Anda di halaman 1dari 22

1

BAB I
PENDAHULUAN

Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah
kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea.
Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah
kornea.
1
Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim
panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering.
3
Faktor
yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat dengan ekuator yaitu daerah <37
0

lintang utara dan selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22 % di daerah
dekat ekuator dan <2 % pada daerah di atas lintang 40
0
.
3
faktor resik yang lain
dapat dipengaruhi oleh usia, pekerjaan yang berhubungan dengan paparan sinar
UV, tempat tinggal, jenis kelamin, herediter, dan paparan terhadap asap rokok,
debu atau pasir.
7
Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi
geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang dari 2%
untuk daerah di atas 40
o
lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-
36
o
.
3
Secara anatomi palpebral di bagi ata tiga bagian yaitu konjungtivitis
palpebral, konjungtivitis bulbi dan konjungtivitis forniks Merupakan tempat
peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.
6
Pterygium diduga
disebabkan oleh iritasi kronis akibat debu, cahaya matahari, dan udara yang panas.
Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu neoplasma,
radang dan degenerasi.
1
Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau
penyebab pterygium. Disebutkan bahwa radiasi sinar Ultra violet B sebagai salah
satu penyebabnya. Sinar UV-B merupakan sinar yang dapat menyebabkan mutasi
pada gen suppressor tumor p53 pada sel-sel benih embrional di basal limbus
kornea.
7

Gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan
sama sekali. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien seperti mata sering
berair dan tampak merah, merasa seperti ada benda asing, dapat timbul
2

astigmatisme akibat kornea tertarik, pada pterigium lanjut stadium 3 dan 4 dapat
menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun.
9,10
tatalaksana pasa penderita pterigium dapat dilakukan dengan konservatif untuk
mengurangi paparan dan tindakan operatif seperti dilakukan tindakan
pembedahan.
7

3

BAB II
DAFTAR PUSTAKA

I. DEFENISI
Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah
kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea.
Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah
kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterygium
akan berwarna merah.
1
Pterygium berasal dari bahasa yunani, yaitu pteron yang artinya wing atau
sayap. Menurut Hamurwono pterygium merupakan Konjungtiva bulbi patologik
yang menunjukkan penebalan berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh
menjalar ke kornea dengan puncak segitiga di kornea.
2


Gambar 1. Pterygium

II. EPIDEMIOLOGI
Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim
panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang
sering mempengaruhi adalah daerah dekat dengan ekuator yaitu daerah <37
0

lintang utara dan selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22 % di daerah
dekat ekuator dan <2 % pada daerah di atas lintang 40
0
.
3
4

Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada
lokasi geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang
dari 2% untuk daerah di atas 40
o
lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis
lintang 28-36
o
. Sebuah hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan
daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang.
Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di lintang atas dan
peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah.Pasien di bawah umur 15
tahun jarang terjadi pterygium. Prevalensi pterygium meningkat dengan umur,
terutama dekade ke 2 dan 3 kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20-49
tahun. Pterygium rekuren sering terjadi pada umur muda dibandingkan dengan
umur tua. Laki-laki 4 kali lebih berisiko daripada perempuan dan berhubungan
dengan merokok, pendidikan rendah dan riwayat paparan lingkungan di luar
rumah.
2,3,4

III. ANATOMI
Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan
dengan kulit pada tepi palpebra (suatu sambungan mukokutan) dan dengan epitel
kornea dilimbus.
5

Sesuai dengan namanya, konjungtiva menghubungkan antara bola mata dan
kelopak mata. Dari kelopak mata bagian dalam, konjungtiva terlipat ke bola mata
baik dibagian atas maupun bawah. Refleksi atau lipatan ini disebut dengan forniks
superior dan inferior. Forniks superior terletak 8-10 mm dari limbus sedangkan
forniks inferior terletak 8 mm dari limbus. Lipatan tersebut membentuk ruang
potensial yang disebut dengan sakkus konjungtiva, yang bermuara melalui fissura
palpebra antara kelopak mata superior dan inferior. Pada bagian medial
konjungtiva, tidak ditemukan forniks, tetapi dapat ditemukan karunkula dan plika
semilunaris yang penting dalam sistem lakrimal. Pada bagian lateral, forniks
bersifat lebih dalam hingga 14 mm dari limbus.
6


