Anda di halaman 1dari 72

Jurnal Permukiman ISSN : 1907 4352

Vol. 7 No. 1 April 2012




Jurnal Permukiman adalah majalah berkala yang memuat karya tulis ilmiah di bidang permukiman meliputi kawasan
perkotaan/ perdesaan, bangunan gedung yang berada di dalamnya, serta sarana dan prasarana yang mendukung
perikehidupan dan penghidupan. Diterbitkan sejak tahun 1985 dengan nama Jurnal Penelitian Permukiman dan
tahun 2006 berganti menjadi Jurnal Permukiman dengan frekuensi terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus
dan November.

Pelindung :
Penanggung Jawab :

Kepala Pusat Litbang Permukiman
Kepala Bidang Sumber Daya Kelitbangan

Mitra Bestari :

Prof. R. Dr. Ir. Bambang Subiyanto, M. Agr. (Bidang Bahan Bangunan, Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia)
Prof. Ir. Iswandi Imran, MASc. Ph. D. (Bidang Rekayasa Struktur, Institut Teknologi
Bandung)
Dr. Ir. Tri Padmi (Bidang Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung)
Ir. Indra Budiman Syamwil, MSc., Ph. D. (Bidang Arsitektur, Institut Teknologi
Bandung)

Dewan Penelaah Naskah :

Prof. R. Dr. Ir. Suprapto, MSc. FPE. (Bidang Teknik Struktur, Pusat Litbang
Permukiman)
Andriati Amir Husin, MSi. (Bidang Bahan Bangunan, Pusat Litbang Permukiman)
Ir. Nurhasanah Sutjahjo, M.M. (Bidang Teknologi dan Manajemen Lingkungan,
Pusat Litbang Permukiman)
Dr. Ir. Anita Firmanti, E.S., M.T. (Bidang Bahan Bangunan, Pusat Litbang
Permukiman)
Drs. Achmad Hidajat Effendi (Bidang Bahan Bangunan, Pusat Litbang Permukiman)
Ir. Silvia F. Herina, M.T. (Bidang Teknik Sipil, Pusat Litbang Permukiman)
Ir. Arief Sabaruddin, CES. (Bidang Perumahan dan Permukiman, Pusat Litbang
Permukiman)
Dra. Sri Astuti, MSA. (Bidang Bangunan Tapak, Pusat Litbang Permukiman)
Dr. Andreas Wibowo, S.T., M.T. (Bidang Struktur dan Konstruksi, Pusat Litbang
Permukiman)
Sarbidi, S.T., M.T. (Bidang Teknologi dan Manajemen Lingkungan, Pusat Litbang
Permukiman)
Lia Yulia Iriani, S.H. (Bidang Kebijakan Ilmu dan Teknologi, Pusat Litbang
Permukiman)

Redaksi Pelaksana :

Drs. Rudy Ridwan Effendi, M.T.
Dra. Roosdharmawati
Drs. Arif Sugiarto, M.M.
Nitnit Anitya, S.S.

Alamat Redaksi :

Pusat Litbang Permukiman, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum
Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan, Kabupaten Bandung 40393 P.O. Box 812
Bandung 40008
Tlp. 022-7798393 (4 saluran) Fax. 022-7798392 E-mail : info@puskim.pu.go.id

Akreditasi
Jurnal Permukiman ditetapkan sebagai Majalah Berkala Ilmiah : Terakreditasi B Nomor 299/AU2/P2MBI/08/2010
Berdasarkan Kutipan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor 754/D.2/2010 Tanggal 26 Agustus 2010









i
Jurnal Permukiman ISSN : 1907 4352
Vol. 7 No. 1 April 2012


Pengantar Redaksi

Segenap puji syukur kami panjatkan kehadirat-Nya karena redaksi dapat kembali menyajikan Jurnal
Permukiman edisi pertama pada tahun 2012. Dalam edisi kali ini, kami menampilkan tujuh tulisan
berkaitan dengan bahasan bahan bangunan alternatif, penyehatan lingkungan permukiman, serta
perumahan dan lingkungan.

Tulisan diawali dengan bahasan mengenai teknologi pembuatan bambu laminasi menggunakan kempa
dingin terutama bambu yang berbentuk pelupuh menggunakan perekat polyurethane oleh Dany Cahyadi,
Anita Firmanti, dan Bambang Subiyanto dalam judul Sifat Fisis dan Mekanis Bambu Laminasi Bahan
Berbentuk Pelupuh (Zephyr) dengan Penambahan Metanol sebagai Pengencer Perekat. Sedangkan hasil
pembakaran batubara, dimanfaatkan untuk membuat conblock dan paving block yang memenuhi SNI
dengan menggunakan peralatan semi masinal maupun full-machinal. Dan berdasarkan hasil analisis
pasar, bahwa unit produksi bahan bangunan yang dikembangkan sangat prospektif terutama bila
dikaitkan dengan kebutuhan pembangunan rumah dan jalan lingkungan. Analisis ini dilakukan oleh
Anita Firmanti, Aventi, Dany Cahyadi, Aan Sugiarto, Bambang Sugiarto, dan Bambang Subiyanto dalam
tulisan Analisis Pengembangan Unit Produksi Conblock dan Paving Block Berbasis Limbah Batubara
dalam Rangka Mendukung Pembangunan Rumah Murah.

Silvia F. Herina meneliti mengenai Pengaruh Kadar Kehalusan Butir terhadap Ketahanan Geser Tanah
Pasir Vulkanik. Hasil pengujian memperlihatkan bahwa pasir vulkanik mempunyai karakteristik geser
yang sama dengan pasir alluvial dan penambahannya tidak mempengaruhi kenaikan kuat gesernya,
bahkan dengan gradasi yang baik dapat meningkatkan kuat geser tanah.

Berkaitan dengan penyehatan lingkungan permukiman, dibahas oleh Sri Darwati dan Fitrijani Anggraini
tentang Peran Komunitas dalam Pengelolaan Sampah Berbasis Pola Kumpul Pilah terhadap Reduksi
Sampah Kota, serta Aryenti dan Sri Darwati tentang Peningkatan Fungsi Tempat Pengelolaan Sampah
Terpadu. Dalam tulisan pertama disimpulkan bahwa kunci keberhasilan dalam pola pilah kumpul olah
adalah perubahan perilaku masyarakat, serta adanya fasilitasi tokoh masyarakat dan pemerintah. Untuk
tulisan kedua, memfungsikan kembali TPST diperlukan adanya pendampingan masyarakat dalam
pengelolaan secara teknis, kelembagaan dan pendanaan, serta dukungan pemerintah terkait dengan
peningkatan sarana dan prasarana, legalitas kelembagaan dan teknis pengelolaan persampahan.

Karakteristik Ruang Tradisional pada Desa Adat Penglipuran, Bali dibahas oleh I Putu Agus Wira
Kasuma dan Iwan Suprijanto. Desa Adat Penglipuran memiliki tatanan pola ruang yang unik dan
merupakan juga warisan budaya yang harus dipertahankan. Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan
perkembangan kebutuhan pada saat ini, diperlukan adanya regulasi mengenai aturan tata ruang dan
teridentifikasinya karakteristik ruang tradisional Desa Adat Penglipuran sebagai landasan untuk
menyusun konsep tata ruang Desa Adat Penglipuran yang ideal.

Sebagai penutup adalah tulisan Heni Suhaeni mengenai Parameter untuk Menyusun Stratifikasi
Penghasilan. Parameter ini berguna untuk mengukur dan mempertimbangkan rencana pembangunan
perumahan dan penduduk yang menghuninya dan bertujuan dalam menentukan kelompok sasaran
subsidi perumahan.

Semoga tulisan yang kami sajikan bermanfaat. Selamat membaca.

Bandung, April 2012
Redaksi






ii
Jurnal Permukiman ISSN : 1907 4352
Vol. 7 No. 1 April 2012

Daftar Isi

Pengantar Redaksi i

Daftar Isi

ii

Sifat Fisis dan Mekanis Bambu Laminasi Bahan Berbentuk Pelupuh (Zephyr) dengan
Penambahan Metanol sebagai Pengencer Perekat - Physical and Mechanical Properties of
Zephyr-Shaped Laminated Bamboo with Addition of Methanol as Adhesives Diluents
Dany Cahyadi, Anita Firmanti, Bambang Subiyanto



1-4

Analisis Pengembangan Unit Produksi Conblock dan Paving Block Berbasis Limbah Dalam
Rangka Mendukung Pembangunan Rumah Murah - Analysis on the Development of
Production Unit of Conblock and Paving Block Using Waste from Burnt Coal to Support the
Supply of Low-Cost Housing
Anita Firmanti, Aventi, Dany Cahyadi, Aan Sugiarto, Bambang Sugiharto, Bambang Subiyanto




5-12

Pengaruh Kadar Kehalusan Butir terhadap Ketahanan Geser Tanah Pasir Vulkanik - Effect
of Fine Soils Content of the Volcanic Sand Shear Resistance
Silvia F. Herina


13-23

Peran Komunitas Dalam Pengelolaan Sampah Berbasis Pola Pilah Kumpul Olah terhadap
Reduksi Sampah Kota - The Role of Community in Solid Waste Management Based on Pattern
Sorting, Collecting and Treating to Reduce City Waste
Sri Darwati, Fitrijani Anggraini



24-32

Peningkatan Fungsi Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu - Improved Function Place of
Integrated Waste Management
Aryenti, Sri Darwati


33-39

Karakteristik Ruang Tradisional pada Desa Adat Penglipuran, Bali - Characteristic of
Traditional Space in the Traditional Village of Penglipuran, Bali
I Putu Agus Wira Kasuma, Iwan Suprijanto

Parameter untuk Menyusun Stratifikasi Penghasilan, Studi Kasus : Kecamatan Ngampilan
Kota Yogyakarta - Parameter for Stratified Incomes, Case Study of Ngampilan Sub-Dustrict,
Yogyakarta City
Heni Suhaeni

Katalog dan Abstrak

Indeks Subjek




40-50




51-57


58-61

62




Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 1-4
1
SIFAT FISIS DAN MEKANIS BAMBU LAMINASI BAHAN BERBENTUK PELUPUH
(ZEPHYR) DENGAN PENAMBAHAN METANOL SEBAGAI PENGENCER PEREKAT
Physical and Mechanical Properties of Zephyr-Shaped Laminated Bamboo
with Addition of Methanol as Adhesive Diluents

1
Dany Cahyadi,
2
Anita Firmanti,
3
Bambang Subiyanto
1, 2
Pusat Litbang Permukiman, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum
Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan - Kabupaten Bandung 40393
3
Pusat Inovasi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Jl. Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta Selatan
E-mail : danycahyadi@puskim.pu.go.id
E-mail : anitafirman150660@gmail.com
E-mail : subyanto@cbn.net.id
Diterima : 16 November 2011 ; Disetujui : 13 Maret 2012
Abstrak
Penelitian bambu laminasi dengan menggunakan bahan berbentuk pelupuh (zephyr) dengan menggunakan
perekat thermosetting yang artinya menggunakan kempa panas telah banyak dilakukan. Tetapi teknologi
pembuatan bambu laminasi dengan menggunakan kempa dingin belum banyak dilakukan terutama
berbahan baku bambu berbentuk pelupuh dengan menggunakan perekat poly urethane. Salah satu masalah
penggunaan perekat ini adalah kekentalannya yang cukup tinggi sehingga menyulitkan pada proses
pelaburan perekat pada bambu. Untuk mengatasi hal tersebut, dilakukan penelitian pembuatan bambu
laminasi berbahan bambu berbentuk pelupuh yang dalam proses pembuatannya menggunakan perekat
water based polymer-isocyanate (Koyobond) yang diencerkan dengan metanol. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui pengaruh penambahan metanol terhadap sifat fisis dan mekanis bambu laminasi berbahan
bambu berbentuk pelupuh. Dalam pembuatan panel bambu komposit dengan ukuran 85 cm x 40 cm x 5 cm
dengan variasi berat labur 150 g/m2, 200 g/m2, dan 250 g/m2, serta variasi kadar metanol 1%, 3%, dan 5%
dari berat perekat. Kemudian dilakukan pengujian sifat fisis dan mekanis. Hasil pengujian menunjukkan
bahwa penambahan metanol dapat menurunkan penyerapan air dan pengembangan tebal, dan dapat
meningkatkan sifat mekanisnya.
Kata Kunci : Bambu laminasi, kempa dingin, pelupuh, polyurethane, metanol
Abstract
The Research on zephyr-shaped laminated bamboo with thermosetting adhesives has been widely conducted.
But laminated bamboo technology with cold press has not been widely conducted especially made from
zephyr-shaped bamboo using polyurethane adhesive. Problem occurred using this adhesive that it has a very
high viscosity, making it hard on the process of resurfacing the adhesive on the bamboo. To overcome this,
the research carried out making laminated bamboo made from zephyr-shaped bamboo which in the
manufacturing process uses water based polymer-isocyanate adhesive (Koyobond) diluted with methanol.
The purpose of this study is to determine the effect of addition of methanol to the physical and mechanical
properties of laminated bamboo from zephyr-shaped bamboo. In the manufacture of bamboo composite
panels with a size 85 cm x 40 cm x 5 cm with a variation of adhesive weight surfacing 150 g/m2, 200 g/m2
and 250 g/m2, and the variation of methanol content of 1%, 3%, and 5% by weight adhesives. Then do the
physical and mechanical properties testing. Test results showed that the addition of methanol may decrease
the absorption of water and the thickness swelling, and it can improve the mechanical properties.
Keywords : Laminated bamboo, cold press, zephyr-shaped, polyurethane, methanol
PENDAHULUAN
Saat ini kayu yang berkualitas semakin sulit
diperoleh di pasaran, sehingga perlu dicari bahan
baku alternatif lain sebagai penggantinya. Bambu
adalah salah satu jenis tanaman yang dapat
digunakan, karena selain mempunyai masa panen
hanya 3 sampai 5 tahun, potensinya cukup besar di
beberapa daerah dan bersifat renewable resources
serta sangat sesuai dengan kebutuhan industri.
Beberapa aspek sifat bambu lebih baik daripada
kayu, tetapi bambu memiliki kekurangan untuk
digunakan sebagai bahan konstruksi secara
langsung (Firmanti, 1996). Kemajuan teknologi
saat ini memungkinkan untuk dapat mengolah
bahan bambu menjadi balok mirip kayu dengan
kekuatan yang tinggi.
Sifat Fisis dan Mekanis (Dany C., Anita F., Bambang S.)
2
Hasil penelitian sebelumnya (Tim Peneliti, 2007)
menunjukkan bahwa dengan menggunakan
perekat resin (cara pres panas atau dingin) atau
semen, dapat dihasilkan suatu suatu bahan
bangunan komposit yang mempunyai kekuatan
tinggi sehingga dapat menandingi kekuatan kayu.
Disamping itu Subiyanto dkk (1995) menyatakan
bahwa dengan menggunakan perekat fenol
formaldehid dan proses kempa panas
menunjukkan bahwa komposit bambu dapat
menggantikan kayu karena dapat dibentuk
menjadi balok. Sejalan dengan kondisi pemanasan
global dan perhatian yang tinggi tentang
lingkungan maka perlu upaya untuk menghemat
penggunaan energi serta adanya larangan
penggunaan bahan yang emisi formaldehidanya
tinggi. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian
pembuatan bambu komposit dengan menggunakan
perekat yang tidak mengeluarkan emisi gas
formaldehida. Salah datu perekat yang tidak
mengeluarkan gas emisi dan menggunakan kempa
dingin adalah perekat polymer-isocyanate.
Kelemahan perekat ini dalam aplikasinya untuk
pembuatan bambu komposit adalah kekentalannya
yang tinggi sehingga menyulitkan pelaburannya
pada bambu berbentuk pelupuh. Oleh karena itu,
pada penelitian ini digunakan pengencer metanol
untuk meningkatkan kinerja produk yang
dihasilkan. Penggunaan pengencer metanol
didasarkan pada asumsi bahwa metanol tidak
bereaksi dengan komponen kimia utama perekat
serta dapat menguap pada waktu setelah proses
pengempaan (conditioning). Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui sifat fisis dan mekanis
bambu laminasi sistem pelupuh dengan
menggunakan perekat yang diencerkan dengan
metanol.
BAHAN DAN METODE
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
bambu tali segar dibelah dan dibuat pelupuh
(zephyr) dengan menggunakan mesin bamboo
crusher. Bambu berbentuk pelupuh kemudian
dikeringkan dengan pengeringan alami sampai
mencapai kadar air 20%. Bambu pelupuh yang
kering kemudian dimasukkan dalam mesin glue
spreader untuk mencampurkan perekat. Perekat
yang digunakan adalah perekat water based
polymer-isocyanate merk Koyobond dengan
penambahan hardener sebesar 15% dari perekat.
Berat labur perekat divariasikan dari 150, 200, dan
250 g/m
2
. Untuk pengencerannya dalam perekat
ditambahkan metanol yang divariasikan dari 1, 3
dan 5% dari berat perekat. Panel bambu komposit
dibuat dengan ukuran 85 cm x 40cm x 5 cm. Target
kerapatan panel adalah 0,7 g/cm
3
. Pelupuh yang
sudah dicampur perekat disusun secara sejajar
serat untuk semua lapisan, kemudian dimasukkan
ke dalam kempa dingin dengan kiri kanannya
diberi pengganjal setebal 5 cm, kemudian dikempa
dengan tekanan 30 kgf/cm
2
selama 10 menit dan
diklem selama 24 jam. Bambu laminasi
dikeluarkan dari klem dan dikondisioning selama 2
minggu kemudian di uji sifat fisis dan mekanisnya.
Sifat fisis yang diuji adalah kerapatan, kadar air,
penyerapan air dan pengembangan tebal
berdasarkan SNI 03-2105-2006 tentang papan
partikel. Sedangkan untuk sifat mekanis yang diuji
adalah kuat lentur berdasarkan SNI 03-3959-1995
tentang metode pengujian kuat lentur kayu di
laboratorium, kuat rekat dan kuat cabut sekrup
berdasarkan SNI 03-2105-2006 tentang papan
partikel. Untuk analisis data, pada semua contoh uji
dilakukan pula pengujian kerapatan dan hasil yang
diperoleh diekstrapolasikan terhadap kerapatan
target.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari target kerapatan 0,7 g/cm
3
diperoleh
kerapatan bambu komposit lebih rendah dan atau
sama dengan target kerapatan yaitu berkisar
antara 0,6-0,7 g/cm
3
. Sedangkan dari hasil
pengujian kadar air pada balok bambu komposit
terlihat bahwa pada semua perlakuan berat labur
dan kadar metanol, hasil uji kadar air berkisar
antara 10 14 %, hal ini menunjukkan bahwa
kadar bambu komposit yang dihasilkan memiliki
kadar air dibawah 15% sehingga masih memenuhi
persyaratan teknis sebagai bahan struktural untuk
dilakukan pengujian sifat fisis dan mekanis lainnya
(RSNI 3, 2002 (PKKI NI-5)).
Berat labur perekat dan kadar metanol
mempengaruhi daya serap air bahan komposit
yang dibuat sebagaimana terlihat pada gambar 1.
Semakin tinggi berat labur menunjukkan semakin
rendah daya serap air. Begitu pula semakin tinggi
kadar metanol semakin rendah daya serap air. Hal
tersebut dapat dimengerti karena dengan semakin
banyaknya perekat yang menutupi bagian bambu
maka semakin kedap komposit yang dibuat.
Semakin tinggi kadar metanol semakin encer
perekat sehingga semakin mudah diserap oleh
bambu. Semakin rendah daya serap air
menunjukkan semakin baik perekat untuk masuk
ke dalam serat bambu.
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 1-4
3


Gambar 1 Hasil Pengujian Penyerapan Air (A) dan
Pengembangan Tebal (B)
Begitu pula yang terjadi pada pengujian
pengembangan tebal, pada gambar 1 terlihat
semakin tinggi berat labur dan kadar metanol
maka semakin rendah pengembangan tebal yang
terjadi pada bambu komposit.
Hasil pengujian modulus elastisitas lentur (MOE)
dan kuat lentur patah (MOR) pada balok bambu
komposit masing-masing dapat dilihat pada
gambar 2 dan 3. Dari gambar terlihat dengan
bertambahnya berat labur serta penambahan
metanol dapat meningkatkan modulus elastisitas
lentur (MOE) dan kuat lentur patah (MOR) pada
balok bambu komposit. Modulus elastisitas lentur
(MOE) maksimum yang dicapai yaitu sebesar
80.000 kgf/cm
2
pada variasi campuran berat labur
250 g/m
2
dan kadar metanol 5%. Nilai MOE
minimum yang dipersyaratkan dalam standar tata
cara perencanaan konstruksi kayu Indonesia (RSNI
3, 2002) untuk kuat acuan E10 adalah sebesar
90.000 kgf/cm
2
. Sedangkan untuk kuat lentur
patah (MOR) sebesar 404 kgf/cm
2
pada variasi
campuran berat labur 250 g/m
2
dan kadar metanol
5% telah memenuhi syarat MOR untuk kayu
bangunan kuat acuan E17 yaitu sebesar 380
kgf/cm
2
. MOE dan MOR balok bambu komposit
masih lebih baik dari penelitian sebelumnya,
penelitian bambu paralam dengan cara celup dan
berat labur 26% menghasilkan nilai MOE sebesar
15.723 kgf/cm
2
dan nilai MOR sebesar 364,784
kgf/cm
2
(Nurliana, 2007).

Gambar 2 Hasil Pengujian Keteguhan Lentur (MOE)

Gambar 3 Hasil Pengujian Keteguhan Lentur Patah (MOR)
Hasil pengujian kuat rekat balok bambu komposit
dapat dilihat pada gambar 4. Dari gambar ini
terlihat bahwa semakin banyak kadar metanol
semakin tinggi kuat rekatnya, tetapi nilai kuat
rekat maksimumnya sebesar 1,5 kgf/cm
2
, dimana
nilai ini masih berada di bawah persyaratan teknis
yang mensyaratkan kuat rekat minimun sebesar
3,1 kgf/cm
2
(SNI 03-2105-2006). Kerusakan yang
terjadi pada benda uji saat di tarik paling banyak
terjadi pada bagian daging dari bambu, sedangkan
bagian rekatan antar lapisan bambu masih kuat.
Hal ini menunjukkan bahwa berat labur diterapkan
pada penelitian ini masih kurang karena luas
permukaan bambu berbentuk pelupuh lebih luas
dari pada permukaan bambu yang berbentuk bilah.

Gambar 4 Hasil Pengujian Kuat Rekat (Internal Bond)
Dari hasil pengujian kuat cabut sekrup terlihat
bahwa kuat cabut sekrup sejajar serat lebih kuat
A
B
Sifat Fisis dan Mekanis (Dany C., Anita F., Bambang S.)
4
dari pada kuat cabut sekrup tegak lurus serat
seperti yang disajikan pada masing-masing gambar
5 dan 6. Kuat cabut sekrup maksimum sebesar 150
kgf dengan berat labur 200 g/m
2
dan kadar
metanol 5%.

Gambar 5 Hasil Pengujian Kuat Cabut Sekrup Tegak Lurus
Serat

Gambar 6 Hasil Pengujian Kuat Cabut Sekrup Sejajar Serat
KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa penambahan metanol
sebagai pengencer perekat dapat meningkatkan
sifat fisis dan sifat mekanis bambu laminasi dengan
bahan baku bambu berbentuk pelupuh (zephyr).
Semakin tinggi kadar metanol yang ditambahkan
maka semakin rendah daya serap air dan
pengembangan tebal bambu laminasi.
Pada sifat mekanis, kuat lentur maksimum yang
dicapai yaitu sebesar 80.000 kgf/cm
2
pada variasi
campuran berat labur 250 g/m
2
dan kadar metanol
5%, kuat rekat maksimum yang tercatat sebesar
1,5 kgf/cm
2
masih berada di bawah persyaratan
teknis yang mensyaratkan kuat rekat minimum
sebesar 3,1 kgf/cm
2
, kuat cabut sekrup maksimum
sebesar 150 kgf dimana kuat cabut sekrup sejajar
serat lebih kuat dari pada kuat cabut sekrup tegak
lurus serat.
Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk
meningkatkan sifat mekanis bambu komposit
dengan meningkatkan jumlah berat labur perekat.
DAFTAR PUSTAKA
Felix Yap, K. H., 1979, Bambu sebagai Bahan
Bangunan, Direktorat Penyelidikan Masalah
Bangunan, Bandung.
Firmanti A., 1996. Pengawetan dengan Metode
Gravitasi. Jurnal Penelitian Permukiman Vol.
XII. Bandung.
Nurliana, 2007. Sifat Fisis dan Mekanis Parallam
dan Bambu Lapis dari Bambu Tali
(Gigantochtoa apus (BI.ex Schult.f.) Kurz)
dengan Menggunakan Perekat Koyobond.
Skripsi, Universitas Winaya Mukti, Jatinangor.
Subiyanto, Bambang dan Subyakto. Teknologi
Pembuatan Bambu Komposit sebagai
Pengganti Kayu. Prosiding Seminar Teknik
Kimia Energi & Lingkungan, Surabaya 13
Nopember 1995.
Subiyanto, Bambang, Kurnia Damayanti, Sudijono,
Mohamad Gopar. Sifat Fisis dan Mekanis
Bambu Tali (Gigantochloa apus Kurz) Setelah
Diberi Perlakuan Rendaman. Prosiding
Seminar Nasional III Masyarakat Peneliti Kayu
Indonesia, Jatinangor. 23-22 Agustus 2000.
Subyakto, Bambang Subiyanto, Sudijono, Yanni
Sudiyani, Wahyu Dwianto, dan Mohamad
Gopar. Pengembangan Papan Bambu
Komposit. Prosiding Seminar Ilmiah Hasil-
hasil Penelitian Puslitbang Fisika Terapan -
LIPI. Serpong 4-5 Mei 1993.
Tim Peneliti, 2007. Inovasi Teknologi Bambu dan
Kayu Cepat Tumbuh sebagai Bahan Bangunan
Alternatif untuk Mendukung Pembangunan
Perumahan. Laporan Akhir, Pusat Litbang
Permukiman, Bandung.
-------. 2002. Tata Cara Perencanaan Konstruksi
Kayu Indonesia (PKKI NI-5). RSNI-3. Badan
Standardisasi Nasional, Jakarta.
-------. 2006. Papan Partikel. SNI 03-2105-2006.
Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 5-12
5
ANALISIS PENGEMBANGAN UNIT PRODUKSI CONBLOCK DAN PAVING BLOCK
BERBASIS LIMBAH BATUBARA DALAM RANGKA MENDUKUNG
PEMBANGUNAN RUMAH MURAH
Development of Production Unit of Conblock and Paving Block
Using Waste from Burnt Coal to Support the Supply of Low-Cost Housing


