LAPORAN
KUNJUNGAN LAPANGAN
(DAYTRIP)
DAS CIMANUK
28 – 29 Oktober 2009
Karyasiswa :
MOKHAMAD ALKHAMD DARMANSYAH
95008033
PROGRAM STUDI
MAGISTER PSDA ‐ ITB
KERJASAMA BALAI PKTK SDA PUSBIKTEK
DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM
DAFTAR ISI
Bab I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang 1
I.2. Maksud dan Tujuan. 1
I.3. Lingkup Kegiatan. 2
Bab V BBWS CIMANUK CISANGGARUNG
V.1. Pembentukan BBWS CImanuk Cisanggarung 15
V.2. Wilayah Kerja BBWS Cimanuk Cisanggarung 15
V.3. Potensi Sumber Daya Air 15
V.4. Permasalahan 16
V.5. Program Pengelolaan Sumber Daya Air 17
V.6. Pendayagunaan Sumber Daya Air 17
V.7. Pengendalian Daya Rusak Air 17
1
1.3. Lingkup Kegiatan.
Kegiatan pengamatan lapangan terhadap prasarana keairan di DAS Cimanuk dilaksanakan
pada tanggal 28 – 29 Oktober 2009. Pengamatan lapangan meliputi lokasi‐lokasi berikut ini :
¾ Lokasi‐lokasi yang ditinjau pada tanggal 28 Oktober 2009.
• Proyek Pembangunan Waduk Jatigede
• Bendung Rentang
• Siphon Ligung
• Balai Besar Cimanuk Cisanggarung
¾ Lokasi‐lokasi yang ditinjau pada tanggal 29 Oktober 2009.
• Pengamanan Pantai Cirebon
• Pertamina RU VI Balongan
• Pengamanan Pantai Tirtamaya Indramayu
2
BAB II
PEMBANGUNAN WADUK JATIGEDE
II.1. Latar Belakang Pembangunan Waduk Jatigede
Hal‐hal yang melatar belakangi pembangunan waduk Jatigede yaitu :
1. Fluktuasi Debit di Sungai Cimanuk yang tercatat di Bendung Rentang sangat besar : Q max =
1.004 m3/det; Q min = 4 m3/det, Ratio = 251.
2. Potensi air Sungai Cimanuk di Rentang rata‐rata sebesar 4,3 milyar m3/th dan hanya dapat
dimanfaatkan 28 % saja, sisanya terbuang ke laut karena belum ada waduk.
3. Sistem Irigasi Rentang seluas 90.000 Ha sepenuhnya mengandalkan pasokan air dari sungai
Cimanuk (river runoff), sehingga pada musim kemarau selalu mengalami defisit air irigasi
yang mengakibatkan kekeringan.
4. Di hilir sungai Cimanuk (Pantura Cirebon‐Indramayu) pada musim kemarau terjadi krisis
ketersediaan air baku untuk keperluan domestik, perkotaan, dan industri.
5. Lahan kritis DAS Cimanuk pada saat ini telah mencapai lebih kurang 110,000 Ha atau sekitar 31
% dari luas DAS Cimanuk.
Gambar II.1. Lokasi Pembangunan Waduk jatigede
3
Gambar II.2. Situasi Bendungan Jatigede
II.2. Data Teknis Bendungan Jatigede
¾ HIDROLOGI
o Luas Catchment Area : 1.462 km2
o Volume run-off tahunan : 2,5 x 109 m3
¾ WADUK
o Muka Air (MA) Banjir Max : El + 262,5
o MA Operasi Max (FSL) : El + 260
o MA Operasi Min (MOL) : El + 230
o Luas Permukaan Waduk (El + 262) : 41,22 km2
o Volume gross (El + 260) : 980 x 106 m3
o Volume efektif (El +221 s/d El + 260) : 877 x 106 m3
¾ BENDUNGAN
o Tipe : Urugan batu, inti tegak
o Elevasi mercu bendungan : El + 265
o Panjang Bendungan : 1.715 m
o Lebar Mercu Bendungan : 12 m
o Tinggi Bendungan Max : 110 m
o Volume Timbunan : 6,7 x 106 m3
¾ SPILLWAY
o Lokasi : at the dam body
o Tipe : Gated Spillway with Chute Way
o Crest : Lebar 50 m, El + 247
o Dimensi Radial Gates : 4 x (W = 15,5 m; H = 14,5 m)
o Q outflow : 4.442 m3/dt (PMF=11.000 m3/dt)
4
¾ INTAKE IRIGASI
o Lokasi : under the spillway
o Irrigation Inlet Appron : El + 204
o Tipe : Reinforced concrete conduit
o Dimensi Conduit : D = 4,5 m; L = 400 m
¾ TEROWONGAN PENGELAK
o Lokasi : under the spillway
o Inlet level : El + 164
o Tipe : Circular lined reinforced concrete
o Debit Rencana (Q 100 ) : 3.200 m3/dt
o Dimensi Terowongan : D = 10 m; L = 556 m
¾ PLTA
o Lokasi : Right Abutment
o Power inlet appron : El + 210
o Headrace tunnel : D = 4,5 m; L = 3.095 m
o Design Head : 170 m
o Tipe Turbin : Francis
o Kapasitas terpasang : 2 x 55 MW = 110 MW
o Produksi rata-rata : 690 GWH/tahun
II.3. Dampak Pembangunan Waduk Jatigede
Daerah Bendungan Jatigede hilir adalah merupakan area potensi gerakan tanah tinggi, karena
kondisi geologi berupa perlapisan batuan permeable dan impermeable.
