Anda di halaman 1dari 6

AKTIVITAS ANTIFUNGI EKSTRAK BUAH SELEDRI

ANTIFUNGAL ACTIVITY OF CELERY FRUITS EXTRACT



Indah Purwantini, Djoko Santosa, Heru Agus Cahyanto
Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta


ABSTRAK
Tanaman seledri (Apium graveolens L.) secara empiris telah digunakan untuk pencegahan atau
pengobatan fluor albus yang disebabkan oleh fungi Candida albicans. Untuk mendukung penggunaannya
di masyarakat luas maka perlu dilakukan penelitian sebagai dasar ilmiah.
Buah seledri yang telah diambil minyak atsirinya diekstraksi secara bertingkat menggunakan
petroleum eter dan metanol dengan menggunakan Soxhlet. Ekstrak yang diperoleh kemudian diuji aktivitas
antifunginya terhadap C. albicans menggunakan metode difusi agar dan dilusi cair. Untuk mengetahui
senyawa aktif antifungi digunakan metode bioautografi.
Hasil menunjukkan bahwa ekstrak petroleum eter lebih aktif dalam menghambat pertumbuhan C.
albicans dibandingkan ekstrak metanol dengan rata-rata diameter hambatan masing-masing 25 mm dan 12
mm. Dengan metode dilusi cair diketahui harga KBM ekstrak petroleum eter sebesar 5 mg %. Hasil
bioautografi menunjukkan bahwa terdapat 2 senyawa aktif dalam ekstrak petroleum eter, yaitu senyawa
dengan hRf 44 dan 78 yang merupakan senyawa terpenoid dan komponen minyak atsiri.

Kata kunci: seledri, antifungi, C. albicans


ABSTRACT
Celery (Apium graveolens L.) have been used empirically to prevent or cure fluor albus which
caused by fungi C. albicans. This research had been conducted to give a scientific background to develop
this plant as a source of traditional medicine
Celery fruit was distilled to obtain its essential oil then the fruit was extracted with wash benzene
and continued with methanol by using Soxhlet. These extracts were tested for antifungal activity against C.
albicans using agar diffusion and broth dilution method. Bioautography method was used to identify the
active compound.
Result showed that wash benzene extract was more active against C. albicans than methanol
extract with zone of inhibition 25 mm and 12 mm respectively. MBC value of wash benzene extract was 5
mg %. Bioautography showed that there were 2 active spots with hRf values of 44 and 78. Those
compounds were terpenoid and one of the essential oil component.

Key words: celery, antifungal, C. albicans












PENDAHULUAN
Fluor albus merupakan gejala yang
timbul akibat vaginitis. Penyakit ini terutama
disebabkan oleh fungi C. albicans (Krieger
dan Alderete, 1999). Beberapa obat modern
yang biasa digunakan untuk terapi penyakit ini
adalah obat-obat antifungi golongan azol,
diantaranya ketokonazol, flukonazol dan
mikonazol (Siswandono dan Sukardjo, 1995).
Walaupun telah banyak obat-obat modern
yang beredar, banyak masyarakat yang masih
menggunakan obat tradisional untuk terapi
penyakit. Bahkan penggunaan tanaman
sebagai alternatif pengobatan mengalami
peningkatan. Beberapa negara di Eropa seperti
J erman, juga mengalami peningkatan dalam
konsumsi obat tradisional. Nilai penjualan
sediaan obat dari tanaman pada apotek-apotek
di J erman mencapai sekitar 30 % dari total
nilai penjualan obat-obat bebas (Sampurno,
2002). Di Amerika Serikat jumlah pengguna
tumbuhan dan produk tumbuhan obat juga
mengalami pertumbuhan yang sangat pesat
(Suganda, 2002). Sebagai negara yang
memiliki keanekaragaman hayati terbesar
nomor 2 di dunia, Indonesia sangat kaya akan
sumber-sumber bahan yang bisa dimanfaatkan
dan dikembangkan sebagai obat tradisional.
Hal ini merupakan peluang yang harus dapat
dimanfaatkan karena hampir 119 senyawa
obat modern merupakan hasil pengembangan
dari senyawa yang terdapat dalam tanaman
obat (Sampurno, 2002).
Tanaman seledri merupakan salah satu
tanaman yang telah banyak digunakan sebagai
obat tradisional. Menurut Sudarsono dkk.
(1996), tanaman seledri telah digunakan oleh
masyarakat untuk mengatasi gejala fluor
albus. Selain itu, tanaman ini juga telah
dikenal luas dalam terapi hipertensi, pemacu
enzim pencernaan, diuretik, mengurangi rasa
sakit, dan sedatif.
Tanaman ini merupakan tanaman
yang populer sebagai sayuran, dengan bau
yang sedap dan khas. Seluruh herba
mengandung minyak atsiri, apiin,
isokuersetin, umbeliferon, asparagin,
glutamin, kholin, provitamin A, vitamin B,
dan C. Buahnya mengandung bergapten,