5


Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian:


1. Konjungtiva Palpebra

Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian posterior
kelopak mata yaitu daerah dimana epidermis bertransformasi menjadi konjungtiva.
Dari titik ini, konjungtiva melapisi erat permukaan dalam kelopak mata.
Konjungtiva palpebra dapat dibagi lagi menjadi zona marginal, tarsal, dan orbital.
Konjungtiva marginal dimulai pada mucocutaneus junction hingga konjungtiva
proper. Punktum bermuara pada sisi medial dari zona marginal konjungtiva
palpebra sehingga terbentuk komunikasi antara konjungtiva dengan sistem
lakrimal. Kemudian zona tarsal konjungtiva merupakan bagian dari konjungtiva
palpebralis yang melekat erat pada tarsus. Zona ini bersifat sangat vaskuler dan
translusen. Zona terakhir adalah zona orbital, yang mulai dari ujung perifer tarsus
hingga forniks. Pergerakan bola mata menyebabkan perlipatan horisontal
konjungtiva orbital, terutama jika mata terbuka. Secara fungsional, konjungtiva
palpebra merupakan daerah dimana reaksi patologis bisa ditemui.
6


2. Konjungtiva Bulbi
Menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya.
Konjungtiva bulbi dimulai dari forniks ke limbus, dan bersifat sangat translusen
sehingga sklera dibawahnya dapat divisualisasikan. Konjungtiva bulbi melekat
longgar dengan sklera melalui jaringan alveolar, yang memungkinkan mata
bergerak ke segala arah. Konjungtiva bulbi juga melekat pada tendon muskuler
rektus yang tertutup oleh kapsula tenon. Sekitar 3 mm dari limbus, konjungtiva
bulbi menyatu dengan kapsula tenon dan sklera.
6


3. Konjungtiva Forniks
Merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.
Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada struktur
sekitarnya konjungtiva forniks ini melekat secara longgar dengan struktur di
bawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra superior serta muskulus rektus.
6

Karena perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva forniks dapat bergerak
bebas bersama bola mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi.
6



Gambar 2. Konjugtiva


Konjungtiva di vaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama banyak
vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-
jaring vaskuler konjungtiva yang sangat banyak. Pembuluh limfe konjungtiva
tersusun didalam lapisan superfisial dan profundus dan bergabung dengan
pembuluh lemfe palpebra membentuk pleksus limfatikus. Konjungtiva menerima
persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus. Saraf ini
memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit.
6
Secara histologis konjungtiva terdiri atas epitel dan stroma. Lapisan epitel
konjungtiva terdir atas 2-5 lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan
basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, diatas caruncula, dan di dekat
persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri atas sel-sel epitel
skuamous bertingkat. Sel-sel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat dan oval
yang mensekresi mukus. Mukus yang terbentuk mendorong inti sel goblet ke tepi
dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata prakornea secara merata.
6

7

Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan
di dekat limbus dapat mengandung pigmen. Lapisan stroma di bagi menjadi 2
lapisan yaitu lapisan adenoid dan lapisan fibrosa. Lapisan adenoid mengandung
jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam
folikel tanpa sentrum germinativum.
6

Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2-3 bulan.
Hal ini menjelaskan konjungtivitis inklusi pada nenonatus bersifat papilar bukan
folikular dan mengapa kemudian menjadi folikular. Lapisan fibrosa tersusun dari
jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan
gambaran reaksi papilar pada radang konjungtiva.
6

Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar lakrimal
aksesorius (kelenjar krause dan wolfring), yang struktur fungsinya mirip kelenjar
lakrimal terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause berada di forniks
atas, sisanya di forniks bawah. Kelenjar wolfring terletak di tepi tarsus atas.
6