Sehingga apabila ada gangguan dari luar, keseimbangan yang telah terbentuk akan kembali
terganggu.
Akibat Jangka Pendek
Gerakan tanah ini akan mengakibatkan gangguan terhadap fasilitas bendung Eretan dan minihidro
milik PLN.
Akibat Jangka Panjang
Gangguan keseimbangan terhadap lokasi yang rentan gerakan tanah ini, yang terletak hanya
sekitar 150 m (posisi crown landslide) terhadap posisi as Bendungan Jatigede, maka apabila terjadi
gerakan tanah di masa depan (setelah selesainya pembangunan tubuh bendungan), akan
mengakibatkan juga kerusakan pada pondasi tubuh bendungan. Tension cracks yang terjadi akan
berkembang mendekat kearah hulu atau mendekat ke bendungan.
II.4. Permasalahan Pembebasan Lahan
Status pembebasan lahan sampai dengan Desember 2008
A. Sudah Dibebaskan 3.583 Ha (72,66%)
• Lahan Masyarakat 3.399 Ha (68,93%)
• Lahan Pengganti kawasan Hutan 184 Ha (3,73%)
B. Belum Dibebaskan 1.348 Ha (27,34%)
• Lahan Masyarakat 174 Ha (3,53%)
• Lahan Pengganti kawasan Kehutanan 1.174 Ha (23,81%)
5
Total tanah yang dibutuhkan untuk pembangunan Waduk Jatigede adalah 4.931 Ha Terdiri dari :
Lahan Masyarakat 3.573 Ha (72,46%)
Kawasan Hutan 1.358 Ha (27,54%)
Rencana Pembebasan Lahan tahun 2009 sebesar 70 Ha yang tersebar di 4 Kecamatan (Jatigede,
Wado, Jatinunggal dan Darmaraja) serta 11 Desa (Sukakersa, Wado, Padajaya, Cisurat, Sirnasari,
Cikeusi, Tarunajaya, Cipaku, Pakualam, Karangpakuan dan Jatibungur).
Permasalahan lainnya yaitu :
1. Berdasarkan Permendagri No. 15/75, pembebasan tanah harus disertai dengan relokasi
pemukiman warga.
2. Berdasarkan data dari Satgas Percepatan Pembangunan Waduk Jatigede ada 5891 KK yang
harus direlokasi, termasuk 600 KK warga prasejahtera. Dengan perkiraan biaya sebesar 560
Milyar Rupiah
3. Relokasi pemukiman warga harus selesai sebelum waduk akan digenangi.
4. Untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan relokasi pemukiman perlu diatur dalam MoU antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah
II.5. Progres Pekerjaan
1. Kegiatan pembangunan fisik yang telah dilaksanakan sampai saat ini, berupa: (a)
pembangunan infrastruktur resettlement Jatigede di 12 lokasi, (b) pembangunan base camp
(c) pembangunan access road Tolengas – Jatigede. (d) pembangunan haul road menuju
tunnel, dispossal area dan menuju borrow area. (e) galian tubuh bendungan sebelah kanan
dan kiri (f) galian conduit diversion tunnel (g) galian inlet diversion tunnel (h) galian spillway
2. Pembangunan terowongan pengelak (diversion tunnel ) telah dimulai pada Tahun 2008
ditandai dengan upacara peledakan pertama pada bulan Oktober 2008.
Gambar II.3. Persiapan pembuatan pondasi spillway
6
Gambar II.4. Kegiatan pembuatan diversion tunnel
7
BAB III
BENDUNG RENTANG
III.1. Umum
Bendung Rentang terletak di Dusun Rentang, Desa Panyingkiran Kecamatan Jatitujuh Kabupaten
Majalengka Provinsi Jawa Barat. Mulai beroperasi sejak tahun 1982, berada di Sungai Cimanuk
dengan luas DPS : 6.950 km2 meliputi sebagian wilayah Kabupaten Garut, Sumedang dan
Majalengka.
Dari sekian banyak anak Sungai Cimanuk, yang mempunyai pengaruh besar terhadap debit
Bendung Rentang adalah S. Cipeles dan S. Cipelang di Kabupaten Sumedang dan S. Cilutung di
Kabupaten Majalengka.
