua informasi dan upaya kesehatan yang diberikan oleh tim kesehatan dengan pendekatan tradisional maupun professional. c. Manajer Kasus Manajemen kasus adalah suatu proses yang sistematis di mana perawat mengkaji kebutuhan, merencanakan dan mengkoordinasikan pelayanan pada penyedia kesehatan lain, dan memantau dan mengevaluasi kemajuan pelayanan untuk memastikan bahwa berbagai kebutuhan klien terpenuhi dengan cara yang efektif (Allender, Rector, & Warner, 2014). Pada proses pelaksanaan manajemen kasus, langkah yang dilakukan: 1) Seleksi kasus dan kontrak terkait masalah kesehatan lansia. Kasus prioritas antara lain lansia dengan masalah (penyakit degeneratif, penyakit kronis, gangguan fungsi atau perkembangan organ), lansia risiko tinggi, lansia terlantar, dan lansia pasca perawatan di rumah sakit. 2) Melakukan pengkajian kebutuhan pelayanan & potensi lansia/keluarga mencakup kondisi fisik, kondisi psikologis dan kognitif lansia, status sosial ekonomi keluarga, pola perilaku dan ADL lansia, kemampuan keluarga, sistem pendukung, keselamatan dan keamanan rumah/lingkungan, serta sumber-sumber yang tersedia di keluarga maupun di masyarakat. 23
Universitas Indonesia 3) Perawat membuat perencanaan penyediaan pelayanan bersama lansia, keluarga, dan anggota tim home care lainnya terkait dengan pembiayaan, sumber daya sesuai dengan kebutuhan lansia, dan rencana kunjungan. 4) Perawat berkoordinasi dengan tim kesehatan yang akan terlibat dalam pelayanan perawatan di rumah. 5) Perawat melakukan pemantauan terhadap tindakan yang dilakukan oleh tim, hasil dan perubahan status medis, kemampuan fungsional, kebutuhan pendidikan kesehatan lansia dan keluarga serta mengevaluasi seluruh proses manajemen kasus. d. Spiritual-aesthetic communer Keyakinan, harapan, dan cinta memberikan perawatan spiritual akan sangat memelihara kesejahteraan pasien dan keluarga (caregiver). Kedekatan secara spiritual ini membuat perawat dan pasien memiliki pemahaman dan kesadaran diri yang lebih baik (Rice, 2006). Hal memberikan pasien wawasan baru tentang bagaimana mereka akan merawat diri sendiri (bahkan dalam hal bagaimana mereka akan mengalami kematian mereka). Peran ini sangat dibutuhkan oleh pasien terutama lansia karena mereka lebih berorientasi pada hal yang berhubungan dengan rohani/ spiritual dibandingkan tahapan perkembangan lainnya. Intervensi asuhan keperawatan spiritual pada pasien lansia yaitu memberi motivasi, memberi semangat, mengarahkan, menganjurkan berdoa dan mendoakan, pendampingan, menerima keluhan, menghibur dan lain-lain. e. Pelaksana /Pemberi Asuhan Memberikan pelayanan langsung dan melakukan supervisi pelayanan yang diberikan oleh anggota keluarga atau pelaku rawat (care giver). Contoh layanan yang dapat diberikan di bawah arahan dari perawat berlisensi atau terapis mencakup 24
Universitas Indonesia bantuan dengan mandi, perubahan linen, gerakan latihan, dan bantuan dengan transfer dan ambulasi (Depkes, 2006). f. Kolaborator Mengkoordinir pelayanan yang diterima oleh keluarga dan mengkolaborasikan dengan keluarga dalam merencanakan pelayanan (Depkes, 2006). g. Konselor Membantu pasien dan keluarga dalam menyelesaikan masalah dan mengembangkan koping yang konstruktif (Depkes, 2006). h. Penata lingkungan rumah Melakukan modifikasi lingkungan bersama pasien dan keluarga dan tim kesehatan lain untuk menunjang lingkungan sehat (Depkes, 2006). i. Peneliti Mengidentifikasi masalah praktik dan mencari jawaban melalui pendekatan ilmiah (Depkes, 2006). Peran-peran perawat diatas memastikan lansia yang dirawat di rumah mendapatkan pelayanan yang menyeluruh. Hal tersebut tentu saja disesuaikan dengan kondisi kesehatan, kebutuhan dan jenis home care yang direncanakan untuk pasien lansia. Sebab inti dari home care service adalah agar pasien bisa mendapatkan pelayanan kesehatan di lingkungan yang familia. Jika perawat menjalankan perannya dengan baik, status kesehatan pasien diharapkan dapat meningkat.
2.12 Bentuk Pelayanan Keperawatan dan Kesehatan Lanjut Usia pada Setting HomeCare Service Pelayanan yang dapat diberikan dengan metode home care, yaitu: edukasi, pencegahan penyakit, diagnosis dan perawatan, penyembuhan, dan rehabilitasi. Selain dalam bidang keperawatan, home care juga mencakup bidang lainnya, seperti physical therapy, occupational therapy, speech-language pathology, dan bantuan untuk pelayanan personal. Klien yang dikategorikan menerima perawatan home care, yaitu: klien yang 25
Universitas Indonesia tidak bisa meninggalkan rumah tetapi mampu merawat diri sendiri di beberapa tingkat kemandirian atau klien yang tidak bisa meninggalkan rumah dan juga bergantung pada banyak area fungsional. Terdapat dua tipe home care yang dapat dipilih oleh para lansia sesuai dengan kebutuhan masing-masing (Miller, 2012): a. Skilled Home Care Tipe ini menekankan setelah diberikan perawatan pada penyakit atau lukanya, pasien diharapkan cukup mandiri untuk merawat dirinya sendiri. Dalam penerapannya, skilled home care berfokus pada edukasi pasien beserta pemberi perawatannya untuk bersama-sama melakukan aktivitas perawatan mandiri. Layanan ini hanya diberikan oleh klien yang membutuhkan perawatan karena ketidakmampuannya untuk meninggalkan rumah untuk menjalani perawatan namun hanya membutuhkannya dalam jangka waktu pendek. Biasanya layanan ini dapat dipesan melalui jasa Medicare atau asuransi. Perawatan yang biasanya diberikan oleh Ners berupa manajemen medikasi, infus, dan perawatan jiwa. Sedangkan bantuan yang dapat diberikan oleh perawat D3 atau terapis seperti bantuan untuk mandi, penggantian linen, latihan pergerakan sendi, dan bantuan untuk transfer dan ambulasi. b. Long-Term Home Care Pencapaian yang ditekankan pada tipe ini adalah untuk mempertahankan fungsi tubuh dan kesehatan secara maksimal, serta dapat mengatasi penyakit atau ketidakmampuan klien. Sedangkan penggunanya biasanya adalah mereka yang tidak memenuhi kategori Mediacare. Perawatan dapat berlangsung dalam 24 jam per hari dan dapat dilakukan oleh perawat Ners dan perawat D3. Perawat Ners berperan sebagai perawat yang melakukan pengkajian dan mengawasi pemberian perawatan, sedangkan perawat D3 biasanya membantu Ners dalam memberikan perawatan. 26
Universitas Indonesia Wallace (2008) memaparkan gambaran secara umum bagaimana proses pelayanan home care, dimulai dari pengkajian hingga pembuatan rencana perawatan sesuai dengan kebutuhan klien. Home care dimulai dengan pengkajian yang dilakukan pada kunjungan awal dan akan terus dilakukan pada setiap kunjungan. Pengkajian awal dilakukan dengan mengkaji aset, dukungan sosial, lingkungan, dan sumber daya komunitas yang tersedia. Pengkajian formal lansia yang diterima oleh Medicare disebut Outcome and Assessment Information Set (OASIS), sedangkan hasil dari pengkajiannya disebut Outcome-based Quality Improvement (OBQI). OASIS meliputi sosiodemografi, lingkungan, sistem pendukung, status kesehatan, dan status fungsional. Setelah pengkajian, rencana perawatan dikembangkan untuk membantu klien untuk mencapai tujuan dari perawatan. Perawat diharapkan dapat menggunakan berbagai sumber yang ditemukan untuk merawat klien. Komunitas di sekeliling klien dapat sangat berguna bagi peningkatan status kesehatan klien. Oleh karena itu, perawat sebaiknya mengidentifikasi komunitas yang dapat mendukung perawatan klien. Pelayanan komunitas yang umumnya membantu diantaranya senior center programs, senior housing, adult day care services, dan alternative community-based living facilities.
2.13 Demografi Lanjut Usia di Indonesia dan Kota Depok 2.13.1 Demografi lanjut usia di Indonesia Demografi dan tingkah laku sosial dipengaruhi oleh karakteristik penduduk. Karakteristik penduduk yang paling penting adalah struktur umur dan jenis kelamin. Struktur umur dilihat dalam umur satu tahunan atau disebut umur tunggal (single age) dan yang dikelompokkan dalam lima tahunan (Statistik indonesia, 2013). Menurut UU nomor 13 tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal 1 Ayat 2, lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas. Sedangkan menurut WHO lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60-74 tahun, lanjut usia tua 75-95 27
Universitas Indonesia tahun, usia sangat tua diatas 90 tahun (Efendi dan Makhfudli, 2009). Pengelompokan penduduk menurut umur digunakan untuk mengetahui struktur penduduk di suatu wilayah termasuk berstruktur umur muda atau tua. Suatu wilayah dikatakan berstruktur tua apabila usia 65 tahun keatas diatas 10 persen dari total penduduk. Sebaliknya dikatakan penduduk muda jika usia dibawah 15 tahun mencapai sebesar 40 persen atau lebih dari jumlah penduduk (Statistics Indonesia, 2013). Perkembangan penduduk lanjut usia di Indonesia mengalami kenaikan dari tahun 1980-2010 (lihat table 1.1), artinya karakteristik wilayah Indonesia diproyeksikan akan berstruktur tua. Kenaikan ini dapat disebabkan oleh peningkatan mutu pelayanan kesehatan, penurunan angka kematian bayi, dan peningkatan pengendalian penyakit infeksi. Data statistik penduduk lansia dapat dikelompoknya berdasarkan banyak hal, berikut ini data demografi lansia menurut Badan Pusat Statistik, 2010: Tabel 2.1 Data demografi lansia
Sumber: BPS, 2010
Jika dilihat dari jenis kelamin, tipe daerah dan kelompok umur, perkembangannya seperti pada tabel berikut ini:
28
Universitas Indonesia Tabel 2.2 Persentase penduduk menurut tipe daerah, jenis kelamin, dan kelompok umur Sumber: BPS, 2009
Penyebaran lansia tertinggi adalah di daerah perdesaan, hal ini menyebabkan banyak lansia yang masih kurang mendapatkan pelayanan dari pemerintah khususnya pelayanan kesehatan. Gangguan kesehatan yang banyak dialami adalah sebagai berikut: Tabel 2.3 Gangguan kesehatan lansia Sumber: Riskesdas, 2007 Data diatas menunjukan banyak lansia yang mengalami penyakit- penyakit yang memerlukan perhatian khusus dan perawatan yang rutin. Hal tersebut seharusnya diperhatikan oleh pemerintah dengan 29
Universitas Indonesia meningkatkan pelayanan kesehatan bagi lansia di desa (dengan peningkatan layananan posbindu). Jika dilihat dari ketergantungan lansia, proporsi lansia yang bekerja sebagian pada kelompok lansia muda (60-69 tahun) yaitu 53,36 persen pada kelompok usia tersebut. Proporsinya semakin rendah pada kelompok umur yang lebih tinggi, yaitu pada lansia tengah (70-79 tahun) sebesar 36,32 persen dan pada lansia tua (80 tahun keatas) sebesar 19,72 persen. Sebagian lansia yang sudah tidak bekerja biasanya karena telah memasuki masa pensiun atau karena tidak mampu lagi bekerja. Hal tersebut dapat menimbulkan masalah ketergantungan. Dari data cenderung menunjukkan bahwa semakin lansia memasuki lansia tua lansia tersebut tidak lagi mampu mendapatkan penghasilan sendiri sehingga lansia tersebut menjadi tanggungjawab usia yang masih produktif. Jadi jika meningkatnya jumlah usia lansia maka meningkat juga tanggungan yang harus ditanggung penduduk usia produktif maupun yang ditanggung oleh negara. Tabel 2.4 Persentase penduduk lansia yang bekerja
Sumber: BPS, 2009 Berdasarkan data statistik BPS tahun 2009, lapangan pekerjaan dibagi menjadi beberapa. Pada sektor perdagangan, perhotelan, rumah makan, dan industri pengolahan lebih banyak menyerap tenaga lansia perempuan. Sedangkan pada sektor pertanian dan jasa lebih banyak menyerap tenaga laki-laki. 30
Universitas Indonesia Jika dilihat dari status perkawinan lansia dan perananya dalam keluarga, jumlah penduduk lansia terinterpretasi dalam diagram berikut: Diagram 2.1 Persentase penduduk lansia menurut status perkawinan
Sumber: BPS, 2007 Dari diagram diatas dapat diperoleh data penduduk lansia perempuan yang berstatus cerai kawin lebih banyak dari lansia laki- laki. Hal ini dapat disebabkan oleh harapan hidup perempuan yang lebih tinggi dari laki-laki. Sehingga kebanyakan lansia perempuan hidup sendiri karena suaminya sudah meninggal lebih dulu. Jika kita melihat data mengenai status perkawinan lansia yang masih dalam status pernikahan, dapat kita lihat dimana grafik menunjukkan bahwa lansia laki-laki yang berstatus menikah lebih banyak dibandingkan dengan lansia perempuan, hal ini dapat disebabkan oleh kebiasaan masyarakat pada umumnya, dimana kaum perempuan terbiasa melakukan hal-hal sendiri seperti merawat rumah maupun merawat diri sendiri sedangkan kaum laki-laki terbiasa dengan dilayani dalam hal merawat diri. Sehingga laki-laki cenderung akan menikah lagi setelah ditinggal istrinya meninggal. 31
Universitas Indonesia Lansia di Indonesia masih banyak yang berperan sebagai kepala rumah tangga yang memimpin rumah tangganya dan bertanggung jawab baik dari segi ekonomis maupun psikologis. Pada tahun 2010, lebih dari separuh (57,70 persen) penduduk lansia di Indonesia berperan sebagai kepala rumah tangga. Sisanya adalah mereka yang berperan sebagai anggota rumah tangga (42,30 persen). Jumlah penduduk lansia berdasarkan pendidikan dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 2.5 Persentase penduduk lansia menurut pendidikan tertinggi
Sumber: BPS, 2009 Tabel di atas menunjukkan presentase pendidikan lansia dari tahun 2005 hingga tahun 2009. ditahun 2009 terjadi peningkatan lansia yang mengenyam pendidikan. Hal ini terjadi dengan adanya program pendidikan lansia yang dilakukan oleh pemeritah yang telah diatur dalam peraturan pemerintah republic Indonesia nomor 43 tahun 2004 tentang pelaksanaan upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia). Dengan adanya program pendidikan ini membuat penurunan angka lansia yang mengalami buta huruf dan dapat menaikan angka lansia produktif. Presentase angka buta huruf penduduk lansia di Indonesia menunjukan dari keseluruhan penduduk lansia sebesar 32,58 persen diantaranya masih buta huruf. Keterbatasan berbagai fasilitas dalam bidang pendidikan di masa lalu menjadi salah satu faktor penyebab masih adanya lansia yang buta huruf. Hal ini lebih banyak dirasakan 32
Universitas Indonesia oleh penduduk lansia yang berada di daerah pedesaan yaitu 40,84 persen. Lansia yang masih buta huruf di daerah perkotaan yaitu 21,45 persen. Sementara itu, penduduk lansia yang dapat membaca dan menulis huruf latin sebesar 64,61 persen dan huruf lainnya sebesar 2,81 persen. Bila dilihat dari jenis kelamin presentase penduduk lansia perempuan yang buta huruf (41,73 persen) dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk lansia laki-laki (21,82 persen). Penduduk lansia di Indonesia juga mengalami beberapa kesulitan dalam melakukan kegiatan dasar kehidupuan. Jumlah penduduk lansia berdasarkan jenis kesulitan yang dialami dijelaskan dalam tabel berikut ini. Tabel 2.6 Jumlah penduduk lansia menurut jenis kesulitan
Data-data statistik diatas menunjukan populasi lansia di Indonesia pada tahun 2010 sebanyak 7,58 persen diproyeksikan akan terus bertambah seiring berjalannya waktu. Hal ini merupakan tantangan bagi kita semua untuk mulai memprioritaskan lansia. Perawat gerontik akan semakin dibutuhkan hingga bertahun-tahun kedepan. Oleh karena itu peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan yang holistik pada lansia harus terealisasi dalam lingkup pelayanan kesehatan yang ada sehingga sistem pelayanan dan keperawatan gerontik di Indonesia harus ditingkatkan ke arah yang lebih baik.
