Anda di halaman 1dari 4

MENAPO: TAMAN KEBIJAKSANAAN

Atau Tempat Berlindung Rusa Semasa Banjir Sungai Batanghari



MUARA JAMBI SUMATERA INDONESIA
Pertalian antara penggalian arkeologis dan naskah-naskah berbahasa Cina dan Tibet tampak
menunjukkan bahwa situs besar Muara Jambi, yang membentang lebih dari 2.600 are di
sepanjang Batanghari, sungai terpanjang di Sumatera, telah menjadi pusat ajaran Buddha
terbesar di Asia Tenggara. Situs tersebut merupakan pertemuan pengetahuan dimana orang
India dan Cina datang untuk belajar atau berdagang dengan berlayar melalui jalur laut agama
Buddha ini, istilah yang tidak setenar jalur sutera benua jalur yang bisa juga disebut jalur
emas karena para pedagang dari seluruh Asia datang ke mari untuk mencari logam mulia ini.
Demikianlah nama Svarnadvipa, yang dalam bahasa Sanskerta berarti pulau emas, digunakan
untuk menyebut pulau yang sekarang bernama Sumatera ini.
84 candi batu batanya, baru delapan yang sedang dipugar, mungkin pernah menjadi "fakultas-
fakultas" yang disaling-hubungkan dengan suatu jaringan kanal yang besar. Ketika menyusuri
jalan semak-belukar dimana puing keramik Cina dari abad ke-7 dan ke-9 bertebaran, orang mulai
membayangkan universitas "alam" pertama di persimpangan antara India dan Cina yang
mencakup hutan sebagai kebun, perpustakaan, apotek hidup, dan suaka semedi di dalam
kampusnya. Situs arkeologis ini telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia sebagai cagar
budaya dan masuk dalam daftar calon sementara untuk situs Warisan Dunia UNESCO.
Kini, tepat di tengah Muara Jambi, di sepanjang sungai Batanghari, berdiri sebuah desa
panggung yang dihuni oleh penduduk Muslim. Beberapa anak muda desa kadang-kadang bekerja
di daerah penggalian bersama para pakar arkeologi. Mereka tahu cara bicara dengan tiap batu,
tiap gundukan tanah merah, tiap pohon di hutan tempat orangtua mereka masih memiliki gubuk-
gubuk kecil untuk mengawasi durian jatuh pada malam hari. Bagi orang-orang muda ini,

pengetahuan kuno masih hidup di antara reruntuhan candi. Mereka secara mendalam dan alami
menyatu dan terilhami oleh situs tersebut, sehingga mereka mengumpulkan dan membaca
banyak buku sejarah. Mereka telah mendirikan sebuah pusat masyarakat dan sebuah sekolah
alam, Saramuja, untuk dengan cara mereka sendiri menggali sejarah kuno dari situs yang
terlupakan ini dan meneruskan budaya setempat serta rasa hormat terhadap lingkungan kepada
anak-anak desa. Dalam beberapa bulan belakangan, mereka telah melembagakan diri ke dalam
sebuah pusat masyarakat yang lebih besar, yayasan Padmasana (yang menandakan alas
berbentuk teratai tempat beberapa patung Buddha berdiri) dengan 60 penduduk desa dewasa
sebagai anggotanya, untuk menjalankan penelitian yang lebih profesional dan menyebarkan
hasilnya lebih luas lagi. Di antara karya-karya mereka yang patut dicatat adalah:
perawatan dan penanaman pohon dan tanaman dari spesies terancam punah,
mengumpulkan lebih dari 6.000 mata uang logam Cina kuno yang berasal dari abad
pertama SM dari dasar sungai Batanghari dan mengelompokkannya sesuai dengan
wangsanya masing-masing,
pelestarian mantra-mantra dalam bahasa Melayu kuno, Jawa, dan Sanskerta yang terpahat
di lempengan-lempengan logam dan kerjasama informal dengan Arlo Griffiths, direktur
Sekolah Perancis Timur Jauh (EFOE) Jakarta, untuk mengalih-aksarakan dan membuat
lempengan-lempengan tersebut "bicara" lagi,
mengumpulkan cerita-cerita, seloka (sebuah bentuk puisi tradisional 4 bait tentang
kebijaksanaan setempat) dan pengetahuan yang dituturkan oleh nenek moyang mereka:
legenda-legenda setempat, tanaman-tanaman obat...
menghidupkan kembali tarian, musik, dan kerajinan tangan setempat,
sedang dalam pengerjaan: sebuah buku tentang masa lalu dan masa kini Muara Jambi
dalam 4 bahasa (Indonesia, Cina, Inggris, dan Perancis) dengan gambar-gambar ilustrasi
yang dikerjakan oleh anak-anak Desa Muara Jambi, dan
sebuah kamus "Muara Jambi-Indonesia", yang juga masih dalam tahap pengerjaan, yang
mencakup sekitar dua ratus kata yang berbunyi begitu indah sampai-sampai orang merasa
sedang mendengar onomatope, padahal kata-kata tersebut mengungkapkan keadaan dan
perasaan rumit serta tindakan-tindakan halus.
"Semua saluran air yang dulu memungkinkan para siswa dan guru besar berpindah dari tepi
universitas yang satu ke tepi yang lain sekarang disebut kanal oleh para pakar arkeologi," jelas
para anggota yayasan Padmasana. "Tapi kanal adalah kata dari bahasa Belanda, dan bukan
Belanda yang membangun saluran-saluran ini. Usianya lebih dari seribu tahun. Kami di desa
menyebutnya buluran. Dan untuk saluran air yang baru dibangun, kami punya kata lain, sakean."
Bahasa desa Muara Jambi telah memapankan dirinya di dunia arkeologi internasional dengan
sebuah kata yang tumbuh di tanahnya sendiri: menapo. Inilah cara para penduduk desa menyebut
petak percandian misterius yang dikelilingi oleh dinding dan saluran air itu, yang banyak di