Bendung Rentang merupakan Bendung gerak sebagai pengganti Bendung Rentang lama yang
dibangun pada tahun 1911 dan beroperasi dari tahun 1916 s/d 1981.
III.2. Daerah Layanan Irigasi
Pada awal dibangun, areal yang dilayani oleh Bendung Rentang (1982) adalah :
- Sal. Induk Sindupraja : 56.037 ha.
- Sal. Induk Cipelang : 35.265 ha.
Jumlah : 91.302 ha.
Areal tersebut tersebar di 3 (tiga) Kabupaten yaitu : di Kabupaten Majalengka, Cirebon, dan
Indramayu.
Dari data PANIR (Panitia Irigasi) tahun 2003 areal yang dilayani menjadi :
- Sal. Induk Sindupraja : 52.038 ha.
- Sal. Induk Cipelang : 35.933 ha.
Jumlah : 87.971 ha.
Dengan rincian tiap Kabupaten, sbb. :
‐ Kabupaten Majalengka :
Saluran Induk Cipelang : 571 ha
‐ Kabupaten Cirebon :
Saluran Induk Sindupraja : 21.079 ha
‐ Kabupaten Indramayu :
Saluran Induk Sindupraja : 30.959 ha
Saluran Induk Cipelang : 35.362 ha
Jumlah : 87.971 ha
8
9
Gambar III.1. PETA DAERAH IRIGASI RENTANG
III.3. Data Teknis Bendung
1. Bendung Utama
Panjang Mercu : 94,10 m’
Lebar Bendung : 27,00 m’
Kolam Penenang : +24,00 m’
TMA Maks. Pengepangan : +23,50 m’
El. Mercu Spillway : +19,00 m’ dpl.
El. Mercu Sluiceway : +17,00 m’ dpl.
Pintu :
a. Spillway : Pintu radial (10,00m’ x 4,925m’ ) 6 set
b. Sluiceway : Pintu sorong ganda 4 set
‐ Pintu atas (5,00m’ x 4,60m’)
‐ Pintu bawah (5,00m’ x 2,50m’)
2. Saluran Induk Sindupraja (Intake kanan)
a. Intake
Lebar : 4 x 7,20 m’
Debit maks. : 79,40m3/dt.
El. Ambang : +20,80 m’ dpl.
Pintu : Radial (7,20m’ x 3,00m’) 4 set
b. Kantong Lumpur
Panjang : 310,00 m’
Lebar : 60,00 m’
Kemiringan (S) : 0,007
Pintu bilas : Sorong (6,00m’ x 1,70m’) 4 set
c. Alat Ukur : Tipe ambang lebar
Lebar : 60,00 m’
El. Mercu : +20,90 m’ dpl.
3. Saluran Induk Cipelang (Intake kiri)
a. Intake
Lebar : 4 x 5,50 m’
Debit Maks. : 62,20 m3 / dt
El. Ambang : +20,50 m’ dpl.
Pintu : Radial (5,50m’ x 3,30m’) 4 set
b. Kantong Lumpur
Panjang : 420,00 m’
Lebar : 39,00 m’
Kemiringan (S) : 0,007
Pintu bilas : Sorong (5,00m’ x 2,30m’) 4 set
c. Alat Ukur : Tipe ambang lebar
Lebar : 15,60 m’
El. Mercu : +20,90 m’ dpl.
10
S. Cimanuk
BENDUNG
RENTANG
KAB. CIREBON
(SI. Gegesik)
MT.I (21,079 Ha)
MT.II (14,031 Ha) KAB. MAJALENGKA
MT. I 571 Ha
MT.II 571 Ha
KAB. INDRAMAYU
(TOTAL)
MT.I (66,321 Ha)
MT.II (32,325 Ha)
Gambar III.2. Skema Jaringan Irigasi Rentang
III.4. Isu Permasalahan
Secara umum isu permasalahan yang terjadi dilapangan adalah sebagai berikut :
1. Debit andalan kurang memadai
2. Kapasitas saluran berkurang akibat adanya sedimentasi
3. Kinerja bendung kurang optimal. Sebelumnya untuk elevasi 16.50 dpl system bendung dapat
mengairi seluruh areal irigasi, tetapi untuk sekarang dengan elevasi 17.00 dpl kinerja bendung
kurang berfungsi optimal.
4. Pintu‐pintu banyak yang rusak dan hilang. Berdasarkan informasi yang ada di Kabupaten
Indramayu dari pintu yang ada, 50% hilang dicuri, 40% kondisi pintu air rusak dan 10%
kondisinya normal. Begitu juga di Kabupaten Cirebon terjadi pencurian pintu air.