IV. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO
Pterygium diduga disebabkan oleh iritasi kronis akibat debu, cahaya
matahari, dan udara yang panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan
diduga merupakan suatu neoplasma, radang dan degenerasi.
1
Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab pterygium.
Disebutkan bahwa radiasi sinar Ultra violet B sebagai salah satu penyebabnya.
Sinar UV-B merupakan sinar yang dapat menyebabkan mutasi pada gen
suppressor tumor p53 pada sel-sel benih embrional di basal limbus kornea. Tanpa
adanya apoptosis (program kematian sel), perubahan pertumbuhan faktor Beta
akan menjadi berlebihan dan menyebabkan pengaturan berlebihan pula pada
sistem kolagenase, migrasi seluler dan angiogenesis. Perubahan patologis tersebut
termasuk juga degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovesikular,
seringkali disertai dengan inflamasi. Lapisan epitel dapat saja normal, menebal
atau menipis dan biasanya menunjukkan dysplasia.
7
Terdapat teori bahwa mikrotrauma oleh pasir, debu, angin, inflamasi, bahan
iritan lainnya atau kekeringan juga berfungsi sebagai faktor resiko pterygium.
Orang yang banyak menghabiskan waktunya dengan melakukan aktivitas di luar
ruangan lebih sering mengalami pterygium dan pinguekula dibandingkan dengan
8

orang yang melakukan aktivitas di dalam ruangan. Kelompok masyarakat yang
sering terkena pterygium adalah petani, nelayan atau olahragawan (golf) dan
tukang kebun. Kebanyakan timbulnya pterygium memang multifaktorial dan
termasuk kemungkinan adanya keturunan (faktor herediter).
7
Pterygium banyak terdapat di nasal daripada temporal. Penyebab
dominannya pterygium terdapat di bagian nasal juga belum jelas diketahui namun
kemungkinan disebabkan meningkatnya kerusakan akibat sinar ultra violet di area
tersebut. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa kornea sendiri dapat bekerja
seperti lensa menyamping (side-on) yang dapat memfokuskan sinar ultra violet ke
area nasal tersebut.
7

Teori lainnya menyebutkan bahwa pterygium memiliki bentuk yang
menyerupai tumor. Karakteristik ini disebabkan karena adanya kekambuhan
setelah dilakukannya reseksi dan jenis terapi yang diikuti selanjutnya (radiasi,
antimetabolit). Gen p53 yang merupakan penanda neoplasia dan
apoptosis ditemukan pada pterygium. Peningkatan ini merupakan kelainan
pertumbuhan yang mengacu pada proliferasi sel yang tidak terkontrol daripada
kelainan degeneratif.
7

1. Paparan sinar matahari (UV)
Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam perkembangan
terjadinya pterigium. Hal ini menjelaskan mengapa insidennya sangat tinggi pada
populasi yang berada pada daerah dekat equator dan pada orang orang yang
menghabiskan banyak waktu di lapangan.
7

2. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)
Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium adalah alergen,
bahan kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu, polutan). UV-B merupakan
mutagenik untuk p53 tumor supressor gen pada stem sel limbal. Tanpa apoptosis,
transforming growth factor-beta over produksi dan memicu terjadinya peningkatan
kolagenasi, migrasi seluler, dan angiogenesis. Selanjutnya perubahan patologis
yang terjadi adalah degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan
9

fibrovaskuler subepitelial. Kornea menunjukkan destruksi membran Bowman
akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler.
7

Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain :

1. Usia
Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui
pada usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak. Tan berpendapat
pterygium terbanyak pada usia dekade dua dan tiga.
7

2. Pekerjaan
Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan
sinar UV.
7

3. Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi
geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang
dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa
memiliki angka kejadian pterygium yang lebih tinggi. Survei lain juga menyatakan
orang yang menghabiskan 5 tahun pertama kehidupannya pada garis lintang
kurang dari 30
0
memiliki risiko penderita pterygium 36 kali lebih besar
dibandingkan daerah yang lebih selatan.
7