33
Universitas Indonesia 2.13.2 Demografi lanjut usia di kota Depok Menurut data BPS (2009) provinsi Jawa Barat termasuk 11 provinsi di Indonesia dengan kategori wilayah berstruktur tua karena populasi lansia mencapai lebih dari 7% dari populasi penduduknya. Sedangkan jumlah penduduk lansia di kota Depok pada tahun 2010 mencapai 129 ribu jiwa atau 8,6% dari 1.610.000 jiwa (Depok.go.id). Tabel 2.7 Jumlah penduduk kota Depok
Sumber: Kota Depok Dalam Angka Tahun, 2008 Tingkat pendidikan lanjut usia berdasarkan hasil penelitian Balah Peneliti Kesehatan 1998/1999, jumlah responden di depok terdapat 105 orang. Limapuluh sembilan responden dipilih dari Kecamatan Sukmajaya, 22 dari Kecamatan Pancoran Mas dan 24 dari Kecamatan Beji. Berdasarkan status pekerjaan, dari keseluruhan lansia yang bekerja, sebagian besar lansia bekerja dengan status berusaha dibantu buruh (33,86%). Lansia yang berusaha sendiri presentasenya sebesar 30,41%, lansia yang bekerja dengan tidak dibayar sebesar 14,62%, dan sebagai pekerja bebas sebesar 13,04%.
34
Universitas Indonesia Tabel 2.9 Penduduk lansia menurut pendidikan
Sumber: Kota Depok Dalam Angka Tahun, 2008 Berdasarkan sumber penghasilan, tampak sangat sedikit lanjut usia di Depok yang mempunyai sumber penghasilan utama atau tambahan dari gaji atau dana pensiun. Mereka masih harus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya. Keadaan demikian dapat diartikan bahwa lanjut usia di Depok bekerja bukan karena keharusan untuk memenuhi kebutuhannya. Gejala Psikologis menurut hasil penelitian Balai Peneliti Kesehatan 1998/1999, tampak lanjut usia di Depok mempunyai gejala malu dan terharu yang merupakan tanda dari kecemasan lebih tinggi. Secara umum tidak terdapat perbedaan bermakna pada lanjut usia di Depok. Tabel 2.11 Gejala pada lansia
Sumber: Kota Depok Dalam Angka Tahun, 2008 35
Universitas Indonesia Berdasarkan status kesehatan, faktor yang juga mempengaruhi kondisi fisik dan daya tahan tubuh lansia adalah pola hidup yang dijalaninya sejak usia balita. Pola hidup yang kurang sehat berdampak pada penurunan daya tahan tubuh, masalah umum yang dialami adalah rentannya terhadap berbagai penyakit. Jenis keluhan kesehatan yang paling banyak dialami lansia adalah keluhan lainnya (32,30 persen). Jenis keluhan lainnya diantaranya keluhan yang merupakan efek dari penyakit kronis seperti asam urat, darah tinggi, rematik, darah rendah, dan diabetes. Pola yang sama terjadi pada penduduk lansia baik yang tinggal di daerah perkotaan maupun perdesaan. Tabel 2.12 Proporsi penduduk lansia yang mengeluh kesehatan
Sumber: BPS, 2009 Berikut ini merupakan jumlah penduduk di kota depok berdasarkan cakupan pelayanan kesehatan pra usia lanjut dan usia lanjut.
36
Universitas Indonesia Tabel 2.13 Cakupan pelayanan kesehatan
Sumber: Kota Depok Dalam Angka Tahun, 2008 Tabel 2.14 Pola penyakit penderita rawat jalan lansia di puskesmas
Sumber: Kota Depok Dalam Angka Tahun, 2008
37
Universitas Indonesia Tabel 2.15 Pola penyakit penderita rawat jalan lansia di rumah sakit
Sumber: Kota Depok Dalam Angka Tahun, 2008 Tabel 2.16 Pola penyakit penderita rawat inap lansia di rumah sakit
38
Universitas Indonesia Tabel 2.17 Pola penyakit penyebab kematian penderita rawat inap lansia
2.14 Tugas Perkembangan Keluarga dengan Lansia a. Pengkajian lansia Pengkajian pada lansia yang ada di keluarga dilakukan dengan melibatkan keluarga sebagai orang terdekat yang mengetahui tentang masalah kesehatan lansia. Untuk itu format pengkajian yang digunakan adalah format pengkajian pada lansia yang dikembangkan sesuai dengan keberadaan lansia. Format pengkajian yang dikembangkan minimal terdiri atas data dasar (identitas, alamat, usia, pendidikan, pekerjaan, agama dan suku bangsa). Berikut ini adalah tugas perkembangan pada lansia: (1) Beradaptasi terhadap penurunan kesehatan dan kekuatan fisik, (2) beradaptasi terhadap masa pensiun dan penurunan pendapatan, (3) beradaptasi terhadap kematian pasangan, (4) menerima diri sebagai individu yang menua, (5) mempertahankan kehidupan yang memuaskan, (6) menetapkan kembali hubungan dengan anak yang 39
Universitas Indonesia telah dewasa, (7) menemukan cara mempertahankan kualitas hidup (Potter&Perry, 2009). Keluarga sangat berperan penting dalam membantu individu lansia untuk membantu tugas perkembangannya. Dalam hal ini konsep keperawatan keluarga sangat penting diperhatikan, bagaimana tipe dan karakteristik keluarga, status ekonomi, social dan budaya keluarga, riwayat kesehatan keluarga, struktur dan fungsi keluarga itu sendiri terhadap lansia. Dalam melakukan pengkajian terhadap lansia dapat dilakukan dengan tiga pendekatan; keluarga sebagai konteks, keluarga sebagai klien dan keluarga sebagai system, yang mencakup konsep hubungan dan transaksi. Jika pelayanan keperawatan hanya diterima oleh satu orang anggota, maka keluarga dapat ditinjau sebagai konteks. Jika seluruh anggota keluarga terlibat dalam pelayanan harian masing-masing, intervensi keperawatan dengan seorang anggota keluarga akan mengubah aktivitas dari anggota lainnya sehingga pendekatan keluarga sebagai klien merupakan yang terbaik. Ketiga pendekatan ini penting dalam menyediakan pelayanan yang efektif. 1) Data Demografi dan sosiokultural Kepala keluarga (KK) Alamat dan nomor telepon Pekerjaan KK Komposisi keluarga (genogram) Tipe keluarga Suku bangsa Agama Aktvitas rekreasi keluarga Status sosial ekonomi kelurga 2) Riwayat dan tahap perkembangan keluarga Tahap perkembangan keluarga. Ini ditentukan dengan usia anak tertua di keluarga inti. 40
Universitas Indonesia Tugas perkembangan keluarga yang belum terpenuhi. Hal ini menjelaskan kendala yang dimiliki keluarga untuk memenuhi tugasnya dan apa saja upaya yang telah dilakukan oleh keluarga. Riwayat kesehatan keluarga inti. Merupakan penjelasan riwayat kesehatan anggota keluarga, perhatian, upaya pencegahan penyakit, serta pengalaman keluarga terhadap pelayanan kesehatan. Riwayat kesehatan keluarga sebelumnya. Menjelaskan riwayat penyakit keturunan serta upaya dari generasi tersebut untuk mencegah pengulangan penyakit yang muncul. 3) Data Lingkungan Karakteristik rumah. Identifikasi lingkungan fisik rumah, seperti luas rumah, tipe rumah, jumlah perabotan, fasilitas, ventilasi, kebutuhan MCK, sanitasi, sumber air bersih untuk minum. Data ini dapat dilengkapi dengan denah rumah. Karakteristik tetangga dan komunitas. Meliputi tempat keluarga tinggal, kebiasaan fisik atau nilai serta norma lingkungan, budaya yang memengaruhi kesehatan. Mobilitas geografis keluarga. Meliputi perpindahan tempat tinggal keluarga, kunjungan anggota keluarga yang jauh. Perkumpulan keluarga dan interaksi masyarakat. Penjelasan waktu yang digunakan keluarga untuk berkumpul dan mengidentifikasi sejauh mana keluarga berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Sistem pendukung keluarga: fasilitas yang menunjang kesehatan seperti askes, fasilitas fisik 41
Universitas Indonesia seperti peralatan, dukungan psikologis anggota keluarga atau masyarakat. 4) Struktur Keluarga Strukutur peran. Peran masing-masing anggota keluarga secara formal maupun informal baik di keluarga atau masyarakat. Nilai atau norma keluarga. Penjelasan nilai atau norma yang dianut keluarga berhubungan dengan kesehatan. Pola komunikasi keluarga. Ini mengenai siapa pengambil keputusan utama, bagaimana peran anggota keluarga menciptakan komunikasi, hal-hal yang memengaruhi komunikasi keluarga. Struktur kekuatan keluarga. Kemampuan keluarga untuk mempengaruhi dan mengendalikan anggota keluarga untuk mengubah perilaku kesehatan. 5) Fungsi keluarga Fungsi ekonomi. Upaya keluarga memenuhi kebiutuhan sandang, pangan, papan. Fungsi status sosial. Upaya untuk memperolth status sosial di lingkungan tempat tinggal. Fungsi pendidikan. Upaya keluarga untuk memperoleh pendidikan. Fungsi sosialisasi. Hubungan anggota keluarga, sejauh mana keluarga belajar tentang disiplin, mandiri, nilai, norma, budaya perilaku yang berlaku. Fungsi pemenuhan kesehatan. Mengenal masalah, mengambil keputusan, merawat anggota keluarga, memodifikasi masalah, memanfaatkan pelayanan kesehatan. Fungsi religius. Kegiatan agama yang dijalankan oleh keluarga yang berhubungan dengan kesehatan. 42
Universitas Indonesia Fungsi rekreasi. Kemampuan keluarga untuk rekreasi. Fungsi reproduksi. Rencana keluarga dan upaya pengendalian keluarga dalam memiliki jumlah anggota keluarga. Fungsi afeksi. Gambaran mengenai perasaan anggota keluarga, dukungan anggota keluarga, hubungan psikososial dalam keluarga, bagaimana keluarga mengembangkan sikap saling menghargai. 6) Stress dan koping keluarga Stresor jangka pendek dan panjang. Stresor jangka pendek merupakan stresor yang dialami keluarga dan dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari 6 bulan. Stresor jangka panjang adalah masalah yang dapat diselesaikan dalam waktu lebih dari 6 bulan. Strategi koping yang biasa digunakan oleh keluarga. Pemeriksaan fisik: pemeriksaan fisik secara umum (head to toe), TTV (tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu) pemeriksaan fisik khusus (system kardiovaskuler, respirasi, GI Tract, persarafan dan muskuloskeletal) Harapan keluarga terhadap perawat. Tipologi masalah kesehatan : ancaman, keluarga yang kurang/ tidak sehat, dan deficit yang dirasakan Pengkajian khusus berdasarkan 5 tugas keluarga yaitu bagaimana keluarga mengenal masalah, mengambil keputusan yang tepat, memodifikasi lingkungan, merawat anggota keluarga yang sakit atau punya masalah, dan bagaimana keluatga tersebut memanfaatkan sarana kesehatan. Pengkajian lansia dalam tugas perkembangan keluarga juga harus di fokuskan support system lansia itu hidup seperti sumber 43