5. Pengoperasian pintu yang seharusnya dapat bekerja secara otomatis, saat ini tidak dapat
dilakukan karena adanya kerusakan‐kerusakan. Pengoperasian pintu dilakukan secara
11
otomatis dengan memantau kondisi debit di pos pengamatan debit Monjot di hulu bendung
Rentang, dari laporan kondisi ini data dikirimkan dengan sinyal GSM ke pos pengoperasian
pintu bendung rentang dan selanjutnya diproses secara komputerisasi untuk membuka tutup
pintu. Namun karena banyaknya petir disekitar lokasi mengakibatkan peralatan penerima
sinyal rusak dan system computer tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya.
12
BAB IV
SYPHON LIGUNG
Siphon Ligung terletak di Kecamatan Ligung, Kabupaten Majalengka. Siphon ini merupakan lokasi
persimpangan antara Sungai Cikeruh dengan Saluran Induk Sindupraja (dari Bendung Rentang).
Pada umumnya apabila saluran irigasi yang bersimpangan dengan sungai maka dibangun talang
ataupun siphon untuk saluran irigasinya. Akan tetapi pada Siphon Ligung ini kondisinya terbalik,
siphon diperuntukkan untuk sungai, sehingga aliran sungainya dilewatkan dibawah saluran irigasi.
Pada saat ini kondisi Siphon Ligung cukup baik, hanya saja pada bagian hilir, yaitu tepat setelah
bagian sayap kondisi bangunan pelindung tebing telah mengalami kerusakan. Hal ini bisa
disebabkan karena debit banjir pada Sungai Cikeruh mengalami peningkatan yang cukup
signifikan yang mengakibatkan sayap pada bagian hilir tidak mampu menahan gerusan dan olakan
air yang terjadi.
Gambar IV.1. Sungai Cikeruh Bagian Udik Siphon Ligung
13
Gambar IV.2. Sungau Cikeruh Bagian Hilir Siphon Ligung
Gambar IV.3. Saluran Induk Sindupraja diatas Siphon Ligung
14
BAB V
BALAI BESAR WILAYAH SUNGAI CIMANUK CISANGGARUNG
V.1. Pembentukan BBWS Cimanuk Cisanggarung
Pembentukan Balai Besar Wilayah Sungai Cimanuk‐Cisanggarung berawal dari surat Menteri
Negara Pemberdayaan Aparatur Negara No. 8/1616/M.PAN/61/2006 tanggal 26 Juni 2006 perihal
Pembentukan UPT di lingkungan Ditjen Sumber Daya Air dan Ditjen Bina Marga Departemen
Pekerjaan Umum, bersama‐sama dengan Balai Besar Wilayah Sungai yang lainya.
Balai Besar Wilayah Sungai Cimanuk‐Cisanggarung termasuk dalam Balai Besar Wilayah Sungai
type A, yang mempunyai Eselon IIb satu orang, eselon III b lima orang dan Eselon IV a, sebelas
orang.
Balai Besar Wilayah Sungai terdiri dari :
• Bagian Tata Usaha
• Bagian Program & Evaluasi
• Bagian Pelaksanaan Jaringan Sumber Air
• Bagian Pelaksanaan Jaringan Pemanfaatan Air
• Bagian Operasi & Pemeliharaan
• Kelompok Jabatan Fungsional
V.2. Wilayah Kerja BBWS Cimanuk Cisanggarung
¾ Wilayah Sungai (WS) Cimanuk‐Cisanggarung meliputi wilayah seluas 7.711 km2, terletak di
propinsi Jawa Barat : Kab. Garut, Sumedang, Majalengka, Cirebon, Indramayu & Kota
Cirebon, serta di Propinsi Jawa Tengah : Kab. Brebes.
¾ WS Cimanuk‐Cisanggarung tersebut terdiri dari beberapa daerah aliran sungai (DAS), antara
lain DAS Cimanuk, DAS Cisanggarung, DAS Cipanas‐Pangkalan, DAS Sungai‐sungai kecil yang
mengalir ke laut Jawa sepanjang Pantura Cirebon‐Indramayu (Ciayu).
V.3. Potensi Sumber Daya Air
V.3.1. Kondisi Iklim
Curah hujan rata‐rata di wilayah sungai Cimanuk‐Cisanggarung berkisar 890‐3.470 mm/thn dengan
rician DAS Cimanuk 2.800 mm/thn, DAS Cisanggarung 2.700 mm/thn, DAS Pantura Ciayu 1500
mm/thn, dan DAS Cipanas‐Pangkalan 1.700 mm/thn
Mulai tahun 1980an kondisi hidrologi di ws Cimanuk‐Cisanggarung telah mengalami degridasi,
yang ditampilkan oleh nilaikoef aliran yang naik secara signifikan yaitu tahun 1980an sebesar 0.58
menjadi 0.74 ditahun 2002.