4. Jenis kelamin
Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan.

5. Herediter
Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara autosomal
dominan.
7

6. Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab
pterygium.
7

10




7. Faktor risiko lainnya
Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel tertentu
seperti asap rokok , pasir merupakan salah satu faktor risiko terjadinya pterygium.
7

V. PATOFISIOLOGI
Terjadinya pterigium berhubungan erat dengan paparan sinar ultraviolet,
kekeringan, inflamasi dan paparan angin dan debu atau factor iritan lainnya. UV-B
yang bersifat mutagen terhadap gen P53 yang berfungsi sebagai tumor suppressor
gene pada stem sel di basal limbus.
8

Pelepasan yang berlebih dari sitokin seperti transforming growth faktor beta
(TGF-) dan vascular endothelial growth factor (VEGF) yang berperanan penting
dalam peningkatan regulasi kolagen, migrasi sel angiogenesis.
8

Selanjutnya terjadi perubahan patologi yang terdiri dari degenerasi kolagen
elastoid dan adanya jaringan fibrovaskular supepithelial. Pada kornea nampak
kerusakan pada membrane bowman oleh karena bertumbuhnya jaringan
fibrovaskuler, yang sering kali disertai dengan adanya inflamasi ringan. Epitel bisa
normal, tebal atu tipis dan kadang-kadang terjadi dysplasia.
8

VI. KLASIFIKASI PTERYGIUM
Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe,
stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera ,
yaitu:
4,9
1. Berdasarkan tipenya pterigium dibagi atas 3 :
- Tipe I : Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau
menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm dari kornea. Stockers
line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterigium.
Lesi sering asimptomatis, meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien
yang memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.
- Tipe II : di sebut juga pterigium tipe primer advanced atau ptrerigium
rekuren tanpa keterlibatan zona optik. Pada tubuh pterigium sering nampak
11

kapiler-kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer
atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan
astigmat.
- Tipe III: Pterigium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona optik.
Merupakan bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan zona optik
membedakan tipe ini dengan yang lain. Lesi mengenai kornea > 4 mm dan
mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren dapat
berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke forniks dan biasanya
menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan

2. Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:
4,9

o Stadium I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea.
o Stadium II : jika pterigium sudah melewati limbus dan belum mencapai pupil,
tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.
o Stadium III : jika pterigium sudah melebihi stadium II tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4
mm).
o Stadium IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.


Gambar 2. Pterigium stadium 1 Gambar 3. Pterigium stadium 2


12

collum
corpus
apeks
Gambar 4.Pterigium stadium 3 Gambar 5. Pterigium stadium 4
3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2 yaitu:
9
- Pterigium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di
depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)
- Pterigium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk
membran, tetapi tidak pernah hilang.

4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan harus
diperiksa dengan slit lamp pterigium dibagi 3 yaitu:

- T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat
- T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian terlihat
- T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas.
5,9

VII. GAMBARAN KLINIK
Gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan
sama sekali. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien seperti mata sering
berair dan tampak merah, merasa seperti ada benda asing, dapat timbul
astigmatisme akibat kornea tertarik, pada pterigium lanjut stadium 3 dan 4 dapat
menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun.
9,10










Pterigium memiliki tiga bagian :
i. Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea
yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi dan
13

menghancurkan lapisan Bowman pada kornea. Garis zat besi (iron
line/Stockers line) dapat dilihat pada bagian anterior kepala. Area ini juga
merupakan area kornea yang kering.
ii. Bagain whitish. Terletak langsung setelah cap, merupakan sebuah lapisan
vesikuler tipis yang menginvasi kornea seperti halnya kepala.
iii. Bagian badan atau ekor, merupakan bagian yang mobile (dapat bergerak),
lembut, merupakan area vesikuler pada konjungtiva bulbi dan merupakan area
paling ujung. Badan ini menjadi tanda khas yang paling penting untuk
dilakukannya koreksi pembedahan.
11