seselin, isoimperatorin, astenol, isopimpinelin,
dan apigrafin (Sudarsono dkk., 1996).

METODOLOGI PENELITIAN

Bahan penelitian:
Buah seledri yang diambil dari Cangkringan,
Sleman; petroleum eter dan metanol berderajat
teknik, fungi C. albicans, media Sabourouds
dekstrosa, tween 20 konsentrasi 5%, silika gel
GF
254
(E. Merck), n-heksana dan etilasetat
berderajat pro analysis, pereaksi semprot:
anisaldehid-asam sulfat, besi (III) klorida,
Dragendorff, dan Sitroborat.
Alat penelitian : seperangkat alat Soxhlet,
waterbath, seperangkat alat untuk KLT, piring
Petri, LAF cabinet, inkubator, autoclave, alat-
alat gelas.

Jalannya penelitian:
Pembuatan ekstrak petroleum eter dan ekstrak
metanol.
Buah seledri yang telah kering ditimbang
sebanyak 30 gram, kemudian didestilasi untuk
mengambil minyak atsirinya. Setelah minyak
atsiri terambil semua, buah diambil dan
dikeringkan kembali. Sedikit demi sedikit
buah dimasukkan ke dalam selongsong yang
terbuat dari kertas saring dan diekstraksi
dengan petroleum eter menggunakan Soxhlet.
Apabila penyarian telah sempurna, ekstraksi
dihentikan. Cairan yang diperoleh diuapkan di
atas waterbath dan dibantu dengan kipas angin
sampai semua pelarut menguap. Ekstrak
kental yang diperoleh ini disebut dengan
ekstrak petroleum eter. Sisa buah seledri di
atas kemudian diuapkan pelarutnya dan
dikeringkan, kemudian diekstraksi kembali
dengan metanol untuk mendapatkan ekstrak
metanol.
Uji aktivitas antifungi. Uji aktivitas dilakukan
menggunakan 3 metode, yaitu difusi agar,
dilusi cair dan bioautografi. Untuk metode
difusi agar dan dilusi cair, kedua ekstrak
disuspensikan ke dalam tween 20 5% dengan
konsentrasi 100 mg/ml.
a. Metode difusi agar. Dibuat media
Sabourouds dekstrosa agar yang telah
dicampur dengan C. albicans dengan
konsentrasi 10
6
CFU/ml di dalam piring Petri,
dan dibiarkan sampai membeku. Setelah beku,
di atas media dipasang silinder besi, kemudian
tiap silinder besi diisi dengan sampel sebanyak
20l dan diinkubasi pada suhu 37
o
C selama 24
jam. Zone jernih yang tampak di sekeliling
silinder besi kemudian diukur menggunakan
jangka sorong.
b. Metode dilusi cair. Dibuat suspensi
sampel dengan konsentrasi 2, 3, 4, 5 dan 6 mg
%. Pada masing-masing sampel dimasukkan
suspensi C. albicans dalam media
Sabourouds dekstrosa cair sehingga
konsentrasi fungi 10
6
CFU/ml. Sampel
diinkubasi pada suhu 37
o
C selama 24 jam,
kemudian diamati adanya kekeruhan pada tiap
sampel yang menunjukkan adanya
pertumbuhan fungi. Untuk memastikan adanya
pertumbuhan fungi tersebut, tiap sampel
diinokulasikan pada media Sabourouds
dekstrosa agar dan diinkubasi kembali selama
24 jam.
c. Metode bioautografi. Ekstrak yang
mempunyai aktivitas sebagai antifungi
difraksinasi menggunakan n-heksana,
sehingga diperoleh 2 fraksi yaitu fraksi larut
dalam n-heksana dan fraksi tidak larut dalam
n-heksana. Kedua fraksi dilarutkan dalam
pelarut yang sesuai hingga larut sempurna,
kemudian dilakukan pemisahan menggunakan
metode KLT dengan fase diam silika gel GF
254

