Anda di halaman 1dari 11

Pengertian Filsafat Hukum Islam

BAB I
PENDAHULAN
1.1 Latar Belakang
Secara garis besar Hukum Islam terbagi kepada, pertama , Fiqh ibadat meliputi aturan
tentang Shalat, puasa, haji, nazar, dan sebagainya yang bertujuan untuk mengatur hubungan
antara manusia dengan Tuhannya. Ketentuan hukum ibadat ini , semula diatur secara global
(Mujmal) dalam al-quran, kemudian dijelaskan oleh sunnah Rasul- berupa ucapan ,perbuatan
atau penetapannya- dan di formulasikan oleh fuqaha (ahli hukum) kedalam kitab-kitab fiqih.
Pada prinsipnyan dalam masalah ibadat, kaum muslimin menerimanya taabbudy, artinya
diterima dan dilaksanakan dengan sepeuh hati , tanpa terlebih dahulu merasionalisasikannya. Hal
ini karena arti ibadah sendiri adalah menghambakan diri kepada Allah. Zat yang berhak di
sembah . dan manusia tidak memeliki untuk menagkap secar pasti alasan (illat) dan hikmah apa
yang terdapat didalam perintah ibadat tersebut. ini berbeda dengan fiqih muamalah, seperti yang
akan di jelaskan kemudian , pertimbangan rasio lebih menonjol.
Kedua fiqih muamalat mengatur hubungan antara manusia denagn semuanya, seperti
perikatan, sanksi hukum dan aturan lain, agar terwujud ketertiban dan keadilan, baik ecara
perorangan maupun kemasyarakatan. Fiqih muamalat ini sesuai dengan aspek dan tujuan
masing-masing.
1.2. Rumusan masalah
Setelah menelusuri beberapa permasalahan mengenai penerapan hukum Islam di
indonesia. Maka penulis merumuskan masalah dalam makalah ini. Adapun rumusan masalah
dalam makalah ini adalah sebagi berikut :
1. Bagaimana Pengertian Hukum Islam ?
2. Bagaimana Latar Belakang keberadaan hukum islam Di Indonesia?
3. Bagaimana Hukum Islam di Indonesia dan kekuatan Hukumnya?
1.3 Tujuan Penulisan.
Dari beberapa rumusan masalah di atas, maka Tujuan penulisan dari makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk menjelaskan Pengertian Hukum Islam.
2. Untuk Menjelaskan latar belakang keberadaan hukum islam di Indonesia.
3. Untuk Menjelaskan Hukum Islam di indonesia dan kekuatan hukumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Hukum Islam
Istilah Hukum Islam merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan al-fiqh al-islamy
atau dalam konteks tertentu dari al-syariah al- islamy. Istilah ini dalam wacana ahli hukum barat
digunakan Islamic Law. Dalam al-quran maupun al-sunnah, istilah al-hukm al-islam tidak
dijumapai. Yang digunakan adalah kata syariat yang dalam penjabarnnya. Kemudian lahir istilah
Fiqh. Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai pengertian syariah dan fiqh.
Kata syariah dan derivasinya di gunakan lima kali dalam al-quran yakni (surat al-syura,42
:13,21. al-Araf,7 :163, al- Maidah ,5 :48, dan al-Jasiyah,45 :18)
Secara harfiah syariah artinya jalan ke tem[at mata air, atau tempat yang dilalui air sungai.
Penggunaannya dalam al-quran di artikan sebagai jalan yang jelas yang membawa kemenangan.
Dalam terminologi ulama Usul al-fiqh, syariah adalah titah (khitab) Allah berhubungan dengan
perbuatan mukallaf (muslim,balig,dan berakal sehat), baik berupa tuntutan,pilihan,atau perantara
(sebab, syarat,atau penghalang).[1] Jadi konteksnya, adalah hukum-hukum yang bersifat
praktis(amaliyah).