15
V.3.2. Kondisi Air Permukaan
Potensi SDA di wilayah sungai Cimanuk‐Cisanggarung ± 13.38 milyad m3/thn dan air tanah 0.9
milyad m3/thn. Dilihat dari jumlah cukup besar tetapi kalau dilihat dari distribusi waktu dan lokasi
penyebaran, sangat tidak menguntungkan, untuk itu perlu manajement SDA guna mengatasi
masalah ketersediaan air dalam jumlah, waktu, lokasi sesuai kebutuhan
V.4. Permasalahan
1. Bencana kekeringgan pada musim kemarau selalu melanda daerah Pantura Ciayu,
disebabakan belum ada satu waduk pun yang telah dibangun di sungai Cimanuk.
2. Banyaknya sungai‐sungai kecil : Cipasang, Tanjung Kulon, Babakan dan Kabuyutan dapat
mengganggu kelancaran transportasi di jalan pantura, sedang banjir sungai utama Cimanuk
dan Cisanggarung telah dikendalikan dengan periode ulang 25 tahun.
3. Erosi lateral dan degradasi dasar sungai Cimanuk Cisanggarung menyebabkan terjadinya
tebing dan tanggul kritis di banyak lokasi serta banyak bangunan sungai menggantung
pondasinya.
4. Longsoran tanah ( Land‐Slides ) di derah perbukitan akibat lahan kritis dan kondisi apeologi
yang kurang menguntungkan, terutama diwilayah kabupaten Garut, Kuningan, Sumedang
dan Majalengka
5. Instrusi air laut pada muara sungai Cimanuk‐Cisanggarung dan sungai‐sungai lainya,
menyebabkan sulitnya memperoleh air tawardi wilayah Pantura‐Ciayu terutama pada musim
kemarau.
6. Abrasi pantai di beberapa lokasi disebabakan oleh kerusakan lingkungan dan sedimentasi
pada muara‐muara sungai menghambat perahu‐perahu nelayan keluar masuk laut
Kondisi Krisi Air Cirebon Indramayu (CIAYU)
Karena luasnya lahan krisis, mengakibatkan buruknya kondisi hidro – arologi DAS Cimanuk,
terlihat dari flektuasi debit cukup besar di bendung Rentang yaitu : Q max = 1.004 m3/dtk ; Q min =
4 m3/dtk ; ratio 251
Potensi air sungai Cimanuk di Bendung Rentang rata‐rata 4.3 Milyard m3/thn dan hanya
dimanfaatkan 28%saja, sisanya terbuang kelaut, karena belum tersedia waduk.
Sistem irigasi Rentang seluas 90.000 ha sepenuhnya mengandalkan air sungai Cimanuk, sehingga
pada waktu musim kemarau selalu mengalami defisit air irigasi.
Dibagian hilir sungai Cimanuk pada musim kemarau terjadi krisis ketersediaan air baku untuk
keperluan domestik, perkotaan dan industri karena tidak adanya aliran sungai hulu dan terjadi
intrusi air laut.
16
V.5. Program Pengelolaan Sumber Daya Air
Guna memperbaiki keadaan hidro‐orologi DAS Cimanuk, khususnya di DTA Waduk Jatigede,
dilaksanakan kegiatan‐kegiatan konservasi DAS secara intensif dan sinergis antara instansi‐instansi
terkait : Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian, Departemen PU, Pemerintah Propinsi
Jawa Barat dan Kabupaten, sejalan dengan Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GN‐
KPA).
Disamping itu, dalam rangka program Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK) dan Gerakan
Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) di Jawa Barat, dilaksanakan juga kegiatan GRLK
dan GNRHL tersebut di DTA Waduk Jatigede.
Selanjutnya, agar dampak positif dari kegiatan GN‐KPA di DTA Jatigede tersebut dapat diukur dan
dipantau dengan baik, telah disepakati Sub‐DAS Cimanuk Hulu dan Sub‐DAS Cikamiri, dipakai
sebagai DAS Percontohan GN‐KPA, dengan penekanan sebagai berikut:
1) Sub‐DAS Cimanuk Hulu: sebagai percontohan konservasi DAS dengan titik berat upaya teknik
vegetatif.
2) Sub‐DAS Cikamiri : sebagai percontohan konservasi DAS dengan titik berat upaya teknik sipil,
dengan memanfaatkan Arboretum Mata Air Cimanuk di Legok Pulus (Desa Sukakarya,
Kecamatan Samarang, Garut), sebagai pusat penelitian tanaman konservasi dan pelatihan
petani, generasi muda dan pelajar.
V.6. Pendayagunaan Sumber Daya Air
1. Dalam rangka pendayagunaan potensi sumber daya air, sesuai Rencana Induk PWS Cimanuk‐
Cisanggarung, diidentifikasi 13 potensi waduk di DAS Cimanuk dan 12 potensi waduk di DAS
Cisanggarung
2. Dari 25 potensi waduk tersebut, baru Waduk Jatigede yang telah selesai desainnya, saat ini
dalam proses sertifikasi desain dan siap untuk dimulai pelaksanaan fisiknya.