dan fase gerak n-heksana:etilasetat (2:1). Hasil
KLT dikeringkan dengan menggunakan kipas
angin sampai semua pelarut menguap semua,
kemudian lempeng KLT ditempelkan selama
30 menit pada media Sabourouds dekstrosa
agar dalam piring Petri yang telah
tersuspensikan dengan C. albicans. Lempeng
diambil, kemudian media diinkubasi pada
suhu 37
o
C selama 24 jam. Adanya zone jernih
yang timbul dicatat harga hRfnya. Untuk
mengidentifikasi golongan senyawa yang aktif
sebagai antifungi, lempeng KLT disemprot
menggunakan beberapa pereaksi semprot.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekstraksi bertingkat menggunakan
petroleum eter dan metanol ditujukan untuk
memisahkan senyawa-senyawa yang
mempunyai kepolaran yang berbeda, yaitu
untuk memisahkan senyawa yang non polar
dan senyawa yang polar. Dari ekstraksi
bertingkat terhadap buah seledri diperoleh
hasil bahwa ekstrak metanol mempunyai
rendemen yang lebih besar, sehingga dapat
diambil kesimpulan bahwa senyawa polar
yang terdapat dalam buah seledri lebih banyak
dibandingkan dengan senyawa-senyawa non
polar (Tabel I).
Kedua ekstrak diuji aktivitas antifungi
menggunakan metode difusi agar untuk
mengetahui ada tidaknya aktivitas antifungi di
dalam ekstrak tersebut. Hasil uji aktivitas
selengkapnya tercantum dalam Tabel 2.
Dari data pada tabel 2 di atas dapat
diambil kesimpulan bahwa ekstrak petroleum
eter mempunyai aktivitas antifungi yang lebih
besar dibandingkan dengan ekstrak metanol,
sehingga diduga senyawa aktif antifungi yang
terdapat dalam buah seledri adalah senyawa
non polar.
Untuk mengetahui potensi aktivitas
antifungi ekstrak, dilakukan uji aktivitas
menggunakan metode dilusi cair terhadap
ekstrak aktif yaitu ekstrak petroleum eter.
Parameter potensi aktivitas antifungi adalah
harga Kadar Hambat Minimum (KHM) dan
Kadar Bunuh Minimum (KBM). Penggunaan
metode dilusi cair ini mempunyai beberapa
keuntungan dibandingkan dengan metode
yang lain, diantaranya dapat menjamin
homogenitas yang lebih besar antara media,
bahan uji, dan suspensi jamur karena interaksi
antara ketiganya dapat lebih sempurna.
Disamping itu, media dan bahan uji yang
digunakan lebih sedikit jumlahnya sehingga
dapat lebih menghemat media dan bahan uji.

