BAB II
LATAR BELAKANG PENELITIAN
II.1 Latar Belakang Masalah
Air merupakan sumber daya alam yang diperlukan untuk hajat hidup
orang banyak, bahkan oleh semua makhluk hidup. Oleh karena itu sumber daya
air harus dilindungi agar tetap dapat dimanfaatkan dengan baik oleh manusia
serta makhluk hidup yang lain. Dengan pertumbuhan penduduk yang sangat pesat
di Indonesia saat ini, mengakibatkan ketersediaan air bersih semakin berkurang.
selain itu banyak masyarakat yang hidup di sekitar sungai dan memanfaatkan air
sungai sebagai kebutuhan hidupnya. Jika terjadi penurunan kualitas air sungai
(tercemar) akibat dari aktivitas manusia itu sendiri, maka air tersebut akan
menjadi barang yang sangat langka dan mahal karena tidak dapat digunakan lagi
untuk kelangsungan hidup makhluk hidup (khususnya manusia).
Seiring dengan ditemukannya beberapa daerah prospek Batubara di
Propinsi Sumatera Selatan khusunya Kabupaten Lahat , semakin meningkat pula
kegiatan pertambangan Batubara di daerah tersebut .Kegiatan penambangan yang
dilakukan tersebut akan menghasilakan Air Asam tambang , Air asam tambang
merupakan hasil dari oksidasi batuan yang mengandung pirit (FeS
2
) dan mineral
sulfida dari sisa batuan yang terpapar oleh oksigen yang berada dalam air
(Elberling.et.al, 2008) . Air asam tambang mengandung logam berat seperti besi
(Fe), alumunium (Al), mangan (Mn) dan juga memiliki keasaman di bawah baku
mutu . Pada PT Sinar Baru Wijaya Perkasa Telah dilakukan pengelolaan AAT
dengan cara Pengelolaan aktif Menggunakan Penebaran Batu Kapur
II.2 Air Asam Tambang
Air asam tambang (AAT) atau Acid Mine Drainage / Acid Rock Drainage
(AMD/ARD), yang merupakan salah satu dampak penting lingkungan dari
kegiatan penambangan adalah air yang bersifat asam yang keluar dari suatu
sistem penyaliran atau dalam istilah umum yang digunakan adalah lindian
7
(leachate), rembesan atau aliran (drainage) yang telah dipengaruhi oleh oksidasi
alamiah mineral sulfida yang terkandung dalam batuan yang terpapar selama
penambangan (Direktorat Jenderal Mineral, Batubara, dan Panas Bumi, 2006).
Air asam tambang terbentuk akibat oksidasi mineral sulfida, terutama
pirit (FeS2) yang tersingkap ke permukaan pada saat operasi pertambangan dan
mengalami kontak dengan air dan oksigen (Baiqunni, 2007). AAT adalah istilah
yang digunakan pada air asam yang timbul akibat kegiatan penambangan, dapat
dilihat pada komposisi kimia yang terkandung didalamnya. Terbentuknya AAT
ditandai oleh satu atau lebih karakteristik kualitas air, adalah sebagai berikut :
Nilai pH yang rendah (1,5 4)
Konsentrasi logam terlarut yang tinggi, seperti logam besi,
alumunium, mangan.
Nilai asiditas yang tinggi (50 1500 mg/L CaCO3)
Nilai sulphate yang tinggi (500 10.000 mg/L)
Nilai salinitas (1 20 ms/cm)
Konsentrasi oksigen terlarut yang rendah
Berdasarkan hal diatas apabila AAT keluar dari tempat terbentuknya dan
masuk ke badan sungai, maka akan menimbulkan suatu dampak lingkungan.
Dampak air asam tambang berdampak langsung terhadap kualitas tanah. Menurut
Widyati (2010), air asam tambang akan menyebabkan menurunnya pH tanah
mencapai 3.2 dan ph air berada pada kisaran 2.8. Menurunnya ph tanah akan
mengganggu keseimbangan unsur hara pada lahan tersebut. Unsur hara makro
menjadi tidak tersedia karena terikat oleh logam, sedangkan unsur hara mikro
kelarutannya meningkat (Tan, 1993 dalam Widyati 2010).