3. Mengingat penyediaan air baku dan air irigasi sudah sangat mendesak, maka pembangunan
tampungan air dalam bentuk waduk, embung/situ atau long storage dalam berbagai skala
menjadi prioritas utama.
4. Karena itu, dalam PJM (2005‐2009) BBWS Cimanuk‐Cisanggarung, memprogramkan
pembangunan dan rehabilitasi tampungan air berupa (a) waduk‐3 lokasi, (b) embung/situ – 10
lokasi, dan (c) long storage – 7 lokasi.
V.7. Pengendalian Daya Rusak Air
1. Daya rusak air yang harus dikendalikan, meliputi masalah: (a) banjir, (b) erosi tebing sungai,
(c) intrusi air laut, (d) abrasi pantai dan sedimentasi muara sungai.
2. Dalam PJM (2005‐2009), penanganan masalah banjir difokuskan pada normalisasi Sungai
Cipanas di Kabupaten Indramayu, sungai‐sungai Tanjung Kulon, Babakan dan Kabuyutan di
Kabupaten Brebes.
17
3. Penanganan erosi tebing dan tanggul kritis di Sungai Cimanuk dan Cisanggarung diutamakan
pada lokasi‐lokasi kritis yang mengancam pemukiman penduduk, jalan raya dan lahan
pertanian berdasarkan tingkat ke‐kritisannya dan berdasarkan usulan masyarakat.
4. Intrusi air laut dikendalikan dengan pembangunan bendung karet di‐beberapa lokasi wilayah
Pantura, antara lain: (a) BK Indramayu di Saluran By‐pass Cimanuk, (b) BK Jamblang di Sungai
Jamblang dan (c) BK Kabuyutan di Sungai Kabuyutan.
5. Penanganan abrasi pantai dilaksanakan dengan pembangunan jetty dan krib pantai.
Berdasarkan urgensinya dalam PJM (2005‐2009) diutamakan: (a) pembuatan jetty
Karangsong dan pengerukan muara Sungai Prajagumiwang (b) pembuatan jetty Sungai
Glayem (Indramayu) dan (c) pengamanan pantai Tirtamaya.
18
BAB VI
PANTAI KESENDEN CIREBON
Pantai Kesenden Cirebon saat ini telah mengalami abrasi yang cukup parah. Abrasi pantai pada
umumnya diakibatkan oleh rusaknya hutan‐hutan pelindung, seperti hutan bakau serta kondisi
tanah di kawasan pantai yang kebanyakan merupakan tanah lumpur hingga tidak tahan oleh
gerusan arus dan gelombang dari laut. Selain itu kepentingan manusia yang merambah kawasan
pantai tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan ikut menambah parahnya abrasi pantai.
Misalnya penggunaan kawasan pantai untuk budidaya perikanan/tambak dengan menebang
hutan pelindung pantai yaitu hutan bakau. Hal ini menyebabkan pelindung alami pantai dari
hempasan arus dan ombak laut tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga pantai
menjadi rusak dan garis pantai semakin mundur kearah daratan.
Akibat tingkat kehilangan kawasan pantai yang relatif cepat oleh abrasi, maka banyak bangunan
dan tambak milik masyarakat terancam musnah oleh gerusan air laut dan gelombang pasang.
Secara ekonomis jelas sangat merugikan. Karena tanah dan bangunan menjadi hilang dan
berubah bentuk menjadi lautan.
Untuk mengatasi abrasi yang terjadi di sepanjang Pantai Kesenden Cirebon, pemerintah telah
melakukan upaya‐upaya seperti pembuatan jetty/groin dan tembok laut, namun pada saat ini
kondisi bangunan‐bangunan pengaman pantai yang telah dibangun tersebut banyak yang
mengalami kerusakan.
Gambar VI.1. Garis Pantai Kesenden Cirebon yang semakin mundur ke daratan
19
Gambar VI.2. Usaha perikanan di kawasan pantai Kesenden Cirebon
Gambar VI.3. Tembok Laut
20
BAB VII
PELABUHAN KHUSUS PERTAMINA REFINERY UNIT (RU) VI BALONGAN
Pelabuhan khusus pertamina Refinery Unit (RU) VI Balongan terletak di daerah Tanjung
Indramayu seperti terlihat pada gambar VII.1.
Gambar VII.1. Lokasi Pelabuhan Khusus Balongan
Pelabuhan khusus ini dikelola oleh pertamina untuk keperluan bongkar muat dan distribusi bahan
mentah minyak bumi untuk selanjutnya diolah menjadi bahan bakar minyak siap pakai. Dalam
pengelolaan pelabuhan khusus ini Pertamina mendapatkan regulasi khusus dari Departemen
Perhubungan untuk menjalankan kegiatan ke‐pelabuhan‐an seperti aktifitas bongkar muat bahan
bakar minyak, pengaturan lalu lintas kapal di area pelabuhan dan sebagainya. Tugas Pertamina
dalam mengelola pelabuhan ini termasuk didalamnya adalah menyelenggarakan urusan
pemerintah dalam hal pelabuhan seperti pelaksanaan tugas bea cukai, administrasi pelayaran dan
sebagainya. Selain itu pertamina juga bertanggung jawab dalam hal tindak darurat apabila terjadi
kecelakaan pelayaran termasuk apabila terjadi minyak yang tumpah di area pelabuhan, mengingat
resiko tersebut cukup tinggi di area pelabuhan Pertamina.