VIII. DIAGNOSIS
Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan keluhan berupa mata sering berair dan tampak
merah dan mungkin menimbulkan astigmatisma yang memberikan keluhan berupa
gangguan penglihatan. Pada kasus berat dapat didapatkan adanya diplopia,
biasanya penderita mengeluhkan adanya sesuatu yang tumbuh di kornea dan
khawatir akan adanya keganasan atau alasan kosmetik, keluhan subjektif dapat
berupa rasa panas, gatal, dan ada yang mengganjal.
2

Pemeriksaan fisis
Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada
permukaan konjuntiva. Pterigium dapat memberikan gambaran yang vaskular dan
tebal tetapi ada juga pterigium yang avaskuler dan flat.
10

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah
topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme
ireguler yang disebabkan oleh pterigium.
4

IX. PENATALAKSANAAN
1. Konservatif
14

Penanganan pterigium pada tahap awal adalah berupa tindakann konservatif
seperti penyuluhan pada pasien untuk mengurangi iritasi maupun paparan sinar
ultraviolet dengan menggunakan kacamata anti UV dan pemberian air mata
buatan/topical lubricating drops.
7

2. Tindakan operatif
Adapun indikasi operasi menurut Ziegler and Guilermo Pico, yaitu:
Menurut Ziegler :
a. Mengganggu visus
b. Mengganggu pergerakan bola mata
c. Berkembang progresif
d. Mendahului suatu operasi intraokuler
e. Kosmetik
Menurut Guilermo Pico :
1. Progresif, resiko rekurensi > luas
2. Mengganggu visus
3. Mengganggu pergerakan bola mata
4. Masalah kosmetik
5. Di depan apeks pterigium terdapat Grey Zone
6. Pada pterigium dan kornea sekitarnya ada nodul pungtat
7. Terjadi kongesti (klinis) secara periodik.
7


Pada prinsipnya, tatalaksana pterigium adalah dengan tindakan operasi.

Ada
berbagai macam teknik operasi yang digunakan dalam penanganan pterigium di
antaranya adalah:
1. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva dengan
permukaan sklera. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya tingkat rekurensi
pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75%.
7,3

2. Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, Dimana
teknik ini dilakukan bila luka pada konjuntiva relatif kecil.
7,3

3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi untuk
memungkinkan dilakukannya penempatan flap.
7,3

15

4. Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka bekas eksisi
untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan
pada bekas eksisi.
7,3

5. Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya diambil dari
konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka
kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat jaringan
(misalnya Tisseel VH, Baxter Healthcare, Dearfield, Illionis).
7,3












Gambar 7. Teknik Operasi Pterigium

X. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding pterigium adalah pinguekula dan pseudopterigium.
Pinguekula merupakan benjolan pada konjungtiva bulbi yang ditemukan pada
orangtua, terutama yang matanya sering mendapatkan rangsangan sinar matahari,
debu, dan angin panas. Yang membedakan pterigium dengan pinguekula adalah
bentuk nodul, terdiri atas jaringan hyaline dan jaringan elastic kuning, jarang
bertumbuh besar, tetapi sering meradang.
7

Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang
cacat. Sering pseudopterigium ini terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea,
sehingga konjungtiva menutupi kornea. Pseudopterigium juga sering dilaporkan
sebagai dampak sekunder penyakit peradangan pada kornea. Pseudopterigium
16

dapat ditemukan dibagian apapun pada kornea dan biasanya berbentuk oblieq.
Sedangkan pterigium ditemukan secara horizontal pada posisi jam 3 atau jam 9.
7









Gambar 8. Pinguekula Gambar 9. Pseudopterigium

XI. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat timbul pada pterygium, adalah :
- Distorsi dan penglihatan berkurang
- Mata merah
- Iritasi
- Scar (jaringan parut) kronis pada konjungtiva dan kornea
- Pada pasien yang belum exicisi, scar pada otot rectus medial dapat
menyebabkan terjadinya diplopia.
3


Komplikasi post eksisi pterygium, adalah:
- Infeksi, reaksi bahan jahitan (benang), diplopia, scar cornea, conjungtiva graft
longgar dan komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata, vitreous
hemorrhage atau retinal detachment.
- Penggunaan mytomicin C post operasi dapat menyebabkan ectasia atau
melting pada sclera dan kornea.
- Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterygium adalah rekuren pterygium
post operasi.
3