1
Anita Firmanti,
2
Aventi,
3
Dany Cahyadi,
4
Aan Sugiarto,
5
Bambang Sugiharto,
6
Bambang Subiyanto
1, 2, 3, 4, 5
Pusat Litbang Permukiman, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum
Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan-Kabupaten Bandung 40393
6
Pusat Inovasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Jl. Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta Selatan
E-mail : danycahyadi@puskim.pu.go.id
2
E-mail : aventi_kusuma@yahoo.co.id
3
E-mail : anitafirman150660@gmail.com
4
E-mail : aansugiarto@telkom.net
5
E-mail : bambangbob@gmail.com
6
E-mail : subyanto@cbn.net.id
Diterima : 24 Februari 2012 ; Disetujui : 22 Maret 2012
Abstrak
Fly-ash dan bottom ash yang merupakan hasil samping (by-product) pada pembakaran batubara untuk
energi dapat dimanfaatkan untuk conblock maupun paving block yang memenuhi SNI. Selain dilakukan
validasi terhadap kualitas produk yang dihasilkan, untuk mengetahui kelayakan juga dilakukan analisis
pasar, analisis keekonomian dan finansial serta dilakukan analisis lingkungan pengembangan conblock dan
paving block yang diproduksi dengan peralatan semi masinal maupun full-machinal. Hasil analisis pasar
menunjukkan bahwa unit produksi bahan bangunan yang dikembangkan sangat prospektif terutama bila
dikaitkan dengan kebutuhan pembangunan rumah dan jalan lingkungan. Berdasarkan analisis NPV, IRR,
BEP dan PI diketahui bahwa unit produksi bahan bangunan yang dikembangkan terutama yang dengan full-
machinal sangat menguntungkan. Hasil analisis lingkungan menunjukkan bahwa beton/bata fly-ash atau
bottom ash tidak berbahaya yang didukung pula dari nilai uji TCLP yang menunjukkan nilai terlarut di
bawah baku mutu yang disyaratkan.
Kata Kunci : Conblock, paving block, fly-ash, bottom ash, feasibility study
Abstract
Fly-ash and bottom ash as by product of fired coal in industry could be utilized as concrete block and paving
block that comform to Indonesian National Standard (SNI). Beside validation of the product to the previous
research, the feasibility study on the development of conblock and paving block with semi-machinal and full-
machinal have been conducted through market analysis, economy and financial analysis as well as
environmental analysis. Based on the market analysis, the data showed that development of building
materials using fly-ash or bottom ash in related to housing and road development is a prospective project.
The NPV, IRR, BEP and PI analysis gave a figure that such developed unit is beneficial especialy the one using
full-machinal production system. Environmental analysis showed that concrete block or brick made of fly-ash
or bottom ash is classified as non-hazardous material supported by the data of TCLP.
Keywords : Concrete block, paving block, fly-ash, bottom-ash, feasibility study
PENDAHULUAN
Melalui berbagai kebijakan yang dilatarbelakangi
semakin menipisnya ketersediaan bahan bakar
minyak, pemerintah memberikan dorongan untuk
menggantikan bahan bakar minyak menjadi bahan
bakar batubara pada industri. Pada tahun 2005
penggunaan batubara sebagai bahan energi pada
PLTU saja mencapai 25,13 juta ton dan secara
keseluruhan mencapai 35,34 juta ton (Puslitbang
Tekmira, 2006). Kontribusi batubara untuk energi
listrik dan energi campur menurut Suryatono
(2004) diperkirakan akan terus meningkat dan
pada tahun 2015 diperkirakan mencapai 57 juta
ton untuk energi listrik dan 70 juta ton untuk
energi campur. Pembakaran batu bara untuk
energi menghasilkan limbah yang dikenal sebagai
fly-ash dan bottom-ash. Pemanfaatan fly-ash yang
Analisis Pengembangan Unit (Anita F., Aventi, Dany C., Aan S., B. Sugiharto, B. Subiyanto.)
6
merupakan limbah sebagai bahan bangunan akan
dapat mengurangi pemanfaatan sumberdaya alam
secara berlebihan dan juga menghemat
penggunaan energi. Penggunaan 25% fly-ash untuk
campuran semen dapat menghemat energi
sebanyak 20% sedangkan bahan pozolan kapur
menghemat energi hingga 75% (Jha & Prasad,
2011). Di PT PLN Tanjung Jati B saat ini dihasilkan
tidak kurang dari 40.000 ton fly-ash dan bottom-
ash dan akan meningkat secara signifikan dalam
waktu tidak terlalu lama. Limbah berupa fly-ash
dan bottom-ash tersebut apabila tidak
dimanfaatkan akan menumpuk dan dapat
mencemari lingkungan (Pusat Litbang
Permukiman, 2010).
Di sisi lain, berbagai studi telah dilakukan untuk
memanfaatkan fly-ash maupun bottom-ash sebagai
bahan bangunan. Pusat Litbang Permukiman telah
memulai pemanfaatan fly-ash sebagai bahan
bangunan sejak tahun 1987. Hasil-hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa fly-ash dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pozolan yang dapat
dicampur dengan semen dan agregat dalam
pembuatan komponen bangunan seperti bata
beton dan produk lain maupun sebagai bahan
campuran semen. Secara teknis-teknologis
pemanfaatan fly-ash sebagai bahan bangunan tidak
terlalu rumit dan dapat dilakukan oleh industri
besar maupun kecil. Dikaitkan dengan kebutuhan
rumah yang sangat besar saat ini dimana menurut
BPS back-log pembangunan rumah mencapai 11,2
juta unit pada tahun 2011 dan kebutuhan rumah
per tahun tidak kurang dari 800 ribu unit, maka
upaya pemanfaatan fly-ash sebagai bahan
bangunan akan dapat mendukung upaya
penghematan sumberdaya alam yang besar.
Namun, dalam PP Nomor 85 Tahun 1999 tentang
limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), fly-ash
dan bottom-ash masuk dalam kategori limbah B3
karena mengandung oksida logam berat yang akan
mengalami pelindihan secara alami dan mencemari
lingkungan (PP Nomor 85 tahun 1999).
Dengan adanya jumlah limbah pembakaran
batubara berupa fly-ash dan bottom-ash yang
cukup besar yang dapat dimanfaatkan sebagai
bahan bangunan sementara kebutuhan
pembangunan rumah sangat tinggi, maka
diperlukan adanya kajian teknis-ekonomis serta
lingkungan di daerah sekitar pembangkit listrik
yang menggunakan batubara sebagai bahan
bakarnya. Untuk memberikan gambaran yang lebih
komprehensif maka kajian ini difokuskan untuk
daerah di sekitar PLN Tanjung Jati B-Jepara.
Kegiatan pengkajian ini meliputi validasi teknis
teknologis, keekonomian, pembiayaan juga analisis
terhadap lingkungan. Hasil validasi teknis berupa
hasil uji kuat tekan conblock yang dikembangkan
dengan menggunakan komposisi campuran 1:6, 1:8
dan 1:10 masuk dalam klasifikasi conblock kelas II,
III dan IV secara berurutan (SNI 03-0349-1989).
Sedangkan hasil uji paving block dengan komposisi
1:3, 1:4 dan 1:5 masuk dalam kategori B, C dan D
(SNI 03-0691-1996). Pada penelitian ini nilai pada
perbandingan nilai 1 merupakan jumlah semen
dengan variasi agregat yang terdiri atas campuran
pasir dan fly-ash dan bottom-ash (Pusat Litbang
Permukiman, 2011). Berdasarkan hasil validasi
teknis di atas yang telah memenuhi standar, maka
dilanjutkan kajiannya untuk validasi ekonomisnya.
Oleh karena itu pada karya tulis ini pembahasan
dititikberatkan pada analisis keekonomian dan
lingkungan. Tujuan pengkajian ini adalah untuk
mengetahui kemanfaatan teknis-ekonomis
termasuk dampak lingkungan dari pemanfaatan
fly-ash sebagai bahan bangunan,
METODE PENGKAJIAN
Sebagaimana diuraikan di atas bahwa unit
produksi bahan bangunan berbasis fly-ash yang
dikembangkan memanfaatkan bahan baku dari PT.
PLN Tanjung Jati B di Jepara, data yang diperlukan
pada kajian ini didapatkan dengan melakukan
survei di Kabupaten Jepara. Dengan ketentuan
bahwa perhitungan pemasaran dibatasi hingga 80
km dari Kabupaten Jepara.
Analisis Pasar
Dalam pengembangan bahan bangunan, diperlukan
data perkiraan kebutuhan bangunan di lokasi
studi. Untuk memperkirakan kebutuhan bahan
bangunan dilakukan survei di daerah sekitar
Jepara. Data dikumpulkan melalui pengumpulan
data sekunder dari buku Jawa Tengah Dalam
Angka Tahun 2010, data yang diambil adalah
jumlah rumah tangga dan jumlah rumah yang
terbangun.
Untuk setiap kabupaten/kota berdasarkan data
statistik yang ada, kebutuhan rumah dihitung
berdasarkan jumlah rumah tangga dikurangi
jumlah rumah. Perhitungan kebutuhan dalam
jangka panjang dihitung berdasarkan akumulasi
angka pertumbuhan penduduk di berbagai
kota/kabupaten yang berjarak kurang dari 80 km
dari Jepara.
Selain dilakukan analisis perkiraan kebutuhan
rumah, untuk mendapatkan gambaran kompetitor
produk yang akan dikembangkan dilakukan
pengambilan contoh produk berupa conblock dan
paving block yang sudah ada di pasaran di setiap
kota/kabupaten. Lokasi pengambilan contoh
ditentukan berdasarkan data dari perindustrian
yang dilengkapi dengan pertimbangan wilayah
tengah, bagian utara, selatan, barat dan timur. Pada
setiap lokasi diambil produk sebanyak 3 buah
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 5-12
7
produk berupa conblock dan paving block secara
acak dan dilakukan pengujian kuat tekan di
laboratorium. Disamping itu dilakukan pula survei
untuk pengumpulan data harga, jumlah produksi,
asal bahan baku.
Analisis Keekonomian
Kelayakan ekonomi pengembangan bahan
bangunan lokal berbasis fly-ash mencakup
penyusunan anggaran investasi, struktur dan
sumber pembiayaan proyek yang akan dibangun,
perkiraan jumlah standar biaya produksi,
kemampuan proyek menghasilkan keuntungan dan
analisis break event point. Hasil dari analisis
kelayakan ekonomi selanjutnya diujicobakan untuk
unit produksi semi masinal dan full-machinal.
Untuk melengkapi, analisis juga dilakukan bila
dukungan finansial yang akan dikembangkan
menggunakan model koperasi atau Kelompok
Usaha Bersama dari industri bahan bangunan yang
diaplikasikan secara konvensional pada
pembangunan rumah bagi masyarakat
berpenghasilan menengah ke bawah. Metode
untuk mengetahui apakah pengembangan bahan
bangunan dari fly-ash ini menguntungkan atau
tidak digunakan metode discounted cash-flow
dimana nilai waktu uang diperhatikan dengan
menghitung (Sutojo, 2000) :
1. Net present value (NPV);
2. Internal rate of return (IRR);
3. Profitability index (PI).
Dari nilai NPV, IRR dan PI dapat ditentukan apakah
suatu proyek sebaiknya dilaksanakan atau tidak.
Proyek tidak layak bila memiliki nilai NPV negatif,
IRR lebih kecil daripada tingkat bunga pinjaman
dan PI lebih kecil daripada 1 (Haming dan
Basalamah, 2010). Dalam analisis kelayakan
proyek perlu dilakukan perhitungan break event
point (BEP) untuk mengetahui mulai kapan proyek
mencapai suatu kondisi tidak merugikan sekaligus
tidak menguntungkan.
Analisis Lingkungan
Mengingat bahwa limbah batubara dikategorikan
sebagai limbah B3 maka dilakukan pula uji Toxicity
Characteristic Leaching Procedure (TCLP). Kajian
lingkungan dilengkapi kajian literatur peraturan
tentang penggunaan fly-ash pada bangunan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan kajian dari peta Jawa Tengah maka
kota-kota yang terpilih untuk lokasi studi ini
adalah Kabupaten Jepara, Kabupaten Demak,
Kabupaten Kudus, Kabupaten Pati, Kabupaten
Semarang, dan Kabupaten Rembang.
Prospek Pemasaran Produk
Dalam membangun rumah, kebutuhan akan bahan
bangunan menempati biaya yang tertinggi dari
biaya konstruksi. Berdasarkan data hasil studi
diketahui bahwa di negara berkembang biaya
untuk bahan bangunan menempati tidak kurang
dari 70% biaya konstruksi rumah tinggal dengan
bagian terbesarnya untuk dinding (Turin, 1969).
Dari berbagai studi terdahulu diketahui bahwa
masyarakat pada umumnya masih menyukai
konstruksi pasangan (masonry building) terutama
dengan bata merah dibandingkan dengan
konstruksi lainnya karena faktor sosial budaya
(Ministry of Construction Japan, 1988). Mengingat
bahan untuk pembuatan bata adalah tanah liat
yang merupakan bahan alam yang tidak dapat
diperbaharui (non-renewable material) serta
dengan kebutuhan pembangunan yang terus
meningkat, maka ketersediaan bahan baku untuk
pembuatan bata merah terus berkurang sehingga
harga bata merah semakin mahal.
Bata beton (conblock) merupakan bata yang
terbuat dari campuran semen dan pasir yang
penggunaannya dapat menggantikan bata merah.
Analisis yang dilakukan oleh Pusat Litbang
Permukiman pada awal-awal pengembangan
conblock di Indonesia untuk pembangunan rumah
Perum Perumnas diketahui bahwa harga dinding
dengan conblock lebih ekonomis dibandingkan
dengan dinding bata merah (Direktorat
Penyelidikan Masalah Bangunan, 1987). Untuk
dapat mengetahui kebutuhan conblock di masa-
masa mendatang telah dilakukan analisis
berdasarkan data yang tertera dalam Buku Daerah
Dalam Angka Pemerintah Propinsi Jawa Tengah
(2011). Data statistik jumlah rumah tangga di
Kabupaten dan Kota sekitar Jepara dapat dilihat
pada tabel 1. Kabupaten dan kota-kota yang ada di
sekitar Jepara dapat dikatakan hampir merata
jumlah rumah tangganya kecuali Kabupaten
Semarang dan Kabupaten Pati.
Tabel 1 Jumlah Rumah Tangga di Wilayah Jepara dan
Sekitarnya
Kabupaten
Tahun
2007 2008 2009
Jepara 274624 275937 285516
Kendal 248698 254781 264067
Semarang 352929 373920 413806
Kudus 182466 183672 185400
Pati 334182 341002 347961
Rembang 156412 159151 162057
Total 1549311 1588463 1658807
Sumber : Jawa Tengah Dalam Angka (2011)
Untuk memperkirakan jumlah kebutuhan bahan
dinding untuk pembangunan rumah di masa
mendatang, berdasarkan jumlah rumah tangga di
atas dan dibandingkan dengan rumah yang sudah
ada, dilakukan analisis regresi dengan hasil
sebagaimana terlihat pada gambar 1. Dari gambar
1 tersebut terlihat bahwa prediksi jumlah rumah
tangga di kota/kabupaten sekitar Jepara
Analisis Pengembangan Unit (Anita F., Aventi, Dany C., Aan S., B. Sugiharto, B. Subiyanto.)
8
berkembang mengikuti trend kwadratik daripada
linear dengan memperhatikan nilai koefisien
determinasi yang lebih tinggi yaitu r
2
= 1.
Diperkirakan pada tahun 2014 mendatang jumlah
rumah yang harus dibangun sebesar 852.116 unit.
Bila diperkirakan rumah yang dibangun adalah
rumah sederhana tipe 36 (sebagaimana amanat
Undang-undang Perumahan dan Kawasan
Permukiman Nomor 1 tahun 2011) dan dari
jumlah rumah yang dibangun 20 % menggunakan
conblock, maka pada tahun 2014 potensi pasar
yang ada sebesar 272.677.120 buah.
Untuk paving block, perhitungan kebutuhan
didasarkan pada panjang jalan lingkungan yang
ada.
y = 20735x + 370717
R = 0,972
y = 6098,8x
2
- 3660,6x + 391046
R = 1
385000
390000
395000
400000
405000
410000
415000
420000
425000
430000
435000
440000
0 1 2 3 4
J
u
m
l
a
h

R
u
m
a
h

T
a
n
g
g
a

Tahun
Gambar 1 Jumlah Rumah yang Harus Dibangun di Kabupaten
Sekitar Jepara
Pembangunan jalan lingkungan di perkotaan
sebagian besar menggunakan paving block karena
jalan dengan paving block lebih ramah lingkungan
dibandingkan dengan jalan beraspal. Pada jalan
lingkungan yang menggunakan paving block air
hujan masih dapat meresap ke dalam tanah
sehingga surface run-off dapat dikurangi.
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka
diasumsikan bahwa 50 % trotoar jalan kota selebar
2 m dibangun dengan menggunakan paving block
maka kebutuhan paving block secara keseluruhan
adalah :
Jumlah luasan jalan yang potensial menggunakan
paving block =
0,5 x 3.606.810 x 2 = 3.606.810 m
2

Jumlah kebutuhan paving block =
3.606.810 x 28 = 100.990.680 buah
Tabel 2 Panjang Jalan Lingkungan di Kabupaten Sekitar
Jepara
No Kabupaten/Kota Panjang jalan (km)
1 Jepara 740,38
2 Demak 426,51
3 Semarang 638,52
4 Kudus 482,38
5 Pati 542,90
6 Rembang 776,12
Total 3606,81
Sumber : Jawa Tengah Dalam Angka (2011)
Kompetitor dari Produk yang Akan
Dikembangkan
Untuk mengetahui kompetitor dari produk yang
dikembangkan telah dilakukan survei terhadap
kinerja conblock dan paving block di Jepara dan
sekitarnya. Hasil pengujian conblock dan
pembandingannya terhadap kuualitas produk
conblock yang dikembangkan dicantumkan pada
histogram pada gambar 2.

Gambar 2 Kuat Tekan Conblock dari Kabupaten Sekitar Jepara
Dibandingkan dengan Conblock yang Dikembangkan
Keterangan : Alternatif 1, 2 dan 3 Hasil Validasi Teknis (Pusat
Litbang Permukiman, 2011).
Dari histogram tersebut terlihat bahwa kualitas
conblock yang ada di pasaran kualitasnya jauh
lebih rendah daripada yang dikembangkan baik
untuk yang menggunakan campuran 1:6; 1:8
maupun 1:10.
Sedangkan untuk paving block, hasil pengujian
kualitas paving block di pasaran sangat beragam
untuk setiap kabupaten/kota yang merupakan
lokasi studi. Gambar 3. memperlihatkan histogram
kualitas paving block yang ada di pasaran maupun
yang dikembangkan. Harga conblock di pasaran
berkisar antara Rp. 2.900,- - Rp. 3.100,- perbuah.
0
10
20
30
40
50
60
K
u
a
t

t
e
k
a
n

(
k
g
f
/
c
m
2
)
Asal Conblock
2010 2009 2008 2007
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 5-12
9

Gambar 3 Kuat Tekan Paving Block dari Kabupaten Sekitar
Jepara Dibandingkan dengan Paving Block yang Dikembangkan
Keterangan : Alternatif 1, 2 dan 3 Hasil Validasi Teknis (Pusat
Litbang Permukiman, 2011)
Dari gambar 3 terlihat bahwa hanya di Rembang
dan Demak diperoleh paving block yang memiliki
kekuatan di atas kekuatan paving block yang
dibuat dari campuran semen dan agregat 1:5.
Sedangkan di lokasi lain semua paving block yang
ada di pasaran lebih rendah daripada paving block
yang dikembangkan dengan campuran semen dan
agregat 1:5; 1:4 dan 1:3. Dengan adanya data
tersebut maka dapat dikatakan bahwa paving
block yang dikembangkan memiliki kompetitor
yang lemah. Paving block yang ada di pasaran
berharga Rp. 30.000,- - Rp. 40.000,- per m
2
(28-29
buah).
Aspek Teknis Produksi Conblock dan Paving
Block dari Bahan Berbasis Fly-ash
Berdasarkan hasil validasi terhadap teknologi
produksi conblock dan paving block yang
memanfaatkan fly-ash (Pusat Litbang Permukiman,
2011) diperoleh data bahwa fly-ash dari PT. PLN
Tanjung Jati B yang diambil dari tempat
penyimpanan limbah di lapangan lebih baik
berfungsi untuk agregat dibandingkan sebagai
pengganti sebagian semen. Hasil validasi tersebut
juga menunjukkan bahwa komposisi agregat yang
terdiri atas pasir : fly-ash : bottom-ash sebesar 20%
: 40% : 20% merupakan campuran yang terbaik.
Sebagaimana terlihat pada gambar 2 dan gambar 3
di atas bahwa alternatif 3 untuk conblock maupun
paving block menunjukkan kekuatan yang lebih
baik daripada yang ditemukan di pasir dan juga
masih memenuhi standar SNI maka dalam
pembahasan aspek ekonomi akan menggunakan
alternatif 3 yaitu campuran semen : agregat untuk
conblock 1: 10 dan untuk paving block 1 : 5.
Terdapat tiga pilihan teknologi untuk
menghasilkan conblock dan paving block, yaitu
teknologi produksi conblock dan paving block
secara manual hanya dengan tenaga manusia,
teknologi semi masinal menggunakan tenaga listrik
untuk pencampuran dan pengepresan namun
masih menggunakan tenaga manusia untuk proses
lainnya dan yang terakhir dengan proses full-
machinal artinya menggunakan tenaga listrik
untuk seluruh proses baik pencampuran bahan
baku, pengepresan maupun handling produknya.
Produksi conblock dan paving block secara manual
menggunakan alat sederhana dengan kapasitas
sekitar 200 buah setiap hari untuk dua orang
pekerja. Untuk semi masinal jumlah kapasitas
produksinya adalah 1.500-2.000 buah perhari
dengan jumlah pekerja 3 orang per mesin
sedangkan untuk full-machinal dapat dihasilkan
10.000 buah dengan 6 orang tenaga kerja. Dengan
memperhatikan jumlah bahan baku fly-ash yang
ada, maka dalam studi ini produksi conblock dan
paving block secara manual tidak dipilih dan
dibahas dalam karya tulis ini.
Analisis Aspek Ekonomi dan Finansial
Perhitungan aspek ekonomi dan finansial
dilakukan melalui perhitungan investasi untuk
bangunan, peralatan dan juga biaya produksi
bahan bangunan yang dikembangkan. Dalam
perhitungan ini, digunakan biaya untuk produksi
selama 3 (tiga) bulan dengan pertimbangan bahwa
umur conblock atau paving block yang
dikembangkan baru dapat dijual setelah berumur
28 hari. Tidak digunakan perhitungan biaya untuk
persediaan lebih lama karena akan menambah
harga jual yang jauh lebih besar. Analisis
keekonomian untuk bahan yang dikembangkan
dilakukan pada bahan bangunan yang
dikembangkan dengan alat semi masinal maupun
full-machinal. Perhitungan untuk conblock yang
diproduksi secara semi masinal dan full-machinal
jumlah produksi untuk semi masinal sebanyak
1.500 buah/unit mesin/hari sedangkan full-
machinal sebanyak 9.000 buah perhari. Biaya
investasi termasuk modal kerja untuk 3 bulan bagi
conblock dengan dua sistem tersebut dapat dilihat
pada tabel 3.
Tabel 3 Biaya Investasi Produksi Conblock
No Uraian
Biaya (x 1.000 rph)
Semi Full
1. Investasi peralatan (mixer,
mesin press, alas dan alat bantu
131.000 382.000
2. Pematangan tanah dan fondasi 30.000 45.000
3. Bangunan 129.600 147.600
4. Instalasi listrik 20.000 30.000
5. Modal kerja 3 bulan 369.000 1.112.600
Total 679.600 1.711.600
Perhitungan untuk paving block yang diproduksi
secara semi masinal dihitung dengan kapasitas
produksi 2.000 buah/mesin/hari, sedangkan yang
full-machinal sebanyak 4.500 buah perhari. Dalam
1 tahun dihitung sebanyak 300 hari kerja efektif.
0
50
100
150
200
250
J
e
p
a
r
a

l
o
w
J
e
p
a
r
a

h
i
g
h
D
e
m
a
k

l
o
w
D
e
m
a
k

h
i
g
h
S
e
m
a
r
a
n
g

l
o
w
S
e
m
a
r
a
n
g

h
i
g
h
P
a
t
i

l
o
w
P
a
t
i

h
i
g
h
K
u
d
u
s

l
o
w
K
u
d
u
s

h
i
g
h
R
e
m
b
a
n
g

l
o
w
R
e
m
b
a
n
g

h
i
g
h
A
l
t
e
r
n
a
t
i
f

1
A
l
t
e
r
n
a
t
i
f

2
A
l
t
e
r
n
a
t
i
f
3
K
u
a
t

t
e
k
a
n

(
k
g
f
/
c
m
2
)
Asal Paving block
3


Analisis Pengembangan Unit (Anita F., Aventi, Dany C., Aan S., B. Sugiharto, B. Subiyanto.)
10
Untuk paving block biaya investasinya dapat
dilihat pada tabel 4.
Analisis keekonomian dan finansial menggunakan
perhitungan :
Bunga bank : 14 %
Biaya sendiri : 25% dari investasi
Pinjaman : 75 % dari investasi
Tabel 4 Biaya Investasi Produksi Paving Block
No Uraian
Biaya (x 1.000 rph)
Semi Full
1. Investasi peralatan (mixer,
mesin press, alas dan alat bantu
138.000 382.000
2. Pematangan tanah dan fondasi 30.000 45.000
3. Bangunan 129.600 147.600
4. Instalasi listrik 20.000 30.000
5. Modal kerja 3 bulan 181.500 209.187,5
Total 499.100 721.287,5
Nilai harga jual, NPV, IRR, PI dan BEP untuk semua
jenis bahan bangunan dapat dilihat pada tabel 5.
Dari tabel tersebut terlihat bahwa conblock yang
dibuat dengan semi masinal maupun full-machinal
memiliki harga jual setelah keuntungan pabrik
10% dan pajak 10% hampir sama (Rp. 2.150,-
Rp. 2.200,-) dan masih lebih rendah daripada
harga jual conblock yang ada di pasaran (Rp. 2.900
Rp. 3.100,-) yang kekuatannya jauh lebih rendah.
Dari analisis NPV untuk 9 tahun diketahui bahwa
nilai sekarang (present value) pabrik conblock.
Baik yang semi masinal maupun full-machinal
memiliki nilai positif dengan nilai PV jauh di atas
nilai investasi. IRR; yang merupakan tingkat
keuntungan senyatanya dari proyek; dengan
discount rate sebesar 14 % untuk conblock semi
masinal mencapai 30,4 % sedangkan untuk yang
full-machinal mencapai 62,2 %. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa pengembangan bahan
bangunan berupa conblock yang memanfaatkan
fly-ash dari PT. PLN Tanjung Jati II akan lebih
menguntungkan bila menggunakan teknik full-
machinal daripada semi masinal. Hal tersebut juga
didukung dari data PI yang menunjukkan nilai
lebih besar pada full-machinal dibandingkan
dengan semi masinal. Dengan nilai PI yang lebih
dari 1 maka dapat dikatakan nilai investasi proyek
cukup sehat (Sutojo, 2000). Kekurangan dari
sistem full-machinal adalah perlu investasi yang
hampir 3 kali semi masinal dan tenaga kerja yang
diserap lebih sedikit serta perlu persyaratan
khusus bagi operatornya.
Tabel 5 Hasil Analisis Harga Jual, NPV, IRR, BEP dan PI Produksi Conblock dan Paving Block Berbahan Dasar Limbah
Batubara
No. Uraian
Harga Jual
(rph)
NPV (rph) Investasi IRR (%) BEP PI
1. Conblock semi masinal 2.160,- 1.212.687. 435,- 679.600.000,- 30,4 4,1 1,78
2. Conblock full-machinal 2.200,- 6.788.031.620,- 1.711.600.000,- 62,2 3,5 3,96
3. Paving block semi masinal 895,- 670.605.390,- 499.100.000,- 21,9 3,8 1,34
4. Paving block full-machinal 995,- 1.534.549.820,- 721.287.500,- 37,5 2,5 2,12

Untuk paving block yang dibuat dengan alat semi
masinal lebih murah Rp. 100,- per buah daripada
yang dibuat dengan alat full-machinal namun
keduanya masih lebih murah daripada harga
paving block yang dijual di pasaran (Rp.1.100
Rp.1.450,-) dengan kekuatan yang jauh lebih
rendah (lihat gambar 3).
Hasil analisis keekonomian paving block tidak jauh
berbeda dengan conblock yaitu unit pengembang-
an paving block merupakan unit yang
menguntungkan dilihat dari NPV untuk discount
rate 14 % yang di atas nilai investasi. Dari
perhitungan nilai keekonomian terlihat bahwa
pengembangan dengan cara full-machinal lebih
menguntungkan yang dibuktikan dari nilai IRR
yang lebih besar, BEP yang lebih pendek dan nilai
PI yang lebih besar pada pengembangan dengan
full-machinal dibanding dengan semi masinal.
Sebagaimana pada conblock, maka kekurangan
pengembangan dengan sistem machinal
membutuhkan investasi yang lebih besar, tenaga
kerja yang diserap lebih sedikit serta
membutuhkan operator dengan persyaratan
khusus.
Aspek Lingkungan
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 tahun
1999, Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (B3) yang disempurnakan pada PP Nomor
85 pada tahun yang sama disebutkan bahwa fly-ash
dan bottom ash yang merupakan pembakaran
batubara untuk industri (D223) masuk dalam
kategori B3. Bila suatu bahan masuk dalam
kategori B3 maka penanganannya harus sesuai
dengan PP Nomor 74 tahun 2001 tentang
Pengelolaan B3. Untuk mendapatkan gambaran
tentang tingkat racun fly-ash telah dilakukan uji
TCLP dengan hasil terlihat pada tabel 6. Liu et.al.
(2009) melakukan uji emisi merkuri, emisi radon
gas, juga uji TCLP dan menyatakan bahwa pada
bata yang menggunakan fly-ash tidak ditemukan
adanya emisi merkuri, juga tidak ditemukan emisi
gas radon, kelarutan polutan yang tidak berarti
pada bata yang terkena hujan dan hasil TCLP yang
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 5-12
11
memasukkan fly-ash sebagai non-hazardous
material.
Hasil uji TCLP pada tabel 6 juga memperlihatkan
nilai yang jauh lebih kecil daripada baku mutu
standar EPA. Pemanfaatan fly-ash dan bottom ash
sebagai bahan pengganti semen dalam pembuatan
conblock dan paving block akan mengurangi emisi
CO2 yang diperlukan dalam pembuatan semen.
Sedangkan pemanfaatan keduanya sebagai
pengganti agregat dapat mengurangi eksploitasi
sumberdaya alam dan mengurangi emisi merkuri
dan bahan berbahaya lain yang biasanya terjadi di
tempat penyimpanan fly-ash atau bottom ash yang
pada umumnya di lapangan terbuka. Adanya
manfaat yang cukup banyak, serta adanya bukti
bahwa fly-ash dan bottom-ash yang dihasilkan oleh
PT PLN Tanjung Jati B masih memenuhi baku mutu
yang disyaratkan maka sebaiknya pemanfaatan fly
ash dan bottom ash untuk conblock atau paving
block dapat diberikan izin. Untuk mengurangi
kemungkinan dampak yang timbul sebaiknya
prosedur tetap mengikuti PP Nomor 74 tahun
2001 tentang Pengelolaan B3, namun semua pihak
sebaiknya dengan semangat yang sama yaitu
sebesar-besarnya manfaat bagi masyarakat luas.
Tabel 6 Hasil Uji TCLP Fly-Ash
Parameter
Hasil Analisis (mg /l) Baku
Mutu*) PPB-L03
Arsen 0,037 5,0
Barium < 0,5 100,0
Boron < 10 500,0
Kadmium < 0,01 1,0
Kromium 0,08 5,0
Tembaga 0,05 10,0
Timbel 0,05 5,0
Raksa < 0,0001 0,2
Selenium 0,37 1,0
Seng 0,03 50,0
Ket. : PPB-L03 = fly ash, *) Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 85 Tahun 1999
Tabel 7 Hasil Uji TCLP Bottom-Ash
Parameter
Hasil Analisis (mg /l)
Baku Mutu
PPB-L04
Arsen < 0,001 5,0
Barium < 0,5 100,0
Boron < 10 500,0
Kadmium < 0,01 1,0
Kromium 0,03 5,0
Tembaga 0,09 10,0
Timbel < 0,01 5,0
Raksa < 0,0001 0,2
Selenium < 0,001 1,0
Seng 0,27 50,0
Ket : PPB-L04 = bottom ash, *) = Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 85 Tahun 1999
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
India telah mengeluarkan suatu kebijakan terkait
dengan upaya pemanfaatan fly-ash yang lebih
besar yaitu : 1) untuk area dalam radius 100 km
dari pembangkit listrik yang menggunakan bahan
bakar batubara, pabrik bata atau batu beton harus
menggunakan fly-ash minimal 25 % dalam
produknya; 2) untuk kontraktor pembangunan
gedung yang berada dalam radius 50-100 km;
pembangkit listrik tersebut maka 100 %
pembangunannya harus menggunakan bata/beton
yang mengandung fly-ash (Jha & Prasad, 2012).
KESIMPULAN
Conblock dan paving block yang dihasilkan dengan
menggunakan fly-ash maupun bottom ash
memenuhi SNI dan memiliki kekuatan dan sifat-
sifat yang lebih baik daripada conblock atau paving
block yang ada di pasaran. Berdasarkan hasil
analisis keekonomian diperoleh data bahwa kedua
bahan bangunan yang dikembangkan memiliki
harga jual yang lebih rendah sehingga bersaing
dengan bahan bangunan yang ada di pasaran.
Berdasarkan NPV diketahui bahwa unit produksi
bahan bangunan conblock atau paving block yang
dikembangkan dengan peralatan semi masinal
maupun full-machinal cukup prospektif. Demikian
pula hasil analisis nilai PI. Pengembangan bahan
bangunan dengan peralatan full-machinal lebih
menguntungkan daripada semi masinal namun
biaya investasi yang diperlukan jauh lebih besar,
penyerapan tenaga kerja lebih sedikit dan
memerlukan persyaratan tenaga kerja yang khusus
agar produksi berjalan lancar.
Hasil uji TCLP menunjukkan bahwa fly-ash dan
bottom ash yang ada di PT. PLN Tanjung Jati B jauh
di bawah baku mutu yang disyaratkan, beberapa
literatur juga menunjukkan bahwa tidak ada emisi
merkuri dan gas radon pada bata yang dibuat
dengan menggunakan fly-ash, namun sebaiknya
pemanfaatannya sebaiknya tetap mengikuti
peraturan yang berlaku.
Pengembangan bahan bangunan berupa conblock
dan paving block yang memanfaatkan fly-ash dan
bottom-ash dari PT. PLN Tanjung Jati B sebaiknya
segera dapat direalisasikan mengingat manfaat
yang ditimbulkan jauh lebih banyak daripada
kerugiannya.
Dikaitkan dengan kebutuhan akan bahan bangunan
yang sangat besar saat ini untuk pembangunan
perumahan, sebaiknya semua pihak dan pemangku
kepentingan dapat saling sinergis dan mendukung
upaya yang lebih banyak manfaatnya daripada
kerugiannya.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Standarisasi Nasional. SNI 03-0349-1989.
Bata beton untuk pasangan dinding.
Badan Standarisasi Nasional. SNI 03-0691-1996.
Bata beton (paving block).
Analisis Pengembangan Unit (Anita F., Aventi, Dany C., Aan S., B. Sugiharto, B. Subiyanto.)
12
Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan. 1987.
Laporan Pengembangan Bahan Bangunan
Lokal. Proyek Perintisan Bahan Bangunan
Lokal.
Haming, M. Basalamah, S. 2010, Studi Kelayakan
Investasi Proyek & Bisnis. Penerbit Bumi
Aksara.
Jha, C.N. Prasad, J.K. 2005, Fly ash : a resource
material for innovative building material-
Indian perspective. BMTPC. Page 1-9.
http://bmtpc.org/pubs/papers/paper4.html
Liu, H. Banerji, S,K. Burkett, W.J. and Engelenhoven,
J.V. 2009. Environmental properties of fly ash
bricks.
http://www.greenbuilding.com/corhut/7815
95-flyash-brick-calstrim.
Ministry of Construction Japan 1988, Report on
overseas development project for research
and development on building materials.
Tokyo-Japan. Tidak diterbitkan.
Pemerintah Prop. Jawa Tengah. 2011, Jawa Tengah
Dalam Angka 2010, http://www.jateng.bps.
go.id/index. content. php//option.com.:jateng
Pemerintah Republik Indonesia. PP Nomor 18
Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun.
Pemerintah Republik Indonesia PP Nomor 85
Tahun 1999 tentang perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun (B3).
Pemerintah Republik Indonesia PP Nomor
74/2001 tentang Pengelolaan Bahan
Berbahaya dan Beracun.
Pusat Litbang Permukiman. 2010. Laporan akhir
penelitian rumah sederhana bagi masyarakat
berpenghasilan menengah. Pemanfaatan
limbah batubara sebagai bahan bangunan.
Tidak diterbitkan.
Pusat Litbang Permukiman. 2011. Laporan akhir
model sistem pembangunan rumah sederhana
sehat untuk percepatan pemenuhan
kebutuhan rumah. Tidak diterbitkan.
Pusat Litbang Tekmira. 2006. Batubara Indonesia,
Dikompilasi oleh Tim Kajian Batubara
Nasional. Kelompok Kajian Batubara Nasional.
http://www.tekmira.esdm.go,id/data/files/B
atubara%20Indonesia.pdf
Suyartono. 2004, Hidup dengan Batubara. Dari
Kebijakan Hingga Pemanfaatan, No: 001/IX/
2001, ISBN: 979-96649-0-X
Sutojo, Siswanto. 2000. Studi Kelayakan Proyek,
Konsep, Teknik & Kasus. Seri Manajemen
Bank Nomor 66. Penerbit PT Damar Mulia
Pustaka
Turin, D. A. 1969, The Construction Industry : Its
Economic Significance and Its Role in
Development. University College Research
Group.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.


Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 13-23
13
PENGARUH KADAR KEHALUSAN BUTIR
TERHADAP KETAHANAN GESER TANAH PASIR VULKANIK
Effect of Fine Soils Content of the Volcanic Sand Shear Resistance

Silvia F. Herina
Pusat Litbang Permukiman, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum
Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan-Kabupaten Bandung 40393
E-mail: silvia_herina@yahoo.com
Diterima : 02 November 2011 ; Disetujui : 11 Januari 2012
Abstrak
Tanah pasir vulkanik yang merupakan hasil erupsi dari gunung berapi terdapat di hampir seluruh wilayah
Indonesia. Tanah ini umumnya berbentuk menyudut, dari tinjauan sifat mekanis faktor ini dianggap
menguntungkan terutama bagi kekuatan geser tanah karena posisinya yang seolah bisa saling mengunci.
Namun karena partikel pasir yang bisa digolongkan sebagai partikel kasar, pasir murni tetap akan lebih
mudah terurai, berdilatasi atau berkontraksi jika mengalami tegangan geser dibandingkan dengan tanah
berkaraktersitik lain, seperti clay atau silty clay. Ada beberapa kontroversi pendapat bahwa penambahan
kadar butir halus pada pasir dapat meningkatkan kuat gesernya, karenanya penelitian ini selain untuk
mengkaji adanya pengaruh butiran halus pada pasir vulkanik juga dimaksudkan untuk mengkaji
kontroversi yang ada. Dalam penelitian ini diuji sebelas sampel pasir vulkanik yang berasal dari daerah
Srandakan (Bantul, Yogyakarta) dan Gantiwarno (Klaten-Yogyakarta). Pengujian kuat geser dilakukan di
laboratorium dengan menggunakan alat triaxial dengan menerapkan beban monotonik tidak teralir
(consolidated undrained). Hasil pengujian menunjukkan bahwa pasir vulkanik mempunyai karaktersitik
geser yang sama dengan pasir alluvial, penambahan kadar butiran halus dalam tanah pasir vulkanik tidak
mempengaruhi kenaikan kuat gesernya, tetapi gradasi yang baik terbukti dapat meningkatkan kuat geser
tanah (Sr 1-4; Sr 2-4 ; Sr 3-4 ; Sr 4-4). Karena adanya perbedaan dari beberapa hasil studi terdahulu termasuk
kajian ini, disimpulkan bahwa adanya butiran halus dalam tanah pasir, baik itu pasir vulkanik atau alluvial
(endapan) belum dapat disimpulkan akan meningkatkan ketahanan geser statis maupun siklik. Beberapa
faktor lain harus ditinjau, seperti adanya perbedaan plastisitas tanah atau perbedaan riwayat pada tanah
yang mengandung butiran halus.
Kata Kunci : Pasir vulkanik, kadar kehalusan butir, kuat geser, gradasi butir, wet tamping
Abstract
Volcanic sand which is the result of eruptions of volcanoes are found in almost all parts of Indonesia. The
sands is generally shaped angle, from a review of mechanical properties of these factors are considered
especially beneficial for soil shear strength due to its position that seemed to be interlocked. However,
because the sand particles can be classified as coarse particles, clean sand would be easier dilated or
contracted under a shear stress, compared with other characteristics soil, like clay or silty clay. There is some
controversy of opinion that the addition of the fine grain of sand levels can increase the shear strength,
therefore this study in addition to assessing the influence of fine grains in the volcanic sand is also intended to
review the existing controversy. In this study tested a sample of eleven volcanic sand from the area
Srandakan (Bantul, Yogyakarta) and Gantiwarno (Klaten-Yogyakarta). Shear strength tests performed in
laboratory using triaxial equipment by applying monotonic consolidated undrained. Test results show that
the volcanic sand has the same characteristic shear with alluvial sand, additional levels of fine grains in the
volcanic sand soil did not affect the increasing of shear strength. Some of the gains obtained by high shear
strength soils Sr. 1-4; Sr. 2-4; Sr. 3-4; 4-4 Sr content proved that well graded soil may affect the shear stress
resisting of soil. Because of differences in the results of several previous studies including this study, it was
concluded that the presence of fine grains of sand in the soil, either volcanic or alluvial sand (sediment) can
not be concluded will increase the static and cyclic shear resistance. Several other factors must be considered,
such as the existence of differences in soil plasticity, or differences in soil histories of fine grains.
Keywords : Volcanic sands, fines content, shear stress, gradation, wet tamping
PENDAHULUAN
Tanah vulkanik merupakan hasil erupsi dari
gunung berapi yang terdistribusi secara eksklusif
di daerah volcano aktif, biasanya jenis tanah ini
mendominasi wilayah sekitar gunung berapi, dan
terdapat di hampir seluruh wilayah Indonesia.
Pengaruh Kadar Kehalusan (Silvia F. Herina)
14
Tanah ini di golongkan dalam dua grup utama yaitu
piroklastik (pyroclastic) berupa deposit yang
ditembakkan keluar oleh gas pijar yang
berkecepatan tinggi, termasuk dalam deposit ini
adalah batuan dan pasir, juga batuan scoria
(vesiculated scoria), dan partikel-partikel lain,
deposit ini terbang tinggi sebelum jatuh ke bumi
dalam kondisi dingin. Deposit grup kedua dikenal
dengan nama epiclastic yang merupakan semua
bahan vulkanik yang dikeluarkan dengan cara
mengalir, termasuk debris vulkanik longsoran,
mudflows, debris flows, juga lahar, alluvium volcano
dan volcanic loess. Kedua grup di atas mengalami
resedimentasi, dalam posisi tercampur tanah dari
lokasi asal yang dilewatinya atau tertimbun oleh
tanah setempat yang bergerak karena suatu
getaran atau gerakan lempeng bumi.
Partikel butiran pasir yang terdapat pada deposit
tanah vulkanik segar pada umumnya berbentuk
menyudut, keadaan ini tampak jelas pada pasir
deposit piroklastik muda yang belum lama
terendapkan. Dari tinjauan sifat mekanis faktor ini
dianggap menguntungkan terutama bagi kekuatan
geser tanah karena posisinya yang bisa saling
mengunci. Namun karena partikel pasir yang bisa
digolongkan sebagai partikel kasar, pasir murni
tetap akan lebih mudah terurai, berdilatasi atau
berkontraksi jika mengalami tekanan
dibandingkan dengan tanah berkarakteristik lain,
seperti clay atau silty clay.
Jika ada gaya geser yang bekerja secara cepat,
seperti beban gempa, terhadap lapisan pasir yang
ada dalam kondisi jenuh atau dibawah muka air
tanah, air pori yang tidak sempat keluar membuat
tekanan air pori naik dan menyebabkan tegangan
yang dipunyai lapisan tersebut menurun sehingga
butiran pasir bergerak dan saling menggelincir.
Sebagaimana banyak ditemui, beberapa faktor
yang mempengaruhi kuat geser tanah pasir adalah
void ratio atau kepadatan relatif, bentuk partikel,
distribusi keragaman butir, kekasaran permukaan
partikel, air, ukuran partikel, tegangan awal yang
pernah diterima. Kuat geser ini memegang peranan
penting ketika tanah tersebut akan digunakan
sebagai dasar bangunan di daerah yang rawan
terhadap gempa ataupun longsoran. Saat kuat
geser mencapai batas runtuhnya tanah pasir dapat
mencair (liquifaksi), terjadi penyebaran lateral
atau menggelincir. Bangunan di atasnya dapat
mengalami penurunan, retak dan bahkan runtuh.
Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji peranan
butiran halus dalam deposit pasir vulkanik, serta
mengkaji kontroversi pendapat yang ada saat ini.
Kajian kuat geser dilakukan dengan pengujian
laboratorium menggunakan alat uji Triaxial dan
menerapkan metode terkonsolidasi tidak teralir
(consolidated undrained).
TINJAUAN LITERATUR
Chang et al (1982) menyusun pendekatan secara
sistematis untuk mengevaluasi pengaruh kadar
kehalusan butir pada kuat geser siklik dari pasir
kelanauan (silty sands), kadar kehalusan diukur
dengan penambahan lanau 10% sampai 60% pada
pasir. Chang menemukan bahwa sampel yang
mempunyai kadar kehalusan (lanau) 10% sampai
30% mempunyai kuat geser yang jauh lebih kecil
dibandingkan dengan pasir yang mengandung 60%
lanau. Pengaruh keberadaan butiran halus
terhadap kuat geser tanah yang diperoleh Brandon,
Th. L.; Clough, G.W.; Rahardjo, P.P., 1990, memberi-
kan hasil yang berbeda. Brandon et al melakukan
uji geser terhadap beberapa sampel pasir alluvial
dengan kadar kehalusan butir yang berbeda, dan
menemukan bahwa penambahan kadar kehalusan
butir hampir tidak mempunyai pengaruh terhadap
kenaikan kuat geser siklik tanah (gambar 1).

Gambar 1 Kuat Geser Pasir Alluvial vs Kadar Butiran Halus
Meskipun ada beberapa kontroversi, ada beberapa
ahli (Chang et al, 1982; Ishihara, K., 1996 dll) yang
menyatakan keberadaan butiran halus dalam
lapisan pasir dapat mengurangi potensi
mencairnya tanah jika mengalami getaran atau
menerima gaya geser.
Sementara itu dengan mengacu pada hasil uji
penetrasi di lapangan, Ishihara, K., 1996
menemukan bahwa pasir bersih dengan kuat geser
yang sama, ketahanan penetrasinya lebih kecil
dengan adanya penambahan butir halus, dan
kenyataannya dengan ketahanan penetrasi yang
sama, pasir yang mengandung butiran halus
mempunyai kuat geser yang lebih tinggi
dibandingkan pasir bersih.
Kajian Ishihara ini diilustrasikan pada gambar 2.
Beberapa studi lain yang berhubungan dengan
kuat geser pasir dan kadar kehalusan butir yang
dikandungnya diilustrasikan dalam tabel 1.

Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 13-23
15


Gambar 2 Pengaruh Penambahan Kadar Kehalusan Butir terhadap Ketahanan Penetrasi (N1) dan Kuat Geser Siklik
(sumber : Ishihara, K., 1996)
Tabel 1 Beberapa Studi Laboratorium Ketahanan Geser Pasir yang Mengandung Butiran Halus
Lokasi Material % Fines
D50
(mm)
IP
Penyiapan
Sampel
Void Ratio
/o
OCR=1
/o
OCR=2
Konklusi Referensi
Koto A Sandy silt

58

0.061

20

Slurry

0.83-0.85

0.281

0.417
OCR menaikkan
tegangan geser,
pengaruhnya
lebih tampak
pada tanah
dengan kadar
kehalusan tinggi

Ishihara et
al, 1978
Koto A Silt 100 0.023 20 Slurry 0.89-1.02 0.281 0.479
Koto B Silty sand

15

0.282

N/A

Slurry

0.82-0.90

0.238

0.321
Suzuki Silt 100 0.009 N/A Slurry 1.40-1.60 0.350 0.478
Thsago Sand 0 0.180 N/A Slurry 0.82-0.91 0.255 0.334
Owl-Fls Silty sand

35

0.102

Low

Undisturbed

0.75-0.85

0.255

N/A
Upper
S.Fernando
Hyd fill
Silty fine
sand 20.58 N/A N/A Undisturbed
Coarse sand

0.25

N/A

N/A

Undistrubed

Dr=51.58%

0.250

N/A
Tidak tampak
jelas
perbedaannya
pada fine silty
sand dan clean
sand
Lee et al,
1975
Lower
S.Fernando
Hyd fill

Silty sand

0.05

<0.32

N/A

Undisturbed

0.48-0.71

0.258

N/A

Tidak ada
perbedaan
Hsing and
Seed, 1988
Sumber : Brandon,Th. L et al

METODE PENELITIAN
Sistem Kerja Triaxial Terkonsolidasi Tidak
Teralir
Untuk memperoleh prediksi ketahanan geser,
tanah pasir diuji dibawah beban monotonik
terkonsolidasi tidak teralir (Triaxial CU). Dilakukan
pengujian CU terhadap 11 sampel uji dari
Srandakan (Bantul), Gantiwarno (Klaten).
Penyiapan sampel yang sebagian besar merupakan
tanah pasir lepas dilakukan dengan metoda
penempatan secara lembab (wet tamping).
Ketentuan dasar yang harus dipenuhi dalam
metode ini adalah sampel harus homogen atau void
rationya terdistribusi secara seragam. Sel triaxial
merupakan silinder transparan dari flexi glass yang
diletakkan diantara suatu pelat dasar (base plate)
dan top plate. Sistem kerja alat triaxial yang
Pengaruh Kadar Kehalusan (Silvia F. Herina)
16
digunakan dilengkapi dengan sistem tekanan sel
melalui katup c, sistem tekanan balik melalui katub
b, sistem tekanan air pori pada bagian bawah
sampel melalui katup a, dan katup d yang
digunakan untuk melakukan vakum udara. Sumber
tekanan berasal dari sebuah kompresor yang
dilengkapi dengan regulator tekanan. Alat
pengukur tekanan balik dan tekanan sel berupa
manometer, untuk pembacaan tekanan air pori
yang lebih teliti, digunakan pipa U berskala berisi
air raksa (gambar 3).


a b
Gambar 3 a. Sketsa Sel Triaxial; b. Sistem Alat Uji Triaxial (Sumber : K.H. Head)
Tekanan air pori diukur dari dasar sampel, drainasi
sampel dilakukan melalui top plate. Pengukuran
tekanan air pori memanfaatkan null indicator
sebagai acuan, perubahan pada posisi null indicator
menunjukkan adanya perubahan volume, hal ini
dicegah dengan memberikan tekanan sampai null
indicator kembali pada posisi semula. Perubahan
volume pada tahap konsolidasi diukur dari
pembacaan perubahan tinggi muka air pada buret.
Persiapan peralatan sebelum pengujian dimulai
dengan pemeriksaan sistem pengukur tekanan air
pori, terutama untuk mencegah adanya gelembung
udara dan kebocoran dalam sistem yang dapat
menganggu aliran air dan penjenuhan spesimen.
Prosedur pemeriksaan digambarkan dalam sketsa
di gambar 4 .
Sebelum air dari silinder kontrol dimasukkan,
dipastikan semua katup yang menuju pelat dasar,
dan katup a yang berhubungan dengan null
indicator dalam posisi tertutup. Null diputar pada
posisi horizontal sehingga semua air raksa masuk
ke reservoir. Dorong air dari silinder kontrol, katup
a dibuka, jika pelat dasar tidak dapat terbasahi,
diberikan beberapa tetes aquades, prosedur ini
digunakan untuk menghilangkan adanya
gelembung-gelembung udara dalam selang
sehingga air yang dialirkan benar-benar
merupakan deaired water. Kemudian katub I
dibuka, tekanan diberikan, tekanan yang terbaca
pada manometer diamati, jika pembacaan dapat
berjalan secara konstan, dapat diartikan tidak ada
kebocoran. Setelah prosedur ini, pengujian
dilakukan dengan menyiapkan spesimen uji sesuai
dengan metode yang akan diambil.

Gambar 4 Pembilasan Selang Air (Sumber K.H. Head)
Metode Penyiapan dan Bahan Sampel
Tanah pasir yang mempunyai sifat lepas atau semi
lepas tidak dapat diambil secara undisturbed,
sehingga semua sampel disiapkan secara
rekonstitusif. Tiga macam cara yang umumnya
dilakukan untuk rekonstitusi sampel, yaitu metode
penempatan secara lembab (wet tamping) dengan
menentukan kepadatan relatif yang diinginkan
terlebih dahulu, kedua adalah metode deposisi
kering, sampel pasir dituang secara langsung pada
mold yang dipasang di atas pelat dasar Triaxial,
kepadatan relatif sulit ditentukan sehingga
parameter yang digunakan biasanya adalah void
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 13-23
17
ratio setelah pengujian. Cara yang ketiga adalah
metode sedimentasi dalam air, biasanya cara ini
digunakan untuk sampel yang diperoleh dari
tempat yang secara kontinyu terendam air, seperti
tepi sungai atau lembah yang tergenang. Sketsa
ketiga metode ini dapat dilihat pada gambar 5
dibawah ini :


a b c
Gambar 5 Metode Penyiapan Sampel Rekonstitusi, a. Metode Penempatan secara Lembab, b. Metode Deposisi Kering, c. Metode
Sedimentasi dalam Air

Untuk menjaga homogenitas di sepanjang sampel,
dalam kajian ini dipilih metode penempatan secara
lembab karena dari analisa saring yang dilakukan,
diketahui jenis tanah beragam, lempung, lempung,
silt dan pasir. Sampel bukan merupakan pasir
bersih (clean sand).
Pasir sampel kering oven dibagi menjadi lima atau
enam bagian yang mempunyai berat sama,
dicampur dengan air, pada kadar air kira-kira 5%.
Membran dipasang pada mould yang dapat dibuka,
yang ditaruh di atas pedestal dasar (pelat bawah)
dari peralatan uji.
Masing-masing bagian dari pasir yang agak lembab
tersebut ditaburkan dengan jari sampai ketinggian
1/6 bagian tinggi sampel yang ditentukan. Pada
setiap tahapan, pukul pelan dengan tamper agar
kepadatan merata. Karena adanya efek kapilaritas
antar partikel, pasir lembab ini dapat digolongkan
sebagai struktur sangat lepas yang dapat mencapai
void ratio maksimum sebagai pasir kering (seperti
prosedur dalam metode uji ASTM atau JSSMFE).
Jumlah energi optimum untuk menyiapkan
struktur awal sampel yang lepas harus ditentukan
lebih dahulu. Jika energi tamping kecil, sampel
akan sangat lepas sehingga kontraksi volume saat
saturasi sangat besar dan reduksi diameter sampel
cenderung menyebabkan kerut-kerut vertikal pada
membran. Untuk menyiapkan sampel yang paling
lepas dengan metode ini Ishihara (1996)
menyarankan energi tamping disesuaikan sehingga
kontraksi volume saat saturasi kurang lebih sekitar
5% (2mm). Jika sampel yang lebih padat yang akan
disiapkan, jumlah tamping untuk kompaksi
ditambah pada setiap tahap taburan sampel.
Dengan prosedur ini state of sand dengan setiap
kombinasi void ratio dan tegangan keliling dapat
dihasilkan dengan menerapkan energi kompaksi
saat tamping yang berbeda. Sampel yang di dapat
bisa sangat lepas dan kontraktif tinggi atau dilative
pada pembebanan berikutnya, tergantung pada
void ratio pada saat penyiapan sampel.


Gambar 6 Penyiapan Sampel, Metode Penempatan secara Lembab
Pengaruh Kadar Kehalusan (Silvia F. Herina)
18
Pengujian
Pengujian ini dimaksudkan untuk memperoleh
parameter tegangan total dan efektif, serta
regangan dari sampel, prosedur uji mengikuti
metode uji dari ASTM D 4767-02, Test method for
consolidated undrained triaxial compression test
for cohesive soils. Pengujian dibagi dalam tiga fase
yaitu fase saturasi, fase konsolidasi dan fase
penggeseran. Sebelum fase pengujian dimulai,
sesudah membran sampel ditutup, top cap
dipasang, dipasang vacuum 2050 kPa selama
kurang lebih 2 jam (gambar 5), prosedur ini
dimaksudkan untuk menghilangkan/mengurangi
udara yang terperangkap dalam spesimen,
kemudian air tanpa udara dialirkan. Saturasi
dilakukan dengan memberikan tekanan awal sel,
tekanan air pori dicatat, kemudian diberikan
tekanan balik (back pressure) yang diatur 0,1
kg/cm2 lebih kecil dari tekanan sel (ASTM D 4767-
02), tekanan air pori dicatat, fase ini dilakukan
terus bergantian sehingga di dapat nilai koefisien
tekanan pori = B > 0.90 melalui perubahan volume
sel. Selama proses saturasi, reduksi volume akan
terjadi seiring dengan runtuhnya struktur awal
sampel. Void ratio terukur setelah saturasi diambil
sebagai void ratio awal dari sampel. Proses
sebelum dan sesudah saturasi sangat penting
mengingat struktur celah intra partikel spesimen
yang besar.

=

Keterangan :
B : koefisien tekanan air pori
u : peningkatan tekanan air pori akibat
peningkatan tekanan sel
cell : peningkatan tekanan sel


a b
Gambar 7 Pelaksanaan Vacuum pada Spesimen, a. Specimen yang Sedang di Vacuum, b. Alat Vacuum dengan Kapasitas 100kPa
Setelah tersaturasi, spesimen dikonsolidasikan
dibawah tegangan sel (p) yang dikehendaki, 1, 2
dan 3 sama. Meskipun pasir mempunyai
permeabilitas tinggi, fase konsolidasi ini terkadang
berjalan lambat, waktu konsolidasi tidak sama
antara satu dan lain spesimen. Tekanan sel yang
diberikan pada fase konsolidasi dimulai dengan
penentuan tekanan efektif sel (3) yang
dikehendaki, tekanan sel adalah tekanan efektif ini
ditambahkan tekanan balik terakhir pada fase
saturasi. 3 = 3 + BP besarnya perubahan pada
buret BP dan tekanan air pori dicatat per interval
waktu t = 0,1,4,9,16,25,36,49,64,81,100,121,144
menit dan 24 jam, fase ini dianggap selesai setelah
disipasi minimal sudah tercapai 90% atau
pembacaan tekanan air pori sama dengan tekanan
balik. Plot hasil bacaan konsolidasi ( t vs selisih
nilai BP) ini digunakan untuk menentukan
kecepatan penggeseran.
Kecepatan kompresi = mm/menit
Keterangan :
f : regangan runtuh perkiraan (18%, KH Head,
Vol 3, bab 13)
H : tinggi spesimen
t
100
: waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
konsolidasi 100% (menit)
Pada fase penggeseran, semua pengujian dilakukan
dalam kondisi tidak teralir. Tekanan keliling
(cell) diukur dan dipertahankan. Pengujian ini
dilakukan dengan mengontrol regangan, sesuai
dengan ASTM D4767, tingkat regangan ditentukan
berdasarkan tingkat konsolidasi spesimen.
DISKUSI DAN ANALISIS HASIL UJI
Hasil uji dipresentasikan dalam diagram grafik
pada gambar 8 sampai dengan 17, gambar 8,9,10
menunjukkan grafik analisa saring butir tanah,
tanah Srandakan Sr 1-17 ; Sr 2-17 ; Sr 3-17 mempunyai
kadar pasir 73,7% dan kadar butiran halus 26,3% ;
tanah Gantiwarno Gt 1; Gt 2; Gt 3 ; Gt 4 mempunyai
kadar pasir 70,7 dan kadar butiran halus 27,3%,
Vacuum set
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 13-23
19
sedangkan tanah Srandakan Sr 1-4; Sr 2-4 ; Sr 3-4 ; Sr
4-4 mengandung pasir 87,1% dengan kadar butiran
halus 12,9%. Jika ketiga jenis tanah ini di plotkan
pada grafik Tsuchida 1970 (gambar 11) tanah
tersebut termasuk dalam daerah sangat berpotensi
mencair ketika mengalami penggeseran. Kenyataan
di lapangan menunjukkan kondisi tinggi muka air
tanah di daerah Srandakan berkisar antara 2,0
3,0 m dan di daerah Gantiwarno antara 1,0 2,0m,
atau dengan kata lain tanah kepasiran tersebut ada
dalam kondisi jenuh air, tanah berkarakteristik
kepasiran dan jenuh, berpotensi mencair jika ada
gaya geser yang bekerja padanya, jadi dapat
dikatakan sampel tanah kepasiran yang diambil
dari kedua daerah tersebut rentan terhadap
tegangan geser. Asumsi kemungkinan peningkatan
ketahanan geser karena adanya peningkatan sifat
kohesif tanah dengan adanya sejumlah butiran
halus di dasarkan pada persamaan Coulombs
sebagai berikut :
f = tan + c
Keterangan :
f : kuat geser
tan : tegangan yang diberikan
: sudut geser
C : kohesi
dan c adalah parameter geser tanah.
Jika sudut geser atau kohesi bertambah
kemungkinan kuat geser juga akan meningkat.
Sudut geser dalam dan kohesi yang diperoleh dari
pengujian Triaxial diilustrasikan gambar 12, 14,16,
untuk Sr 1-17 ; Sr 2-17 ; Sr 3-17, = 28,9
0
dan sudut
geser efektifnya =34,7
0
; dengan kohesi c = 7 kPa
dan c= 3kPa; untuk Gt 1; Gt 2; Gt 3; Gt 4, = 36,7
0
dan

= 37,3
0
serta c =8 dan c = 5; untuk Sr 1-4; Sr 2-
4; Sr 3-4; Sr 4-4, = 25.1
0
dan = 31,3
0
serta c = 1
dan c=0. Tegangan puncak atau tegangan runtuh
yang ditandai dengan tepat pada titik menurunnya
tegangan aksial (perbedaan antara major dan
minor principal stress) dengan berjalannya terus
regangan axial diilustrasikan dalam grafik stress
path pada gambar 13, 15 dan 17. Hasil uji kuat
geser yang dikombinasikan dengan hasil analisa
saring di tabelkan pada tabel 3.
Tabel 2 Program Pengujian
Kode Sampel
(Wet Tamping)
Kepadatan Relatif
(%)
Tekanan Efektif Cell
(kPa)
Sr 1-17 60 30
Sr 2-17 60 60
Sr 3-17 60 120
Gt 1 60 30
Gt 2 60 60
Gt 3 60 120
Gt 4 60 200
Sr 1-4 60 30
Sr 2-4 60 60
Sr 3-4 60 120
Sr 4-4 60 200
Keterangan :
Sr 1-17 ; Sr 2-17 ; Sr 3-17 tanah Srandakan, kedalaman 17.00-18.50 m
Gt 1; Gt 2; Gt 3 ; Gt 4 tanah Gantiwarno kedalaman 2.00-2.50 m
Sr 1-4; Sr 2-4 ; Sr 3-4 ; Sr 4-4 tanah Srandakan, kedalaman 1.10-4.00
m.

Gambar 8 Hasil Uji Analisa Saring Pasir Srandakan, Sr 1-17 ; Sr 2-17 ; Sr 3-17

Gambar 9 Hasil Uji Analisa Saring Pasir Gantiwarno, Gt 1; Gt 2; Gt 3 ; Gt 4
Pengaruh Kadar Kehalusan (Silvia F. Herina)
20

Gambar 10 Hasil Uji Analisa Saring Tanah Pasir Srandakan, Sr 1-4; Sr 2-4 ; Sr 3-4 ; Sr 4-4

Gambar 11 Grafik Potensi Pencairan Tanah Berdasarkan Analisa Saring Tsuchida, 1970

Gambar 12 Lingkaran Mohr Tegangan Tanah Srandakan, Sr 1-17 ; Sr 2-17 ; Sr 3-17


Gambar 13 Stress Path Hasil Uji Triaxial CU, Tanah Srandakan, Sr 1-17 ; Sr 2-17 ; Sr 3-17
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 13-23
21

Gambar 14 Lingkaran Mohr Tegangan Tanah Gantiwarno, Gt 1; Gt 2; Gt 3 ; Gt 4

Gambar 15 Stress Path Hasil Uji Triaxial CU, Tanah Gantiwarno, Gt 1; Gt 2; Gt 3 ; Gt 4

Gambar 16 Lingkaran Mohr Tegangan Tanah Srandakan, Sr 1-4; Sr 2-4 ; Sr 3-4 ; Sr 4-4

Gambar 17 Stress Path Hasil Uji Triaxial CU, Tanah Srandakan, Sr 1-4; Sr 2-4 ; Sr 3-4 ; Sr 4-4

Pengaruh Kadar Kehalusan (Silvia F. Herina)
22
Tabel 3 Hasil Uji Triaxial CU vs Analisa Saring
Tegangan Keliling Efektif
(kPa)
Mean Grain Size
D50 (mm)
Cc

Cu
Sudut Geser (
0
)
Kadar Kehalusan
Butir (%)
Failure Stress
(kPa)
Total ( ) Efektif ( )
Sampel I
Sr 1-17 = 30 0,23 77,45 775 28,9 34,7 26,3 66
Sr 2-17= 60 0,23 77,45 775 28,9 34,7 26,3 140
Sr 3-17= 120 0,23 77,45 775 28,9 34,7 26,3 237
Sampel II
Gt 1= 30 0,16 14,13 102,3 25,1 31,3 27,3 70
Gt 2= 60 0,16 14,13 102,3 25,1 31,3 27,3 120
Gt 3= 120 0,16 14,13 102,3 25,1 31,3 27,3 195
Gt 4= 200 0,16 14,13 102,3 25,1 31,3 27,3 324
Sampel III
Sr 1-4= 30 0,23 2,98 8,7 36,7 37,3 12,9 106
Sr 2-4= 60 0,23 2,98 8,7 36,7 37,3 12,9 165
Sr 3-4= 120 0,23 2,98 8,7 36,7 37,3 12,9 356
Sr 4-4= 200 0,23 2,98 8,7 36,7 37,3 12,9 600
Keterangan :
Cc : koefisien kelengkungan Cc = (D30)
2
/ (D10) (D60)
Cu : koefisien keseragaman Cu = D60 / D10
Tanah tergradasi baik jika : 1 < Cc < 3
Cu > 6
Dengan tegangan keliling efektif yang sama,
kenaikan kadar kehalusan butir pada pasir
vulkanik tidak meningkatkan tegangan runtuh dan
sudut geser, dibawah tegangan keliling 30 kPa,
dengan kadar kehalusan 26,3%, tanah pasir Sr 1-17
mencapai sudut geser total : 28,9
o
, dan tegangan
maksimum 66 kPa, sedangkan tanah pasir Gt 1 yang
mempunyai kadar kehalusan butir 27,3%, sudut
geser total : 25,1
o
, tegangan maksimum 70 kPa,
tetapi tanah Sr 1-4 dengan kadar kehalusan butir
yang hanya 12,9 % mampu mencapai tegangan
maksimum 106 kPa dengan sudut geser total 36,7
o
. Hal tersebut terjadi pula pada sampel yang
dibebani tegangan keliling efektif 60 kPa, 120 kPa,
dan 200 kPa, sampel Sr 1-4, Sr 2-4, Sr 3-4, dan Sr 4-4
mempunyai kadar kehalusan butir yang paling
rendah, tetapi dapat mencapai tegangan
maksimum atau tegangan runtuh paling tinggi.
Beberapa kemungkinan yang dapat di nyatakan
pada masalah ini adalah karena faktor plastisitas
tanah (index plasticity), keberadaan air
mempengaruhi tingkat perilaku kritis tanah, kadar
air yang membuat tanah masih dalam kondisi
plastis membuat tanah tersebut mempunyai kuat
geser lebih besar dari pada sejumlah kadar air
yang membuat tanah berada dalam kondisi liquid.
Gradasi yang baik ternyata juga sangat
mempengaruhi kenaikan kuat geser tanah. Hal lain
yang dapat mempengaruhi hasil uji kuat geser ini
adalah juga proses penyiapan sampel, perbedaan
tinggi jatuh alat pemadat menyebabkan perbedaan
energi yang dipindahkan sehingga terjadi
perbedaan kepadatan sampel yang tentunya
mempengaruhi kuat geser tanah, tanah yang lebih
padat akan mempunyai kuat geser lebih tinggi.
KESIMPULAN
Kajian kuat geser pasir vulkanik menunjukkan
bahwa pasir ini mempunyai karakteristik sama
dengan pasir alluvial yang dilakukan oleh Brandon,
Th.L.; Clough, G.W.; Rahardjo, P.P., bahwa kenaikan
kadar kehalusan butir tidak mempengaruhi
kenaikan kuat gesernya, tetapi ternyata kuat geser
ini dipengaruhi oleh adanya gradasi yang baik
(tanah Sr 1-4; Sr 2-4 ; Sr 3-4 ; Sr 4-4).
Adanya beberapa hasil yang berbeda,
menunjukkan bahwa adanya butiran halus dalam
tanah pasir, baik itu pasir vulkanik atau alluvial
(endapan) belum dapat disimpulkan akan
meningkatkan ketahanan geser statis maupun
siklik. Beberapa faktor lain harus ditinjau, seperti
adanya perbedaan plastisitas tanah atau
perbedaan riwayat pada tanah yang mengandung
butiran halus (tanah yang pernah terkonsolidasi
mempunyai kuat geser yang lebih tinggi).
Penarikan kesimpulan secara umum apakah
keberadaan butiran halus dalam pasir vulkanik
meningkatkan gaya geser tanah, memerlukan lebih
banyak pengujian, dengan menggunakan sistem
dan penyiapan sampel yang beragam dengan
kepadatan yang berbeda.
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 13-23
23
DAFTAR PUSTAKA
Brandon, Th.L., Clough, G.W., Rahardjo, P.P., 1990,
Evaluation of Liquefaction Potential of Silty
Sands Based on Cone Penetration Resistance,
National Science Foundation, Virginia Tech
Blackburg.
Chang, N.Y. et al, 1982, Liquefaction Potential of
Clean and Silty Sands, Proceedings of the 3
rd

International Earthquake Microzonation
Conference, Vol. II, 1017-1032.
Head, K.H., 1985, Manual of Soil Laboratory
Testing, ELE International Limited, 1986.
Herina, S.F., 2009, Evaluasi Potensi Liquifaksi Pasir
Vulkanik, Studi Independen, Pasca Sarjana
Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
Ishihara, K., 1996, Soil Behaviour in Earthquake
Geotechnics Oxford University Press Inc, New
York.