Universitas Indonesia pendapatan, jenis kegiatan yang biasa dilakukan serta bantuan oranglain dalam melaksanakan tugas perkembangannya. Setelah melakukan pengkajian di atas dapat di teruskan dengan analisa data, dilihat dari data subjektif dan data objektif yang ada serta buat skala prioritas masalah dalam keluarga dengan lansia tersebut yang berisi sifat masalah, kemungkinan masalah dapat diubah, bagaimana potensial masalah untuk dicegah, menonjolnya masalah, kemudian dapat ditentukan diagnosanya. b. Riwayat dan tahap perkembangan keluarga pada lansia Lansia merupakan bagian dari keluarga besar yang merupakan keluarga inti ditambah anggota keluarga lain yang masih mempunyai hubungan darah. Cara terbaik untuk memahami fungsi keluarga pada lansia adalah dengan mendapatkan pengetahuan tentang fungsi keluarga di masa lalu melalui riwayat keluarga. Riwayat atau tinjauan keluarga memberikan pemahaman tentang cara keluarga memberikan arti terhadap kejadian-kejadian tertentu. Tinjauan tersebut memberikan perspektif historis tentang interaksi keluarga, pengaruh budaya, informasi kelas sosial, perasaan kewajiban anak, dan pilihan agama (Brubaker, 1990 dalam Juniarti & Kurnianingsih, 2006). Riwayat keluarga juga dapat memberikan informasi yang berkaitan dengan status kesehatan dan pandangan keluarga tentang kesehatan. Banyak peneliti keluarga melaporkan bahwa riwayat keluarga selalu berulang. Genogram juga dapat memberikan latar belakang intervensi guna menginterupsi riwayat keluarga dan mengubah jalannya peristiwa (Brubaker, 1990 dalam Juniarti & Kurnianingsih, 2006). Bukan hanya individu saja yang memiliki tahap perkembangan, keluarga pun memiliki tahap perkembangan dengan berbagai tugas perkembangan yang harus diselesaikan pada tahapnya. Ada perbedaan pembagian tahap perkembangan menurut Carter dan McGoldrick (1989) dan Duvall (1985). 44
Universitas Indonesia Tabel 2.18 Tahapan perkembangan Charter dan McGoldrick (Family therapy perspective) Duvall (Sociological perspective) 1. Keluarga antara: masa bebas (pacaran) dewasa muda
2. Terbentuknya keluarga baru melalui suatu perkawinan
3. Keluarga yang memiliki anak usia muda (anak usia bayi samapai usia sekolah)
4. Keluarga yang memiliki anak dewasa 5. Keluarga yang mulai melepas anaknya untuk keluar
6. Keluarga lansia Tidak diidentifikasi karena periode waktu antara dewasa dan menikah tak dapat ditentukan 1. Keluarga baru menikah
2. Keluarga dengan anak baru lahir (usia anak tertua sampai 30 bulan) 3. Keluarga dengan anak prasekolah (usia anak tertua 2,5-5tahun) 4. Keluarga dengan anak usia sekolah (usia anak tertua 6-12 tahun) 5. Keluarga dengan anak remaja (usia anak tertua 13-20tahun) 6. Keluarga mulai melepas anak sebagai dewasa (anak-anaknya mulai meninggalkan rumah) 7. Keluarga yang hanya terdiri dari orangtua saja/keluarga usia pertengahan (semua anak meninggalkan rumah) 8. Keluarga lansia Sumber: McGoldrick (1989) dan Duvall (1985) Lansia termasuk pada tahap yang terakhir dimana perubahannya diikuti dengan perubahan tugas perkembangan keluarga dengan berpedoman pada fungsi yang dimiliki keluarga. Gambaran tugas perkembangan keluarga dapat dilihat sesuai tahap 45
Universitas Indonesia perkembangannya. Pada lansia tugas perkembangannya diantaranya yaitu sebagai berikut: Mempertahankan suasana kehidupan rumah tangga yang saling menyenangkan pasangannya Adaptasi dengan perubahan yang akan terjadi: kehilangan pasangan, kekuatan fisik, dan penghasilan keluarga Mempertahankan keakraban pasangan dan saling merawat Melakukan life review masa lalu c. Peran Keluarga terhadap Perkembangan Lansia Teori perkembangan berbicara mengenai tahapan-tahapan perkembangan psikologis sepanjang usia dan tugas sebagai penyesuaian terhadap perubahan, kehilangan, memelihara harga diri, dan menyiapkan kematian harus dicapai. Teori keluarga memperlihatkan keluarga sebagai unit dasar terhadap perkembangan emosional. Keterkaitan antara tugas, permasalahan, dan hubungan lebih ditekankan hingga tiga generasi keluarga. Permasalahan fisik, emosional, dan gangguan sosial dipercayai merupakan hasil refleksi dari permasalahan negosiasi dan masa peralihan antara siklus kehidupan keluarga (Struart, 2009). Dapat disimpulkan bahwa interaksi lansia dengan keluarga memengaruhi proses perkembangan lansia. Tugas perkembangan pada lansia menurut teori Erikson (1963) dalam Psychiatric Health Nursing ; 175 adalah meninjau kehidupan dan mengambil arti dari kejadian-kejadian positif maupun negatif yang dialami. Lansia sering mengevaluasi pengalaman-pengalaman hidupnya dan mendefinisikan kembali tentang peran dan nilai hidup. Apabila tugas perkembangan ini tercapai maka perasaan menghargai dan menerima diri sebagai tujuan meninjau hidup walaupun ada beberapa keinginan yang tidak tercapai. Sebaliknya, perasaan rendah diri dan membenci diri 46
Universitas Indonesia adalah hasil jika tugas perkembangan ini tidak tercpai. Lansia yang gagal mencapai tugas perkembangannya menginginkan untuk kembali pada masa muda dan ingin memiliki kesempatan kedua mengakibatkan ia merasa tidak nyaman, membandingkan diri dengan orang lain, dan fokus terhadap hal tertentu yang tidak ia capai pada masa lalu. Sebagian besar lansia masih dipandang sebagai bagian terkemuka dalam sistem keluarga dan mampu untuk memberikan dukungan kepada pertumbuhan anak-anak dalam pertengahan generasinya. Tugas-tugas ini dihubungkan dengan perannya untuk memeriksa keadaan sosial/masyarakat baru terkait memberhentikan dan kemungkinan mengubah status sosialekonomi, menerima beberapa kemunduran fungsi psikologis, berhadapan dengan kematian pasangan, saudara, dan teman-teman, menghadapi dan menyiakan kematian dirinya sendiri. Permasalahan akan muncul jika lansia gagal untuk memenuhi tugas perkembangan ini sehingga mereka tidak dapat menemukan kebahagiaan didalam kepuasan emosional dengan anak-anak dan cucu-cucunya (Townsend, 2009). Permasalahan yang muncul akibat tidak terpenuhinya tugas perkembangan dapat dicegah jika keluarga mendukung lansia memenuhi tugas perkembangannya. Boyer dan Jeffrey (1994) dalam Psychiatric Health Nursing ; 176-180 menjelaskan enam elemen pada keluarga yang dapat melihat peran keluarga dan penyelewengan peran yang dijelaskan melalui tabel berikut: Tabel 2.19 Peran Keluarga: elemen yang dapat dikaji Elemen yang dikaji Continuum Peran Gangguan fungsi Komunikasi Jelas, langsung, terbuka dan jujur dengan kesesuaian antara verbal dan non verbal tidak langsung, tidak jelas,terkontrol, dengan makna yang tidak sesuai (dapat diartikan lebih dari 1 makna Penguatan mendukung, mengasihi, mendoakan, tidak mendukung, menyalahkan, 47
Universitas Indonesia konsep diri mengakui dengan perilaku yang nyaman menolak untuk mengijinkan tanggung jawab Harapan anggota keluarga Fleksibel, realistis, individual menghakimi, kaku, mengontrol, menolak individu Mengatasi perbedaan toleransi, dinamis, negosiasi menyerang, menghindari, menyerah Pola interaksi keluarga dapat dikerjakan, membangun, fleksibel, dan mengungkapkan apa yang dibutuhkan anggota keluarga bertentangan, kaku, mengalahkan, dan bersifat merusak Suasana Keluarga Memercayai, memajukan pertumbuhan, perhatian, secara umum perasaam baik tidak percaya, sakit hati, dengan tidak adanya pengjarapan untuk memperbaikinya.
Berdasarkan tabel di atas, peran keluarga untuk memenuhi tugas perkembangan lansia dapat terlihat dari proses komunikasi, interaksi, dan kepedulian satu sama lain dalam keluarga. Setiap anggota keluarga yang terdiri dari hingga sampai tiga generasi memainkan peran sesuai dengan posisi dan statusnya dalam keluarga. Komunikasi yang efektif dapat menjaga fungsi keluarga baik secara verbal maupun nonverbal. Keluarga yang fungsional mengungkapkan emosi dan perasaannya secara terbuka, saling menghormati dan berespon satu sama lain. Komunikasi efektif membawa keluarga menjadi terbuka sehingga meminimalkan konflik yang berlarut-larut. Keluarga berperan untuk membangun pola komunikasi yang efektif untuk mengatasi jonflik dan ketidaksesuaiana sehingga anggota klaurga dapat saling mengetahui dan memahami satu dengan yang lain. Interaksi dalam keluarga juga merupakan aspek yang perlu mendapat perhatian dalam dukungan kelurga terhadap tugas perkembangan lansia. Fungsi afektif merupakan fungsi internal 48
Universitas Indonesia keluarga, pemenuhan kebutuhan psikologis anggota kelaurga oleh anggota keluarga lain. Bagian dari dukungan sosial adalah cinta dan kasih sayang. Beberapa fungsi afektif dalam keluarga cenderung menurun sejalan dengan bertambahnya usia keluarga. Ketika pasangan meninggal dunia dna anak-anak pergi, saudara kandung memiliki peranana yang lebih besar dalam menjaga hubungan afektif. Fungsi sosialisasi merupakan pengalamam belajar yang diberikan dalam keluarga untuk mengajarkan anggota keluarga mengenai cara bagaimana berfungsi dan melakukan peran di lingkungan orang deasa. Saai ini banyak proses sosialisasi keluarga terjadi di sekolah atau institusi lain. Anak-anak yang sudah dewasa menempatkan orang tua mereka di panti werdha, seperti halnya orang tua mereka menempatkan mereka di tempat penitipan anak ketika merek amsih kecil. Orang Tua sering menjadi sumber keluarga dalam fungsi sosialisasi keluarga. Orang tua dianggap sebagai model peran yang penting untuk membantu anak-anaknya yang sudah dewasa menghadapi stress kehidupan (Keneddy, 1990 dalam buku ajar keperawatan gerontik; 343). Apabila tugas perkembangan keluarga dapat dijalani dengan baik maka lansia juga mengalami makna hidup yang lebih baik karena pemenuhan tugas-tugas perkembangannya terpenuhi.