17

XII. PROGNOSIS
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakan
pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan pterigium
rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau
transplantasi membran amnion.
4
Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterigium seperti riwayat keluarga
atau karena terpapar sinar matahari yang lama diajukan untuk memakai kacamata
sunblock dan mengurangi terpaparnya sinar matahari.
4


18

BAB III
PRESENTASI KASUS
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : ny. kh
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 57 Tahun
Alamat : Lamno
Agama : Islam
No CM :981921
Tanggal Pemeriksaan : 23 Juli 2014

B. ANAMNESA
1. Keluhan Utama
Rasa menjanggal pada mata kiri
2. Keluhan Tambahan : air mata berlebihan, rasa seperti berpasir.
3. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke poli mata dengan keluhan mata terasa mengganjal sejak
2 bulan yang lalu secara perlahan-lahan, awalnya tampak selaput kecil
dan lama-kelamaan membesar. Penglihatan terganggu (-), air mata
berlebihan (+), silau terhadap cahaya (-), mata terasa berpasir (+), adanya
riwayat mata merah (+), dan riwayat terpapar matahari (+). Riwayat DM
(disangkal), riwayat hipertensi (disangkal), riwayat trauma (disangkal).
4. Riwayat Penyakit Dahulu : Disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga : Disangkal
6. Status Oftalmologis :
VOD : 5/24, PH (-) VOS : 5/24 PH (-)



Pergerakan bola mata : Normal/Normal

19



No Komponen Edema Hiperemis Edema Hiperemis
1 Palpebra Superior - - - -
2 Palpebra Inferior - - - -
3 Konj. Tars Superior - - - -
4 Konj. Tars Inferior - - - -
5 Konj. Bulbi - -
(+) Telah
melewati
setengah
jark
limbus
dan pupil,
tapi tidak
melewati
pupil
+
6 Kornea Jernih Jernih
7 Kedalaman COA Cukup Cukup
8 Kripta Iris Jelas Jelas
9 Pupil RC (+) RC (+)
10 Lensa jernih jernih

7. Diagnosis : pterigium grade III
8. Pemeriksaan penunjang :
- Refraksi
- Slit lamp
9. Terapi
- Cendo lyter ED 6 gtt ODS
- Eyevit 1 dd tab 1


20

BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien ini didiagnosa dengan OS Pterigium Stadium III, ditegakan
berdasarkan anamnesis Dimana didapatkan adanya rasa menjanggal pada mata kiri
disertai berair sejak 2 bulan yang lalu. Hai ini di sesuai dengan kepustakaan yang
menyebutkan bahwa keluhan subjektif pada penderita pterigium bervariasi mulai
dari tanpa keluhan sampai timbul gejala berupa adanya sesuatu menjanggal, mata
merah, gatal, sering keluar air mata dan perih akibat iritasi pada pterigium.
Penglihatan kabur ditemukan pada pterigium grade IV dimana sudah melawati
pupil sampai mengganggu penglihatan.
Pada pemeriksaan inspeksi OS di dapatkan adanya selaput berbentuk
segitiga pada konjungtiva dengan tepi melewati limbus , tetapi belum
melewati pupil, yang menunjukkan tanda pterygium stadium III
Penyebab pterigium yang belum jelas sampai saat ini, tetapi diduga
penyebabnya oleh iritasi factor eksternal, yaitu sinal ultraviolet (UV-A dan UV-B)
atau inframerah, disamping itu debu, angina dan udara panas. Hal ini ditemukan
dari anamnesa bahwa pasiensering terpapar oleh sinar matahari.
Pada awalnya pterigium tampak sebagai suatu jaringan dengan banyak
pembuluh darah sehingga warnyanya merah, kemudian menjadi suatu membrane
tipis dan bewarna putih. Bagian sentral yang melekat pada kornea dapat tumbuh
memasuki kornea dan menggantikan epitel, juga membrane browmann dengan
jaringan elastis dan hialin. Pertumbuhan berlanjud dan mendekati pupil, yang
dapat memperparah gangguan penglihatan pada seorang penderita pterigium.
Pada pemeriksaan oftalmologi ditemukan penglihatan masih sama normal,
sedangkan pada pemeriksaan objektif ditemukan adanya benjolan pada
konjungtiva bulbi mata kiri. Benjolan berupa jaringan fibrovaskular berbentuk
segitigs dengan dasar pada konjungtiva bulbi dan puncak telah melewatisetengha
jarak limbus dan pupil, tapi tidak melewati pupil. Hal ini sesuai kepustakaan
mengarahkan ke pterigium grade III.
Tidak ada pengobatan medikamentosa yang spesifik untuk pterigium.
Tujuan pengobatan medikamentosa adalah untuk mengurangi peradangan. Bila
21