Dalam melaksanakan tugas‐tugas administrasi pelayaran Pertamina juga memberikan sharing
kepada pemerintah dalam hal recovery kawasan. Sharing ini diserakan melalui administrasi
pelabuhan terdekat.
21
Gambar VII.2. Wilayah Kerja Pelabuhan Khusus Pertamina RU VI Balongan
Pelabuhan khusus pertamina ini mengoperasikan 5 sarana tambat, yaitu :
1. Single Point Mooring (SPM) 17.500 DWT, yang berfungsi sebagai sarana tambat kapal
distribusi BBM.
2. SPM 35.000 DWT, yang berfungsi sebagai sarana tambat dan bongkar muat untuk bahan
mentah minyak bumi yang dikirim dari pelosok Indonesia, yang selanjutnya diolah menjadi
bahan bakar minyak seperti bahan bakar premium, solar, pertamax dan sebagainya.
3. SPM 150.000 DWT, yang berfungsi sebagai sarana tambat dan bongkar muat minyak mentah
dari kapal bermuatan besar yang berasal dari luar negeri.
4. Jetty Cargo
5. Jetty Propylene. Yang berfungsi untuk bongkar muat bahan propylene (LPG).
Permasalahan‐permasalaha yang dihadapi oleh Pertamina RU VI Balongan
1. Masalah kedalaman area pelabuhan. Kapal yang akan bersandar dipelabuhan khusus ini
memiliki draft sekitar 9 m. Agar tidak mengubah bentuk alami dasar pantai dan dapat
memiliki kedalaman 9 m pertamina harus membuat sarana tambat sejauh 1,4 sampai dengan
1,5 mil dari garis pantai.
2. Masalah yang berhubungan dengan kelautan (abrasi dan pendangkalan). Salah satu contoh
dari masalah tersebut adalah adanya abrasi pantai yang menyebabkan pipa yang sebelumnya
berada di darat saat ini berada di atas air. Selain itu masalah sedimentasi juga sangat
mengganggu aktifitas pelabuhan terutama di area jetty propylene. Pertamina melakukan
operasi dan pemeliharaan berupa pengerukan setiap 2 minggu sekali atau ketika ada kapal
22
yang akan melakukan bongkar muat di pelabuhan untuk menjaga agar pelabuhan dapat
berfungsi sebagaimana mestinya.
3. Masalah Sosial dan masyarakat. Adanya anggapan dari sebagian masyarakat bahwa abrasi
yang terjadi akibat dari adanya pelabuhan khusus Pertamina.
Upaya yang dilakukan Pertamina RU VI Balongan untuk mengatasi maslah tersebut adalah :
1. Membuat studi yang bekerjasama dengan BATAN dan IPB tentang sejauhmana dampak dari
pelabuhan Balongan terhadap kondisi lingkungan sekitar
2. Membuat studi tentang Kilang Baru Propylene di darat
3. Membuat studi tentang Pembangunan Jetty Propylene di Island Bird
Gambar VII.3. Dermaga/Jetty Propylene
23
BAB VIII
PRASARANA PENGAMAN PANTAI DI PESISIR INDRAMAYU
VIII.1. Pantai Tirtamaya
Pantai Tirtamaya merupakan pantai wisata yang terletak di Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa
Barat. Kondisi Pantai Tirtamaya pada saat ini sudah mulai tidak terawat, hal ini bisa dilihat dengan
rusaknya beberapa bangunan pantai yang ada.
Bangunan pantai yang terdapat di Pantai Tirtamaya antara lain:
1. Bangunan Revetment yang terbuat dari sand bag dan batu kali
2. Bangunan Pemecah Gelombang
Permasalahan
Permasalahan terjadi di Pantai wisata Tirtamaya antara Lain :
1. Rusaknya Groin (bangunan pengaman pantai) akibat gelombang yang terjadi tetapi bisa
juga disebabkan oleh struktur groin yang tidak kuat.
2. Terjadinya abrasi di beberapa bagian pantai
3. Penumpukan sediment yang tidak teratur
Upaya Penanggulangan
Upaya penanggulangan yang bisa dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah
perbaikan Groin dan krib yang ada, Melakukan Sand By Pasing dan Penanaman Mangrove.