Pada mulanya kata syariat meliputi semua aspek ajaran agama, yakni akidah,syariah (hukum)
dan akhlak. Ini terlihat pada syariat setiap agama yang diturunkan sebelum Islam. Karena bgi
setiap ummat, Allah memberikan syariat dan jalan yang terang.(al-maidah,5:48) Namun karena
agama-agama yang diturunkan sebelum Muhammad SAW. Inti akidahnya adalah tauhid
(mengesakan Tuhan), dapat dipahami bahwa cakupan syariah ,adalah amaliyah sebagai
konsekuensi dari akidah yang diimani setiap ummat. Kendatipun demikian, ketika kita
menggunakan kata syariat , maka pemahaman kita tertuju kepada semua aspek ajaran Islam.
Mahmud syaltut dalam bukunya al- islam aqidah wa syariah mendefinisikan syariah adalah
peraturan yang diturunkan Allah kepada manusia agar dipedomani dalam berhubungan dengan
Tuhannya, denagn sesamannya, dengan lingkungannya, dan dengan kehidupan.[2] Sebagai
penjabaran dari akidah, syariah tidak bisa terlepas dari akidah. Keduannya memeliki hubungan
ketergantungan. Akidah tanpa syariah tidak menjadikan pelakunnya muslim,demikian juga
syariah tanpa akidah akan sesat.
Syariat Islam , diturunkan secar bertahap dalam dua periode Mekkah dan Madinah.
Keseluruhannya memakan waktu 22 tahun 2 bulan 22 hari. Sehubungan dengan ini muncul
istilah teknis tasyri(legislasi atau pengundangan). Istilah ini dikemudian hari menjadi salah satu
perbendaharaan istilah penting dalam kajian fiqh (hukum Islam). Jadi syariat adalah produk atau
materi hukumnya, tasyri adalah pengundangnya, dan yang memproduksi di sebut syari (Allah).
Adapun kata Fiqh yang dalam al-quran digunakan dalam bentuk kerja(fiil) disebut sebanyak 20
kali. Penggunaannya dalam al-quran berarti memahami. Perhatikanlah, betapa kami
mendatangkan tanda-tanda kebesaran, kami silih berganti , agar mereka memahaminya . (al-
Anam, 6 :65). Secara etimologis, fiqh artinya paham. Namun berbeda dengan ilm yang artinya
mengerti. Ilmu bisa diperoleh secara nalar atau wahyu, fiqh menekankan pada penalaran, meski
penggunaannya nanti ia terikat kepad wahyu. Dalam pengertian terminologis ,fiqh adalah
hukum-hukum syara yang bersifat praktis (amaliyah) yang diperoleh dari dalil-dalil yang
rinci.[3]Contohnya, hukum wajib shalat, diambil dari perintah Allah dalam ayat aqimu al-shalat
(dirikanlah shalat). Karena dalam al-quran tidak dirinci bagaimana tata cara menjalankan shalat,
maka dijelaskan melalui sabda Nabi SAW. :Kejakanlah shalat, sebagaimana kalian melihat aku
menjalankannya. (sallu kama raaitumuni usalli). Dari praktek Nabi inilah, sahabat-sahabat ,
tbiin, dan fuqaha merumuskan tata aturan shalat yang benar dengan segala syarat dan
rukunnya.
Penjelasan diatas menunjukkan bahwa antara syariah dan fiqh memiliki hubungan yang sangat
erat. Karena fiqh adalah formula yang dipahami dari syariah. Syariah tidak bisa dijalankan
dengan baik, tanpa dipahami melalui fiqh atau pemahaman yang memadai , dan di formulasikan
secara baku. Fiqh sebagai hasil uasaha memahami , sangat di pengaruhi oleh tuntunan ruang dan
waktu yang melingkupi faqih (jamak Fuqaha) yang memformulasikannya. Karena itulah, sangat
wajar jika kemudian, terdapat perbedaan-perbedaan dalam rumusan mereka. Kristalisasinya
kemudian dicatat oleh sejarah, terdapat Fiqh Sunny(berpaham ahl al-sunnah wa al-jamaah) dan
fiqh syiI (berpaham Syiah, yang mengaku pengikut Ali ibn Abi Tholib). Dikalangan Sunny
sendiri, dikenal Fiqh Hanafy, Fiqh Maliky, Fiqh Syafii,Fiqh Hanbaly, dan Fiqh Auzaiy. Yang
terakhir kurang populer di Indonesia.