terjadi peradangan dapat diberikan steroid topical, diberikan pada pterigium grade
I dan II. Jika grade lanjut, tindakan pembedahan pada pterigium adalah suatu
tindakan bedah untuk mengangkat jaringan pterigium dengan berbagai teknik
operasi. Misalnya mehilangkan pterigium menggunakan pisau tipis dengan diseksi
rata mennuju limbus.
Teknik operasi yang direncanakan pada pasien ini adalah teknik graft
konjungtiva dengan alasan karena teknik ini dianggap paling bagus dalam
menurunkan rekurensi pterygium.
Diharapkan agar penderita sedapat mungkin menghindari faktor pencetus
timbulnya pterigium seperti sinar matahari, angin dan debu serta rajin merawat
dan menjaga kebersihan kedua mata. Oleh karena itu dianjurkan untuk selalu
memakai kacamata pelindung atau topi pelindung bila keluar rumah. Menurut
kepustakaan, umumnya pterigium bertumbuh secara perlahan dan jarang
sekali menyebabkan kerusakan yang bermakna sehingga prognosisnya
adalah baik.kecuali penderita telah berada di pterigium grade IV, dimana tindakan
pembedahan sekalipun tetap tidak biasa mengembalikan penglihatan, diakibatkan
karena kemungkinan besar terjadi pembentukan skar yang menggangu
penglihatan.


22

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2006.p.2-7,117.
2. Waller G.Stephen, Adams P Antony, Pterigium, Duanes Clinical
ophthalmology, Chapter 35, Vol:6: Revised Editor, Lippincot Williams &
Wilkins, 2004, p: 1-10.
3. Laszuarni. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter Spesialis
Mata. Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara. 2009.
4. T. H. Tan Donald et all. Pterigium. Clinical Ophtalmology-An Asian
Perspective. Chapter 3.2. Saunders Elsevier. Singapura. 2005. P: 207-214.
5. Voughan & Asbury. Oftalmologi Umum edisi 17. Jakarta : EGC. 2010. Hal
119.
6. Tomidokoro A. Miyata K. Sakaguchi Y. Simejima T. Tukonaga T. Oshika T.
Effects of pterygium on corneal spherical power and astigmatism.
Opthamology.2000. p:1567-71.
7. Detorakis ET. Drankonaki EE. Spandidos DA. Molecular Genetic Altertions
and Viral in Presence in Opthalmic Pterygium (review). Int Mol Med. 2000.
p:35-41.
8. Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. Clinical Approach to
Depositions and Degenerations of the Conjungtiva, Cornea, and Sclera. In :
External Disease and Cornea. San Fransisco : American Academy of
Ophtalmology. 2008. P.8-13, 366.
9. Kanski J jack. Pterygium, Clinical Opthalmology a Systematic Appoach.
Chapter 4. Butterworth Heinemann Elsevier. 2007. P:242-245.
10. Khurana A. K. Community Opthamology in Comprehensive
Opthamology. Fourth Edition. Chapter 20. New Delhi. New Age International
Limited Publisher.2007. p:443-457.
11. Nema HV. Nema Nitin. Disease of the Conjungtiva. Text of
Opthalmology. Chapter 11. Jayepee Brothers. New Delhi. 2007. p:125-126.

Anda mungkin juga menyukai