2.15 Tugas Perkembangan Individu Lansia a. Fisik-Kognitif Masa usia lanjut terjadi proses penuaan, dimana banyak sekali terjadi perubahan baik secara fisiologis dan morfologis tubuh seseorang. Seiring dengan hal itu, lansia perlu menyadari tugas perkembangannya dalam berbagai aspek baik terhadap perubahan fisik, kognitif dan psikologis. Tugas perkembangan pada lansia menurut Havighurst adalah beradaptasi terhadap penurunan kesehatan dan kekuatan fisik; dan beradaptasi terhadap 49
Universitas Indonesia masa pensiun dan penurunan pendapatan, (Roach, 2006). Menurut Erik Erickson, tugas perkembangan utama lansia adalah integritas ego vs putus asa. Kemampuan lansia untuk beradaptasi akan menentukan kualitas hidup lansia tersebut. Lansia harus beradaptasi terhadap perubahan fisik dan kognitif. Perubahan fisik pada individu lansia merupakan proses yang normal, bukan patologis. Berikut ini adalah beberapa perubahan fisik yang terjadi pada tahap perkembangan lansia (Potter dan Perry, 2005). Tabel 2.20 Perubahan fisik lansia Sistem Temuan Normal Integumen: Warna kulit
Tekstur kulit Kelembapan kulit Suhu kulit Rambut Kuku
Pigmen berbintik diarea yang terpajan sinar matahari, pucat meski tidak anemis. Penurunan elastisitas (kerutan dan kondisi berlipat). Kering, kulit bersisik,. Ekstremitas lebih dingin. Penipisan dan beruban pada kulit kepala. Penurunan laju pertumbuhan kuku. Kepala dan leher: Kepala Mata Telinga Hidung Mulut Leher
Tulang nasal dan wajah menajam dan angular. Penurunan ketajaman penglihatan. Penurunan membedakan nada. Peningkatan rambut hidung, penurunan indra pembau. Penggunaan gigi palsu, penurunan indra pengecap Kelenjar tiroid nodular. Sistem pernapasan dan Kardiovaskular Peningkatan frekuensi pernapasan dengan penurunan ekspansi paru, peningkatan resistensi jalan napas, terjadi peningkatan tekanan darah. Sistem reproduksi: Pria: penurunan kadar progesteron, penurunan jumlah sperma dan ukuran testis. 50
Universitas Indonesia Wanita: penuruan kadar estrogen dan penurunan ukuran uterus. Sistem muskuloskeletal Penurunan massa dan kekuatan otot, demineralisasi tulang, penurunan rentang gerak sendi. Sistem neurologis Penurunan kemampuan kognitif, insomnia, penurunan respon stimulus. Sumber: Potter & Perry, 2005 Selain perubahan pada fisik, perubahan yang juga terjadi pada kognitif lansia, dimana sering kita kenal dengan penyakit demensia ataupun Alzheimer. Lansia menjadi lansia adalah perubahan psikologis yang terjadi dapat dihubungkan dengan keakuratan mental dan keadaan fungsional yang efektif. Adanya penurunan intelektualitas yang meliputi persepsi, kemampuan kognitif, memori, dan belajar pada usia lanjut menyebabkan lansia sulit untuk dipahami dan berinteraksi. Adanya penurunan fungsi sistem sensorik, maka terjadilah pula penurunan kemampuan untuk menerima, memproses, dan merespon stimulus sehingga terkadang akan muncul reaksi yang berbeda dari stimulus yang ada. Oleh karena adanya perubahan fisik, kognitif maupun psikologis, lansia harus menyesuaikan diri terhadap perubahan- perubahan tersebut. Lansia harus melakukan tugas perkembangannya, yaitu dengan beradaptasi terhadap penurunan kesehatan dan kekuatan fisik, beradaptasi terhadap masa pensiun dan penurunan pendapatan, beradaptasi terhadap kematian pasangan, menerima diri sebagai individu yang menua, mempertahankan kehidupan yang memuaskan menetapkan kembali hubungan dengan anak yang telah dewasa dan menemukan cara mempertahankan kualitas hidup (Potter & Perry, 2005). b. Perkembangan Konsep Diri Konsep diri merupakan gambaran mental seseorang terhadap dirinya sendiri (Craven R.F dan Hirnle, C.J., 2007). 51
Universitas Indonesia Menurut Stuart & Laraia (1998), konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan, dan pendidikan yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhinya dalam berhubungan dengan orang lain. Konsep diri dapat dipelajari dari kontak sosial dan pengalaman berhubungan dengan orang lain. Konsep diri dalam ilmu keperawatan memiliki lima komponen dasar, yaitu harga diri, identitas diri, citra tubuh, ideal diri dan juga penampilan peran (Stuart, 2006): 1) Citra tubuh Citra tubuh adalah persepsi internal yang dimiliki seseorang tentang penampilan fisiknya (Fortinash & Holoday-Worret, 1999). Stuart & Sundeen, 2001 menjelaskan bahwa citra tubuh merupakan kumpulan sikap individu yang disadari dan tidak disadari terhadap tubuhnya termasuk persepsi serta perasaan masa lalu dan sekarang tentang ukuran, fungsi, penampilan, dan potensi. Perubahan dalam penampilan, struktur atau fungsi bagian tubuh pada lansia akan mempengaruhi perubahan terhadap gambaran diri (citra tubuh). Studi menunjukkan bahwa orang yang menerima tubuh mereka memiliki harga diri yang lebih tinggi. 2) Ideal Diri Ideal diri adalah persepsi individual dalam bagaimana individu tersebut dalam berperilaku berdasarkan standarnya (Stuart & Sundeen, 1995). faktor yang mendukung terjadinya gangguan ideal diri pada lansia adalah adanya keinginan yang besar dengan hi- expectancy dan tidak realistik namun tidak diimbangi oleh kapasitas individu tersebut. Apabila faktor tersebut terus dibiarkan maka akan mengakibatkan gangguan harga diri kepada individu tersebut. Ideal diri berlaku di setiap rentang kehidupan termasuk lansia. Apabila ideal 52
Universitas Indonesia diri ini tidak seimbang maka akan terjadinya gangguan ideal diri yang kemungkinan mengakibatkan low self- esteem. 3) Harga Diri Harga diri adalah penilaian individu tentang penilaian personal tertentu. Lansia dengan harga diri yang rendah akan merasa tidak berguna dengan keadaan fisiknya yang mulai menurun, tidak percaya pada kemampuan diri sendiri, mengkritik diri sendiri, serta memiliki pandangan hidup yang pesimis terhadap hari tua nya (Miller, 2004). Mereka memerlukan dukungan keluarga dan lingkungan untuk meningkatkan harga dirinya agar lansia tersebut dapat meningkatkan kualitas hidupnya menghadapi hari tua serta merasa diterima di keluarga dan lingkungannya. 4) Identitas Diri Identitas diri merupakan kesadaran internal akan diri seseorang secara menyeluruh dan konsistensinya pada waktu dan situasi yang berbeda. (Potter & Perry, 2010). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan psikososial seorang lansia, termasuk identitas diri. Menurut Potter & Perry, 2010, beberapa faktor yang mempengaruhi lansia adalah usia, seksualitas, dan budaya. Dalam referensi lain (Miller, 2012) menyebutkan faktor yang mempengaruhi identitas diri lansia adalah masa pensiun, keadaan menjadi janda atau duda, religi dan spiritualitas, dan kegiatan sosial. 5) Penampilan Peran Peran dapat didefinisikan sebagai seperangkat perilaku yang diharapkan secara sosial yang berhubungan dengan fungsi individu pada berbagai kelompok (Craven & Hirnle, 2007). Dalam hal ini berkaitan 53
Universitas Indonesia dengan teori kontinuitas menurut Havighurst, et al (1963), lansia merupakan masa lanjutan dari kehidupan sebelumnya dan merupakan komponen yang terintegrasi dalam siklus kehidupan (Lueckenotte, 1996). Penampilan peran pada lansia dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, stres dan koping, pengalaman di masa lalu, dan transisi peran (Craven & Hirnle, 2007). Rentang respon konsep diri pada lansia merupakan suatu rentang respon saat menghadapi suatu stressor atau masalah. Adapun perkembangan pada lansia berdasarkan teori Erikson berada pada tahap Integritas ego versus putus asa. Individu yang sukses dalam melampaui tahap ini akan dapat mencapai integritas diri (integrity), sebaliknya mereka yang gagal maka akan melewati tahap ini dengan keputusasaan (despair) Lansia mengalami kondisi penuh stress, rasa penolakan, marah. dan putus asa terhadap kenyataan yang dihadapinya. Pengalaman yang dialami lansia di masa lalu dimana kurang terpenuhinya tugas perkembangan sebelumnya akan berdampak negatif dikemudian hari khusus saat usia tua. c. Tugas Perkembangan Lansia pada Sosioekonomi Tugas perkembangan pada lansia merupakan tugas perkembangan yang berhubungan dengan penuaan yang dialaminya. Setiap lansia memiliki beberapa tugas perkembangan yang perlu diketahui untuk kesejahteraan hidupnya. Tugas ini mencangkup beberapa aspek yaitu tugas perkembangan dari perubahan fisik, psikososial dansosioekonomi. Secara umum tugas perkembangan lansia yaitu (Havighurst, 1979 dalam Rosdahl & Kowalski, 2008): Menyesuaikan diri dengan kemampuan fisik yang menurun (seperti kekuatan dan kesehatan) 54
Universitas Indonesia Menyesuaikan diri ketika pengunduran diri (pensiun) dari pekerjaan dan memperbaiki pemasukan (income) Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan atau teman Menciptakan hubungan sosial dengan sesama lansia dan orang yang lebih muda darinya Menyusun rencana hidup Membuat rencana perawatan terhadap diri lansia (jika diperlukan) Menerima kematian diri Menemukan kepuasan hati atau kebahagiaan di keluarga Menerima diri sebagai seseorang yang akan menua Sedangkan menurut Maryam, R. Siti dkk (2008), tugas-tugas perkembangan lansia sebagai berikut: Mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun Mempersiapkan diri untuk pensiun Membentuk hubungan baik dengan orang seusianya Mempersiapkan kehidupan baru Melakukan penyesuaian terhadap kehisupan sosial/masyarakat secara santai Mempersiapkan diri untuk kematiannnya dan kematian pasangan Beberapa tugas perkembangan yang telah dijelaskan merupakan tugas-tugas yang perlu dipenuhi dan didukung oleh keluarga dari lansia itu sendiri untuk kesejahteraan hidup pada masa lansia.Inti dari tugas perkembangan tersebut berhubungan dengan kemampuannya untuk melawan kesahatan yang semakin menurun, pengetahuan dan penerimaan terhadap kematian diri, dan menggabungkan atau menyatukan perasaan tentang diri sendiri dan kehidupan. Kesuksesan dari tugas perkembangan ini bergantung pada bagaimana keberhasilan terhadap tugas-tugas sebelumnnya pada awal kehidupan. Sehingga untuk mencapai tugas perkembangan pada lansia dengan sempurna, seorang lansia 55
Universitas Indonesia harus mempersiapkan diri terlebih dahulu pada masa pralansia yaitu usia 45-59 tahun. Hal-hal yang perlu dipersiapkan menjelang masa lansia (Maryam, 2008) : 1) Kesehatan Latihan fisik/olahraga secara teratur sesuai kemampuan Pengaturan gizi/diet seimbang Tetap bergairah dan memelihara kehidupan seks yang sehat Melakukan pemeriksaan kesehatan secara teratur (minimal 6 bulan sekali) Memelihara penampilan yang rapi dan bersih Menghindari kebiasaan buruk yang berdampak tidak baik bagi kesehatan (merokok, minuman keras, malas olahraga, makan berlebihan, tidur tidak teratur, minum obat tidak sesuai anjuran, dan hubungan tidak harmonis) Sosial - Meningkatkan iman dan takwa - Tetap setia dengan pasangan yang sah - Mengikuti kegiatan sosial - Meningkatkan keharmonisan dalam rumah tangga - Menyediakan waktu untuk rekreasi - Tetap mengembangkan hobi/bakat Ekonomi - Mempersiapkan tabungan hari tua - Berwiraswasta - Mengikuti asuransi Sosioekonomi biasanya sangat mempengaruhi kesehatan pada lansia, meliputi pemasukan, pendidikan, pekerjaan, dan kombinasi dari hal-hal tersebut (Matthews, Jagger, Miller, Brayne, & MRC 56
Universitas Indonesia CFAS, 2009). Sehingga, tugas perkembangan sosioekonomi pada lansia merupakan bagian dari tugas perkembangan lansia yang dilihat dari segi sosioekonomi, meliputi pemasukan, pendidikan, pekerjaan, dan kombinasi dari hal-hal tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa kemiskinan dan level pendidikan yang rendah dapat berpengaruh terhadap kesehatan dalam masa penuaan karena faktor ini berhubungan dengan serangan awal dari penyakit dan kematian yang akan dialami (Crimmins, Kim, & Seeman, 2009 dalam Miller,2011). Dari penelitian tersebut diketahui bahwa seorang lansia yang memiliki pemasukan yang lebih baik dan tingkat pendidikan yang tinggi memiliki kesehatan yang baik dibandingkan dengan lansia yang miskin. Oleh karena itu, keberhasilan terhadap tugas perkembangan secara sosioekonomi perlu dimengerti dan dilaksanakan oleh seorang lansia agar tidak terjadi stres atau menimbulkan masalah kesehatan. Pengunduran diri terhadap pekerjaan merupakan bagian dari kehidupan yang akan dialami oleh setiap lansia. Beberapa orang lansia mendapatkan tujuan dan pemenuhan kebutuhan pada masa ini, sebaliknya perasaan terhadap kebebasan dan waktu untuk beraktivitas ditunda selama sibuk bekerja (Mauk, 2006). Selama masa usia pengunduran diri ini, ada beberapa lansia yang memilih untuk tetap bekerja demi kebutuhan finansial atau tidak bekerja kembali karena kemampuan fisik yang mulai menurun. Perencanaan anggaran yang dilakukan oleh lansia sebaiknya dilakukan sebelum terjadi pengunduran diri atau pensiun untuk mempermudah pengaturan dana. Namun, beberapa orang lansia memiliki penghasilan yang rendah atau tidak ada penghasilan. Hal ini dapat diakibatkan terpisah dari keluarga (seperti kematian atau perceraian) sehingga tidak ada dukungan secara finansial.Kekurangan finansial ini dapat mengakibatkan stres pada 57
Universitas Indonesia lansia. Hal ini berkaitan dengan tugas perkembangan lansia yaitu mengatur pemasukan pada masa pengunduran diri. Tugas perkembangan lansia sosioekonomi lainnya adalah menciptakan hubungan sosial dengan sesama lansia dan orang yang lebih muda. Hal ini sangat penting agar mereka bahagia terhadap lingkungan selama sisa hidupnya. Meskipun kebebasan pada lansia terhambat akibat penurunan kemampuan tubuh secara kognitif maupun fisik, seorang lansia masih dapat bersosialisasi dan menjadi bagian dari support system terhadap lingkungan sekitarnya untuk menunjang kesejahteraan hidup. d. Perkembangan Spriritual dan Sosial pada Lansia Usia lanjut merupakan usia yang mendekati akhir siklus kehidupan manusia di dunia. Usia tahap ini dimulai dari 60 tahunan sampai akhir kehidupan (Nugroho, 2009). Semua orang akan mengalami proses menjadi tua, dan masa tua merupakan masa hidup manusia yang terakhir. Pada masa itu seseorang akan mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial sedikit demi sedikit sehingga terjadi perubahan tugas individu dalam kehidupannya (Kinasih & Wahyuningsih, 2012). Perubahan fisik yang semakin menurun dan tuntutan psikologis lansia sering mengarahkan lansia untuk lebih fokus dalam memenuhi kebutuhan spiritualnya. Spiritualitas mencakup kepercayaan dan sistem nilai seseorang (Potter & Perry, 2005). Spiritualitas menujukkan bagaimana pikiran, perasaan, keyakinan pada seseorang. Selain itu, spiritualitas juga menunujukkan gambaran pencarian makna dan tujuan hidup yang sangat penting terutama pada lansia yang mendekati akhir kehidupan (Maryam, 2008). Perkembangan spiritual yang matang akan membantu lansia untuk menghadapi kenyataan, berperan aktif dalam kehidupan, maupun merumuskan arti dan tujuan keberadaannya dalam kehidupan. Menurut Maryam (2008) pada kelompok lansia saat menghadapi sakit dan kematian, lansia akan lebih cenderung: 58
Universitas Indonesia 1) Mempunyai lebih banyak waktu untuk kegiatan agama. 2) Berusaha untuk mengerti agama dan berusaha untuk mengerti nilai-nilai agama yang diyakini. 3) Perasaan kehilangan karena pensiun dan tidak aktif serta menghadapi kematian orang lain menimbulkan rasa kesepian dan mawas diri. 4) Perkembangan filosofis agama yang lebih matang sering dapat membantu lansia untuk menghadapi kenyataan, berperan aktif dalam kehidupan, lebih merasa berharga dan dapat menerima kematian sebagai sesuatu yang tidak dapat ditolak atau dihindarkan. Banyak isu psikososial yang menjadi perhatian untuk para pasien lansia berkaitan dengan spiritualitas. Permasalahan tersebut mencakup disabilitas fisik berkaitan dengan proses penuaan, kemungkinan kematian, kesibukan anggota keluarga lain, pensiun serta perasaan sendiri karena ditinggalkan orang yang dicintai dan tidak diperhatikan. Hal tersebut dapat menjadi ancaman bagi perasaan lansia terhadap nilai dan identitasnya di masyarakat. Konflik antara kepercayaan atau keyakinan lansia dengan realita keadaannya dapat menyebabkan distress spiritual. Ketika lansia merasakan distress spiritual, lansia mungkin mempertanyakan mengenai tujuan dan makna hidup mereka. Selain itu, gangguan spiritual pada lansia akan menyebabkan lansia tidak bisa menjalani masa lansia dengan bahagia dan sejahtera serta tidak tercapainya healthy aging (Santoso, 2009). Peningkatkan spiritualitas pada lansia seiring bertambahnya usia merupakan hal yang penting dalam tahapan akhir kehidupannya. Peningkatan spiritual ini tidak terlepas dari peran perawat. Salah satu contoh peran perawat dalam memfasilitasi pemenuhan kebutuhan spiritual adalah dengan menjadi atau mencarikan pendampingan spiritual untuk pasen geriatric (Kinarsih, 2012). Hasil penelitian dari (Kinasih & Wahyuningsih, 59
Universitas Indonesia 2012) menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pendamping spiritual dengan motivasi kesembuhan pada pasien lansia. Miller (2004) menyatakan bahwa dengan mendukung kepercayaan dan nilai-nilai lansia membantu individu untuk mengatasi tantangan yang dihadapi lansia. Fungsi lainnya, partisipasi religius dapat menurunkan laju depresi pada lansia, memberikan rasa penguatan pada tujuan hidup dan ketabahan secara keseluruhan. Fungsi pemenuhan spiritual bagi lansia juga dapat membantu lansia untuk menemukan jawaban mengapa mereka kehilangan identitas, peran sebelumnya dan kapasitas fisik. Dari aspek sosial, kesiapan lansia untuk beradaptasi atau menyesuaikan diri terhadap tugas perkembangan usia lanjut dipengaruhi oleh proses tumbuh kembang pada tahap sebelumnya (Santoso, 2009). Apabila seseorang pada tahap tumbuh kembang sebelumnya melakukan kegiatan sehari-hari dengan baik dan membina hubungan yang serasi dengan orang-orang di sekitarnya, maka pada usia lanjut lansia akan tetap melakukan kegiatan yang biasa lansia lakukan pada tahap perkembangan sebelumnya seperti olahraga, mengembangkan hobi, dan lain-lain. Kepribadian yang terintegrasi merupakan hal yang ingin dicapai oleh setiap lansia. Lansia pada fase ini justru sudah mengalami banyak kemunduran fisik dan merasa bahwa hidupnya sudah dekat dengan akhir hayat. Oleh karena itu pada masa ini kasih sayang dari lingkungan keluarga terdekat, kerabat, bahkan lingkungan terdekat merupakan sumber kebahagiaan tersendiri. Perasaan diterima dan dihargai oleh sekelilingnya merupakan anugerah yang tidak ternilai oleh materi. Pencapaian masa ini (lansia) dipengaruhi oleh proses panjang di masa-masa sebelumnya. Ketidakberhasilan di masa lalu dapat menyebabkan individu menjadi putus asa dan takut menghadapi kehidupan lansia dan juga kematian. Apabila 60
Universitas Indonesia seseorang berhasil melewati masa sebelumnya dengan baik, maka akan terbentuk kepribadian yang terintegrasi dalam dirinya. Menurut Ismail (2009) faktor sosial terkait tugas perkembangan pada lansia mencakup perubahan-perubahan psikososial yang dialami lansia dalam proses mencapai tugas perkembangan itu, antara lain: 1) Pensiun, nilai seseorang sering diukur oleh produktivitasnya dan identitas dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Bila seseorang pensiun, individu tersebut akan mengalami kehilangan-kehilangan, seperti kehilangan finansial (income berkurang), status, teman atau relasi, dan pekerjaan atau kegiatan. 2) Merasakan atau sadar akan kematian (sense of awareness of mortality) 3) Perubahan dalam cara hidup, yaitu memasuki rumah perawatan bergerak lebih sempit 4) Ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan (economic deprivation). 5) Meningkatnya biaya hidup pada penghasilan yang sulit, bertambahnya biaya pengobatan. 6) Penyakit kronis dan ketidakmampuan. 7) Gangguan saraf pancaindra, timbul kebutaan dan ketulian. 8) Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan. 9) Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan teman-teman dan famili. 10) Hilangnya kekuatan dan ketegapan.