Kendatipun demikian terdapat perbedaan karakteristik antara syariah dan fiqh, yang apabila
tidak dipahami secar proporsional, dapat menimbulkan kerancuan yang bukan tidak mungkin
akan melahirkan sikap salah kaprah terhadap fiqh. Fiqh diidentikkan dengan syariah. Agar jelas
duduk soalnya, berikut akan dikemukakan perbedaan-perbedaan tersebut. pertama, syariah
diturunkan oleh Allah (al-syari) , jadi kebenarannya bersifat mutlak (absolut), sementara fiqh
adalah formula hasil kajian fuqaha, dan kebenarannya bersifat Relatif (nisbi). Karena syariah
adalah wahyu sementara fiqh adalah penalaran Manusia. Kedua , syariah adalah satu(unity) dan
Fiqh beragam (diversity). Ketiga , syariah bersifat otoritatif, maka fiqh berwatak liberal.
Keempat , syariah stabil atau tidak berubah, fiqh mengalami perubahan seiring dengan tuntutan
ruang dan waktu. Kelima , syariah bersifat idealistis, fiqh bercorak realistis.[4]
Pemahaman terhadap perbedaan substansi syariah dan fiqh ini. Setidaknya menjadikan
seseorang dapat arif dan bijaksana menyikapi fiqh. Dengan kata lain, perbedaan pendapat dan
pengamalan fiqh adalah sesuatu yang lumrah dan tidak perlu di pertentangkan. Dan pada
gilirannya , di antara para pengikut ulama mazhab, akan saling toleran untuk mengerti formula
fiqh dari ulama yang diikutinya . fiqh sebagai hasil istinbath (upaya mengeluarkan hukum dari
nash) atau ijtihad fuqaha yang manusia biasa , meski telah di yakini kebenarannya, tidaklah
tertutup kemungkinan terjadi kesalahan di dalamnya. Meskipun dalam hal ini , apabila terjadi
kesalahan di dalamnya. Meskipun dalam hal ini , apabila terjadi kesalahan tidak berakibat
dikenakan sanksi hukum. Sebagaimana sabda Rasulullah saw: Iza ajtihada al-hakim fa asaba
falahu ajran wa iza ijtahada fa akhtaa fa lahu ajr wahid ( apabila ia berijtihad dan salah, maka
baginya satu pahala).[5]Amir Syarifuddin merinci cakupan pengertian fiqh yaitu :
1. Bahwa fiqh itu adalah ilmu tentang syara.
2. Bahwa yang dibicarakan fiqh adalah hal-hal yang bersifat amaliyah furuiyah
3. Bahwa pengetahuan tentang hukum syara itu didasarkan kepada dalitafsili (rinci)
4. Bahwa fiqh itu digali dan ditemukan melalui penalaran dan Istidlal (penggunaan dalil)
si mujtahid dan Faqih.[6]
Dengan demikian ,memperhatikan watak dan sifat fiqh adalah hasil jerih payah
fuqaha, ia dapat saja menerima perubahan atau pembaharuan , karena tuntutan ruang
dan waktu.
Seperti penulis kemukakan ,bahwa hukum islam adalah terjemahan dari al-fiqh al-islamy
atau al-syariah al-islamy dan yang penekanannya lebih besar adalah al-fiqh al-islamy, Hasbi
Ash-shidieqi mendefinisikan,hukum islam adalah koleksi daya upaya para ahli hukum untuk
menerapkan syariat atas kebutuhan masyarakat.[7]
Jika dalam sepanjang sejarah, kata hukum Islam (Islamic Law) diasosiasikan sebagai fiqh, maka
dalam perkembangannya, produk pemikiran hukum Islam , tidak lagi didominasi oleh fiqh.
Setidaknya masih ada tiga jenis produk lainnya. Pertama, fatwa adalah hasil ijtihad seorang mufti
sehubungan dengan peristiwa hukum yang diajukan kepadanya. Jadi fatwa lebih khusus daripada
fiqh atau ijtihad secara umum.[8] Hal ini karena , boleh jadi fatwa yang dikeluarkan seorang
mufti ,sudah dirumuskan dalam fiqh, hanya belum dipahami si peminta fatwa tersebut adalah
bagi orang yang meminta fatwa saja.