Peran Komunitas dalam (Sri D., Fitrijani A.)
24
PERAN KOMUNITAS DALAM PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS POLA PILAH
KUMPUL OLAH TERHADAP REDUKSI SAMPAH KOTA
The Role of Community in Solid Waste Management Based on Pattern Sorting,
Collecting and Treating to Reduce City Waste

1
Sri Darwati,
2
Fitrijani Anggraini
Pusat Litbang Permukiman, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum
Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan-Kabupaten Bandung 40393
1
E-mail : darwa69@yahoo.com
2
E-mail : fitrijania@yahoo.com
Diterima : 08 April 2012 ; Disetujui : 02 Januari 2012

Abstrak
Komunitas memegang peranan kunci dalam perubahan paradigma pengelolaan sampah dari pola kumpul-
angkut-buang menjadi pilah-kumpul-olah. Probolinggo merupakan kota yang berhasil dalam melibatkan
peran komunitas dalam pemilahan sampah. Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sampah dimulai
dengan membentuk Kelompok Masyarakat (Pokmas) dalam pemilahan dan pengumpulan sampah rumah
tangga. Pemda Probolinggo menetapkan kebijakan terkait dengan Sistem Pemilihan dan Pengumpulan
Sampah dan memfasilitasi masyarakat dalam pelatihan, pendanaan dan penguatan kelembagaan. Tulisan
ini bertujuan untuk mendeskripsikan peran komunitas, organisasi masyarakat dan pemerintah dalam
menerapkan pola pilah kumpul dengan mengambil studi kasus Kota Probolinggo dalam menunjang reduksi
sampah di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah. Metoda pengumpulan data diperoleh dari data
sekunder, observasi lapangan, wawancara terstruktur dengan pengelola persampahan. Metode analisis
dilakukan deskriptif evaluatif terhadap aspek teknis, pembiayaan dan kelembagaan. Disimpulkan bahwa
kunci keberhasilan dalam pola pilah kumpul olah adalah perubahan perilaku masyarakat serta adanya
fasilitasi tokoh masyarakat dan pemerintah. Pola pilah kumpul dilakukan masyarakat dan olah dilakukan
oleh pemerintah di unit pengomposan di TPA. Untuk meningkatkan pemasaran, pola pemasaran kompos
dengan ketentuan keuntungan 70% untuk kelompok masyarakat dan 30% untuk Dinas Kebersihan
merupakan upaya yang efektif dalam mendorong partisipasi dan memberikan reward terhadap masyarakat
dalam melakukan pemilahan dan pengumpulan di sumber.
Kata Kunci : Peran, komunitas, pengelolaan sampah, pilah, kumpul, olah, reduksi
Abstract
Community has a key role in paradigm change of solid waste management based on collecting-transporting-
dumping to sorting-collecting-treating. Probolinggo is a city succeeded in increasing the role of community
participation concerns with solid waste sorting. The community to organize Community Grouping sorting
and collecting of solid waste. The Local Government of Probolinggo set policy concern with Sorting System
and Collecting of Solid Waste and facilitated to the community in training, financing and strengthening the
community institution. This paper focus on description of the community role, community organization and
Government in implementation pattern of collecting-transportingdumping to sorting-collecting-treating
with the case study of Probolinggo city to reduce solid waste at Final Processing Site. Methodology of data
collection are secondary data, field observation, interview. The analysis by descriptive evaluative of technical,
financial and institutional aspects. In conclusion, the key success in sorting-collecting-treating are the change
of community behavior with the facilitated by community leader and government. The sorting-collecting of
solid waste is done by community and treating of solid waste is done by the Cleaning Agency at composting
site creates a role sharing and partnership between Community and The Cleaning Agency. To improve the
compost marketing, the pattern with benefit sharing of compost 70% for community group and 30% for the
Cleaning Agency is on effective effort in encouraging participation and rewarding to the community in doing
the sorting and collection at source.
Keywords : Role, community, solid waste management, sorting, collecting, treating, reduction
PENDAHULUAN
Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata
Perdesaan, Departemen Permukiman dan
Prasarana Wilayah (2003) menyebutkan bahwa
pada lima tahun terakhir ini pengelolaan
kebersihan kota di Indonesia mengalami
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 24-32
25
penurunan sebagai akibat timbulnya krisis
ekonomi. Pada tahun 2000 hanya 32,1% penduduk
perkotaan yang mendapat pelayanan persampahan
atau sejumlah 35,2 juta orang dari penduduk
sejumlah 109,4 juta di 384 kota seluruh Indonesia.
Kondisi ini jauh lebih buruk dari kondisi hasil
catatan Biro Statistik tahun 1998, dimana 49,9%
penduduk dapat terlayani. Situasi yang
digambarkan di atas menggambarkan beratnya
untuk mengusahakan pelayanan pengelolaan
persampahan dalam memenuhi target kesepakatan
Konferensi Tingkat Tinggi Bumi Johannesburg
pada tahun 2015. Targetnya adalah tambahan
pelayanan 50% dari yang belum memperoleh
pelayanan selama ini. Tambahan pelayanan yang
diusahakan ini merupakan amanat yang tertuang
dalam Millenium Development Goal (MDG), bahwa
pada tahun 2015 minimal 50% penduduk yang
selama ini belum terlayani akan mendapat
pelayanan pengelolaan persampahan.
Salah satu upaya percepatan pencapaian target
MDG adalah penerapan pola pilah kumpul dan olah
dalam pengelolaan masyarakat. Penerapan pola ini
memerlukan peran aktif masyarakat sebagai
pelaku kunci pengelolaan sampah di sumbernya.
Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan
peran komunitas, organisasi masyarakat dan
pemerintah dalam menerapkan pola pilah kumpul
dan olah dengan mengambil studi kasus kota
Probolinggo dalam menunjang reduksi sampah di
TPA.
KAJIAN PUSTAKA
Peran Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor
18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, BAB
IX PERAN MASYARAKAT, Pasal 28 menyebutkan :
(1) Masyarakat dapat berperan dalam pengelolaan
sampah yang diselenggarakan oleh pemerintah
dan / atau pemerintah daerah.
(2) Peran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan melalui :
a. pemberian usul, pertimbangan, dan saran
kepada pemerintah dan/atau pemerintah
daerah;
b. perumusan kebijakan pengelolaan sampah;
dan/atau
c. pemberian saran dan pendapat dalam
penyelesaian sengketa persampahan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan
tata cara peran masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan peraturan pemerintah dan/atau
peraturan daerah.
Dalam melakukan langkah-langkah percepatan
pembangunan sanitasi ini, Kementerian Pekerjaan
Umum sudah mengeluarkan kebijakan dan strategi
persampahan (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
Nomor 21/PRT/M/2006) yang memuat 5 (lima)
butir kebijakan sebagai berikut :
Kebijakan (1) : Pengurangan sampah semaksimal
mungkin dimulai dari sumbernya
Kebijakan (2) : Peningkatan peran aktif
masyarakat dan dunia usaha/
swasta sebagai mitra pengelolaan
Kebijakan (3) : Peningkatan cakupan pelayanan
dan kualitas sistem pengelolaan
Kebijakan (4) : Pengembangan kelembagaan,
peraturan dan perundangan
Kebijakan (5) : Pengembangan alternatif sumber
pembiayaan.
Keinginan pemerintah mengedepankan
pendekatan 3R telah secara nyata dikemukakan
dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
21/PRT/M/2006 yang memfokuskan upaya 3R
sebagai strategi nasional yang menggariskan
bahwa sampai tahun 2014 pengurangan sampah
hendaknya mencapai 20%. Target strategi nasional
pada sektor pengelolaan sampah adalah sebagai
berikut :
1. Mendukung pencapaian tingkat pelayanan
pengolahan sampah 60% pada tahun 2010.
2. Mendukung pengurangan jumlah sampah
melalui 3R sampai 20% pada tahun 2014.
3. Meningkatkan kualitas landfill :
- Controlled Landfill (CLF) untuk kota kecil
dan menengah.
- Sanitary Landfill (SLF) untuk kota besar
dan kota metropolitan.
- Penghentian Open Dumping.
4. Mendukung pelaksanaan di tingkat institusi
dan kerjasama regional.
Masyarakat memiliki hak dan kewajiban dalam
kegiatan-kegiatan pengelolaan lingkungan. Hal
tersebut sebagaimana diamanatkan dalam Undang-
undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup pada pasal 5
sebagai berikut :
1. Setiap orang mempunyai hak yang sama atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat.
2. Setiap orang mempunyai hak atas informasi
lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran
dalam pengelolaan lingkungan hidup.
3. Setiap orang mempunyai hak untuk berperan
dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup
sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pendekatan Peningkatan Peran Masyarakat
Pada umumnya, ada 3 pendekatan dalam
mengoptimalkan interaksi antara masyarakat
umum dengan pengelolaan sampah kota.
Peran Komunitas dalam (Sri D., Fitrijani A.)
26
1. Peningkatan kesadaran masyarakat
Pendekatan ini didasarkan bahwa kesadaran
masyarakat terhadap kesehatan dan lingkungan
berimplikasi terhadap pengurangan pembuangan
sampah secara illegal dan menjamin kerjasama
yang baik dalam program pengumpulan,
pemilahan dan pengolahan sampah kota.
Motif masyarakat untuk berpartisipasi dalam
pengelolaan sampah adalah :
- Kemungkinan pengurangan biaya pengumpulan
sampah.
- Ketertarikan masyarakat terhadap kebersihan
lingkungan.
2. Penyediaan pelayanan yang baik
Pendekatan ini didasarkan pada keyakinan bahwa
masyarakat secara otomatis akan berpartisipasi
jika prasarana pengumpulan sampah dekat dan
mudah dijangkau termasuk bagi anak-anak dan
pelayanan masyarakat dan pengangkutan sampah
berjalan teratur sehingga terjaga kebersihan
lingkungan.
3. Peraturan lingkungan
Pendekatan ini didasarkan bahwa masyarakat akan
bertanggung jawab dalam pengelolaan sampah jika
ada peraturan lingkungan yang ketat yang disertai
dengan sanksi bagi yang melanggar. Hal ini
membutuhkan monitoring yang mahal terhadap
pengendalian perilaku masyarakat.
Peran Masyarakat dalam Pola Pilah Kumpul
Olah
Pengelolaan sampah saat ini masih mengandalkan
sistem konvensional yaitu kumpul-angkut-buang
sehingga masih bergantung pada Tempat
Pemrosesan Akhir (TPA) sampah sedangkan TPA
yang tersedia sangat terbatas sesuai dengan umur
pakai (Riatno, P., Setijati, H., dan Vidyaningrum W.,
2007). Kondisi demikian menuntut perubahan
paradigma pengolahan menjadi pola pilah, kumpul
dan olah (Sonhadji, 2008).
Perubahan paradigma pengelolaan sampah dari
pola kumpul, angkut dan buang menjadi pola pilah,
kumpul dan olah membutuhkan pelibatan aktif
masyarakat. Pilah dan kumpul dilakukan oleh
masyarakat sejak dari sumber yaitu rumah tangga,
selanjutnya olah dilakukan oleh pemerintah
sebelum masyarakat sendiri mampu melakukan
pengolahan.
Tanpa adanya peran serta masyarakat, program
pengelolaan persampahan yang direncanakan
banyak yang gagal. Salah satu pendekatan
masyarakat untuk membantu keberhasilan
program pemerintah adalah membiasakan tingkah
laku masyarakat sesuai dengan program
persampahan yaitu merubah persepsi masyarakat
terhadap pengelolaan sampah yang tertib, lancar
dan merata; merubah kebiasaan masyarakat dalam
pengelolaan sampah yang kurang baik dan
merubah faktor-faktor sosial, struktur dan budaya
setempat (Ni Komang Ayu Artiningsih, 2008).
Pengalaman Beberapa Kota Dalam Reduksi
Sampah Melalui Program 3R
Beberapa kota telah cukup berhasil melakukan
program 3R yang menunjang reduksi sampah kota
hingga 7-8% antara lain Cimahi dan Jakarta. Saat
ini produksi sampah rumah tangga di Kota Cimahi
masih mencapai 1.300 meter kubik per hari.
Namun, jumlah itu telah berhasil direduksi hingga
7-9 persen per tahun. Reduksi dilakukan dengan
pemilahan dan pengolahan sampah menjadi
produk kriya dari tingkat rumah tangga dan
pengomposan. (www.pikiranrakyat.com, 18 Maret
2011).
Program pengelolaan sampah melalui konsep 3R
yang digalakkan Pemprov DKI Jakarta mulai
membuahkan hasil. Setidaknya, sekitar tujuh
persen sampah dari total produksi 29.344 meter
kubik per hari atau 6.525 ton per hari.
Pengurangan terjadi di 94 titik. Dalam RPJMD
(Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah)
2007-2012, sampah harus dapat dikurangi 12
hingga 15 persen. Sehingga, selain pembangunan
TPST, peran aktif masyarakat sangat dibutuhkan
dalam mengelola sampah sendiri. Pengelolaan
sampah di Jakarta saat ini dilakukan dengan sistem
swastanisasi dengan penerapan teknologi tinggi
untuk mengarahkan pengolahan bisa berdampak
menjadi aset daerah. (http://megapolitan.infogue.
com/dki_berhasil_reduksi_sampah_7_persen).
METODOLOGI PENELITIAN
Pengumpulan data diperoleh dari data sekunder
dilakukan melalui observasi lapangan dan
wawancara terstruktur terhadap 10 responden
stakeholder kunci yaitu: (1) Bagian Teknis
Persampahan, Badan Lingkungan Hidup Kota
Probolinggo (2) Pengelola UPTD Komposting di
TPA Probolinggo (3) Pengelola Pokmas (4)
Pengelola PAPESA (5) Pengelola Komunitas
FORJAMANSA (6) Pengelola Komunitas Eco-
Pesantren (7) Pengelola Komunitas Rembug KAHBI
(8) Pengelola Paguyuban Kader Lingkungan (PKL)
(9) Ketua RT/RW (10) Kader Lingkungan. Data
wawancara terhadap pemerintah berupa data
karakteristik fisik daerah penelitian dan data
mengenai kondisi sistem pengelolaan sampah yang
ada meliputi sarana persampahan yang tersedia,
pengelolaan persampahan serta timbulan sampah
Kota Probolinggo. Wawancara terhadap komunitas
meliputi peran dalam pemilahan, pengumpulan,
pemanfaatan sampah organik, sosialisasi,
perencana program, pelatihan, dialog, partnership
dan pendanaan. Wawancara terhadap masyarakat
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 24-32
27
meliputi peran dan kerjasama dengan pemerintah
dalam pola pilah, kumpul dan olah. Metode analisis
dilakukan deskriptif evaluatif terhadap aspek
pembiayaan dan kelembagaan.
HASIL
Pengelolaan Sampah Kota Probolinggo
Visi dan Misi Bidang Persampahan
Probolinggo terletak di Jawa Timur. Penduduk
pada tahun 2008 adalah sebesar 216.833 jiwa
(http://probolinggokota.go.id, Januari 2011).
Kota Probolinggo merupakan kota sedang yang
mempunyai visi : mewujudkan pemanfaatan
sampah berbasis komunitas untuk menunjang
terwujudnya Probolinggo bersih, hijau dan lestari.
Untuk mencapai visi tersebut, misi yang diemban
adalah :
1. memfasilitasi pemilahan dan pengumpulan
sampah sejak dari sumber sampah
2. melaksanakan pengolahan sampah
3. melaksanakan distribusi hasil pengolahan
sampah
4. melaksanakan diseminasi dan sosialisasi
pengolahan sampah dan pemanfaatannya
5. mengembangkan pengelolaan sampah berbasis
komunitas
Visi dan misi tersebut diwujudkan dengan
berpegang pada nilai-nilai dasar, yaitu :
1. Komitmen dalam menjalankan tugas
2. Mengupayakan keberlanjutan program
3. Melibatkan peran serta masyarakat
4. Berprinsip kerja learning by doing
Pengelolaan Sampah
Produksi dan Komposisi Sampah ditampilkan
pada tabel 1, tabel 2 dan tabel 3.
Tabel 1 Volume Timbulan Sampah Kota Probolinggo
No Sumber Sampah
Volume Timbulan Sampah
(m
3
/hari)
1. Permukiman 512,11
2. Industri 186,3
3. Pasar 84,8
4. Fasilitas perdagangan 44,2
5. Fasilitas kesehatan 3
Total 830,41
Sumber : BLH-Bidang Kebersihan, 2007
Tabel 2 Komposisi Sampah Kota Probolinggo
No Jenis Penggunaan Lahan
Komposisi Sampah (%)
Organik Kertas Plastik Kaca Logam Lainnya
1. Perumahan 76,14 12,00 9,29 1,14 - 1,43
2. Fasilitas perdagangan dan jasa 17,70 37,23 42,12 - - 2,95
3. Fasilitas kesehatan 32,00 29,00 31,00 - 3,00 5,00
4. Pasar 92,00 1,00 7,00 - - -
5. Industri 53,36 36,67 10,00 - - -
Rata-rata 49,36 27,93 19,00 0,19 0,5 2,68
Sumber : BLH-Bidang Kebersihan, 2007
Tabel 3 Volume Sampah yang Terangkut Ke TPA Probolinggo
No Sumber Sampah
Rata-rata Per Hari
(m
3
)
Rata-rata Per
Bulan (m
3
)
Total 1 Tahun (m
3
) %
1. Permukiman 128,1 3.896,3 46.755 32,8
2. Industri 93,3 2.838,9 34.067 23,9
3. Pasar 73,4 2.232,6 26.791 18,8
4. Pertokoan 38,7 1.176,8 14.121 10,0
5. Perkantoran 23,1 703,8 8.446 5,9
6. Hotel dan restoran 16,9 514,1 6.169 4,4
7. Alun-alun dan terminal 13,4 407,0 4.884 3,4
8. Fasilitas kesehatan 3,7 111,1 1.333 0,9
Total 390,5 11.880,5 142.566 100,0
Sumber : BLH-Bidang Kebersihan, 2008
Program Pilah, Kumpul, Olah
Terkait dengan kegiatan pengelolaan sampah,
berbagai koridor kebijakan telah dibuat. Dalam
kaitan dengan kebersihan dan pengolahan sampah,
telah ditetapkan Peraturan Daerah Kota
Probolinggo Nomor 17 Tahun 2002 tanggal 11
November 2002 Kebersihan dan Keputusan
Walikota Probolinggo Nomor 11 Tahun 2003
tanggal 8 Februari 2003 tentang Sistem Pemilahan
dan Pengumpulan Sampah.
- Pengomposan Rumah Tangga
BLH Kota Probolinggo memberikan setiap Rumah
Tangga satu KOMPOSTER untuk dikelola oleh
warganya. Contohnya di Perumahan Kopian Indah,
BLH telah menyediakan KOMPOSTER AEROB ini
secara cuma-cuma.
- Pengomposan kawasan
Di Kota Probolinggo, saat ini ada empat lokasi
pengolahan sampah menjadi kompos. Lokasi
Peran Komunitas dalam (Sri D., Fitrijani A.)
28
adalah Unit Pelaksanaan Teknis Pengolahan
Sampah dan Limbah yang menjadi induknya serta
UPT Pengolahan Sampah Pasar Baru Kota
Probolinggo hasil kerjasama dengan Yayasan
Danamon Peduli. Kedua unit pengolahan tersebut
untuk skala kawasan. Sedangkan dua unit lainnya
termasuk skala lingkungan adalah Pengolahan
Sampah di Perumahan Sumber Taman dan
Perumahan Ketapang.
Unit Pengolah Sampah di TPA
Proses pengolahan sampah organik menjadi
kompos dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis
Dinas (UPTD) Komposting pada Badan Lingkungan
Hidup (BLH) Kota Probolinggo yang dibentuk
berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun
2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas
Daerah dan Peraturan Walikota Probolinggo
Nomor 23 Tahun 2005 tentang Tugas Pokok dan
Fungsi Badan Lingkungan Hidup.
Pengolahan sampah organik dengan pengomposan
dirintis dari kerjasama dengan BPPT, sistem
pengolahan sampah organik dan sampah halaman
terpilah. Sampah bersumber dari masyarakat yang
sudah melakukan pemilahan dan pengumpulan
sampah organik dan anorganik.
Kegiatan pengomposan dilaksanakan di areal
komposting yang dibangun di atas sebuah lahan di
dalam kompleks TPA (area sebelah timur),
prasarana ini memiliki 2 unit bangunan terbuka
untuk kegiatan operasional dan 1 unit bangunan
kantor untuk kegiatan administratif dimana
perkembangan proses pengomposan dicatat dan
dipantau secara periodik dalam upaya
mendapatkan hasil yang optimal dan memenuhi
Standar Kualitas Produk. Sebagai penunjang
aktifitas pengomposan, prasarana ini juga
dilengkapi dengan 1 unit Trash Crusher Machine
yang berfungsi untuk mencacah / menghancurkan
sampah organik.
Fungsi utama yang menjadi landasan kerja UPTD
Komposting adalah :
Mengolah sampah organik menjadi produk
yang bermanfaat;
Mendesiminasikan pengolahan kompos dan
pemanfaatannya sebagai bentuk pemberdayaan
komunitas dan pendidikan.
Produk kompos dibuat tipe kompos biasa dan
kompos granular dengan diberi pewarnaan (hitam
dan putih) dan diberi merk produk, seperti
ditampilkan pada tabel 4.
Pada tahun 2008 UPTD melengkapi dengan mesin
pengolah plastik, namun belum dioperasikan
karena menunggu catu daya listrik 110.000 watt.
Tabel 4 Jumlah Sampah Organik yang Diolah Menjadi
Kompos
Tahun Jumlah Sampah Organik yang
Dikomposkan (Ton)
Jumlah
Kompos (Ton)
2006 17,1 42,8
2007 122 48,8
2008 308 77
Sumber : Sonhadji, 2008
Pelibatan Komunitas
Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sampah
dimulai dengan membentuk Kelompok Masyarakat
(Pokmas) dalam pemilahan dan pengumpulan
sampah rumah tangga. Proses pembentukan
Pokmas dilakukan melalui sosialisasi kepada
masyarakat mulai tingkat RW maupun kelurahan
yang selanjutnya diberikan pelatihan teknis dan
penguatan kelembagaan
Satu kelompok masyarakat (pokmas) terdiri atas
10 hingga 15 rumah tangga yang bertugas
melakukan pemilahan sampah organik dan
anorganik dari rumah tangganya masing-masing.
Selanjutnya dikumpulkan dalam zak-zak plastik.
Setelah terkumpul minimal 5 zak sampah organik,
maka ketua Pokmas menghubungi Unit Pelaksana
Teknis Dinas (UPTD) Komposting pada Badan
Lingkungan Hidup (BLH) Kota Probolinggo agar
sampah yang sudah terkumpul diambil petugas
komposting untuk diproses menjadi kompos.
Untuk sampah anorganik yang masih bernilai
ekonomi dapat langsung dijual ke pasar pengepul
sampah. Hasil pengolahan sampah berupa kompos
selanjutnya dikembalikan kepada Pokmas dengan
ketentuan 70% untuk masyarakat dan 30%
dikelola UPTD Komposting. Pengembalian kompos
kepada Pokmas dimaksudkan sebagai penghargaan
atas partispasi pokmas dalam melakukan
pemilahan dan pengumpulan yang sudah dimulai
dari sumber. Sedangkan 30% yang dikelola UPTD
sebagai bentuk jasa pengolahan sampah yang telah
dilakukan. Pemanfataan kompos oleh masyarakat
diharapkan untuk memupuk tanaman di
lingkungan atau kegiatan pertanian, selain itu
Pokmas dapat menjual kompos kepada konsumen.
Pemerintah Kota Probolinggo tidak mengambil
keuntungan dari proses ini, karena kegiatan ini
merupakan bagian dari pelayanan masyarakat
yang diberikan oleh Kota Probolinggo agar
masyarakat termotivasi untuk meningkatkan sikap
sehat dan bersih.
Satu kelompok masyarakat (pokmas) terdiri atas
10 hingga 15 rumah tangga. Kelompok ini bertugas
mengumpulkan dan memilah sampah yang
dihasilkan di lingkungan masing-masing. Jika
sudah terkumpul, koordinator menghubungi
rumah kompos agar sampahnya segera diambil.
Hingga sekarang, sudah terbentuk kurang-lebih
100 kelompok masyarakat.
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 24-32
29
Organisasi Kemasyarakatan Bidang Pengelola-
an Sampah
1. Paguyuban Peduli Sampah (PAPESA)
Dalam perkembangannya, Pokmas mengorgani-
sasikan diri dalam wadah-wadah yang berfungsi
mengkoordinasi kegiatan pemilahan, pengumpulan
dan pemanfaatan sampah yaitu dengan
membentuk Paguyuban Peduli Sampah yang
dibentuk dengan Keputusan Walikota Probolinggo
Nomor 188.45/257/KEP/425.012/2006 tanggal
28 September 2006. Selain itu Pemda memberikan
legalitas terhadap keberadaaan lembaga sosial
masyarakat tersebut, organisasi ini diberikan
alokasi dana untuk kegiatan operasional, dimana
kelompok-kelompok dapat mengajukan proposal
program dan sosialisasi serta studi banding.
Pembentukan PAPESA kota Probolinggo yang
diprakarsai oleh Unit Pelaksana Teknis Dinas
(UPTD) Komposting Kota Probolinggo ini
bertujuan untuk :
- Memberikan pemahaman secara lebih
komprehensif kepada masyarakat mengenai
berbagai kondisi, permasalahan dan potensi
persampahan rumah tangga dan lingkungan;
- Menimbulkan kepedulian serta menciptakan
wadah kegiatan bagi masyarakat untuk turut
berperan serta dalam proses pengelolaan
sampah rumah tangga;
- Menciptakan dan mengembangkan
kemandirian masyarakat agar mampu baik
secara program maupun kelembagaan dalam
melakukan pengelolaan persampahan rumah
tangga;
- Mereduksi sampah rumah tangga yang dibuang
ke Tempat Pengumpulan Akhir (TPA) melalui
berbagai kegiatan pemanfaatan dan pengolahan
sampah;
- Menciptakan net working dalam pengelolaan
sampah rumah tangga melalui jalinan pola
kemitraan dengan masyarakat dan swasta.
2. Forum Jaringan Manajemen Sampah Kota
(FORJAMANSA)
Sebagai wujud dari kesadaran dan kepedulian
masyarakat untuk turut berperan serta secara aktif
dalam memecahkan dan mengatasi berbagai
permasalahan dalam pengelolaan persampahan di
Kota Probolinggo, pada tanggal 17 Maret 2005
telah dibentuk sebuah wadah bagi kegiatan
pemikiran, perencanaan serta pengimplementasian
berbagai program pengelolaan sampah yaitu
Forum Jaringan Manajemen Sampah (Forjamansa)
yang mana jaringan kegiatan forum tersebut
dibentuk secara menyeluruh dan berjenjang hingga
lapisan terbawah yaitu tingkat RT/RW (POKMAS).
Forum ini bernaung di bawah jaringan tingkat
nasional yaitu Jaringan Pengelolaan Sampah
Nasional (JALA-Sampah) yang dibentuk pada
tanggal 14 Juni 2003.
Susunan kepengurusan FORJAMANSA terdiri dari
Dewan Pertimbangan, Pengurus Harian dan
Humas. Sedangkan bidang yang dijadikan sebagai
fokus kegiatan terdiri dari 4 Pilar Garapan yaitu :
a. Infrastruktur
b. Regulasi
c. Pemberdayaan Masyarakat
d. Partnership
Beberapa program pengelolaan sampah yang telah
dirumuskan dan dicanangkan Forum Jaringan
Manajemen Sampah (FORJAMANSA) adalah
peningkatan kualitas sumber daya manusia,
perbaikan sistem manajemen sampah, optimalisasi
pemanfaatan sarana dan prasarana, tenaga dan
dana serta sosialisasi kegiatan pemilahan dan
reduksi sampah.
3. Kegiatan Rembug KAHBI (Kampungku Hijau,
Bersih dan Indah)
Adalah forum komunikasi publik yang bertujuan
untuk mewujudkan Kampung Hijau Bersih dan
Indah yang dilaksanakan secara bergiliran di tiap
kelurahan di Kota Probolinggo. Rembug KAHBI
dipimpin langsung oleh Walikota Probolinggo
dengan didampingi oleh seluruh Kepala Unit Kerja
termasuk Muspida. Rembug KAHBI dihadiri oleh
perwakilan masyarakat kelurahan yang terdiri atas
RT, RW, tokoh agama, tokoh masyarakat dan LSM
untuk diskusi atau urun rembug antara warga
dengan pemerintah seputar masalah kebersihan
dan keindahan di lingkungan mereka. Kegiatan ini
juga merupakan salah satu bentuk dari upaya
proaktif pemerintah dan warga masyarakat untuk
secara bersama-sama mewujudkan peningkatan
kemandirian masyarakat dalam mengelola
kebersihan di lingkungan mereka.
4. Paguyuban Eco-Pesantren
Adalah wadah bagi pondok pesantren
memfasilitasi terwujudnya pondok pesantren
berwawasan lingkungan. Program yang dilakukan
adalah pengolahan sampah organik menjadi
kompos dan memberikan sosialisasi kepada
pondok pesantren di Kota Probolinggo dalam
mengubah paradigma pengelolaan sampah di
lingkungan pondok pesantren.
5. Paguyuban Kader Lingkungan (PKL)
Adalah wadah dari Kader Lingkungan PKK
kecamatan dan kelurahan se-Kota Probolinggo
yang kegiatannya berkaitan dengan pengelolaan
kebersihan khususnya dalam hal penanganan
pemanfaatan sampah organik serta secara aktif
menstimulasi pelibatan dan pemberdayaan
masyarakat dalam mengurangi sampah sejak dari
sumbernya yaitu dengan menggunakan
pendekatan dan paradigma baru dalam
Peran Komunitas dalam (Sri D., Fitrijani A.)
30
penanganan sampah yaitu Reduce, Reuce dan
Recycle. Peningkatan peran kader lingkungan ini
antara lain dengan memberikan pelatihan social
worker dan Pelatihan Daur Ulang Sampah.
PEMBAHASAN
Peran Komunitas
Peran komunitas terhadap kegiatan pengelolaan
sampah dapat dilihat pada tabel 5 berikut.
Tabel 5 Peran Komunitas dalam Pengelolaan Sampah di Kota Probolinggo
No Kegiatan Pokmas Papesa
Forja
Mansa
Eco
Pesantren
Rembug
KAHBI
PKL
1 Pemilahan
2 Pengumpulan
3 Pemanfaatan Sampah Organik
4 Sosialisasi
5 Perencana Program
6 Peningkatan SDM / Pelatihan
7 Forum Dialog
8 Networking / Partnership
9 Mencari sumber dana
Sumber : Hasil Analisis, 2009
Peran Pemerintah
Pemda banyak memfasilitasi gerakan partisipasi
masyarakat dengan pelibatan stakeholder dan
kerjasama kemitraan antara Pemda, masyarakat.
Fasilitasi berupa pelatihan dan pendanaan
terhadap aktivitas kelompok-kelompok peduli
sampah sehingga memotivasi masyarakat dalam
melakukan gerakan pengelolaan sampah dan
menumbuhkan kerjasama yang baik masyarakat
dengan Pemda.
Program-program Pemerintah telah menimbulkan
mutiplier effect yang besar pengaruhnya terhadap
bidang-bidang kehidupan masyarakat. Program ini
telah menumbuhkan gerakan partisipasi
masyarakat dari berbagai kalangan baik secara
langsung melakukan pengolahan sampah maupun
forum diskusi yang memberikan advokasi kepada
berbagai stakeholders pembangunaan Kota
Probolinggo untuk memberikan perhatian
terhadap pentingnya menjaga kelestarian
lingkungan. Secara rinci peran pemerintah
ditampilkan pada tabel 6.
Tabel 6 Peran Pemerintah
No Kegiatan
1 Penetapan kebijakan
2 Sosialisasi
3 Pelatihan teknis
4 Penguatan kelembagaan
5 Pendanaan
6 Jasa pengolahan sampah
7 Dukungan legalitas
8 Forum dialog
9 Advokasi
Sumber : Hasil Analisis, 2009
Pola Kemitraan Pemerintah dan Masyarakat
Pola pilah kumpul yang dilakukan masyarakat dan
olah yang dilakukan oleh pemerintah ke unit
pengomposan di TPA menciptakan pembagian
peran yang baik antara masyarakat dan Dinas
Kebersihan. Dari aspek penyediaan bahan baku
pengomposan, pola ini menjadi unit pengomposan
di TPA dapat berkelanjutan.
Jika komitmen ini terus berjalan dan Pokmas-
pokmas dapat mewujudkan pengolahan sampah
terpadu berbasis 3R di sumber sampah dan TPA
merupakan pemrosesan sampah. Fasilitas
pengolahan sampah menjadi pupuk organik dapat
membantu pemerintah daerah menyelesaikan
timbunan sampah serta mengembangkan
pertanian organik di Kabupaten Probolinggo dan
sekitarnya. Dalam kerjasama tersebut pemerintah
daerah berkewajiban menyediakan sebidang lahan,
sedangkan pihak swasta membangun rumah
kompos dan memberikan bantuan mesin-mesin
produksi, peralatan-peralatan kerja dan pelatihan.
Reduksi Sampah
Pengelolaan persampahan Kota Probolinggo bisa
dioptimalkan dengan penerapan konsep daur
ulang dan composting untuk mengurangi timbulan
sampah Kota Probolinggo. Pada tahun 2008,
sampah permukiman yang dihasilkan adalah
512,11 m
3
/hari. Pada tahun 2008, komposisi
sampah Kota Probolinggo adalah 76,14% sampah
organik, sangat menunjang untuk didaur ulang
untuk menjadi kompos dan 23,86% sampah
anorganik. Jadi total sampah organik yang dapat
diolah sebanyak 389,83 m
3
/hari. Melalui rangkaian
proses sistem reduksi sampah domestik skala
rumah tangga dan komunal akhirnya, jumlah
sampah organik yang diolah menjadi kompos
sebesar 272,88 m
3
/hari. Program pengolahan
persampahan terpadu 3R menargetkan
pengurangan sampah hingga 1215%, yaitu
sebanyak 32,75 m
3
/hari. Jadi prosentase sampah
domestik yang berhasil direduksi adalah sebesar
6% atau sekitar 6,4 ton/hari. Tingkat keberhasilan
yang cukup, dari target 2012 untuk reduksi
sampah 12%-15% lewat program 3R.
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 24-32
31
Penerapan daur ulang dan komposting dapat
mengurangi jumlah timbulan yang masuk ke TPA.
Dalam konsep reduksi sampah dengan komposting
dan daur ulang ini pada awal perencanaan tahun
2008 dapat mengurangi volume sampah yang
dibuang ke TPA sebanyak 6,4 ton/hari.
Manfaat Ekonomi
Program pengolahan sampah organik menjadi
kompos adalah program yang bersifat public servis
sehingga operasional pengelolaan program
termasuk biaya operasional Paguyuban Peduli
Sampah seluruhnya didanai dari APBD Kota
Probolinggo. Komponen-komponen pembiayaan
operasional program meliputi : gaji dan upah, alat
tulis, bimbingan teknis dan sosialisasi, pengadaan
bahan material penunjang, publikasi dan BBM
transportasi. Sedangkan komponen Paguyuban
Peduli Sampah meliputi biaya sosialisasi kepada
masyarakat. Hasil pengolahan sampah berupa
kompos selain dikembalikan kepada Pokmas
sebesar 70% dan 30% dimanfaatkan oleh UPT
Pengolahan Sampah dan Limbah selanjutnya dijual
ke konsumen. Hasil penjualan ke konsumen
dibedakan menjadi 3 macam yaitu penjualan
melalui penitipan di stand-stand (membayar jika
sudah laku), penjualan langsung kepada
masyarakat umum di lokasi TPA dan penjualan
kepada kelompok tani. Khusus penjualan kepada
kelompok tani diberikan bantuan keuangan dalam
bentuk subsidi harga sebesar 50% dari harga yang
telah ditetapkan sebesar Rp. 750,-/kg, yaitu
sebesar Rp. 350,-/kg. Pemberian subsidi harga
kepada kelompok tani ditetapkan melalui
Keputusan Walikota Probolinggo Nomor 11 Tahun
2007. Hasil penjualan kompos disetorkan ke kas
daerah.
Selain itu, ada manfaat lain yang diperoleh
masyarakat yaitu pembuatan kerajinan dari
sampah non organik. Ada usaha pembuatan
souvenir di pokmas berupa tas dan dompet.
Pekerjaan ini sebagian besar dilaksanakan oleh
kaum perempuan.
Pembuat kerajinan dari sampah non organik dapat
menjual kerajinannya langsung atau melalui
koperasi yang didukung oleh kantor lingkungan
hidup Kota Probolinggo. Masyarakat telah
memisahkan sampah organik dan anorganik
selama tiga tahun, dan pada dua tahun terakhir
membuat kerajinan dari sampah plastik, mendapat
tambahan penghasilan antara Rp. 20.000,-
Rp. 30.000,- per hari dari kerajinan ini. Masya-
rakat sangat bangga pada kegiatan yang
dijalaninya. Sampah dapat membuat masalah,
tetapi jika ditangani dan dimanfaatkan dengan
baik, sampah bisa menambah penghasilan bagi
keluarga.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Pola pilah kumpul yang dilakukan masyarakat
dan olah yang dilakukan oleh Pemerintah
daerah di unit pengomposan di TPA
menciptakan pembagian peran dan kemitraan
yang baik antara masyarakat dan pemda dalam
pengelolaan sampah di Kota Probolinggo.
2. Pola pilah kumpul dan olah dapat
meningkatkan/menghasilkan reduksi volume
sampah domestik yang masuk TPA 6,4 ton/
hari (6%) dan masyarakat mendapat tambahan
penghasilan antara Rp. 20.000, Rp. 30.000,-
per hari.
3. Pola pemasaran kompos dengan ketentuan
70% untuk masyarakat dan 30% dikelola UPTD
Komposting meningkatkan penghargaan atas
partisipasi pokmas dalam melakukan
pemilahan dan pengumpulan yang sudah
dimulai dari sumber.
4. Kunci keberhasilan dalam pengelolaan sampah
adalah perubahan perilaku masyarakat serta
adanya pembinaan dari tokoh penggerak
masyarakat/fasilitator. Perubahan perilaku
perlu didukung oleh kegiatan yang dapat
menumbuhkan motivasi masyarakat dalam
pengelolaan sampah dengan penghargaan dan
motif keuntungan ekonomi dan lingkungan.
Saran
Diharapkan peran serta masyarakat terus
berlanjut. Kelompok masyarakat yang ada
sekarang ini sangat membantu dalam proses
pengolahan sampah organik menjadi kompos dan
sampah anorganik menjadi kerajinan yang bernilai
ekonomis. Pengelolaan sampah di sumber akan
mengurangi penumpukan sampah di tempat
pembuangan akhir (TPA).
Kegiatan pembuatan pupuk organik kompos di
Kota Probolinggo supaya terus dikembangkan,
sehingga dapat mereduksi sampah > 6,4 ton per
hari dan sebaiknya direplikasi di daerah-daerah di
Indonesia karena bermanfaat dalam penyediaan
pupuk organik, menjaga kebersihan kota dan
memberi manfaat ekonomi bagi pengelola
kebersihan.
DAFTAR PUSTAKA
Artingsih, Ni Komang Ayu. 2008. Peran Serta
Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah
Rumah Tangga (Studi Kasus di Sampangan
dan Jomblang, Kota Semarang). Tesis Program
Magister Ilmu Lingkungan. Program Pasca
Sarjana, Universitas Diponegoro, Semarang.
Darwati, S, Anggraini, F, Murdiyati dan
Widyahantari, R. 2008. Penerapan 3R di Kota
Peran Komunitas dalam (Sri D., Fitrijani A.)
32
Malang dan Probolinggo. Pusat Penelitan dan
Pengembangan Permukiman.
Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata
Perdesaan. 2003. Executive Summary:
National Action Plan Bidang Persampahan.
Departemen Permukiman dan Prasarana
Wilayah.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
21/PRT/M/2006 tentang Kebijakan dan
Strategi Pengembangan Sistem Pengelolaan
Persampahan (KNSP-SP).
Riatno, P., Setijati, H.E., dan Vidyaningrum, W.,
2007. Studi Evaluasi Pengelolaan Sampah
dengan Konsep 3R (Studi Kasus : Kec.
Cilandak, Jakarta Selatan). Jurnal Teknologi
Lingkungan Universitas Trisakti Vol 4 No 1.
Jakarta. Jurusan Teknik Lingkungan, FALTL,
Universitas Trisakti.
Program Kerja Bidang Kebersihan Tahun 2008.
Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup Kota
Probolinggo.
Sonhadji, M. 2008. Pelayanan Pengolahan Sampah
Berbasis Komunitas di Kota Probolinggo.
Badan Lingkungan Hidup.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-undang Nomor 18 Republik Indonesia
Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
http://megapolitan.infogue.com/dki_berhasil_redu
ksi_sampah_7_persen
http://probolinggokota.go.id


Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 33-39
33
PENINGKATAN FUNGSI TEMPAT PENGELOLAAN SAMPAH TERPADU
Improved Function Place of Integrated Waste Management

1
Aryenti,
2
Sri Darwati
Pusat Litbang Permukiman, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum
Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan-Kabupaten Bandung 40393
1
E-mail: aryenti2008@yahoo.com
2
E-mail: darwa69@yahoo.com
Diterima : 12 Juli 2011 ; Disetujui : 24 Januari 2012
Abstrak
Kebijakan persampahan saat ini adalah pencapaian sasaran cakupan pelayanan 60% pada tahun 2010 dan
pengurangan kuantitas sampah hingga 20% pada tahun 2010 (Jakstra PU, 2009). Salah satu strategi yang
ditetapkan dalam Peraturan Menteri PU Nomor 21 Tahun 2006 adalah melalui pengurangan sampah
semaksimal mungkin dimulai dari sumbernya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah pengelolaan sampah
berbasis 3 R di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST). Dari hasil evaluasi terhadap program TPST di
201 kota di Indonesia tahun 2007 - 2009, sebanyak 30% yang berfungsi baik dan 70% nya kurang optimal
(PLP PU Cipta Karya, 2009). Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi faktor-faktor penyebab ketidak
berhasilan, potensi, peluang dan solusi untuk mengoptimalkan fungsi TPST dengan studi kasus di TPST
Tampomas di Perumahan Baros Kencana, Kelurahan Baros, Kecamatan Baros Kota Sukabumi. Metode
pengumpulan data melalui observasi lapangan, kuesioner, wawancara, focuss group discussion dan
sampling komposisi sampah. Analisis dengan deskriptif evaluatif kinerja pengelolaan sampah di TPST,
potensi pengolahan sampah dan upaya yang dilakukan dalam memfungsikan kembali TPST. Disimpulkan
bahwa untuk memfungsikan kembali TPST perlu adaya pendampingan masyarakat dalam pengelolaan
secara teknis, kelembagaan dan pendanaan. Perlunya dukungan Pemerintah terkait peningkatan sarana
dan sarana, legalitas kelembagaan dan teknis pengelolaan persampahan. TPST dapat dikembangkan
sebagai tempat pengolahan sampah melalui pengomposan dan daur ulang sampah anorganik. Dukungan
masyarakat dilakukan melalui pelibatan masyarakat dan ibu-ibu rumah tangga dalam pengelolaan sampah.
Kata Kunci : Peningkatan, fungsi, pengelolaan, sampah, terpadu
Abstract
Current waste management policy is achieving the target coverage of 60% by 2010 and reducing the
quantity of waste to 20% in 2010 (Jakstra PU, 2009). One of the strategies set out in the Ministerial
Regulation of Public Work no 21 year 2006 is waste reduction starting from the source. One effort is waste
management based on 3 R (Reduce, Reuse, Recycling) in Integrated Waste Management (IWM) . Evaluation
result of 201 IWMs in 201 cities in Indonesia that developed during 2007 to 2009, about 30% are functioning
well and 70% are not optimally function (Data Directorat PLP-Cipta Karya Public Works 2009). The purpose
of this study is to evaluate the factors that cause lack of success, potential, opportunities and solutions to
optimize the function of IWM with a case study is IWM Tampomas in Baros Kencana Residence, sub district
Baros, District Baros, Sukabumi City. Methods of collecting data are field observations, questionnaires,
interviews, group discussion sampling waste composition and its generation, and focuss group disccusion.
Method of analysis is descriptive evaluative of waste management performance in IWM, the potential for
waste and efforts to optimize the function of IWM. It is concluded that for functioning IWM are community
assistance in the management of technical, institutional and funding. The need for government support
related to facilities and infrastructure improvement, institutional and technical legality waste management.
IWM can be developed as processing waste through composting and recycling the organic waste. Community
support is done through community involvement of housewives in waste management.
Keywords : Improvement, function, management, waste, integrated
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebijakan persampahan saat ini adalah pencapaian
sasaran cakupan pelayanan 60% pada tahun 2010
dan pengurangan kuantitas sampah hingga 20%
pada tahun 2010 (Jakstra PU, 2009). Salah satu
strategi yang ditetapkan dalam Permen PU Nomor
21 Tahun 2006 adalah melalui pengurangan
sampah semaksimal mungkin dimulai dari
sumbernya. Salah satu upaya yang dilakukan
adalah pengelolaan sampah berbasis 3 R di Tempat
Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST).
Peningkatan Fungsi Tempat (Aryenti, Sri Darwati)
34
Upaya peningkatan program 3 R telah dilakukan
Pemerintah. Pada tahun 2007 - 2009, Pemerintah
melalui PU Cipta Karya telah membangun TPST
(Tempat Pengolahan Sampah Terpadu) di 201
lokasi di Indonesia. Pembangunan Tempat
Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) meliputi
bangunan serta sarana dan prasarana
persampahan seperti alat pemilah sampah. Dari
hasil evaluasi TPST sebanyak 30% yang berfungsi
baik dan 70% nya kurang optimal (PLP PU Cipta
Karya, 2009).
TPST adalah sebagai tempat untuk
dilaksanakannya kegiatan, pemilahan,
pengumpulan, menggunakan ulang, mendaur
ulang, pengolahan sampah. TPST dibangun di
lingkungan permukiman untuk skala kawasan atau
RT/RW. Pendekatan pengelolaan TPST adalah
berbasis pada peran serta masyarakat. Peran serta
masyarakat dalam pengelolaan sampah dilakukan
melalui pemberdayaan dan pendampingan dari
aspek teknik dan kelembagaan.
Konsep pengelolaan TPST adalah :
- Aspek teknis. Pengelolaan sampah dekat
dengan sumber, hal ini akan mengurangi biaya
transportasi.
- Kelembagaan, adanya pihak yang bertanggung
jawab dalam mengatur dan mengawasi
pengelolaan sampah di TPST, sehingga dapat
dipertanggungjawabkan.
- Keuangan, adanya pihak yang mengatur ke
uangan TPST, sehingga pengeluaran dan
pemasukan uang dapat dipertanggungjawabkan.
- Manajemen, adanya manajemen antara lain
pembukuan yang dapat dipertanggung
jawabkan.
Kajian ini dimaksudkan untuk mengevaluasi
kinerja pengelolaan sampah di TPST dengan studi
kasus di TPST Tampomas Perumahan Baros
Kencana, Kota Sukabumi. Aspek yang dikaji adalah
aspek teknis, kelembagaan, pemberdayaan
masyarakat, sarana dan prasarana. Tujuan kajian
adalah peningkatan fungsi TPST dalam
pengelolaan sampah di lingkungan perumahan
tersebut dengan sasaran :
- Berfungsinya kembali TPST
- Meningkatkan perubahan perilaku
masyarakat dalam menangani sampah
- Berkurangnya beban pencemaran lingkungan
- Meningkatkan peluang usaha dan ekonomi
dalam pengelolaan sampah
- Mengurangi biaya operasional pengelolaan
sampah yang ditanggung pemerintah.
KAJIAN PUSTAKA
Sarana dan Prasarana TPST
Sarana dan prasarana adalah salah satu faktor
penunjang dalam menjalankan kegiatan
pengelolaan sampah di TPST. Untuk kebutuhan
sarana dan prasarana dalam pengelolaan sampah
di TPST dapat mengacu pada luasnya daerah
pelayanan (Direktorat Jenderal Cipta Karya. 2009).
- Untuk kawasan perumahan baru (cakupan
pelayanan 2.000 rumah) diperlukan TPST
dengan luas 1.000 m
2
. Sedangkan untuk cakupan
pelayanan skala RW (200 rumah), diperlukan
TPST dengan luas 200-500 m
2
.
- TPST dengan luas 1.000 m
2
dapat menampung
sampah dengan atau tanpa proses pemilahan
sampah di sumber.
- TPST dengan luas < 500 m
2
hanya dapat
menampung sampah dalam keadaan terpilah
(50%) dan sampah campur 50%.
- TPST dengan luas < 200 m
2
sebaiknya hanya
menampung sampah tercampur 20% dan
sampah yang sudah terpilah 80%.
Fasilitas TPST meliputi wadah komunal, areal
pemilahan, areal pengomposan dan dilengkapi
dengan fasilitas penunjang lain seperti saluran
drainase, air bersih, listrik, barrier (pagar
tanaman hidup) dan gudang penyimpanan bahan
daur ulang maupun produk kompos serta
biodigester (opsional).
Pemberdayaan Masyarakat
Ife (1996: 182), menyatakan bahwa pemberdayaan
adalah konsep untuk meningkatkan kapasitas
masyarakat (to take increase their capacity)
sehingga dapat menentukan masa depannya
sendiri sesuai dengan sumberdaya, kesempatan,
pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki.
Konsep ini memberikan kesempatan sebesar-
besarnya kepada masyarakat untuk berpartisipasi
dalam setiap kegiatan.
Untuk tercapainya tujuan partisipasi perlu
dilakukan proses fasilitasi masyarakat (Winarni
2004 : 140), agar masyarakat memiliki berbagai
kemampuan, yaitu :
- Menganalisis situasi yang ada di lingkungannya.
- Mencari pemecahan masalah berdasarkan
kemampuan dan sumberdaya yang mereka
miliki.
- Mengembangkan usahanya dengan segala
kemampuan dan sumberdaya yang mereka
miliki.
- Mengembangkan sistem untuk mengakses
sumberdaya yang diperlukan.
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 33-39
35
Selanjutnya Adi (2002 : 181) dalam pelaksanaan
pemberdayaan masyarakat memerlukan tahapan-
tahapan yang harus dilalui, yaitu :
- Tahap persiapan, penyiapan tenaga dan
persiapan lapangan.
- Tahap pengkajian, baik secara individual
maupun kelompok-kelompok masyarakat.
- Tahap perencanaan alternatif pembuatan
program.
- Tahap pemformulasian rencana aksi, cara atau
langkah mencapai tujuan.
- Tahap pelaksanaan program, implementasi
kegiatan lapangan.
- Tahap evaluasi, penilaian dan pengawasan.
- Tahap terminasi, mengakhiri suatu kegiatan.
Aspek Keberlanjutan Program
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam beberapa
aspek keberlanjutan dalam pengelolaan sampah 3
R berbasis masyarakat adalah sebagai berikut :
- Adanya lembaga kelompok masyarakat sebagai
organisasi pengelola yang tidak formal namun
terlegalisir serta sesuai dengan aspirasi
masyarakat.
- Adanya dukungan peraturan setingkat
kelurahan untuk pelaksanaan pengelolaan
sampah berbasis masyarakat.
- Adanya dana untuk operasional pengelolaan
maupun biaya pemeliharaan atau investasi
penambahan prasarana dan sesuai dengan
kebutuhan. Pengelolaan dana perlu diketahui
bersama secara transparan
- Adanya dukungan teknologi ramah lingkungan
untuk prasarana dan sarana persampahan skala
kawasan sesuai kebutuhan masyarakat.
- Adanya peran aktif masyarakat untuk
melaksanakan program 3R terutama yang
berkaitan dengan perubahan perilaku dan
budaya memilah sejak dari sumbernya.
- Adanya dukungan dari instansi pengelola
sampah tingkat perkotaan untuk pengangkutan
residu, penyerapan produk kompos dan
material daur ulang serta penanganan lanjutan
sampah B3 rumah tangga sesuai ketentuan
yang berlaku.
- Adanya pola monitoring dan evaluasi dari
instansi terkait baik ditingkat kelurahan,
kecamatan, kota/kabupaten bahkan tingkat
yang lebih tinggi, yaitu propinsi dan pemerintah
pusat. Hasil monitoring dan evaluasi dapat
digunakan sebagai bahan masukan bagi proses
replikasi atau pengembangan yang diperlukan
serta pendataan yang lebih akurat untuk
mengetahui hasil pencapaian program 3R
secara nasional.
METODOLOGI
Metode pengumpulan data adalah :
- Kuesioner dan wawancara kepada Dinas
Kebersihan, Bappeda, PU, tokoh masyarakat
dan pengelola TPST.
- Focus Group Discussion dengan masyarakat di
daerah layanan TPST
- Observasi lapangan kondisi TPST dan
lingkungan di daerah layanan TPST
- Sampling komposisi dan timbulan sampah di
daerah layanan TPST. Jumlah sampel sebanyak
30 responden yang mewakili dari RW 16 dan
RW 17. Responden adalah ibu rumah tangga
dan kader lingkungan.
- Sampling dilakukan selama 3 hari dengan
membagikan kantong plastik kepada responden
untuk mengetahui berat sampah dan komposisi
untuk jenis sampah organik, kertas, plastik,
kaca, B3 rumah tangga dan lainnya. Selanjutnya
dilakukan penimbangan sampah, pengukuran
volume sampah dan berat jenis sampah.
Lokasi penelitian adalah di RW 16 dan RW 17
Perumahan Baros Kencana Kelurahan Baros,
Kecamatan Baros Kota Sukabumi.
Metoda analisis dengan deskriptif evaluatif kinerja
pengelolaan sampah di TPST, potensi pengolahan
sampah dan upaya yang dilakukan dalam
memfungsikan kembali TPST.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum TPST Tampomas
TPST Tampomas dibangun pada 2007-2008,
merupakan kegiatan bersumber pada pendanaan
Propinsi Jawa Barat. Luas TPST 170 m2, luas lahan
200 m2, terletak pada Fasilitasi Umum Perum
Baros Kencana Kelurahan Baros, Kecamatan Baros
Kota Sukabumi.
Sarana prasarana yang ada bangunan kantor, area
pengomposan, roda sampah terpilah, kontainer
pengumpul sampah dan pompa air bersih.
Cakupan layanan terdiri dari 2 RW yaitu RW 16
dan RW 17 dengan jumlah pelayanan 380 KK.
Pengelolaan TPST dilaksanakan oleh pengelola
yang ditunjuk masyarakat. Pengelolaan TPST
berjalan selama 1 tahun Januari 2008 sampai
dengan Januari 2009 selanjutnya pengoperasian
berhenti karena beberapa hal antara lain
pergantian kepengurusan dan minimnya dana
operasional.
Pendampingan Masyarakat
Untuk meningkatkan fungsi TPST, dilakukan
pendampingan kepada masyarakat melalui rembug
Peningkatan Fungsi Tempat (Aryenti, Sri Darwati)
36
warga melalui Rembug Warga (Focus Group
Discussion) bertempat di Sekretariat RW 17 Perum
Baros Kencana. Rembug warga dihadiri oleh,
Camat, Perwakilan dari Dinas Pengelolaan
Persampahan dan Pemakaman Kota Sukabumi,
Pengelola TPST, masyarakat kedua RW yaitu RW
17 dan RW 16. Dalam Rembug warga dilakukan :
- Sosialisasi/penyuluhan
- Pemilihan pengurus TPST
- Pelatihan managemen sampah
- Pelatihan daur ulang sampah plastik
- Pelatihan penghijauan di sekitar TPST
Dalam rembug warga dihasilkan beberapa
kesepakatan diantaranya :
- masyarakat sepakat memfungsikan kembali TPST
- pemilihan pengurus TPST secara demokratis
- pengaturan sistem pengumpulan sampah
- pembiayaan operasional dan perawatan
Untuk keberlanjutan TPST, masyarakat bersedia
membayar iuran sampah. Masing-masing RW
bertanggung jawab di wilayahnya masing-masing
dalam hal pengangkutan sampah dan membayar
gaji pengangkut sampah.
Untuk gaji pengurus/pengelola dari hasil
pengelolaan sampah organik dan anorganik setelah
dipotong biaya perawatan sarana dan prasarana
dan biaya pembelian bahan.
Peningkatan Sarana dan Prasarana TPST
Peningkatan sarana dan prasarana TPST meliputi
bangunan dan peralatan TPST seperti dapat dilihat
pada tabel 1 berikut :
Tabel 1 Sarana dan Prasarana TPST Tampomas
No Sarana dan Prasarana Jumlah Keterangan
1

2
3
4


5
6
7
8
9
10
11

Bangunan TPST,
Mesin pompa air
Timbangan
Kontainer
Gerobak sampah terpilah

Peralatan :
Baju kerja
Sepatu boot
Sarung tangan
Masker
Pengki
Garpu
Golok/parang
1

-
1
1
3

4 stel
4
4
4
4
2
3
Bangunan masih
bagus
Permanen
Pagar, pompa dan
gerobak rusak
perlu perbaikan

(Sebagian
peralatan hilang
perlu diadakan
kembali)

Sumber : Hasil Observasi Lapangan Tim Advis Teknis Puskim,
2010
Untuk meningkatkan fungsi TPST sebagai tempat
pengelolaan sampah diperlukan perbaikan dan
peningkatan sarana dan prasarana agar kinerja
TPST dapat berjalan lancar.
Untuk operasional TPST, minimal harus ada wadah
komunal terpilah atau bersekat, yang dapat
menampung sampah secara terpilah dan gerobak
sampah yang terpilah.
Ruangan TPST perlu dibagi atas areal pemilahan
dan areal komposting. Fasilitas penunjang yang
rusak perlu diperbaiki antara lain pompa air,
saluran drainase, listrik. Pada TPST juga perlu
dibuat barrier (pagar tanaman hidup) dan gudang
penyimpanan bahan daur ulang maupun produk
kompos.
Sarana penunjang untuk pekerja sudah ada namun
sebagian sudah hilang berupa sarung tangan,
masker, sepatu boot, sedangkan sarana untuk
kelengkapan kerja berupa sapu lidi, skop untuk
membalik dan mengaduk sampah.
Untuk peningkatan sarana dan prasarana akan
dibantu pendanaannya oleh Dinas Kebersihan dan
Pertamanan Kota Sukabumi sedangkan pendanaan
operasional TPST berasal dari iuran sampah
warga.
Kelembagaan TPST
0rganisasi pengelola adalah sebagai kunci sukses
terlaksananya pengelolaan sampah di TPST,
organisasi pengelola tersebut nantinya akan
mengatur dan mengkoordinir tenaga-tenaga kerja
di TPST.
Kelembagaan TPST dapat berdiri sendiri atau
bersatu dengan kepengurusan RW. Dalam
kepengurusan TPST skala RW secara sederhana,
telah dipilih dan disepakati susunan pengurus
seperti berikut :
- Penasehat/Pelindung, Lurah atau Camat
setempat.
- Ketua, mengatur dan mengkoordinir
pengelolaan sampah di TPST, dan juga
merangkap bagian pemasaran.
- Sekretaris, mencatat segala yang berhubungan
dengan kinerja TPST.
- Bendahara, mengkoordinir keuangan TPST.
- Pekerja pemilah sampah di TPST, minimal 2
orang.
- Petugas pengambil sampah ke rumah-rumah
penduduk.
Kepengurusan dapat dikembangkan disesuaikan
dengan kebutuhan kinerja TPST.
Dalam fasilitasi Tim Pusat Litbang Pemukiman
telah dilakukan rapat warga untuk memilih dan
menetapkan pengurus TPST secara demokratis
yang selanjutnya disahkan oleh Kelurahan Baros,
Kecamatan Baros Kota Sukabumi.



Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 33-39
37
Struktur Organisasi Pengurus TPST dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1 Struktur Organisasi TPST Tampomas (Sumber : Keputusan Lurah Baros Kecamatan Baros Kota Sukabumi No.
658.1/Kep.02/05.102/VII/2010 tanggal 5 Juli 2010)
Keterangan :
: Garis komando
------------- : Garis koordinasi

Potensi Sampah yang dapat Dikomposkan dan
di Daur Ulang
Untuk mengetahui potensi sampah yang dapat
dikomposkan atau di daur ulang dilihat dari
timbulan sampah dan komposisi sampah.
- Timbulan sampah
Berdasarkan hasil sampling timbulan sampah di
kedua RW yaitu RW 16 dan 17 dengan sampel
sebanyak 30 KK diperoleh timbulan sampah 2,27
liter/orang/hari atau 0,41 kg/orang/hari. Berat
jenis 179 kg/m3.
- Komposisi sampah
Komposisi sampah TPST Tampomas seperti pada
tabel 2. Sedangkan potensi sampah yang dapat
dikomposkan dan didaur ulang dapat dilihat pada
tabel 3.
Tabel 2 Komposisi Sampah TPST Tampomas
No Komposisi Persentase
1 Organik 37%
2 Kertas 19%
3 Plastik 26%
4 Kaca 11 %
5 Lain-lain 7%
Total 100 %
Sumber: Hasil Sampling Tim Advis Teknis Puskim, 2010
Tabel 3 Potensi Sampah yang Dapat Dikomposkan dan Didaur Ulang TPST Tampomas
No Jenis Sampah
Komposisi
Sampah
1)

(%)
Faktor
Recovery (%)
2)

Sampah TPST
(Kg/hari)
3)

Potensi
Pengomposan di
TPST
4)

Potensi Bank
Sampah
1. Organik 37 80 640 189 -
2. Kertas 19 40 640 48
3. Plastik 26 50 640 83
4. Kaca 11 70 640 35
5. Lain-lain 7 - - -
Sumber : Hasil Analisis
Keterangan :
1) Data sampling komposisi sampah, Tim Peneliti, 2010
2) Sumber : Trihadiningrum, 2006
3) Perhitungan = jumlah KK (RW16+RW17) x 4 orang/KK x 0,4 kg/orang/hari
= 400 X 4 x 0,4 = 640 kg/hari
4) Potensi pengomposan : sampah organik (%)x factor recovery(%) x jumlah sampah TPST
5) Potensi bank sampah : sampah anorganik kertas, plastik dan kaca (%) x factor recovery (%) x jumlah sampah TST
PENGAWAS
Rezi
(Dinas Kebersihan
Kota Sukabumi
PEMBINA
Lurah Baros
PENANGGUNG JAWAB

KETUA RW 16 DAN 17

BENDAHARA
Ibu Cece
KETUA TPS
Sumartono

PEMILAH SAMPAH
Iwan
PENARIK SAMPAH
Irwan/Joni
SEKRETARIS
Yanto
Peningkatan Fungsi Tempat (Aryenti, Sri Darwati)
38
Berdasarkan tabel 3 tersebut di atas, diketahui
bahwa potensi sampah yang dapat dikomposkan
adalah sampah organik 189 Kg/hari.
Untuk sampah yang dapat didaur ulang adalah
sampah anorganik yaitu kertas 48 Kg/hari, plastik
83 Kg/hari, kaca 35 Kg/hari, lain-lain 7%.
Pengembangan Bank Sampah
TPST Tampomas dapat dikembangkan sebagai
Bank Sampah. Melihat potensi bahan anorganik
yang cukup tinggi dan adanya rencana
penambahan wilayah pelayanan dari RW lain yang
akan bergabung dalam pengelolaan TPST
Tampomas.
Dengan mendirikan Bank Sampah di TPST
diharapkan dapat menarik minat masyarakat
untuk memilah sampahnya sejak di sumber.
Sosialisasi dilakukan dengan mengenalkan cara
kerja Bank Sampah, keuntungan dan manfaat
menabung pada Bank Sampah
Dukungan dari PKK
Terbentuknya kepengurusan TPST Tampomas
didukung oleh ibu-ibu PKK yang siap membantu
pengelola dalam administrasi maupun memungut
iuran di masing-masing RT.
Untuk meningkatkan keterampilan dan
pengetahuan masyarakat dan ibu-ibu PKK dalam
pengelolaan sampah 3R perlu dilakukan beberapa
upaya diantaranya melalui pelatihan
pengomposan, kerajinan daur ulang sampah
organik, pengembangan penghijauan dengan
pemanfaatan kompos hasil pengolahan sampah
KESIMPULAN DAN SARAN
Disimpulkan bahwa untuk memfungsikan kembali
TPST perlu adanya pendampingan masyarakat
dalam pengelolaan secara teknis, kelembagaan dan
pendanaan. Perlunya dukungan Pemerintah terkait
peningkatan sarana dan sarana, legalitas
kelembagaan dan teknis pengelolaan
persampahan. TPST dapat dikembangkan sebagai
pengolahan sampah melalui pengomposan dan
daur ulang sampah anorganik. Dukungan
masyarakat dilakukan melalui pelibatan
masyarakat dan ibu-ibu PKK dalam pengelolaan
sampah.
Disarankan untuk Pemda melakukan
pendampingan yang berkelanjutan dalam
pengelolaan sampah berbasis masyarakat. TPST
perlu dikembangkan selain melalui pengomposan
juga daur ulang sampah anorganik melalui
pengembangan Bank Sampah untuk meningkatkan
pemasukan untuk keberlanjutan pembiayaan
operasional pengelolaan TPST.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Rukminto Isbandi. 2002. Pemikiran-pemikiran
dalan Pembangunan Kesejahteraan Sosial.
Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI.
Darwati, Sri, Aryenti. 2010. Laporan Advis Teknis.
Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST)
Tampomas, Perum Baros Kencana. Kota
Sukabumi.
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah.
2003, Pedoman Pengelolaan Persampahan
Perkotaan Bagi Pelaku Pelaksana. Direktorat
Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Pedesaan.
Jakarta.
Direktorat Jenderal Ciptakarya. 2009, 3R Berbasis
Masyarakat di Kawasan Permukiman. Buku
Pedoman. Direktorat Pengembangan
Penyehatan Lingkungan Permukiman.
Departemen PU.
Ife, Jim.1996. Community Development: Creating
Community Alternatives Vision, Analysis
and Practice. Longman.
Laporan bulanan, 2010, Pengelolaan Sampah di
TPST Tampomas Bumi Baros Kencana RW 16
dan 17 Sukabumi.
Pusat Litbang Permukiman Balitbang PU, 2010,
Pendampingan Masyarakat dalam
Pelaksanaan Pengelolaan Sampah dengan
Pola 3R di Kota Banjar. Laporan bulan ke 3.
Pemberdayaan Masyarakat. 2008. Laporan
bulanan, 2010. Bank Sampah, Green and Clean,
RW 13 Kelurahan Babakan Surabaya
Kiaracondong. Bandung.
Slamet Riyanto, Mardianto Darwin, Aulia
Rahmawati. 2010. Korelasi Antara
Pengetahuan dan Sikap Masyarakat terhadap
Pemilahan Sampah Kering dan Basah. Desa
Pendem Kecamatan Junrejo Kota Batu
http://G:/SAMPAH%201.htm
Sanitation. Dimsum Indonesia http//www.
Dimsum. Hs. Ac. Id.
Trihadiningrum, Y.S. Wignyosoebroto, N.D.
Simatupang, S. Tirawaty, and O. Damayanti,
2006. Reduction Capacity of Component in
Municipal Solid Waste of Surabaya City,
Indonesia Proc. International Seminar on
Environment Technology and Management
Converence 2006. Bandung, September 7-8-
2006.
Winarni, Tri. 2004. Pemberdayaan Masyarakat
Miskin melalui Pengembangan Modal Usaha
dalam Sunartiningsih. Pemberdayaan
Masyarakat Desa melalui Institusi Lokal.
Yogyakarta: Aditya Media.
----------, 2008. Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 18 Tahun 2008: Pengelolaan Sampah,
Jakarta; Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia RI, Lembaran Negara RI Tahun 2008
Nomor 69.
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 33-39
39
............, 2005. Penggalian Potensi Swadaya
Masyarakat; Materi Penyuluhan Dalam
Rangka Orientasi Pokja P2LT. Pemugaran
Perumahan dan Lingkungan Desa secara
Terpadu.
............., 2002. Pelatihan Pelatih Fasilitator
Pemberdayaan Masyarakat Bidang
Permukiman dan Prasarana Wilayah Pusat
Pengembangan Peran Masyarakat sebagai
Mitra Anda dalam Melaksanakan
Pengembangan Peran Masyrakat di Bidang
Permukiman dan Prasarana Wilayah.
Departemen PU.