2.16 Teori Biologis Menua Berikut teori biologis menua pada lansia: a. Teori Wear and Tear Teori ini menjelaskan proses penuaan terjadi karena adanya akumulasi sampah metabolik atau sampah nutrisi yang dapat merusak 61
Universitas Indonesia DNA yang mendorong terjadinya malfungsi molekular sampai organ tubuh. Menurut August Weismann, sel somatik normal memiliki keterbatasan dalam bereplikasi dan menjalankan fungsinya (Miller, 2004). Hal ini karena jaringan yang telah rusak tidak dapat lagi beregenerasi. Merokok, mengkonsumsi alkohol, diet yang tidak adekuat, dan stressor fisik lainnya dapat memperburuk proses pemakaian energi dalam tubuh yang membuat sel sel menjadi lelah. Contoh produk sampah metabolisme yang dapat merusak ketika terjadi akumulasinya adalah radikal bebas. Radikal bebas adalah molekul atau atom dengan suatu elektron yang tidak bepasangan yang sangat reaktif yang dihasilkan selama metabolisme. Pada kondisi normal, radikal bebas dengan cepat dihancurkan oleh sistem enzim pelindung. Namun, ada beberapa yang berhasil lolos dan berakumulasi di dalam sistem biologis yang penting, dan saat itu kerusakanpun terjadi. b. Teori Cross-linkage Teori ini mengatakan bahwa stuktur molekular yang normalnya adalah terpisah menjadi berikatan akibat reaksi kimia Teori ini berdasarkan fakta bahwa dengan bertambah tua, protein manusia dan molekul lainnya akan saling melekat atau saling memilin (cross link). Proses ini paling banyak terjadi antara usia 30-50 tahun. Menurut teori ini, agen cross-link mengikatkan diri pada molekul dasar DNA dan merusaknya. Mekanisme pertahanan natural umumnya memperbaiki kerusakan yang terjadi, tetapi peningkatan usia memperlemah mekanisme pertahanan tersebut. Proses ini pun terjadi terus menerus hingga kerusakan yang sudah tidak dapat diperbaiki kembali. Dampaknya, akumulasi cross-linking menyebabkan mutasi pada sel dan sel tidak dapat mengeliminasi sisa produk dan transpor ion (Miller, 2004). Kerusakan yang irreversible terjadi mulai dari tingkat sel, jaringan sampai ke organ. Hal ini disebabkan oleh peningkatan densitas molekul kolagen akibat proses cross-linking. Dalam proses non-enzimatik, glikosilasi, molekul glukosa menempel 62
Universitas Indonesia pada protein tanpa menggunakan bantuan enzim menghasilkan rantai reaksi kimia. c. Teori Radikal Bebas Teori radikal bebas mengasumsikan bahwa proses menua terjadi akibat kekurangan keefektifan fungsi kerja tubuh dan hal itu dipengaruhi oleh adanya berbagai radikal bebas dalam tubuh. Radikal bebas merupakan akar banayak penyakit akut maupun kronis. Pada tingkat sel, radikal bebas bertanggung jawab atas kerusakan yang sangat besar. ( Perricone, 2002). Teori radikal bebas pertama kali diperkenalkan oleh Denham Harman, M.D., Ph.D pada tahun 1950. Ketika molekul atau atom kehilangan satu elektronnya, ia menjadi tidak stabil dan akan mencoba untuk mengambil electron dari molekul lainnya di dalam lingkungan terdekatnya. Jika radikal bebas mendapatkan sebuah electron dari molekul di sampingnya, molekul atau atom tersebut juga akan menjadi radikal bebas. Sebagai akibatnya, radikal bebas baru menyarang molekul lain di sampingnya. Setiap kali pasangan electron berpisah, kerusakan terjadi pada molekul yang menjadi korban. D. Harman beranggapan bahwa kerusakan pada molekul inilah yang menyebabkan terjadi penuaan. (Harman, 1998). Radikal bebas yang reaktif mampu merusak sel, termasuk mitokondria, yang akhirnya mampu meyebabkan cepatnya kematian (apoptosis) sel, menghambat proses reproduksi sel dan kemudian menyebabkan kesehatan kulit berangsur-angsur menurun akibat suplai oksigen dan nutrisi yang makin sedikit yang akhirnya dapat mengakibatkan kematian jaringan kulit itu sendiri. Antioksida dalam Vitamin C , E, dll merupakan substansi yang dipercaya dapat menghambat kerja radikal bebas yang memungkinkan menyebabkan kerusakan jaringan kulit. (Perricone, 2002). d. Teori Imunitas Teori imunitas menggambarkan suatu kemunduran dalam system imun yang berhubungan dengan penuaan. Ketika orang bertambah tua, 63
Universitas Indonesia pertahanan mereka terhadap organisme asing mengalami penurunan sehingga mereka rentan nuntuk menderita penyakit seperti kanker dan infeksi. ( Stanley & Beare, 2002). Perubahan system imun lebih tampak secara nyata pada Limposit-T, disamping perubahan itu juga terjadi pada Limposit-B. Perubahan yang terjadi meliputi penurunan system imun hormonal, yang dapat menjadi faktor predisposisi pada orang tua untuk: Menurunkan resistansi melawan pertumbuhan tumor dan perkembangan kanker. Menurunkan kemampuan untuk mengadakan inisiasi proses dan secara agresif memobilisasi pertahanan tubuh terhadap pathogen. Meningkatkan produksi autoantigen, yang berdampak pada semakin meningkatnya resiko terjadinya penyakit yang berhubungan dengan auroimun. e. Teori Neuroendokrin Salah satu teori proses aging yang diterima secara luas adalah teori Neuroendokrin yang menguraikan tentang jaringan biokimia yang kompleks yang mengatur pelepasan hormon oleh tubuh manusia. Hipotalamus melepaskan hormon yang mempunyai bermacam reaksi berantai yang akan menstimulasikan organ-organ untuk melepaskan hormon yang akan menstimulasikan pelepasan hormon lain, dan selanjutnya menstimulasikan fungsi-fungsi tubuh. Proses menua menyebabkan penurunan dalam produksi hormon, sehingga menyebabkan berkurangnya kemampuan tubuh untuk mengatur dan memperbaiki bagian yang rusak. Penuaan terjadi karena adanya keterlambatan dalam sekresi hormon tertentu sehingga berakibat pada sistem saraf. Hormon dalam tubuh berperan dalam mengorganisasi organ-organ tubuh melaksanakan tugasnya dan menyeimbangkan fungsi tubuh apabila terjadi gangguan dalam tubuh. Pada lansia, hipotalamus kehilangan kemampuan dalam pengaturan dan sebagai reseptor yang mendeteksi hormon individu menjadi kurang sensitif. 64
Universitas Indonesia Oleh karena itu, pada lansia banyak hormon yang tidak dapat dapat disekresi dan mengalami penurunan keefektifan, sehingga menyebabkan berkurangnya kemampuan tubuh untuk mengatur dan memperbaiki bagian yang rusak. f. Teori Genetik Teori genetik menekankan pada peran gen dalam proses perkembangan berkaitan dengan perubahan usia. Hayflick (1974) memperkirakan sel manusia normal akan membelah 50 kali dan sel secara genetik berhenti membelah setelah mencapai 50 pembelahan, dimana sel ini akan mulai memburuk hingga berakhir pada kematian. Jumlah pembelahan sel berbeda pada setiap spesies. Slagboom, Bastian, Beekman, Wendendorf, & Meulenbelt (2000) merupakan peneliti-peneliti yang mendukung teori genetik ini. Dalam Gerontological nursing : compentencies for care (2006) mereka menjelaskan bahwa setiap sel, atau bahkan mungkin seluruh organisme, memiliki kode penuaan genetik yang sudah terprogram dan disimpan dalam DNA organisme. Teori ini berisi pengaruh genetik yang dapat memprediksi kondisi fisik, terjadinya penyakit, penyebab dan usia kematian, serta faktor lainnya. Teori genetika terdiri dari teori asam deoksiribonukleat (DNA), teori ketepatan dan kesalahan, mutasi somatik, dan teori glikogen. Teori-teori ini menyatakan bahwa proses replikasi pada tingkatan seluler menjadi tidak teratur karena adanya informasi yang tidak sesuai diberikan dari inti sel. Terdapat molekul DNA yang saling bersilangan (crosslink) dengan unsur lain sehingga mengubah informasi genetik. Terjadilah kesalahan pada tingkat seluler yang menyebabkan sistem orang tubuh gagal untuk berfungsi. g. Teori Apoptosis Teori biologis juga mengaitkan hubungan antara apoptosis dengan penuaan yang diajukan pada tahun 1970-an. Apoptosis ialah proses perkembangan normal tanpa peradangan yang didorong oleh gen yang terjadi terus menerus sepanjang hidup. Proses ini ditandai dengan 65
Universitas Indonesia penyusutan sel dan pemeliharaan integritas membran, berbeda dengan proses peradangan sebagai respon pada trauma yang ditandai dengan pembengkakan sel dan kehilangan integritas membran. Salah satu teori yang fokus pada apoptosis ialah teori fitur (feature theory) yang dikemukakan dalam Essentials of gerontological nursing (2008). Teori fitur ini menyatakan bahwa proses penuaan terkandung dalam desain manusia dimana secara genetik usia manusia telah ditentukan. Menurut teori ini, untuk mengubah proses penuaan hanya sedikit hal yang bisa dilakukan meskipun berbagai intervensi diambil untuk meningkatkan kesehatan dan mencegah penyakit. Teori fitur menyatakan tujuan utama dari penuaan ialah untuk meningkatkan atau menyempurnakan manusia. Pendukung teori ini melihat variasi luas dari segi usia pada orang-orang yang hidup di lingkungan yang mirip. Ada sebuah teori yang bertentangan dengan teori fitur. Teori ini adalah teori kecacatan (defect theory). Teori kecacatan Wallace (2008) dalam Essentials of gerontological nursingmenyatakan bahwa kerusakan yang terjadi dalam proses penuaan terjadi sebagai bentuk kecelakaan atau kesalahan cara untuk memperpanjang kehidupan. h. Teori Pembatasan Kalori Teori pembatasan kalori dalam Nursing for wellness in older adults (2012) berdasarkan pada berbagai penelitian pada hewan dimana telah ditemukan bahwa mengurangi asupan kalori antara 30%-40% sebagai bentuk intervensi secara dramatis dapat meningkatkan harapan hidup (Pearl, 1928). Ada banyak bukti ilmiah yang menyatakan bahwa pembatasan kalori tapi bergizi ini memiliki banyak efek menguntungkan pada hewan, termasuk meningkatkan kemampuan untuk melindungi sel, meningkatkan resistensi sel terhadap stress, dan meningkatkan harapan hidup yang lebih lama serta sehat (Barzilai & Bartke, 2009).