Gambar VIII.1. Revetment dari sand bag
24
VIII.2. Pelabuhan Perikanan Glayem dan Dadap
Pelabuhan perikanan Glayen dan Pelabuhan Ikan Dadap terletak di kabupaten Indramayu, dan
berada di pantai utara laut Jawa. Kedua Pelabuhan Ikan ini adalah sebagian fasilitas yang sangat
penting bagi penduduk di lokasi tersebut, karena berhubungan dengan mata pencaharian
penduduk di lokasi tersebut.
Fasilitas Bangunan Pantai yang ada di kedua lokasi Pelabuhan tersebut adalah :
Bangunan dermaga/pelabuhan ikan (untuk kedua lokasi)
Jetty sebagai pelindung muara sungai yang ada di Pelabuhan Ikan Glayem
Break Water sebagai pelindung dermaga (untuk Pelabuhan Ikan Dadap)
Jenis konstruksi Dermaga (Pelabuhan Ikan Dadap) yang dibangun dengan desain bawah
dermaga yang bisa dilewati arus yang membawa sediment.
Gambar VIII.1. Dermaga di TPI Dadap
Permasalahan yang ada di TPI Glayem dan Dadap antara Lain :
Terjadinya abrasi pantai di bagian kiri pelabuhan ikan Glayem.
Terjadinya penumpukan sediment di bagian kanan jetty pelabuhan ikan Glayem yang
semakin maju dan tidak terkontrol, sehingga melimpas ke bagian dalam jetty
Terjadi penumpukan sediment di sekitar dermaga (pelabuhan Ikan Dadap) akibat tidak
berpindahnya sediment melewati bagian bawah dermaga karena terhambat parkiran
kapal‐kapal nelayan yang diparkir dan akibat jarak tiang struktur dermaga yang terlalu
dekat.
Terjadi pendangkalan di bagian dermaga.
Upaya Penanggulangan :
Upaya penanggulangan yang mingkin bisa dilakukan adalah pengerukan sedimen dan di
pindahkan ke bagian kiri dermaga.
Melakukan Sand By Pasing
Menambah panjang dermaga
25
Gambar VIII.2. Abrasi di sisi kiri Jetty Glayem
Gambar VIII.3. Sedimentasi di sisi kanan Jetty Glayem
26
BAB IX
PENUTUP
Dari hasil pengamatan dan penggalian informasi dari instansi terkait dan sumber dapat
disimpulkan hal‐hal sebagai berikut :
1. Dalam pembangunan bendungan jatigede perlu diperhatikan mengenai permasalahan social.
Seperti permasalahan pembebasan lahan yang berlarut‐larut.
2. Perlu adanya usaha konservasi di daerah hulu sungai Cimanuk agar pembangunan waduk
Jatigede tidak sia‐sia. Laju erosi yang cukup tinggi akan memperpendek umur guna waduk
Jatigede. Untuk itu usaha‐usaha konservasi harus dilaksanakan bersamaan dengan
pambangunan waduk, karena untuk mendapatkan hasil dari usaha konservasi, memerlukan
waktu yang tidak singkat.
3. Perlu adanya pengawasan yang ketat dalam pembangunan waduk Jatigede, mengingat
kondisi geologis yang agak riskan. Selain itu, penggunaan dana loan yang tentunya memiliki
batas waktu pelaksanaan proyek sehingga penyelesaian pembangunan tidak melebihi masa
berlakunya loan.
4. Pada bendung rentang, perlu adanya perbaikan‐perbaikan pada system komputerisasi agar
pengoperasian bending dapat secara otomatis. Perlu adanya perangkat penangkal petir
mengingat daerah tersebut banyak terjadi petir yang dapat merusak instrument elektronik.
5. Perlu adanya pemeliharaan rutin pada bendung dan jaringan irigasi rentang, agar dapat tetap
bekerja sebagaimana mestinya. Pengerukan saluran untuk mengurangi endapan di dasar
saluran agar saluran mampu menampung debit rencana untuk mengairi lahan irigasi sesuai
rencana.
6. Pada Siphon Ligung perlu adanya upaya‐upaya pencegahan gerusan air di hilir siphon. Karena
kerusakan tersebut sedikit demi sedikit akan mengancam keberadaan siphon itu sendiri.
7. Pantai utara jawa barat, selain mengalami masalah abrasi juga mengalami masalah
sedimentasi. Namun pada semenanjung indramayu, karena posisi pantainya yang menghadap
kearah timur laut menyebabkan ketika terjadi musim angin timur terjadi erosi pada pantainya.
Namun ketika musim angin barat, arus laut tidak dapat mengembalikan sedimen ke tempat
semula. Sehingga garis pantai menjadi bergeser.
8. Pengamanan pantai yang kurang tepat akan semakin menambah parahnya kerusakan pantai.
Penanganan harus bersifat terpadu dengan memperhatikan berbagai kepentingan dan
resiko‐resiko yang akan terjadi. Terkadang penanganan permasalahan hanya untuk
menyelesaikan suatu permasalahan, namun setelah permasalahan tersebut selesai, akan
menimbulkan masalah lainnya.
27