Karakteristik Ruang Tradisional (I Putu A. W. K., Iwan S.)
40
KARAKTERISTIK RUANG TRADISIONAL PADA DESA ADAT PENGLIPURAN, BALI
Characteristic of Traditional Space in the Traditional Village of Penglipuran, Bali

1
I Putu Agus Wira Kasuma,
2
Iwan Suprijanto

Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Denpasar,
Pusat Litbang Permukiman, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum
Jl. Danau Tamblingan No. 49, Sanur, Denpasar, Bali
1
E-mail : telulas_effect@yahoo.co.id
2
E-mail : iwan_suprijanto@rocketmail.com
Diterima : 19 September 2011; Disetujui : 16 Desember 2011
Abstrak
Lingkungan permukiman tradisional di Bali memiliki banyak potensi salah satunya adalah pola ruang
tradisional yang mencerminkan aktivitas sosial dan budaya masyarakatnya. Seperti halnya Desa Adat
Penglipuran yang memiliki tatanan pola ruang yang unik dan merupakan warisan budaya yang harus
dipertahankan. Dinamika pertumbuhan penduduk serta arus perkembangan kebutuhan masa kini
menimbulkan kebutuhan akan ruang yang dapat merusak tatanan ruang tradisional yang ada. Di lain pihak
belum adanya regulasi yang berisikan mengenai aturan tata ruang Desa Adat Penglipuran menjadi faktor
ancaman bagi keberlanjutan dari pola ruang yang sudah dijaga sampai sekarang. Permasalahannya adalah
belum teridentifikasinya karakteristik ruang tradisional di Desa Adat Penglipuran sebagai landasan untuk
menyusun konsep tata ruang Desa Adat Penglipuran yang ideal. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan
pendekatan rasionalisme. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif yaitu berusaha untuk
menggambarkan kondisi pola ruang tradisional di Desa Adat Penglipuran dan mengidentifikasi karakter
dari masing-masing ruang yang ada. Hasil penelitian adalah ruang tradisional Desa Adat Penglipuran
terdiri dari tiga tingkatan ruang yang berdasarkan konsep Tri Mandala, yaitu Utama, Madya dan Nista
dimana pada masing-masing ruang memiliki tingkat kesucian, lokasi/ penempatan, guna lahan dan fungsi
ruang yang berbeda.
Kata Kunci : Lingkungan, permukiman tradisional, karakteristik ruang, desa adat, pola ruang tradisional
Abstract
Traditional neighborhoods in Bali has lots of potential, one of them is the traditional spatial patern that
reflects the social activities and culture of the community. As in the Traditional Village of Penglipuran, which
has a unique order of spatial pattern and a cultural heritage that must be maintained. The dynamics of
population growth and development flow of current needs raises the need for space that can be destructive to
the present tradional spatial pattern. On the other hand, the absence of regulations containing rules
regarding spatial order of the Traditional Village of Penglipuran becoming a threat to the sustainability of
the spatial pattern that has been mantained until now. The problem is the characteristics of the tradional
space in the Traditional Village of Penglipuran has not been identified to use as a basis to formulate the
concept of the villages ideal spatial order. This study is a qualitative with rationalism approach. Data
analysis was conducted in qualitative descriptive method, to try describing the condition of the tradional
spatial pattern in the Traditional Village of Penglipuran and identify the character of each existing space.
The output of the study is that the Traditional Village of Penglipuran consists of three different spatial level
based on concept of Tri Mandala, i.e. Utama, Madya and Nista where in each space has a different purity
level, location/ placement, land use, and different function of space.
Keywords : Neighbourhood, traditional settlements, the characteristics of space, traditional village,
traditional spatial patern
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penglipuran adalah salah satu desa tradisional atau
desa tua di Bali atau sering disebut Bali Aga atau
Bali Mula. Seperti kebanyakan desa Bali Aga di Bali,
masyarakat Desa Adat Penglipuran adalah
masyarakat yang tidak menganut sistem kasta.
Desa Tradisional Penglipuran memiliki potensi
budaya yang sampai saat ini tetap terpelihara
dengan baik. Potensi paling unik yang dimiliki
adalah pola tata ruang dan arsitektur bangunan
tradisional Bali khas Penglipuran sehingga disebut
Desa Adat Tradisional Penglipuran. Keunikan yang
dimiliki desa ini adalah modal besar yang
menjadikan Desa Adat Penglipuran ditetapkan
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 40-50
41
sebagai desa wisata oleh Pemerintah Daerah Bali
sejak tahun 1992 (Astuti, 2002).
Kondisi pola ruang ini memberikan dampak positif
yang sangat besar bagi desa dan masyarakat
Penglipuran sendiri. Local genius masyarakat
setempat menimbulkan suatu tatanan kehidupan
sosial yang nyaman, dimana terdapat suatu pola
hubungan yang saling terkait yang dikenal dengan
istilah Tri Hita Karana. Dalam konsep Tri Hita
Karana terdapat hubungan yang selaras antara
manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia
dan manusia dengan lingkungannya (Monografi
Desa Adat Penglipuran, 2001). Keadaan tata ruang
dan sosial masyarakat Penglipuran ini adalah daya
tarik yang besar bagi wisatawan lokal maupun
asing dan menjadi jati diri desa yang khas yang
harus dipertahankan.
Potensi ancaman terhadap kondisi tata ruang Desa
Adat Penglipuran datang dari banyak faktor. Faktor
internal yang harus diwaspadai adalah
pertumbuhan penduduk yang cepat dan
membutuhkan banyak ruang sehingga mendorong
terjadinya alih fungsi lahan yang kadang tidak
sesuai dengan peruntukannya. Kemudian dinamika
pertumbuhan penduduk juga berdampak pada
perubahan intensitas dan kepadatan bangunan di
area Desa Penglipuran karena akan terjadi
penambahan ruang-ruang baru pada kompleks
permukiman tradisional. yang menyebabkan
rusaknya pola tatanan ruang tradisional.
Ancaman lain datang dari tren pembangunan dan
pengembangan wilayah masa kini. Bali yang
merupakan pulau seribu pura dimana menjadi
salah satu pusat pariwisata dunia dihadapkan pada
pembangunan-pembangunan di sektor pariwisata
yang dapat mengancam kelestarian yang dimiliki
oleh Pulau Bali. Sebagai contoh, Desa Ubud dan
Desa Kuta yang merupakan desa tradisional Bali
daratan kini berubah menjadi desa wisata akibat
dari pengaruh pariwisata yang menyebabkan
terjadinya perubahan sosial budaya masyarakat.
Di sisi lain, pola tata ruang Desa Adat Penglipuran
belum memiliki kekuatan hukum yang jelas. Secara
formal, aturan ruang Desa Penglipuran masuk
dalam dokumen RDTRK Ibu Kota Kecamatan
Bangli 2005-2015. Namun di dalam dokumen
tersebut tidak dibahas secara rinci tentang aturan
ruang tradisional Desa Adat Penglipuran karena
kedalaman rencana tidak detail, sehingga belum
terdapat aturan tata ruang yang khusus mengatur
dan mengendalikan pola tata ruang untuk wilayah
Penglipuran. Maka dari itu perlu disusun sebuah
konsep tata ruang Desa Adat Penglipuran yang
ideal yang mampu mengakomodasi kebutuhan
masa kini tanpa menyalahi nilai-nilai tradisional
yang ada.
Permasalahan Penelitian
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini
adalah belum teridentifikasinya karakteristik
ruang tradisional Desa Adat Penglipuran, dimana
dapat menjadi acuan dalam penyusunan konsep
tata ruang Desa Adat Penglipuran yang mampu
mempertahankan nilai-nilai tradisional di tengah
perkembangan terhadap kebutuhan masyarakat
masa kini. Pertanyaan penelitian yang akan
dijawab dalam tulisan ini adalah Bagaimana
karakteristik ruang tradisional yang ada di Desa
Adat Penglipuran?
Tujuan Penelitian
Mengidentifikasi karakteristik ruang tradisional
Desa Adat Penglipuran.
Manfaat Penelitian
Sebagai acuan dan data dasar untuk menyusun
regulasi tata ruang Desa Adat Penglipuran yang
ideal yang mampu mengakomodasi kebutuhan
masa kini tanpa menyalahi nilai-nilai tradisional.
METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan rasionalisme. Penelitian ini
mengkaji literatur/ teori dengan kondisi/ data
empiris lapangan. Metode penelitian dilakukan
secara kualitatif dimana digunakan untuk meneliti
pada kondisi objek yang alamiah, peneliti adalah
instrumen kunci, teknik pengumpulan data
dilakukan secara triangulasi (gabungan) dengan
mengkaji data-data sekunder dan mengamati objek
penelitian secara langsung di lapangan, teknik
analisis data dilakukan secara kualitatif dan
bersifat induktif dimana hasil penelitian disajikan
secara narasi deskriptif.
KAJIAN PUSTAKA/ TEORI
Tata Ruang Tradisional Bali
Pola tata ruang tradisional Bali pada dasarnya
dilandasi oleh falsafah Makrokosmos dan
Mikrokosmos yang umumnya dikenal dengan
istilah Bhuana Agung dan Bhuana Alit. Terdapat
beberapa konsep keruangan tradisional yang
mengatur hubungan Bhuana Agung
(makrokosmos) dan Bhuana Alit (mikrokosmos),
antara lain Tri Hita Karana, Tri Angga dan Sanga
Mandala.
Tri Hita Karana yang secara harfiah Tri berarti tiga;
Hita berarti kemakmuran, baik, gembira, senang
dan lestari; dan Karana berarti sebab musabab
atau sumbernya sebab (penyebab), atau tiga
sebab/ unsur yang menjadikan kehidupan
(kebaikan), yaitu: 1). Atma (zat penghidup atau
jiwa/roh), 2). Prana (tenaga), 3). Angga
(jasad/fisik). Bhuana agung (alam semesta) yang
sangat luas tidak mampu digambarkan oleh
Karakteristik Ruang Tradisional (I Putu A. W. K., Iwan S.)
42
manusia (bhuana alit), namun antara keduanya
memiliki unsur yang sama, yaitu Tri Hita Karana,
oleh sebab itu manusia dipakai sebagai cerminan.
Konsepsi Tri Hita Karana dipakai dalam pola
perumahan tradisional yang diidentifikasi;
Parhyangan /Kahyangan Tiga sebagai unsur
Atma/jiwa, Krama/warga sebagai unsur Prana
tenaga dan Palemahan/tanah sebagai unsur
Angga/jasad (Kaler dalam Andhika, 2004).
Bila dijabarkan lebih lanjut, maka yang dimaksud
dengan: (1) Parhyangan adalah hal-hal yang
mengatur hubungan yang berkaitan dengan
Ketuhanan dan dilandasi oleh kepercayaan dan
agama Hindu dalam memuja Hyang Widhi, Tuhan
Yang Maha Esa sebagai pencipta alam semesta dan
sebagai asal dan tujuan manusia; (2) Pawongan
adalah hal-hal yang mengatur hubungan manusia
dengan manusia dalam kehidupannya
bermasyarakat sehingga terjadi kebaikan,
kesenangan maupun kelestarian, (3) Palemahan
merupakan wilayah teritorian dimana manusia
hidup dengan lingkungannya (Andhika, 2004).
Dalam konsep Tri Hita Karana sebagai suatu relasi
akan terlihat jelas adanya saling berhubungan, dan
biasanya dapat dibedakan ke dalam hubungan
yang bersifat menegak (vertikal) dan hubungan
yang mendatar (horizontal). Teori Relasi dikaitkan
dengan secara vertikal terlihat hubungan antara
manusia dengan Tuhan (Parahyangan) dan
manusia dengan alam (palemahan), sedangkan
secara horizontal dapat terlihat dalam gambar di
bawah ini adalah hubungan satu manusia dengan
manusia lainnya maupun kelompok manusia
dengan kelompok lainnya.

Sumber : Jiwa Atmaja dalam Suyasa (2006)
Gambar 1 Hubungan Teori Relasi dengan Tri Hita Karana
Pola Permukiman Adat Bali
Wikantiyoso dalam Udiyana (2008), menyatakan
bahwa permukiman tradisional adalah aset
kawasan yang dapat memberikan ciri ataupun
identitas lingkungan. Identitas kawasan tersebut
terbentuk dari pola lingkungan, tatanan lingkungan
binaan, ciri aktifitas sosial budaya dan aktifitas
ekonomi yang khas. Pola tata ruang permukiman
tradisional sendiri mengandung tiga elemen, yaitu
ruang dengan elemen-elemen penyusunnya
(bangunan dan ruang sekitarnya), tatanan
(formation) yang mempunyai makna komposisi
serta pattern atau model dari suatu komposisi.
Menurut Acwin (2003), dari konsep Sanga Mandala
yang bersifat abstrak diterjemahkan ke dalam
kosep fisik, baik dalam skala rumah dan
perumahan. Pada skala rumah, tiap segmen
peruntukan didasarkan atas tingkat sakral dan
profan. Elemen ruang yang paling sakral seperti
Merajan (pura rumah tangga) ditempatkan pada
segmen sakral (utama), yaitu kaja-kangin. Meten
(tempat tidur), dan tempat bekerja ditempatkan
pada segmen madya, kandang ternak atau kotoran
ditempatkan pada segmen nista. Dalam skala
permukiman, penerapan konsep Sanga Mandala,
ada 3 macam pola tata ruang, yaitu :
a) Pola Perempatan (Catus Patha)
Pola Perempatan, jalan terbentuk dari perpotongan
sumbu kaja - kelod (utara-selatan) dengan sumbu
kangin-kauh (timur-barat). Berdasarkan konsep
Sanga Mandala, pada daerah kaja-kangin
diperuntukan untuk bangunan suci yaitu pura
desa. Letak Pura Dalem (kematian) dan kuburan
desa pada daerah kelod-kauh (barat daya) yang
mengarah ke laut. Peruntukan perumahan dan
Banjar berada pada peruntukan madya (barat-
laut).

Sumber : Acwin (2003)
Gambar 2 Pola Permukiman Catus Patha
b) Pola Linier
Pada pola linier konsep Sanga Mandala tidak begitu
berperan. Orientasi kosmologis lebih didominasi
oleh sumbu kaja-kelod (utara-selatan) dan sumbu
kangin-kauh (timur-barat). Pada bagian ujung
Utara perumahan (kaja) diperuntukan untuk Pura
(pura bale agung dan pura puseh). Sedang di ujung
selatan (kelod) diperuntukan untuk Pura Dalem
(kematian) dan kuburan desa. Diantara kedua
daerah tersebut terletak perumahan penduduk dan
fasilitas umum (bale banjar dan pasar) yang
terletak di plaza umum. Pola linier pada umumnya
terdapat pada perumahan di daerah pegunungan di
Tuhan
Manusia
Alam
Manusia
Hubungan Vertikal
Hubungan Horizontal
Hubungan Vertikal
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 40-50
43
Bali, dimana untuk mengatasi geografis yang
berlereng diatasi dengan terasering.

Sumber : Acwin (2003)
Gambar 3 Pola Permukiman Linier

Sumber : Acwin (2003)
Gambar 4 Pola Permukiman Kombinasi
a) Pola Kombinasi
Pola kombinasi merupakan paduan antara pola
perempatan (Catus patha) dengan pola linier. Pola
sumbu perumahan memakai pola perempatan,
namun demikian sistem peletakan elemen
bangunan mengikuti pola linier. Peruntukan pada
fasilitas umum terletak pada ruang terbuka (plaza)
yang ada di tengah-tengah perumahan. Lokasi
bagian sakral dan profan masing-masing terletak
pada ujung utara dan selatan perumahan.
Pustaka/teori mengenai pola ruang tradisional Bali
pada dasarnya memiliki konsep yang sama, yaitu
membagi ruang menjadi beberapa tingkat yang
mencirikan perbedaan kesucian serta kepentingan
di dalamnya. Komparasi dari teori konsep pola
ruang tradisional Bali dapat dilihat pada tabel di
bawah.
Tabel 1 Komparasi Konsep Pola Ruang Tradisional Bali
dalam Lingkup Desa
Konsep Pola Ruang Tradisional Bali
Indikator Tri Hita
Karana
Tri Angga/
Tri Mandala
Sanga
Mandala
Parhyangan
Utama
Mandala
Utamaning
Utama
Kahyangan Tiga
(Pura Desa)
Pawongan
Madya
Mandala
Madyaning
Madya
Warga desa,
Perumahan/
permukiman desa
Palemahan
Nista
Mandala
Nistaning
Nista
Setra/ kuburan
desa
Sumber : Penulis (2008)
Secara konseptual, kajian mengenai konsep pola
ruang tradisional Bali terimplementasi pada
lingkup pedesaan dengan keberadaan ruang-ruang
(kawasan) yang mewadahi indikator/ manivestasi
dari masing-masing perwujudan konsep. Ruang
yang menampung manivestasi tersebut merupakan
lingkup ruang tradisional yang akan dibahas dalam
tulisan ini.
Berdasarkan komparasi di atas, dapat ditarik
benang merah bahwa di dalam lingkup desa,
konsep pembagian ruang tradisional Bali adalah
membagi ruang menjadi tiga tingkatan. Dalam
tulisan ini, pembagian ruang tradisional yang
digunakan sebagai variabel penelitian adalah
Ruang Utama, Ruang Madya dan Ruang Nista.
Karakteristik ruang yang dituju dalam tulisan ini
adalah identitas dari ruang tradisional yang
mencakup :
1. Tingkat kesucian
2. Letak/ lokasi ruang
3. Guna lahan
4. Fungsi ruang
Selanjutnya, definisi operasional dari masing-
masing variabel dapat dilihat pada tabel di bawah
ini.
Tabel 2 Variabel Penelitian Karakteristik Ruang Tradisional Desa Adat Penglipuran
Variabel Sub Variabel Definisi Operasional
Ruang
Utama
Ruang yang diperuntukkan sebagai kawasan suci, tidak diperuntukkan sebagai tempat bermukim,
terdapat perlindungan terhadap area pura (kawasan suci) dengan akses dibatasi untuk kepentingan
atau kegiatan-kegiatan tertentu yang pada umumnya bersifat keagamaan.
Ruang
Madya
Ruang Madya-
Pekarangan
Ruang tempat tinggal (permukiman) perdesaan dengan kepadatan lemah-sedang, sebagai tempat
masyarakat desa melakukan aktivitas, berinteraksi dan dilengkapi dengan infrastruktur perumahan.
Ruang Madya-
Tegalan
Ruang desa di areal madya yang diperuntukkan sebagai ruang terbuka, tempat masyarakat bekerja
(bermatapencaharian)
Ruang
Nista
Ruang Nista-
Sakral
Ruang yang dilindungi karena terdapat pura dan kawasan yang berfungsi sebagai area kotor dalam
rangkaian kegiatan keagamaan (kuburan)
Ruang Nista-
Tegalan
Ruang desa di areal nista yang diperuntukkan sebagai ruang terbuka, tempat masyarakat bekerja
(bermatapencaharian)
Sumber : Penulis (2008)
Karakteristik Ruang Tradisional (I Putu A. W. K., Iwan S.)
44
Rona Lingkungan Desa Adat Penglipuran
Desa Adat Penglipuran merupakan salah satu desa
tradisional pegunungan Bali yang terletak pada
ketinggian 600 meter di atas permukaan laut, yang
termasuk dataran tinggi. Permukaan tanah yang
relatif datar dengan perbedaan ketinggian berkisar
5-15 meter. Jenis tanah di desa ini agak merah
kekuningan dengan keadaan subur yang sesuai
untuk berbagai macam tanaman/pohon. Namun,
jenis tanaman yang paling cocok adalah kelapa,
bambu, salak dan kopi. Luas Desa Tradisional
Penglipuran 112 Ha, terdiri dari pekarangan,
hutan bambu, hutan vegetasi lainnya dan lahan
pertanian.
Secara administratif, Desa Tradisional Penglipuran
terletak di Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli,
Kabupaten Bangli, Bali. Adapun batas-batas
wilayah Desa Adat Penglipuran adalah :
Utara : Desa Adat Kayang
Timur : Desa Adat Kubu
Selatan : Desa Adat Gunaksa
Barat : Desa Adat Cekeng
Wilayah Desa Adat Penglipuran dapat dilihat pada
Peta Desa Penglipuran di bawah.


Sumber : RDTRK Ibukota Kecamatan Bangli 2005
Gambar 5 Peta Lokasi Desa Adat Penglipuran
Penggunaan lahan di Desa Penglipuran dapat
dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu
Pekarangan, Tegalan, Laba Pura, Kuburan, Hutan
dan lainnya. Sebagian besar jenis penggunaan
lahan di Desa Penglipuran adalah tegalan.
Berdasarkan catatan Statistik Lingkungan
Penglipuran Tahun 2007-2008, penggunaan lahan
desa adalah :

Wilayah Penelitian
(Desa Adat Penglipuran)
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 40-50
45

Sumber : Statistik Lingkungan Penglipuran 2007-2008
Gambar 6 Diagram Penggunaan Lahan Desa Adat Penglipuran
Tahun 2008
Dari chart di atas dapat dilihat bahwa sebagian
besar lahan di Desa Adat Penglipuran masih
berupa kawasan tak terbangun. Lebih dari 80%
lahan di Desa Penglipuran merupakan hutan dan
tegalan. Untuk lebih jelas, penggunaan lahan Desa
Adat Penglipuran dapat dilihat pada Peta
Penggunaan Lahan di bawah.

Sumber : Statistik Lingkungan Penglipuran 2007-2008
Gambar 7 Peta Penggunaan Lahan Desa Adat Penglipuran 2008
Berdasarkan Monografi Desa Adat Penglipuran
Tahun 2001, dari pendekatan tradisi dan ciri yang
ditampilkan Desa Adat Penglipuran merupakan
Desa Bali Aga yang merupakan bagian dari zaman
kehidupan Bali Kuno, dimana pusat-pusat
permukiman, pemerintahan dan penghidupan
masyarakat sebagian besar sebagai petani dan
peternak pada daerah pedalaman atau
pegunungan. Desa Adat Penglipuran merupakan
tipologi desa tradisional dataran tinggi (desa
pegunungan) yang terlihat dari orientasi desa
mengarah ke arah Utara/Kaja (Gunung Batur) dan
Selatan/Kelod. Dengan posisi desa pada daerah
dengan kemiringan yang merata dari arah Utara ke
Selatan.
PEMBAHASAN
Perkembangan Permukiman Desa
Sebagai desa yang berdiri dari sebuah tempat
peristirahatan prajurit zaman dahulu, Desa Adat
Penglipuran mulanya hanya merupakan sebuah
benteng dan dihuni oleh beberapa kelompok
prajurit Kerajaan Bangli yang berasal dari Desa
Bayung Gede. Dari waktu ke waktu, akhirnya
warga terus bertambah karena berkeluarga dan
sudah layak membentuk sebuah desa dan akhirnya
memisahkan diri dan sepakat membentuk desa
tersendiri. Pola penataan ruang yang dianut oleh
desa ini mengambil konsep pola ruang yang
digunakan pada desa leluhurnya yaitu Desa Bayung
Gede.
Kondisi awal wilayah Desa Adat Penglipuran
sebagai desa tradisional pegunungan
memperlihatkan dua ciri yang menonjol, yaitu
sebagai berikut :
A. Persebaran pola pemukiman cenderung
bersifat linier hanya sepanjang poros utama
desa; dan
B. Susunan (lay out) sarana penting desa
memperlihatkan pola desa tradisional
pegunungan (pola linier).
Pada mulanya permukiman adat Desa Penglipuran
yang terdiri dari 76 pekarangan ini hanya
merupakan permukiman yang berada dipinggir
(sepanjang) poros utama desa. Pada sisi Barat dan
Timur aksis linier ini membentang pekarangan
warga yang masing-masing memiliki luas yang
sama yaitu sikut satak (2,5 are). Sedangkan wilayah
lainnya masih merupakan kawasan tak terbangun
yang berupa hutan dan tegalan termasuk lahan
dibelakang pekarangan sikut satak tersebut.
Pada lingkup kawasan ruang sikut satak tersebut
terbangun beberapa bangunan tradisional yang
menjadi ciri khas Desa Adat Penglipuran yaitu :
o Dapur Tradisi Penglipuran, terletak di sebelah
Utara dan sekaligus sebagai tempat tidur bagi
yang sudah jompo.
o Bale Saka Enem, terletak di sebelah Selatan
sebagai tempat upacara yadnya (manusia
yadnya, pitra yadnya, dll).
o Loji, terletak di sebelah Barat sebagai tempat
tidur keluarga, tempat menerima tamu dan
ruang bermain anak-anak.
5%
43%
7%
1%
42%
2%
Penggunaan Lahan Desa Adat
Penglipuran Tahun 2008
Pekaranagan
Tegalan
Laba Pura
Kuburan
Hutan
Lain-lain
Pekarangan
Karakteristik Ruang Tradisional (I Putu A. W. K., Iwan S.)
46

Sumber : Pengamatan Lapangan, 2008
Gambar 9 Alokasi dan Orientasi Bangunan Tempat Tinggal
Dan selanjutnya penduduk yang terus bertambah
membutuhkan ruang untuk tempat tinggal
sehingga semakin banyak keluarga yang menghuni
setiap pekarangan di Desa Adat Penglipuran. Hal
ini menyebabkan semakin luasnya area terbangun
di masing-masing pekarangan sehingga
permukiman desa semakin meluas. Meluasnya
setiap pekarangan ke arah belakang mulai terjadi
pada awal tahun 1980. Hal ini menyebabkan lahan
tegalan yang ada di belakang pekarangan berubah
fungsi menjadi bangunan tempat tinggal.
Perkembangan permukiman terjadi melebar ke
arah pinggir Barat dan Timur namun tetap
sepanjang akses linier Utara-Selatan sebagai poros
utama desa. Perkembangan yang lebih pesat terjadi
di jejer permukiman sebelah Timur yang
berdekatan dengan akses jalan kolektor menuju
pusat Kota Bangli. Sedangkan jejer permukiman di
sebelah Barat masih mempertahankan
pekarangannya yang terbukti dengan lebih luasnya
proporsi kawasan tak terbangun.
Untuk mengantisipasi perkembangan yang tidak
teratur ini, pada akhir periode 1980 dibangun jalan
lingkar yang mengelilingi desa dan permukiman di
sekitar poros utama desa. Namun perkembangan
jumlah penduduk tidak mampu ditampung oleh
kawasan permukiman adat (inti) terutama pada
permukiman jejer Timur. Keadaan jumlah
penduduk yang terus meningkat setiap tahun
menyebabkan muncul banyak permukiman di
sepanjang jalan lingkar desa sampai pada kawasan
Selatan yang merupakan zona tegalan dan hutan.
Pada awal tahun 2000an permukiman-
permukiman baru muncul di luar zona
permukiman inti bersifat bangunan permukiman
modern. Selain itu permukiman-permukiman baru
ini juga memiliki penggunaan ganda (mix use) yaitu
sebagai sarana permukiman dan sarana komersial
di sepanjang jalan lokal.

Sumber : Wawancara, 2009
Gambar 10 Perkembangan Permukiman
Karakteristik Ruang Tradisional Desa Adat
Penglipuran
Secara konseptualistik, Desa Adat Penglipuran
mengikuti pola Hulu-Teben (linier) dimana As
utama yaitu poros Utara-Selatan merupakan aksis
linier desa yang sekaligus berfungsi sebagai open
space untuk kegiatan bersama-sama. Open space ini
membagi desa menjadi dua bagian, yaitu jejer
Barat dan jejer Timur. Orientasi arah Hulu-Teben
yaitu pada daerah hulu merupakan kawasan suci
dan pada daerah teben merupakan kawasan nista
dan diperuntukan untuk daerah kuburan. Jalan
utama desa yang memanjang dari arah Utara ke
Selatan merupakan pusat yang tidak hanya
berfungsi sebagai sirkulasi umum tetapi juga
berfungsi sebagai plaza dan ruang terbuka yang
mampu meningkatkan hubungan antar gang/jalan
setapak/pedestarian yang menuju ke pekarangan
setiap unit rumah. Pusat ruang ini juga berfungsi
sebagai pusat orientasi ruang publik pada saat
pelaksanaan upacara adat (ritual ceremony).
Pekarangan hanya berfungsi sebagai tempat
tinggal untuk mengadakan upacara dan
berhubungan dengan keluarga. Untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, penduduk mengusahakan
kebun/ladang/pategalan di luar desa (di luar areal
permukiman). Keterbatasan lahan dan keinginan
untuk berinteraksi dengan jalan utama
menyebabkan terjadi pengembangan perumahan
ke arah pinggiran, tetapi tetap mempertahankan
A
C
B
Keterangan :

Jalan (Sumbu Utama)
D
A
C
B D
A
D
C
B
U
Lingkup Sikut
satak
Bangunan
Sanggah
Bale Saka Enam
Dapur Tradisional
Bangunan Loji
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 40-50
47
untuk tidak membangun di sekitar/luanan Pura
(Pura Puseh dan Pura Penataran).
Menurut konsepsi orang Bali pada umumnya,
terdapat suatu pemikiran yang bersifat baku dalam
menerangkan kedudukan manusia di dalam alam
semesta ini. Konsep itu menjelaskan bahwa alam
semesta ini bentuknya seperti wadah dengan batas
yang jelas dan tidak berubah-ubah. Sebagai suatu
wadah, alam semesta ini mempunyai isi, yaitu
elemen-elemen yang terlihat maupun tidak, yang
masing-masing berdiri dan berfungsi sendiri, tetapi
saling berhubungan dan saling mempengaruhi.
Seperti halnya alam semesta, rumah dan
pekarangan dikonsepsikan juga sebagai suatu alam
kecil (mikro kosmos) yang di dalamnya juga terdiri
atas elemen-elemen fisik yang terlihat dan yang
tidak terlihat. Elemen-elemen yang terlihat adalah
seluruh unsur yang menjadi isi dari alam kecil
tersebut. Misalnya, unsur-unsur mineral (tanah,
batu), makhluk hidup dan termasuk pula sifat-sifat
alam yang lain seperti panas, dingin dan
sebagainya yang dapat dirasakan. Isi alam kecil
yang tidak terlihat dikonsepsikan pula sebagai
suatu jiwa yang dianggap menggerakkan seluruh
elemen yang lainnya itu. Hampir seluruh elemen
yang mengisi rumah maupun pekarangan itu
dikonsepsikan ke dalam tiga hakikat pokok, yaitu
fisik, jiwa atau atma, dan tenaga (energi) yang satu
sama lainnya berada dalam kesatuan yang utuh.
Konsep tersebut terkristalisasi ke dalam apa yang
disebut tiga penyebab utama kebahagiaan (Tri Hita
Karana). Kebahagiaan itu menyangkut kemampuan
dalam memenuhi kebutuhan hidup jasmaniah
(lahiriah) maupun rohaniah. Manifestasi dari
Konsep Tri Hita Karana dalam ketataruangan
biasanya terwujud sebagai bentuk tiga bagian dari
keseluruhan ruang yang ada, yaitu ruang utama
(suci) yang disebut parhyangan, ruang madya
sebagai wadah interaksi dan kegiatannya yang
disebut pelemahan, dan manusia yang disebut
pawongan.
Selanjutnya konsep makro Tri Hita Karana ini
diturunkan dalam pola keruangan Desa Adat
Penglipuran menjadi suatu tatanan ruang yang
berdasar pada konsep tata ruang Tri Mandala. Pada
hakekatnya manifestasi pola keruangan konsep Tri
Mandala tidak jauh berbeda dari konsep Tri Hita
Karana yang juga membagi ruang menjadi tiga
bagian utama yang masing-masing memiliki fungsi
tersendiri.
Berdasarkan studi literatur, dirumuskan variabel
penelitian yang akan digunakan untuk
mengidentifikasi karakteristik ruang dalam pola
ruang tradisional Desa Adat Penglipuran yaitu :
Ruang Utama
Ruang Madya
o Ruang Madya Pekarangan
o Ruang Madya Tegalan
Ruang Nista
o Ruang Nista Sakral
o Ruang Nista Tegalan
Selanjutnya variabel tersebut akan dikaji
berdasarkan kondisi lapangan yang ada di Desa
Adat Penglipuran yang terkait dengan identitas
dari masing-masing ruang untuk mengetahui
karakteristi masing-masing ruang tersebut.
Identifikasi karakteristik ruang tradisional Desa
Adat Penglipuran bertujuan untuk mengetahui
karakter masing-masing ruang yang terdapat di
Desa Adat Penglipuran. Karakter yang dimiliki
masing-masing ruang yang ada menjadi
pertimbangan dalam perumusan konsep tata ruang
Desa Adat Penglipuran. Karakter masing-masing
ruang adalah :
Ruang Utama
Ruang Utama adalah tempat/ ruang yang paling
disucikan, yang terletak pada bagian Utara desa
dengan dataran paling tinggi dan merupakan
dunianya para dewa/ nenek moyang leluhur. Pada
zona utama ini, ditempatkan fasilitas kegiatan
spiritual desa dan areal hutan, yaitu :
- Pura Desa/Puseh
- Pura Penataran
- Pura Rambut Sri Sedana
- Pura Dukuh
- Pura Peneluah
- Pura Empu Adi
- Hutan bambu
- Hutan kayu
Sesuai dengan peruntukkannya sebagai zona untuk
aktivitas yang berhubungan dengan Tuhan, maka
sebagian besar bangunan yang ada pada zona
Utama memiliki fungsi sebagai tempat ibadah.
Sedangkan kawasan lainnya dalam ruang utama ini
merupakan kawasan/lahan hutan bambu dan
hutan kayu yang sepenuhnya menjadi kawasan
konservasi. Hutan bambu ini merupakan bahan
baku bangunan rumah tradisional Penglipuran
sekaligus bahan baku kerajinan. Didukung adanya
lab dan workshop bambu, Penglipuran berpotensi
menjadi pusat studi dan museum hidup bambu.
Dengan karakter yang dimiliki ruang utama ini
sebagai ruang konservasi, maka segala kegiatan
yang dilakukan pada ruang ini harus memperoleh
izin dari Desa Adat Penglipuran, termasuk kegiatan
penebangan bambu oleh warga setempat. Zona
konservasi merupakan zona yang sebagian besar
terdiri dari lahan basah yang memiliki akses sangat
minim. Aksesibilitas ke hutan bambu ini hanya
Karakteristik Ruang Tradisional (I Putu A. W. K., Iwan S.)
48
difasilitasi oleh jalan setapak dengan perkerasan
tanah, sedangkan akses menuju kawasan pura
sudah diperkeras dengan paving dan batu kali.
Selain berfungsi sebagai zona suci karena terdapat
tempat ibadah, zona ini juga berfungsi sebagai
kawasan serap air dan penyimpan cadangan air
tanah bagi kawasan sekitarnya, terutama kawasan
permukiman.
Ruang Madya
Ruang Madya adalah bagian ruang kedua di Desa
Adat Penglipuran yang secara horizontal terletak
ditengah-tengah. Karakter ruang Madya Desa Adat
Penglipuran dapat dibagi menjadi dua yaitu
pekarangan (permukiman adat) dan tegalan
disekitarnya.
1. Ruang Madya-Pekarangan
Ruang ini merupakan tempat permukiman warga
(dunianya manusia), dengan bangunan-bangunan
rumah tinggal yang secara garis besar terbagi
dalam 2 jejer pekarangan, yaitu jejer Barat dan
jejer Timur.
Pada zone ini terdapat juga beberapa sarana
keagamaan dan berbagai fasilitas pelayanan umum
seperti misalnya :
- Balai Kulkul
- Balai Banjar
- Balai Penyimpenan
- Kantor Kepala Lingkungan
- Pura Dalem Tampuangan
- Pura Ratu Pingit
- Pura Catur Pala
- Tugu Pahlawan
- SD N 2 Kubu
Pada sisi Selatan ruang ini terdapat Tugu Pahlawan
yang memiliki ruang terbuka dan Balai Pertemuan,
yang setiap tahun dipakai untuk memperingati hari
wafatnya pahlawan Bangli Anak Agung Anom Jaya
Mudita dan hari bersejarah lainnya.
Pintu masuk menuju lingkungan Desa Adat
Penglipuran adalah melalui jalan di sebelah Timur
desa dengan pintu gerbang besar beratapkan
bambu yang menjadi salam pertama memasuki
Desa Adat Penglipuran.
Terdapatnya beberapa pura di areal Madya ini
lebih berfungsi sebagai pura fungsional yaitu pura
yang ada karena kebutuhan dari suatu aktivitas
masyarakat. Jadi, sebagian besar bangunan yang
ada pada zona Madya-Pekarangan memiliki fungsi
ruang sebagai permukiman dan sarana
permukiman.
2. Ruang Madya-Tegalan
Ruang ini berupa area tak terbangun dengan guna
lahan jenis hutan, tegalan dan ladang yang terletak
dalam susunan tengah-tengah Desa Adat
Penglipuran. Ruang ini umumnya terletak di
belakang pekarangan warga.
Ruang ini memiliki potensi penghasil kekayaan
alam seperti agrikultur dan forestry. Ruang ini
memiliki fungsi peruntukan sebagai
wadah/kawasan aktivitas penduduk dalam
memenuhi kebutuhan perekonomian dan sebagai
tempat bekerja (mata pencaharian)
Ruang Nista
Ruang Nista adalah bagian ruang yang ketiga yang
terletak di bagian paling Selatan Desa Adat
Penglipuran yang menyimbulkan dunia paling
tidak suci dan berada pada dataran paling rendah.
Karakter ruang yang ada pada zona ini dapat
ditinjau menjadi dua, yaitu :
1. Ruang Nista-Sakral
Pada kawasan ruang ini terletak kuburan warga
dan beberapa pura, seperti Pura Dalem, Pura
Prajapati, Pura Ratu Mas Ayu Manik Malasem.
Beberapa pura dalam kawasan ini memiliki fungsi
dan manifestasi dari kondisi lingkungan sekitarnya
yang merupakan areal sakral yang
menghubungkan manusia dengan alam. Ruang
nista ini bersifat konservasi karena adanya
kuburan dan beberapa pura tersebut merupakan
area dengan akses terbatas dan aktivitas tertentu
yang berkaitan dengan dunia tidak suci (hubungan
manusia dangan bagian alam yang tidak suci).
2. Ruang Nista-Tegalan
Ruang Nista ini berupa hutan dan ladang (tegalan)
seperti halnya yang terdapat pada zona madya.
Zona ini merupakan tempat penduduk melakukan
aktivitas perekonomian untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Peruntukkan kawasan
tegalan ini seperti kegiatan perkebunan, pertanian,
peternakan, dsb. Pada zona nista ini juga terdapat
pondok yang merupakan sarana bermukim terletak
dekat dengan tegalan. Pondok terbentuk karena
aktivitas pada tegalan. Sesuai dengan
peruntukkannya sebagai zona untuk aktivitas yang
berhubungan dengan alam, maka sebagian besar
bangunan dan ruang yang ada pada zona
Palemahan memiliki fungsi sebagai sarana
ekonomi dan sarana permukiman.
Secara keseluruhan, karakter ruang tradisional
Desa Adat Penglipuran dapat dikomparasikan pada
tabel di bawah ini.



Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 40-50
49
Tabel 3 Karakteristik Ruang Tradisional Desa Adat Penglipuran
Klasifikasi Ruang
Karakter Ruang
Tingkat
Kesucian
Ruang
Letak/
Penempatan/
Lokasi Ruang
Guna Lahan Ruang Fungsi Ruang
Utama Ruang paling
suci
Utara/Hulu Desa
Adat
Penglipuran,
pada dataran
tinggi
Tempat suci/ tempat peribadatan (pura)
dan terdapat penggunaan lahan sebagai
kawasan konservasi hutan bambu milik
adat
Sebagai kawasan
peribadatan dan
konservasi hutan
Madya Madya-
Pekarangan
Tingkat
Ruang Kedua
(tengah-
tengah)
Tengah-tengah
Desa Adat
Penglipuran
Permukiman warga beserta atribut desa
dengan penggunaan lahan : perumahan,
fasilitas peribadatan (pura klan), fasilitas
umum dan sosial
Sebagai sarana
permukiman
Madya-
Tegalan
Ladang, kebun dan tegalan Sebagai wadah aktivitas
perekonomian
Nista Nista-Sakral Tingkat
Ruang Ketiga
(paling tidak
suci)
Selatan/ Teben
Desa Adat
Penglipuran,
pada dataran
paling rendah
Pura Dalem dan kuburan (setra) Sebagai kawasan sakral
penghubung manusia
dengan alam tidak suci
Nista-
Tegalan
Ladang, kebun dan tegalan Sebagai wadah aktivitas
perekonomian
Sumber : Hasil Analisa 2009
Dan secara spasial, pembagian ruang tradisional Desa Adat Penglipuran dapat dilihat pada Peta Ruang
Desa Adat Penglipuran.

Sumber : Hasil Analisa, 2009
Gambar 11 Peta Karakteristik Ruang Tradisional Desa Adat Penglipuran


Karakteristik Ruang Tradisional (I Putu A. W. K., Iwan S.)
50
KESIMPULAN
Karakteristik ruang tradisional Desa Adat
Penglipuran, adalah :
Ruang Utama, merupakan ruang dengan
tingkat kesucian paling tinggi, yang terletak di
bagian Utara yaitu pada dataran tinggi desa.
Penggunaan lahan pada ruang ini adalah pura
sebagai fasilitas peribadatan dan hutan bambu
sebagai kawasan konservasi.
Ruang Madya, merupakan ruang dengan
tingkat kesucian sedang, yang terletak di
tengah-tengah desa. Ruang ini dikatagorikan
menjadi dua, yaitu Ruang Madya Pekarangan
dengan penggunaan lahan perumahan,
peribadatan, fasilitas umum dan sosial yang
merupakan ruang dengan fungsi permukiman;
Ruang Madya Tegalan dengan penggunaan
lahan tegalan dan kebun yang berfungsi
sebagai tempat aktivitas perekonomian warga.
Ruang Nista, merupakan ruang dengan tingkat
kesucian paling rendah yang terletak di bagian
Selatan/ bawah desa. Ruang ini dikatagorikan
menjadi dua, yaitu Ruang Nista Sakral dengan
penggunaan lahan pura dan kuburan yang
berfungsi sebagai kawasan sakral penghubung
manusia dengan alam tidak suci; Ruang Nista
Tegalan dengan penggunaan lahan kebun dan
tegalan yang berfungsi sebagai tempat
aktivitas perekonomian warga.
SARAN
Hasil dari penelitian ini dapat digunakan
sebagai landasan untuk merumuskan konsep
tata ruang Desa adat Penglipuran yang ideal
yang mampu mengakomodasi kebutuhan masa
kini tanpa menyalahi nilai tradisional yang ada.
Hasil dari penelitian ini dapat digunakan
sebagai data dasar dalam menyusun suatu
regulasi aturan ruang tradisional pada desa
Adat Penglipuran khususnya dan desa-desa
tradisional Bali umumnya.
Perlu dilakukan identifikasi mengenai karakter
budaya masyarakat adat Penglipuran serta
persepsi masyarakat terkait aturan tata ruang
yang diinginkan mengingat masyarakat
sendirilah yang berperan sangat penting dalam
keberlanjutan nilai-nilai tradisional yang
dimilikinya.
DAFTAR PUSTAKA
Acwin Dwijendra, Ngakan Ketut. 2003. Perumahan
dan Permukiman Tradisional Bali. Jurnal
Permukiman Natah Vol. 1.
Andhika, I Made. 2004. Pola Penataan Ruang Unit
Pekarangan Di Desa Bongli Tabanan. Program
Studi Arsitektur Universitas Udayana.
Balai Pengembangan Teknologi Perumahan
Tradisional Denpasar. 2008. Laporan Akhir:
Pengembangan Model Ecoarchitecture dan
Ecotourism pada Lingkungan Permukiman
Tradisional.
Buku Monografi Desa Adat Penglipuran Kelurahan
Kubu, Bangli Tahun 2001.
Kasuma, I Putu Agus Wira. 2009. Persepsi
Masyakarat Adat sebagai Dasar Perumusan
Konsep Tata Ruang Desa Adat Penglipuran,
Bali. Tugas Akhir Program Studi Perencanaan
Wilayah dan Kota ITS. Surabaya.
Rencana Detail Tata Ruang Kota Ibukota
Kabupaten Bangli Tahun 2005-2015.
Sugiyono, Prof. Dr. 2007. Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung :
Alfabeta.
Suyasa, I Nyoman. 2006. Strategi Pelestarian Pusat
Kota Bangli Berdasarkan Prinsip-Prinsip
Ruang Tradisional Bali. Tugas Akhir Program
Studi Perencanaan Wilayah dan Kota ITS,
Surabaya.
Stasistik Lingkungan Penglipuran Tahun 2007-
2008.
Udiyana, Artha. 2008. Hubungan Sosial Budaya
Ekonomi Dalam Pembentukan Ruang
Permukiman Tradisional Baliaga Di Desa Adat
Pengotan Kabupaten Bangli. Skripsi. Fakultas
Teknik Universitas Brawijaya. Malang.


Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 1 April 2012 : 51-57
51
PARAMETER UNTUK MENYUSUN STRATIFIKASI PENGHASILAN
STUDI KASUS : KECAMATAN NGAMPILAN KOTA YOGYAKARTA
Parameter for Stratified Incomes
Case Study of Ngampilan Sub-District, Yogyakarta City

Heni Suhaeni
Pusat Litbang Permukiman, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum
Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan-Kabupaten Bandung 40393
E-mail : heni.puskim@yahoo.co.id
Diterima : 20 Januari 2012 ; Disetujui : 26 Maret 2012
Abstrak
Secara umum, parameter untuk penyusunan stratifikasi penghasilan penduduk perkotaan berguna untuk
mengukur dan mempertimbangkan rencana pembangunan perumahan dan penduduk yang menghuninya.
Idealnya stratifikasi penghasilan ini dapat disusun secara berkala. Pertanyaannya adalah ukuran dasar apa
yang dapat dijadikan acuan untuk menyusun stratifikasi tersebut, dan apa tujuan yang ingin dicapainya.
Dalam penelitian ini dilakukan penyusunan stratifikasi penghasilan penduduk perkotaan berdasarkan 4
parameter. Tujuan penelitian ini berguna untuk menentukan kelompok sasaran subsidi perumahan. Sampel
penelitian adalah data penghasilan penduduk kecamatan Ngampilan kota Yogyakarta sebagai studi kasus.
Excel dan SPSS (Statistical Package for the Social Sciences) digunakan untuk mengolah dan menganalisis
data. Hasilnya menunjukkan bahwa dengan menggunakan 4 parameter dapat disusun stratifikasi
penghasilan penduduk secara lebih akurat, dan ternyata kelompok masyarakat berpenghasilan rendah
adalah kelompok masyarakat terbesar. Dengan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan miskin
adalah yang terbesar, maka program subsidi perumahan seharusnya diprogramkan lebih spesifik, agar
subsidi perumahan lebih tepat sasaran dan mampu memperbaiki kualitas kehidupan penduduk yang lebih
layak.
Kata Kunci : Penghasilan, stratifikasi sosial-ekonomi, kebutuhan dasar, tempat tinggal, dan perkotaan
Abstract
Generally, parameter for stratified income of urban population is useful for the necessity of housing planning
and development and it should be up-dated periodically. However, the question is, what the basis
measurement can be used as a reference to arrange stratified income, and what the objective can be achieved
by preparation of stratified income. This paper elaborates stratified income of urban residents which are
based on four parameters. The sample for this study is the income data of residents who live in sub-district of
Ngampilan Yogyakarta city as case study. The objective of this study is useful to determine the real target
groups who need subsidies for urban dwelling units. Excel and SPSS (Statistical Package for the Social) are
used to process and analyze data. The result shows that through 4 parameters stratified income can be
arranged accuratelly and the low income community and the poor are the largest community, thus the
subsidy of housing program should be more specific to gain the appropriate subsidies for the appropriate
target group and to improve qualities of life.
Keywords : Income, sosio-economic stratification, basic needs, housing and urban area
PENDAHULUAN
Penduduk perkotaan di Indonesia memiliki
heterogenitas yang tinggi, baik secara budaya,
sosial maupun ekonomi. Selain wilayah perkotaan
di Indonesia didiami oleh penduduk dari berbagai
etnis, secara finansial terdiri atas kelompok-
kelompok penduduk berpenghasilan rendah,
menengah dan tinggi. Secara ekonomi, keragaman
tersebut dapat disusun mengikuti stratifikasi sosio-
ekonomi, yaitu pengelompokan berdasarkan
tingkatan penghasilan. Stratifikasi penduduk
berdasarkan penghasilan dapat digunakan untuk
memperkirakan ukuran minimum mendapatkan
subsidi perumahan.
Secara fisik, sebenarnya stratifikasi pada kawasan
perumahan dapat ditemukenali melalui kondisi
tempat tinggal yang ditempati, contohnya
kelompok masyarakat berpenghasilan rendah
cenderung bertempat tinggal di kawasan kumuh
tidak terpelihara, dengan infrastruktur dasar
perumahan yang terbatas. Kelompok masyarakat
berpenghasilan menengah dan tinggi cenderung
bertempat tinggal di perumahan formal, elit atau
mewah. Secara formal, penyusunan stratifikasi
sosio-ekonomi penduduk pernah dilakukan untuk
keperluan arahan pembangunan perumahan
berimbang. Stratifikasi pembangunan rumah
Parameter untuk Menyusun (Heni Suhaeni)
52
berimbang pernah diterbitkan melalui Keputusan
Menteri Negara Perumahan Rakyat (Kepmen
Menpera) Nomor 4/KPTS/BK4N/1995. Dalam
Kepmen tersebut dijelaskan bahwa proporsi antara
penduduk berpenghasilan rendah, menengah dan
tinggi berbanding antara 6 : 3 : 1.
Perbandingan proporsi tersebut di atas dapat
diartikan bahwa 60% dari populasi merupakan
proporsi masyarakat berpenghasilan rendah, 30%
merupakan proporsi masyarakat berpenghasilan
menengah, dan hanya 10% merupakan masyarakat
berpenghasilan tinggi. Hanya ukuran dasar yang
dijadikan acuan penentuan stratifikasi tersebut
tidak dijelaskan, dan belum pernah diperbaharui
sejalan dengan perubahan sosio-ekonomi
masyarakat, sehingga sulit untuk menentukan
seberapa besar proporsi masyarakat
berpenghasilan rendah yang memerlukan subsidi
perumahan perkotaan, serta apakah dengan
jumlah tersebut telah mengalami perubahan yang
signifikan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi
kota.
Hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Pusat
Litbang Pemukiman untuk Kota Bandung dan
Semarang tahun 2000 menunjukkan bahwa
stratifikasi kelompok masyarakat berpenghasilan
rendah mencapai 90% dari populasi yang tidak
mampu untuk memperoleh tempat tinggal apabila
mengikuti harga pasar perumahan (Suhaeni, et. al,
2001).
Komponen penghasilan memainkan peranan
penting bagi masyarakat perkotaan untuk
mendapatkan tempat tinggal atau rumah. Seperti
yang dijelaskan oleh Anand dan Sen (2000) bahwa
penghasilan berkaitan erat dengan daya beli atau
kemampuan belanja untuk membiayai
kehidupannya secara nyata.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sard (2001)
menunjukkan bahwa 75% masyarakat ber-
penghasilan rendah di Amerika tinggal pada
rumah-rumah sewa yang rusak dengan
penghasilan sekitar 30% dibawah rata-rata. Pada
umumnya, penghasilan penduduk Amerika lebih
banyak diserap untuk biaya tempat tinggal, karena
tempat tinggal merupakan prioritas utama guna
melindungi penghuninya dari iklim sub-tropis yang
dapat berubah secara ekstrim mengikuti
musimnya, sementara biaya untuk kebutuhan
hidup lainnya dapat dibatasi atau dikurangi.
Berbeda dengan Indonesia, cuaca dan iklim selama
ini bukan ancaman besar karena temperatur udara
di negara beriklim tropis relatif stabil, sehingga
kebutuhan dasar atas tempat tinggal seringkali
terabaikan. Kebanyakan penduduk masih dapat
hidup bertempat tinggal dengan kondisi bangunan
rumah seadanya, tanpa takut terhadap ancaman
musim atau cuaca yang ekstrim.
Padahal tempat tinggal atau rumah di mana pun
adalah kebutuhan dasar bagi setiap orang. Tempat
tinggal menjadi komponen penting dalam
kehidupan manusia, karena secara fisik dapat
melindungi manusia dari iklim atau cuaca, secara
sosial dan psikologis merupakan tempat pertama
manusia memulai proses berbudaya,
bermasyarakat dan berpendidikan. Rumah menjadi
tempat belajar melewati proses kehidupan. Dalam
kehidupan bermasyarakat, tempat tinggal dapat
menunjukkan jati diri seseorang atau keluarga.
Interaksi antar rumah tangga juga dimulai dari
tempat tinggal yang di sebut rumah.
Kebutuhan untuk mendapatkan tempat tinggal
bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah
seringkali harus bersaing dengan berbagai
kebutuhan lainnya dengan kemampuan finansial
yang serba terbatas.
Dari perspektif masyarakat berpenghasilan
rendah, mereka terpaksa harus membatasi
kebutuhan dasar hidup agar sebagian
penghasilannya dapat digunakan untuk berbagai
kebutuhan, contohnya kebutuhan untuk biaya
sewa rumah, makanan sehari-hari, pendidikan, dan
pakaian, sehingga rumah yang ditempati adalah
rumah murah yang kondisinya sebagai rumah sub-
standar. Asupan makanan dikurangi, dan akses
terhadap pelayanan kesehatan tidak menjadi
perhatian. Keadaan ini merupakan cerminan dari
masyarakat miskin.
Ukuran Dasar Masyarakat Berpenghasilan
Rendah dan Masyarakat Miskin
BPS (2008) mendefinisikan penduduk miskin
sebagai penduduk yang tidak mampu memenuhi
kebutuhan dasarnya, berupa kebutuhan dasar
makanan dan bukan makanan. Ukuran standar
kondisi miskin seseorang pada setiap daerah relatif
sama bila ukurannya konsumsi makanan dan
bukan makanan, tetapi akan berbeda-beda untuk
setiap kota / kabupaten apabila dikonversikan
dalam nilai rupiah, karena setiap kabupaten / kota
memiliki indeks harga masing-masing. Contohnya,
BPS (2011) menetapkan garis kemiskinan
berdasarkan hasil susenas tahun 2010 untuk kota
Yogyakarta sebesar Rp 265.752,- per bulan per
kapita, atau sebesar sebesar Rp. 982.282,- per
bulan per keluarga dengan rata-rata satu keluarga
terdiri atas 3-4 orang (3,7) per keluarga, tetapi
untuk kabupaten di Yogyakarta sebesar Rp.
217.923,- per bulan per kapita, atau sekitar Rp.
806.315,-per bulan per rumah tangga.
BPS (2011) menghitung ukuran Garis Kemiskinan
Nasional tahun 2011 untuk kawasan perkotaan
Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 1 April 2012 : 51-57
53
berdasarkan hasil susenas tahun 2010 setara
dengan Rp. 253.016,- per bulan per kapita, atau
sekitar Rp. 986.762,- per bulan per rumah tangga
yang terdiri atas seorang ibu, ayah dan dua anak.
BPS juga telah mengembangkan 14 kriteria
penduduk yang dikatagorikan rumah tangga
miskin. Menurut kriteria BPS, apabila sebuah
rumah tangga memiliki 9 atau lebih dari 14 kriteria
yang tercantum dalam tabel 1, maka rumah tangga
tersebut termasuk rumah tangga miskin (lihat
tabel 1).
Di Indonesia, dengan ukuran kemiskinan seperti
diuraikan di atas, sangat rentan apabila terjadi
krisis ekonomi, penduduk miskin bisa bertambah
seketika. Oleh sebab itu pula dalam program
memerangi kemiskinan selama 2-3 dekade,
penurunan jumlah penduduk miskin tidak terjadi
secara signifikan, karena parameter yang
ditetapkan berada dalam dalam batas-batas yang
kritis, sehingga mudah sekali bergeser dalam
posisinya. Apabila dibandingkan dengan standar
kemiskinan negara Singapura, sebuah keluarga
dikatagorikan miskin, apabila hidup pas-pasan,
sehingga tidak dapat menabung. Ukuran
kemiskinan ini lebih stabil ketika krisis ekonomi
terjadi.
Tabel 1 Kriteria Penduduk Tergolong Miskin
Parameter
1 Luas lantai < 8 m
2
per orang.
2 Jenis lantai tanah, bambu, atau kayu kualitas rendah.
3 Dinding bambu, kayu kualitas rendah, atau tembok
tanpa plester.
4 Tidak ada fasilitas tempat buang air besar.
5 Sumber air minum sumur atau mata air tidak
terlindungi.
6 Penerangan bukan listrik.
7 Bahan bakar harian minyak tanah, kayu bakar atau
arang.
8 Konsumsi daging/susu/ayam sekali per minggu.
9 Hanya sanggup membeli pakaian 1 stel per tahun per
orang.
10 Hanya sanggup makan 1-2 kali sehari.
11 Tidak sanggup membayar biaya pengobatan
puskesmas.
12 Penghasilan per bulan Rp 600.000,- per rumah tangga.
13 Pendidikan tertinggi SD, tidak tamat SD, atau tidak
sekolah
14 Tidak memiliki tabungan / barang yang mudah dijual
seharga Rp. 500.000,-
Sumber : BPS, 2009.
Hasil penelusuran terhadap data statistik BPS
(2011) ternyata jumlah penduduk miskin
perkotaan sebesar 9,23% lebih kecil jika
dibandingkan dengan penduduk miskin perdesaan
sebesar 15,72%. Akan tetapi angka kemiskinan
perkotaan meningkat lebih besar dari tahun ke
tahun, sementara angka kemiskinan perdesaan
menurun. Pada tahun 1996 jumlah penduduk
miskin sebesar 9,42 juta, sedangkan pada tahun
2011 jumlah penduduk miskin di perkotaan
meningkat menjadi 11,05 juta jiwa, sementara
jumlah penduduk miskin perdesaan tahun 1996
sebesar 24,59 juta jiwa menurun menjadi 18,97
juta jiwa. Hal ini sejalan dengan migrasi penduduk
ke kota dan laju pertumbuhan penduduk
perkotaan yang terus bertambah.
Pada grafik 1 dapat dilihat ada dua trendline angka
kemiskinan perkotaan selama periode 1996-2010.
Tredline pertama menunjukkan kecenderungan
prosentase angka kemiskinan menurun (lihat garis
trendline terputus-putus), Sedangkan trendline
kedua menunjukkan kecenderungan angka
kemiskinan yang tetap stabil (lihat garis trendline
berwarna hitam), artinya jumlah penduduk miskin
perkotaan di Indonesia akan tetap ada, bertahan
dan bertambah secara perlahan (lihat grafik 1).
Kamaluddin (2004) menjelaskan bahwa tingkat
kemiskinan di perkotaan bebannya akan terus
semakin berat, karena daya dukung lingkungan
semakin berkurang.

Dari beberapa parameter sosial dan ekonomi yang
dapat dijadikan indikator penentuan stratifikasi,
berikut ini 4 parameter yang dapat dijadikan dasar
ukurannya, yaitu:
1. Rata-rata Pengeluaran Per Bulan Per Kapita
Rata-rata pengeluaran per bulan per kapita
dapat dijadikan ukuran dasar penentuan
stratifikasi penghasilan, karena ukurannya
menunjukkan batas kebutuhan dasar rata-rata
yang dikeluarkan untuk biaya hidup per kapita
per bulan.
2. Rata-rata Upah Pekerja / Buruh / Karyawan
Upah pekerja /buruh / karyawan rata-rata yang
diterima secara rutin atau reguler per bulan
termasuk didalamnya gaji pokok dan tunjangan
yang diperhitungkan cukup untuk biaya hidup
per bulan.
3. Upah Minimum Per Bulan
Upah terendah untuk pekerja /buruh golongan
terendah dengan masa kerja kurang dari satu
Parameter untuk Menyusun (Heni Suhaeni)
54
tahun, umumnya diperuntukan bagi buruh yang
masih lajang. Upah minimum dapat dijadikan
ukuran dasar stratifikasi penghasilan, karena
upah minimum diasumsikan sebagai batas
minimum penghasilan pekerja/buruh pemula.
4. Garis Kemiskinan Per Kapita Per Bulan
Perhitungan besarnya nilai rupiah per kapita
per bulan untuk memenuhi kebutuhan dasar
minimum makanan dan non makanan yang
dibutuhkan seorang individu untuk tetap
berada pada kehidupan yang layak.
Secara umum, subsidi perumahan merupakan
kebijakan negara dalam memberikan kemudahan
akses dalam memenuhi kebutuhan rumah
(Kardiyanto, et. Al., 2001). Menurut King (1998)
program subsidi muncul, karena pada
kenyataannya tidak semua penduduk terfasilitasi
atau mampu memasuki harga pasar perumahan,
sehingga perlu diberikan subsidi, terutama
kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.
Pemberian subsidi perumahan di Indonesia
umumnya diberikan dengan cara selisih bunga
yang lebih rendah. Tetapi masalah yang sering
muncul dalam hal subsidi perumahan adalah
kelompok sasaran yang tidak jelas kriterianya,
karena dalam kelompok masyarakat
berpenghasilan rendah pun bukan satu-satunya
kelompok dengan berpenghasilan rendah, karena
dibawah tingkatannya masih ada kelompok
masyarakat pra-sejahtera, miskin dan sangat
miskin.
IDENTIFIKASI MASALAH
Inti masalahnya adalah ukuran dasar apa yang
dijadikan acuan untuk menentukan stratifikasi
kelompok masyarakat berpenghasilan rendah atau
kelompok masyarakat miskin. Apa perbedaan yang
mendasar antara penduduk berpenghasilan rendah
dengan miskin. Berdasarkan stratifikasi
penghasilan tersebut berapa banyak penduduk
perkotaan yang sesungguhnya memerlukan subsidi
perumahan ?
METODE PENELITIAN
Data primer yang digunakan sebagai studi kasus
pada penelitian ini adalah data primer penduduk
Kecamatan Ngampilan Kota Yogyakarta. Data
tersebut diperoleh dari kegiatan penelitian
Kebutuhan Perumahan yang dilaksanakan oleh
Tim Peneliti Pusat Litbang Permukiman tahun
2011. Jumlah sampel yang dijadikan data
peenelitian sebanyak 200 unit data. Metoda
pengambilan sampel dilakukan dengan cara
random stratification sampling, yaitu pengambilan
data berdasarkan acak yang terstruktur mengikuti
kelompoknya masing-masing untuk mencapai
representasi dari sebuah populasi. SPSS dan Excel
digunakan untuk pengolahan dan analisis data.
Data skunder juga digunakan untuk melengkapi
data penelitian ini.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan yang ingin dicapai adalah menyusun
stratifikasi penghasilan masyarakat yang
didasarkan pada 4 parameter, yaitu rata-rata
pengeluaran, rata-rata upah buruh / pegawai /
karyawan, upah minimum, dan garis kemiskinan.
Penelitian ini bermanfaat dalam menentukan
kelompok sasaran yang perlu diperhatikan terkait
dengan kebutuhan tempat tinggal perkotaan.
PEMBAHASAN DATA DAN ANALISIS
Hasil pengolahan dan analisis data secara
kuantitatif dengan menggunakan 4 parameter BPS
(2011) diperoleh gambaran sebagai berikut :
1. Rata-rata pengeluaran Rp 625.043,- /kapita
BPS (2011) menunjukkan bahwa rata-rata
pengeluaran untuk biaya hidup per bulan per
kapita Kota Yogyakarta sebesar Rp 625.043,-
atau sebesar Rp 2.312.659,- per keluarga yang
terdiri dari ayah, ibu dan dua anak. Artinya,
apabila penghasilan dibawah rata-rata besaran
tersebut maka dapat dikatagorikan sebagai
kelompok penduduk yang rata-rata
pengeluarannya berada dibawah kelompok
rata-rata penduduk.
2. Upah Buruh/Pegawai/Karyawan Rp1.394.960,-
BPS (2011) menunjukkan besaran rata-rata
upah buruh/pegawai/karyawan atau yang
setingkatannya di Kota Yogyakarta sebesar Rp
1.394.960,- bila besaran tersebut dibandingkan
dengan rata-rata pengeluaran biaya hidup
sebesar Rp 2.312.659,- maka upah rata-rata
buruh / pegawai / karyawan atau setingkatan-
nya masih tetap berada dibawah ukuran rata-
rata.
3. Garis kemiskinan sebesar Rp265.75,- /kapita
Berdasarkan hasil Survei Sosial dan Ekonomi
Nasional (BPS, 2010) Garis Kemiskinan untuk
Kota Yogyakarta sebesar Rp. 265.75,- per kapita
per bulan, atau sebesar Rp. 983.282,- per
keluarga per bulan dengan perhitungan jumlah
rata-rata anggota keluarga sebesar 3,7%. Hal ini
berarti bahwa satu rumah tangga dengan
anggota keluarga 4 orang memiliki penghasilan
sebesar Rp. 983.282,- dianggap dapat
memenuhi kebutuhan dasar minimum untuk
berada pada kehidupan yang layak, walaupun
rata-rata biaya pengeluaran untuk biaya hidup
di Kota Yogyakarta sebesar Rp 2.312.659,-,
karena garis kemiskinan ini didasarkan pada
batas minimum bertahan hidup secara layak,
bukan batas rata-rata pengeluaran.
Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 1 April 2012 : 51-57
55
4. Upah minimum sebesar Rp. 808.000,-
Upah minimum Kota Yogyakarta tahun 2011
ditetapkan sebesar Rp. 808.000,-. Upah
minimum ini merupakan upah terendah dari
golongan terendah dengan masa kerja kurang
dari 1 tahun dan diasumsikan sebagai pekerja
yang masih lajang. Apabila Upah Minimum
sebesar Rp. 808.000.- dibandingkan dengan
besarnya rata-rata pengeluaran per bulan per
kapita sebesar Rp. 625.043,- maka Upah
Minimum sebesar Rp. 808.000,- ini diasumsikan
dapat mencukupi untuk biaya hidup sebulan
per orang. Masalahnya hanya timbul apabila
dalam satu keluarga atau satu rumah tangga
seorang buruh harus menanggung beban hidup
anggota keluarga lain yang yang tidak produktif
atau belum bekerja.
Keempat parameter tersebut di atas dapat
dijadikan dasar penyusunan stratifikasi
penghasilan. Pada tabel 2 dapat dilihat besarnya
rata-rata upah/gaji buruh / pegawai / karyawan,
ataupun upah minimum yang berada di bawah
rata-rata pengeluaran.
Tabel 2 Indikator Stratifikasi Penghasilan Penduduk
Kecamatan Ngampilan Yogyakarta
Parameter

Indikator

Rata-rata
Per Kapita
Per Bulan
(Rp.)
Rata-rata Per
Keluarga Per
Bulan (Rp)
Rata-rata Pengeluaran 625.043 2.312.659
Rata-rata Upah Buruh/
Pegawai / Karyawan - 1.394.960
Garis Kemiskinan 265.752 983.282
Upah Minimum (lajang
masa kerja < 1 tahun) 808.000 -
Sumber : BPS, Tahun 2011
Kelompok pekerja yang upah / gajinya telah
melampaui garis kemiskinan dapat disebut sebagai
kelompok yang dapat hidup dalam batas minimum
yang layak, tetapi mereka hidup dalam batas yang
pas-pasan, uang penghasilannya tidak dapat
disisihkan untuk membiayai tempat tinggal yang
layak huni.
Apabila indikator rata-rata pengeluaran per bulan
sebesar Rp. 2.312.659,- dijadikan ukuran dasar
stratifikasi, ternyata penduduk yang memiliki
penghasilan per bulan di bawah Rp. 2.312.659,
mencapai proporsi 75,5% (lihat tabel 3).
Dengan menggunakan indikator rata-rata
upah/gaji buruh / pegawai / karyawan sebesar Rp.
1.394.960,- pun proporsi penduduk yang
penghasilannya dibawah rata-rata upah/ gaji
proporsinya masih mencapai 51,5%. Artinya lebih
dari setengah penduduk Kecamatan Ngampilan
diperkirakan tergolong dalam kelompok
masyarakat berpenghasilan rendah.
Perbedaan antara kelompok masyarakat
berpenghasian rendah dengan masyarakat miskin
adalah :
1. kelompok masyarakat miskin dengan
penghasilannya yang berada dibawah garis
kemiskinan sebesar < Rp 983.282,-
2. kelompok masyarakat berpenghasilan rendah
adalah penduduk yang penghasilannya di atas
garis kemiskinan yang dianggap mampu
memenuhi kebutuhan dasar hidup minimal
secara layak, yaitu sebesar > Rp 983.282,-
Rumah tangga yang disubsidi selama ini adalah
rumah tangga yang memiliki kemampuan untuk
akses dengan pinjaman bank. Artinya, rumah
tangga yang disubsidi adalah rumah tangga yang
mempunyai penghasilan dengan 30% upahnya
dapat dialokasikan untuk mengangsur harga unit
rumah, dan 70% untuk membiayai kehidupan
keluarganya.
Tabel 3 Stratifikasi Penghasilan dan Proporsi Penduduk
di Bawah Ukuran Rata-rata
Parameter


Indikator

Rata-rata
Per Keluarga
Per Bulan
(Rp)

Proporsi
di Bawah
Ukuran Rata-
rata (%)
Rata-rata pengeluaran
biaya hidup 2.312.659 75,5
Rata-rata upah buruh /
pegawai / karyawan 1.394.960 51,5
Garis kemiskinan 983.282 35
Upah minimum Propinsi 808.000 30,5
Sumber : BPS, Tahun 2011 dan Pengolahan Data Primer
Bila diasumsikan harga lahan kapling di Kecamatan
Ngampilan berdasarkan harga perkiraan pasar
rata-rata hasil pengumpulan data primer sebesar
Rp. 915.435,-. Atau apabila dibandingkan dengan
perkiraan rata-rata harga pasar kapling yang
paling dominan sebesar Rp 1.000.000,- per meter
persegi (lihat grafik 2).