Tabel 1. Hasil ekstraksi buah seledri
menggunakan petroleum eter dan metanol
Nama ekstrak Bobot ekstrak (g) Rendemen (%) Bentuk ekstrak
Ekstrak petroleum eter 0,68 2,27 Semi cair, warna
kuning kecoklatan
Ekstrak metanol 1,83 6,1 Padat kering, warna
kuning kehitaman

Tabel 2. Hasil uji aktivitas antifungi ekstrak terhadap C. albicans

Nama ekstrak Diameter zone jernih (mm) Rata-rata (mm)
Petroleum eter 25,00 22,00 28,00 25,00
Metanol 10,00 14,00 12,00 12,00


Tabel 3. Hasil penentuan harga KHM dan KBM ekstrak petroleum eter
dengan metode dilusi cair

Replikasi Pertumbuhan fungi Kontrol Kontrol
2 mg % 3 mg % 4 mg % 5 mg % 6 mg % jamur ekstrak
1 ++ ++ ++ + + + +++
2 ++ ++ ++ + + + +++
3 ++ ++ ++ + + + +++
Hasil
inokulasi
Tumbuh Tumbuh Tumbuh Tidak
tumbuh
Tidak
tumbuh
Tumbuh Tidak
tumbuh
Keterangan:
+ : agak keruh
++ : keruh
+++ : keruh sekali


















Keterangan:
A : minyak atsiri
B : fraksi tidak larut n-heksana
C : fraksi larut n-heksana






100
50
0
A B C

Gambar 1. Hasil bioautografi


Berdasarkan hasil pengamatan,
ternyata sulit untuk menentukan harga KHM
karena suspensi ekstrak petroleum eter keruh
kecoklatan. Penentuan nilai KHM ini
berdasarkan pada kadar terendah ekstrak yang
masih mampu menghambat pertumbuhan
fungi (ditandai dengan kejernihan tabung).
Untuk menentukan nilai KBM, masing-masing
konsentrasi ekstrak pada uji dilusi cair
diinokulasikan pada media agar. Nilai KBM
didasarkan pada kadar terendah ekstrak yang
masih mampu membunuh fungi yang ditandai
dengan tidak adanya pertumbuhan fungi pada
media. Dari uji tersebut diperoleh harga KBM
ekstrak petroleum eter adalah 5 mg %.
Untuk mengetahui senyawa yang
mempunyai aktivitas terhadap fungi, maka
dilakukan bioautografi. Metode ini dengan
cepat dapat mendeteksi bercak pada
kromatogram yang memberikan aktivitas
antifungi. Metode ini menggunakan bahan uji
yang sedikit dan cara kerja yang sederhana.
Adanya aktivitas antifungi ditunjukkan dengan
adanya zone jernih pada lapisan media agar
dengan latar belakang keruh karena adanya
pertumbuhan fungi.
Bioautografi dilakukan terhadap
ekstrak petroleum eter yang telah difraksinasi
menggunakan n-heksana. Fraksinasi ini
ditujukan untuk mendapatkan pemisahan yang
lebih baik ketika dilakukan KLT, sehingga
senyawa-senyawa dalam ekstrak petroleum
eter ini dipisahkan terlebih dahulu berdasarkan
polaritasnya. Sebagai pembanding dalam
bioautografi ini adalah minyak atsiri, karena
dalam penelitian ini ingin diketahui senyawa
aktif antifungi yang terdapat dalam buah
seledri tetapi bukan golongan minyak atsiri.
Walaupun sebelum diekstraksi buah seledri
telah diambil minyak atsirinya tetapi masih
ada kemungkinan ada sejumlah minyak atsiri
yang tidak ikut terdestilir dan akan terdapat
dalam ekstrak petroleum eter.
Hasil bioautografi terhadap fraksi
larut n-heksana, fraksi tidak larut n-heksana
dan minyak atsiri terlihat pada gambar 1. Dari
hasil bioautografi tampak adanya zone jernih
yang menunjukkan adanya aktivitas antifungi
pada minyak atsiri dan fraksi larut n-heksana,
sedangkan fraksi tidak larut n-heksana tidak
menunjukkan adanya aktivitas tersebut. Zone
jernih pada minyak atsiri mempunyai harga
hRf 78, dan pada fraksi larut n-heksana pada
hRf 44 dan 78.
Dari hasil ini dapat diketahui bahwa
senyawa aktif pada ekstrak petroleum eter
fraksi larut n-heksana ada yang merupakan
komponen minyak atsiri, yaitu senyawa
dengan harga hRf 78. Dari hasil ini juga dapat
diketahui bahwa minyak atsiri dalam buah
seledri belum dapat terdestilir sempurna,
sehingga ada sebagian yang masuk ke dalam
ekstrak petroleum eter karena minyak atsiri
larut dalam petroleum eter. Senyawa aktif
dengan harga hRf 44 dalam fraksi larut n-
heksana dapat diduga bukan merupakan
komponen minyak atsiri.
Identifikasi senyawa aktif antifungi
yang terdapat di dalam ekstrak petroleum eter
fraksi larut dalam n-heksana dilakukan dengan
beberapa detektor, yaitu sinar UV
254
, UV
365
,
pereaksi semprot anisaldehid-asam sulfat, besi
(III) klorida, sitroborat dan Dragendorff. Hasil
identifikasi dengan detektor tersebut tersaji
pada tabel IV.
Apabila dibandingkan antara hasil
bioautografi dengan hasil identifikasi di atas,
maka senyawa aktif yang mempunyai harga
hRf 44 pada bioautografi dimungkinkan sama
dengan senyawa dengan hRf 45 pada KLT
identifikasi senyawa. Perbedaan harga hRf ini
mungkin disebabkan karena adanya perbedaan
kondisi elusi lempeng KLT yang tidak
mungkin dikendalikan. Dari hasil identifikasi
tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa
senyawa aktif antifungi yang terdapat dalam
ekstrak petroleum eter buah seledri adalah
senyawa terpenoid. Hal ini terlihat dari
penampakan warna setelah lempeng disemprot
dengan anisaldehid asam sulfat, yang
menunjukkan bahwa warna bercak pada hRf
45 adalah ungu. Menurut Stahl (1985),
senyawa terpenoid apabila disemprot
menggunakan pereaksi anisaldehid-asam
sulfat akan membentuk warna yang bervariasi
seperti violet, biru, merah, abu-abu atau hijau.