Kedua ,keputusan pengadilan. Produk pemikiran ini merupakan keputusan hakim pengadilan
berdasarkan pemeriksaan perkara di depan persidangan. Dalam istilah teknis disebut dengan al-
qadla atau al-hukm, yaitu ucapan (dan atau tulisan) penetapan atau keputusan yang dikeluarkan
oleh badan yang diberi kewenangan untuk itu (al-wilayat al-qada).
Ketiga adalah Undang-undang. Yaitu peraturan yang dibuat suatu badan legislatif (sultah al-
tasyriiyah) yang mengikat kepada setiap warga negara dimana undang-undang itu
diberlakukan,yang apabila dilanggar akan mendatangkan sanksi. Undang-undang sebagai hasil
ijtihad kolektif (jamaiy) dinamikanya relatif lamban. Karena biasanya, untuk mengubah suatu
undang-undang ini, memang tidak setiap negara muslim mempunyainya.
Dari uraian diatas dapat di pahami bahwa hukum islam adalah peraturan-peraturan yang diambil
dari wahyu dan di formulasikan dalam keempat produk pemikiran hukum Fiqh, Fatwa,
Keputusan pengadilan, dan Undang-undang- yang di pedomani dan di berlakukan bagi ummat
islam di Indonesia.
2.2. Latar Belakang Keberadaannya
Abdul wahab khalaf[9] merinci sebagai berikut :
1. Hukum kekeluargaan (ahwal al-syakhsiyah) yaitu hukum yang berkaitan dengan
urusan keluarga dan pembentukannya yang bertujuan mengatur hubungan suami isteri
dan keluarga satu dengan lainnya. Ayat al-quran yang membicarakan masalah ini
sekitar 70 ayat.
2. Hukum Sipil (civics/al-ahkam al-madaniyah) yang mengatur hubungan individu-
individu serta bentuk-bentuk hubungannya seperti : jual beli,sewa menyewa,utang
piutang,dan lain-lain,agar tercipta hubungan yang harmonis di dalam masyarakat.
Ayat al-quran mengaturnya dalam 70 ayat.
3. Hukum Pidana (al-ahkam al-jinaiyah) yaitu hukum yang mengatur tentang bentuk
kejahatan atau pelanggaran dan ketentuan sanksi hukumannya. Tujuannya untuk
memelihara kehidupan manusia ,harta,kehormatan,hak serta membatasi hubungan
perbuatan pidana dan masyarakat. Ketentuan ini diatur dalam 30 ayat.
4. Hukum Acara (al-ahkam al-murafaat) yaitu hukum yang mengatur tata cara
mempertahankan hak, dan atau memutuskan siapa yang terbukti bersalah sesuai
dengan ketentuan hukum. Hukum ini mengatur cara beracara di lembaga peradilan.
Tujuannya ayat al-quran mengatur masalah ini dalam 13 ayat.
5. Hukum Ketatanegaraan (al-ahkam al-dusturiyah) berkenaan dengan sistem hukum
yang bertujuan mengatur hubungan antara penguasa (pemerintah) dengan yang
dikuasai atau rakyatnya,hak-hak dan kewajiban individu dan masyarakat,diatur dalam
10 ayat.
6. Hukum Internasional (al-ahkam al-duwaliyah) mengatur hubungan antar negara islam
dengan negara lainnya dan hubungan dengan non muslim, baik dalam masa damai
atau dalam masa perang. Al-quran mengaturnya dalam 25 ayat.
7. Hukum Ekonomi (al-ahkam al-iqtisadiyah wa al-maliyah). Hukum ini mengatur hak-
hak seorang pekerja dan orang yang mempekerjakannya,dan mengatur sumber
keuangan negara dan perindustriannya bagi kepentingan kesejahteraan rakyatnya.
Diatur dalam al-quran sebanyak 10 ayat.
Hukum Islam dalam perjalanan sejarahnya memeliki kedudukannya yang amat penting.