66
Universitas Indonesia 2.17 Teori Psikososial Menua Berikut teori psikososial menua: a. Teori Putus Hubungan (Disengagement Theory) Masyarakat (society) dan orang tua saling mempunyai hubungan timbal balik dan penarikan diri lansia dilakukan untuk menjaga keseimbangan sosial. Teori ini menggambarkan proses penarikan diri oleh lansia dari peran bermasyarakat dan tanggung jawabnya. Menurut ahli teori ini, proses penarikan diri ini dapat diprediksi, sistematis, tidak dapat dihindari, dan penting untuk fungsi yang tepat dari masyarakat yang sedang tumbuh. Lansia dikatakan bahagia apabila kontak sosial telah berkurang dan tanggung jawab telah diambil oleh generasi yang lebih muda. Manfaat pengurangan kontak sosial bagi lansia adalah agar ia dapat menyediakan waktu untuk merefleksikan pencapaian hidupnya dan untuk menghadapi harapan yang tidak terpenuhi, sedangkan manfaatnya bagi masyarakat adalah dalam rangka memindahkan kekuasaan generasi tua kepada generasi muda. (Miller, 2012). b. Teori Aktivitas (Activity Theory) Lansia secara psikososial akan sehat apabila mereka dapat aktif di dalam aktifitas sosial dan fisik yang mereka senangi (Stanley, 2007 Teori aktivitas didasarkan pada anggapan bahwa orang tua tetap bertahan pada lingkungan fisik dan sosialnya jika mereka tetap terlibat secara aktif dalam hidupnya (Miller, 2009). Berdasarkan teori ini, lansia tidak berupaya melepaskan diri dari lingkungan tetapi sebaliknya memilih tetap aktif dan dilibatkan. Aktivitas informal lebih berpengaruh daripada aktivitas formal. Kerja yang menyibukkan tidaklah meningkatkan harga diri seseorang, tetapi interaksi yang bermakna dengan orang lainlah yang lebih meningkatkan harga diri. Dari satu sisi aktivitas lansia menurun, namun dapat dikembangkan dengan melakukan aktivitas yang sesuai dengan usianya. Goerge (2006) dalam Miller (2012) menyatakan bahwa ada hubungan yang 67
Universitas Indonesia positif antara keberhasilan proses penuaan dan tingkat aktivitas yang bermakna, termasuk diri sendiri, sosial dan fisik. c. Teori Human Needs Teori ini diusung berdasarkan teori kebutuhan manusia Abraham Maslow yang memberikan pandangan holistik bahwa perkembangan individu dapat dipengaruhi oleh pengalaman yang berbeda dari individu itu sendiri. Selain itu juga didapat dari pengaruh Carl Roger yang percaya bahwa proses menjadi dewasa yang berfungsi penuh dibantu oleh hubungan penting yang memberikan hal positif sepanjang hidup (Berger, 1994 dalam Stanhope & Lancaster, 2000). Teori human needs memandang seseorang sebagai individu yang unik, menentukan dirinya sendiri, patut dihormati, dan diarahkan oleh bermacam kebutuhan dasar manusia (Stanhope & Lancaster, 2000). Menurut pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa perilaku seseorang dimotivasi oleh kebutuhan manusia yang menyeluruh dari mulai kebutuhan yang paling dasar seperti makan, tidur hingga kebutuhan yang paling tinggi yaitu aktualisasi diri. d. Teori Life Course and Personality Development Teori life course menyebutkan usia lanjut merupakan bagian dalam konteks siklus kehidupan, sedangkan teori personality development mengidentifikasi tipe-tipe kepribadian sebagai kekuatan yang mendorong pada penuaan yang sukses atau gagal. Pada teori life course, bagaimana seseorang menguasai satu tahap dengan sukses maka akan menjadi dasar bagaimana orang tersebut akan menguasai dengan berhasil atau tidaknya pada tahap selanjutnya. e. Teori Gerotransenden Di teori gerotransendennya, Tornstam (1999) menemukan pemahaman baru tentang perkembangan proses penuaan. Tornstam mengungkapkan bahwa penuaan manusia merupakan proses kehidupan menjadi tua, dikarakteristikkan dengan potensi umum menuju gerotransenden. Menurut Tornstam, gerotransenden adalah tahap akhir dari perkembangan alami yang mengarah pematangan dan 68
Universitas Indonesia kebijaksanaan, mencapai gerotransenden bearti mencapai kebijaksanaan. Pada toeri Jung tentang teori proses individu (1930), teori gerotransenden termasuk predisposisi kemajuan pada kematangan dan kebijaksanaan. Tabel 2.21 Tanda gerotransenden Tingkat Tanda-tanda Tingkat Kosmik - Waktu dan tempat. Perubahan pada perkembangan waktu dan tempat. Contoh, membatasi kejadian di masa lalu dan sekarang. - Hubungan dengan generasi penerus. Pencapaian kasih sayang. - Hidup dan mati. Menghilangkan rasa takut mati dan pemahaman baru terhadap hidup dan mati. - Misteri kehidupan. Dimensi misteri kehidupan dapat diterima. - Kegembiraan diri. Dari kejadian besar ke kecil, pengalaman bahagia yang besar melalui kejadian/perwujudan yang kecil. Diri Sendiri - Konfrontasi diri. Penemuan aspek diri yang tersembunyi baik kejadian yang baik atau buruk. - Penurunan pusat diri. Mengesampingkan diri dari kejadian yang terjadi. - Perkembangan transenden tubuh. Perawatan tubuh kontinu, tetapi tidak obsesi diri. - Transenden diri. Perubahan dari egois menjadi peduli pada orang lain. - Penemuan dengan anak. Kembali dan berubah ke masa anak-anak. - Integritas diri. Individu menyadari teka-teki hidupnya. Hubungan Sosial dan - Perubahan hubungan yang berarti dan penting. 69
Universitas Indonesia Individu Lebih selektif dan kurang tertarik dengan hubungan dangkal, kebutuhan untuk tenang meningkat. - Bermain peran. Mengerti perbedaan diri dengan peran yang diambil, terkadang ada keinginan menolak peran. - Emansipasi perasaan bersalah. Untuk menjadi lebih dewasa/matang. - Pertapaan modern. Mengerti kekayaan dan bebas mengembangkannya. - Bijaksana setiap hari. Enggan melihat perbedaan salah benar, lebih memilih memberi putusan dan masukan.
f. Teori Psikodinamik Erikson Teori ini dikenal pada tahun 1950 dan 1982. Teori ini merupakan teori pertumbuhan dan perkembangan manusia dari lahir sampai usia tua, termasuk proses menua. Berdasarkan teori ini perkembangan manusia melalui tujuh tahap, setiap tahapnya berbeda ciri masalah dan solusinya. Mencapai akhir di tahap delapan, diharapkan individu mempunyai tingkatan dewasa yang lebih tinggi. Ditahap ini, individu akan melihat kembali bagaimana hidup. Jika bisa menerima dengan puas, maka dia akan mencapai integritas diri. Jika individu tidak mencapai integritas dirinya, dia akan putus asa dan takut mati. Sintesis pada tahap delapan disebut kebijaksanaan, tetapi tidak menyatakan secara langsung kebijaksanaan yang sebenarnya. (Erikson et.al., 1986). Contoh, lansia yang bisa merasa puas selama hidupnya akan mempunyai rasa percaya diri dan integritas diri yang tinggi. g. Teori Gender and Aging Pada teori psikologikal, menua dan gender menjadi kesatuan. Studi mengenai perbedaan gender, seperti penggabungan variabel sosial dan psikologis yang membuat pekerjaan sulit untuk dilaksanakan. 70
Universitas Indonesia Perbedaan dasar pada gender terletak pada awal kehidupan pendidikan, perbedaan peran, gaya hidup tidak hanya menggabungkan analisis tetapi mengalami perubahan yang besar selama kehidupan. Perbedaan pada perilaku kognitif antara lansia laki-laki dan perempuan sulit ditentukan. Perbedaan gender pada masa tua terjadi pada bagian kognitif, emosi dan penglihatan. Contoh, lansia laki-laki dan perempuan berbeda dalam menghadapi masalah atau kematiannya; perempuan lebih banyak memberi masukan kepada orang yang usianya lebih muda darinya.
2.18 Teori Perubahan Fisik Menua a. Perubahan sistem neurologis Penurunan aliran darah serebral dan penggunaan oksigen juga terjadi. Penyusutan neuron terjadi sebanyak 10% pada usia 80 tahunan. Distribusi neuron kolinergik, norepinefrin, dan dopamin tidak seimbang, dan dikompensasi dengan hilangnya sel sel sehingga mengakibatkan penurunan intelektual (Miller, 2009; Stanley, 2006; Wallace, 2007). Konduksi saraf perifer yang melambat mengakibatkan refleks tendon yang lambat dan meningkatkan waktu untuk bereaksi. Peningkatan lipofusin sepanjang neuron-neuron juga terjadi secara normal. Hal ini mengakibatkan vasokontriksi dan vasodilatasi yang tidak sempurna. Lansia juga mengalami penurunan keefektifan termoregulasi oleh hipotalamus sehingga meningkatkan resiko kehilangan panas tubuh (Miller, 2009; Stanley, 2006; Wallace, 2007). b. Perubahan Sensori Perubahan pada fungsi pendengaran terjadi pada setiap bagian telinga. Perubahan pada telinga bagian luar adalah pertumbuhan rambut di telinga, penipisan dan pengeringan kulit telinga, dan peningkatan keratin. Hal ini menyebabkan adanya gangguan pada konduksi suara. Perubahan pada telinga bagian tengah adalah berkurangnya gaya pegas di membran timpani, pengerasan tulang 71
Universitas Indonesia kecil, dan kelemahan tulang serta otot telinga. Hal ini menyebabkan adanya gangguan konduksi udara. Pada telinga bagian dalam adalah berkurangnya neurons, suplai darah, degenerasi spiral ganglia menyebabkan presbikusis. Presbikusis adalah berkurangnya kemampuan untuk mendengar suara dengan frekuensi tinggi dan mendeteksi volume suara (Arenson, 2009; Miller, 2009; Stanley, 2006; Wallace, 2007). Pupil menurun menyebabkan lapang pandang sempit dan mempengaruhi penglihatan perifer. Kornea mata menguning karena akumulasi lemak. Hal ini menyebabkan penglihatan lebih kabur. Lensa tidak bergantung pada suplai darah, tetapi bergantung pada air yang berasal dari metabolisme, generasi layer ini tidak menggantikan layer yang baru, sehingga etika bertambah usia layer menjadi keras, tebal, dan buram. Perubahan ini menyebabkan gangguan pada pengirimian sinar cahaya. Perubahan pada iris yang mengeras menyebabkan mata tidak dapat mengatur respon terhadap cahaya yang redup. Perubahan ini menyebabkan gangguan penglihatan pada lansia dan tidak dapat diperbaiki dengan kacamata (Arenson, 2009; Miller, 2009; Stanley, 2006; Wallace, 2007). Perubahan juga terjadi pada indra peraba dan pengecapan. Kebutuhan lansia akan sentuhan semakin meningkat jika oragan yang lain sudah mulai terganggu. Lansi lebih memilik mendapat sentuhan taktil. Pada lansia, sentuhan harus dilakukan sesering mungkin sehingga indra peraba merek a masih terus terasa. Perubahan pada indra pengecapan lebih dimaknai pada perubahan pdaa menikmati makanan yang dirasakan. Pada lansia, perubahan ini merupakan kehilangan terbesar dalam kehidupan. Jumlah kuncup-kuncup perasa pada lidah mengalami penurunan sensitifitas terhadap rasa (Stanley, 2006) c. Perubahan pada respirasi Perubahan pada organ respirasi bagian atas adalah perubahan turbin nasal mengecil, penurunan sekresi mukus karena perubahan 72
Universitas Indonesia kelenjar submukosa. Karena hal ini, mukus di nasofaring menjadi lebih tebal dan susah dikeluarkan. Efek penuaan juga terdapat pada kartilago yang membantu epiglotis untuk menutup dan mencegah benda asing masuk ke pernapasan bagian bawah menjadi keras. Laring juga mengalami penurunan fungsi sehingga menurunkan gag refleks. Paru-paru menjadi lebih kecil dan lunak, beratnya berkurang mencapai 20% (Miller, 2009). Parenkim paru mengalami perubahan signifikan, dimana ujung bronkiolus, duktus alveolus, alveolus, dan kapiler mengalami penipisan dinding. Hal ini menyebabkan penurunan dinding alveolus selama 4% perdekade, arteri pulmonal menjadi lebih besar, panjang, dan luas. Jumlah kapiler berkurang, dan tekanan kapiler pulmonal menjadi berkurang . pada akhirnya, dinding mukosa tempat difusi menjadi lebih tebal dan sulit melakukan difusi. Hal ini juga berdampak pada elastic recoil. Dalam keadaan ini, jalan napas menjadi menutup sebelum waktunya, sehingga udara terperangkap di dalam jalan napas, sehingga tidak dapat melakukan ekspirasi maksimal. Hal ini menyebabkan kapasitas vital paru dan aliran udara menjadi menurun. Keadaan ini juga berdampak pada pertukaran gas di alveolus. Karena jalan napas menutup lebih cepat, pertukaran gas lebih banyak terjadi di alveolus bagian bawah. Hal ini menyebabkan inspirasi udara terjadi di bagian atas. Sehingga ventilai dan perfusi menjadi tidak sebanding (Miller, 2009; Stanley, 2006; Wallace, 2007). d. Perubahan pada kardiovaskuler Penurunan fungsi akibat penuaan terjadi selama lama dan berangsur angsur. Secara struktur, perubahan terjadi pada ketebalan dinding ventrikel karena adanya peningkatan densitas kolagen dan hilangnya fungsi serat elaastis. Ukuran ruang-ruang jantung tidak mengalami perubahan. Karena itu jantung menjadi kurang mampu berdistensi dan kekuatan kontraktil kurang efektif. Katup aorta dan katup mitral mengalami penebalan dan tonjolan. Kekakuan pada bagian dasar pangkal aorta mengahalangi pembukaan katup secara 73
Universitas Indonesia lengkap sehingga terjadi obstruksi parsial selama sistole.hal ini juga menyebabkan jantung sulit untuk melakukan kontraksi. Kondisi ini mempengaruhi jaringan ikat dan fibrosa sehingga ditemukan sedikit sel pacemaker yang idtemukan. Sistem aorta dan arteri perifer juga mengalami perubahan, yaitu kekakuan dan tidak lurus. Lapisan tunika media mnegalami peningkatan serta elastin dan kolagen sehingga pembuluh darah menjadi membesar sehingga menyebabkan hipertensi. Lapisan tunika intima mengalami penebalan akibat fibrosis, selular proliferasi, dan peningkatan lemak dan kalsium sehingga menyebabkan arteriosklerosis, jika terjadi perubahan atau gangguan pada tunika media maka menyebabkan hipertensi. Kompensasi tubuh dengan melakukan dilatasi pembuluh darah, tetapi hal ini menyebabkan penumpukan darah di vena dan edema, katup katup vena tidak dapat menutup secara sempurna (Arenson, 2009; Miller, 2009; Stanley, 2006; Wallace, 2007). Secara fungsional, perubahan yang utama adalah penurunan kemampuan untuk meningkatkan stroke volume sebagai kompensasi peningkatan kebutuhan tubuh. Curah jantung pada saat istirahat tetap stabil dan sedikit menurun. Curah jantung lama lama menurun. Peningkatan pengisian diastolik diperlukan untuk mempertahankan preload yang adekuat sehingga tekanan diastole menjadi rendah. Jantung lansia mengalami penurunan respon terhadap katekolamin, sehingga tidak dapat meningkatkan denyut jantung. Prinsip mekanisme jantung pada lansia adalah dengan meningkatkan volume sekuncup (hukum starling). Prinsip yang dilakukan oleh pembuluh darah adalah dengan meningkatkan tekanan sistolik secara progresif, sehingga batas normal tinggi pada lansia dalah 160 mmHG. Adanya penebalan katup menyebabkan terdengarnya suara s4 (Arenson, 2009; Miller, 2009; Stanley, 2006; Wallace, 2007).