Menurut Hards and Higgins (2004), turunnya pH secara drastis akan
meningkatkan kelarutan logam-logam berat pada lingkungan tersebut. Pada
makhluk hidup, AMD dapat mengganggu kehidupan flora dan fauna di sekitar
lahan bekas tambang ataupun pada kehidupan di sepanjang aliran sungai yang
terkena dampak dari aktifitas pertambangan. Hal ini menyebabkan kegiatan
revegetasi lahan bekas tambang menjadi sangat mahal dengan hasil yang kurang
memuaskan. Dampak terhadap manusia, air asam tambang mempunyai dampak
yang cukup berbahaya. Logam berat yang terkandung dalam AAT, seperti
8
tembaga, dan aluminium bersifat sangat toksik. Jika masuk ke dalam tubuh,
logam-logam berat akan mengalami bioakumulasi atau tinggal di dalam jaringan
hidup dan dapat berpindah-pindah melalui rantai makanan. Di dalam tubuh
manusia, tembaga dapat mengakibatkan depresi, mempengaruhi fungsi hati dan
ginjal, serta menimbulkan gangguan pada pembuluh darah.
Air asam tambang memiliki pH yang rendah, serta kandungan senyawa
toksik H2S yang tinggi, sehingga memiliki potensi adanya mikroba yang
dibutuhkan dalam pengolahan air asam tambang. Menurut Santosa, et al (1998),
lingkungan yang memiliki sifat fisik kimia yang ekstrim, seperti pH air yang
rendah (<4), serta mengandung senyawa toksik H
2
S, Fenol, dan logam berat (Mn,
Cu, dan Pb) menyimpan potensi mikroba yang dapat digunakan untuk
bioremediasi, khususnya pada lingkungan pertambangan.
Mikroba yang digunakan adalah mikroba jenis bakteri pereduksi sulfat
(BPS). BPS bersifat anaerob (Battersby, 1998), yaitu tidak membutuhkan oksigen
dalam pertumbuhannya. Pada kondisi anaerob, konsentrasi oksigen berkurang,
perubahan kandungan oksigen ini secara dramatis mempengaruhi kegiatan
mikroorganisme, karena mikroorganisme aerob (bakteri pengoksidasi sulfat)
digantikan oleh bakteri fakultatif anaerob, dan selanjutnya digantikan oleh
mikroorganisme anaerob obligat (Samosir, 1994). BPS bersifat heterotrof
(Germida, 1998) sehingga membutuhkan tambahan nutrisi untuk
pertumbuhannya, nutrisi yang dijadikan sumber energi untuk reaksi reduksi sulfat
yaitu berupa karbohidrat, asam-asam organik, dan alkohol (Alexander, 1977).
II.3 Pengelolaan Air Asam Tambang
Pengelolaan AAT dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pengelolaan
secara aktif dan pengelolaan secara pasif, yaitu :
1.) Pengelolaan Secara Aktif
Pengelolaan secara aktif dilakukan dengan pemberian alkali ataupun
koagulan untuk meningkatkan pH dan menurunkan TSS, dan kelarutan
logam. Pengelolaan AAT secara aktif antara lain :
Quicklime Dumping
9
Metode ini dengan cara menambahkan bahan alkali pada saat saat
tertentu bergantung pada keasaman air.
Quicklime Dosing
Metode ini sama dengan quicklime dumping yaitu dengan
menambahkan kapur tohor ke dalam saluran air asam tetapi
penambahannya secara kontinyu. Penambahan dilakukan dengan
peralatan mekanis yang bekerja secara otomatis.