Namun sebagian besar, menurut Abdurahman Wahid[10]kini sebagian besar merupakan proyeksi
teoritis dan pengkajiannya lebih bersifat pertahanan daripada kemusnahan, Bekas-bekasnya dan
pengaruhnya yang masih tampak,lambat laun terjadi proses yang menuntut adanya penilaian
ulang agar hukum islam tidak kehilangan elan vitalnya dan relevansinya dengan kehidupan
masyarakat yang terus menerus berkembang munculnya imam-imam mazhab, masih menurut
Abdurrahman Wahid, tidaklah dengan sendirinya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Islam.
Di Indonesia, hukum Islam pernah dan dilaksanakan dengan sepenuhnya oleh masyarakat
Islam. Meski didominasi oleh fiqh syafiI. Hal ini, kata Rahmat djatnika, fiqh syafiiyah lebih
banyak dan dekat dengan kepribadian Indonesia.[11]
Hukum adat setempat sering menyesuaikan diri dengan hukum islam. Di wjo
misalnya,hukum waris hukum islam dan hukum adat ,keduannya menyatu dan hukum adat itu
menyesuaikan diri dengan hukum islam. Sosialisasi hukum islam pada zaman Sultan Agung
sangat hebat, sampai ia menyebut dirinnya sebagaiAbdul Rahman Khalifatullah sayidina
Pantagama, Demikian juga di Banten Pada masa kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa hukum adat
dan hukum agama tidak ada bedanya. Juga di sulawesi. Kenyataan semacam ini diakui oleh
Belanda ketika datang ke Indonesia. Dibawah ini akan di kemukakan teori-teori berlakunya
hukum islam di Indonesia.
1. Teori Receptio in Complexu
Teori ini dimunculkan oleh Van den berg,berdasarkan kenyataan bahwa hukum islam
di terima (diresepsi) secara menyeluruh oleh ummat Islam.
2. Teori Receptie
Teori Receptie mengatakan bahwa hukum yang hukum berlaku bagi orang islam
adalah hukum adat mereka masing-masing. Hukum islam dapat berlaku apabila telah
diresepsi oleh hukum adat . jadi hukum adatlah yang menentukan ada tidaknya
hukum islam.[12]
3. Teori Receptie Exit Atau Receptie a Contrario
Teori Receptie Exit atau Receptie a Contrario adalah teori yang mengatakan bahwa
hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum islam.[13]yaitu
hukum islam dapat dilaksanakan ,apabila diterima (diresepsi) hukum adat, maka
sekarang hukum adat yang tidak sejalan dengan hukum islam harus dikeluarkan
,dilawan atau di tolak.
2.3. Hukum Islam di Indonesia Dan kekuatan Hukumnya
Membicarakan kekuatan hukum dari Hukum Islam di Indonesia perlu
Dipahami dari macam produk pemikiran Hukum Islam itu sendiri. Sebagaimana telah penulis
kemukakan bahwa setidaknya ada empat produk hukum pemikiran hukum islam yang telah
berkembang dan berlaku di indonesia, seiring pertumbuhan dan perkembangannya. Empat
produk pemikiran hukum islam tersebut adalah fiqih,Fatwa ulama, hakim,keputusan pengadilan,
dan perundang-undangan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa para hakim dan para pihak yang berperkara
dengan berlakunya Kompilasi hukum islam di Indonesia, terikat dan berkewajiban untuk
sepenuhnya melaksanakan isinya. Dalam konteks tertentu, sebagai hakim dengan kewenangan
ijtihad yang dimilikinya, dapat menyempurnakannya melalui keputusan-keputusan yang
dikeluarkannya sebagai yurisprudensi hukum.
Hukum islam dalam bentuk fatwa, seperti fatwa Majelis Ulama Indonesia, sifatnya kasuistik. Ia
merupakan respons atau jawaban terhadap pertanyaan yang di ajukan oleh peminta fatwa. Fatwa
tidak mempunyai daya ikat, dalam arti si peminta fatwa tidak harus mengikuti isi hukum fatwa
yang diberikan kepadanya.