74
Universitas Indonesia e. Perubahan pada muskuloskeletal Penurunan tinggi badan progresif yang disebabkan oleh penyempitan diskus intervetebra yang menyebabkan postur tubuh bngkuk dengan penampilan barrel-chest. Lansia mengalami peningkatan risiko jatuh karena kekuan rangka tulang dada pada keasaan mengembang. Penurunan produksi tulang kortikal dan trabekular sehingga meningkatkan risiko fraktur. Pada tulang juga mengalami penurunan absorbsi kalsium yang bisa mengakibatkan resiko osteoporosis (Miller, 2009; Wallace, 2007). Penurunan massa otot dengan kehilangan lemak subkutan mempengaruhi kontur tubuh yang tajam serta pengkajian status hidrasi sullit serta penurunan kekuatan otot. Lansia juga mengalami eaktu kontraksi dan relaksasi muskular menjadi lebih panjang. Hal ini menyebabkan perlambatan waktu untuk bereaksi. Ligamen dan sendi juga mengalami kekakuan yang menyebabkan peningkatan risiko cedera (Wallace, 2007). f. Perubahan Sistem Eliminasi Perubahan sistem elimnasi terjadi pada dua fungsi, eliminasi urin dan fekal. Perubahan system eliminasi urin diataranya kapasitas kandung kemih yang lebih kecil, peningkatan volume residu dan kontraksi kandung kemih yang tidak disadari. Atrofi otot-otot akibat penuaan secara umum memengaruhi otot-ototo kandung kemih, sehingga tidak sekuat pada saat usia muda. Perubahan sistem elimnasi fekal terjadi pada gerakan peristaltik menurun seiring dengan peningkatan usia dan melambatnya pengosongan esophagus yang melambat dapat menimbulkan rasa tidak nyaman di bagian epigaster abdomen. Materi pengabsorpsian pada mukosa usus berubah, menyebabkan protein, vitamin, dan mineral berkurang. Lansia juga kehilangan tonus otot pada otot dasar perineum dan sfingter anus. Walaupun integritas sfingter eksterna tetap utuh, lansia mungkin mengalami kesulitan dalam mengontrol pengeluaran feses. Beberapa lansia kurang menyadari kebutuhannya 75
Universitas Indonesia untuk berdefekasi akibat melambatnya impuls saraf sehingga mereka cenderung mengalami konstipasi g. Perubahan Sistem Integumen pada Lansia Tabel 2.22 Perubahan sistem integument lansia Penyebab Perubahan Perubahan yang Terjasi pelembab di stratum korneum berkurang penampilan kulit lebih kasar Jumlah sel basal menjadi lebih sedikit , perlambatan dalam proses perbaikan sel, dan penurunan jumlah kedalaman rete ridge pengurangan kontak antara epidermis dan dermis sehingga mudah terjadi infeksi Penurunan jumlah melanosit. perlindungan terhadap sinar ultraviolet berkurang dan terjadinya pigmentasi yang tidak merata pada kulit Kerusakan struktur nukleus keratinosit. perubahan kecepatan poliferasi sel yang menyebabkan pertumbuhan yang abnormal seperti keratosis seboroik dan lesi kulit papilomatosa Volume dermal mengalami penurunan yang menyebabkan penipisan dermal dan jumlah sel berkurang Rentan terhadap penurunan termoregulasi, penutupan dan penyembuhan luka lambat, penurunan respon inflamasi, dan penurunan absorbsi kulit terhadap zat-zat topikal. Penghancuran serabut elastis dan jaringan kolagen oleh enzim-enzim perubahan dalam penglihatan karena adanya kantung dan pengeriputan disekitar mata, turgor kulit menghilang jaringan subkutan mengalami penipisan. kulit yang kendur/ menggantung di atas tulang rangka. 76
Universitas Indonesia penurunan lemak tubuh gangguan fungsi perlindungan dari kulit Pertumbuhan kuku melambat
kuku menjadi lunak, rapuh, kurang berkilsu, dan cepet mengalami kerusakan
h. Perubahan Mobilisasi Mobilisasi adalah kebutuhan manusia yang harus dipenuhi agar kebutuhan dasar lain dapat tercapai dengan maksimal. Penyebab gangguan mobiltas pada lansia tidak terjadi tiba-tiba, tetapi secara perlahan dan tanpa disadari. Penyebab imoblitas diataranya penurunan fungsi musculoskeletal, perubahan fungsi neurologis, jatuh dan nyeri. Antara usia 20-60 tahun, kekuatan otot menurun hingga 30%, pada usia 80 tahun, 50% kekeuatan otot menghilang. Gangguan mobilitas yang biasa terjadi pada lansia adalah berkurangnya kekuatan otot, keterbatasan rentang gerak persendian, menurunnya sistem pendukung lain yang menambah resiko jatuh dan, fraktur pada lansia, seperti penurunan penglihatan dan sistem syaraf (Miller, 2004). Selain perubahan-perubahan tersebut, terdapat beberapa gangguan mobilisasi yang sering terjadi pada lansia yaitu osteoporosis, jatuh dan fraktur, serta arthritis. Mobilisasi adalah kebutuhan manusia yang harus dipenuhi agar Lansia sangat rentan terhadap gangguan pergerakan diataranya imobilitas, intoleransi aktivitas dan sindrom disuse. i. Perubahan Istirahat Orang lanjut usia juga akan mengalami perubahan pola tidur. Banyak lansia yang mengeluhkan gangguan pola tidur. Kebutuhan tidur lansia adalah sekitar 6 jam setiap malam. Para lansia mengalami penurunan fungsi neurontransmiter yang ditandai dengan menurunnya distribusi norepinefrin. Hal itu menyebabkan perubahan irama sirkadian, dimana terjadi perubahan tidur lansia pada fase NREM 3 dan 4. Sehingga lansia hampir tidak memiliki fase 4 atau tidur dalam (Stanley, 2006). 77
Universitas Indonesia j. Perubahan Termoregulasi Pada Lansia, pengaturan fisiologis tubuh manusia yang sudah mengalami penurunan usia untuk keseimbangan produksi panas dan kehilangan panas sehingga tubuh dapat dipertahankan dengan stabil. Pada seorang lansia, umumnya memliki suhu kurang dari 35 derajat celcius, sedangkan suhu normal pada lansia seharusnya 36,5 37,2 derajat celcius. Rendahnya suhu pada lansia dapat dikatakan dengan hipotermia. Bahaya hipotermia pada lansia dapat menyebabkan meningkatnya risiko terkena berbagai penyakit dan kematian, khususnya pada lansia yang berumur 75 tahun ke atas. Pengaturan suhu tubuh Hipotalamus dalam otak berfungsi untuk mengatur suhu tertentu dari tubuh. Untuk mengatasi pada saat suhu tubuh rendah, ada suatu mekanisme yaitu berupa tegaknya rambut rambut pada kulit, mengecilnya pembuluh darah pada kulit, dan menggigil sebagai kompensasi agar suhu tidak menjadi semakin rendah. Sedangkan pada suhu tubuh yang tinggi, pembuluh darah kulit akan melebar dan berkeringat sehingga tubuh dapat mengeluarkan sebagian panas. Penyebab gangguan pengaturan suhu Pada umumnya lansia mengalami gangguan pengaturan suhu tubuh, hal ini dikarenakan pengaturan suhu dari hipotalamus yang menurun akibat proses menua. Proses menua inilah yang mengakibatkan lansia kurang mampu untuk beradaptasi terhadap perubahan suhu lingkunganya. Secara umum, beberapa faktor yang dapat menyebabkan hipotermia pada lansia adalah gangguan hipotalamus yang menua, obat-obatan, dan penyakit yang menyebabkan berkurangnya pembentukan panas atau meningkatnya pembuangan panas. Beberapa penyakit dan obat-obatan dapat mengganggu mekanisme pengaturan suhu tubuh pada lansia, contohnya adalah pada lansia yang menderita hipoglikemia, parkinson, kelumpuhan, 78
Universitas Indonesia dan demensia dapat menyebabkan berkurangnya aktivitas fisik lansia sehingga pembentukan panas pun berkurang dan risiko k. Sistem Gastrointestinal Dalam memahami perubahan sistem gastrointestinal pada lansia, beberapa hal yang harus diketahui adalah rongga mulut, esofagus, lambung, usus, saluran empedu, hati, dan pankreas. Rongga Mulut Lansia sering mengalami gigi yang tanggal sebagai akibat dari hilangnya tulang penyokong pada permukaan periosteal dan peridontal. Hilangnya sokongan tulang ini juga mengakibatkan kesulitan penyediaan sokongan gigi yang adekuat dan stabil. Penyusutan fibrosis pada akar halus bersama- sama dengan retraksi gusi yang mengakibatkan penanggalan gigi pada penyakit periodontal. Mukosa mulut tampak merah dan berkilat pada lansia karena adanya atrofi. Bibir dan gusi tampak tipis karena epitelium telah menyusut dan menjadi lebih mengandung keratin. Vaskularitas mukosa mulut menurun dan gusi yang tampak pucat adalah akibat dari menurunnya suplai darah. Esofagus, lambung, dan usus Motilitas esofagus pada usia lansia masih dapat dikatakan normal walaupun esofagus sedikit berdilatasi seiring penuaan. Sfingter esofagus bagian bawah kehilangan tonus, sehingga refleks muntah pada lansia akan berkurang. Kombinasi dari faktor ini dapat meningkatkan terjadinya risiko aspirasi pada lansia. Terjadinya atrofi mukosa lambung dan penurunan motilitas lambung mengakibatkan kesulitan dalam mencerna makanan di mana atrofi ini disebabkan oleh penurunan sekresi asam hidroklorik, dengan pengurangan absorpsi zat besi, kalsium, dan vitamin B 12 .
79
Universitas Indonesia Saluran Empedu, Hati, dan Pankreas Pada saat Lansia memasuki usis 70 tahun, ukuran hati dan pankreas akan mengecil, terjadi penurunan kapasitas menyimpan dan kemampuan menyintesis protein dan enzim enzim pencernaan. Sekresi insulin normal dengan kadar gula darah yang tinggi (250 300 mg/dL), tetapi respons insulin akan menurun seriring dengan peningkatan kadar gula darah secara moderat. Proses penuaan telah mengubah proporsi lemak empedu tanpa perubahan metabolisme asam empedu yang signifikan. Faktor ini memengaruhi peningkatan sekresi kolesterol. l. Sistem Reproduksi Lansia mengalami perubahan dalam produksi hormon seks yang merupakan tanda fisiologis utama dari menopause. Berkurangnya jumlah estrogen yang bersikulasi dan peningkatan jumlah androgen pada wanita pascamenopause umunya dihubungkan dengan atrofi saluran genital dan payudara, pengurangan massa tulang, dan peningkatan kecepatan aterosklerosis. Perubahan pada Saluran Genital Vulva yang terdiri dari labia mayora, minora, klitrois, dan vestibula vagina mengalami atrofi dan labia cenderung menyatu dengan kulit di sekitarnya. Kehilangan rambut dan lemak subkutan menampakkan permukaan kulit yang tipis dan kendur. Vagina mengalami beberapa perubahan yang secara langsung berhubungan dengan pengurangan estrogen. Epitel vagina menjadi tipis dan kehilangan vaskularisasi dan elastisitas, sehingga tampak pucat dan kering. Sekresi vagina yang berkurang mengakibatkan penurunan lubrikasi. Serviks mengecil dan mengalami retraksi, sering menjadi satu dengan dinding vagina. Uterus juga mengalami penurunan ukuran dan menjadi lebih kecil daripada tahun reproduktif. Ovarium 80
Universitas Indonesia mengalami atrofi dan menjadi tidak teraba pada saat pemeriksaan. Perubahan pada Payudara Menopause menyebabkan jaringan payudara yang selama reproduktif terdiri dari jaringan ikat fibrosa dan jaringan kelenjar mamae mengalami atrofi dan digantikan oleh lemak. Ketika jaringan adiposa timbul berlebihan pada payudara yang mengalami penuaan, benjolan lemak mungkin akan teraba pada saat dipalpasi dengan komplikasi diagnosis diferensial berupa kanker payudara. Puting susu juga mengalami atrofi dan kehilangan kemampuan arektilnya. Oleh karena itu, atrofi pada jaringan payudara dan penurunan elastisitas legamen penyangga dapat menyebabkan payudara berubah ukuran dan bentuknya. Sedangkan pada lansia yang berjenis kelamin pria, perubahan yang terjadi tidak begitu signifikan, hanya saja testis masih dapat memproduksi meskipun adanya penurunan secara berangsur berangsur. Sexualitas pada lansia sebenarnya tergantung dari caranya, yaitu dengan cara yang lain dari sebelumnya, membuat pihak lain mengetahui bahwa ia sangat berarti untuk dirinya. Juga sebagai seseorang yang lebih tua tanpa harus berhubungan badan, masih banyak cara lain unutk dapat bermesraan dengan pasangan sesama lansia. Pernyataan pernyataan lain yang menyatakan rasa tertarik dan cinta akan lebih banyak mengambil alih fungsi hubungan sexualitas dalam pengalaman seks.