antaranya masih berupa tumpukan puing dan gundukan tanah di tengah kebun dan tanaman
cokelat mereka. Para pakar arkeologi belum lagi berhasil mengurai misteri "candi-candi" ini,
sehingga mereka mengambil istilah setempat menapo untuk menamainya. napo dalam bahasa
Muara Jambi adalah 'rusa', dan me adalah 'tempat'. Semasa banjir tahunan sungai Batanghari
yang merendam desa dengan air setinggi lebih dari satu meter, menapo merupakan tempat tinggi
yang digunakan binatang-binatang hutan untuk berlindung, seperti bahtera Nuh.
Untuk melanjutkan penelitian mereka mengenai sejarah situs tersebut dan menjadikannya sebuah
tempat pelatihan, pertemuan, dan pertukaran pengetahuan masa silam dan masa kini, dengan
para pengunjung dari kota dan desa, lokal dan internasional, tua dan muda, Saramuja dan
yayasan Padmasana berencana membangun sebuah "Taman Kebijaksanaan" tepat di tengah-
tengah situs, di atas petak tanah berukuran 800 meter persegi yang baru-baru mereka dapatkan.
Di dalam replika kecil dari apa yang dulu pernah menjadi "universitas alam" kuno ini akan
ditambahkan pula dua pondok untuk menampung para peneliti, para akademikus, dan para
pengunjung yang punya renjana dari seluruh dunia. Taman kebijaksanaa yang bernama "Pondok
Menapo" ini akan dibangun sepenuhnya dari kayu berpanggung oleh para penduduk desa sendiri,
menurut adat arsitektur setempat.
Pondok Menapo atau Taman Kebijaksanaan Padmasana akan jadi tempat
penyelenggaraan kegiatan-kegiatan beberapa kelompok:
- SARAMUJA (Sekolah Alam Muara Jambi) program pendidikan lingkungan untuk anak
dan remaja Muara Jambi dan juga untuk sekolah formal, berupa pesantren, bagi desa-desa
sekitar, kota Jambi, dan para pengunjung muda dari Indonesia dan seluruh dunia.
- DWARAPALA (nama penjaga gerbang setempat, lihat di bawah) program pelatihan
bagi para penduduk desa dewasa, wanita dan pria, tentang ekonomi mikro, kesehatan,
lingkungan, penelitian-penelitian kesejarahan dalam kerjasama dengan para akademikus
nasional dan internasional, dialog-dialog antariman dan lintas-budaya.
- MFI (pusat multimedia) pembuatan film, situsweb, dan foto tentang Muara Jambi.
- USAHA MANDIRI (usaha mikro berkelanjutan) pariwisata, rumah makan,
cinderamata, hasil-hasil hutan hujan (madu, cokelat/lihat proyeknya di bawah...), dan
pembuatan film, situsweb yang ditugaskan oleh sektor swasta atau umum.

Usaha-usaha mikro dapat membantu menyokong sebagian dari biaya-biaya operasional Pondok
Menapo .
Agar ekonomi desa berkembang sejalan dengan budayanya, sebuah proyek untuk pembuatan
cokelat sedang dikaji. Sejak tahun 2005, para penduduk desa telah menanam 10.000 pohon
cokelat; masing-masing keluarga membudidayakan ratusan pohon di kebun mereka. Biji-biji
cokelat dijual ke seorang penadah di kota Jambi seharga 20.000 rupiah per kilogramnya.
Bertempat di sungai Batanghari, kebun-kebun luar biasa ini memetik manfaat dari banjir tahunan

yang menyuburkan tanahnya. Tidak seperti pembuat anggur yang selalu menanam pohon anggur
dan membuat minuman anggurnya sendiri, para petani cokelat tidak membuat cokelat mereka
sendiri. Sekalipun para pembuat cokelat di Barat mencap produk-produk mereka sebagai
"kualitas terbaik", cokelat tetap menjadi "tanaman kolonial" yang dibudidayakan oleh buruh
murah. Proyek ini akan memproduksi "kualitas terbaik" asli Muara Jambi: cokelat yang ditanam,
dibudidayakan, dan dibuat di tempat aslinya oleh para penduduk desa Muara Jambi sendiri dalam
sebuah koperasi. Kegiatan ini akan menyediakan nilai tambah yang pantas bagi pertanian dan
akan menjadi contoh khas dunia untuk cokelat yang dibuat oleh sebuah masyarakat tani di atas
sebuah situs warisan dunia. Tahap pertama dari proyek ini adalah memetik manfaat dari
kepakaran para ahli agronomi, para pakar cokelat, sehingga mereka dapat menelaah biji-biji yang
ada, tanah kebun, dan melatih para penduduk desa untuk meningkatkan mutu pohon-pohon
cokelat. Langkah kedua, para pakar akan melatih penduduk desa mengenai berbagai tingkat
pembuatan cokelat yang dibutuhkan.
Para penduduk desa Muara Jambi adalah penjaga situs dan penjelajah masa lampaunya sendiri.
Legenda, kebijaksanaan setempat, dan "mata hati" adalah alat-alat penggalian mereka. Lambang
mereka adalah Dwarapala, penjaga gerbang candi Hindu atau Buddha yang biasanya ditampilkan
lewat penampakan yang seram. Tapi patung Dwarapala yang ditemukan di candi Muara Jambi,
bila dilengkapi dengan tameng kecil dan gada yang patah, menunjukkan raut wajah tersenyum
dan mengenakan bunga sekuntum di telinganya.


Elisabeth D. Inandiak

Anda mungkin juga menyukai