Koagulasi
Metode ini bertujuan untuk menurunkan kadar Total Suspended
Solid (TSS) dalam air sehingga terjadi proses penjernihan air. Pada
umumnya bahan seperti Aluminium sulfat atau sering disebut alum
atau tawas, fero sulfat, Poly Aluminium Chlorida (PAC) dan poli
elektrolit organik dapat digunakan sebagai koagulan. Untuk
menentukan dosis yang optimal, koagulan yang sesuai dan pH yang
akan digunakan dalam proses penjernihan air, secara sederhana
dapat dilakukan dalam laboratorium dengan menggunakan tes yang
sederhana (Alaerts & Santika, 1984). Tawas merupakan
alumunium sulfat yang dapat digunakan sebagai penjernih air
seperti sedimentasi (water treatment) karena tawas yang dilarutkan
dalam air mampu mengikat mikro flok dan mengendapkan flok
dalam air sehingga menjadikan air menjadi jernih.
2.) Pengelolaan Secara Pasif
Teknik pengolahan pasif adalah suatu pengelolaan AAT dengan
membuat lahan basah buatan. Komponen penting lahan basah buatan adalah
sumberdaya biologis, antara lain dengan menggunakan :
Substrat organik
Tumbuhan air
Mikroba
Fungsi substrat organik :
Menyerap logam logam larut
Sumber energi bakteri pereduksi sulfat (BPS) yang menghasilkan
menyebabkan terjadinya pengendapan logam sulfida.
10
Fungsi tumbuhan air :
Untuk konsolidasi substrat
Tempat hidup mikroba
Menyerap logam
Tanaman mempunyai fungsi ekologis, yaitu penyimpan karbon (C)
dan nitrogen (N), sehinggan lahan basah mengurangi emisi C ke
atmosfer.
Pengelolaan AAT secara pasif terdiri dari beberapa metode, yaitu :
1. Aerobic wetland
2. Organic substrate wetland (Anaerobic wetland)
3. Anoxic Limestone Drainage (ALD)
4. Successive Alkanality Producing Sistem (SAPS)
II.4 Parameter Pengujian
II.4.1 Derajat Keasaman (pH)
pH atau derajat keasaman digunakan untuk menyatakan tingkat
keasaman atau basa yang dimiliki oleh suatu zat, larutan atau benda.
pH normal memiliki nilai 7, sementara bila nilai pH > 7 menunjukkan
zat tersebut memiliki sifat basa, sedangkan nilai pH < 7 menunjukkan
keasaman.
Menurut Soren Picter Lennart (1910) pH adalah ukuran yang
digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan yang
dimiliki oleh suatu larutan. pH didefinisikan sebagai logaritma
aktivitas ion hidrogen (H
+
) yang terlarut. Koefisien aktivitas ion
hydrogen tidak dapat di ukur secara eksperimental, sehingga nilainya
didasarkan pada perhitungan teoritis.
Konsep pH pertama kali diperkenalkan oleh kimiawan Denmark
Soren Picter Lennart Sorensen pada tahun 1909. Tidak diketahui
dengan pasti makna singkatan p pada pH. Beberapa rujukan
mengisyaratkan bahwa p berasal dari singkatan untuk power (pangkat),
yang lainnya merujuk kata bahasa jerman potenz (yang juga berarti
11
pangkat), dan ada pula yang merujuk pada kata potential. Sebuah karya
ilmiah yang berargumen bahwa p adalah sebuah tetapan yang berarti
logaritma negative (Jens Norby, 2000).
Pada baku mutu air limbah pertambangan, pH akhir yang baru
dihasilkan dalam pengolahan AAT yaitu antara pH 6 9, dalam
pengolahan batubara. Standar baku mutu tersebut dapat dilihat pada
baku mutu air limbah penambangan dan batubara dan pengolahan
batubara, sesuai dengan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Selatan
Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Sehingga air hasil pengolahan AAT tersebut dapat dibuang ke badan
sungai agar tidak mencemari lingkungan.
II.4.2 Besi (Fe)
Pada perairan alami, besi berikatan dengan anion membentuk
senyawa FeCl
2
, Fe(HCO
3
), dan Fe(SO
4
). Sumber besi di alam adalah
pyrite (FeS
2
), hematite (Fe
2
O
3
), magnetite (Fe
3
O
4
), limonite
[FeO(OH)], goethite (HFeO
2
), dan ochre [Fe(OH)
3
], kadar besi pada
perairan alami berkisar antara 0,05 0,2 mg/liter (Cole, dan Moore,
1991).