2.19 Teori Spiritual Menua Spiritual adalah keyakinan dalam hubungannya dengan Yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta (Hamid, 2000). Spiritual juga disebut sebagai sesuatu yang dirasakan tentang diri sendiri dan hubungan dengan orang lain, yang dapat diwujudkan dengan sikap mengasihi orang lain, 81
Universitas Indonesia baik dan ramah terhadap orang lain, menghormati setiap orang untuk membuat perasaan senang seseorang. Menurut Mickley et al (1992) menguraikan spiritual sebagai suatu yang multidimensi yaitu dimensi eksitensial dan dimensi agama. Dimensi eksistensial berfokus pada tujuan dan arti kehidupan, sedangkan dimensi agama lebih berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Spiritual sebagai konsep dua dimensi, dimensi vertikal sebagai hubungan dengan Tuhan atau Yang Maha Tinggi yang menuntun kehidupan seseorang, sedangkan dimensi horizontal adalah hubungan dengan diri sendiri, dengan orang. Menurut Hamid, 2000 seseorang dinyatakan terpebuhi kebutuhan spiritualnya apabila mampu: 1) Merumuskan arti personal yang positif tentang tujuan keberadaannya di dunia/kehidupan. 2) Mengembangkan arti penderitaan dan meyakini hikmah dari suatu kejadian atau penderitaan. 3) Menjalin hubungan positif dan dinamis melalui keyakinan, rasa percaya dan cinta. 4) Membina integritas personal dan merasa diri berharga. 5) Merasakan kehidupan yang terarah terlihat melalui harapan. 6) Mengembangkan hubungan antar manusia yang positif.
82
Universitas Indonesia BAB 3 PENUTUP
3.1. Kesimpulan Suatu wilayah dikatakan berstruktur tua apabila usia 65 tahun keatas diatas 10 persen dari total penduduk. Sebaliknya dikatakan penduduk muda jika usia dibawah 15 tahun mencapai sebesar 40 persen atau lebih dari jumlah penduduk (Statistics Indonesia, 2013). Menurut data badan statistik Indonesia tahun 2010, jumlah lansia di Indonesia mencapai 7,58 persen dari keseluruhan penduduk. Untuk itu perkembangan Ilmu gerontologi dan geriarti saat ini sangat dibutuhkan karena Indonesia di masa yang akan datang diproyeksikan menjadi negara dengan penduduk berstruktur tua. Pengertian gerontologi menurut miller adalah pembelajaran mengenai penuaan dan lansia, sedangkan geriatri merupakan cabang ilmu dari gerontologi dan kedokteran yang mempelajari kesehatan pada lansia dalam berbagai aspek, yaitu promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Pada prinsipnya geriatri mengusahakan masa tua yang bahagia dan berguna (Depkes RI, 2000). Bentuk pelayanan keperawatan yang profesional dengan menggunakan ilmu ini dalam keperawatan gerontik mencakup biopsikososial dan spiritual lansia sehat maupun sakit tujuannya adalah memenuhi kenyamanan lansia, mempertahankan fungsi tubuh melalui ilmu dan teknik keperawatan gerontik. Peran perawat gerontik dalam hal ini disesuaikan dengan tahap perkembangan lansia, dalam artian di sesuaikan dengan kebutuhan lansia tersebut. Secara umum, peran perawat gerontik terdiri dari healers, visionary, clinician, pendidik, advokat, ahli anggaran dan spesialis hal yang berkenaan dengan peraturan. Dalam melaksanakan keperawatan gerontik ini, perawat mengikutsertakan keluarga, agar memahami perkembangan lansia dan tercipta hubungan yang harmonis di dalam keluarga tersebut. Setiap manusia akan melewati proses perkembangan, begitu pula dengan lansia. Terdapat teori teori menua dan perubahan bio-psiko-sosial dan spiritual pada proses menua, diantaranya adalah teori biologis, teori 82 83
Universitas Indonesia psikologis, dan teori psikososial. Ketika telah mencapai usia lanjut, terdapat karakteristik dari lansia seperti keterbatasan fungsional tubuh (melihat,mendengar, mengingat, dan lain lain), ketenagakerjaan, tingkat pendidikan lansia, kehidupan sosial dan ekonomi, yang mana ini dijadikan komponen penunjang data demografi lansia di Indonesia. 3.2 Saran Perawat gerontik harus mengerti bagaimana tahap perkembangan dan tugas perkembangan dari lansia. Pemahaman akan tahap perkembangan lansia akan membantu perawat dalam memberikan asuhan keperawatan gerontik yang sesuai dengan kebutuhan klien. Dalam melaksanakan keperawatan gerontik ini, tidak lepas juga dari campur tangan keluarga. Perawat juga harus tetap melibatkan keluarga sesuai dengan peran anggota keluarga tersebut, demi terciptanya keharmonisan hubungan antara keluarga, lansia, dan perawat itu sendiri.
84
Universitas Indonesia DAFTAR REFERENSI
Acute Care Therapy.http://tulanehealthcare.comour- services/rehabilitation/servicedetail.dot? id=e5481613-42a1-47af-9857- 265599611a7c. United States : Tulane Medical Center diakses pada 20 Februari 2014 Adult-Gerontology Acute Care NP FAQs. http://www.miami.edu/sonhs/index.php/sonhs /academics/master_programs/adultgerontology_acute_care_nurse_practition er_program/adult-gerontology_acute_care_nurse_practitioner_faqs/. Miami : School of Nursing & Health Studies University of Miami diakses pada 16 Februari 2014 Allender, J.A. Warner, K. D., & Rector, C. (2014). Community and public health nursing: promoting the public's health. (8 th ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Ali, Zaidin. (2006). Pengantar keperawatan keluarga. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Annette, G. L. (2000). Gerontological nursing. St. Louis: Mosby. Badan Pusat Statistik Indonesia. 2013. Demografi. http://www.datastatistikindonesia.com/portal/index.php?option=com_tabel &task=&Itemid=165, diakses 15 februari pukul 20.05 Badan Pusat Statistik RI. (2010). Statistik Penduduk Lanjut Usia Indonesia 2010. http://www.bps.go.id/hasil_publikasi/stat_lansia_2010/ diakses 15 februari 2013 pukul. 20.50. Bailon, Salvacion G. 1978. Family Health Nursing. University of The Philipines : Diliman. Bonder, Bette R. & Bello-Haas, Vanina D. (2009). Functional performance in older adults. (3 rd ed.). Philadelphia: F. A. Davis Company. Chilton, S., et al. (Eds.). (2004). Nursing in the community: An essential guide to practice. London: Arnold. 84 85
Universitas Indonesia Cox, H.C., et al. (2002). Clinical application of nursing diagnosis: Adult, child, womens, psychiatric, gerontic & home health considerations. (4 th ed.). Philadelphia: F.A. Davis Company. Craven, R. F., Hirnle, C. J. (2007). Fundamental of nursing: human health and function. 5 th ed. Philadelphia: Lippincott, Williams & Willkins. Departemen Kesehatan RI. (2001). Pedoman pembinaan usia lanjut usia bagi petugas kesehatan. Jakata: Direktorat Bina Kesehatan Keluarga. Departemen Kesehatan RI. (2002). Pedoman perawatan kesehatan di rumah. Direktorat Keperawatan, Ditjend. Yanmed: Jakarta Ebersole, P. Hess, et al. (2005). Gerontological nursing & health aging. (2 nd ed.). St. Louis Missouri: Mosby Inc. Efendi, F. & Makhfudli. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktek dalam keperawatan. Penerbit: salemba Medika. Egusti, C. S., Guire, L., Stone, C. S. (2002). Comprehensive community health nursing family, aggregate, & community practice. St. Louis : Mosby. For Sub Acute Settings. http://www.health.vic.gov.au/qualitycouncil/fallsprevention/module 3/301.htm. Australia : Victorian Government Health Information , Department of Health diakses pada 20 Februari 2014 Friedman. 1998. Keperawatan keluarga. Jakarta : penerbit buku kedokteran EGC. Fortinash, K M & Holoday-Worret P A. 1999. Psychiatric nursing care plans 3 th
edition. California: Mosby. Guttmacher, S., & Kelly, P. J., & Janecko, Y. R. (2010). Communnity-based health interventions: principles & applications. San Francisco: John Wiley & Sons. Harimurti, K. (2010). Perawatan usia lanjut di rumah (home care). Available at: http://www.komnaslansia.go.id/modules.php?name=News&file=article&si d=57&mode=thread&order=0&thold=0 Hunt, Roberta. (2009). Introduction to community-based nursing. (4 th ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Juniarti, Neti, & Kurnianingsih, Sari. (2006). Buku ajar keperawatan gerontik edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 86
Universitas Indonesia Kinasih, K.D & Wahyuningsih,A. (2002). Peran Pendampingan Spiritual Terhadap Motivasi Kesembuhan pada Pasien Lanjut Usia.Jurnal Stikes Volume 5 No. 1 Juli. Komisi Nasional Lanjut Usia. (2009). Profil Penduduk Lanjut Usia 2009. (http://www.komnaslansia.go.id/d0wnloads/profil/Profil_Penduduk_Lanjut_ Usia_2009.pdf) Diakses pada tanggal 15 febuari 2014 pukul 20.03 Komisi Nasional Lanjut Usia. (2010). Pedoman pelaksanaan posyandu lanjut usia. Kozier, et al. (2010). Buku ajar fundamental keperawatan: Konsep, proses, dan praktik. (7 th ed.). (Vols. 2). Jakarta: EGC. Lubis, M. (2011). Lansia. Diambil dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26951/4/Chapter%20II.pdf diakses pada hari kamis, 20 Februari 2014 pukul 11.00 WIB. Lueckenotte, A.G. (1996). Gerontologic nursing. 2 nd ed. St. Louis, Missouri: Mosby, Inc. Maryam, R. S., et al. (2008). Mengenal usia lanjut & perawatannya. Jakarta: Salemba Medika. Mauk L, Kristen. (2006). Gerontological nursing competencies for care. Sudbury: Jones and Bartlett Publishers. Maryam, Siti. (2008). Mengenal usia lanjut dan perawatannya. Jakarta: Penerbit Salemba Medika Miller, C.A. (2012). Nursing for wellness in older adults. 6 th Edition. Philadelphia: Wolters Kluwer, Lipincott William & Wilkins. Nugroho, Wahjudi. (2006). Komunikasi dalam keperawatan gerontik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran: EGC. Perriscone, Nicholas. (2002). The Perricone Precription. New York: Harper Collins Publishers. Potter, P.A., dan Perry A.G. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan: konsep, proses, dan praktik. (4 th ed.). (Vols. 1). Jakarta: EGC. Rice, R. (2006). Home care nursing practice: concepts and applications. (4 th ed.). St. Louis: Elsevier Mosby. 87
Universitas Indonesia Rosdahl, C. B. & Kowalski M. T. (2008). Textbook of basic nursing. 9th Edition. USA: Lippicontt Williams & Wilkins. Roach, S. (2006). Introductory gerontological nursing. Philadelphia: Lippincot. Santoso, Hanna dan Ismail, Andar. (2009). Memahami Krisis Lanjut Usia. Jakarta: Gunung Mulia. Suprajitno. (2004). Asuhan keperawatan keluarga: Aplikasi dalam praktik. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Stanley, Mickey, and Patricia. (2006). Buku ajar keperawatan gerontik. (2 nd ed.). Jakarta: EGC. Stanhope, Marcia & Lancaster, Jeanette. (2014). Foundation of nursing in the community: Community-oriented practice. (4 th ed.). St. Louis, Missouri: Elsevier. Stuart, G.W., dan Laraia, M..T., (2005). Principles and practice of psychiatric nursing, 8 th ed. St. Louis, Missouri: Mosby, Inc Stuart, Gail W.(2009). Principles and practice of psychiatric nursing. Mosby Elsevier Sub-Acute Care Rehabilitation Program. http://www.med.umich.edu/geriatrics/patient/ subacute.htm. Michigan: University of Michigan Health System diakses pada 20 Februari 2014 Suhartin, Prastiwi. (2010). Penelitian Tugas Akhir: Teori Penuaan, Perubahan Pada Sistem Tubuh Dan Implikasinya Pada Lansia. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Dipenogoro. Tamher, S. & Noorkasiani. (2009). Kesehatan usia lanjut dengan pendekatan asuhan keperawatan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika Townsend, Mary C.(2009). Psychiatricmental health nursing: conceps of care in evidence-based practice. 6nd ed. Philadelphia: F.A davis Company Tyson, R.T. (1999). Gerontologial nursing care. W.B Saunders Company: USA. Wallace, M. (2008). Essentials of gerontological nursing. New York: Springer Publishing Company, LLC.