KESIMPULAN
1. Ekstrak petroleum eter buah seledri
mempunyai aktivitas sebagai antifungi
yang lebih besar dibandingkan dengan
ekstrak metanol, dengan harga KBM
sebesar 5 mg %.
2. Senyawa yang mempunyai aktivitas
sebagai antifungi dalam buah seledri,
selain komponen minyak atsiri adalah
senyawa golongan terpenoid.

DAFTAR PUSTAKA
Krieger, J.N., Alderete, J .F., 1999,
Trichomoniasis, dalam Holmes, K.K.,
Sparling, P.F., Mardh, P.A., Lemon, S.M.,
Stamm, W.E., Wasserheit, J .N. (eds),
Sexually Transmitted Diseases, edisi ketiga,
Mc Graw Hill, USA
Siswandono, Soekardjo, B., 1995, Kimia
Medisinal, 302, 308-310, Airlangga
University Press, Surabaya
Stahl, E., 1985, Analisis Obat secara Kromatografi
dan Mikroskopi, Penerbit ITB, Bandung
Sampurno, 2002, Sambutan Simposium dalam
Sukrasno, Adnyana, I. K., Damayanti, S
(Tim redaksi), Prosiding Simposium
Standarisasi Jamu dan Fitofarmaka:
Meningkatkan Jamu dan Fitofarmaka
menjadi Obat Pilihan, Departemen Farmasi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam ITB, Bandung
Sudarsono, Pudjoarinto, A., Gunawan, D.,
Wahyuono, S., Donatus, I. A., Drajad, M.,
Wibowo, S., Ngatidjan, 1996, Tumbuhan
Obat, Hasil Penelitian, Sifat-sifat dan
Penggunaan, 44-54, Pusat Penelitian Obat
dan Tanaman, UGM, Yogyakarta
Suganda, A. G., 2002, Standarisasi Simplisia,
Ekstrak, dan Produk Obat Bahan Alam,
dalam Sukrasno, Adnyana, I. K.,
Damayanti, S (Tim redaksi), Prosiding
Simposium Standarisasi Jamu dan
Fitofarmaka: Meningkatkan Jamu dan
Fitofarmaka menjadi Obat Pilihan,
Departemen Farmasi Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam ITB, Bandung

Anda mungkin juga menyukai