Stumm dan Morgan (1981) menguraikan reaksi oksidasi pirit
(FeS2) dalam reaksi berikut:
1.
(s) + 3,5
+ 2
2 + 2
2.
+ 0,25
+ 0,5
3.
(s) + 14
+ 8
15
+ 2
+ 16
4.
+ 3 8
(s) + 3
Menurut Higgins dan Hard (2003) pada pH air yang cukup masam
bakteri-bakteri acidophilic yang merupakan pengoksidasi besi dan
sulfat yang dapat mempercepat proses oksidasi pirit akan tumbuh
pesat. Thiobacillus ferrooxidans merupakan salah satu contoh dari
bakteri tersebut.
Besi termasuk unsur yang esensial bagi makhluk hidup. Pada
tumbuhan, besi berperan dalam sistem enzim dan transfer elektron
12
pada proses fotosintesis. Kadar besi yang berlebihan selain dapat
mengakibatkan timbulnya warna merah juga mengakibatkan karat pada
peralatan yang terbuat dari logam. Kelarutan besi meningkat dengan
menurunnya pH (Effendi, 2003).
Kadar besi hanya ditemukan pada perairan yang bersifat anaerob,
akibat proses dekomposisi bahan organik yang berlebihan. Jadi, kadar
besi yang tinggi terdapat pada air yang bersuasana anaerob atau dari
lapisan dasar perairan yang sudah tidak mengandung oksigen. Kadar
besi pada perairan yang mendapat cukup aerasi (Aerob) hampir tidak
pernah melebihi dari 0,3 mg/liter (Rump, dan Krist, 1992).
II.4.3 Mangan (Mn)
Mangan (Mn) adalah kation logam yang memiliki karakteristik
kimia serupa dengan besi. Mangan berada dalam bentuk manganous
(Mn
2+
) dan manganic (Mn
4+
). Di dalam tanah, Mn
4+
berada dalam
bentuk senyawa mangan dioksida. Pada perairan dengan kondisi
anaerob akibat dekomposisi bahan organik dengan kadar yang tinggi,
Mn
4+
pada senyawa mangan di oksida mengalami reduksi menjadi
Mn
2+
yang bersifat larut (Effendi, 2003).
Kadar mangan pada perairan alami sekitar 0,2 mg/liter atau
kurang. Pada perairan asam dapat mengandung mangan sekitar 10
150 mg/liter, sedangkan pada air minum kadar mangan maksimum
sekitar 0,05 mg/liter (Moore, 1991).
II.4.4 Total Padatan Tersuspensi (Total Suspended Solid atau TSS)
Padatan Tersuspensi Total (Total Suspended Solid atau TSS)
adalah bahan-bahan tersuspensi ( diameter > 1m) yang tertahan pada
saringan Millipore dengan diameter pori 0,45 m. Total Suspended
Solid atau TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad jasad
renik, yang terutama disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah
yang terbawa ke badan air (Effendi, 2003).
13
Zat Padat Tersuspensi dapat bersifat organik dan anorganik. Zat
Padat Tersuspensi dapat diklasifikasikan sekali lagi menjadi antara
lain zat padat terapung yang selalu bersifat organis dan zat padat
terendap yang dapat bersifat organik dan anorganik. Jumlah padatan
tersuspensi dapat dihitung menggunakan gravimetri, padatan
tersuspensi akan mengurangi penetrasi sinar matahari ke dalam air
sehingga akan mempengaruhi regenerasi oksigen serta fotosintesis
(Misnani, 2010).
Material tersuspensi mempunyai efek yang kurang baik
terhadap kualitas badan air karena dapat menyebabkan menurunnya
kejernihan air sehingga mempengaruhi kemampuan ikan untuk melihat
dan menangkap makanan serta menghalangi sinar matahari masuk ke
dalam air. Endapan tersuspensi dapat juga menyumbat insang ikan dan
mencegah perkembangan telur. Kandungan TSS dalam badan air
sering menunjukan konsentrasi yang tinggi yang diakibatkan adanya
bakteri, nutrien, pestisida dan logam dalam air (Margareth, 2009).