Berikutnya produk pemikiran hukum islam berupa keputusan Pengadilan Agama. Keputusan
Pengadilan Agama bersifat mengikat kepada pihak-pihak yang berperkara. Akan halnya produk
pemikiran hukum islam yang berbentuk perundang-undangan, bersifat mengikat dan bahkan
daya ikatnya lebih luas. Dinamikianya agak lamban, karena sebagai peraturan organik, kadang
tidak cukup elastis untuk mengantisipasi tuntunan waktu dan perubahan. Dengan mengambil
contoh Undang-undang perkawinan misalnya, yang didalamnya terdapat muatan-muatan hukum
Islamnya, ia mengikat semua warga masyarakat Indonesia.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hukum Islam merupakan istilah Khas Indonesia, sebagai terjemahan al-fiqh al-islamy atau dalam
konteks tertentu dari al-syariah al-islamy. Istilah ini dalam wacana ahli hukum barat digunakan
Islamic Law. Dalam al-quran maupun al-sunnah, istilah al-hukm al-islam tidak dijumpai. Yang
digunakan adalah kata syariat yang dalam penjabarannya kemudian lahir istilah fiqih.
Secara garis besar hukum islam terbagi kepada, pertama, fiqh meliputi Ibadat meliputi aturan
tentang shalat,puasa,zakat, haji, nazar dan sebagainya yang bertujuan untuk mengatur hubungan
manusia dengan Tuhannya. Kemudian oleh Belanda hal ini di bagi-bagi menjadi 3 teori yang
meliputi. Pertama: Teori Receptio in Complexu,Kedua: Teori Receptie,Ketiga: Teori Receptie In
Exit atau Teori Receptie a Contrario.
Hukum islam di indonesia sendiri mengacu pada empat produk yaitu, Fiqih,Fatwa (Ulama-
Hakim),Keputusan Pengadilan, dan Perundang-undangan. Kemudian kekuatan hukumnya ada
yang mengikat dan ada juga yang tidak mengikat.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qurannul kariim
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia,Jakarta: Raja Grafindo,1995
Khalaf,Abd al-Wahab,Ilm usul al-fiqh. Jakarta : Maktabah al- Dawah al-Islamiyah
Syabab al-Azhar,1410 H/1990M.
Syaltut,Mahmud,al-islam Aqidah Wa Syariah,Mesir:Dar al-Qalam,1996
Wahid,Abdurrahman,(et,al),Kontroversi Pemikiran Islam Di indonesia,Bandung: Rosda
Karya,1991.
Syarifuddun,Amir,pembaharuan pemikiran Hukum Islam,Padang : Angkasa Raya,Cet
2,!993.


[1] Abdul Wahab al-Khalaf, ilm usul al-fiqh, Jakarta : Maktabah al-Dawah al-Islamiyah
Syabab al-Azhar,1410/1990,cet.8,hlm.96
[2] Mahmud syaltut, al- islam aqidah wa syariah , mesir : Dar al-qalam 1966, halaman 12.
[3] Abdul Wahab Khalaf,op.cit.,hlm. 11.
[4] Noel J. coulson , Conflict and Tension in Islamic Jurisprudence,Chicago: The University of
Chicago Press,1969,Hlm .3-116
[5] Lihat al-syafiI, al-Risalah ,Beirut: Dar al-Fikr,tt.hlm.494
[6] Amir Syarifuddin,Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam,Padang:Angkasa
Raya,cet.2,1993.hlm.16-17
[7] Ibid,hlm ,18.
[8] Muhammad Abu Zahrah,usul al-fiqh, Mesir : Dar al-fikr al-Araby,tt,hlm. 40.
[9] Abdul wahab khalaf,op,cit,hlm.32-33
[10] Abdurrahman Wahid, menjadikan Hukum Islam sebagai penunjang Pembangunandalam
Tjun surjaman(ed) Hukum Islam Di Indonesia Pemikiran dan Praktek, Bandung : Rosda
Karya,1991,hlm.3.
[11] Abdurrahman Wahid,et.al., Kontroversi pemikiran Islam di Indonesia,Bandung : Rosda
Karya,1991.hlm 229.
[12] Ibid,hlm.45
[13] Sajuti ,Receptio A contrario,Jakarta: Bina Aksara,1982,hlm.65

Anda mungkin juga menyukai