Diolah dari hasil survei : Tim Peneliti Pusat Litbang Permukiman
Parameter untuk Menyusun (Heni Suhaeni)
56
Apabila lahan untuk satu unit rumah dibutuhkan
seluas 60 M
2
untuk satu keluarga, maka harga
lahan per kapling sebesar Rp. 60.000.000,- dan
harga bangunan tipe 36 diasumsikan seharga Rp.
1.000.000,-, per M
2
, sehingga perhitungan kasar
satu unit rumah diperkirakan seharga Rp.
96.000.000,-
Apabila unit tempat tinggal tersebut diangsur
untuk jangka 20 tahun dengan uang muka Rp.
6.000.000,-, maka uang cicilannya diperkirakan
sekitar Rp.400.000,- sampai dengan Rp. 500.000,-
per bulan dengan bunga 8-9%. Artinya penduduk
yang dapat / mampu mengangsur cicilan rumah
harus memiliki penghasilan di atas Rp. 1.500.000,-
per bulan, dan tabungan untuk uang muka sebesar
Rp. 6.000.000,-
Hal ini berarti bukan untuk konsumsi penduduk
yang penghasilannya dibawah Rp. 1.500.000,- per
bulan, sehingga kelompok yang memiliki
penghasilan setingkat buruh / pekerja sekitar Rp.
1.394.960,- atau setingkat dengan upah minimum
Rp. 808.000,- akan mengalami kesulitan
mendapatkan tempat tinggal, mereka sangat
memerlukan subsidi.
Dari penyusunan stratifikasi sosio-ekonomi
dengan menggunakan hierarchical cluster,
penghasilan penduduk Kecamatan Ngampilan
sebenarnya hanya dapat diklasifikasikan dalam
dua kelompok, yaitu kelompok kaya dan kelompok
miskin, karena perbedaan nilai penghasilan
tertinggi dan terendah sangat lebar, yaitu dari
mulai rumah tangga yang tidak produktif lagi atau
tidak mempunyai penghasilan tetap sampai
dengan rumah tangga atau keluarga yang sangat
kaya raya sebagai pengusaha (lihat tabel 4).
Tabel 4 Stratifikasi Penghasilan
Parameter
Strata
Penghasilan
(Rp)
Proporsi
f (%)
Sangat tinggi >50 juta 1 0,5
Tinggi 10-50jt 3 1,5
Cukup tinggi 9,9-5 jt 7 3,5
Diatas rata-rata 3-4,9jt 27 13,5
Rata-rata 2-2,9 33 16,5
Rendah 1-1,9 jt 59 29,5
Miskin <0,9 70 35
Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer, 2011
Akhirnya, dengan menggunakan data primer untuk
variabel penghasilan, secara manual stratifikasi
penghasilan penduduk Kecamatan Ngampilan
dapat disusun menjadi 7 tingkatan, seperti dapat
dilihat pada tabel 4.
Penyusunan stratifikasi penghasilan ini
mempertimbangkan upah minimum, garis
kemiskinan, upah kebanyakan buruh / pegawai /
karyawan, upah minimum, dan rata-rata
pengeluaran rumah tangga yang mengacu pada
hasil survei susenas 2011 Propinsi / Kota
Yogyakarta.
Tabel 4 menunjukkan jumlah populasi dengan
penduduk berpenghasilan rendah ataupun miskin
menunjukkan nilai proporsi yang tinggi, sedangkan
populasi dengan penghasilan yang tinggi
menunjukkan nilai proporsi yang kecil, sehingga
stratifikasi penghasilan menyerupai bentuk
piramida (kerucut). Padahal formasi ideal yang
diharapkan menyerupai belah ketupat dimana
penghasilan yang tergolong rata-rata adalah yang
terbesar, penghasilan yang tergolong tinggi dan
rendah atau miskin adalah kelompok yang
jumlahnya kecil.
Dari hasil analisis data statistik, ternyata rata-rata
penghasilan penduduk Kecamatan Ngampilan
sebesar Rp. 2.991.213,- dan penduduk yang
penghasilannya berada di bawah angka tersebut
mencapai 81%
Dengan kondisi stratifikasi sosial ekonomi
penduduk seperti tersebut di atas, masih perlu
kerja keras untuk mengurangi kesenjangan
tersebut. Tampaknya puluhan tahun bekerja
memerangi kemiskinan, angka kemiskinan belum
menunjukkan penurunan yang signifikan.
Penduduk kelompok berpenghasilan rendah akan
tetap mengalami kesulitan untuk memperoleh
tempat tinggal yang layak dan akan menjadi
masalah bagi pemerintah kota, karena
keterbatasan kemampuan finansial.
Kalaupun penduduk mampu meningkatkan
stratanya masuk dalam kelompok penghasilan
rata-rata penduduk, masih sulit untuk memperoleh
tempat tinggal, karena penentuan upah, gaji tidak
sejalan dengan kebutuhan dasar minimal yang
layak masyakat kota. Dengan kata lain, ketentuan
upah minimum, upah buruh, gaji rata-rata pegawai
/ karyawan belum atau tidak dapat dijadikan
ukuran mampu bertempat tinggal di perkotaan
dengan layak, karena harga tempat tinggal
ditentukan oleh parameter harga pasar. Masalah
yang akan muncul dikemudian hari adalah,
kepadatan penduduk terus meningkat dan harga
lahan perkotaan ditentukan dengan harga pasar,
artinya harga tempat tinggal perkotaan akan
semakin tidak terjangkau apabila tidak ada
intervensi kebijakan dalam bentuk subsidi.
Penyusunan stratifikasi penghasilan di perkotaan,
diharapkan dapat memberikan masukan bahwa
setiap penetapan penghasilan ataupun keputusan
subsidi berdasarkan rujukan tertentu, seharusnya
dapat dipahami dengan memperkirakan juga
konsekuensi selanjutnya pada masyarakat dan
Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 1 April 2012 : 51-57
57
pada kondisi perumahan perkotaan, termasuk
jumlah penduduk masyarakat berpenghasilan
rendah dan miskin yang terus bertambah.
KESIMPULAN
1. Stratifikasi penghasilan dengan menggunakan
4 parameter, yaitu upah minimum, upah
buruh, garis kemiskinan dan rata-rata
pengeluaran perbulan untuk biaya hidup, pada
penduduk Kecamatan Ngampilan Yogyakarta
dapat dikelompokkan dalam 7 stratifikasi,
yaitu : sangat tinggi, tinggi, cukup tinggi, diatas
rata-rata, rata-rata, rendah dan miskin dengan
formasi menyerupai bentuk piramida, artinya
kelompok masyarakat yang tergolong miskin,
rendah, dibawah rata-rata tercatat paling
dominan.
2. Penduduk yang memerlukan subsidi
perumahan diperkirakan lebih dari 51%,
apabila ukuran parameternya adalah rata-rata
upah / gaji buruh, pegawai, karyawan kota
Yogyakarta.
3. Penduduk miskin perkotaan adalah penduduk
berpenghasilan dibawah ukuran garis
kemiskinan setara dengan Rp 983.282,- per
keluarga per bulan. Sedangkan masyarakat
berpenghasilan rendah adalah penduduk yang
masih mampu membiayai kehidupannya
dengan pendapatan di atas Rp 983.282,-
SARAN
Penelitian ini merupakan studi kasus Kecamatan
Ngampilan Kota Yogyakarta. Hasil studi kasus ini
dapat dijadikan masukan untuk pengelola kota
dalam memperhitungkan kondisi sosio-ekonomi
penduduknya saat ini dan perkiraan di masa yang
akan datang. Oleh sebab itu, disarankan setiap
pengelola kota dapat menyusun stratifikasi
penghasilan penduduknya masing-masing untuk
keperluan perencanaan dan pembangunan kota
beserta penduduknya ke depan.
DAFTAR PUSTAKA
________, 2006, Berita Resmi Statistik, Berita
Kemiskinan di Indonesia, Nomor 47/2006/
Tahun IX, September 2006, BPS, Jakarta.
________, 2010, Berita Resmi Statistik, Profil
Kemiskinan di Indonesia, Nomor
45/2007/Tahun XIII, Juli 2010. BPS, Jakarta
________, 2011, Perkembangan Beberapa Indikator
Utama Sosial-Ekonomi Indonesia, BPS,
Jakarta.
_________, 2008, Statistik Indonesia Badan Pusat
Statistik (BPS), Jakarta.
Anand., S., dan Sen., A., 2000, The Income
Component of Human Development Index,
Journal of Human Development Index.,
Volume 1, Nomor 1., p83-106
Kamaluddin, 2004, Kemiskinan Perkotaan Di
Indonesia : Perkembangan, Karakteristik dan
Upaya Penanggulangannya, Seminar
Pengembangan Perkotaan dan Wilayah,
Universitas Trisakti, Fakultas Ekonomi,
Jakarta, 1 Nopember 2004.
Kardiyanto, D., et. al., 2001, Subsidi Dalam
Penyediaan Perumahan Sederhana di
Bandung, Jurnal Penelitian Perumahan,
Volume 18 Nomor 1, 2001, Bandung. p51-58
Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat
Nomor 4/KPTS/BK4N/1995, tentang
Perumahan Berimbang.
King, P. 1998, Housing, Individuals and the State,
Routledge, London.
Sard, B., 2001, Housing Voucher Should Be a More
Component of Future Housing Policy for the
Lowest Income Family., Cityscape: A Journal
of Policy Development and Research, Volume
5, Nomor 2, tahun 2001, P. 89-110.
Suhaeni, et.al., 2001, Strata Sosio-ekonomi
Masyarakat sebagai Basis Pengembangan
Perumahan yang Proporsional, Jurnal
Penelitian Permukiman, Volume 17, Nomor 3,
2001, Bandung, P. 51-58.



Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 1 April 2012: 58-63
58
Katalog dan Abstrak
UDC
691.12.
Cah Cahyadi, Dani
s Sifat fisis dan mekanis bambu laminasi bahan berbentuk pelupuh (zephyr) dengan penambahan
metanol sebagai pengencer perekat / Dany Cahyadi, Anita Firmanti, dan Bambang Subiyanto.--Jurnal
Permukiman.-- Vol. 7 No. 1 April 2012.-- Hal. 1-4.-- Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan
Permukiman, 2012.
65 hlm. : ilus.; 30 cm
Abstrak : hlm. 1
ISSN : 1907-4352
I. LAMINATED BAMBU 1. Firmanti, Anita 2. Subiyanto, Bambang
3. Judul
Telah dilakukan penelitian pembuatan bambu laminasi berbahan bambu berbentuk pelupuh yang dalam proses
pembuatannya menggunakan perekat yang diencerkan dengan metanol. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
pengaruh penambahan metanol terhadap sifat fisis dan mekanis bambu laminasi berbahan bambu berbentuk
pelupuh. Panel bambu komposit dibuat dengan ukuran 85cm x 40cm x 5cm dengan variasi berat labur 150g/m
2
,
200g/m
2
, dan 250g/m
2
, serta variasi kadar metanol 1%, 3%, dan 5% dari berat perekat. Hasil pengujian
menunjukkan bahwa penambahan metanol dapat menurunkan penyerapan air dan pengembangan tebal, dan
dapat meningkatkan sifat fisisnya.
Kata kunci : bambu laminasi, kempa dingin, pelupuh, polyurethane, metanol
UDC
693.75
Fir Firmanti, Anita
a Analisis pengembangan unit produksi conblock dan paving block berbasis limbah batubara dalam
rangka mendukung pembangunan rumah murah / Anita Firmanti, Aventi, Dany Cahyadi, Aan Sugiarto dan
Bambang Subiyanto. --Jurnal Permukiman.-- Vol. 7 No. 1 April 2012.-- Hal. 5-12.-- Bandung : Pusat Penelitian
dan Pengembangan Permukiman, 2012.
65 hlm. : ilus.; 30 cm
Abstrak : hlm. 5
ISSN : 1907-4352
I. PAVING BLOCK 1. Aventi 2. Cahyadi, Dany
3. Sugiarto, Aan 4. Sugiharto, Bambang 5. Subiyanto, Bambang
6. Judul
Fly-ash dan bottom-ash yang merupakan hasil samping (by product) pada pembakaran batubara untuk energi
dapat dimanfaatkan untuk conblock maupun paving block yang memenuhi SNI. Selain dilakukan validasi terhadap
kualitas produk yang dihasilkan, untuk mengetahui kelayakan juga dilakukan analisis pasar, analisis keekonomian
dan finansial serta dilakukan analisis lingkungan pengembangan conblock dan paving block yang diproduksi
dengan peralatan semi masinal maupun full-machinal. Hasil analisis pasar menunjukkan bahwa unit produksi
bahan bangunan yang dikembangkan sangat prospektif terutama bila dikaitkan dengan kebutuhan pembangunan
rumah dan jalan lingkungan. Berdasarkan analisis NPV, IRR, BEP dan PI diketahui bahwa unit produksi bahan
bangunan yang dikembangkan terutama yang dengan full-machinal sangat menguntungkan. Hasil analisis
lingkungan menunjukkan bahwa beton/bata fly-ash atau bottom-ash tidak berbahaya yang didukung pula dari nilai
uji TCLP yang menunjukkan nilai terlarut di bawah baku mutu yang disyaratkan.
Kata kunci : conblock, paving block, fly-ash, bottom-ash, feasibility study
UDC
691.213
Her Herina, Silvia F.
p Pengaruh kadar kehalusan butir terhadap ketahanan geser tanah pasir vulkanik / Silvia F. Herina. --
Jurnal Permukiman.-- Vol. 7 No. 1 April 2012.-- Hal. 13-23.--Bandung : Pusat Penelitian dan
Pengembangan Permukiman, 2012.
65 hlm. : ilus.; 30 cm
Abstrak : hlm. 13
ISSN : 1907-4352
I. VOLCANIC SANDS 1. Judul
Meskipun bentuk butirnya yang menyudut memungkinkan pasir vulkanik mempunyai ketahanan geser yang cukup
tinggi. Sebagai tanah berbutir kasar, pasir tersebut akan mudah berdilatasi dan bergeser. Dalam studi ini dikaji efek
makin tingginya kadar butiran halus pada massa pasir vulkanik terhadap peningkatan kekuatan gesernya.
Kata kunci : pasir vulkanik, kadar kehalusan butir, kuat geser, gradasi butir, wet tamping
Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 1 April 2012: 58-63
59
UDC
628.336.56
Dar Darwati, Sri
p Peran komunitas dalampengelolaan sampah berbasis pola pilah kumpul olah terhadap reduksi sampah
kota / Sri Darwati dan Fitrijani Anggraini.-- Jurnal Permukiman.-- Vol. 7 No. 1 April 2012.-- Hal. 24-32.--
Bandung : Pusat Penelitian dan PengembanganPermukiman, 2012.
65 hlm. : ilus.; 30 cm
Abstrak : hlm. 24
ISSN : 1907-4352
I. SOLID WASTE MANAGEMENT 1. Anggraini, Fitrijani 2. Judul
Probolinggo merupakan kota yang berhasil melibatkan peran komunitas dalam pemilahan sampah melalui
pembentukan Kelompok Masyarakat (Pokmas) dalam pengelolaan sampah di sumber. Kunci keberhasilan terletak
pada perubahan perilaku masyarakat dan fasilitasi tokoh masyarakat dan pemerintah.
Kata kunci : peran, komunitas, pengelolaan sampah, pilah, kumpul, olah, reduksi
UDC
621.039.7
Ary Aryenti
p Peningkatan fungsi tempat pengelolaan sampah terpadu / Aryenti dan Sri Darwati.-- Jurnal
Permukiman.-- Vol. 7 No. 1 April 2012.-- Hal. 33-39.-- Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan
Permukiman, 2012.
65 hlm. : ilus.; 30 cm
Abstrak : hlm. 33
ISSN : 1907-4352
I. WASTE MANAGEMENT 1. Darwati, Sri 2. Judul
TPST adalah tempat pengelolaan sampah terpadu tempat untuk melaksanakannya kegiatan pemilahan,
pengumpulan, mendaur ulang, pengolahan dan pemrosesan akhir sampah. Hasil monitoring dan evaluasi,
pengelolaan sampah di sumber masih kurang mendapat dukungan dari masyarakat. Berdasarkan Permen PU
Nomor 21/PRT/M/2006 pengurangan sampah dengan konsep 3R di beberapa kota di Indonesia baru dapat
mereduksi kurang lebih 3% dari jumlah sampah yang ada. Untuk itu peningkatan fungsi TPST sebagai tempat
pengelolaan perlu digalakkan agar sampah yang tidak terolah di sumber dapat ditangani di TPST.
Kata kunci : peningkatan, fungsi, pengelolaan, sampah, terpadu
UDC
69. 058 4
Kas Kasuma, I Putu Agus Wira
k Karakteristik ruang tradisional pada desa adat Penglipuran, Bali / I Putu Agus Wira Kasuma dan
Iwan Suprijanto.-- Jurnal Permukiman. -- Vol. 7 No. 1 April 2012. -- Hal. 40-50. -- Bandung : Pusat
Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2012.
65 hlm. : ilus.; 30 cm
Abstrak : hlm. 40
ISSN : 1907-4352
I. TRADITIONAL SETTLEMENT 1. Suprijanto, Iwan 2. Judul
Tatanan pola ruang Desa Adat Penglipuran yang unik merupakan warisan budaya yang harus dipertahankan
ditengah dinamika pertumbuhan penduduk serta arus perkembangan kebutuhan masa kini yang menimbulkan
kebutuhan akan ruang. Namun, belum adanya regulasi yang berisikan mengenai aturan tata ruang menjadi faktor
ancaman bagi keberlanjutan dari pola ruang yang sudah dijaga sampai sekarang. Permasalahannya adalah belum
teridentifikasinya karakteristik ruang tradisional di Desa Adat Penglipuran sebagai landasan untuk menyusun
konsep tata ruang Desa Adat Penglipuran yang ideal. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan pendekatan
rasionalisme dan analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian adalah ruang tradisional Desa
Adat Penglipuran terdiri dari tiga tingkatan ruang yang berdasarkan konsep Tri Mandala, yaitu Utama, Madya dan
Nista dimana pada masing-masing ruang memiliki tingkat kesucian, lokasi/penempatan, guna lahan dan fungsi
ruang yang berbeda.
Kata kunci : lingkungan, permukiman tradisional, karakteristik ruang, desa adat, pola ruang tradisional





Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 1 April 2012: 58-63
60

UDC
316.34
Suh Suhaeni, Heni
p Parameter untuk menyusun stratifikasi penghasilan, studi kasus : Kecamatan Ngampilan Kota
Yogyakarta/ Heni Suhaeni.-- Jurnal Permukiman.-- Vol. 7 No. 1 April 2012.-- Hal. 51-57.-- Bandung : Pusat
Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2012.
65 hlm. : ilus.; 30 cm
Abstrak : hlm. 51
ISSN : 1907-4352
I. STRATIFICATION SOCIAL 1. Judul
Secara umum, parameter untuk menyusun stratifikasi penghasilan penduduk perkotaan berguna untuk mengukur
dan mempertimbangkan rencana pembangunan perumahan dan penduduk yang menghuninya. Pertanyaannya
adalah ukuran dasar apa yang dapat dijadikan acuan untuk menyusun stratifikasi tersebut, dan apa tujuan yang
ingin dicapainya. Dalam penelitian ini dilakukan penyusunan stratifikasi penghasilan penduduk perkotaan
berdasarkan 4 parameter yang bertujuan untuk menentukan kelompok sasaran subsidi perumahan. Hasilnya
menunjukkan bahwa dengan menggunakan 4 parameter dapat disusun stratifikasi penghasilan penduduk secara
akurat. Kelompok masyarakat berpenghasilan rendah adalah kelompok masyarakat terbesar, sehingga program
subsidi perumahan seharusnya lebih spesifik, agar subsidi perumahan lebih tepat sasaran dan mampu
memperbaiki kualitas kehidupan penduduk yang lebih layak.
Kata kunci : penghasilan, stratifikasi sosial-ekonomi, kebutuhan dasar, tempat tinggal, perkotaan































Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 1 April 2012: 58-63
61
Catalogue and Abstract
UDC
691.12
Cah Cahyadi, Dany
p Physical and mechanical properties of zephyr-shaped laminated bamboo with addition of methanol as
adhesives diluents / Dany Cahyadi, Anita Firmanti, and Bambang Subiyanto. --Jurnal Permukiman. --Vol. 7
No. 1 April 2012. -- Page 1-4. -- Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2012.
65 Pages : ilus.; 30 cm
Abstract : Page 1
ISSN : 1907 4352
I. LAMINATED BAMBOO 1. Firmanti, Anita 2. Subiyanto, Bambang
3. Title
The research carried out the making of laminated bamboo made from zephyr-shaped bamboo which in the
manufacturing process use adhesive diluted with methanol. The purpose of this study is to determine the effect of
addition of methanol to the physical and mechanical properties of laminated bamboo from zephyr-shaped bamboo.
Bamboo composite panels was manufactured with a size 85cm x 40cm x 5cm with a variation of adhesive weight
surfacing 150g/m
2
, 200g/m
2
, and 250g/m
2
and the variation of methanol content of 1%, 3%, and 5% by weight
adhesives. Test results showed that the addition of methanol may decrease the absorption of water and the
thickness swelling, and it can improve the mechanical properties.
Keywords : laminated bamboo, cold press, zephyr-shaped, polyurethane, methanol
UDC
693.75
Fir Firmanti, Anita
a Analysis on the development of production unit of conblock and paving block using waste from burnt
coal to support the supply of low-cost housing / Anita Firmanti, Aventi, Dany Cahyadi, Aan Sugiarto,
Bambang Sugiharto, and Bambang Subiyanto. -- Jurnal Permukiman. - Vol. 7 No. 1. April 2012. - Page 5-
12. - Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2012.
65 Pages : ilus.; 30 cm
Abstract : Page 5
ISSN : 1907 4352
I. PAVING BLOCK 1. Aventi 2. Cahyadi, Dany
3. Sugiarto, Aan 4. Sugiharto, Bambang 5. Subiyanto, Bambang
6. Title
Fly-ash and bottom-ash as by products in burnt coal for energy cold be utilized for building materials that conform
to National Standard. In this feasibility study, market analysis, economical analysis, financial analysis as well as
environmental analysis for the development of semi-machinal and full-machinal production units had been
conducted beside validated the technical quality of the products. The market analysis showed that production unit
of new developed building materials is prospective in related to the demand of houses and pedestrian. Based on the
NPV, IRR, BEP and PI, the result showed that developed production unit especially with full-machinal technology
seemed highly profitable. The environmental analysis showed that conblock or paving block made of fly-ash and /
or bottom-ash categorized as non-hazardous materials supported by the test result of TCLP that showed the
dissolved materials lower the maximum point of standard.
Keywords : concrete block, paving block, fly-ash, bottom-ash, feasibility study
UDC
691.213
Her Herina, Silvia F.
e Effect of fine soils content of the volcanic sand shear resistance / Silvia F. Herina.-- Jurnal Permukiman.
--Vol. 7 No. 1 April 2012. --Page 13-23. -- Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2012.
65 Pages : ilus.; 30 cm
Abstract : Page 13
ISSN : 1907 4352
I. VOLCANIC SANDS 1. Title
Altough an angled shaped shape that allows volcanic sand have a fairly high shear resistance, as a coarse grained
soil will possibly dilated and sheared. In this study assessed the effect of the increasingly of contents on the
volcanic sand shear strength increased.
Keywords : volcanic sands, fine content, shear stress, gradation, wet tamping


Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 1 April 2012: 58-63
62
UDC
628.336.56
Dar Darwati, Sri
t The role of community in solid waste management based on pattern sorting, collecting and treating to
reduce city waste / Sri Darwati and Fitrijani Anggraini. - Jurnal Prmukiman. -- Vol. 7 No. 1 April 2012.-- Page
24-32. -- Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2012.
65 Pages : ilus.; 30 cm
Abstract : Page 24
ISSN : 1907 4352
I. SOLID WASTE - MANAGEMENT 1. Anggraini, Fitrijani 2. Title
Probolinggo is a city succeeded in increasing the role of community participation concerns with solid waste sorting
through organization of Community Groups in solid waste management at source. The key success in sorting-
collecting-treating are the chane of community behavior with the facilitated by community leader and government.
Keywords : role, community, solid waste management, sorting, collecting, treating, reduction
UDC
621.039.7
Ary Aryenti
i Improved function place of integrated waste management / Aryenti and Sri Darwati. -- Jurnal
Permukiman. -- Vol. 7 No.1 April 2012. - Page 33-39. -- Bandung : Research Institute for Human Settlements,
2012.
65 Pages : ilus.; 30 cm
Abstract : Page 33
ISSN : 1907 4352
I. WASTE MANAGEMENT 1. Darwati, Sri 2. Title
TPST is where integrated waste management activities places to permit the collection, sorting, recycling,
processing and the processing of final waste. Results of monitoring and evaluation, management of waste at the
source of still less had the support of community, based on Cabinet Minister Rule PU No. 21/PRT/M/2006 waste
reduction with the concept of 3R to more cities in Indonesia can reduce approximately 3% of the amount of crap
that is. For that increase in function as a place of management need TPST publicating that garbage that is not
reduce at the source can be handled in TPST.
Keywords : improvement, function, management, waste, integrated
UDC
69.058 4
Kas Kasuma, I Putu Agus Wira
C Characteristic of traditional space in the traditional village of Penglipuran, Bali / I Putu Agus Wira
Kasuma and Iwan Suprijanto. -- Jurnal Permukiman. -- Vol. 7 No. 1 April 2012. -- Page 40-50. --
Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2012.
65 Pages : ilus.; 30 cm
Abstract : Page 40
ISSN : 1907 4352
I. TRADITIONAL SETTLEMENTS 1. Suprijanto, Iwan 2. Title
The unique spatial pattern on the traditional village of Penglipuran is a cultural heritage that has to be preserved
amid the dynamics of population growth and development flow of current needs that raises the need for space. On
the other hand, the absence of regulations containing rules regarding spatial order of the traditional village of
Penglipuran becoming a threat to the sustainability of the spatial pattern that has been maintained until now. The
problem is that the characteristics of the traditional space in the traditional village of Penglipuran has not been
identified to used as a basis to formulate the concept of the villages ideal spatial order. This study is a qualitative
with rationalism approach and data analysis was conducted in qualitative descriptive method. The output of the
study is that the traditional village of Penglipuran consists of three different spatial level based on concept of Tri
Mandala, i.e. Utama, Madya and Nista where in each space has a different purity level, location/placement, land use,
and different functional of space.
Keywords : neighbourhood, traditional settlements, the characteristics of space, traditional village, traditional
spatial pattern





Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 1 April 2012: 58-63
63
UDC
316.34
Suh Suhaeni, Heni
a Parameter for stratified incomes, cased study of Ngampilan Sub District, Yogyakarta City / Heni Suhaeni.
-- Jurnal Permukiman. -- Vol. 7 No. 1 April 2012. -- Page 51-57. -- Bandung : Research Institute for Human
Settlements, 2012.
65 Pages : ilus.; 30 cm
Abstract : Page 51
ISSN : 1907 4352
I. STRATIFICATION SOCIAL 1. Title
Generally, parameter for stratified income of urban population is useful for the necessity of housing planning and
development and it should be up-dated periodically. However, the question is, what the basis measurement can be
used as a reference to arrange stratified income, and what the objective can be achieved by preparation of stratified
income. This paper elaborates stratified income urban residents which are based on four parameters. The objective
of this study is useful to determine the real target groups who need subsidies for urban dwelling units. The result
shows that through 4 parameters stratified income can arranged accurately and the low income community and
the poor are the largest community, thus the subsidy of housing program should be more specific to gain the
appropriate subsidies for the appropriate target group and to improve qualities of life.
Keywords : income, socio-economic stratification, basic needs, housing, urban area

Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 1 April 2012: 64-65
64
Indeks Subjek

B
Bambu laminasi = 1, 2.
Bottom ash = 5, 6, 7, 9, 10, 11.

C
Conblock = 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11.

D
Desa adat = 40, 41, 44, 45, 46, 47, 49, 50.

F
Feasibility study = 5.
Fly-ash = 5, 6, 7, 9, 10, 11.
Fungsi = 33, 34, 35, 38.

G
Gradasi butir = 13.

K
Kadar kehalusan butir = 13, 15, 22.
Karakteristik ruang = 40, 41, 49, 50.
Kebutuhan dasar = 51, 52.
Kempa dingin = 1, 2.
Komunitas = 24, 25, 27, 28.
Kuat geser = 13, 15, 16, 22.
Kumpul = 24, 25, 26, 27.

L
Lingkungan = 40, 42.

M
Metanol = 1, 2, 3, 4.

O
Olah = 24, 26, 27.

P
Pasir vulkanik = 13, 22.
Paving block = 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11.
Pelupuh = 1, 2.
Pengelolaan = 33, 34, 35, 36, 38.
Pengelolaan sampah = 24, 25, 26, 27, 29, 30, 31,32.
Penghasilan = 51, 52, 55.
Peningkatan = 33, 38.
Peran = 24, 25, 27.
Perkotaan = 51, 52, 53, 54, 57.
Permukiman tradisional = 40, 42.
Pilah = 24, 25, 26, 27.
Pola ruang tradisional = 40, 41.
Polyurethane = 1.

R
Reduksi = 24, 26, 29, 30, 31.

S
Sampah = 33, 34, 35, 36, 37, 38.
Sosial-ekonomi = 51, 52, 56, 57.
Stratifikasi = 51, 52, 54, 55, 56.

T
Tempat tinggal = 51, 52.
Terpadu = 33.

B
Basic needs = 51, 52.
Bottom ash = 5, 6, 7, 9, 10, 11.

C
Cold press = 1,2.
Collecting = 24, 25, 26, 27.
Community = 24, 25, 27, 28.
Concrete block = 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11.

F
Feasibility study = 5.
Fines content = 13, 15, 22.
Fly-ash = 5, 6, 7, 9, 10, 11.
Function = 33, 34, 35, 38.

G
Gradation = 13.

H
Housing = 51, 52, 53, 54, 57.

I
Improvement = 33, 38.
Income = 51, 52, 55.
Integrated = 33.

L
Laminated bamboo = 1,2.

M
Management = 33, 34, 35, 36, 38.
Methanol = 1,2,3,4.

N
Neighborhoods = 40, 42.

P
Paving block = 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11.
Polyurethane = 1.

R
Reduction = 24, 26, 29, 30, 31.
Role = 24, 25, 27.

S
Shear stress = 13, 15, 16, 22.
Social-economic = 51, 52, 56, 57.
Solid waste management = 24, 25, 26, 27, 29, 30, 31,32.
Sorting = 24, 25, 26, 27.
Stratification = 51, 52, 54, 55, 56.

T
The characteristics of space = 40, 41, 49, 50.
Traditional settlement = 40, 42.
Traditional spatial patern = 40, 41.
Traditional village = 40, 41, 44, 45, 46, 47, 49, 50.
Treating = 24, 26, 27.

U
Urban area = 51, 52.

Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 1 April 2012: 64-65
65

W
Wet tamping = 13, 15, 16.


V
Volcanic sands = 13, 22.

W
Waste = 33, 34, 35, 36, 37, 38.
Wet tamping = 13, 15, 16.

Z
Zephyr-shaped = 1,2.




Pedoman Penulisan Naskah

1. Redaksi menerima naskah karya ilmiah ilmu pengetahuan dan teknologi bidang permukiman, baik dari dalam
dan luar lingkungan Pusat Litbang Permukiman
2. Naskah disampaikan ke redaksi dalam bentuk naskah tercetak hitam putih sebanyak 3 rangkap dengan jumlah
naskah maksimum 15 halaman termasuk abstrak, gambar, tabel dan daftar pustaka
3. Naskah akan dinilai oleh dewan penelaah. Kriteria penilaian meliputi kebenaran isi, derajat, orisinalitas,
kejelasan uraian dan kesesuaian dengan sasaran jurnal. Dewan penelaah berwenang mengembalikan naskah
untuk direvisi atau menolaknya
4. Penelaah berhak memperbaiki naskah tanpa mengubah isi dan pengertiannya, serta akan berkonsultasi
dahulu dengan penulis apabila dipandang perlu untuk mengubah isi naskah. Penulis bertanggung jawab atas
pandangan dan pendapatnya di dalam naskah
5. Jika naskah disetujui untuk diterbitkan, penulis harus segera menyempurnakan dan menyampaikannya
kembali ke redaksi beserta filenya dengan program (software) Microsoft Office Word paling lambat satu
minggu setelah tanggal persetujuan
6. Bila naskah diterbitkan, penulis akan mendapatkan reprint (cetak lepas) sebanyak 3 eksemplar dan naskah
akan menjadi hak milik instansi penerbit
7. Naskah yang tidak dapat diterbitkan akan diberitahukan kepada penulis dan naskah tidak akan dikembalikan,
kecuali ada permintaan lain dari penulis
8. Keterangan yang lebih terperinci dapat menghubungi Sekretariat Redaksi
9. Secara teknis persyaratan naskah adalah :
Sistematika penulisan :
Bagian awal : Judul, Keterangan Penulis, Abstrak. Abstrak disusun dalam satu alinea antara 150-
200 kata berisi : alasan penelitian dilakukan, pernyataan singkat apa yang telah
dilakukan (metode), pernyataan singkat apa yang telah ditemukan, pernyataan
singkat apa yang telah disimpulkan disertai minimal 5 kunci. Judul, Abstrak dan
Kata Kunci disusun dalam 2 (dua) bahasa (Indonesia-Inggris)
Bagian utama : Pendahuluan, Metode, Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan
Bagian akhir : Ucapan Terima Kasih (bila perlu), Daftar Pustaka dan Lampiran (jika ada)
Teknik penulisan:
a. Naskah ditulis pada kertas ukuran A4 portrait (210 x 297 mm), ketikan satu spasi dengan 2 kolom,
jarak kolom pertama dan kedua 1 cm.
b. Margin: tepi atas 3 cm, tepi bawah 2,5 cm, sisi kiri 3 cm dan kanan 2 cm. Alinea baru diberi tambahan
spasi (+ ENTER).
Penggunaan huruf:
Judul, ditulis di tengah halaman, Cambria 14 pt. Kapital Bold
Isi Abstrak, Cambria 10 pt italic 1 spasi
Sub judul, ditulis di tepi kiri, Cambria Kapital 11pt, Bold
Isi, Cambria 10 pt, 1 spasi
Penomoran halaman menggunakan angka arab
c. Daftar Pustaka sebaiknya menggunakan referensi terbaru, maksimal penerbitan 5 (lima) tahun
terakhir, kecuali untuk handbook yang belum ada cetakan revisi/ terbaru.
d. Daftar pustaka ditulis sesuai contoh sebagai berikut:
Buku (monograf)
Kourik, R. 1998. The lavender garden: beautiful varieties to grow and gather. San Francisco: Chronicle
Books.
Artikel Jurnal
Terborgh, J. 1974. Preservation of natural diversity: The problem of extinction-prone species.
Bioscience 24:715-22.
Situs Web
Thomas, Trevor M. 1956. Wales: Land of Mines and Quaries. Geographical Review
46, No. 1: 59-81. http://www.jstor.org/ (accessed June 30, 2005).

Anda mungkin juga menyukai